Anda di halaman 1dari 41

*Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang

merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan
dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal
dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah
tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai "kultur" dalam
bahasa Indonesia.

Definisi Budaya
Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah
kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi.[1] Budaya terbentuk dari banyak unsur
yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian,
bangunan, dan karya seni.[1] Bahasa, sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak
terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan
secara genetis. Ketika seseorang berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang berbada
budaya dan menyesuiakan perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa budaya itu dipelajari.
Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh. budaya bersifat kompleks, abstrak, dan luas.
Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif. Unsur-unsur sosio-budaya ini
tersebar dan meliputi banyak kegiatan sosial manusia.

Beberapa alasan mengapa orang mengalami kesulitan ketika berkomunikasi dengan


orang dari budaya lain terlihat dalam definisi budaya: Budaya adalah suatu perangkat rumit
nilai-nilai yang dipolarisasikan oleh suatu citra yang mengandung pandangan atas
keistimewaannya sendiri."Citra yang memaksa" itu mengambil bentuk-bentuk berbeda dalam
berbagai budaya seperti "individualisme kasar" di Amerika, "keselarasan individu dengan
alam" d Jepang dan "kepatuhan kolektif" di Cina. Citra budaya yang brsifat memaksa tersebut
membekali anggota-anggotanya dengan pedoman mengenai perilaku yang layak dan
menetapkan dunia makna dan nilai logis yang dapat dipinjam anggota-anggotanya yang paling
bersahaja untuk memperoleh rasa bermartabat dan pertalian dengan hidup mereka.

Dengan demikian, budayalah yang menyediakan suatu kerangka yang koheren untuk
mengorganisasikan aktivitas seseorang dan memungkinkannya meramalkan perilaku orang lain.

Pengertian Kebudayaan
Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Melville J. Herskovits dan
Bronislaw Malinowski mengemukakan bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat
ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Istilah untuk pendapat itu
adalah Cultural-Determinism.Herskovits memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun
temurun dari satu generasi ke generasi yang lain, yang kemudian disebut sebagai superorganic.
Menurut Andreas Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian nilai sosial,norma
sosial, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius, dan lain-lain,
tambahan lagi segala pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat.
Menurut Edward Burnett Tylor, kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di
dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan
kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat. Menurut Selo
Soemardjan dan Soelaiman Soemardi, kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa, dan cipta
masyarakat. Dari berbagai definisi tersebut, dapat diperoleh pengertian mengenai kebudayaan
adalah sesuatu yang akan mempengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau
gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari,
kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang
diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda
yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial,
religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam
melangsungkan kehidupan bermasyarakat.

Unsur-Unsur
Ada beberapa pendapat ahli yang mengemukakan mengenai komponen atau unsur
kebudayaan, antara lain sebagai berikut:

1.Melville J. Herskovits menyebutkan kebudayaan memiliki 4 unsur pokok, yaitu:

o alat-alat teknologi
o sistem ekonomi
o keluarga
o kekuasaan politik
2. Bronislaw Malinowski mengatakan ada 4 unsur pokok yang meliputi:
o sistem norma sosial yang memungkinkan kerja sama antara para anggota
masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan alam sekelilingnya
o organisasi ekonomi
o alat-alat dan lembaga-lembaga atau petugas-petugas untuk pendidikan (keluarga
adalah lembaga pendidikan utama)
o organisasi kekuatan (politik)

Wujud dan komponen


Wujud Menurut J.J. Hoenigman, wujud kebudayaan dibedakan menjadi tiga: gagasan,
aktivitas, dan artefak.

• Gagasan (Wujud ideal)


Wujud ideal kebudayaan adalah kebudayaan yang berbentuk kumpulan ide-ide, gagasan,
nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dan sebagainya yang sifatnya abstrak; tidak dapat
diraba atau disentuh. Wujud kebudayaan ini terletak dalam kepala-kepala atau di alam
pemikiran warga masyarakat. Jika masyarakat tersebut menyatakan gagasan mereka itu
dalam bentuk tulisan, maka lokasi dari kebudayaan ideal itu berada dalam karangan dan
buku-buku hasil karya para penulis warga masyarakat tersebut.
• Aktivitas (tindakan)
Aktivitas adalah wujud kebudayaan sebagai suatu tindakan berpola dari manusia dalam
masyarakat itu. Wujud ini sering pula disebut dengan sistem sosial. Sistem sosial ini
terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia yang saling berinteraksi, mengadakan kontak, serta
bergaul dengan manusia lainnya menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata
kelakuan. Sifatnya konkret, terjadi dalam kehidupan sehari-hari, dan dapat diamati dan
didokumentasikan.

• Artefak (karya)
Artefak adalah wujud kebudayaan fisik yang berupa hasil dari aktivitas, perbuatan, dan
karya semua manusia dalam masyarakat berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat
diraba, dilihat, dan didokumentasikan. Sifatnya paling konkret diantara ketiga wujud
kebudayaan.

Dalam kenyataan kehidupan bermasyarakat, antara wujud kebudayaan yang satu tidak bisa
dipisahkan dari wujud kebudayaan yang lain. Sebagai contoh: wujud kebudayaan ideal mengatur
dan memberi arah kepada tindakan (aktivitas) dan karya (artefak) manusia.

Komponen

Berdasarkan wujudnya tersebut, kebudayaan dapat digolongkan atas dua komponen utama:

• Kebudayaan material
Kebudayaan material mengacu pada semua ciptaan masyarakat yang nyata, konkret.
Termasuk dalam kebudayaan material ini adalah temuan-temuan yang dihasilkan dari
suatu penggalian arkeologi: mangkuk tanah liat, perhisalan, senjata, dan seterusnya.
Kebudayaan material juga mencakup barang-barang, seperti televisi, pesawat terbang,
stadion olahraga, pakaian, gedung pencakar langit, dan mesin cuci.

• Kebudayaan nonmaterial
Kebudayaan nonmaterial adalah ciptaan-ciptaan abstrak yang diwariskan dari generasi ke
generasi, misalnya berupa dongeng, cerita rakyat, dan lagu atau tarian tradisional.

Hubungan Antara Unsur-Unsur Kebudayaan


Komponen-komponen atau unsur-unsur utama dari kebudayaan antara lain:

Peralatan dan Perlengkapan Hidup (Teknologi)


Teknologi merupakan salah satu komponen kebudayaan.

Teknologi menyangkut cara-cara atau teknik memproduksi, memakai, serta memelihara segala
peralatan dan perlengkapan. Teknologi muncul dalam cara-cara manusia mengorganisasikan
masyarakat, dalam cara-cara mengekspresikan rasa keindahan, atau dalam memproduksi hasil-
hasil kesenian.

Masyarakat kecil yang berpindah-pindah atau masyarakat pedesaan yang hidup dari pertanian
paling sedikit mengenal delapan macam teknologi tradisional (disebut juga sistem peralatan dan
unsur kebudayaan fisik), yaitu:

• alat-alat produktif
• senjata
• wadah
• alat-alat menyalakan api
• makanan
• pakaian
• tempat berlindung dan perumahan
• alat-alat transportasi

Sistem Mata Pencaharian Hidup

Perhatian para ilmuwan pada sistem mata pencaharian ini terfokus pada masalah-masalah mata
pencaharian tradisional saja, di antaranya:

• berburu dan meramu


• beternak
• bercocok tanam di ladang
• menangkap ikan
Sistem Kekerabatan dan Organisasi Sosial

Sistem kekerabatan merupakan bagian yang sangat penting dalam struktur sosial. Meyer Fortes
mengemukakan bahwa sistem kekerabatan suatu masyarakat dapat dipergunakan untuk
menggambarkan struktur sosial dari masyarakat yang bersangkutan. Kekerabatan adalah unit-
unit sosial yang terdiri dari beberapa keluarga yang memiliki hubungan darah atau hubungan
perkawinan. Anggota kekerabatan terdiri atas ayah, ibu, anak, menantu, cucu, kakak, adik,
paman, bibi, kakek, nenek dan seterusnya. Dalam kajian sosiologi-antropologi, ada beberapa
macam kelompok kekerabatan dari yang jumlahnya relatif kecil hingga besar seperti keluarga
ambilineal, klan, fatri, dan paroh masyarakat. Di masyarakat umum kita juga mengenal
kelompok kekerabatan lain seperti keluarga inti, keluarga luas, keluarga bilateral, dan keluarga
unilateral.

Sementara itu, organisasi sosial adalah perkumpulan sosial yang dibentuk oleh masyarakat, baik
yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum, yang berfungsi sebagai sarana
partisipasi masyarakat dalam pembangunan bangsa dan negara. Sebagai makhluk yang selalu
hidup bersama-sama, manusia membentuk organisasi sosial untuk mencapai tujuan-tujuan
tertentu yang tidak dapat mereka capai sendiri.

Bahasa

Bahasa adalah alat atau perwujudan budaya yang digunakan manusia untuk saling
berkomunikasi atau berhubungan, baik lewat tulisan, lisan, ataupun gerakan (bahasa isyarat),
dengan tujuan menyampaikan maksud hati atau kemauan kepada lawan bicaranya atau orang
lain. Melalui bahasa, manusia dapat menyesuaikan diri dengan adat istiadat, tingkah laku, tata
krama masyarakat, dan sekaligus mudah membaurkan dirinya dengan segala bentuk masyarakat.

Bahasa memiliki beberapa fungsi yang dapat dibagi menjadi fungsi umum dan fungsi khusus.
Fungsi bahasa secara umum adalah sebagai alat untuk berekspresi, berkomunikasi, dan alat untuk
mengadakan integrasi dan adaptasi sosial. Sedangkan fungsi bahasa secara khusus adalah untuk
mengadakan hubungan dalam pergaulan sehari-hari, mewujudkan seni (sastra), mempelajari
naskah-naskah kuno, dan untuk mengeksploitasi ilmu pengetahuan dan teknologi.

[Kesenian

Karya seni dari peradaban Mesir kuno.


Kesenian mengacu pada nilai keindahan (estetika) yang berasal dari ekspresi hasrat manusia
akan keindahan yang dinikmati dengan mata ataupun telinga. Sebagai makhluk yang mempunyai
cita rasa tinggi, manusia menghasilkan berbagai corak kesenian mulai dari yang sederhana
hingga perwujudan kesenian yang kompleks.

Sistem Kepercayaan

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Agama

Ada kalanya pengetahuan, pemahaman, dan daya tahan fisik manusia dalam menguasai dan
mengungkap rahasia-rahasia alam sangat terbatas. Secara bersamaan, muncul keyakinan akan
adanya penguasa tertinggi dari sistem jagad raya ini, yang juga mengendalikan manusia sebagai
salah satu bagian jagad raya. Sehubungan dengan itu, baik secara individual maupun hidup
bermasyarakat, manusia tidak dapat dilepaskan dari religi atau sistem kepercayaan kepada
penguasa alam semesta.

Agama dan sistem kepercayaan lainnya seringkali terintegrasi dengan kebudayaan. Agama
(bahasa Inggris: Religion, yang berasar dari bahasa Latin religare, yang berarti "menambatkan"),
adalah sebuah unsur kebudayaan yang penting dalam sejarah umat manusia. Dictionary of
Philosophy and Religion (Kamus Filosofi dan Agama) mendefinisikan Agama sebagai berikut:

... sebuah institusi dengan keanggotaan yang diakui dan biasa berkumpul bersama untuk
beribadah, dan menerima sebuah paket doktrin yang menawarkan hal yang terkait dengan sikap
yang harus diambil oleh individu untuk mendapatkan kebahagiaan sejati.

Agama biasanya memiliki suatu prinsip, seperti "10 Firman" dalam agama Kristen atau "5 rukun
Islam" dalam agama Islam. Kadang-kadang agama dilibatkan dalam sistem pemerintahan, seperti
misalnya dalam sistem teokrasi. Agama juga mempengaruhi kesenian.

Agama Samawi

Tiga agama besar, Yahudi, Kristen dan Islam, sering dikelompokkan sebagai agama Samawi
atau agama Abrahamik, Ketiga agama tersebut memiliki sejumlah tradisi yang sama namun juga
perbedaan-perbedaan yang mendasar dalam inti ajarannya. Ketiganya telah memberikan
pengaruh yang besar dalam kebudayaan manusia di berbagai belahan dunia.

Yahudi adalah salah satu agama, yang jika tidak disebut sebagai yang pertama, adalah agama
monotheistik dan salah satu agama tertua yang masih ada sampai sekarang. Terdapat nilai-nilai
dan sejarah umat Yahudi yang juga direferensikan dalam agama Abrahamik lainnya, seperti
Kristen dan Islam. Saat ini umat Yahudi berjumlah lebih dari 13 juta jiwa. Kristen (Protestan dan
Katolik) adalah agama yang banyak mengubah wajah kebudayaan Eropa dalam 1.700 tahun
terakhir. Pemikiran para filsuf modern pun banyak terpengaruh oleh para filsuf Kristen semacam
St. Thomas Aquinas dan Erasmus. Saat ini diperkirakan terdapat antara 1,5 s.d. 2,1 milyar
pemeluk agama Kristen di seluruh dunia. Islam memiliki nilai-nilai dan norma agama yang
banyak mempengaruhi kebudayaan Timur Tengah dan Afrika Utara, dan sebagian wilayah Asia
Tenggara. Saat ini terdapat lebih dari 1,5 milyar pemeluk agama Islam di dunia.
Agama dan Filosofi dari Timur

Agni, dewa api agama Hindu


Artikel utama untuk bagian ini adalah: Agama dari timur dan Filosofi Timur Agama dan filosofi
seringkali saling terkait satu sama lain pada kebudayaan Asia. Agama dan filosofi di Asia
kebanyakan berasal dari India dan China, dan menyebar di sepanjang benua Asia melalui difusi
kebudayaan dan migrasi. Hinduisme adalah sumber dari Buddhisme, cabang Mahāyāna yang
menyebar di sepanjang utara dan timur India sampai Tibet, China, Mongolia, Jepang dan Korea
dan China selatan sampai Vietnam. Theravāda Buddhisme menyebar di sekitar Asia Tenggara,
termasuk Sri Lanka, bagian barat laut China, Kamboja, Laos, Myanmar, dan Thailand.
Agama Hindu dari India, mengajarkan pentingnya elemen nonmateri sementara sebuah
pemikiran India lainnya, Carvaka, menekankan untuk mencari kenikmatan di dunia. Konghucu
dan Taoisme, dua filosofi yang berasal dari Cina, mempengaruhi baik religi, seni, politik,
maupun tradisi filosofi di seluruh Asia.
Pada abad ke-20, di kedua negara berpenduduk paling padat se-Asia, dua aliran filosofi
politik tercipta. Mahatma Gandhi memberikan pengertian baru tentang Ahimsa, inti dari
kepercayaan Hindu maupun Jaina, dan memberikan definisi baru tentang konsep antikekerasan
dan antiperang. Pada periode yang sama, filosofi komunisme Mao Zedong menjadi sistem
kepercayaan sekuler yang sangat kuat di China.

Agama Tradisional

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Agama tradisional

Agama tradisional, atau terkadang disebut sebagai "agama nenek moyang", dianut oleh sebagian
suku pedalaman di Asia, Afrika, dan Amerika. Pengaruh bereka cukup besar; mungkin bisa
dianggap telah menyerap kedalam kebudayaan atau bahkan menjadi agama negara, seperti
misalnya agama Shinto. Seperti kebanyakan agama lainnya, agama tradisional menjawab
kebutuhan rohani manusia akan ketentraman hati di saat bermasalah, tertimpa musibah, tertimpa
musibah dan menyediakan ritual yang ditujukan untuk kebahagiaan manusia itu sendiri.

