Budaya setiap bangsa mempunyai ciri khas tertentu, unik dan local.
Setiap budaya mempunyai cara dan kebiasaan, kepercayaan dan keyakinan
yang diambil dari norma, serta nilai yang berkembang di tengah
masyarakatnya. Apa yang harus dilakukan dan apa yang harus dijauhi dalam
tindakan seseorang disebut norma. Sedangkan apa yang baik dilakukan dan
apa yang buruk dilakukan disebut sebagai nilai. Ini merupakan system moral
yang dikembangkan oleh komunitas masyarakat. System nilai budaya
merupakan tingkat yang paling tinggi dan paling abstrak dari adat istiadat. Hal
ini disebabkan nilai nilai budaya merupakan konsep mengenai apa yang ada
dan hidup di alam pikiran serta di anggap bernilai, berharga dan penting
sehingga system nilai tersebut berguna sebagai pedoman berperilaku yang
memberi arah serta orientasi bagi setiap masyarakat untuk menjalankan
kehidupan. System nilai budaya membentuk hubungan-hubungan atau
interaksi antarmanusia. Di satu pihak, ada masyarakat yang lebih
mementingkan hubungan yang bersifat vertical, yaitu hubungan antara para
tokoh, pemimpin, dan atasan, yang bersifat paternalistic. Di pihak lain, ada
pula masyarakat yang mementingkan hubungan horizontal, yaitu interaksi
antar sesame dalam kehidupan kolektif yang solid. Sebaliknya, ada juga
kebudayaan yang sangat mementingkan individualism sehingga manusia
dalam kehidupan harus berdiri sendiri dan bersentuhan seminimal mungkin
dengan lingkungan sosialnya keculi untuk memenuhi kebutuhannya.
3. Sistem Religi
Setiap masyarakat mempunyai system religi, yakni adanya kepercayaan
manusia terhadap keberadaan kekuatan yang lebih tinggi, mahakuasa, dan gaib
kedudukannya. Karena adanya kepercayaan yang di anutnya itu, manusia
menjalankan aktivitas ritual religious sebagai cara berkomunikasi dengan
kekuatan gaib. Aktivitas manusia dalam hubungannya dengan system religi
disebut dengan religious emotion. Emosi keagamaan ini mempunyai dampak
yang luas terhdapat aktivitas kehidupan manusia, terutama dalam menentukan
penilaian terhadap benda, tindakan dan gagasan yang dianggap memiliki sacred
value(nilai kekeramatan). Sebaliknya, emosi keagamaan juga menentukan
penilaian atas suatu benda, tindakan dan gagasan sebagai bersifat tidak keramat
(profan). Jadi nilai tersebut relative, sangat tergantung pada manusia yang
memercayainya emosi keagamaan merupakan unsur penting dalam system
religi, system keyakinan, atau system ritual keagamaan. Kebudayaan dalam
konteks system ini mempersoalkan masalah terciptanya dunia dan alam
semesta, karakter dari dunia dan alam, serta system kepercayaan dan gagasan
tentang riwayat tuhan atau dewa. Praktik ritual keagamaan diwujudkan dalam
bentuk yang khas, seperti berdoa, sembahyang, bertapa/bersemedi, beropuasa,
berzikir, sesajen, berkurban, melantunkan nyanyian sacral, tarian suci, dan
trance. Persoalan kebudayaan dalam konteks komunikasi muncul ketika kita
berhubungan dengan suatu masyarakat yang menganggap penting unsur-unsur
religi, tetapi tidak dianggap penting oleh masyarakat lainnya.
4. Tradisi
Perbedaan budaya pada satu sisi dapat mendorong orang untuk saling
mengenal dan memperkaya wawasan budaya. Dengaan wawasan budaya yang
memadai, seseorang dapat menjalin hubungan baik dengan orang lain dari
budaya berbeda. Dari hubungan baik tersebut dapat diperoleh berbagai
keuntungan social , budaya, ekonomi politi dan sebagaianya. Namun, pada sisi
lain, perbedaan budaya juga menampilkan krusialitas yang menyimpan potensi
berbahaya ketika perbedaan itu di pertajam sehingga menjauhkan jarak
antarbudaya, menimbulkan konflik budaya dan disintegritasi social.
