Anda di halaman 1dari 24

BAB 2

KOMUNIKASI DAN KEBUDAYAAN


1. Komunikasi dan kebudayaan
Peranan budaya sangat besardalam kehidupan manusia. Apa yang kita bicarakan,
Bagaimana cara membicarakannya, apa yang kita lihat, perhatikan, atau abaikan, bagaimana
kita berpikit, dan apa yang kita pikirkan, semua di pengaruhi oleh budaya kita. Budaya telah
ada sebelum kita lahir dan akan tetap ada setelah kita meninggal dunia. Budaya
“memanjarkan” kita, meskipun acapkali tidak menyadarinya. Manusia telah berkembang
hingga ke titik yang memungkinkan budaya menggantikan naluri dalam menentukan setiap
pikiran dan tindakan. Pikiran dan tindakan, termasuk cara berkomunikasi adalah hasil dari
apa yang diajarkan dalam budaya kita (Mulyana, 2004:16)
Apa yang dipesankan mulyana dalam pernyataan tersebut secara tegas menjelaskan
bahwa terdapat hubungan yang demikian erat antara komunikasi dan kebudayaan, dan hal itu
mendorong kita semua untuk memeriksa hubungan tersebut secara lebih saksama. Apalagi
komunikasi lintas budaya adalah kajian yang bersifat multidiscipline. Kajian ini bersentuhan
dengan cabang cabang ilmu social yang lain, meskipun masing-masing mempunyai ruang
lingkup dan focus kajian yang berbeda. Setidaknya, komunikasi lintas budaya berpautan erat
dengan bidang bidang kajian social budaya dan psikologi sosial
Dalam bab ini di bahas beberapa hal : definisi budaya dan kebudayaan, dimensi dan unsur
kebudayaan, komunikasi dan kebudayaan, krusialitas perbedaan kebudayaan, penafsiran
dalam komunikasi lintas budaya, serta urgensi percaya diri dalam komunikasi lintas budaya.
2. Definisi kebudayaan

Secara etimologi(Bahasa), budaya atau kebudayan berasal dari bahasa sanskerta,


buddhaya, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi(budi atau akal). Selanjutnya budaya
atau kebudayaan diartikan sebagai hal hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia.
Berbudaya berarti mempunyai budaya, mempunyai pikiran dan akal budi untuk memajukan
diri. Kebudayaan diartikan sebagai segala sesuatu yang dilakukan manusia sebagai hasil
pemikiran akal budi. Peradaban juga merupakan hasil akal budi, dan ilmu pengetahuan
menjadi puncak peradaban yang memberikan manfaat dalam kehidupan social. Budaya
adalah segala sesuatu yang di peroleh dari hasil pemikiran manusia yang memiliki nilai bagi
kesejahteraan manusia.
Dalam bahasa inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata latin colere,
yang berarti mengolah atau mengerjakan dan bias di artikan juga sebagai mengolah tanah
atau bertani. Kata culture juga merupakan kata lain dari occult yang artinya benak atau
pikiran. The American heritage dictionary mengartikan culture sebagai suatu keseluruhan
dari pola perilaku yang ditransmisikan melalui kehidupan social, seni, agama,
kelembagaan, dan semua hasil kerja serta pemikiran manusia dari suatu kelompok
manusia. Culture kadang di terjemahkan sebagai budaya atau kebudayaan dalam bahasa
Indonesia (poespowardojo, 1993). Budaya atau kultur berasal dari bahasa latin, yakni dari
akar kata cultura. Dalam bahasa perancis, la cultura berarti esemble des aspects
intellectuals d une civilization(serangkaian bidang intelektual dalam sebuah peradaban).
Jadi ,F atau kebudayaan adalah hasil kegiatan intelektual manusia. Budaya adalah suatu
konsep yang mencakup berbagai komponen yang digunakan manusia untuk memenuhi
kebutuhan dan kepentingan hidupnya sehari-hari (purwasito, 2003: 95)
Secara terminology (istilah), kebudayaan dapat diartikan sebagai keseluruhan symbol,
pemaknaan, penggambaran(image), aturan, struktur, pikiran, kebiasaan, perbuatan atau
tindakan yang terjadi pada suatu kelompok masyarakat. Dalam bukunya yang berjudul
primitive culture, Edward. B taylor mendefenisikan kebudayaan sebagai suatu
keseluruhan system yang kompleks, yang di dalamnya terkandung ilmu pengetahuan,
kepercayaan, kesenian, moral, hokum, dan adat istiadat dan kemampuan lain serta
kebiasaan yang dipelihara manusia sebagai anggota masyarakat. Raymond Williams
mendefinisikan bahwa budaya mencakup organisasi produksi, struktur lembaga, struktur
keluarga, yang mengekspresikan atau mengatur hubungan social, dan bentuk bentuk
komunikasi khas antar anggota masyarakat (purwasito, 2003: 94)
secara panjang lebar tubs (1996: 237) mengartikan budaya dengan segala unsurnya bahwa
budaya merupakan cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sekolompok
orang seta di wariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur
yang rumit, termasuk ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit,
termasuk system agama, politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan dan
karya seni. Bahasa yang digunakan suatu kelompok masyarakat, cara berpakaian,
makanan yang dimakan, berhubungan dengan orang tua dan teman-teman, apa yang
hendak diharapkan dari perkawinan dan pekerjaan, semuanya dipengaruhi oleh budaya.
Ini tidak berarti bahwa anda berpikir, percaya, dan bertindak persis seperti orang lain
dalam budaya anda. Tidak semua anggota budaya memiliki semua unsir budaya secara
persis sama. Sebuah budaya akan berubah dan berevolusi dari waktu ke waktu. Namun,
seperangkat karakteristik budaya yang dimiliki bersama oleh sebuah kelompok
masyarakat secara keseluruhan dapat dilacak, meskipun telah banyak berubah dari
generasi ke generasi. Trenholm dan Jensen(1992:238)mendefinisikan budaya sebagai
seperangkat nilai, kepercayaan,norma, adat istiadat, aturan, dan kode yang secara social
mendefinisikan kelompok orang yang memilikinya, mengikat mereka satu sama lain, dan
memberi kesadaran bersama. William H. haviland membatasi pengertian budaya atau
kebudayaan sebagai seperangkat aturan dan norma yang dimiliki bersama oleh para
anggota masyarakat yang jika dilaksanakan oleh para anggotanya akan melahirkan
perilaku yang dipandang layak dan diterima oleh semua masyarakat. K. kupper
mengatakan bahwa kebudayaan merupakan system gagasan yang menjadi pedoman dan
pengarah bagi manusia dalam bersikap dan berperilaku, baik secara individual maupun
kolektif. Drs. Hidayat Z.M. (1976:205-206) dalam bukunya, masyarakat dan
kebudayaan, menyatakan bahwa adat istiadat adalah cara hidup masyarakat yang
merupakan hasil dari kekuatan tanpa disadari, yang berkembang terus secara intensif dari
pengalaman untuk mencapai bentuk terakhir dari penyesuain maksimal kea rah
kepentingan bersama, yang diwariskan oleh tradisi tanpa perubahan yang rasional.
System berpikir menurut adat menjadi tradisi yang mengikat dan mempengaruhi pola
piker dan perilaku sehingga masyarakat yang sukar menerima ide-ide yang lebih berguna
menurut pandangan masyarakat modern yang rasional. System berpikir ini bersifat statis
irasional sehingga melahirkan sikap mental tertutup untuk bergerak dan berkembang
karena masyarakatnya tetap memegang system nilai budaya yang diwariskan nenek
moyangnya. System nilai budaya ini menjadi serangkaian konsep abstrak yang terus
hidup dalam alam pikiran masyarakat mengenai apa yang baik dan buruk serta apa yang
penting dan remeBegawan pendidikan Indonesia,ki Hajar dewantara,mengartikan
kebudayaan adalah buah budi manusia atau hasil perjuangan manusia terhadap dua
pengaruh kuat, yakni zaman dan alam yang merupakan kejayaan hidup manusia untuk
mengatasi berbagai rintangan dan kesukaran dalam hidup. Serta penghidupannya guna
mencapai keselamatan dan kebahagian yang pada lahirnya manusia berperilaku tertib dan
damai. Menurut koentjaraningrat, budaya adalah keseluruhan system gagasan, tindakan,
dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri
manusia dengan cara belajar. Dengan demikian, dapat dikatakan secara ringkas bahwa
budaya atau kebudayaan adalah keseluruhan cara hidup manusia. Dalam pengertian ini
termasuk bahasa, adat-istiadat, kebiasaan, kepercayaan, pemikiran dan pemanfaatan
seluruh sumber daya.
3. Dimensi dan unsur kebudayaan
Kebudayaan memiiki dimensi yang sangat luas, bahkan dapat dikatakan seluas dan
serumit kehidupan manusia itu sendiri. Tetapi, untuk kepentingan ilmiah, kebudayaan
dikelompokkan ke dalam tujuh unsur penting, yaitu :
 System religi(Agama)
 System dan organisasi kebudayaan
 System pengetahuan
 Bahasa
 Kesenian
 System mata pencarian
 System teknologi dan peralatanpurwasito(2003:96) mengelompokkan
budaya (kebudayaan) sebagai aktualisasi dari akal budi yang meliputi daya,
cipta, rasa, dankarsa dalam dua bentuk, yaitu(1) benda benda berwujud atau
hasil budaya material, seperti alat kerja, alat pertanian, alat alat rumah
tangga, alat perbengkelan, alat alat transportasi, alat-alat komunikasi, alat-
alat perang dan (2) benda benda tidak berwujud atau hasil budaya
immaterial seperti bahasa, tradisi, kebiasaan, adat, nilai morala, etika,
gagasan, religi, kesenian, kepercayaan, system kekerabatan, dan harapan
harapan hidup. Hasil budaya immaterial dari upaya mengolah pikiran
menghasilkan filsafat dan ilmu pengetahuan yang berupa teori murni
maupun teori yang langsung dapat di aplikasikan dalam kehidupan
masyarakat.