"American Dream"

American Dream, atau "mimpi orang Amerika" dalam bahasa Indonesia, adalah sebuah
kepercayaan, yang dipercayai oleh banyak orang di Amerika Serikat. Mereka percaya, melalui
kerja keras, pengorbanan, dan kebulatan tekad, tanpa memedulikan status sosial, seseorang dapat
mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Gagasan ini berakar dari sebuah keyakinan bahwa
Amerika Serikat adalah sebuah "kota di atas bukit" (atau city upon a hill"), "cahaya untuk
negara-negara" ("a light unto the nations) yang memiliki nilai dan kekayaan yang telah ada sejak
kedatangan para penjelajah Eropa sampai generasi berikutnya.

Pernikahan

Agama sering kali mempengaruhi pernikahan dan perilaku seksual. Kebanyakan gereja Kristen
memberikan pemberkatan kepada pasangan yang menikah; gereja biasanya memasukkan acara
pengucapan janji pernikahan di hadapan tamu, sebagai bukti bahwa komunitas tersebut
menerima pernikahan mereka. Umat Kristen juga melihat hubungan antara Yesus Kristus dengan
gerejanya. Gereja Katolik Roma mempercayai bahwa sebuah perceraian adalah salah, dan orang
yang bercerai tidak dapat dinikahkan kembali di gereja. Sementara Agama Islam memandang
pernikahan sebagai suatu kewajiban. Islam menganjurkan untuk tidak melakukan perceraian,
namun memperbolehkannya.

Sistem Ilmu dan Pengetahuan

Secara sederhana, pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui manusia tentang benda,
sifat, keadaan, dan harapan-harapan. Pengetahuan dimiliki oleh semua suku bangsa di dunia.
Mereka memperoleh pengetahuan melalui pengalaman, intuisi, wahyu, dan berpikir menurut
logika, atau percobaan-percobaan yang bersifat empiris (trial and error).

Sistem pengetahuan tersebut dikelompokkan menjadi:

• pengetahuan tentang alam


• pengetahuan tentang tumbuh-tumbuhan dan hewan di sekitarnya
• pengetahuan tentang tubuh manusia, pengetahuan tentang sifat dan tingkah laku sesama
manusia
• pengetahuan tentang ruang dan waktu

Perubahan Sosial Budaya


Artikel utama untuk bagian ini adalah: Perubahan sosial budaya
Perubahan sosial budaya dapat terjadi bila sebuah kebudayaan melakukan kontak dengan
kebudayaan asing.

Perubahan sosial budaya adalah sebuah gejala berubahnya struktur sosial dan pola budaya dalam
suatu masyarakat. Perubahan sosial budaya merupakan gejala umum yang terjadi sepanjang masa
dalam setiap masyarakat. Perubahan itu terjadi sesuai dengan hakikat dan sifat dasar manusia
yang selalu ingin mengadakan perubahan. Hirschman mengatakan bahwa kebosanan manusia
sebenarnya merupakan penyebab dari perubahan.

Ada tiga faktor yang dapat mempengaruhi perubahan sosial:

1. tekanan kerja dalam masyarakat


2. keefektifan komunikasi
3. perubahan lingkungan alam. Perubahan budaya juga dapat timbul akibat timbulnya
perubahan lingkungan masyarakat, penemuan baru, dan kontak dengan kebudayaan lain.
Sebagai contoh, berakhirnya zaman es berujung pada ditemukannya sistem pertanian, dan
kemudian memancing inovasi-inovasi baru lainnya dalam kebudayaan.

Penetrasi Kebudayaan
Yang dimaksud dengan penetrasi kebudayaan adalah masuknya pengaruh suatu kebudayaan ke
kebudayaan lainnya. Penetrasi kebudayaan dapat terjadi dengan dua cara:

Penetrasi damai (penetration pasifique)


Masuknya sebuah kebudayaan dengan jalan damai. Misalnya, masuknya pengaruh
kebudayaan Hindu dan Islam ke Indonesia[rujukan?]. Penerimaan kedua macam kebudayaan
tersebut tidak mengakibatkan konflik, tetapi memperkaya khasanah budaya masyarakat
setempat. Pengaruh kedua kebudayaan ini pun tidak mengakibatkan hilangnya unsur-
unsur asli budaya masyarakat.
Penyebaran kebudayaan secara damai akan menghasilkan Akulturasi, Asimilasi, atau
Sintesis. Akulturasi adalah bersatunya dua kebudayaan sehingga membentuk kebudayaan
baru tanpa menghilangkan unsur kebudayaan asli. Contohnya, bentuk bangunan Candi
Borobudur yang merupakan perpaduan antara kebudayaan asli Indonesia dan kebudayaan
India. Asimilasi adalah bercampurnya dua kebudayaan sehingga membentuk kebudayaan
baru. Sedangkan Sintesis adalah bercampurnya dua kebudayaan yang berakibat pada
terbentuknya sebuah kebudayaan baru yang sangat berbeda dengan kebudayaan asli.
Penetrasi kekerasan (penetration violante)
Masuknya sebuah kebudayaan dengan cara memaksa dan merusak. Contohnya,
masuknya kebudayaan Barat ke Indonesia pada zaman penjajahan disertai dengan
kekerasan sehingga menimbulkan goncangan-goncangan yang merusak keseimbangan
dalam masyarakat[rujukan?]. Wujud budaya dunia barat antara lain adalah budaya dari
Belanda yang menjajah selama 350 tahun lamanya. Budaya warisan Belanda masih
melekat di Indonesia antara lain pada sistem pemerintahan Indonesia.
Cara Pandang Terhadap Kebudayaan
Kebudayaan Sebagai Peradaban

Saat ini, kebanyakan orang memahami gagasan "budaya" yang dikembangkan di Eropa pada
abad ke-18 dan awal abad ke-19. Gagasan tentang "budaya" ini merefleksikan adanya
ketidakseimbangan antara kekuatan Eropa dan kekuatan daerah-daerah yang dijajahnya. Mereka
menganggap 'kebudayaan' sebagai "peradaban" sebagai lawan kata dari "alam". Menurut cara
pikir ini, kebudayaan satu dengan kebudayaan lain dapat diperbandingkan; salah satu
kebudayaan pasti lebih tinggi dari kebudayaan lainnya.

Artefak tentang "kebudayaan tingkat tinggi" (High Culture) oleh Edgar Degas.

Pada prakteknya, kata kebudayaan merujuk pada benda-benda dan aktivitas yang "elit"
seperti misalnya memakai baju yang berkelas, fine art, atau mendengarkan musik klasik,
sementara kata berkebudayaan digunakan untuk menggambarkan orang yang mengetahui, dan
mengambil bagian, dari aktivitas-aktivitas di atas. Sebagai contoh, jika seseorang
berpendendapat bahwa musik klasik adalah musik yang "berkelas", elit, dan bercita rasa seni,
sementara musik tradisional dianggap sebagai musik yang kampungan dan ketinggalan zaman,
maka timbul anggapan bahwa ia adalah orang yang sudah "berkebudayaan".

Orang yang menggunakan kata "kebudayaan" dengan cara ini tidak percaya ada
kebudayaan lain yang eksis; mereka percaya bahwa kebudayaan hanya ada satu dan menjadi
tolak ukur norma dan nilai di seluruh dunia. Menurut cara pandang ini, seseorang yang memiliki
kebiasaan yang berbeda dengan mereka yang "berkebudayaan" disebut sebagai orang yang "tidak
berkebudayaan"; bukan sebagai orang "dari kebudayaan yang lain." Orang yang "tidak
berkebudayaan" dikatakan lebih "alam," dan para pengamat seringkali mempertahankan elemen
dari kebudayaan tingkat tinggi (high culture) untuk menekan pemikiran "manusia alami" (human
nature)

Sejak abad ke-18, beberapa kritik sosial telah menerima adanya perbedaan antara
berkebudayaan dan tidak berkebudayaan, tetapi perbandingan itu -berkebudayaan dan tidak
berkebudayaan- dapat menekan interpretasi perbaikan dan interpretasi pengalaman sebagai
perkembangan yang merusak dan "tidak alami" yang mengaburkan dan menyimpangkan sifat
dasar manusia. Dalam hal ini, musik tradisional (yang diciptakan oleh masyarakat kelas pekerja)
dianggap mengekspresikan "jalan hidup yang alami" (natural way of life), dan musik klasik
sebagai suatu kemunduran dan kemerosotan.

Saat ini kebanyak ilmuwan sosial menolak untuk memperbandingkan antara kebudayaan
dengan alam dan konsep monadik yang pernah berlaku. Mereka menganggap bahwa kebudayaan
yang sebelumnya dianggap "tidak elit" dan "kebudayaan elit" adalah sama - masing-masing
masyarakat memiliki kebudayaan yang tidak dapat diperbandingkan. Pengamat sosial
membedakan beberapa kebudayaan sebagai kultur populer (popular culture) atau pop kultur,
yang berarti barang atau aktivitas yang diproduksi dan dikonsumsi oleh banyak orang.

Kebudayaan sebagai "Sudut Pandang Umum"

Selama Era Romantis, para cendekiawan di Jerman, khususnya mereka yang peduli terhadap
gerakan nasionalisme - seperti misalnya perjuangan nasionalis untuk menyatukan Jerman, dan
perjuangan nasionalis dari etnis minoritas melawan Kekaisaran Austria-Hongaria -
mengembangkan sebuah gagasan kebudayaan dalam "sudut pandang umum". Pemikiran ini
menganggap suatu budaya dengan budaya lainnya memiliki perbedaan dan kekhasan masing-
masing. Karenanya, budaya tidak dapat diperbandingkan. Meskipun begitu, gagasan ini masih
mengakui adanya pemisahan antara "berkebudayaan" dengan "tidak berkebudayaan" atau
kebudayaan "primitif."

Pada akhir abad ke-19, para ahli antropologi telah memakai kata kebudayaan dengan definisi
yang lebih luas. Bertolak dari teori evolusi, mereka mengasumsikan bahwa setiap manusia
tumbuh dan berevolusi bersama, dan dari evolusi itulah tercipta kebudayaan.

Pada tahun 50-an, subkebudayaan - kelompok dengan perilaku yang sedikit berbeda dari
kebudayaan induknya - mulai dijadikan subyek penelitian oleh para ahli sosiologi. Pada abad ini
pula, terjadi popularisasi ide kebudayaan perusahaan - perbedaan dan bakat dalam konteks
pekerja organisasi atau tempat bekerja.

Kebudayaan sebagai Mekanisme Stabilisasi

Teori-teori yang ada saat ini menganggap bahwa (suatu) kebudayaan adalah sebuah produk dari
stabilisasi yang melekat dalam tekanan evolusi menuju kebersamaan dan kesadaran bersama
dalam suatu masyarakat, atau biasa disebut dengan tribalisme.

Kebudayaan Diantara Masyarakat


Sebuah kebudayaan besar biasanya memiliki sub-kebudayaan (atau biasa disebut sub-kultur),
yaitu sebuah kebudayaan yang memiliki sedikit perbedaan dalam hal perilaku dan kepercayaan
dari kebudayaan induknya. Munculnya sub-kultur disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya
karena perbedaan umur, ras, etnisitas, kelas, aesthetik, agama, pekerjaan, pandangan politik dan
gender,

Ada beberapa cara yang dilakukan masyarakat ketika berhadapan dengan imigran dan
kebudayaan yang berbeda dengan kebudayaan asli. Cara yang dipilih masyarakat tergantung
pada seberapa besar perbedaan kebudayaan induk dengan kebudayaan minoritas, seberapa
banyak imigran yang datang, watak dari penduduk asli, keefektifan dan keintensifan komunikasi
antar budaya, dan tipe pemerintahan yang berkuasa.

• Monokulturalisme: Pemerintah mengusahakan terjadinya asimilasi kebudayaan sehingga


masyarakat yang berbeda kebudayaan menjadi satu dan saling bekerja sama.

• Leitkultur (kebudayaan inti): Sebuah model yang dikembangkan oleh Bassam Tibi di
Jerman. Dalam Leitkultur, kelompok minoritas dapat menjaga dan mengembangkan
kebudayaannya sendiri, tanpa bertentangan dengan kebudayaan induk yang ada dalam
masyarakat asli.

• Melting Pot: Kebudayaan imigran/asing berbaur dan bergabung dengan kebudayaan asli
tanpa campur tangan pemerintah.

• Multikulturalisme: Sebuah kebijakan yang mengharuskan imigran dan kelompok


minoritas untuk menjaga kebudayaan mereka masing-masing dan berinteraksi secara
damai dengan kebudayaan induk.

Kebudayaan Menurut Wilayah


Artikel utama untuk bagian ini adalah: Kebudayaan menurut wilayah

Seiring dengan kemajuan teknologi dan informasi, hubungan dan saling keterkaitan kebudayaan-
kebudayaan di dunia saat ini sangat tinggi. Selain kemajuan teknologi dan informasi, hal tersebut
juga dipengaruhi oleh faktor ekonomi, migrasi, dan agama.

Afrika

Beberapa kebudayaan di benua Afrika terbentuk melalui penjajahan Eropa, seperti kebudayaan
Sub-Sahara. Sementara itu, wilayah Afrika Utara lebih banyak terpengaruh oleh kebudayaan
Arab dan Islam.

Orang Hopi yang sedang menenun dengan alat tradisional di Amerika Serikat.
Amerika
Kebudayaan di benua Amerika dipengaruhi oleh suku-suku Asli benua Amerika; orang-orang
dari Afrika (terutama di Amerika Serikat), dan para imigran Eropa terutama Spanyol, Inggris,
Perancis, Portugis, Jerman, dan Belanda.

Asia

Asia memiliki berbagai kebudayaan yang berbeda satu sama lain, meskipun begitu, beberapa dari
kebudayaan tersebut memiliki pengaruh yang menonjol terhadap kebudayaan lain, seperti
misalnya pengaruh kebudayaan Tiongkok kepada kebudayaan Jepang, Korea, dan Vietnam.
Dalam bidang agama, agama Budha dan Taoisme banyak mempengaruhi kebudayaan di Asia
Timur. Selain kedua Agama tersebut, norma dan nilai Agama Islam juga turut mempengaruhi
kebudayaan terutama di wilayah Asia Selatan dan tenggara.

Australia

Kebanyakan budaya di Australia masa kini berakar dari kebudayaan Eropa dan Amerika.
Kebudayaan Eropa dan Amerika tersebut kemudian dikembangkan dan disesuaikan dengan
lingkungan benua Australia, serta diintegrasikan dengan kebudayaan penduduk asli benua
Australia, Aborigin.

Eropa

Kebudayaan Eropa banyak terpengaruh oleh kebudayaan negara-negara yang pernah dijajahnya.
Kebudayaan ini dikenal juga dengan sebutan "kebudayaan barat". Kebudayaan ini telah diserap
oleh banyak kebudayaan, hal ini terbukti dengan banyaknya pengguna bahasa Inggris dan bahasa
Eropa lainnya di seluruh dunia. Selain dipengaruhi oleh kebudayaan negara yang pernah dijajah,
kebudayaan ini juga dipengaruhi oleh kebudayaan Yunani kuno, Romawi kuno, dan agama
Kristen, meskipun kepercayaan akan agama banyak mengalami kemunduran beberapa tahun ini.

Timur Tengah dan Afrika Utara

Kebudayaan didaerah Timur Tengah dan Afrika Utara saat ini kebanyakan sangat dipengaruhi
oleh nilai dan norma agama Islam, meskipun tidak hanya agama Islam yang berkembang di
daerah ini.