Oleh karena itu, kajian komunikasi lintas budaya menaruh perhatian serius
terhadap pentingnya efektivitas komunikasi lintas budaya dengan titik tekan
pada persoalan perbedaan budaya. Perbedaan budaya sangat krusial ketika di
pahami dengan pandangan etnosentrisme, streotip, dan prasangka yang kerap
muncul dalam komunikasi lintas budaya. Ketiga macam pandangan ini perlu
di waspadai. Pada satu sisi untuk menghindari komunikasi dari hambatan yang
dapat menggagalkan efektivitas serta tujuan komunikasi dan pada sisi lain
untuk mendorong tercapainya efektivitas serta tujuaan komunikasi.
Bisa di bayangkan apa yang akan terjadi ketika komunikasi dipenuhi
etnosentris, streotip, dan prasangka. Perkelahian antarorganisai atau antar
partai politik, bahkan antar pelajar, yang terjadi di kota kota besar dilator
belakangi oleh sikap etnosentri, pandangan stereotip dan prasangka. Begitu
juga setiap kali dilaksanakan pilkada, tak jarang ajang pilkada yang
dimaksudkan untuk tujuan yang baik diliputi denga perkelahian antar
pendukung kandidat kepala daerah akibat fanatisme kelompok, kesukuan dan
prasangka. Dalam panggung politik, tak jarang pula terjadi kasus
pembunuhan, baik pembunuhan karakter maupun pembunuhan fisik, yang
dilakukan oleh lawan politik yang berambisi untuk merebut kekuasaan. Tentu
saja, kasus ini terjadi oleh berbagai sebab. Namun, apapun alasannya, sebab
paling mendasar lebih bersumber pada etnosentrisme, stereotip dan prasangka.
Jika perbedaan yang ada bisa dikomunikasikan dengan lapang dada sehingga
menghasilkan kesepakatan-kesepakatan dan pembagian peran maka tak akan
terjadi kasus pembunuhan yang mengenaskan.
Dalam arena persaingan usaha dan bisnis pun demikian. Tidak jarang
ketidakmampuan dalam mengendalikan diri menyuburkan pengumbaran
pandangan stereotip, prasangka dan sikap etnosentri. Pada 1999, pernah terjadi
pengusiran etnik di papua. Kekayaan harta benda dijarah dan di bakar. Seluruh
warga penduduk beretnik bugis-makassar dipaksa keluar. Bahkan mereka di
ancam di bunuh bila tak sudi hengkang. Peristiwa tersebut meletus karena di
picu oleh sentiment terhadap etnik Bugis-makassar yang hidup sejahtera dan
makmur dari berdagang. Ditingkat dunia, ketika jerman di bawa kekuasaan
hitler, partai nazi membakar sentiment antiras yahudi. Dimata nazi, ras yahudi
dipenuhi para pembohong, pemeras, penipu, penyulut keributan, lintah darat
yang parasitis, racun darah yang mematikan, pembunuh, dan lain lain. Ras
yahudi dinilai sebagai criminal yang harus ditolak eksistensinya di tanah
jerman. Untuk mengeliminasi bahaya yahudi, nazi menyingkirkan aparat
yahudi dari seluruh lembaga pemerintahan. Kaum yahudi di usir dan di bantai.
Dalam skala lebih besar, meletusnya perang dunia I dan perang dunia
II yang hingga kini masih misterius sebab musababnya, diduga kuat berawal
dari pandangan bangsa jerman bahwa mereka, yang notabene keturunan
bangsa arya, merupakan warga dunia kelas satu, yang memiliki hak
prerogative dan privilege serta superioritas untuk mengatur dunia sedangkan
bangsa lain yang inferior tidak berhak. Pandangan jerman yang stereotip ini
disebut chauvenistik. Pandangan jerman etnosentrisme dan stereotip ini
kemudian mengarah pada penajaman sentiment antisemitisme. Inggris,prancis,
amerika serikat dan soviet yang pada waktu itu sudah berhasil ditundukan oleh
pengaruh yahudi, dipandang berbahaya oleh jerman. Kekuasaan di tiga Negara
tersebut sudah jatuh dibawah kendali pengaruh yahudi zionis. Karena
pandangan inilah jerman memaklumatkan perang.