Budaya tidak berhenti pada suatu titik(stagnan), tetapi berproses sepanjang


waktu, sebagaimana progresivitas akal budi(intelektual) manusia. Penemuan-
penemuan baru di berbagai bidang material maupun immaterial adalah wujud
pergerakan budaya. Pergerakan budaya juga ditemuakan dalam perubahan
evolusif budaya akibat dari saling pengaruh dalam pertemuan antarbudaya.
Pergerakan budaya juga dapat ditemukan dalam perubahan evolusif budaya
sebagai akibat dari saling pengaruh dalam pertemuan antarbudaya.
Kajian komunikasi lintas budaya tak dapat dilepaskan dari kebudayaan
sebab dalam komunikasi lintas budaya para peserta komunikasi dihadapkan
dengan masalah perbedaan budaya. Pada umumnya, perbedaan budaya yang
paling menonjol meliputi perbedaan ras, nilai dan norma, system religi, serta
tradisi. Hal tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. RAS

Membicarakan masalah rasa adalah membicarakan masalah perbedaan warna


kulit, bentuk muka dan tubuh. Pengetahuan tentang hal ini akan memengaruhi
seseorang dalam tindak komunikasi. Perbedaan rasial merupakan perbedaan
keturunan atau ras yang secara fisik membedakan antar orang yang satu dengan
lainnya. Setiap ras memiliki budayanya sendiri yang berbeda satu sama lain.
Lebih daripada itu, setiap ras memiliki budayanya sendiri, yang berbeda satu
sama lain.
2. Nilai dan Norma

Budaya setiap bangsa mempunyai ciri khas tertentu, unik dan local.
Setiap budaya mempunyai cara dan kebiasaan, kepercayaan dan keyakinan
yang diambil dari norma, serta nilai yang berkembang di tengah
masyarakatnya. Apa yang harus dilakukan dan apa yang harus dijauhi dalam
tindakan seseorang disebut norma. Sedangkan apa yang baik dilakukan dan
apa yang buruk dilakukan disebut sebagai nilai. Ini merupakan system moral
yang dikembangkan oleh komunitas masyarakat. System nilai budaya
merupakan tingkat yang paling tinggi dan paling abstrak dari adat istiadat. Hal
ini disebabkan nilai nilai budaya merupakan konsep mengenai apa yang ada
dan hidup di alam pikiran serta di anggap bernilai, berharga dan penting
sehingga system nilai tersebut berguna sebagai pedoman berperilaku yang
memberi arah serta orientasi bagi setiap masyarakat untuk menjalankan
kehidupan. System nilai budaya membentuk hubungan-hubungan atau
interaksi antarmanusia. Di satu pihak, ada masyarakat yang lebih
mementingkan hubungan yang bersifat vertical, yaitu hubungan antara para
tokoh, pemimpin, dan atasan, yang bersifat paternalistic. Di pihak lain, ada
pula masyarakat yang mementingkan hubungan horizontal, yaitu interaksi
antar sesame dalam kehidupan kolektif yang solid. Sebaliknya, ada juga
kebudayaan yang sangat mementingkan individualism sehingga manusia
dalam kehidupan harus berdiri sendiri dan bersentuhan seminimal mungkin
dengan lingkungan sosialnya keculi untuk memenuhi kebutuhannya.
3. Sistem Religi
Setiap masyarakat mempunyai system religi, yakni adanya kepercayaan
manusia terhadap keberadaan kekuatan yang lebih tinggi, mahakuasa, dan gaib
kedudukannya. Karena adanya kepercayaan yang di anutnya itu, manusia
menjalankan aktivitas ritual religious sebagai cara berkomunikasi dengan
kekuatan gaib. Aktivitas manusia dalam hubungannya dengan system religi
disebut dengan religious emotion. Emosi keagamaan ini mempunyai dampak
yang luas terhdapat aktivitas kehidupan manusia, terutama dalam menentukan
penilaian terhadap benda, tindakan dan gagasan yang dianggap memiliki sacred
value(nilai kekeramatan). Sebaliknya, emosi keagamaan juga menentukan
penilaian atas suatu benda, tindakan dan gagasan sebagai bersifat tidak keramat
(profan). Jadi nilai tersebut relative, sangat tergantung pada manusia yang
memercayainya emosi keagamaan merupakan unsur penting dalam system
religi, system keyakinan, atau system ritual keagamaan. Kebudayaan dalam
konteks system ini mempersoalkan masalah terciptanya dunia dan alam
semesta, karakter dari dunia dan alam, serta system kepercayaan dan gagasan
tentang riwayat tuhan atau dewa. Praktik ritual keagamaan diwujudkan dalam
bentuk yang khas, seperti berdoa, sembahyang, bertapa/bersemedi, beropuasa,
berzikir, sesajen, berkurban, melantunkan nyanyian sacral, tarian suci, dan
trance. Persoalan kebudayaan dalam konteks komunikasi muncul ketika kita
berhubungan dengan suatu masyarakat yang menganggap penting unsur-unsur
religi, tetapi tidak dianggap penting oleh masyarakat lainnya.

4. Tradisi

Tradisi merupakan adat kebiasaan yang di produksi oleh suatu masyarakat


berupa aturan atau kaidah social yang biasanya tidak tertulis, tetapi di patuhi,
berupa petunjuk perilaku yang dipertahankan secara turun temurun. Tradisi
memelihara nilai-nilai kyang di anggap baik untuk dipertahankan, dan
sebaliknya nilai-nilai yang di anggap tabu harus dijauhkan. Siapa di antara
anggota masyarakat melanggar kaidah tersebut akan dikenai sanksi yang
biasanya bersifat sanksi social.Tradisi berfungsi membangun kekuatan dan rasa
memiliki pada setiap anggota masyarakat. Setiap orang yang berkomunikasi
tanpa memedulikan tradisi budaya lebih banyak melahirkan kesalahpahaman
daripada kesepahaman. Oleh karena itu, memahami tradisi suatu masyarakat
membantu untuk menjalin hubungan baik dan melakukann komunikasi efektif.