*Kebudayaan nasional*
Kebudayaan nasional secara mudah dimengerti sebagai kebudayaan yang diakui sebagai
identitas nasional. Definisi kebudayaan nasional menurut TAP MPR No.II tahun 1998, yakni: |
Kebudayaan nasional yang berlandaskan Pancasila adalah perwujudan cipta, karya dan karsa
bangsa Indonesia dan merupakan keseluruhan daya upaya manusia Indonesia untuk
mengembangkan harkat dan martabat sebagai bangsa, serta diarahkan untuk memberikan
wawasan dan makna pada pembangunan nasional dalam segenap bidang kehidupan bangsa.
Dengan demikian Pembangunan Nasional merupakan pembangunan yang berbudaya.[1]
Disebutkan juga pada pasal selanjutnya bahwa kebudayaan nasional juga mencermikan nilai-
nilai luhur bangsa. Tampaklah bahwa batasan kebudayaan nasional yang dirumuskan oleh
pemerintah berorientasi pada pembangunan nasional yang dilandasi oleh semangat Pancasila.
Kebudayaan nasional dalam pandangan Ki Hajar Dewantara adalah “puncak-puncak dari
kebudayaan daerah”. Kutipan pernyataan ini merujuk pada paham kesatuan makin dimantapkan,
sehingga ketunggalikaan makin lebih dirasakan daripada kebhinekaan. Wujudnya berupa negara
kesatuan, ekonomi nasional, hukum nasional, serta bahasa nasional. Definisi yang diberikan oleh
Koentjaraningrat dapat dilihat dari peryataannya: “yang khas dan bermutu dari suku bangsa
mana pun asalnya, asal bisa mengidentifikasikan diri dan menimbulkan rasa bangga, itulah
kebudayaan nasional”. Pernyataan ini merujuk pada puncak-puncak kebudayaan daerah dan
kebudayaan suku bangsa yang bisa menimbulkan rasa bangga bagi orang Indonesia jika
ditampilkan untuk mewakili identitas bersama.

Pernyataan yang tertera pada GBHN tersebut merupakan penjabaran dari UUD 1945
Pasal 32. Dewasa ini tokoh-tokoh kebudayaan Indonesia sedang mempersoalkan eksistensi
kebudayaan daerah dan kebudayaan nasional terkait dihapuskannya tiga kalimat penjelasan pada
pasal 32 dan munculnya ayat yang baru. Mereka mempersoalkan adanya kemungkinan
perpecahan oleh kebudayaan daerah jika batasan mengenai kebudayaan nasional tidak dijelaskan
secara gamblang.

Sebelum di amandemen, UUD 1945 menggunakan dua istilah untuk mengidentifikasi


kebudayaan daerah dan kebudayaan nasional. Kebudayaan bangsa, ialah kebudayaan-
kebudayaan lama dan asli yang terdapat sebagi puncak-puncak di daerah-daerah di seluruh
Indonesia, sedangkan kebudayaan nasional sendiri dipahami sebagai kebudayaan angsa yang
sudah berada pada posisi yang memiliki makna bagi seluruh bangsa Indonesia. Dalam
kebudayaan nasional terdapat unsur pemersatu dari Banga Indonesia yang sudah sadar dan
menglami persebaran secara nasional. Di dalamnya terdapat unsur kebudayaan bangsa dan unsur
kebudayaan asing, serta unsur kreasi baru atau hasil invensi nasional.

Kebudayaan daerah
Seluruh kebudayaan daerah yang berasal dari kebudayaan beraneka ragam suku-suku di
Indonesia merupakan bagian integral daripada kebudayaan Indonesia. Kebudayaan Indonesia
walau beraneka ragam, namun pada dasarnya terbentuk dan dipengaruhi oleh kebudayaan besar
lainnya seperti kebudayaan Tionghoa, kebudayaan India dan kebudayaan Arab. Kebudayaan
India terutama masuk dari penyebaran agama Hindu dan Buddha di Nusantara jauh sebelum
Indonesia terbentuk. Kerajaan-kerajaan yang bernafaskan agama Hindu dan Budha sempat
mendominasi Nusantara pada abad ke-5 Masehi ditandai dengan berdirinya kerajaan tertua di
Nusantara, Kutai, sampai pada penghujung abad ke-15 Masehi.

Kebudayaan Tionghoa masuk dan mempengaruhi kebudayaan Indonesia karena interaksi


perdagangan yang intensif antara pedagang-pedagang Tionghoa dan Nusantara (Sriwijaya).
Selain itu, banyak pula yang masuk bersama perantau-perantau Tionghoa yang datang dari
daerah selatan Tiongkok dan menetap di Nusantara. Mereka menetap dan menikahi penduduk
lokal menghasilkan perpaduan kebudayaan Tionghoa dan lokal yang unik. Kebudayaan seperti
inilah yang kemudian menjadi salah satu akar daripada kebudayaan lokal modern di Indonesia
semisal kebudayaan Jawa dan Betawi.

Kebudayaan Arab masuk bersama dengan penyebaran agama Islam oleh pedagang-pedagang
Arab yang singgah di Nusantara dalam perjalanan mereka menuju Tiongkok. Kedatangan
penjelajah dari Eropa sejak abad ke-16 ke Nusantara, dan penjajahan yang berlangsung
selanjutnya, membawa berbagai bentuk kebudayaan Barat dan membentuk kebudayaan
Indonesia modern sebagaimana yang dapat dijumpai sekarang. Teknologi, sistem organisasi dan
politik, sistem sosial, berbagai elemen budaya seperti boga, busana, perekonomian, dan
sebagainya, banyak mengadopsi kebudayaan Barat yang lambat-laun terintegrasi dalam
masyarakat.

*MEMAHAMI KEBUDAYAAN*

Kebudayaan atau culture adalah keseluruhan pemikiran dan benda yang dibuat atau
diciptakan oleh manusia dalam perkembangan sejarahnya. Ruth Benedict melihat kebudayaan
sebagai pola pikir dan berbuat yang terlihat dalam kehidupan sekelompok manusia dan yang
membedakannya dengan kelompok lain. Para ahli umumnya sepakat bahwa kebudayaan adalah
perilaku dan penyesuaian diri manusia berdasarkan hal-hal yang dipelajari/learning behavior
(Sajidiman, dalam “Pembebasan Budaya-Budaya Kita” ;1999).

Kebudayaan sifatnya bermacam-macam, akan tetapi oleh karena semuanya adalah buah
adab (keluhuran budi), maka semua kebudayaan selalu bersifat tertib, indah berfaedah, luhur,
memberi rasa damai, senang, bahagia, dan sebagainya. Sifat kebudayaan menjadi tanda dan
ukuran tentang rendah-tingginya keadaban dari masing-masing bangsa (Dewantara; 1994).

Kebudayaan dapat dibagi menjadi 3 macam dilihat dari keadaan jenis-jenisnya:

• Hidup-kebatinan manusia, yaitu yang menimbulkan tertib damainya hidup masyarakat


dengan adapt-istiadatnya yang halus dan indah; tertib damainya pemerintahan negeri;
tertib damainya agama atau ilmu kebatinan dan kesusilaan.
• Angan-angan manusia, yaitu yang dapat menimbulkan keluhuran bahasa, kesusasteraan
dan kesusilaan.
• Kepandaian manusia, yaitu yang menimbulkan macam-macam kepandaian tentang
perusahaan tanah, perniagaan, kerajinan, pelayaran, hubungan lalu-lintas, kesenian yang
berjenis-jenis; semuanya bersifat indah (Dewantara; 1994).

Ki Hajar Dewantara mendefinisikan kebudayaan sebagai kemenangan atau hasil perjuangan


hidup, yakni perjuangannya terhadap 2 kekuatan yang kuat dan abadi, alam dan zaman.
Kebudayaan tidak pernah mempunyai bentuk yang abadi, tetapi terus menerus berganti-gantinya
alam dan zaman. (Dewantara; 1994).

KEBUDAYAAN NASIONAL

Kebudayaan Nasional Indonesia adalah segala puncak-puncak dan sari-sari kebudayaan


yang bernilai di seluruh kepulauan, baik yang lama maupun yang ciptaan baru, yang berjiwa
nasional (Dewantara; 1994). Kebudayaan Nasional Indonesia secara hakiki terdiri dari semua
budaya yang terdapat dalam wilayah Republik Indonesia. Tanpa budaya-budaya itu tak ada
Kebudayaan Nasional. Itu tidak berarti Kebudayaan Nasional sekadar penjumlahan semua
budaya lokal di seantero Nusantara. Kebudayan Nasional merupakan realitas, karena kesatuan
nasional merupakan realitas. Kebudayaan Nasional akan mantap apabila di satu pihak budaya-
budaya Nusantara asli tetap mantap, dan di lain pihak kehidupan nasional dapat dihayati sebagai
bermakna oleh seluruh warga masyarakat Indonesia (Suseno; 1992).

Dalam pasal 32 UUD 1945 dinyatakan, “Kebudayaan bangsa ialah kebudayaan yang
timbul sebagai buah usaha budi-daya rakyat Indonesia seluruhnya. Kebudayaan lama dan asli
yang terdapat sebagai puncak-puncak kebudayaan di daerah-daerah di seluruh Indonesia,
terhitung sebagai Kebudayaan Bangsa. Usaha kebudayaan harus menuju ke arah kemajuan adab,
budaya dan persatuan, dengan tidak menolak bahan-bahan baru dari kebudayaan asing yang
dapat memperkembangkan atau memperkaya kebudayaan bangsa sendiri, serta mempertinggi
derajat kemanusiaan bangsa Indonesia” (Atmadja, dalam “Pembebasan Budaya-Budaya Kita;
1999).

AKAR KEBUDAYAAN INDONESIA

Berikut ini akan penulis kutipkan mengenai sejarah nenek moyang bangsa Indonesia dari
tulisan Mochtar Lubis pada tahun 1986 dalam pidato kebudayaannya yang berjudul “Situasi
Akar Budaya Kita”. Nenek moyang kita adalah bahagian dari arus perpindahan manusia yang
bergerak di zaman lampau yang telah hilang sebagai hilangnya bayangan wayang dari layar
sejarah, bergerak dari bagian Timur Eropa Tengah dan bagian Utara wilayah Balkan sekitar laut
Hitam ke arah timur, mencapai Asia, masuk ke Tiongkok. Dan di Tiongkok arus perpindahan ini
bercabang-cabang ke utara, timur dan selatan. Arus selatan mencapai daerah Yunan, sedang
bagian timur mencapai laut Indo Cina. Di sinilah tempat lahirnya budaya asal Indonesia.
Manusia-manusia yang berpindah dan bergerak ke Asia dari Eropa Tengah dan Wilayah Balkan
itu adalah orang Tharacia, Iliria, Cimeria, Kakusia, dan mungkin termasuk orang Teuton, yang
memulai perpindahan mereka di abad ke-9 hingga abad ke-8 sebelum nabi Isa. Mereka
membawa keahlian membuat besi dan perunggu.

Nenek moyang orang Indonesia yang telah berada terlebih dahulu dari mereka di daerah
Dongson ini telah mengembangkan seni monumental tanpa banyak ornamentik yang dekoratif.
Dari pendatang-pendatang baru ini mereka mengambil alih, menerima, dan mencernakan seni
ornamentik pendatang-pendatang dari barat ini. Tidak saja dalam ornamentik, akan tetapi juga
dalam hiasan tenunan (amat banyak persamaan antara hiasan tenun Indonesia dan Balkan
umpamanya), dan juga dalam musik dan nyayian. Jaap Kunst, seorang ahli musik, juga ahli
musik Indonesia mengindentifikasikan persamaan nyayian rakyat di pulau Flores dengan
nyanyian rakyat di bagian timur Yugoslavia (Balkan). Kebudayaan Dongson menunjukkan lebih
banyak persamaan dan kaitan dengan budaya Eropa dibanding budaya Cina. Nenek moyang
Dongson inilah yang bergerak ke selatan, dan kemudian mencapai Nusantara. Di Nusantara
hampir tidak ada perpisahan antara zaman perunggu dan zaman besi. Hal ini sama juga terjadi di
Indo Cina. Dalam penggalian situs-situs purbakala, perunggu dan besi selalu ditemukan
bersama-sama. Hulu pisau dongson banyak berbentuk manusia, seperti keris Majapahit. Bentuk
hulu pisau yang serupa juga ditemukan di Holstein (Jerman), Denmark, dan di Kauskasus.
Tetapi, sebelum nenek moyang dari Dongson turun ke Nusantara, kelompok-kelompok
manusia lain telah terlebih dahulu datang. Selama zaman es terakhir, kurang lebih 15.000 tahun
sebelum Masehi, sejarah bumi Nusantara menunjukkan bahwa sebagian besar Nusantara bagian
barat menyatu dengan daratan Asia Tenggara, Jawa, Sumatera, Kalimantan dan wilayah yang
kini laut Jawa. Ketika es berakhir, permukaan laut naik kembali, dan terbentuklah gugusan
pulau-pulau seperti yang kita kenal kini. Sejarah bumi Nusantara telah berpengaruh besar pada
perkembangan manusia Melayu-Polinesia. Mereka menjadi bangsa maritim, yang kurang lebih
1000 tahun sebelum nabi Isa megarungi Samudera Hindia. Manuskrip tua Hebrew dari masa
akhir 2000 dan permulaan 1000 sebelum tahun Nabi Isa telah menyebut perdagangan kulit manis
dari berbagai tempat sepanjang pantai timur Afrika.

Sebuah naskah Arab dari abad ke 13 menceritakan masuknya orang Melayu-Polinesia ke


belahan barat Samudera Hindia. Naskah itu mengatakan bahwa di masa mundurnya Kerajaan
Fira’un di Mesir, tempat yang bernama Aden, yang menguasai jalan masuk ke laut Merah (yang
masa itu merupakan tempat penduduk nelayan), telah direbut oleh orang Qumr (Melayu-
Polinesia) yang datang dengan armada yang terdiri dari perahu-perahu yang memakai cadik.
Mereka mengusir penduduk setempat, membangun berbagai monumen dan memilihara
hubungan langsung dengan pulau Madagaskar dan Asia Tenggara. Para ahli sejarah
menyebutkan hal itu mungkin terjadi di masa Nabi Isa masih hidup. Untuk masa yang cukup
lama orang Melayu-Polinesia menguasai pelayaran dan perdagangan lewat Samudera Hindia dari
Asia Tenggara ke pintu Laut Merah, sepanjang pantai timur Afrika dan Pulau Madagaskar.
Dalam melakukan ini, mereka juga telah membawa berbagai kekayaan budaya ke Madagaskar
dan Afrika. Di Madagaskar mereka telah menetap di belahan barat pulau itu. Hingga kini masih
terlihat berbagai persamaan kata antara bahasa Madagaskar dan bahasa suku Manyaan di
Kalimantan. Ke timur, nenek moyang Melayu-Polinesia ini berlayar jauh ke pedalaman pasifik,
menetap di berbagai kepulauan, dan mereka paling ke timur mencapai Easter Island, pulau
terjauh ke timur dari Nusantara.

Jelaslah bahwa budaya bangsa kita berakar jauh ke zaman prasejarah, ke masa silam yang
begitu jauhnya, hingga telah lenyap dari ingatan bangsa kita. Jelas pula bahwa kita telah
mewarisi budaya dunia yang ada di masa itu, di samping nenek moyang kita telah memberi pula
sumbangan pada budaya-budaya bangsa lain di seberang Samudera Hindia, serta menciptakan
berbagai budaya di Madagaskar, dan di kepulauan-kepulauan Samudera Pasifik. Mengingat ini
kembali, apakah kita kini, sebagai pewaris langsung dari mereka, harus merasa gentar
menghadapi abad ke 21 dan seterusnya? Seharusnya tidak! Kita harus berani memeriksa diri
secara cermat. Apa kekurangan-kekurangan kita kini, hingga kita tidak memiliki kemampuan,
keberanian dan daya cipta untuk berbuat yang besar-besar bagi bangsa kita dan umat manusia
hari ini?