Begitulah bila saluran komunikasi sudah menemui jalan buntu akibat
tersumbat atau terhambat oleh etnosentrime, stereotip, dan prasangka, yang
terjadi adalah komunikasi dalam bentuk lain, yaitu pertengkaran, pembersihan
etnik melalui pengusiran dan pembunuhan, bahkan peperangan. Sebaliknya
bila hambatan hambatan komunikasi tersebut dapat disisihkan, yang terjadi
adalah persahabatan, solidaritas, kerja sama, dan harmoni kehidupan.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa perbedaan budaya
menyimpan krusialitas yang pada umumnya dipicu oleh etnosentrisme,
stereotip, dan prasangka. Bagaimana memahami ketiga hambatan negative
tersebut? Bagaimana kita menghindarkannya dalam komunikasi lintas
budaya? Persoalan tersebut perl penjelasan yang memadai, sebagaimana
berikut :
Etnosentrisme
stereotip
Jika prasangka timbul dan sikap saling mencurigai di antara para peserta komunikasi
berkembang dalam proses komunikasi lintas budaya maka komunikasi yang dibangun
tidak akan berjalan secara efektif. Untuk mencapai efektivitas komunikasi, prasangka
perlu ditangkal dengan sikap terbuka dan saling berbagi sehingga kita dapat mendekatkan
diri untuk saling mengenal dan bekerja sama atas dasar kesamaan. Keterbukaan akan
membawa manfaat positif ketimbang prasangka negatif.
PENAFSIRAN DALAM KOMUNIKASI LINTAS BUDAYA
Berbicara tentang komunikasi lintas budaya, berlaku premis bahwa komunikasi lintas
budaya berbeda dari komunikasi dengan anggota dari budaya sendiri. Dengan kata lain,
komunikasi lintas budaya adalah komunikasi yang dilakukan antar komunikator dan
komunikan dari budaya yang berbeda. Perbedaan budaya itu paling tidak bisa di lihat dari
perbedaan bahasa, tradisi, cara berperilaku, dan bersikap. Oleh karena itu, dalam
komunikasi lintas budaya, seorang komunikator harus bersedia mempelajari budaya
komunikannya, terutama situasi kehidupan nyata mereka sehari-hari. Hal ini penting
karena efektivitas komunikasi lintas budaya sangat menghendaki satu aspek penting,
yaitu proses penafsiran makna bahasa, baik verbal maupun nonverbal. Proses penafsiran
ini kerap menjadi masalah dalam berkomunikasi dengan orang asing yang berbeda
budaya.
Kebanyakan komunikator cenderung over estimate terhadap derajat pemahaman
makna kata yang disampaikan secara jelas dan tidak ambigu, namun dipahami secara
salah kaprah oleh komunikan. Over estimate itu sesungguhnya tidak perlu. Namun,
kecenderungan ini begitu kuat, terutama diantara orang-orang China karena mereka
terbiasa memandang komunikasi dalam bahasa asing, sebagaimana komunikasi dalam
bahasanya sendiri. Asumsi ini berdasarkan fakta bahwa ada derajat ambiguitas yang
melekat dalam pesan-pesan yang disampaikan orang China sehingga untuk memahami
suatu pesan selalu membutuhkan derajat penafsiran tertentu. Scollon dan Scollon (1995:
6) mencatat bahwa makna yang kita pertukarkan dalam berkomunikasi bukanlah kata dan
kalimat itu sendiri, melainkan konstruk yang sebagian keluar dari apa yang kita dengar
sehingga kita perlu menafsirkannya secara benar. Sebagai contoh, ketika mendengar
kalimat “How are you” orang China bisa dengan mudah menerjemahkannya, tetapi sulit
untuk menafsirkannya. Mengapa demikian? Karena secara harfiah, kalimat tersebut sulit
ditafsirkan sebagai pertanyaan yang menanyakan kabar kesehatan. Didalam kalimat
tersebut sama sekali tidak terdapat kata ‘kabar’ atau kata ‘kesehatan’, namun bagi orang
inggris, kalimat tersebut menanyakan kabar tentang kesehatan. Begitu juga kata Sunday,
secara harfiah sulit ditafsirkan bermakna minggu. Contoh ini menegaskan perlunya
memahami latar belakang budaya dalam konteks komunikasi lintas budaya.