4 Hubungan komunikasi dengan kebudayaan

Komunikasi dan budaya tidak dapat dipisahkan, kendati komunikasi dan


kebudayaan dalah dua hal yang berbeda. Komunikasi adalah proses penyampaian
pesan di antara para pelaku komunikasi dengan tujuan untuk saling memahami satu
sama lain, sedangkan budaya atau kebudayaan dapat dikatakan sebagai cara
berperilaku suatu komunitas masyarakat secara berkesinambunngan. Namun
demikian, komunikasi dan kebudayaan eksistensinya saling berkaitan. Suatu budaya
dapat lestari dan di wariskan kepada generasi penerus melalui proses komunikasi.
Disini, komunikasi berfungsi sebagai alata penyebaran (transmission) tradisi dan
nilai-nilai budaya. Pada sisi lain, cara orang berkomunikasi sangat di pengaruhi oleh
budaya yang di anut. Hal ini menjadikan komunikasi dan kebudayaan bersifat
resiprokal. Komunikasi dan kebudayaan adalah dua entitas tak terpisahkan,
sebagaimana dikatan Edward T. hall, bahwa budaya adalah komunikasi dan
komunikasi adalah kebudayaan.
Mulyana (2004:14) menjelaskan bahwa setiap praktik komunikasi pada dasarnya
adalah representasi budaya, atau tepatnya suatu peta atas suatu realitas budaya yang
sangat rumit. Lebih lanjut mulyana mengatakan bahwa begitu kita mulai berbicara
tentang komunikasi, tak terhindarkan, kita pun berbicara tentang budaya.
Dalam komunikasi lintas budaya terjadi pertukaran antar satu budaya dengan
budaya lainnya. Titik tekan budaya dalam konteks komunikasi lintas budaya lebih
banyak berkaitan dengan aspek aspek budaya immaterial seperti bahasa, tradisi,
kebiasaan, adat istiadat, norma serta nilai moral, etika da, gagasan, religi, kepercayaan
dan sebagainya. Keseluruhan budaya tak berwujud tersebut pada gilirannya
menenentukan cara setiap orang melakukan interaksi dan komunikasi. Dalam hal ini,
bisa di perhatikan bagaimana cara cara orang jawa, sunda, batak, minang, bali,
berbicara dan berinteraksi. Mereka memiliki perbedaan satu dan yang lainnya.
Cara orang sunda berkomunikasi berbeda dengan orang batak, betawi, jawa, bali dan
sebagainya. Perbedaan tersebut dapat berupa logat, tata cara, perilaku nonverbal, atau
symbol-simbol lain yang digunakan. Orang jawa yang berada di bandung akan
menemukan banyak hal yang berbeda tentang cara dan kebiasaan berperilaku, bahasa,
logat bicara, sikap dan nilai-nilai yang dianut orang sunda. Menilik hal ini, jika
komunikasi yang dibangun oelh orang orang yang berbeda budaya ingin berjalan
dengan baik, pemahaman budaya satu sama lain adalah sebuah keharusan. Dengan
cara saling memahami latar belakang budaya, para peserta komunikasi yang berbeda
latar belakang budaya tidak akan terjebak ke dalam pemahaman budaya yang sempit
berupa etnosntrisme atau perilaku stereotip(tubs, 1996:254-256)
5. Krusialitas perbedaan kebudayaan

Perbedaan budaya pada satu sisi dapat mendorong orang untuk saling
mengenal dan memperkaya wawasan budaya. Dengaan wawasan budaya yang
memadai, seseorang dapat menjalin hubungan baik dengan orang lain dari
budaya berbeda. Dari hubungan baik tersebut dapat diperoleh berbagai
keuntungan social , budaya, ekonomi politi dan sebagaianya. Namun, pada sisi
lain, perbedaan budaya juga menampilkan krusialitas yang menyimpan potensi
berbahaya ketika perbedaan itu di pertajam sehingga menjauhkan jarak
antarbudaya, menimbulkan konflik budaya dan disintegritasi social.
Oleh karena itu, kajian komunikasi lintas budaya menaruh perhatian serius
terhadap pentingnya efektivitas komunikasi lintas budaya dengan titik tekan
pada persoalan perbedaan budaya. Perbedaan budaya sangat krusial ketika di
pahami dengan pandangan etnosentrisme, streotip, dan prasangka yang kerap
muncul dalam komunikasi lintas budaya. Ketiga macam pandangan ini perlu
di waspadai. Pada satu sisi untuk menghindari komunikasi dari hambatan yang
dapat menggagalkan efektivitas serta tujuan komunikasi dan pada sisi lain
untuk mendorong tercapainya efektivitas serta tujuaan komunikasi.
Bisa di bayangkan apa yang akan terjadi ketika komunikasi dipenuhi
etnosentris, streotip, dan prasangka. Perkelahian antarorganisai atau antar
partai politik, bahkan antar pelajar, yang terjadi di kota kota besar dilator
belakangi oleh sikap etnosentri, pandangan stereotip dan prasangka. Begitu
juga setiap kali dilaksanakan pilkada, tak jarang ajang pilkada yang
dimaksudkan untuk tujuan yang baik diliputi denga perkelahian antar
pendukung kandidat kepala daerah akibat fanatisme kelompok, kesukuan dan
prasangka. Dalam panggung politik, tak jarang pula terjadi kasus
pembunuhan, baik pembunuhan karakter maupun pembunuhan fisik, yang
dilakukan oleh lawan politik yang berambisi untuk merebut kekuasaan. Tentu
saja, kasus ini terjadi oleh berbagai sebab. Namun, apapun alasannya, sebab
paling mendasar lebih bersumber pada etnosentrisme, stereotip dan prasangka.
Jika perbedaan yang ada bisa dikomunikasikan dengan lapang dada sehingga
menghasilkan kesepakatan-kesepakatan dan pembagian peran maka tak akan
terjadi kasus pembunuhan yang mengenaskan.
Dalam arena persaingan usaha dan bisnis pun demikian. Tidak jarang
ketidakmampuan dalam mengendalikan diri menyuburkan pengumbaran
pandangan stereotip, prasangka dan sikap etnosentri. Pada 1999, pernah terjadi
pengusiran etnik di papua. Kekayaan harta benda dijarah dan di bakar. Seluruh
warga penduduk beretnik bugis-makassar dipaksa keluar. Bahkan mereka di
ancam di bunuh bila tak sudi hengkang. Peristiwa tersebut meletus karena di
picu oleh sentiment terhadap etnik Bugis-makassar yang hidup sejahtera dan
makmur dari berdagang. Ditingkat dunia, ketika jerman di bawa kekuasaan
hitler, partai nazi membakar sentiment antiras yahudi. Dimata nazi, ras yahudi
dipenuhi para pembohong, pemeras, penipu, penyulut keributan, lintah darat
yang parasitis, racun darah yang mematikan, pembunuh, dan lain lain. Ras
yahudi dinilai sebagai criminal yang harus ditolak eksistensinya di tanah
jerman. Untuk mengeliminasi bahaya yahudi, nazi menyingkirkan aparat
yahudi dari seluruh lembaga pemerintahan. Kaum yahudi di usir dan di bantai.
Dalam skala lebih besar, meletusnya perang dunia I dan perang dunia
II yang hingga kini masih misterius sebab musababnya, diduga kuat berawal
dari pandangan bangsa jerman bahwa mereka, yang notabene keturunan
bangsa arya, merupakan warga dunia kelas satu, yang memiliki hak
prerogative dan privilege serta superioritas untuk mengatur dunia sedangkan
bangsa lain yang inferior tidak berhak. Pandangan jerman yang stereotip ini
disebut chauvenistik. Pandangan jerman etnosentrisme dan stereotip ini
kemudian mengarah pada penajaman sentiment antisemitisme. Inggris,prancis,
amerika serikat dan soviet yang pada waktu itu sudah berhasil ditundukan oleh
pengaruh yahudi, dipandang berbahaya oleh jerman. Kekuasaan di tiga Negara
tersebut sudah jatuh dibawah kendali pengaruh yahudi zionis. Karena
pandangan inilah jerman memaklumatkan perang.
Begitulah bila saluran komunikasi sudah menemui jalan buntu akibat
tersumbat atau terhambat oleh etnosentrime, stereotip, dan prasangka, yang
terjadi adalah komunikasi dalam bentuk lain, yaitu pertengkaran, pembersihan
etnik melalui pengusiran dan pembunuhan, bahkan peperangan. Sebaliknya
bila hambatan hambatan komunikasi tersebut dapat disisihkan, yang terjadi
adalah persahabatan, solidaritas, kerja sama, dan harmoni kehidupan.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa perbedaan budaya
menyimpan krusialitas yang pada umumnya dipicu oleh etnosentrisme,
stereotip, dan prasangka. Bagaimana memahami ketiga hambatan negative
tersebut? Bagaimana kita menghindarkannya dalam komunikasi lintas
budaya? Persoalan tersebut perl penjelasan yang memadai, sebagaimana
berikut :