Proses melalui zaman Mesolitik mencapai zaman Neolitik mungkin terjadi kurang lebih
3500-2500 tahun sebelum Nabi Isa. Ketika itu mereka mulai tinggal bersama dalam komunitas-
komunitas kecil dan mulai mengembangkan pertanian dan sistem pengairan. Di zaman ini
berkembang akar budaya musyawarah Indonesia, karena di kala itu belum ada kepala dan raja,
dan semuanya masih dimusyawarahkan oleh semua anggota komunitas, dipimpin oleh orang-
orang yang lebih tua. Wanita ikut bermusyawarah, dan anak-anak boleh hadir dan ikut
mendengar. Di suku Sakudei di pulau Mentawai, seorang peneliti Swiss melaporkan bahwa dia
masih menemukan tradisi musyawarah yang lama itu.

Akar budaya kita juga tumbuh dalam kepercayaan bahwa segala yang ada di bumi
memiliki ”ruh-ruh” sendiri. Ruh manusia adalah saudaranya, yang dapat melepaskan diri dari
dalam badan seseorang, dan ruh itu dapat mengalami bencana dalam petualangannya di luar
tubuh kita, yang dapat mengakibatkan yang punya tubuh jatuh sakit atau mati. Manusia harus
berbaik-baik dalam hubungannya dengan dunia roh ini. Selanjutnya nenek moyang kita di masa
Megalitik itu memiliki konsep hubungan dan pertentangan antara dunia atas dan dunia bawah.
Dalam upacara-upacara khusus, mereka membangun megalith-megalith dengan tujuan
melindungi ruh dari bahaya-bahaya yang datang dari dunia bawah, untuk menjadi penghubung
antara yang hidup dan yang telah mati, dan untuk mengabadikan kekuatan-kekuatan magis
mereka yang membangun megalith-megalith tersebut, atau untuk siapa batu-batu itu dibangun.
Megalith-megalith dibangun untuk memperkuat kesuburan manusia, ternak dan apa yang mereka
tanam, dan dengan demikian memperbesar kekayaan generasi-generasi yang akan datang.

Kebudayaan Megalitik ini kemudian dimasuki oleh budaya Dongson yang membawa
teknologi perunggu dan besi, dan memberikan nafas dan kekuatan serta daya cipta baru pada
kelompok-kelompok budaya di Nusantara. Diperkirakan pula bahwa budaya Dongson membawa
teknologi bertanam padi di sawah. Teknologi padi sawah mendorong komunitas-komunitas kecil
untuk lebih berintegrasi mengembangkan dan memilihara sistem pengairan, koordinasi bertanam
serempak pada waktu yang sama. Dalam proses sejarah, teknologi padi sawah ini telah
mendorong proses integrasi masyarakat-masyarakat desa Indonesia yang hingga kini tumpuan
kehidupan terbesar bangsa kita. Ia juga erat hubungannya dengan irama iklim, datang musim
kering dan musim hujan, yang mempengaruhi pola kehidupan di Indonesia. Musim panen
merupakan musim perkawinan umpamanya. Pemujaan nenek moyang merupakan salah satu akar
budaya bangsa Indonesia. Pandangan kosmik mengenai kontradiksi antara dunia bawah dan
dunia atas tercermin dalam organisasi sosial berbagai suku bangsa kita; garis ibu dan garis ayah,
hubungann dasar antara dua suku yang saling mengambil laki-laki dan perempuan dari dua suku
untuk perkawinan, membuat tiada satu suku lebih tinggi kedudukannya dari yang lain. Setiap
suku bergantian menduduki tempat yang superior dan tempat di bawah. Struktur tradisi kesukuan
ini merupakan sebuah mekanisme ke arah demokrasi, yang seandainya kita pandai
mengembangkannya dapat merupakan kekuatan untuk tradisi demokrasi bangsa kita.

Datangnya agama Budha, Hindu dan Islam, bangkitnya feodalisme, lalu datang orang
Eropa membawa penindasan penjajah, dan agama Nasrani, lalu lewat pendidikan Barat masuk
pula ilmu pengetahuan modern dan tekonologi modern telah mendorong berbagai proses
kemasyarakatan, politik, ekonomi, dan budaya, yang akhirnya membawa manusia Indonesia
pada keadaan hari ini. Akar budaya lama jadi layu dan terlupakan, meskipun ada diantaranya
tanpa kita sadari masih berada terlena di bawah sadar kita. Bangkitnya feodalisme di Indonesia
dengan lahirnya berbagai kerajaan besar dan kecil telah mengubah hubungan antara kekuasaan
dan manusia atau anggota masyarakat. Penjajahan Belanda menggunakan sistem menguasai dan
memerintah melalui kelas bangsawan atau feodal lama Indonesia telah meneruskan tradisi feodal
berlangsung terus dalam masyarakat kita. Malahan setelah Indonesia merdeka, hubungan-
hubungan diwarnai nilai-nilai feodalisme masih berlangsung terus, hingga sering kita
mengatakan bahwa kita kini menghadapi neo-feodalisme dalam bentuk-bentuk baru.
Semua pendidikan modern, falsafah Barat dan Timur, ideologi-ideologi yang datang dari
Barat mengenai manusia dan masyarakat. Agama Islam dan Nasrani yang jadi lapis terakhir di
atas kepercayaan-kepercayaan lama dan nilai-nilai akar budaya kita, oleh daya sinkritisme
manusia Indonesia, semuanya diterima dalam dirinya tanpa banyak konflik dalam jiwa dan diri
kita. Sesuatu terjadi dalam diri kita, hingga secara budaya tidak mampu memisahkan yang satu
dari yang lain: mana yang takhyul, mana yang ilmiah, mana yang bayangan, mana yang
kenyataan, mana yang mimpi dan mana dunia nyata. Malahan banyak orang kini membuat ilmu
dan teknologi jadi takhyul dalam arti, orang percaya bahwa ilmu dan teknologi dapat
menyelesaikan semua masalah manusia di dunia. Dan ada yang berbuat sebaliknya. Kita jadi
tidak tajam lagi membedakan mana yang batil dan mana yang halal. Karena itu beramai-ramai
dan penuh kebahagiaan kita melakukan korupsi besar-besaran, dan tidak merasa bersalah sama
sekali (Lubis, dalam ”Pembebasan Budaya-Budaya Kita; 1999).

KEBUDAYAN BARAT DI INDONESIA

Proses akulturasi di Indonesia tampaknya beralir secara simpang siur, dipercepat oleh
usul-usul radikal, dihambat oleh aliran kolot, tersesat dalam ideologi-ideologi, tetapi pada
dasarnya dilihat arah induk yang lurus: ”the things of humanity all humanity enjoys”.
Terdapatlah arus pokok yang dengan spontan menerima unsur-unsur kebudayaan internasional
yang jelas menguntungkan secara positif. Akan tetapi pada refleksi dan dalam usaha
merumuskannya kerap kali timbul reaksi, karena kategori berpikir belum mendamaikan diri
dengan suasana baru atau penataran asing. Taraf-taraf akulturasi dengan kebudayaan Barat pada
permulaan masih dapat diperbedakan, kemudian menjadi overlapping satu kepada yang lain
sampai pluralitas, taraf, tingkat dan aliran timbul yang serentak. Kebudayaan Barat
mempengaruhi masyarakat Indonesia, lapis demi lapis, makin lama makin luas lagi dalam
(Bakker; 1984).

Apakah kebudayaan Barat modern semua buruk dan akan mengerogoti Kebudayaan
Nasional yang kita gagas? Oleh karena itu, kita perlu merumuskan definisi yang jelas tentang
Kebudayaan Barat Modern. Frans Magnis Suseno dalam bukunya ”Filsafat Kebudayan Politik”,
membedakan tiga macam Kebudayaan Barat Modern:

a. Kebudayaan Teknologi Modern

Pertama kita harus membedakan antara Kebudayan Barat Modern dan Kebudayaan
Teknologis Modern. Kebudayaan Teknologis Modern merupakan anak Kebudayaan Barat. Akan
tetapi, meskipun Kebudayaan Teknologis Modern jelas sekali ikut menentukan wujud
Kebudayaan Barat, anak itu sudah menjadi dewasa dan sekarang memperoleh semakin banyak
masukan non-Barat, misalnya dari Jepang. Kebudayaan Tekonologis Modern merupakan sesuatu
yang kompleks. Penyataan-penyataan simplistik, begitu pula penilaian-penilaian hitam putih
hanya akan menunjukkan kekurangcanggihan pikiran. Kebudayaan itu kelihatan bukan hanya
dalam sains dan teknologi, melainkan dalam kedudukan dominan yang diambil oleh hasil-hasil
sains dan teknologi dalam hidup masyarakat: media komunikasi, sarana mobilitas fisik dan
angkutan, segala macam peralatan rumah tangga serta persenjataan modern. Hampir semua
produk kebutuhan hidup sehari-hari sudah melibatkan teknologi modern dalam pembuatannya.
Kebudayaan Teknologis Modern itu kontradiktif. Dalam arti tertentu dia bebas nilai,
netral. Bisa dipakai atau tidak. Pemakaiannya tidak mempunyai implikasi ideologis atau
keagamaan. Seorang Sekularis dan Ateis, Kristen Liberal, Budhis, Islam Modernis atau Islam
Fundamentalis, bahkan segala macam aliran New Age dan para normal dapat dan mau
memakainya, tanpa mengkompromikan keyakinan atau kepercayaan mereka masing-masing.
Kebudayaan Teknologis Modern secara mencolok bersifat instumental.

b. Kebudayaan Modern Tiruan

Dari kebudayaan Teknologis Modern perlu dibedakan sesuatu yang mau saya sebut
sebagai Kebudayaan Modern Tiruan. Kebudayaan Modern Tiruan itu terwujud dalam lingkungan
yang tampaknya mencerminkan kegemerlapan teknologi tinggi dan kemodernan, tetapi
sebenarnya hanya mencakup pemilikan simbol-simbol lahiriah saja, misalnya kebudayaan
lapangan terbang internasional, kebudayaan supermarket (mall), dan kebudayaan Kentucky Fried
Chicken (KFC). Di lapangan terbang internasional orang dikelilingi oleh hasil teknologi tinggi,
ia bergerak dalam dunia buatan: tangga berjalan, duty free shop dengan tawaran hal-hal yang
kelihatan mentereng dan modern, meskipun sebenarnya tidak dibutuhkan, suasana non-real kabin
pesawat terbang; semuanya artifisial, semuanya di seluruh dunia sama, tak ada hubungan batin.

Kebudayaan Modern Tiruan hidup dari ilusi, bahwa asal orang bersentuhan dengan hasil-
hasil teknologi modern, ia menjadi manusia modern. Padahal dunia artifisial itu tidak
menyumbangkan sesuatu apapun terhadap identitas kita. Identitas kita malahan semakin kosong
karena kita semakin membiarkan diri dikemudikan. Selera kita, kelakuan kita, pilihan pakaian,
rasa kagum dan penilaian kita semakin dimanipulasi, semakin kita tidak memiliki diri sendiri.
Itulah sebabnya kebudayaan ini tidak nyata, melainkan tiruan, blasteran. Anak Kebudayaan
Modern Tiruan ini adalah Konsumerisme: orang ketagihan membeli, bukan karena ia
membutuhkan, atau ingin menikmati apa yang dibeli, melainkan demi membelinya sendiri.
Kebudayaan Modern Blateran ini, bahkan membuat kita kehilangan kemampuan untuk
menikmati sesuatu dengan sungguh-sungguh. Konsumerisme berarti kita ingin memiliki sesuatu,
akan tetapi kita semakin tidak mampu lagi menikmatinya. Orang makan di KFC bukan karena
ayam di situ lebih enak rasanya, melainkan karena fast food dianggap gayanya manusia yang
trendy, dan trendy adalah modern.

c. Kebudayaan-Kebudayaan Barat

Kita keliru apabila budaya blastern kita samakan dengan Kebudayaan Barat Modern.
Kebudayaan Blastern itu memang produk Kebudayaan Barat, tetapi bukan hatinya, bukan
pusatnya dan bukan kunci vitalitasnya. Ia mengancam Kebudayaan Barat, seperti ia mengancam
identitas kebudayaan lain, akan tetapi ia belum mencaploknya. Italia, Perancis, spayol, Jerman,
bahkan barangkali juga Amerika Serikat masih mempertahankan kebudayaan khas mereka
masing-masing. Meskipun di mana-mana orang minum Coca Cola, kebudayaan itu belum
menjadi Kebudayaan Coca Cola.
Orang yang sekadar tersenggol sedikit dengan kebudayaan Barat palsu itu, dengan
demikian belum mesti menjadi orang modern. Ia juga belum akan mengerti bagaimana orang
Barat menilai, apa cita-citanya tentang pergaulan, apa selera estetik dan cita rasanya, apakah
keyakinan-keyakinan moral dan religiusnya, apakah paham tanggung jawabnya (Suseno; 1992).

SITUASI BUDAYA INDONESIA

Dalam pemaparan tentang akar budaya di atas tadi telah kita ketahui bahwa nenek
moyang kita adalah nenek moyang yang tangguh dan bangsa ini telah mampu melakukan
akulturasi secara positif sehingga kita bisa mengintegrasikan kebudayaan luar untuk
meningkatkan budaya sendiri. Namun kita harus melihat secara riil bagaimanakah keadaan
budaya kita hari ini.

Sajiman Surjohadiprojo dalam pidato kebudayaannya di tahun 1986 menyampaikan


tentang persoalah kita hari ini, yaitu kurang kuatnya kemampuan mengeluarkan energi pada
manusia Indonesia. Hal ini mengakibatkan kurang adanya daya tindak atau kemampuan berbuat.
Rencana konsep yang baik, hasil dari otak cerdas, tinggal dan rencana dan konsep belaka karena
kurang mampu untuk merealisasikannya. Akibat lainnya adalah pada disiplin dan pengendalikan
diri. Lemahnya disiplin bukan karena kurang kesadaran terhadap ketentuan dan peraturan yang
berlaku, melainkan karena kurang mampu untuk membawakan diri masing-masing menetapi
peraturan dan ketentuan yang berlaku. Kurangnya kemampuan mnegeluarkan energi juga
berakibat pada besarnya ketergantungan pada orang lain. Kemandirian sukar ditemukan dan
mempunyai dampak dalam segala aspek kehidupan termasuk kepemimpinan dan tanggung
jawab. Menurut beliau kelemahan ini merupakan Kelemahan Kebudayaan. Artinya, perbaikan
dari keadaan lemah itu hanya dapat dicapai melalui pendekatan budaya. Pemecahannya harus
melalui pendidikan dalam arti luas dan Nation and Character Building (Surjohadiprodjo, dalam
”Pembebasan Budaya-Budaya Kita; 1999).

Mochtar Lubis juga dalam kesempatan yang sama saat Temu Budaya tahun 1986,
menyampaikan bahwa kondisi budaya kita hari ini ditandai secara dominan oleh ciri:
1. Kontradiksi gawat antara asumsi dan pretensi moral budaya Pancasila dengan kenyataan.
2. Kemunafikan.
3. Lemahnya kreativitas.
4. Etos kerja brengsek.
5. Neo-Feodalisme.
6. Budaya malu telah sirna ( Lubis, 1999).

TANTANGAN KEBUDAYAAN INDONESIA

1. Kebudayaan Modern Tiruan

Tantangan yang sungguh-sungguh mengancam kita adalah Kebudayaan Modern Tiruan.


