Anda di halaman 1dari 7

Signifikasi Gerakan Mahasiswa Intelektual Melalui Political Value Enhacement

Sebelum membahas mengenai apa yang disebutkan dalam judul artikel ini mari perlahan-lahan
kita mengenal apa itu politik dan hubungannya denga napa yang akan dibahas dalam artikel ini. Yang
pertama kata politik, apa itu politik dan apa hubungannya dengan apa yang akan kita bahas. Banyak
orang atau masyarakat yang menganggap politik itu brutal, kekerasan, bahkan penggunaan cara-cara
militer untuk memcahkan masalah, masyarakat beranggapan seperti itu karena penerapan politik yang
ada di Indonesia bahkan di dunia menggunakan cara kekerasan untuk memecahkan masalah atau
mencapai tujuan politik dari penguasa tertentu.

Namun bicara mengenai politik berarti membicarakan perilaku kita dalam hidup bermasyarakat,
khusunya cara kita mengatasi sejumlah perbedaan yang ada lewat pembuatan kebijakan (undang-
undang) yang mengikat “kita” dan “mereka”. Caranya bergantung pada siapa yang menggunakan.
Seperti cara kita yang menyebut cara yang dilakukan si A atau si B, atau pemerintahan A atau B sebagai
kejam atau tidak kejam

Dalam politik kita berbicara mengenai bagaimana masyaraka di suatu wilayan menegosiasikan
kepentingan masing-masing untuk melahirkan kesepekatan agar kepentingan-kepentingan tersebut dapat
terselenggara tanpa merugikan pihak lain. Saat dimulai, politik selalu bertujuan untuk mencapai
kebahagiaan bersama. Tujuan awal politik tidaklah kejam atau brutal seperti didengungkan orang. 1

Apa pengertian dari politik itu sendiri, politik berasal dari bahasa yunani ‘polis’ yang artinya
negara-kota. Dalam negara-kota di zaman Yunani, orang saling berinteraksi guna mencapai
kesejahteraan (kebaikan, menurut Aristoteles) dalam hidupnya. Ketika manusia mencoba untuk
menentukan posisinya dalam masyarakat, ketika mereka berusaha meraih kesejahteraan pribadi melalui
sumber daya yang ada, atau ketika mereka berupaya mempengaruhi orang lain agar menerima
pandangannya, maka mereka sibuk dengan suatu kegiatan yang kita semua namai sebagai ‘politik’.2

Dengan demikian, kita dapat dikatakan tengah berpolitik ketika bersaing dengan tetangga
sebelah rumah untuk jabatan sekretaris RT, atau sopir angkot berdebat dengan oknum preman bahwa

1 Pengantar Ilmu Politik, Sefta Basri 2011


2 Carlton Clymer Rodee, et.al, Pengantar Ilmu Politik, cet 5. (Jakarta : Rajawali Press, 2002).
pungli yang mereka lakukan sudah tidak basi lafi ditolerir. Luas sekali pelajara politik jika demikian,
bukan?

A New Handbook of Political Science menyebutkan bahwa politik adala the constrained use of
social power (penggunaan kekuasaan sosial yang dipaksakan) (Robert E, Goodin and Hans-Dieter
Klingemann, A New Handbook of Political Science. New York: Oxford University Press, 1996). Kata
“keuasaan sosial” ditekankan untuk membedakannya dengan “kekuasaan individual”. Ini akibat politik
berkenaan dengan pengaturan hidup suatu masyarakat secara keseluruhan. Masyarakat yang
mengesahkan sekelompok indivudu untuk memiliki kekuasaan sosial yang aplikasinya dapat dipaksakan
atas setiap individu untuk menjamin keteraturan di dalam masyarakat itu sendiri.3

Agar lebih jelas, berikut definisi politik dari beberapa ahli :

Gabriel A. Almond, et.al., “… the activities associated with the contril of [ublic dicisions among
a given people and in a given territory, where this control may be backed up by authoritative and
coersive means – who gets to employ them and for what purposes.”4

“…kegiatan yang berhubungan dengan kendali pembuatan keputusan publik dalam mayarakat
tertentu di wilayah tertenti, dimana kendali ini disokong lewat instrumen yang sudatnya otoritatif
(berwenang secara sah) dan koersif (berdifat memaksa). Politik mengacu pada penggunaan
instrumen otoritatif dan koersif ini - siapa yang berhak menggunakannya dan dengan tujuan
apa.”

Definisi politik lain di masa modern juga dicatat oleh Hamid :

”…modern definition of politics, however, covers the government of the state and that od orher
human organizations, where “government” means organized authoritative allocation of
values.”5

3 Pengantar Ilmu Politik, Sefta Basri 2011


4 Gabriel A. Almond, et.al., Comparative Politics Today: A World View, Eight Edition. (Delhi Darling
Kindershley Publishing, Inc., 2004)

5 Eltigani Abdelgadir Hamid, The Quran and Politics: A Study of the Origin of Political Thought in the
Makkan Verses. (London: The International Institute of Islamic Thought, 2004)
“…definisi politik di masa modern mencakup pemetintah suatu negara dan pula organisasi yang
didirikan manusia lainnya, dimana “pemerintah” adalah otoritas yang terorganisir dan
menekankan pelembagaan kepemimpinan sera pengalokasian nilai seccara otoritatif.”