 Etnosentrisme

Etnosentrisme adalah kecenderungan menafsirkan perkataan dan


perilaku orang asing dari perspektif norma dan praktik kebudayaan
sendiri. Entnosentrisme merupakan kecenderungan universal. Ini
merupakan kecenderungan alamiah, sejak usia remaja, orang sudah
terbiasa memahami kehidupan dengan pendekatan budaya mereka
sendiri. Mereka sudah terbiasa menganut asumsi bahwa cara mereka
berperilaku merupakan cara yang baik dan benar. Hal ini sedemikian
mendalam berlarut dan berakar dalam benak mereka sehingga ketika
terlibat dalam omunikasi lintas budaya etnosentrisme cenderung
dipertahankan.
Bennett(1993) menyatakan bahwa etnosentrisme memiliki
keragaman bentuk ; dan setiap bentuknya sangat problematic ketika
muncul dalam komunikasi lintas budaya. Pada tingkat tertentu, orang
cenderung menduga bahwa orang asing kurang lebih sama dengan
mereka; begitulah mereka melihat perbedaan penampilan dan
kebiasaan orang lain dengan pengetahuan yang dangkal(Bennet
1991:42-45; samovar dan porter 1991:61).
Bahaya dari asumsi ini adalah orang akan memperlakukan orang
asing menurut cara dan kebiasaannya sendiri yang belum tentu
menyenangkan. Dengan kata lain, orang cenderung mengabaikan
perbedaan asli di antara kebudayaan-kebudayaan yang ada yang bisa
menimbulkan kesalahpahaman dan salah tafsir dalam komunikasi
lintas budaya. Etnosentrisme bisa menjadi hambatan paling serius
dalam komunikasi lintas budaya.
Pada situasi lain, etnosentrisme tampak ketika orang bersedia
menerima pikiran dan gagasan orang asing yang berbeda budaya,
tetapi karena ia menggunakan budayanya sendiri sebagai standar untur
mengkur budaya orang asing maka tak dapat dielakkan, budaya orang
asing tersebut akan dipandang sebagai inferior dan budayanya sendiri
superior(bennet, 1994:34-39). Perasaan yang menilai “ kami benar
dan mereka salah” atau “ kami baik dan mereka buruk” atau ‘kami
berhak dan mereka tak berhak’ berpotensi merusak segala aspek
eksistensi kebudayaan(Samovar dan porter 1995:56). Perspektif
etnosentrisme yang begitu dalam berakar dalam benak bisa digunakan
sebagai basis untuk menafsirkan perilaku orang asing secarra salah.
Tafsiran itu akan cepat di bentuk dan di yakini untuk mengecap orang
asing dengan pengertian yang salah tentang kehidupan mereka.
Dampak etnosentrisme yangpaling bahaya adalah hilangnya
keberanian untuk menafsirkan tanggapan dan tindakan orang asing
secara sewajarnya. Jika kita kehilangan standar kewajaran yang
seharusnya bisa di gunakan untuk memecahkan masalah dan menjalin
kerja sama, hal itu tidak akan mengantarkan kita pada pemahaman
yang memadai untuk melompat ke kesepahaman dan ke kesepakatan.
Dari uraian ini dapat di simpulkan bahwa komunikator yang
melakukan komunikasi lintas budaya perlu mengembangkan
kesadaran dan control dalam proses penafsiran. Penafsiran perlu
dilakukan secara hati-hati sehingga dapat dicapai makna pesan
sebagaimana yang dimaksudkan. Selain itu, untuk menghindarkan
kegagalan komunikasi, komunikator perlu secara sadar melakukan
upaya dalam rangka menyeimbangkan kecenderungan terhadap
penafsiran yang terlalu negative. Lebih