Dia mengancam justru karena tidak sejati, tidak substansial. Yang ditawarkan adalah semu.
Kebudayaan itu membuat kita menjadi manusia plastik, manusia tanpa kepribadian, manusia
terasing, manusia kosong, manusia latah.
Kebudayaan Blasteran Modern bagaikan drakula: ia mentereng, mempunyai daya tarik
luar biasa, ia lama kelamaan meyedot pandangan asli kita tentang nilai, tentang dasar harga diri,
tentang status. Ia menawarkan kemewahan-kemewahan yang dulu bahkan tidak dapat kita
impikan. Ia menjanjikan kepenuhan hidup, kemantapan diri, asal kita mau berhenti berpikir
sendiri, berhenti membuat kita kehilangan penilaian kita sendiri. Akhirnya kita kehabisan darah ,
kehabisan identitas. Kebudayaan modern tiruan membuat kita lepas dari kebudayaan tradisional
kita sendiri, sekaligus juga tidak menyentuh kebudayaan teknologis modern sungguhan
(Suseno;1992)

2. Bagaimana Memberi Makan, Sandang, dan Rumah

Ki Hajar Dewantara mengatakan bahwa, budaya adalah perjuangan manusia dalam


mengatasi masalah alam dan zaman. Permasalahan yang paling mendasar bagi manusia adalah
masalah makan, pakaian dan perumahan. Ketika orang kekurangan gizi bagaimana ia akan
mendapat orang yang cerdas. Ketika kebutuhan pokok saja tidak terpenuhi bagaimana orang
akan berpikir maju dan menciptakan teknologi yang hebat. Jangankan untuk itu, permasalahan
pemenuhan kebutuhan kita sangat mempengaruhi pola hubungan di antara manusia. Orang rela
mencuri bahkan membunuh agar ia bisa makan sesuap nasi. Sehingga, kelalaian dalam hal ini
bukan hanya berdampak pada kemiskinan, kelaparan, kematian, akan tetapi akan berpengaruh
dalam tatanan budaya-sosial masyarakat.

3. Masalah Pendidikan yang Tepat

Pendidikan masih menjadi permasalahan yang menjadi perhatian serius jika bangsa ini
ingin dipandang dalam percaturan dunia. Ada fenomena yang menarik terkait dengan hal ini,
yaitu mengenai kolaborasi kebudayaan dengan pendidikan, dalam artian bagaimana sistem
pendidikan yang ada mengintrinsikkan kebudayaan di dalamnya. Dimana ada suatu kebudayaan
yang menjadi spirit dari sistem pendidikan yang kita terapkan.

4. Mengejar Kemajuan Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

Problem ini beranjak ketika kita sampai saat ini masih menjadi konsumen atas produk-
produk teknologi dari negara luar. Situasi keilmiahan kita belum berkembang dengan baik dan
belum didukung oleh iklim yang kondusif bagi para ilmuan untuk melakukan penelitian dan
penciptaan produk-produk, teknologi baru. Jika kita tetap mengandalkan impor produk dari luar
negeri, maka kita akan terus terbelakang. Oleh karena itu, hal ini tantangan bagi kita untuk
mengejar ketertinggalan iptek dari negara-negara maju.

5. Kondisi Alam Global

Beberapa waktu yang lalu di halaman depan harian Kompas tanggal 12 April 2007, ada
berita menarik mengenai keadaan bumi hari ini, ’Pemanasan Global, Jutaan Orang akan
Teracam”. Pemanasan global akan memberi dampak negatif yang nyata bagi kehidupan ratusan
juta warga di dunia. Demikianlah antara lain isi laporan kedua PBB yang sudah dipublikasikan
tahun 2007. Laporan pertama berisikan bukti ilmiah perubahan iklim, sedangkan laporan ketiga
akan membeberkan tindakan untuk menanganinya. Laporan para pakar yang tergabung dalam
Intergovermental Panel on Climate Change (IPCC) dibeberkan dalam jumpa pers secara serentak
di berbagai belahan dunia, Selasa (10/04/2007). Laporan setebal 1.572 halaman itu ditulis dan
dikaji 441 anggota IPCC.

Salah satu dampak pemanasan global adalah meningkatnya suhu permukaan bumi
sepanjang lima tahun mendatang. Hal itu akan mengakibatkan gunung es di Amerika Latin
mencair. Dampak lanjutannya adalah kegagalan panen, yang hingga tahun 2050 mengakibatkan
130 juta penduduk dunia, terutama di Asia, kelaparan. Pertanian gandum di Afrika juga akan
mengalami hal yang sama. Laporan itu menggarisbawahi dampak pemanasan global berupa
meningkatnya permukaan laut, lenyapnya beberapa spesies dan bencana nasional yang makin
meningkat. Disebutkan, 30% garis pantai di dunia akan lenyap pada 2080. Lapisan es di kutub
mencair hingga terjadi aliran air di kutub utara. Hal itu akan mengakibatkan terusan Panama
terbenam.

Naiknya suhu memicu topan yang lebih dasyat hingga mempengaruhi wilayah pantai
yang selama ini aman dari gangguan badai. Banyak tempat yang kini kering makin kering,
sebaliknya berbagai tempat basah akan semakin basah. Kesenjangan distribusi air secara alami
ini akan berpotensi meningkatkan ketegangan dalam pemanfaaatan air untuk kepentingan
industri, pertanian dan penduduk. Asia menjadi bagian dari bumi yang akan paling parah.
Perubahan iklim yang tak terdeteksi akan menjadi bencana lingkungan dan ekonomi, dan
buntutnya adalah tragedi kemanusiaan. Laporan itu mengingatkan, setiap kenaikan suhu udara 2
derajat celsius, antara lain akan menurunkan produksi pertanian di Cina dan Bangladesh hingga
30 persen hingga 2050. Kelangkaan air meningkat di India seiring dengan menurunya lapisan es
di Pegunungan Himalaya. Sekitar 100 juta warga pesisir di Asia pemukimannya tergenang
karena peningkatan permukaan laut setinggi antara 1 milimeter hingga 3 milimeter setiap tahun.
Saat ini, pemanasan global sudah terasa dengan terjadinya kematian dan punahnya spesies di
Afrika dan Asia (Kompas, Kamis 12 April 2007).

MENUJU PERADABAN INDONESIA

Untuk membuat formulasi kebudayaan yang khas dan bisa menjawab tantangan zaman ke
depan bukanlah pekerjaan yang mudah. Perlu adanya suatu kebersamaan dan peran serta setiap
warga negara ini. Para pemikir dan ilmuan harus bekerja secara keras untuk membuat suatu
konsep yang jelas dalam pencapaian ini.

Tujuan nasional perjuangan bangsa Indonesia adalah menciptakan masayarakat yang adil
dan makmur. Perjuangan menuju peradaban Indonesia yang ideal membutuhkan waktu dan
perjuangan. Pengakuan sebagai salah satu peradaban dunia harus memiliki beberapa syarat.
Syarat-syarat itu dapat kita lihat dari perwujudan peradaban di dunia sejak permulaan sejarah
manusia. Nampaknya, kehidupan satu masyarakat diakui sebagai satu peradaban kalau
menunjukkan kehidupan lahiriah yang maju, dan kemajuan itu cukup menonjol dari kehidupan
lahiriah masyarakat lain (Sajidiman, dalam “Pembebasan Budaya-Budaya Kita” ;1999).
Kehidupan lahiriah yang maju itu merupakan hasil dari penguasaan ilmu pengetahuan
dan teknologi yang berlaku di zamannya. Bahkan dalam masyarakat itu terjadi perkembangan
berupa penemuan dan inovasi dalam iptek. Sebagai hasil penguasaan iptek dapat dimajukan
produksi pertanian dan kesejahteraan petani. Hal yang sama berlaku bagi produksi di lautan dan
kesejahteraan para nelayan dan pelaut. Industrialisasi mengalami perkembangan yang tinggi
dengan menghasilkan berbagi macam barang yang disukai di dalam dan luar negeri. Berbagai
prasaran, yaitu penghasil energi listrik, aneka ragam komunikasi, keadaan jalan darat,
perhubungan darat, laut dan udara, semuanya dalam kondisi yang sesuai dengan perkembangan
iptek internasional mutakhir. Kesejahtreaan merata di antara seluruh anggota masyarakat. Dan
kalau ada rakyat yang miskin, maka itu merupakan minoritas kecil. Ini memungkinkan rakyat
menyekolahkan anak-anaknya dengan baik, dan prasarana pendidikan tersedia dengan kualitas
dan kuantitas yang memadai. Standar hidup yang tinggi dalam masyarakat memungkinkan
bagian besar produksi pertanian dan isdustri dipasarkan dalam masyarakat sendiri, sehingga
ketergantungan pada masyarakat luar tidak terlampau besar (Sajidiman, dalam “Pembebasan
Budaya-Budaya Kita” ; 1999).

Kondisi itu mendukung berkembangnya seni dan sastra yang kreatif. Berbagai kesenian
mengalami kemajuan dan dilakukan penduduk dalam jumlah besar. Kesusasteraan menghasilkan
buku dan hasil tulisan lain, yang banyak jumlahnya dan variasinya, serta terbeli oleh mayoritas
masyarakat. Arsitektur menghasilkan rumah-rumah tempat tinggal, gedung-gedung
pemerintahan, tempat-tempat ibadah yang indah, tapi juga kokoh dan tahan lama (Sajidiman,
dalam “Pembebasan Budaya-Budaya Kita” ; 1999). Kondisi sosial cukup mantap dengan
menunjukkan kehidupan keluarga yang sehat dan kokoh, kurang adanya pengangguran dan tidak
ada kelaparan. Mungkin krimanalitas tidak dapat ditiadakan seratus persen, tetapi jumlah amat
sedikit dan terkontrol. Akan tetapi peradaban tidak hanya memerlukan kehidupan lahiriah yang
maju dan menonjol, juga perlu ada kehidupan rohaniah yang mantap dan merata (Sajidiman,
dalam “Pembebasan Budaya-Budaya Kita” ; 1999).

Kehidupan beragama dilakukan oleh penduduk dengan penuh keimanan dan ketaqwaan.
Dan kerukunan antar berbagai agama berjalan baik. Orang tidak menjalankan ketentuan agama
hanya sebagai ritual belaka, tetapi mempunyai dampak nyata dalam kehidupan yang bermoral
dan disiplin tinggi. Maka ada kemampuan kendali diri yang cukup kuat. Itulah yang turut
menyemarakkan kehidupan demokrasi yang mewujudkan kedaulatan rakyat. Dalam berbagai
profesi, etik dijunjung tinggi tanpa mengurangi dinamika yang diperlukan masyarakat pada
zaman itu (Sajidiman, dalam “Pembebasan Budaya-Budaya Kita” ; 1999). Persatuan bangsa
terpelihara dengan baik, tanpa mengurangi hak dan kemampuan setiap unsur bangsa
mengembangkan dirinya secara lahiriah dan batiniah. Adanya prasarana yang baik dalam
berbagai bidang turut mendukung persatuan bangsa. Akan tetapi yang lebih penting adalah
kesadaran tentang hubungan harmonis antara bagian dan keseluruhan (Sajidiman, dalam
“Pembebasan Budaya-Budaya Kita” ; 1999).

Hubungan luar negeri dengan bangsa-bangsa lain diselenggarakan dengan baik untuk
membina perdamain dunia dan kesejahteraan umat manusia. Khususnya dengan lingkungan Asia
Tenggara ada hubungan erat dan harmonis. Terhadap bangsa-bangsa yang tergolong miskin dan
terbelakang dapat diadakan bantuan lahiriah dan batiniah yang mengusahakan kemajuan mereka
(Sajidiman, dalam “Pembebasan Budaya-Budaya Kita” ; 1999).
EPILOG

Dipahami bahwa kebudayaan merupakan respon positif manusia terhadap situasi dan
kondisi yang terjadi di sekitarnya. Selain itu, budaya merupakan manifestasi dari aspek manusia
yang multi-dimensional. Segala teori kebudayaan terlalu lamban untuk memahami keseharian
manusia yang bergerak cepat. Manusia tidak sekedar merajut makna lewat kerja,melainkan
komunikasi inter-subjektif dengan simbol-simbol. Manusia sehari-hari adalah manusia yang
bercakap, merenung dan mamaknai. Kebudayaan adalah festival kemajemukkan dimensi
manusia dan menolak segala bentuk reduksionisme. Manusia bukan semata-mata makhluk
ekonomi yang melulu berfokus pada bagaimana bertahan hidup. Ruang refleksi yang tertutup
oleh determinasi kerja dibukakan secara kultural. Kebudayaan adalah lokus dimana manusia
bukan sekedar pedagang dan pembeli, melainkan makhluk multi-dimensi. Setiap dimensi dalam
dirinya memiliki hak yang sama untuk diutarakan ( Adian, dalam Kompas 14 April 2007;14)

Terkait dengan formulasi kebudayaan Indonesia, merupakan suatu keharusan kita untuk
lebih menyelami karakteristik manusia-manusia Indonesia yang telah terbentuk sekian lama
semenjak periode sebelum masehi. Dan juga harus mempertimbangkan faktor alam yang
melingkarinya. Sehingga, kita tidak terpaku dan larut dalam arus kebudayaan global hari ini,
yang belum tentu sesuai dengan kepribadian bangsa kita. Mudah-mudahan cita-cita menuju
peradaban Indonesia yang maju bukanlah sekedar mimpi belaka!

Teori Sistem Budaya Indonesia

Pengantar. Indonesia, sebagai sebuah bangsa, terbangun di atas aneka budaya yang
berbeda-beda tetapi diasumsikan tetap “satu” : Bhinneka Tunggal Ika. Berbeda dengan Jepang
ataupun Korea, Indonesia tidak terbangun atas kultur yang homogen. Bahkan, untuk wilayah
Papua saja terdapat kurang lebih 132 suku bangsa dan bahasa yang berlainan. Itu belum lagi
budaya yang terdapat di pulau-pulau Kalimantan, Sumatera, Jawa, dan lainnya. Lalu, bagaimana
dapat seseorang memutuskan bahwa ia tengah mengamati atau mempelajari budaya Indonesia?
Tentu saja, Indonesia tadinya merupakan sebuah konsep abstrak. Indonesia merupakan sebuah
ide yang dibentuk oleh para founding fathers guna mempersatukan wilayah-wilayah nusantara ke
dalam ikatan nation yang lebih besar secara politik mengatasi sekat-sekat regional dan etnis.
Secara politik, tatkala seseorang mempelajari budaya Sekaten di Keraton Yogyakarta, dapat saja
dikatakan bahwa ia tengah mempelajari budaya Indonesia. Atau, dikala seorang peneliti
mempelajari budaya pemeliharaan tanaman hutan pada Suku Kubu di Jambi, ia juga dikatakan
tengah mempelajari budaya Indonesia. Yogyakarta dan Jambi merupakan dua wilayah yang
terikat ke dalam sebuah nation yang bernama Indonesia.
Atau, budaya nasional Indonesia tampak tatkala publik di luar Indonesia mengklaim salah satu
budaya “daerah” yang masuk wilayah Indonesia. Tatkala Malaysia memuat Tari Pendet dalam
brosur pariwisatanya, publik Indonesia menganggapnya sebagai “penyerobotan” budaya. Ini juga
terjadi tatkala Batik, yang dianggap sebagai produk budaya Indonesia, dipatenkan oleh negara-
negara lain. Publik Indonesia yang “marah” terhadap sikap negara lain tersebut, misalnya dalam
kasus Tari Pendet, bukan hanya orang Bali saja melainkan lintas primordial suku di Indonesia.
Ini membuktikan signifikansi kajian mengenai budaya Indonesia: Kendati terbelah menjadi
aneka suku dengan produk budaya sendiri-sendiri, seluruh budaya berbeda tersebut telah diberi
trademark sebagai budaya Indonesia.
Masalah yang kerap muncul dalam negara dengan multikultur adalah masalah primordial.
Suku, agama, golongan, ataupun ras yang berbeda-beda kerap bersitegang satu dengan lainnya
guna mempertahankan eksistensi mereka. Manifestasi dari hal tersebut adalah maraknya konflik
antar masyarakat Indonesia seperti di Poso, Papua, Sampit, Maluku, atau kerusuhan antara
golongan pribumi versus etnis Cina. Integrasi nasional merupakan pekerjaan rumah yang rumit
dan berat tetapi harus diselesaikan oleh seluruh elemen yang mengaku bagian dari nation
Indonesia.

