Anda di halaman 1dari 3

Civil society

Menurut Diamond dalam tulisan Andi Rachman, civil society adalah ranah
kehidupan sosial terorganisir yang bersifat terbuka, sukarela, mandiri, dan terikat
berdasarkan hukum atau seperangkat aturan yang dimiliki bersama. Kedudukan civil
society berada di tengah-tengah ruang pribadi dan negara. Civil society (selanjutnya
disingkat CS) terwujud dalam bentuk organisasi baik organisasi yang bersifat formal
maupun nonformal. Kelompok-kelompok tersebut contohnya kelompok kepentingan,
lembaga pembangunan, organisasi berorientasi isu, dan kelompok-kelompok lainnya.
Secara umum, organisasi-organisasi ini dikenal sebagai CSO (civil society
organization).

Civil society memilik lima karakteristik, yaitu 1) civil society bukan masyarakat
parokial, 2) civil society tidak berpihak kepada negara, meskipun tetap berhubungan
dengan negara dalam beberapa hal, tetapi tidak berusaha untuk menjadi bagian darinya,
3) civil society menerima pluralisme dan keragaman, 4) civil society tidak
merepresentasikan kepentingan individu atau suatu komunitas tertentu, dan 5) civil
society berbeda dengan civic community. Organisasi yang memiliki ciri bertolak
belakang dengan civil society disebut bad civil society.

Civil society mengandung dua aspek, yaitu horizontal dan vertikal. Pada aspek
horizontal, civil society memuat gagasan yang berkaitan dengan kebudayaan seperti
pluralisme dan toleransi. Sedangkan secara vertikal, civil society berkaitan dengan
politik yang mengandung ide kemandirian masyarakat terhadap negara. Civil society
dapat dinilai dari empat sisi: struktur internal CSO (keanggotaan, partisipasi, sumber
daya dalam CSO), ruang (hukum, peraturan, norma sosial budaya yang dimiliki CSO),
nilai (transparansi dan akuntabilitasi oleh civil society), dan dampak (kemampuan dalam
memantau pemerintah, responsif dan efektivitas CSO).

CSO banyak bermunculan pada masa setelah pemerintahan Soeharto. Pada masa
itu terdapat CSO yang mendorong ke arah demokrasi yang terkonsolidasi, yaitu
demokrasi yang sudah menguat dalam masyarakat hingga menjadi budaya dalam
masyarakat tersebut. Organisasi yang bergerak dalam bidang bantuan hukum, HAM,
lingkungan hidup, demokrasi, dan sebagainya memiliki komitmen yang tinggi bagi
konsolidasi demokrasi. Mereka mengadvokasikan berbagai isu yang memicu
konsolidasi demokrasi seperti good governance, kesetaraan gender, anti kekerasan, anti
diskriminasi, hingga demonstrasi. Di sisi lain, satuan tugas milik partai politik atau
organisasi massa yang berbasis etnik dan agama justru sering melakukan kekerasan
dalam mencapai kepentingannya. Organisasi berbasis agama tersebut cenderung
diskriminatif, bahkan beberapa di antara mereka menolak demokrasi.

CSO yang tumbuh pasca-Soeharto tidak semua mempromosikan konsolidasi.


Mereka yang tidak mempromosikan konsolidasi ini disebut dengan bad civil society.
Mereka hanya memanfaatkan demokrasi sebagai alat untuk menjamin kepentingannya
sendiri. Bahkan, yang lebih ekstrem, mereka menentang demokrasi. Sayangnya, bad
civil society justru yang menguasai berbagai instrumen demokrasi. Mereka adalah
organisasi yang menguat pada era Soeharto dan berusaha untuk mempertahankan
kepentingannya melalui intimidasi, penculikan, dan politik uang,

CSO yang memenuhi lima karakteristik adalah CSO yang dapat mengarahkan
demokrasi menjadi demokrasi terkonsolidasi. Demokrasi terkonsolidasi merupakan
perwujudan dari integrasi normatif. Integrasi normatif di Indonesia nampak pada
terlaksananya pemilu dan adanya kesepakatan demokrasi sebagai cara untuk meraih
kekuasaan. Sedangkan bad civil society yang memaksakan nilai-nilai dan prinsip
mereka untuk dipatuhi oleh semua orang karena mereka merasa nilai dan prinsip mereka
adalah yang paling benar. Bad civil society akan membentuk integrasi koersif. Yaitu
integrasi yang dibentuk melalui paksaan atau bahkan kekerasan oleh kelompok
dominan. Contoh integrasi koersif adalah integrasi yang terbentuk pada masa
kepemerintahan Soeharto. Integrasi koersif biasanya tidak bertahan lama.

Berpikir Logis dalam Demokrasi Pancasila

Rumusan Sila ke-4 dalam Pancasila yang dikemukakan oleh M. Yamin memiliki
makna yang sangat luar biasa. Sila ke-4 tersebut mengatakan bahwa kerakyatan
(demokrasi) dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dan bukan oleh pemimpin atau ketua.
Yamin memaknai hikmat kebijaksanaa sebagai hasil dari rasionalisme yang sehat dalam
wujud penggunaan logika. M Yamin sejak dahulu sebenarnya telah mengajak anak
bangsa, terutama elite bangsa, untuk menjalankan demokrasi dengan berpikir logis
untuk menghasilkan hikmat kebijaksanaan.
Sila ke-4 Pancasila dapat dipandang sebagai unsur inti demokrasi Pancasila. Sila
ini memberi kesempatan kepada siapa saja untuk menjadi demokratis, termasuk menjadi
pemimpin dan kewenangan untuk membuat keputusan. Namun, kesempatan ini dapat
dicapai dengan syarat mampu mencapai hikmat kebijaksanaan. Hikmat kebijasanaan
dapat dicapai dengan cara berpikir logis dengan berpikir rasional yang didasari dalil-
dalil.

Banyak para pembuat keputusan merasa sudah berpikir logis saat membuat
keputusan. Mereka beranggapan bahwa menggunakan akal sehat berarti sudah berpikir
logis. Padahal menggunakan akal sehat belum tentu berpikir logis. Dalam berpikir
secara logis perlu juga untuk memperhatikan kaidah-kaidah logika formal yang
dikatakan oleh Aristoteles, terutama untuk menguji ada tidaknya sesat pikir atau logical
fallacies. Kemampuan berpikir logis ini ditunjukkan dengan keharusan pengujian logika
atas setiap argumen yang dikeluarkan.

Demokrasi Pancasila perlu dipandang sebagai prosedur pembuatan keputusan


publik oleh semua lapisan masyarakat Indonesia. Tidak terbatas pada elite atau
penguasa oligarkis yang (dinilai) mampu berpikir logis. Seluruh proses ini
diselenggarakan seorang fasilitator yang bertugas memfasilitasi (bukan mengetuai atau
memimpin). Gagasan dan argumen bisa dikeluakan oleh siapa saja dan argumen
tersebut harus dilakukan uji logika. Pengujian logika tidak membutuhkan voting dan
tidak memperhatikan koalisi yang justru mengesankan ‘demokrasi keroyokan’.

Anda mungkin juga menyukai