Kesulitan ini sesungguhnya tidak dialami oleh bangsa China saja, orang-orang dari
suku bangsa lain yang terbiasa menggunakan pendekatan komunikasi dengan
menggunakan standar bahasanya sendiri mungkin juga mengalami kesulitan yang sama
untuk menafsirkan kalimat bahasa inggris. Sementar itu, dalam konteks yang hampir
sama, penafsiran terhdapa perilaku juga tak bisa dipahami menurut standar kebudayaan
sendiri. Barnlun (1994: 24) mencatat bahwa seorang komunikan tidak memberikan
respons yang semestinya ketika orang jepang menundukkan kepala atau ketika orang
Arab berjabat tangan dan berpelukan, sampai ia diberitahu tafsiran dibalik perbuatan
tersebut. Contoh lainnya, ketika delegasi guru dari China tiba dipondok pesantren, mereka
bertanya-tanya mengapa santri wanita menutup kepalanya dengan kerudung. Mereka
mengira para santri itu berkepala gundul. Mereka baru benar-benar yakin bahwa santri
wanita itu tidak gundul setelah meminta salah seorang santri membuka kerudungnya.
Contoh ini menunjukkan begitu tegas bahwa perkataan dan perbuatan memerlukan
penafsiran.
Penafsiran lebih merupakan proses untuk sampai pada pemahaman yang tepat tentang
apa yang dimaksud oleh komunikan. Oleh karena itu, penafsiran perlu dilandasi aspek
efektif yang sangat penting. Orang yang menyampaikan tanggapan emosional positif atau
negatif terhadap perktaan dan tindakan orang lain kerapkali didasari rasa suka atau tidak
suka. Penafsiran sering menjurus pada tanggapan emosional yang secara radikal bereda.
Goleman (1995: 59) memberi contoh seorang pengemudi yang hampir menabrak
pengemudi lain dengan mengungkapkan kekagetannya, sementara pengemudi yang
hampir ditabrak itu menanggapi dengan kemarahan karena tindakannya ditafsirkan
sebagai wujud dari kehendak buruk jika tidak kecerobohan. Padahal perbuatan tersebut
timbul akibat baru belajar mengemudi hingga kebingungan ditengah keramaian jalan
raya. Contoh tersebut menunjukkan bahwa penafsiran adalah hal yang tidak mudah dan
kerap membutuhkan sensivitas dan sikap kritis. Singkatnya, penafsiran memerlukan
ketajaman kognitif dan efektif. Aspek kognitif dan efektif dalam proses penafsiran sangat
erat kaitannya. Faktanya, orang tidak selalu membedakan antara keduanya (Gundykunst
dan Kim, 1985: 194). Dalam situasi kehidupan nyata sering kita temukan seseorang suka
atau tidak suka pada orang lain karena predisposisi dalam menafsirkan perkataan,
tindakan, atau sikap yang tidak menentu atau membingungkan.
Proses penafsiran mengandung dua karakteristik, yaitu otomatisasi dan finalisasi.
Otomatisasi adalah pengertian yang nyaris tidak memerlukan penafsiran terhadap apa
yang ditransmisikan karena sudah terjadi kesepahaman antara komunikator dan
komunikan sehingga proses interpretasi lebih dipengaruhi oleh kecepatan dan otomatisasi
dari pada oleh kesengajaan yang hati-hati (Scollon dan scollon, 1995:11). Pada
kenyataannya, proses penafsiran memang berlangsung begitu cepat dan otomatis sehingga
tidak menyadari bahwa mereka terlibat dalam proses itu.
Finalisasi erat kaitannya dengan penyimpulan. Kerapkali para peserta komunkasi
cenderung menafsirkan perkataan dan tindakan mereka tanpa banyak berfikir.