Definisi Budaya
Dalam mendekati permasalahan budaya Indonesia, akan digunakan sejumlah teori
gunamendekatinya. Teori ini bermanfaat selaku penjelasan seputar konsep budaya yang
digunakan dalam tulisan ini. Lewat teori-teori budaya, kita juga akan lebih memahami aspek-
aspek apa saja yang patut dikaji seputar Sistem Budaya Indonesia.
Menurut Kathy S. Stolley, budaya adalah seluruh gagasan (ide), keyakinan, perilaku, dan
produk-produk yang dihasilkan secara bersama, dan menentukan cara hidup suatu kelompok.
Budaya meliputi semua yang dikreasi dan dimiliki manusia tatkala mereka saling berinteraksi.
Stolley menjelaskan bahwa budaya meliputi aspek material dan nonmaterial yang dihasilkan
masyarakat tertentu. Budaya merupakan produk masyarakat yang muncul dari interaksi antar
individu di dalam masyarakat. Budaya juga turut menentukan cara hidup suatu masyarakat.

Definisi budaya lainnya diajukan oleh A.L. Kroeber and Clyde Kluckhorn. Menurut
Kroeber and Kluckhorn,

“... culture consists of patterns, explicit and implisit, of and for behavior acquired and
transmitted by symbols, constituting the distinctive achievement of human groups,
including their embodiments in artifacts; the essential core of culture consists of
traditional (i.e., historically derived and selected) ideas and especially their attached
values; culture systems may on the one hand, be considered as products of action, on the
other as conditioning elements of further action.”

Kroeber dan Kluckhorn menjelaskan bahwa budaya tidak hanya terdiri atas obyek-obyek
fisik. Budaya melibatkan representasi fisik dan mental secara simbolik dalam melukiskan dunia.
Hanya representasi-representasi yang relatif stabil dan membentuk sistem hubungan antar
anggota dari suatu kelompok sosial yang dapat dikatakan sebagai bersifat “budaya”. Sebab itu,
budaya mampu membedakan suatu kelompok sosial satu dengan kelompok sosial lainnya.
Penulis lain yang cukup awal dalam meretas jalan ke arah studi budaya adalah Robert L.
Sutherland dan Julian L. Woodward dalam karyanya Introductory Sociology. Dalam bahasannya
mengenai suku-suku di Amerika, Sutherland dan Woodward berupaya menjelaskan apa itu
budaya jika dikontraskan dengan ras. Menurut mereka, ras adalah bersifat genetik-fisik berupa
warna kulit, bentuk hidung, warna rambut dan ekspresi-ekspresi tubuh lain yang tampak. Ras
diturunkan dari generasi ke generasi lewat mekanisme pewarisan biologis.

Budaya, menurut Sutherland and Woodward meliputi seluruh cara berbuat di mana
seseorang mempelajarinya selaku anggota masyarakat. Termasuk ke dalam budaya adalah
pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat-istiadat, peralatan, dan tata cara
berkomunikasi. Budaya diwariskan dari satu generasi ke generasi lain lewat mekanisme sosial
berupa instruksi dan pemberian teladan dari anggota masyarakat senior kepada junior.

Peneliti lain seperti David Matsumoto dan Linda Juang kemudian membedah budaya
secara lebih mendetail dalam bukunya Culture and Psychology. Menurut Matsumoto and Juang,
budaya adalah “
... a dynamic system of rules, explicit and implicit, established by groups in order to
ensure their survival, involving attitudes, values, beliefs, norms, and behaviors, shared by
a group but harbored differently by each specific unit within the group, communicated
accross generations, relatively stable but with the potential to change accross time.”

Budaya bersifat dinamis oleh sebab budaya menggambarkan rata-rata kecenderungan


perilaku. Budaya tidak bisa menggambarkan seluruh perilaku individu dalam masyarakat yang
mempraktekkan budaya tertentu. Selalu akan ada perbedaan perilaku antar individu kendatipun
kecil. Perbedaan ini menciptakan ketegangan dinamis (dynamic tension) berupa “gap budaya”
antara satu individu dengan individu lain atau antara junior dengan seniornya. Atas dasar ini,
budaya kemudian secara perlahan tetapi pasti mengalami perubahan. Budaya juga merupakan
seperangkat sistem aturan. Budaya tidak mengacu pada satu perilaku, aturan, sikap, ataupun nilai
saja. Budaya mengacu pada keseluruhan dari paduan dari aspek-aspek tersebut. Sebagai sebuah
sistem, budaya mengkaitkan perilaku, aturan, sikap, dan nilai secara harmonis satu sama lain.

Budaya merujuk pada kelompok dan unit-unit sosial. Budaya hadir di setiap tingkatan
---antarindividu dalam kelompok atau antarkelompok dalam suatu kelompok besar (misalnya
korporasi bisnis). Pendapat ini menyatakan suatu relativitas budaya, bahwa dalam suatu budaya
“besar” sesungguhnya terdapat budaya-budaya yang lebih “kecil” yang merupakan bagian di
dalamnya dan terkadang mengalami ketegangan dengan budaya yang lebih “besar” tadi.

Budaya memastikan kelangsungan hidup suatu kelompok. Sistem aturan yang


membentuk budaya secara esensial memastikan kelangsungan hidup suatu kelompok. Aturan-
aturan ini memungkinkan tiap-tiap unit dalam kelompok hidup bersama satu sama lain,
memungkinkan keteraturan sosial (social order) tinimbang situasi kacau atau kebebasan mutlak.
Secara umum, budaya merupakan cara manusia untuk memenjarakan, mengendalikan, dan
menghidari chaos. Budaya juga berpotensi untuk berubah. Budaya adalah entitas dinamis yang
merupakan hasil interaksi ketat antara perilaku, sikap, nilai, keyakinan, dan norma. Tiap unit
dalam masyarakat (individu) selalu berubah setiap saat. Perubahan dari unit-unit ini kemudian
terjadi dalam skala yang dapat saja stagnan atau semakin besar lewat efek bola salju dan
akhirnya, mengubah warna budaya secara keseluruhan. Selanjutnya, Matsumoto and Juang
menjelaskan serangkaian faktor yang mampu mempengaruhi suatu budaya.
Pertama adalah faktor lingkungan. Lingkungan sebagai lokasi dipraktekkannya suatu
kebudayaan mempengaruhi sifat dari budaya itu sendiri. Wilayah yang miskin sumber daya alam
penduduknya cenderung mengembangkan semangat kerja tim dan spirit kelompok seraya
berhubungan dengan kelompok lain yang berlimpah sumber dayanya demi bertahan hidup.
Kebutuhan dan hubungan ini memicu karakteristik dan atribut psikologis tertentu yang
membantu kerja tim, semangat kelompok, dan kesalingbergantungan. Sebaliknya, di wilayah
yang kaya sumber daya alam, masyarakat cenderung tidak memilikinya seperti contoh pertama.
Kedua, faktor kepadatan penduduk. Masyarakat dengan kepadatan populasi yang tinggi
butuh perangkat keteraturan sosial yang lebih besar dalam menjamin keberfungsiannya.
Masyarakat seperti ini lalu menciptakan pengelompokan dan hirarki masyarakat yang lebih rumit
tinimbang masyarakat dengan kepadatan yang lebih rendah.

Ketiga, faktor teknologi. Teknologi semisal teknologi komunikasi (contohnya telepon


seluler dan surat elektronik), mengakibatkan interaksi personal berubah secara cepat. Komputer
memungkinkan orang bekerja secara lebih mandiri, jadi kurang bergantung pada orang lain. Ini
berakibat pada perubahan perilaku dan fungsi-fungsi psikologis seseorang dan lebih jauhnya,
perubahan pada budaya.

Keempat, faktor iklim. Masyarakat yang tingga di dengan khatulistiwa, iklim panas, area
tropis, akan mengembangkan gaya hidup yang sangat berbeda dengan masyarakat yang tinggal
di zona artik atau zona bertemperatur rendah. Perbedaan iklim membentuk pakaian berbeda,
makanan yang dimakan, jenis penyakit, dan alat transportasi.

Dari definisi budaya Stolley di atas, dapat kita peroleh konsep-konsep seperti gagasan,
keyakinan, perilaku, produk, sementara dari pendapat Kroeber and Kluckhorn konsep-konsep
seperti pola perilaku yang diwariskan antargenerasi secara simbolik. Selain itu, masih menurut
Kroeber and Kluckhorn, budaya juga dapat memunculkan tindakan dan mengkondisikan
tindakan-tindakan yang akan diambil di masa kemudian. Budaya membentuk cara bagaimana
orang melihat dunia. Ia berpengaruh atas bagaimana kita berpikir, bertindak, yang dijunjung
tinggi, berbicara, organisasi-organisasi yang dibentuk, ritual yang diselenggarakan, hukum yang
dibuat, apa dan bagaimana yang kita sembah, apa yang kita makan, apa yang kita pakai, dan apa
yang kita sebut sebagai buruk atau baik.

Budaya di dunia sangat bervariasi. Budaya, bagi penganutnya, adalah “normal” ataupun
“lebih baik” ketimbang budaya yang dianut pihak lain. Terkadang seseorang yang memasuki
budaya berbeda akan mengalami “culture shock” atau kejutan budaya. Culture shock adalah
kebingungan yang muncul tatkala seseorang memasuki situasi atau cara hidup yang tidak
dikenal. Seorang suku Sunda mungkin saja terkejut melihat tata cara berpakaian, tatkala ia diberi
kesempatan berkunjung ke kediaman seorang Suku Dani di pedalaman Papua yang masih
menggunakan koteka. Keterasingan yang ia alami tatkala mengalami itu dapat disebut sebagai
cultural shock.

Komponen-komponen Budaya

Budaya masyarakat satu berbeda dengan budaya masyarakat lainnya. Sebab itu budaya
sangat bervariasi bergantung pada serangkaian faktor yang mempengaruhinya seperti dijelaskan
Matsumoto dan Juang di atas. Namun, kendati satu sama lain berbeda, budaya memiliki
serangkaian komponen yang terdapat di setiap jenis kebudayaan. Kita bisa secara mudah
mengenali suatu budaya lewat manifestasi dari komponen-komponen ini. Komponen-komponen
tersebut terdiri atas komponen Material dan Normaterial. Komponen nonmaterial misalnya
adalah: (1) Simbol; (2) Bahasa; (3) Nilai; dan (4) Norma. Sementara komponen Material budaya
adalah : (1) Perkakas; (2) Makanan; (3) Pakaian; (4) Arsitektur.
Simbol
Simbol adalah segala sesuatu yang mewakili makna suatu lainnya. Budaya mustahil eksis
tanpa simbol karena dengan begitu para anggota masyarakat tidak bisa saling berbagi makna.
Simbol dapat menciptakan loyalitas, kegairahan, cinta, dan benci. Simbol mampu
mengkomunikasikan obyek abstrak ke dalam suatu yang visible atau bisa dicerap panca indera.
Misalnya bendera adalah simbol nasionalisme, patriotisme, semangat partai, atau komunitas
keagamaan. Misal simbol lainnya adalah merpati (damai), cinta (hati), atau letter P (boleh
parkir). Suatu gambar yang sederhana, mudah dimengerti, tetapi memiliki penafsiran yang sangat
luas.

Manifestasi simbol lain termasuk pakaian. Dapat kita lihat misalnya baret prajurit
angkatan laut berbeda dengan angkatan darat, termasuk warna dan pernak-pernik lainnya.
Dengan menggunakan seragam tertentu, yang menggunakan secara mudah langsung dapat
diidentifikasi asal-usul komunitasnya. Budaya masyarakat apapun dapat secara mudah
diidentifikasi lewat simbol-simbolnya.

Bahasa
Bahasa adalah seperangkat simbol yang mengekspresikan gagasan dan memungkinkan
orang untuk berpikir dan berkomunikasi satu sama lain. Bahasa terdiri atas bahasa verbal dan
bahasa nonverbal (tulisan, gerak-gerik). Bahasa ini juga dimiliki oleh hewan dan kelompoknya
semisal suara, sentuhan, penciuman, dan gerak-gerik guna berkomunikasi satu sama lain.
Namun, bahasa hewan berlangsung secara “fix meaning” atau makna yang tetap dan turun-
temurun tanpa perubahan. Sementara beda manusia adalah mampu memanipulasi simbol-simbol
secara lebih rumit.

Nilai
Nilai adalah gagasan tentang apa yang baik, adil, layak, atau benar. Nilai dalam budaya
masyarakat yang satu cenderung berbeda dengan nilai dalam masyarakat yang lain. Nilai
berfungsi selaku pengatur agar individu-individu di dalam suatu masyarakat saling bekerja sama
guna mencapai tujuan masyarakat secara keseluruhan. Atau, nilai memainkan peran penting
akibat ia merupakan representasi kognitif (pengetahuan) seputar hasrat dan kebutuhan individual
di satu sisi dengan tuntutan masyarakat di sisi lain. Nilai budaya yang membuat masyarakat satu
berbeda dengan masyarakat lain seputar isu-isu hukuman mati, pernikahan sesama jenis, aborsi,
euthanasia, penodaan agama, prostitusi, konsumsi alkohol, dan sejenisnya.

Lebih lanjut, nilai merupakan suatu konsep yang luas dan multidefinisi. Sebab itu, kini
akan dirangkum beberapa pengertian nilai sebagai berikut :

1. Nilai adalah keyakinan. Namun, nilai bukanlah tujuan atau gagasan yang kaku. Lebih
dari itu, tatkala nilai telah diaktifkan ia kemudian dipengaruhi oleh perasaan.
2. Nilai mengacu pada tujuan yang diinginkan (misalnya kesetaraan) dan tata cara
bagaimana mencapai tujuan tersebut (misalnya saling bantu, fairplay).
3. Nilai mentransendensikan situasi dan tindakan tertentu. Kepatuhan, misalnya, adalah
relevan tatkala ada di tempat kerja atau sekolah, ataupun keluarga.
4. Nilai memberikan standar guna mengarahkan pilihan atau evaluasi atas perilaku, orang,
atau peristiwa.
5. Nilai diurutkan dari yang relatif penting dan seterusnya. Urutan perangkat nilai ini
kemudian membentuk sistem prioritas nilai. Budaya dan individu dikarakteristikkan oleh
sistem prioritas nilainya.