 stereotip

kelanjutan dari sikap etnosentris ini memunculkan sikap stereotip,


yaitu generalisasi berdasrkan pengaalaman yang terbatas terhadap
kelompok orang, objek atau peristiwa yang secara luas di anutsuatu
budaya. Sumber informasi mengenai kelompok oraang dari budaya
yang berbeda itu sering tidak cermat. Memang stereotip ini tidak
selamanya buruk, ada senarai isi kebenaran stereotip, dalam arti bahwa
sebagian stereotip cukup akurat sebagai informasi terbata untuk
menilai sekelompok orang yang belum pernah dikenal sebelumnya.
Menurut purwasito (2002) stereotip adalah pandangan umum dari
suatu kelompok masyarakat lain. Pandangan umum ini biasanya
bersifat negative (salah kapra) artinya bahwa pandangan yang
ditujukan kepada komunitas tertentu, misalnya stereotip untuk
orang semarang dikenal dengan gertak semarang (menggertak). Dan
bagi orang solo umuk solo(sombong), dan stereotip bagi orang jogja
glembuk jogja (merayu). Di kalangan orang sunda (jawa barat),
orang jawa di stereotipkan jawa koek (kolot/kampungan).
Lebih jauh, purwasito menjelaskan stereotip di bangun oleh
kelompok masyarakat dari waktu ke waktu dan mengandung
kerangka interpretasi sendiri berdasarkan lingkungan budayanya.
stereotip biasanya merupakan referensi pertama ketika seseorang
atau kelompok melihat orang atau kelompok lain. Suatu contoh
enilaian umum orang-orang jeapnag terhadap kelompok minoritas
burukumin di jepang, mereka menilai bahwa sebuah perkawinan
dengan orang-orang burukumin dianggap sebagai kesalahan.
Stereotip memengaruhi sikap seseorang, misalnya bagaimana
seseorang akan bersikap atau berperilaku terhadap orang lain,
bagaimana sikap umum masyarakat terhadap orang tersebut.
Demikian pula, bagaimana menyikapi orang yang sama sekali
belum pernah di kenal. Dalam hal hal ini, biasanya orang
mengambil kaidah-kaidah yang berlaku di masyarakatnya. Inilah
cara pandang terhadap dunia yang melekat dalam pribadi seseorang.
Akibatnya, setiap hari muncul perasaan in group dan out group
dalam proses interaksi social tersebut. Di eropa, orang-orang asing
yang berkulit berwarna, kuning langsat atau hitam, kurang di sukai
oleh kebanyakan orang eropa. Hal tersebut disebabkan orang eropa
mempunyai opini public tertentu terhadap orang asing. Stereotip
yang berkembang di masyarakat merupakan rujukan utama
sehingga secara langsung orang eropa mempunyai penilaian
terhadap orang asing. Pikiran yang bergelayut dalam benak orang-
orang eropa : mereka miskin, sering bikin rebut, suka mengganggu,
atau kebudayaan komunal tertentu sehingga kurang menghargai
prestasi individu dan privasi orang lain. Adanya stereotip yang
berkembang tersebut membuat setiap orang asing yang dating ke
eropa harus menyadari kedudukannya sebagai tamu atau pendatang.
Orang eropa memang tidak dipaksa memahami budaya tamunya.
Maka sebagai pendatang harus terbuka dan berlapang dada terhadap
tua rumah. Bagaimana harus bersikap terhadap bangsa eropa?
Seorang asing harus belajar tentang budaya eropa. Meski secara
formal orang oranng asia atau afrika telah mendaftrakan diri dan
tercata sebagai warga Negara eropa, dalam kenyataan sehari-hari
secara social-budaya mereka tetap diperlakukan sebagai orang
asing.Mengutip driessen(1992), purwasito (2002) merupakan
stereotip orang-orang dari budaya-budaya mediterania. Stereotip
orang spanyol menggerak-gerakkan tangan secara berlebihan
berhubungan dengan sikapnya yang sopan, emosional, muda marah
dan bersemangat tinggi. Stereotip mengenai citra orang spanyol ini
terus berlangsung, di ciptakan tidak hanya oleh industry pariwisata
saja, tetapi juga muncul dalam etnografi mutakhir mereka(Tubbs
dan moss, 1996;156). Ada sebuah stereotip yang berlawana dalam
konteks budaya antara gerakan tangan orang spanyol dan arab. Bagi
orang spanyol, mengusap tangan ke kepala adalah penghinaan.
Sebaliknya bagi orang arab isyarat tersebut ialah ungakapan saying.
Bagi orang arab mengusapkan tangan pada pinggul adalah
penghinaan atau pelecahan. Sebaliknya, orang spanyol isyarat
tersebut adalah ungkapan saying atau cinta.
Kita juga sering menyaksikan stereotip dunia barat terhadap
dunia timur, khusunya stereotip dalam konteks politik terhadap
orang-orang islam yang selalu negative. Islam di citrakanidentik
dengan terorisme, kekerasan, gerakan yang menakutkan, dan
banyak pandangan negatiflainnya. Padahal, informasi tentang islam
yang mereka miliki sangat terbatas. Sesungguhnya, mereka sama
sekali tidak berhak memberikan penilaian negative terhadap ajaran
islam secara berlebihan sebab apabila ditelusuri dalam konteks
sejarah, siapa yang melakukan kolonialisme dengan segala
kekerasan dan pemerasan di dunia islam selama kebih dari tiga abad
silam? Siapa lagi jika bukan dunia barat, yitu belanda, spanyol,
inggris, portugis dan perancis. Begitu pula siapa yang menuduh
muslim itu teroris? Bukanka yang menuduh itu sendiri rajanya
teroris, yaitu amerika serikat dan sekutunya dari barat? Bagaiman
irak di porak porandaka, afganistan di hancurkan, palestina
dibombardir, iran di obok-obok dan seluruh islam di hegemoni. Hal
ini tak lain dan tak buka bukan di dasarkan pada stereotip yang
tidak berdasar serta penilaian superior terhadap budaya sendiri,
khusunya budaya kapitalisme.
Sebaliknya, mungkin juga ada pandangan-pandangan stereotip
yang di lontarkan sebagian kalangan muslim terhdap dunia barat.
Mislanya, orang barat di pandang sebagai manusia yang tidak
manusiawi, dan sebagainya. Hal ini pun menurut orang barat di
anggap kurang berdasar karena informasi yang diterima tentang
dunia barat sangat terbatas. Terlepas siapa yang mulai mendengung-
dengungkan dan membesar-besarkan stereotip itu, yang jelas
kenyataan sejarah selama lebih 50 tahun terakhir, dunia islam sering
di terror oleh dunia barat, khususnya oleh amerika serikat dan
beberapa Negara eropa dengan dalih demokrasi ,hak asasi,
kebebasan berekspresi, dan sebagainya. Selain itu, dunia barat di
bawah kepemimpinan amerika serikat sering menggunakan standar
ganda dalam persoalan-persoalan penegakan demokrasi, hak asasi,
dan kebebasan berekspresi di pentas dunia.

Dalam konteks ini, media massa, seperti surat kabar, majalah,


TV, film,video,dan internet, juga ikut berperan dalam penyebaran
stereotip barat terhadap islam. Gumpert cathcart(Dalam Tubbs dan
Moss 1996:256) menyebutkan bahwa TV merupakan sumber utama
pengetahuan bangsa amerika serikat mengenai orang-orang asing.
Bersama tim peneliti dari perancis dan jepang, gumpert melakukan
kajian lintas budaya mengenai stereotip orang-orang amerika,
perancis, dan jepang lewat TV. Berdasarkan temuan mereka,
stereotipbdari media massa memengaruhi interaksi orang-orang
amerika serikat, perancis, dan jepang secara tatap muka dengan
orang-orang dari latar bangsa dan budaya lain.

Sebagaimana di paparkan purwasito(2002), patut diperhatikan


pula bahwa analisis isi media barat yang dibuat Dominick(dalam
Tubbs dan Moss, 1996:256) yang menunjukkan bahwa pria –pria
arab cenderung dipresentasikan dalam tayangan telivisi barat
melalui satu dari tiga stereotip negative berikut :
1. Sebagai teroris (meskipun hanya sedikit orang orang arab yang
memiliki ciri-ciri sesuai dengan kategori teroris yang mereka buat
sendiri). Penstereotipan teroris seperti ini biasa di gambarkan oleh
media barat, baik media elektronik maupun media cetak
2. Sebagai syekh minyak, ini juga tidak terlalu tepat sesuai dengan
kategori yang mereka buat sendiri.
3.Sebagai beduin (suku Badui) yang berpindah-pindah. Sebuah
penelitian menunjukkan hasil temuan yang sangat akurat bahwa hanya
5 persen dari bangsa rab
3.Prasangka
Prasangka adalah anggapan seseorang terhadap orang atau kelompok lain. Prasangka
timbul dari adanya pandangan negatif yang di iringi oleh adanya pemisahan antara perasaan
kelompok dalam (in-group) dan perasaan kelompok luar (out-group). Prasangka memiliki
kecenderungan bersifat negatif terhadap kelompok atau hal-hal khusus seperti ras, suku
bangsa, agama, dan lain-lain. Apabila permulaan komunikasi sudah diawali oleh prasangka
maka komunikasi tidak akan berjalan efektif.
Hambatan prasangka negatif terhadap orang atau kelompok lain mencakup tiga tipe
prasangka, yaitu:
1. Prasangka kognitif, sesuatu yang dianggap benar menurut satu kelompok. Kognisi
berada pada ranah pemahaman yang merupakan cara kerja otak. Dengan demikian,
prasangka kognitif merupakan cara berfikir “benar atau salah” menurut kelompok
tertentu terhadap orang atau kelompok lain.
2. Prasangka afektif, sama sekali tidak menyukai suatu kelompok. Prasangka ini berada
pada ranah perasaan yang merupakan cara kerja hati. Dengan demikian, prasangka
afektif adalah perasaan berbeda ‘suka atau tidak suka’ terhadap orang atau kelompok
lain.
3. Prasangka konatif, yaitu sikap diskriminatif atau agresif terhadap suatu kelompok.
Prasangka ini berada pada ranah perilaku (action) yang cenderung berupa sikap
negatif terhadap orang lain. Jika suatu kelompok merasa tidak suka kepada kelompok
lain maka akan muncul sikap diskriminatif.