Kata otoritatif merupakan konsep yang ditekankan dalam masalah politik. Otoritatif adalah
kewenangan yang absah, diakui oleh seluruh masyarakat yang ada di suatu wilayah untuk
menyelenggarakan kekuasaan. Otoritas tersebut ada di suatu lembaga bernama “pemerintah”. Bukan
suatu kekuasaan pilitik jika lembafa yang melaksanakannya tidak memiliki otoritas. Pemerintah juga
dapat kehilangan otoritasnya tatkala mereka sudah tidak memiliki kekuasaan ata masyarakatnya.
Pemerintahlah yang mengalokasikan nilai-nilai seperti kesejateraan, keadilan, keamanan, dan sejenisnya
ke tengah masyarakat. Dengan kekuasaan pilitik, pemerintah dapat memaksakan tidakannya kepada
setiap individu.

Andrew Heywood sekurang-kurangnya mengjukan empat asumsi kata ‘politik’ diucapkan.


Keempat asumsi ini sama-sama diyakini menjadi konteks situasi tatkala kata politik disebutkan kendati
memiliki objek kajian yang berbeda. Keempat asusmsi tersebut adalah : 6

1. Politik sebagai seni pemerintah, artinya politik adlah penerapan kendali di dalam masyarakat
lewat pembuatan dan pemberdayaan keputusan kolektif. Asumsi ini adalah yang palign tua dan
berkembang sejak masa Yunani kuno.
2. Politik sebagai hubungan politik, aristoteles dalam bukunya Politics menyatakan bahwa
manusia adalaj binatang politik. Maknanya, secara kodrati manusia hanya dapat memperoleh
kehidupan yang baik lewat suati komunitas politik. Lalu, dilakukan pembedaan antara lungkup
‘punlik’ dan ‘privat’. Kedua lingkup tersebut dipebesar menjadi state (kelembagaan publik) dan
civil sciety (kembangan privat). Dalam ‘state’ terletak institusi seperti pengadilan, aparta
pemerintah, politisi, tentara, sistem kesejahteraan sosial, dan sejenisnya. Sementara dalam ‘civil
society’ terletak institusi seperti keluarga, kekrabatan, bisnis swasta, serikat kerja, klub-klib,
komunitas, dan sejenisnya.

6 Andrew Heywood, Politics, 2nd Edition. (New York: Plagrave MacMillan, 2002)
Masalahnya, masing-masing entitas dalam ‘civil society’ sinderung menfdepankan
kepentingannya sendiri yang kadang berbenturan dengan entitas civil society lainnya. Dengan
demikian, muncullah konsep ‘state’ untuk memoderasi dan meregulasi entitas-entitas sipil
tersebut. Dalam konteks hubungan state-civil society inilah asumsi kedua politik diletakan.

3. Politik sebagai kompromi dan konsensus, Sharing atau pembagian kekuasaan adalah asumsi
politik sebagai kompromi dan konsensus. Kompromi dan konsensus dilawankan dengan
brutalitas, pertumpahan dara, dan kekerasan. Dalam politik, tidak ada pihak yang
kepentingannya terselenggarakan 100%.
Masing-masing memoderasi tuntutan agar tercapai persetujuan dengan pihak lain. Baiknya
politik suatu negara adalah ketika masalah perfesekan kepentingan diselesaikan lewat kompromi
dan konsensus di atas meja dan bukan denga pertumpahan darah.
4. Politik sebagai kekuasaan, Kekuasaan adalah kemampuan sesorang atau suatu kelompok untuk
mempengaruhi orang atau kelompok lain guna menuruti kehendaknya. Dalam konteks pilitik,
kekuasaan yang dirujuk adalah kekuasaan sosial, yaitu produksi, distribusi, dan penggunaan
sumber daya tersebut.

Seluruh masyarakat dunia mengakui bahwa posisi pemuda sangat strategis. Dari kelompok pemuda
ini lahir kelompok yang secara kuantitatif kecil, tetapi secara kualitatif sangat diperhitungkan.
Karakternya unik, energik, idealis, kritis, dan akademis. Dalam beberapa event menjadi motor
penggerak, bahkan pendobrak, sehingga sejarah dunia, termasuk sejarah Indonesia mencatat peristiwa
perubahan peradaban karena gerakan sosialnya yang dasyat. Merekalah mahasiswa.

Mahasiswa adalah elit masyarakat yang memounyai nilai lebih dibanding masyarakat pada umunya,
karena tingkat pendidikannya yang relatif tinggi memberikan kesempatan baginya untuk berfikir kritis
dan objektif dalam menghadapi masalah masyarakat. Oleh karena itu sangat mengharapkan pada
kemuniti mahasiswa untuk memperbaiki kondisi sosial yang ada adalah sangan logik.