Salah satu kajian menarik diberikan Shalom H. Schwartz mengenai nilai-nilai yang bersifat
lintas budaya. Nilai-nilai yang yang dipergunakan tampak pada diagram di bawah ini :
Keterangan:

1. Universalism : “pemahaman, apresiasi, toleransi, dan perlindungan bagi kesejahteraan


untuk orang ataupun lingkungan.”
2. Benevolence : “preservasi dan penguatan kesejahteraan orang lain dengan mana ini
dilakukan dalam aneka kontak personal.”
3. Conformity: “pengendali tindakan-tindakan, inklinasi, dan impuls yang mampu
mengecewakan atau membuat marah orang lain serta melanggar ekspektasi (harapan)
sosial atau norma.”
4. Tradition : “respek, komitmen, dan penerimaan atas kebiasaan serta gagasan bahwa suatu
budaya atau agama berhak mengatur individu.”
5. Security: “keamanan, harmoni, dan stabilitas yang berhubungan dengan masyarakat,
hubungan antarindividu, dan kedirian.”
6. Power: “penguasaan status sosial dan prestise, serta kendali atau dominasi atas orang
maupun sumber daya.”
7. Achievement: “keberhasilan personal lewat unjuk kompetensi menurut suatu standar
sosial.”
8. Hedonism: “kesenangan atau pemberian sensasi bagi diri sendiri.”
9. Stimulation: “daya tarik, novelty, dan tantangan dalam hidup.”
10. Self-direction: “pikiran dan tindakan bebas dalam memilih, mengkreasi, dan menjelajah.”

Pertama, menurut Schwartz, di setiap kebudayaan nilai-nilai individual terletak di sepanjang


dimensi “self-enhancement” hingga “self-transcendence.” Dimensi-dimensi ini merefleksikan
penjarakan antara nilai yang diorientasikan pada pengejaran self-interest (kepentingan pribadi)
dan nilai yang diorientasikan demi kesejahteraan orang lain.
Kedua, dimensi-dimensi mengkontraskan “openess to change” (keterbukaan untuk
berubah) dengan “conservation” (kecenderungan memelihara yang ada). Openess to change
adalah apa yang memotivasi orang untuk mengejar kepentingan emosional dan intelektual dalam
jalur-jalur yang tidak menentu dan tidak bisa dipastikan. Sementara conservation adalah
kecenderungan memelihara status quo (kondisi saat ini) dan kemenentuan yang disediakan oleh
status quo dalam berhubungan secara erat dengan individu, organisi, dan tradisi lain.

Temuan yang dihasilkan Schwartz misalnya, bangsa-bangsa di Asia Timur lebih


menekankan pada nilai hirarki dan konservatisme. Bangsa-bangsa Eropa lebih menekankan pada
otonomi individual dan egalitarianisme. Bangsa-bangsa yang bermoyang Anglo-Saxon (Inggris,
Amerika Serikat, Australia) jatuh di antara ekstrimitas berikut: pada satu sisi menekankan pada
penguasaan dan otonomi tetapi juga hirarki dalam mana ini bisa menjelaskan besarnya toleransi
orang-orang Anglo-Saxon akan perbedaan penghasilan di negara semisal Amerika Serikat.

Norma
Nilai menyediakan gagasan atau keyakinan tentang suatu perilaku, tetapi tidak
menyatakan secara tegas bagaimana kita harus berperilaku. Norma, di sisi lain, punya fungsi
seputar bagaimana satu individu harus berperilaku. Norma adalah aturan-aturan mapan tentang
standar perilaku atau standar bertindak. Norma terdiri atas Prescriptive Norm dan Proscriptive
Norm.

Prescriptive Norm mengatur perilaku apa saja yang dianggap memang semestinya dan
diterima. Contoh, orang yang berhasil menghasilkan sejumlah uang diharapkan menghitung
pajak dan membayarkannya. Norma-norma yang didasarkan pada kebiasaan mengharuskan kita
segera membantu membukakan pintu bagi orang yang membawa beban berat. Proscriptive Norm
menyatakan apa perilaku yang tidak semestinya atau tidak diterima. Hukum yang melarang kita
untuk tidak melampaui batas kecepatan mengemudi atau menyatakan tidak pantas berbicara di
telepon genggam tatkala tengah belajar di kelas. Baik norma preskriptif maupun proskriptif
beroperasi di setiap tingkatan masyarakat, baik dalam tindakan sehari-hari ataupun formulasi
undang-undang di tingkat parlemen.

Tingkat pentingnya norma-norma yang ada tidak pula selalu sama. Norma-norma yang
dianggap penting dikodifikasi masyarakat secara tertulis (written). Sebab itu, menurut tingkat
pentingnya, norma terbagi atas : Norma Formal dan Norma Informal. Norma Formal adalah
norma yang dikodifikasi dalam kitab hukum resmi serta melibatkan sanksi tertentu bagi
pelanggarnya. Hukum dan undang-undang adalah jenis umum dari Norma Tertulis ini. Sanksi
adalah ganjaran bagi perilaku yang selaras keinginan masyarakat atau hukuman bagi perilaku
yang melanggarnya. Sanksi terdiri atas Sanksi Positif dan Sanksi Negatif. Contoh sanksi positif
adalah pujian, penghormatan, atau medali bagi konformitas atas suatu norma. Sementara Sanksi
Negatif berkisar dari ketidaksetujuan yang halus hingga hukuman mati.

Norma Informal adalah norma yang dianggap tidak terlalu penting, bersifat tidak tertulis,
dan merupakan standar perilaku yang dipahami orang-orang yang saling berbagi identitas yang
sama. Tatkala seseorang melanggar norma informal, orang lain kemungkinan hanya akan
menimpakan sanksi informal. Misalnya, seseorang yang lupa bersalaman di dalam komunitas
yang biasa bersalaman tatkala bertemu, seorang yang buang angin di dalam ruangan hening dan
penuh, membiarkan wanita hamil berdiri sementara seorang lelaki perkasa asik duduk terkantuk-
kantuk dalam bis yang penuh sesak, dan seterusnya dan seterusnya.

Folkways adalah norma informal atau kebiasaan sehari-hari yang mungkin dilanggar
tanpa konsekuensi serius dalam satu budaya tertentu. Folkways menyediakan aturan untuk
bertindak tetapi tidak dianggap esensial bagi kelangsungan hidup suatu masyarakat. Di Amerika
Serikat, folkways termasuk menggunakan deodoran untuk mencegah bau ketiak, menyikat gigi
agar tidak kuning dan bau, serta menggunakan pakaian yang semestinya bagi suatu acara.
Folkways tidak berusaha ditegakkan secara serius oleh masyarakat, tatkala terjadi pelanggaran
(misalnya bau ketiak seseorang yang menyebar di suatu ruangan), sanksi yang diberikan adalah
halus semisal menghindari bicara, menunjukkan gerak-gerik “tidak betah” dan sejenisnya dan
sejenisnya. Termasuk ke dalam folkways adalah kebiasaan mengetuk pintu sebelum masuk ke
suatu ruangan.

Mores adalah norma yang dianggap lebih tinggi dan penting bagi stabilitas suatu
masyarakat. Mores adalah suatu budaya tertentu yang diidentikan dengan masalah moral dan
etika yang pelanggarnya akan menghadapi sanksi yang cukup serius. Mores dibangun berdasar
nilai-nilai budaya suatu masyarakat, pelanggarnya menghadapi Sanksi Negatif yang cukup keras
semisal pemecatan dan pemenjaraan. Masuk ke dalam kategori Mores ini adalah Tabu. Tabu
adalah Mores yang sangat kuat yang pelanggarnya dianggap melakukan penyerangan dan tidak
boleh dibicarakan. Pelanggaran Tabu menghadapi hukuman tidak hanya oleh masyarakat tetapi
juga, pada budaya tertentu, oleh kekuatan Supernatural. Misal dari Tabu ini adalah inses
(perkawinan sedarah) dan cukup bersifat universal.
Law (hukum) adalah norma formal yang distandardisasi serta dibuat oleh legislatif suatu
masyarakat dan dijalankan dengan sanksi-sanksi formal. Hukum terdiri atas hukum perdata dan
hukum pidana. Hukum perdata bicara tentang pertikaian orang atau antar kelompok. Sanksi bagi
hukum perdata biasanya adalah pembayaran denda kepada pihak pemenang pertikaian.
Sebaliknya hukum pidana bicara tentang keamanan dan kehidupan masyarakat. Tatkala hukum
pidana dilanggar, denda, penjara, dan hukuman mati biasanya merupakan Sanksi Negatifnya.

Folk Culture, High Culture, Popular Culture, dan Mass


Culture
Studi Sistem Budaya Indonesia memerlukan sebuah “peta” guna meletakkan kajiannya.
Peta tersebut berguna untuk meletakkan konteks suatu pembicaraa. Kajian Sistem Budaya
Indonesia nantinya akan mengarah pada budaya-budaya spesifik yang berkembang di seantero
wilayah Indonesia. Namun, kini pun budaya Indonesia tengah mengalami perubahan. Perubahan-
perubahan tersebut terjadi selaras dengan teori faktor pengaruh budaya yang telah disebut oleh
Matsumoto dan Juang di bagian awal tulisan. Peta Budaya dimaksudkan untuk memilah bahwa
konsep Budaya (Culture) telah berkembang semakin canggih dan bervariasi. Budaya, jika kita
pahami sebagai warisan turun-temurun nenek moyang adalah tetap ada. Namun, kini pun
berkembang budaya-budaya “baru” seiring tumbuhnya inovasi teknologi dan industrialisasi di
seluruh penjuru dunia, utamanya teknologi produksi massal dan perkembangan media massa.
Banyak istilah-istilah yang muncul sehubungan dengan budaya semisal : “berbudaya”, “tidak
berbudaya”, “budaya tinggi”, “budaya rendah”, “folk art“, “budaya populer” (popular culture),
“budaya massa” (mass culture), dan sebagainya. Tulisan kemudian dilanjutkan guna menelusuri
konsep-konsep ini. Namun, untuk keperluan tulisan ini, penulis akan mempertentangkan 4 buah
konsep budaya saja yaitu : (1) Folk Culture; (2) High Culture; (3) Popular Culture; dan (4) Mass
Culture.

Kathy S. Stolley menyebutkan bahwa tidak ada masyarakat tanpa kebudayaan.


Masyarakat pasti memiliki budaya. Namun, dalam benak sejumlah orang terkadang ada
pertentangan antara apa yang dimaksud dengan “budaya tinggi” (high culture) dengan “budaya
rendah” (low culture). Istilah low culture ini kurang pula tepat secara etika karena berkonotasi
buruk sehingga istilah yang lebih tepat adalah Popular Culture (budaya populer). Bagi Stolley,
High Culture adalah manifestasi komponen material dan non material budaya yang dikaitkan
dengan elit sosial. Jadi, dapat dikatakan jika kita membicarakan mengenai budaya tinggi (high
culture) asosiasi kita tertuju pada manifestasi budaya yang dilakukan kalangan elit masyarakat.
Misal dari manifestasi tersebut adalah musik klasik, galeri seni, pertunjukkan opera, literatur
filsafat atau ilmiah, produksi anggur, atau jamuan-jamuan makan.
Aktivitas dalam budaya tinggi tidak terbuka bagi seluruh anggota masyarakat akibat
beberapa alasan. Tingginya harga tiket yang dibayarkan untuk menonton pertujukan konser
musik klasik mustahil terjangkau oleh warga dengan kelas ekonomi menengah ke bawah.
Demikian pula, literatur filsafat dan ilmiah, kendati banyak tersedia di toko-toko buku, tetapi
kerumitas isi dan ketidakfamiliaran bahasa membuat warga awam “emoh” mengkonsumsinya.
Budaya tinggi disebut elit akibat hanya segelintir individu di dalam masyarakat yang dapat
mengecapnya.
Lawan dari “high culture” adalah “popular culture” (budaya populer). Budaya populer
terdiri atas segala aktivitas yang tersebar luas di dalam sebuah kebudayaan, dengan daya tarik
dan tersedianya akses bagi seluruh orang, dan digandrungi oleh sejumlah besar orang lintas kelas
sosial. Contoh dari budaya populer ini adalah restoran fast-food (Kentucky Fried Chicken, Pizza
Hut, Warung Tegal, Rumah Makan Padang, McDonald, komedi-komedi situasi di televisi, novel-
novel best seller (Davinci Code, Malaikat dan Iblis, atau novel-novel karya Mira W.), konser
musik pop dan rock, dan sejenisnya.
Dalam konteks budaya populer ini, salah satu varian konsep yang berhasil dikembangkan
adalah McDonalization. Istilah McDonalization dipopulerkan oleh George Ritzer tahun 1993
lewat tulisannya The McDonalization of Society. Ritzer mendefinisikan McDonalization sebagai
“ ... the process by which the principles of the fast-food restaurant are coming to dominate more
and more sectors of American society as well as of the rest of the world.” Fenomena
McDonalization tidak hanya berlangsung di Amerika Serikat, melainkan juga di seluruh belahan
dunia lain dalam mana beroperasi franchise-franchise McDonald, Pizza Hut, Hoka-hoka Bento,
dan sejenisnya, termasuk Indonesia.

Ritzer berargumentasi bahwa McDonalization tidak hanya berpusar di aspek jual-beli


makanan cepat saji belaka, melainkan juga merambah ke aspek pendidikan (training pekerja,
koki, manajemen penjualan), work (aturan kerja, manajemen pekerjaan harian), kesehatan
(dampak makanan cepat saji atas kesehatan), travel (perjalanan dari satu franchise ke franchise
lain, termasuk transportasi dan masalahnya), pemanfaatan waktu luang (pertemuan antarorang di
restoran cepat saji), dieting (obesitas anak-anak, kolesterol, diabetes), politics (imperialisme
ekonomi Amerika lewat salah satu MNC-nya), keluarga (pola kegiatan memasak dan keakraban
keluarga di sela pengaruh restoran cepat saji), dan kegiatan-kegiatan orang lainnya di seputar
“McDonald.”

Samakah budaya populer (popular culture) dengan budaya massa (mass culture) ?
Pertama-tama akan kita bahas terlebih dahulu masalah budaya populer. Marcel Danesi dalam
bukunya Popular Culture : Introductory Perspective menyatakan bahwa konsep budaya populer
muncul di Amerika Serikat sejak 1950-an tatkala negara tersebut diterpa oleh “wabah” hippie,
disco, punk, hip-hop, dan sejenisnya. Sama seperti Stolley, Danesi mengkontraskan pemahaman
tentang Budaya Populer dengan High Culture (budaya tinggi) dengan sebelumnya membuat
peringkat budaya (levels of culture). Budaya populer adalah budaya yang meminimalkan sekat
perbedaan kelas sosial, edukasi, atau variabel masyarakat lainnya yang membatasi kesempatan
orang dalam mempraktekkan suatu budaya. Seorang sosiolog yang termasuk paling awal
mempermasalahkan konsep popular culture dan mass culture ini adalah Dwight Macdonald
dalam tulisannya Masscult & Midcult yang terbit tahun 1960. Macdonald melihat terdapat 4
kategori budaya yaitu folk culture, mass culture (popular culture), midcult, dan high culture.
Selanjutnya, Macdonald menulis :

Up to then, there was only High Culture and Folk Art. To some extent, Masscult is a
continuation of Folk Art, but the differences are more striking than te similarities. Folk
Art grew mainly from below, an autochthonous product shaped by the people to fit their
own needs, even though it often took its cue from High Culture. Masscult comes from
above. It is fabricated by technicians hired by businessmen. They try this and try that and
if something clicks at the box office, they try to cash in with similar products .... Folk Art
was the people’s own institution, their private little kitchen-garden walled off from the
great formal park of their masters. But Masscult breaks down the wall, integrating te
masses into a debased form of High Culture and tus becoming an instrument of
domination. If one had no other data to go on. Masscult would expose capitalism as a
class society rather than the harmonious commonwealth that in election year, both parties
tell us it is ...

Dalam hal ini, Macdonald mempersamakan antara Popular Culture dengan Mass Culture.
Namun, pandangan ini belum-lah fixed oleh sebab pada perkembangan selanjut, bermunculan
tulisan-tulisan yang mengkrisinya.