Jika prasangka timbul dan sikap saling mencurigai di antara para peserta komunikasi
berkembang dalam proses komunikasi lintas budaya maka komunikasi yang dibangun
tidak akan berjalan secara efektif. Untuk mencapai efektivitas komunikasi, prasangka
perlu ditangkal dengan sikap terbuka dan saling berbagi sehingga kita dapat mendekatkan
diri untuk saling mengenal dan bekerja sama atas dasar kesamaan. Keterbukaan akan
membawa manfaat positif ketimbang prasangka negatif.
PENAFSIRAN DALAM KOMUNIKASI LINTAS BUDAYA
Berbicara tentang komunikasi lintas budaya, berlaku premis bahwa komunikasi lintas
budaya berbeda dari komunikasi dengan anggota dari budaya sendiri. Dengan kata lain,
komunikasi lintas budaya adalah komunikasi yang dilakukan antar komunikator dan
komunikan dari budaya yang berbeda. Perbedaan budaya itu paling tidak bisa di lihat dari
perbedaan bahasa, tradisi, cara berperilaku, dan bersikap. Oleh karena itu, dalam
komunikasi lintas budaya, seorang komunikator harus bersedia mempelajari budaya
komunikannya, terutama situasi kehidupan nyata mereka sehari-hari. Hal ini penting
karena efektivitas komunikasi lintas budaya sangat menghendaki satu aspek penting,
yaitu proses penafsiran makna bahasa, baik verbal maupun nonverbal. Proses penafsiran
ini kerap menjadi masalah dalam berkomunikasi dengan orang asing yang berbeda
budaya.
Kebanyakan komunikator cenderung over estimate terhadap derajat pemahaman
makna kata yang disampaikan secara jelas dan tidak ambigu, namun dipahami secara
salah kaprah oleh komunikan. Over estimate itu sesungguhnya tidak perlu. Namun,
kecenderungan ini begitu kuat, terutama diantara orang-orang China karena mereka
terbiasa memandang komunikasi dalam bahasa asing, sebagaimana komunikasi dalam
bahasanya sendiri. Asumsi ini berdasarkan fakta bahwa ada derajat ambiguitas yang
melekat dalam pesan-pesan yang disampaikan orang China sehingga untuk memahami
suatu pesan selalu membutuhkan derajat penafsiran tertentu. Scollon dan Scollon (1995:
6) mencatat bahwa makna yang kita pertukarkan dalam berkomunikasi bukanlah kata dan
kalimat itu sendiri, melainkan konstruk yang sebagian keluar dari apa yang kita dengar
sehingga kita perlu menafsirkannya secara benar. Sebagai contoh, ketika mendengar
kalimat “How are you” orang China bisa dengan mudah menerjemahkannya, tetapi sulit
untuk menafsirkannya. Mengapa demikian? Karena secara harfiah, kalimat tersebut sulit
ditafsirkan sebagai pertanyaan yang menanyakan kabar kesehatan. Didalam kalimat
tersebut sama sekali tidak terdapat kata ‘kabar’ atau kata ‘kesehatan’, namun bagi orang
inggris, kalimat tersebut menanyakan kabar tentang kesehatan. Begitu juga kata Sunday,
secara harfiah sulit ditafsirkan bermakna minggu. Contoh ini menegaskan perlunya
memahami latar belakang budaya dalam konteks komunikasi lintas budaya.
Kesulitan ini sesungguhnya tidak dialami oleh bangsa China saja, orang-orang dari
suku bangsa lain yang terbiasa menggunakan pendekatan komunikasi dengan
menggunakan standar bahasanya sendiri mungkin juga mengalami kesulitan yang sama
untuk menafsirkan kalimat bahasa inggris. Sementar itu, dalam konteks yang hampir
sama, penafsiran terhdapa perilaku juga tak bisa dipahami menurut standar kebudayaan
sendiri. Barnlun (1994: 24) mencatat bahwa seorang komunikan tidak memberikan
respons yang semestinya ketika orang jepang menundukkan kepala atau ketika orang
Arab berjabat tangan dan berpelukan, sampai ia diberitahu tafsiran dibalik perbuatan
tersebut. Contoh lainnya, ketika delegasi guru dari China tiba dipondok pesantren, mereka
bertanya-tanya mengapa santri wanita menutup kepalanya dengan kerudung. Mereka
mengira para santri itu berkepala gundul. Mereka baru benar-benar yakin bahwa santri
wanita itu tidak gundul setelah meminta salah seorang santri membuka kerudungnya.
Contoh ini menunjukkan begitu tegas bahwa perkataan dan perbuatan memerlukan
penafsiran.
Penafsiran lebih merupakan proses untuk sampai pada pemahaman yang tepat tentang
apa yang dimaksud oleh komunikan. Oleh karena itu, penafsiran perlu dilandasi aspek
efektif yang sangat penting. Orang yang menyampaikan tanggapan emosional positif atau
negatif terhadap perktaan dan tindakan orang lain kerapkali didasari rasa suka atau tidak
suka. Penafsiran sering menjurus pada tanggapan emosional yang secara radikal bereda.
Goleman (1995: 59) memberi contoh seorang pengemudi yang hampir menabrak
pengemudi lain dengan mengungkapkan kekagetannya, sementara pengemudi yang
hampir ditabrak itu menanggapi dengan kemarahan karena tindakannya ditafsirkan
sebagai wujud dari kehendak buruk jika tidak kecerobohan. Padahal perbuatan tersebut
timbul akibat baru belajar mengemudi hingga kebingungan ditengah keramaian jalan
raya. Contoh tersebut menunjukkan bahwa penafsiran adalah hal yang tidak mudah dan
kerap membutuhkan sensivitas dan sikap kritis. Singkatnya, penafsiran memerlukan
ketajaman kognitif dan efektif. Aspek kognitif dan efektif dalam proses penafsiran sangat
erat kaitannya. Faktanya, orang tidak selalu membedakan antara keduanya (Gundykunst
dan Kim, 1985: 194). Dalam situasi kehidupan nyata sering kita temukan seseorang suka
atau tidak suka pada orang lain karena predisposisi dalam menafsirkan perkataan,
tindakan, atau sikap yang tidak menentu atau membingungkan.
Proses penafsiran mengandung dua karakteristik, yaitu otomatisasi dan finalisasi.
Otomatisasi adalah pengertian yang nyaris tidak memerlukan penafsiran terhadap apa
yang ditransmisikan karena sudah terjadi kesepahaman antara komunikator dan
komunikan sehingga proses interpretasi lebih dipengaruhi oleh kecepatan dan otomatisasi
dari pada oleh kesengajaan yang hati-hati (Scollon dan scollon, 1995:11). Pada
kenyataannya, proses penafsiran memang berlangsung begitu cepat dan otomatis sehingga
tidak menyadari bahwa mereka terlibat dalam proses itu.
Finalisasi erat kaitannya dengan penyimpulan. Kerapkali para peserta komunkasi
cenderung menafsirkan perkataan dan tindakan mereka tanpa banyak berfikir.
Kesimpulan yang mereka Tarik dalam interaksi cenderung dijadikan sebagai keputusan
final. Ketika seseorang sampai pada penafsiran mengenai apa yang dikatakan atau
dilakukan orang lain, penafsirannya sering diperlakukan sebagai kesimpulan final, bukan
sebagai hipotesis tentatif (Scollon dan Scollon, 1995: 10). Bahkan ketika orang sampai
pada pertimbangan penafsiran, mereka cenderung menutup diri dan berhenti mencari
penafsiran yang lain (Gundykunst dan Kim, 1985: 88).
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa dalam komunikasi lintas budaya, pesan-
pesan komunikasi hendaknya ditafsirkan dengan memahami persepsi komunikan menurut
situasi kebudayaannya, dan lebih mudah lagi menurut pola pikirnya. Sebagai contoh;