Kesimpulan yang mereka Tarik dalam interaksi cenderung dijadikan sebagai keputusan
final. Ketika seseorang sampai pada penafsiran mengenai apa yang dikatakan atau
dilakukan orang lain, penafsirannya sering diperlakukan sebagai kesimpulan final, bukan
sebagai hipotesis tentatif (Scollon dan Scollon, 1995: 10). Bahkan ketika orang sampai
pada pertimbangan penafsiran, mereka cenderung menutup diri dan berhenti mencari
penafsiran yang lain (Gundykunst dan Kim, 1985: 88).
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa dalam komunikasi lintas budaya, pesan-
pesan komunikasi hendaknya ditafsirkan dengan memahami persepsi komunikan menurut
situasi kebudayaannya, dan lebih mudah lagi menurut pola pikirnya. Sebagai contoh;
seorang mahasiswa Indonesia, misalnya, berbicara dengan orang inggris, ia perlu segera
mengubah pola pikirnya sesuai dengan pola pikir orang inggris agar bisa memahami
perkataan dan perilakunya.
Problem Penafsiran dalam Komunikasi Llintas Budaya
Dalam komunikasi antara orang-orang dari budaya yang sama tidak terdapat derajat
ketelitian yang tinggi dalam hal menafsirkan perkataan dan perilaku mereka. Namun,
ketika mereka melakukan komunikasi dengan orang dari latar budaya yang berbeda,
barulah mereka menemukan situasi yang menurut peningkatan kesadaran untuk
memahami serta menafsirkan perkataan dan perilaku yang mungkin tak lazim dalam
pandangan mereka. Pada waktu yang sama, mereka juga dituntut untuk menjaga situasi
yang menggairahkan agar komunikasi tetap berlanjut tanpa distori pemahaman atau
miskomunikasi.
Problem pertama dalam komunikasi lintas budaya adalah terbukanya peluang
kesalapahaman satu sama lain. Alasannya sangat jelas, para peserta komunikasi tidak
berasal dari latar budaya yang sama dan pada umumnya mereka cenderung bertahan
dengan budayanya masing-masing sehingga ketika mereka membagikan pengetahuan dan
informasi, terjadi kesulitan untuk mengikuti apa yang sedang dibahas. Pada umumnya,
mereka memiliki asumsi dan keyakinan yang berbeda sehingga terbuka kemungkinan
mereka menafsirkan pesan secara berbeda. Pada akhirnya, mereka menggunakan aturan
wacana dan interaksi yang berbeda pula sehingga mereka menyalahpahami sinyal-sinyal
komunikasi yang penting.
Kebiasaan komunikasi yang dibawa peserta dalam komunikasi lintas budaya
terkadang cenderung bertentangan dengan prinsip komunikasi yang baik, sebagaimana
dijelaskan di atas. Proses penafsiran cenderung berlangsung begitu cepat, tidak disadari,
dan bersifat final. Orang yang sudah familiar dengan budaya lingkungan tertentu punya
kelebihan dalam penafsiran otomatis serta respons cepat dan efektif. Oleh karena itu,
orang yang melakukan komunikasi lintas budaya perlu menyadari tentang terbukanya
peluang kesalahpahaman terhadap orang asing sehingga dalam menyampaikan dan
memahami pesan perlu sikap hati-hati.
Dikarenakan sering tidak menyadari proses penafsiran, orang cenderung terus
menggunakan pola piker dan aturan wacananya sendiri. Mereka baru sadar ketika
komunikasi terhambat. Dalam kasus miskomunikasi sering tidak jelas bahwa problemnya
terletak pada proses penafsiran, alih-alih bertanya apakah komunikan menggunakan
serangkaian standar dan kaidah yang berbeda dalam komunikasi. Bahkan, ketika mereka
dihadapkan pada perilaku yang tidak biasa atau tidak diharapkan mereka serta-merta
menyimpulkan teman bicaranya itu sebagai orang kasar atau abai terhadap nilai-nilai
budaya.