Popular Culture tidaklah identik dengan Mass Culture, kendati Mass Culture dapat
“menghegemoni” popular culture menjadi sekadar komoditas dagangan. Lewat pendapat
Macdonald yang dicuplik di atas, Mass Culture adalah dirancang dari “atas” oleh kaum bisnis-
industrialis yang mengkomersialisasi budaya ----baik folk culture, high culture--- guna
menghasilkan uang dan dapat dipasarkan secara luas. Salah satu penafsiran atas tulisan
Macdonald salah satunya dibuat oleh Dominic Strinati. Strinati membahas konsep popular
culture dan mass culture sebagai berikut :
... we can say that mass culture refers to popular culture which is produced by the
industrial techniques of mass production, and marketed for profit to a mass public of
consumers. It is commercial culture, mass produced for a mass market. Its growth means
there is less room for any culture which cannot make money, and which cannot be mass
produced for a mass market, such as art and folk culture. This also indicated how mass
culture theory can be understood as a response to the industrialisation and
commercialisation of popular culture ....

Dari pendapat Strinati di atas, ternyata popular culture dan mass culture adalah 2 entitas
yang berbeda.

Seperti telah diungkap Stolley di bagian awal tulisan, popular culture merupakan lawan
dari High Culture yang elitis. Peluang komersialisasi High Culture adalah lebih kecil tinimbang
popular culture. Sebab itu kaum bisnis-industrialis lebih melirik komersialisasi popular culture
karena pendukung dan penikmat budaya ini jauh lebih besar dan luas melintasi segala sekat
sosial.

Tiba kini kita berpindah ke pendapat dari John G. Nachbar. Nachbar mendefinisikan
popular culture sebagai berikut :
If we combine our previous definition of “popular” with the camera’s view of “culture”
then we have a “popular culture” which refers to “the products of human work and
thought which are (or have been) accepted and approved of by a large community of
population.” This definition ignores notions of “quality” in the culture ... Popular culture
forms the vast majority of the artifacts and events which compose our daily lives but it
does no consist of our entire culture.

Nachbar and Klause kemudian menjelaskan ke konsep budaya yang telah disebut oleh
Macdonald sebagai Folk Culture. Menurut keduanya, folk culture :
“ ... refers to the products of human work and thought (culture) that have developed
within a limited community and that are communicated directly from generation to
generation, between “folk” who are familiar to each other. The means of communication
usually oral, the “author” or “creator” of the artifact of event is often unknown ... and is
typically simple both thematically and technologically.

Kita bicara soal folk culture tatkala membahas resep kue dari nenek, bagaimana merawat
bayi dengan “membedong”, menaruh gunting dan bangle di bawah bantal bayi (termasuk sapu
lidi), dan sejenisnya. Folk culture berkembang turun-temurun hampir tanpa nuansa
komersialisasi.

Selain folk culture, Nachbar dan Klause juga bicara tentang High Culture yang mereka sebut
sebagai “Elite Culture”. Menurut keduanya High Culture adalah :
“ ... refers to the products of human work and thought produced by and for a limited
number of people who haave specialized interest, training or knowledge ... The elite artist
is known by the audience, and his identity is vital to understanding and appreciating his
work –the artist is using his art to express his unique interpretaion of the world (of society
of all of reality) and the more we know about him the more meaningful his work becomes
...Selanjutnya, Nachbar and Klause mempresentasikan taksonomi yang membedakan
antara Popular Culture, Folk Culture, dan High Culture :
Dari pandangan di atas, tampak bahwa popular culture adalah konsep budaya
yang paling potensial untuk menjadi Mass Culture (budaya massa). Sebab itu, banyak
penulis kerap melakukan pergantian kata “mass” dengan “popular” untuk mengapresiasi
perkembangan budaya-budaya kontemporer. Tatkala kita bicara tentang produk-produk
mass culture, maka sesungguhnya kita bicara tentang popular culture yang dieksploitasi
dan dikomersialisasi.
Konsep-konsep Budaya dan Sistem Budaya Indonesia
Jelaslah bahwa kajian sistem budaya Indonesia berlangsung dalam aras Folk Culture.
Telah umum diketahui, bahwa budaya Indonesia tumbuh di wilayah-wilayah yang
tersekat oleh perairan dan pegunungan. Bangsa Indonesia “terkotak-kotak” dalam sekat-
sekat lingkungan sehingga masing-masing mengembangkan budaya mereka sendiri yang
berbeda satu sama lain. Pengakuan perbedaan ini ada dalam slogan Bhinneka Tunggal
Ika. Berbeda tetapi tetap satu jua.

Budaya di masing-masing wilayah Indonesia bertahan secara turun-temurun. Dari


orang tua kepada anak, yang bahkan diperkuat dengan pembentukan dewan-dewan
budaya daerah. Namun, berkembangnya ekonomi kapitalis lewat proses industrialisasi
dan peralihan dari masyarakat agrikultural ke arah masyarakat industri, membuat folk-
folk culture tersebut menghadapi persaingan. Audiens dari suatu folk culture Indonesia
adalah warga primordial wilayah. Misalnya, mereka yang mempraktekkan tari pendet
biasanya adalah orang Bali karena unsur-unsur di dalam Tari Pendet kental nuansa ajaran
dan tatakrama Bali.

Namun, kini audiens dari Tari Pendet memiliki pilihan akibat berkembangnya
teknologi media massa. Audiens Tari Pendet kemungkin mengalihkan perhatiannya
menganut seni pop, rock, ataupun disco yang disebar lewat media. Tari Pendet
kehilangan daya tarik dan kemudian menjadi sekadar High Culture karena kerumitan
berpakaian dan gerakan tinimbang musik rock, disco atau pop. Terlebih, musik rock,
disco, dan pop didukung oleh industrialis rekaman yang menyebarkan VCD/DVD musik-
musik tersebut dengan harga murah (karena bajakan biasanya). Akibatnya, pemuda-
pemudi Bali lebih paham musik-musik “mass culture” tersebut tinimbang Tari Pendet
yang asli Bali sendiri. Sebab itu, kajian sistem budaya Indonesia selain yang terpokok
mengeksplorasi folk culture di Indonesia, juga akan membahas aneka budaya populer
yang mengalami massifikasi menjadi mass culture yang pelan tetapi pasti menghegemoni
folk-folk culture di Indonesia.

C. PERAN KEBUDAYAAN DAN PENDIDlKAN


Sekarang bangsa Indonesia sudah berada dalam era globalisasi, satu era
yang
ditandai dengan "menciutnya" dunia disebabkan berkembangnya teknologi
informasi.
Dalam era ini dunia yang sebenarnya luas terkesan menjadi sempit karena
daya jangkau informasi yang semakin panjang, semakin luas, dan semakin
cepat sehingga membuka kemungkinan sistem aksesabilitas yang makin
sempurna.
Dalam laporan UNDP “Human Development Report 1999” (1999)
disebutkan
secara jelas ciri-ciri globalisasi sbb: (1) Ethic, adapun maksudnya ialah
tuntutan untuk
mengakhiri kekerasan dan pelanggaran HAM; (2) Inclusion, maksudnya
ialah adanya
tuntutan untuk memperkecil perbedaan-perbedaan antarbangsa; (3) Human
Security,
yaitu adanya tuntutan sanggup mengeliminasi instabilitas sosial; (4)
Sustainability, yaitu adanya tuntutan untuk meminimalisasi perusakan
lingkungan; serta (5) Development, adanya kesanggupan untuk berusaha
mengakhiri kemiskinan dan deprivasi.
Jiwa dari globalisasi itu sendiri, adalah informasi yang tidak berbatas
(borderless information). Di dalam situasi yang seperti ini terjadilah
proses lintas budaya (trans cultural) serta silang budaya (cross cultural)
yang kemudian mempertemukan nilai-nilai budaya yang satu dengan yang
lainnya. Pertemuan nilai-nilai budaya, atau disebut kontak
budaya (cultural contact),dapat menghasilkan dua kemungkinan; pertama,
pertemuan
tanpa menghasilkan nilai-nilai baru yang bermakna disebut dengan asimilasi
(assimilation),serta kedua,pertemuan yang membuahkan nilai-nilai baru
yang bermakna disebut akulturasi (acculturalization).
Di dalam konteks kebudayaan nasional, globalisasi itu bukan sesuatu
yang
menakutkan namun justru membuka peluang untuk menciptakan kemajuan
kebudayaan yang positif; meski globalisasi itu sendiri tidak bebas dari unsur-
unsur negatif. Untuk mengantisipasi itu bangsa Indonesia memiliki pedoman
yang disebut "Teori Trikon”, yang terdiri dari tiga komponen sbb:
Kontinuitas, melanjutkan budaya para “leluhur” bangsa yang mengandung
nilai-nilai positif; Konvergensi, membuka peluang bagi budaya manca untuk
berakulturasi dengan budaya Indonesia; dan Konsentrisitas, hasil pertemuan
budaya manca dengan budaya Indonesia hendaknya dapat menghasilkan
budaya (nilainilai)
baru yang bermakna.
Banyak pendapat yang menyatakan bahwa saat ini kebudayaan
nasional tidak
kondusif untuk mendukung pembangunan nasional yang berkelanjutan.
Untuk itu
diperlukan suatu perubahan budaya agar pembangunan nasional yang
dijalankan bangsa Indonesia dapat membuahkan hasil yang optimal.
Sebagaimana yang dicantumkan di dalam "Strategi Pembinaan dan
Pengembangan Kebudayaan Indonesia" (2000) pada dasarnya perubahan
budaya bangsa Indonesia itu meliputi dua aspek sekaligus; masing-masing
menyangkut perubahan sistem pengetahuan dan perubahan budaya politik.
Di satu sisi sistem pengetahuan harus lebih ditingkatkan kualitasnya dan di
sisi lain perubahan budaya politik masyarakat harus lebih direalisasikan.
Selanjutnya perubahan sistem pengetahuan meyangkut lima aspek
sekaligus, yaitu
sbb: (1) dari egosentrisme ke sivilitas, (2) dari pengabaian hukum ke
kesadaran hukum,
(3) dari fanatisme ke toleransi, (4)dari cukup diri ke saling bergantung, serta
(5) dari
sejarah alamiah ke sejarah yang manusiawi. Di sisi lain perubahan budaya
politik juga
menyangkut lima aspek sekaligus, yaitu sbb : (1) dari kawula ke warga
negara, (2) dari
parokial ke kenegaraan, (3) dari negara serba kuasa ke negara serba sahaja,
(4) dari
Pancasila sebagai ideologi ke ilmu , dan (5) dari Pancasila yang terpisah ke
yang satu.
Untuk menjalankan perubahan budaya tersebut diperlukan adanya
dukungan
pendidikan. Oleh karena dalam realitasnya kinerja pendidikan nasional kita
masih rendah
maka persoalannya sekarang ialah bagaimana membenahi pendidikan
itu sendiri untuk meningkatkan kualitas manusia supaya bisa berperan
dalam mengubah budaya bangsa agar kondusif terhadap pembangunan
nasional. Belum memuaskannya kinerja pendidikan di negara kita tidak lepas
dari visi kepemimpinan kolektif pemerintah, baik pemerintah pusat maupun
daerah. Sangat Ironis, negara Indonesia yang sangat kaya dengan sumber
daya alam ternyata kurang memiliki pemimpin yang mempunyai visi
kepemimpinan jauh ke depan serta komitmen yang tinggi untuk membangun
bangsa melalui pendidikan.
Keadaan tersebut di atas bukan saja dialami sekarang, akan tetapi
sudah
dirasakan sejak bertahun-tahun yang lalu ketika kondisi ekonomi dan politik
tidak
sekompleks saat ini. Para petinggi pemerintah cenderung disibukkan oleh
berbagai permasalahan instan serta terlena pada berbagai persoalan yang
berjangka pendek sehingga kurang dapat memecahkan permasalahan
bangsa dalam jangka panjang ke depan. Sampai sekarang kita tidak dapat
menggambarkan bagaimana profil bangsa Indonesia seperempat abad ke
depan dikarenekan para petinggi pemerintah memang tidak memiliki desain
perencanaan yang matang. Di samping kurang memiliki visi kepemimpinan
jauh ke depan ternyata komitmen pemerintah terhadap pendidikan juga
sangat terbatas adanya. Pada waktu pemerintahan negara masih
menggunakan sistem sentralisasi terlihat bahwa komitmen pemerintah
(pusat) terhadap bidang pendidikan jauh dari kata maksimal. Sekarang,
ketika pemerintahan negara menggunakan sistem desentralisasi ternyata
komitmen pemerintah pusat terhadap bidang pendidikan masih saja jauh
dari kata memadai; bahkan keadaan seperti ini juga dilakukan oleh banyak
pemerintah daerah. Rendahnya komitmen pemerintah terhadap pendidikan
dapat dicermati antara lain pada rendahnya anggaran yanq dialokasikan
pada bidang pendidikan. Sejak kemerdekaan dideklaraisi di negara ini lebih
dari setengah abad yang lalu ternyata anggaran pendidikan tidak pernah
mencapai angka yang memadai .
Anggaran pendidikan di Indonesia memang sangat minim dan
termasuk paling rendah dibanding negrara-negara lain, baik dengan negara-
negara maju, berkembang, maupun terbelakang. Anggaran pendidikan di
Indonesia hanya sekitar 1 persen dari GNP; pada hal angka rata-rata untuk
negara-negara terbelakang (least developed countries) seperti halnya
Angola, Bangladesh, Malawi, Ethiopia, Congo, Nepal, Samoa, dsb, sudah
mencapai bilangan 3,5 persen. Sungguh-sungguh terjadi, Indonesia yang
konon sudah lebih maju dari negara-negara terbelakang tersebut ternyata
lebih pelit dalam mengalokasikan dana untuk kepentingan pendidikan
rakyat. Hal ini sungguh tidak realistik.
Kalau dibandingkan perjalanan pendidikan Indonesia dengan Malaysia
cukup
menarik hasilnya. Perjalanan kita lebih lambat dari pada Malaysia. Dulu
Malaysia pernah berguru pada Indonesia, kini kondisinya terbalik 180
derajat. Pendidikan di Malaysia maju dengan pesat; dengan program SMART-
nya pendidikan dasar maju pesat dan dengan program Malaysia 2020-nya
maka pendidikan tinggi maju pesat. Ketika Indonesia kehilangan
ketangguhan daya saing, sekarang daya saing Malaysia diperhitungkan oleh
masyarakat dunia.
Apa kunci kemajuan di Malaysia? Pertama, para petinggi pemerintah di
Malaysia
memang memiliki visi kepemimpinan yang jauh ke depan. Dibuatnya
program "Malaysia
2020" dan jabarannya dalam program SMART di bidang pendidikan
membuktikan hal itu. Kedua, komitmen pemerintah terhadap pendidikan
memang relatif tinggi. Ini semua
dibuktikan secara riil dengan mengalokasi anggaran pendidikan secara
memadai. Selama ini, anggaran pendidikan di Malaysia tidak pernah kurang
dari 15 persen terhadap budget negara. Ilustrasi tersebut di atas
menggambarkan pentingnya visi dan komitmen pemerintah untuk,
meningkatkan kinerja pendidikan nasional sehingga lebih berperan dalam
mengkondisi masyarakat untuk kepentingan pembangunan nasional
Pembangunan nasional yang berkelanjutan, baik yang telah lalu maupun
yang
akan datang, memerlukan dukungan kebudayaan nasional yang kondusif
untuk itu. Untuk kepentingan tersebut diperlukan manusia-manusia bermutu
sebagai hasil dari pendidikan;dan untuk itu semua diperlukan visi dan
komitmen pemerintah yang lebih nyata terhadap pendidikan itu sendiri.

Anda mungkin juga menyukai