seorang mahasiswa Indonesia, misalnya, berbicara dengan orang inggris, ia perlu segera
mengubah pola pikirnya sesuai dengan pola pikir orang inggris agar bisa memahami
perkataan dan perilakunya.
Problem Penafsiran dalam Komunikasi Llintas Budaya
Dalam komunikasi antara orang-orang dari budaya yang sama tidak terdapat derajat
ketelitian yang tinggi dalam hal menafsirkan perkataan dan perilaku mereka. Namun,
ketika mereka melakukan komunikasi dengan orang dari latar budaya yang berbeda,
barulah mereka menemukan situasi yang menurut peningkatan kesadaran untuk
memahami serta menafsirkan perkataan dan perilaku yang mungkin tak lazim dalam
pandangan mereka. Pada waktu yang sama, mereka juga dituntut untuk menjaga situasi
yang menggairahkan agar komunikasi tetap berlanjut tanpa distori pemahaman atau
miskomunikasi.
Problem pertama dalam komunikasi lintas budaya adalah terbukanya peluang
kesalapahaman satu sama lain. Alasannya sangat jelas, para peserta komunikasi tidak
berasal dari latar budaya yang sama dan pada umumnya mereka cenderung bertahan
dengan budayanya masing-masing sehingga ketika mereka membagikan pengetahuan dan
informasi, terjadi kesulitan untuk mengikuti apa yang sedang dibahas. Pada umumnya,
mereka memiliki asumsi dan keyakinan yang berbeda sehingga terbuka kemungkinan
mereka menafsirkan pesan secara berbeda. Pada akhirnya, mereka menggunakan aturan
wacana dan interaksi yang berbeda pula sehingga mereka menyalahpahami sinyal-sinyal
komunikasi yang penting.
Kebiasaan komunikasi yang dibawa peserta dalam komunikasi lintas budaya
terkadang cenderung bertentangan dengan prinsip komunikasi yang baik, sebagaimana
dijelaskan di atas. Proses penafsiran cenderung berlangsung begitu cepat, tidak disadari,
dan bersifat final. Orang yang sudah familiar dengan budaya lingkungan tertentu punya
kelebihan dalam penafsiran otomatis serta respons cepat dan efektif. Oleh karena itu,
orang yang melakukan komunikasi lintas budaya perlu menyadari tentang terbukanya
peluang kesalahpahaman terhadap orang asing sehingga dalam menyampaikan dan
memahami pesan perlu sikap hati-hati.
Dikarenakan sering tidak menyadari proses penafsiran, orang cenderung terus
menggunakan pola piker dan aturan wacananya sendiri. Mereka baru sadar ketika
komunikasi terhambat. Dalam kasus miskomunikasi sering tidak jelas bahwa problemnya
terletak pada proses penafsiran, alih-alih bertanya apakah komunikan menggunakan
serangkaian standar dan kaidah yang berbeda dalam komunikasi. Bahkan, ketika mereka
dihadapkan pada perilaku yang tidak biasa atau tidak diharapkan mereka serta-merta
menyimpulkan teman bicaranya itu sebagai orang kasar atau abai terhadap nilai-nilai
budaya.
Menurut Gundykunst dan Kim (1985:88), problem terbesar dalam komunikasi lintas
budaya adalah apa yang disebutnya sebagai ‘prinsip negativisme’, yaitu kecenderungan
peserta komunikasi menafsirkan perkataan dan tindakan orang lain menurut latar
kebudayaannya sendiri sehingga mereka cenderung menolak hal-hal yang tidak sesuai
dengan nilai budayanya itu. Dalam hal ini, ada sejumlah alasan yang mereka ajukan,
yakni: ketidakpastian dan harapan yang dikacaukan; terciptanya jarak antara in-group dan
out-group; serta etnosentrisme.
Ketidakpastian dan Harapan yang Dikacaukan
Salah satu karakteristik komunikasi lintas budaya yang kerap kurang disadari adalah
ketidakpastian ketika orang berhubungan dengan orang lain dari latar belakang budaya
yang berbeda. Mereka yang terbiasa memprediksi komunikasi dengan derajat ketelitian
tertentu mengenai apa yang dikatakan dan dilakukan akan terkejut ketika pola perilaku
tiba-tiba berubah. Ketika orang asing tidak berperilaku menurut aturan dan norma
sebagaimana yang diharapkan, barulah disadari bahwa mereka menangkap sinyal-sinyal
berbeda yang ditransmisikan oleh orang asing tersebut; dan merekapun menyadari bahwa
kemampuan mereka untuk memprediksi dan mengendalikan interaksi menemui
perubahan dramatis sehingga mereka cemas dan lebih berhati-hati. Pada situasi
komunikasi seperti itu, harapan-harapan yang semula tertumpu bisa terkacaukan dan
sirna. Dalam ketidakpastian komunikasi, peserta komunikasi cenderung defensive dan
kadang-kadang mereka kehilangan kepercayaan pada orang asing (Barna, 1994: 142:
Samovar, Porter, dan Jain, 1992).
Ketidakpastian pada umumnya dipengaruhi oleh fakta bahwa dalam komunikasi lintas
budaya banyak peserta komunikasi menggunakan bahasa yang bukan bahasanya sendiri.
Para pakar bahasa menyatakan bahwa tidak nyamannya ketika mereka menyaksikan
orang kerkomunikasi dengan menggukan bahasa asing atau menemukan perilaku aneh,
sementara pengetahuannya tentang hal itu terbatas. Apabila hal tersebut terjadi, tidak
mustahil apa yang diharapkan untuk dipahami dalam komunikasi bisa terkacaukan.
Sebagaimana dikatakan Paige (1993: 9) bahwa berkomunikasi dengan bahasa asing
kerapkali melelahkan dan kelelahan ini bisa berakibat pudarnya pengharapan
sebagaimana tampak dalam kecenderungan peserta komunikasi yang kurang bersemangat
untuk menyimak pesan-pesan yang disampaikan. Fenomena ini jarang ditemukan dalam
komunikasi dengan orang dari kebuyaan sendiri.
Jarak antara In-groub dan Out-group
Salah satu faktor yang paling mendasar dalam kebudayaan adalah kecenderungan
untuk melihat orang lain dengan ukuran In-group dan Out-group atau dengan sudut
pandang ‘kami’ dan ‘mereka’ (Gundykunst dan Kim,1985:64;Brislin 1994:180). In-group
terdiri atas orang-orang yang dipilih untuk mengidentifikasi identitas budaya yang sama
serta memiliki perasaan dan derajat kemamputanggapan yang sama tinggi. Batas yang
menentukan jarak antara in-group dan out-group bersifat flesibel; siapa yang termasuk
dalam in-group bisa bervariasi tergantung pada situasi dan kepentingan, tidak melulu
menurut standar budaya. Hal ini tampak sangat jelas seperti dalam susunan anggota tim
sepakbola yang pemainnya terdiri atas suku bangsa dan anggota budaya yang berbeda-
beda, namun punya kepentingan yang sama. Dalam komunikasi lintas budaya, orang dari
Negara atau kebudayaan lain biasanya selalu dipandang sebagai out-group dan disebut
‘mereka’ bukan ‘kami’. Out-group biasanya dianggap berpandangan negatif dan memiliki
jarak yang lebih jauh, kurang sensitif, dan kurang dapat dipercaya.
Kecenderungan menjaga jarak antara out-group ini tidak mesti berarti ‘mereka’ akan
selalu dianggap berpandangan bermusuhan. Akan tetapi, ketika timbul masalah, timbul
pula predisposisi terhadap mereka untuk mengambil jarak tertentu dengan cepat yang
memisahkan mereka dari kelompoknya sendiri.
Pergaulan antar bangsa berada dalam wilayah internasional yang multi budaya
sehingga mengharuskan setiap bangsa saling memahami budaya bangsa lain, dan
selanjutnya memtik manfaaat dari hasil hubungan tersebut. Setiap bangsa harus sepakat