Menurut Gundykunst dan Kim (1985:88), problem terbesar dalam komunikasi lintas
budaya adalah apa yang disebutnya sebagai ‘prinsip negativisme’, yaitu kecenderungan
peserta komunikasi menafsirkan perkataan dan tindakan orang lain menurut latar
kebudayaannya sendiri sehingga mereka cenderung menolak hal-hal yang tidak sesuai
dengan nilai budayanya itu. Dalam hal ini, ada sejumlah alasan yang mereka ajukan,
yakni: ketidakpastian dan harapan yang dikacaukan; terciptanya jarak antara in-group dan
out-group; serta etnosentrisme.
Ketidakpastian dan Harapan yang Dikacaukan
Salah satu karakteristik komunikasi lintas budaya yang kerap kurang disadari adalah
ketidakpastian ketika orang berhubungan dengan orang lain dari latar belakang budaya
yang berbeda. Mereka yang terbiasa memprediksi komunikasi dengan derajat ketelitian
tertentu mengenai apa yang dikatakan dan dilakukan akan terkejut ketika pola perilaku
tiba-tiba berubah. Ketika orang asing tidak berperilaku menurut aturan dan norma
sebagaimana yang diharapkan, barulah disadari bahwa mereka menangkap sinyal-sinyal
berbeda yang ditransmisikan oleh orang asing tersebut; dan merekapun menyadari bahwa
kemampuan mereka untuk memprediksi dan mengendalikan interaksi menemui
perubahan dramatis sehingga mereka cemas dan lebih berhati-hati. Pada situasi
komunikasi seperti itu, harapan-harapan yang semula tertumpu bisa terkacaukan dan
sirna. Dalam ketidakpastian komunikasi, peserta komunikasi cenderung defensive dan
kadang-kadang mereka kehilangan kepercayaan pada orang asing (Barna, 1994: 142:
Samovar, Porter, dan Jain, 1992).
Ketidakpastian pada umumnya dipengaruhi oleh fakta bahwa dalam komunikasi lintas
budaya banyak peserta komunikasi menggunakan bahasa yang bukan bahasanya sendiri.
Para pakar bahasa menyatakan bahwa tidak nyamannya ketika mereka menyaksikan
orang kerkomunikasi dengan menggukan bahasa asing atau menemukan perilaku aneh,
sementara pengetahuannya tentang hal itu terbatas. Apabila hal tersebut terjadi, tidak
mustahil apa yang diharapkan untuk dipahami dalam komunikasi bisa terkacaukan.
Sebagaimana dikatakan Paige (1993: 9) bahwa berkomunikasi dengan bahasa asing
kerapkali melelahkan dan kelelahan ini bisa berakibat pudarnya pengharapan
sebagaimana tampak dalam kecenderungan peserta komunikasi yang kurang bersemangat
untuk menyimak pesan-pesan yang disampaikan. Fenomena ini jarang ditemukan dalam
komunikasi dengan orang dari kebuyaan sendiri.
Jarak antara In-groub dan Out-group
Salah satu faktor yang paling mendasar dalam kebudayaan adalah kecenderungan
untuk melihat orang lain dengan ukuran In-group dan Out-group atau dengan sudut
pandang ‘kami’ dan ‘mereka’ (Gundykunst dan Kim,1985:64;Brislin 1994:180). In-group
terdiri atas orang-orang yang dipilih untuk mengidentifikasi identitas budaya yang sama
serta memiliki perasaan dan derajat kemamputanggapan yang sama tinggi. Batas yang
menentukan jarak antara in-group dan out-group bersifat flesibel; siapa yang termasuk
dalam in-group bisa bervariasi tergantung pada situasi dan kepentingan, tidak melulu
menurut standar budaya. Hal ini tampak sangat jelas seperti dalam susunan anggota tim
sepakbola yang pemainnya terdiri atas suku bangsa dan anggota budaya yang berbeda-
beda, namun punya kepentingan yang sama. Dalam komunikasi lintas budaya, orang dari
Negara atau kebudayaan lain biasanya selalu dipandang sebagai out-group dan disebut
‘mereka’ bukan ‘kami’. Out-group biasanya dianggap berpandangan negatif dan memiliki
jarak yang lebih jauh, kurang sensitif, dan kurang dapat dipercaya.
Kecenderungan menjaga jarak antara out-group ini tidak mesti berarti ‘mereka’ akan
selalu dianggap berpandangan bermusuhan. Akan tetapi, ketika timbul masalah, timbul
pula predisposisi terhadap mereka untuk mengambil jarak tertentu dengan cepat yang
memisahkan mereka dari kelompoknya sendiri.