Dalam hal ini mahasiswa berperan dalam peningkatan nilai politik, karena mahasiswa dapat bergerak
dibidang pendidikan, politik, dan juga sosial masyarakat. Mahasiswa sebagai uluran tangan dari
masyarakat untuk mengungkapkan kepada pemerintahan yang sedang berkuasa.
Namun yang membuat mahasiswa “sangat disegani” dan ditempatkan pada kelompok masyarakat
elit karena karakteristiknya yang istimewa. Mahasiswa memiliki peran sebagai penjaga nilai-nilai
masyarakat yang kebenarannya mutlak, yakni menjunjung tinggi kejujuran, keadilan, gotong royong,
integritas, empati dan sifat yang dibutuhkan dalam kehidupan masyarakat (iron stock). Mahasiswa pun
dituntut mampu berpikir secara ilmiah tentang nilai-nilai yang mereka jaga. Mahasiswa juga sebagai
pembawa, penyampai, dan penyebar nilai-nilai serta ilmu yang telah mereka pelajari. Mahasiswa
bertindak sebagai penggerak yang mengajak seluruh masyarakat untuk dapat bergerak dalam melakukan
peruba-han ke arah yang lebih baik, dengan pertimbangan berbagai ilmu, gagasan, serta pengetahuan
yang mereka miliki (agent of change). Mahasiswa sedang menjalani tingkat pendidikan paling tinggi,
sehingga 'diwajibkan' untuk memiliki moral yang baik. Tingkat intelektual mahasiswa akan disejajarkan
dengan tingkat moralitas dalam kehidupannya. Hal ini yang menyebabkan mahasiswa dijadikan
kekuatan dari moral bangsa yang diharapkan mampu menjadi contoh dan juga penggerak perbaikan
moral pada masyarakat (moral force) (Kurniawan, 2021).

Mahasiswa memiliki ciri khas yang positif yang berbeda dengan kelompok masyarakat lainnya.
Mahasiswa sebagai "mahluk" yang "kreatif" dalam perilakunya, "dinamis" dalam melakukan pencarian
dan pengembangan potensi diri, "kritis" dalam melihat dan merespon realitasnya dan memiliki idealisme
yang tinggi, sehingga sensitif terhadap yang terjadi pada lingkungan ia hidup. Mahasiswa memiliki
ketajaman menganalisis masalah, kepekaan memandang realitas dan keteguhan memegang etika
akademik yang ilmiah merupakan citra diri yang melekat pada pribadi seorang mahasiswa. Mahasiswa
memiliki pemahaman dan pemikiran kritis terhadap berbagai masalah sosial politik disalurkan pada
berbagai kelompok-kelompok diskusi, Lembaga Swadaya Masyarakat, organisasi ekstra universiter
(seperti: HMI, PMII, GMNI, GMKI, PMKRI dan sebagainya) dan organisasi intra universiter (Senat
Mahasiswa, Unit Kegiatan Mahasiswa, Pers Kampus, dan lain sebagainya) (Darmayandi, 2020).

Karakteristik yang luar biasa itulah yang membuat mahasiswa memiliki peran strategis dalam
berbagai aspek kehidupan masyarakat, bahkan cenderung menjadi idola semua lapisan masyarakat di
dunia. Banyak Gerakan mahasiswa yang meningkatkan nilai-nilai politik di Indonesia seperti Gerakan
mahasiswa Indonesia pada tahun 1998 yang menuntu mundurnya Soegarto dari kursi kepresidenan
Republik Indonesia di Jakarta, dengan Gerakan ini yang merubah dan meningkatkan nilai-nilai politik di
Indonesia.
Sebagai kaum intelek, mahasiswa bergerak di bidang politik dengan menyuarakan suara hati
masyrakat dan berjasa dengan menduduki kursi-kursi pemerintahan untuk menyuarakan suara
Masyarakat dari dalam pemerintahan. Banyak tragedi politik Indonesia yang meningkat akibat adanya
Gerakan-gerakan yang dilakukan mahasiswa sebagai kaum intelek yang menyuarakan suara Masyarakat
kepada pemerintahan.
DAFTAR REFERENSI

Basri, S. (2011). PENGANTAR ILMU POLITIK. Jogjakarta: Indie Book Corner.

Budiardjo, P. M. (2007). Pengantar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

HKIKMAT, M. M. (2021). URGENSI PARTISIPASI GERAKAN SOSIAL MAHASISWA DALAM


PENINGKATAN KUALITAS PEMILU 2024. Jurnal Keadilan Pemilu, 1-12.

Rafiuddin Afkari, I. S. (2018). INTELEKTUALISME MAHASISWA ISLAM : Sejaran dan Kontribusi


Terhadap Gerakan Islam Indonesia. Yogyakarta: PENERBIT DEEPUBLISH.

Anda mungkin juga menyukai