bahwa perbedaan budaya merupakan kekuatan untuk membangun kehidupan dunia baru
yang lebih baik untuk hidup berdampingan secara rukun dan damai.
URGENSI PERCAYA DIRI DALAM KOMUNIKASI LINTAS BUDAYA
Ketika satu bangsa berhadapan dengan bangsa lain, yang pertamakali terbayangkan
didalam benak saya adalah peluang terjadinya saling curiga, ketidakpastian, tidak
saling menghargai, dan mau menang sendiri. Dalam situasi seperti ini, hal penting
yang perlu dilakukan adalah membangun rasa percaya diri untuk menetralkan
kecurigaan dengan berperan dan mengambil manfaat dari komunkasi. Komunikasi
lintas budaya idealnya memuat berbagai informasi dan nilai-nilai budaya yang pada
dasarnya ditunjukkan untuk membuka seluas-luasnya manfaat dan keberhasilan dari
sebuah tindak komunikasi.
Penumbuhan rasa percaya diri (self confidence) dapat dibangun lewat berbagai cara,
antara lain lewat penguasaan dan pemahaman terhadap bahasa, unsur rasial, norma,
dan nilai budaya asing. Selain itu, percaya diri juga bisa dibangun lewat kemampuan
dan kemauan seorang idividu untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan serta
budaya asing tersebut. Hal ini antara lain dapat ditempuh dengan berempati dan
beradaptasi. Kemauan dan kemampuan untuk berempati seyoginya ditunjukkan
dengan cara membuka diri untuk memahami budaya orang lain. Bersikap empati
berarti menanamkan rasa toleransi yang tinggi terhadap perbedaan latar belakang
budaya. Sikap toleransi ini juga akan ditangkap oleh orang lain sebagai suatu
penghargaan yang menumbuhkan simpati. Kemampuan untuk dapat menerjemahkan
proses dan pesan komunikasi serta menjauhkan hambatan akan melahirkan
kepercayaan diri.
Meskipun empati merupakan satu cara agar kepercayaan diri dapat tumbuh dalam
berinteraksi dengan orang asing, tetapi tidak perlu berlebihan, misalnya, dengan
menempatkan diri seolah-olah seperti menjadi penduduk asli, atau menjadi salah satu
dari mereka. Hal tersebut dapat merusak citra diri dan menjadi tampak aneh. Setiap
orang harus bangga atau percaya diri terhadap budaya yang dimiliki. Dalam hal ini,
percaya diri berarti mempunyai kemampuan untuk menunjukkan identitas budaya
secara apa adanya dan tidak berpretensi memuji budaya sendiri atau merendahkan
budaya lain.
Hal ini tidak kalah penting adalah kemampuan untuk menumbuhkan inspirasi kepada
setiap individu agar bersikap lebih fleksibel dan adaptable terhadap budaya asing. Hal
ini merupakan kegiatan atau proses penyesuaian diri yang perlu diupayakan terus
menerus untuk mencapai manfaat yang lebih baik dalam kegiatan komunikasi. Untuk
hal ini, setiap pelaku komunikasi harus mampu menghargai tradisi dan kebiasaan
setempat. Karena alasan hendak menarik perhatian, tidak perlu membuat lelucon yang
menyinggung keanehan nilai budaya local, ritual, praktik budaya, termasuk gaya
hidup atau makanan karena dapat menyinggung perasaan orang lain. Sebagai contoh,
ada sekelompok masyarakat di Selvilla, Spanyol, punya kebiasaan memakan makanan
yang terbuat dari daging babi yang terlebih dahulu ditanam dibawah tanah selama
beberapa hari hingga berbelatung dan dicampur dengan minuman keras sebelum
dihidangkan. Kebiasaan tersebut mungkin aneh bagi orang lain, tetapi kita harus
menghargainya.
Untuk menumbuhkan percaya diri dalam komunikasi lintas budaya, beberapa cara
lain yang dapat digunakan adalah dengan kesediaan melibatkan diri dalam kegiaatan
yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip hidup peserta komunikasi. Misalnya,
salah seorang peserta komunikasi ada orang islam yang tidak memakan daging babi
karena diharamkan oleh agama. Orang bersangkutan harus menegaskan dirinya
sebagai seorang muslim yang tidak memakan daging babi. Disini, setiap peserta
komunikasi perlu meyakinkan kepada entitas komunikasi dengan cara mengambil
inisiatif untuk melawan perasaan syak wasangka dengan menbangun kepercyaan diri.
Kebernian untuk memberi petunjuk kepada entitas komunikasi seperti ini sangat
diperlukan dalam berhubungan dengan orang lain yang berbeda budaya.
Dikarenakan komunikasi lintas budaya memiliki karakteristik yang sifatnya sangat
personal maka menjadi wajar bila seorang komunikator percaya pada keberaniannya
untuk memperlihatkan budayanya sendiri dan menghargai perbedaan budaya yang ada
dalam membangun relasi. Dengan mengutip Melvin De Flein, dalam bukunya yang
berjudul dimensi-dimensi komunikasi, Onong Uchjanah Effendy (1981:169-71)
menejelaskan bahwa terdapat 4 teori sikap yang diperlukan dalam melakukan
komunikasi:
1. Individual Differences Theory bahwa khalayak sebagai komunikan secara selektif
psikologis memperhatikan suatu pesan komunikasi jika berkaitan dengan
kepentingannya, kepercayaan, dan nilai-nilai budayanya.
2. Social Categories Theory bahwa meskipun masyarakat modern sifatnya heterogen,
namun orang-orang yang mempunyai sifat yang sama akan memilih pesan
komunikasi yang kira-kira sama dan akan memberikan tanggapan yang kira-kira sama
pula.
3. Social Relationsehip Theory bahwa ketika pesan komunikasi hanya sampai pada
seseorang, dan orang tersebut adalah pemuka pendapat (opinion leader), maka
informasi atau isi pesan tersebut akan diterjemahkan dan diteruskan kepada orang
lain. Ini berarti opinion leader mempunyai pengaruh pribadi (personal influence) yang
merupakan mekanisme penting untuk memodifikasi pesan komunikasi.
4. Cultural Norms Theory bahwa melalui penyajian yang selektif dan penekanan pada
tema tertentu akan tercipta kesan bahwa norma-norma budaya yang sama mengenai
topik-topik tertentu dibentuk dengan cara-cara khusus dengan batas-batas situasi
perorangan, yaitu:
a. Reinfource existing patterns bahwa pesan komunikasi dapat memperkuat pola-
pola yang sudah ada dan mengarahkan orang-orang untuk percaya bahwa suatu
bentuk sosial dipelihara oleh masyarakat.
b. Create new shared conviction bahwa keyakinan baru mengenai suatu topic bisa
dibagi kepada orang-orang yang kurang mengetahui atau kurang berpengalaman
sebelumnya.
c. Change existing norms, bahwa mengubah norma-norma yang sudah ada dapat
memengaruhi atau mengubah tingkalaku orang-orang yang menganut norma
tersebut.
TUGAS KE 2
1. Jelaskan pengertian komunikasi dan kebudayaan
2. Jelaskan unsur budaya menurut lebar Tubbs (1996:237)
3. Sebutkan dimensi dan unsur kebudayaan
4. Jelaskan perbedaan budaya,ras,nilai dan norma,sistem religi serta tradisi
5. Jelaskan hubungan komunikasi dengan kebudayaan
6. Jelaskan krusialitas perbedaan kebudayaan
7. Jelaskan apa yang dimaksud etnosentrisme,stereotip,dan prasangka
8. Jelaskan penafsiran dalam komunikasi lintas budaya menurut pendapat
anda
9. Jelaskan perbedaan in-group dan out group
10. Jelaskan urgensi percaya diri dalam komunikasi lintas budaya

Anda mungkin juga menyukai