Pergaulan antar bangsa berada dalam wilayah internasional yang multi budaya
sehingga mengharuskan setiap bangsa saling memahami budaya bangsa lain, dan
selanjutnya memtik manfaaat dari hasil hubungan tersebut. Setiap bangsa harus sepakat
bahwa perbedaan budaya merupakan kekuatan untuk membangun kehidupan dunia baru
yang lebih baik untuk hidup berdampingan secara rukun dan damai.
URGENSI PERCAYA DIRI DALAM KOMUNIKASI LINTAS BUDAYA
Ketika satu bangsa berhadapan dengan bangsa lain, yang pertamakali terbayangkan
didalam benak saya adalah peluang terjadinya saling curiga, ketidakpastian, tidak
saling menghargai, dan mau menang sendiri. Dalam situasi seperti ini, hal penting
yang perlu dilakukan adalah membangun rasa percaya diri untuk menetralkan
kecurigaan dengan berperan dan mengambil manfaat dari komunkasi. Komunikasi
lintas budaya idealnya memuat berbagai informasi dan nilai-nilai budaya yang pada
dasarnya ditunjukkan untuk membuka seluas-luasnya manfaat dan keberhasilan dari
sebuah tindak komunikasi.
Penumbuhan rasa percaya diri (self confidence) dapat dibangun lewat berbagai cara,
antara lain lewat penguasaan dan pemahaman terhadap bahasa, unsur rasial, norma,
dan nilai budaya asing. Selain itu, percaya diri juga bisa dibangun lewat kemampuan
dan kemauan seorang idividu untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan serta
budaya asing tersebut. Hal ini antara lain dapat ditempuh dengan berempati dan
beradaptasi. Kemauan dan kemampuan untuk berempati seyoginya ditunjukkan
dengan cara membuka diri untuk memahami budaya orang lain. Bersikap empati
berarti menanamkan rasa toleransi yang tinggi terhadap perbedaan latar belakang
budaya. Sikap toleransi ini juga akan ditangkap oleh orang lain sebagai suatu
penghargaan yang menumbuhkan simpati. Kemampuan untuk dapat menerjemahkan
proses dan pesan komunikasi serta menjauhkan hambatan akan melahirkan
kepercayaan diri.
Meskipun empati merupakan satu cara agar kepercayaan diri dapat tumbuh dalam
berinteraksi dengan orang asing, tetapi tidak perlu berlebihan, misalnya, dengan
menempatkan diri seolah-olah seperti menjadi penduduk asli, atau menjadi salah satu
dari mereka. Hal tersebut dapat merusak citra diri dan menjadi tampak aneh. Setiap
orang harus bangga atau percaya diri terhadap budaya yang dimiliki. Dalam hal ini,
percaya diri berarti mempunyai kemampuan untuk menunjukkan identitas budaya
secara apa adanya dan tidak berpretensi memuji budaya sendiri atau merendahkan
budaya lain.
Hal ini tidak kalah penting adalah kemampuan untuk menumbuhkan inspirasi kepada
setiap individu agar bersikap lebih fleksibel dan adaptable terhadap budaya asing. Hal
ini merupakan kegiatan atau proses penyesuaian diri yang perlu diupayakan terus
menerus untuk mencapai manfaat yang lebih baik dalam kegiatan komunikasi. Untuk
hal ini, setiap pelaku komunikasi harus mampu menghargai tradisi dan kebiasaan
setempat. Karena alasan hendak menarik perhatian, tidak perlu membuat lelucon yang
menyinggung keanehan nilai budaya local, ritual, praktik budaya, termasuk gaya
hidup atau makanan karena dapat menyinggung perasaan orang lain. Sebagai contoh,
ada sekelompok masyarakat di Selvilla, Spanyol, punya kebiasaan memakan makanan
yang terbuat dari daging babi yang terlebih dahulu ditanam dibawah tanah selama
beberapa hari hingga berbelatung dan dicampur dengan minuman keras sebelum
dihidangkan. Kebiasaan tersebut mungkin aneh bagi orang lain, tetapi kita harus
menghargainya.
Untuk menumbuhkan percaya diri dalam komunikasi lintas budaya, beberapa cara
lain yang dapat digunakan adalah dengan kesediaan melibatkan diri dalam kegiaatan
yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip hidup peserta komunikasi. Misalnya,
salah seorang peserta komunikasi ada orang islam yang tidak memakan daging babi
karena diharamkan oleh agama. Orang bersangkutan harus menegaskan dirinya
sebagai seorang muslim yang tidak memakan daging babi. Disini, setiap peserta
komunikasi perlu meyakinkan kepada entitas komunikasi dengan cara mengambil
inisiatif untuk melawan perasaan syak wasangka dengan menbangun kepercyaan diri.
Kebernian untuk memberi petunjuk kepada entitas komunikasi seperti ini sangat
diperlukan dalam berhubungan dengan orang lain yang berbeda budaya.
Dikarenakan komunikasi lintas budaya memiliki karakteristik yang sifatnya sangat
personal maka menjadi wajar bila seorang komunikator percaya pada keberaniannya
untuk memperlihatkan budayanya sendiri dan menghargai perbedaan budaya yang ada
dalam membangun relasi. Dengan mengutip Melvin De Flein, dalam bukunya yang
berjudul dimensi-dimensi komunikasi, Onong Uchjanah Effendy (1981:169-71)
menejelaskan bahwa terdapat 4 teori sikap yang diperlukan dalam melakukan
komunikasi:
1. Individual Differences Theory bahwa khalayak sebagai komunikan secara selektif
psikologis memperhatikan suatu pesan komunikasi jika berkaitan dengan
kepentingannya, kepercayaan, dan nilai-nilai budayanya.
2. Social Categories Theory bahwa meskipun masyarakat modern sifatnya heterogen,
namun orang-orang yang mempunyai sifat yang sama akan memilih pesan
komunikasi yang kira-kira sama dan akan memberikan tanggapan yang kira-kira sama
pula.
3. Social Relationsehip Theory bahwa ketika pesan komunikasi hanya sampai pada
seseorang, dan orang tersebut adalah pemuka pendapat (opinion leader), maka
informasi atau isi pesan tersebut akan diterjemahkan dan diteruskan kepada orang
lain. Ini berarti opinion leader mempunyai pengaruh pribadi (personal influence) yang
merupakan mekanisme penting untuk memodifikasi pesan komunikasi.
4. Cultural Norms Theory bahwa melalui penyajian yang selektif dan penekanan pada
tema tertentu akan tercipta kesan bahwa norma-norma budaya yang sama mengenai
topik-topik tertentu dibentuk dengan cara-cara khusus dengan batas-batas situasi
perorangan, yaitu:
a. Reinfource existing patterns bahwa pesan komunikasi dapat memperkuat pola-
pola yang sudah ada dan mengarahkan orang-orang untuk percaya bahwa suatu
bentuk sosial dipelihara oleh masyarakat.
b. Create new shared conviction bahwa keyakinan baru mengenai suatu topic bisa
dibagi kepada orang-orang yang kurang mengetahui atau kurang berpengalaman
sebelumnya.
c. Change existing norms, bahwa mengubah norma-norma yang sudah ada dapat
memengaruhi atau mengubah tingkalaku orang-orang yang menganut norma
tersebut.
TUGAS KE 2
1. Jelaskan pengertian komunikasi dan kebudayaan
2. Jelaskan unsur budaya menurut lebar Tubbs (1996:237)
3. Sebutkan dimensi dan unsur kebudayaan
4. Jelaskan perbedaan budaya,ras,nilai dan norma,sistem religi serta tradisi
5. Jelaskan hubungan komunikasi dengan kebudayaan
6. Jelaskan krusialitas perbedaan kebudayaan
7. Jelaskan apa yang dimaksud etnosentrisme,stereotip,dan prasangka
8. Jelaskan penafsiran dalam komunikasi lintas budaya menurut pendapat
anda
9. Jelaskan perbedaan in-group dan out group
10. Jelaskan urgensi percaya diri dalam komunikasi lintas budaya