Anda di halaman 1dari 7

.

Pengertian Masyarakat Madani (Civil Society)


Masyarakat madani (Civil Society) adalah sebuah konsep dalam bentuk
masyarakat yang sering di perbincangkan hingga saat ini. Makna dan arti dari civil
society sendiri bermacam-macam dan bervariasi. Civil society dalam bahasa
Indonesia mengandung banyak istilah dimana istilah yang satu dengan lainnya
hampir sama. Istilah-istilah tersebut dicetuskan oleh orang-orang yang berbeda
seperti Masyarakat Sipil (Mansour Fakih), Masyarakat Kewargaan (Franz
Magnis Suseno dan M. Ryaas Rasyid), Masyarakat Madani (Anwar Ibrahim,
Nurcholis Madjid, dan M. Dawam Rahardjo)1 .
Sedangkan dalam bahasa asing, civil society disebutkan ke dalam beberapa
istilah seperti Koinonia Politike (Aristoteles), Societas Civilis (Cicero), Comonitas
Politica, dan Societe Civile (Tocquivile), Civitas Etat (Adam Ferguson). Konsep
civil society ini merupakan wacana yang telah mengalami proses yang panjang.
Konsep masyarakat madani atau civil society ini merupakan bangunan yang lahir
dari sejarah pergulatan bangsa Eropa Barat2 . Yakni muncul bersamaan dengan
proses modernisasi, terutama pada saat adanya transformasi dari masyarakat
feodal menuju masyarakat modern.
1 Mochamad Parmudi. Kebangkitan Civil Society Di Indonesia. Fisip UIN Walisongo. Jurnal at
Taqaddum, Volume 7, Nomor 2, November 2015. Hal. 298
2 Suwarni, Pendidikan Kewarganegaraan. (Jakarta : Arya Duta, 2011). Hal. 55.11

Masyarakat Sipil merupakan terjemahan dari istilah Inggris Civil Society


yang mengambil dari bahasa Latin civilas societas. Secara historis karya Adam
Ferguson merupakan salah satu titik asal penggunaan ungkapan masyarakat sipil
(civil society), yang kemudian diterjemahkan sebagai Masyarakat Madani3 .
Masyarakat sipil, memiliki dua bidang yang berlainan yaitu bidang politik (juga
moral) dan bidang sosial ekonomi yang secara bersamaan diperjuangkan untuk
kepentingan masyarakat4. Masyarakat madani dapat didefinisikan sebagai sebuah
wilayah kehidupan sosial yang terorganisasi, yang bercirikan kesukarelaan
(voluntary), keswasembadaan (self generating), keswadayaan (self supporting),
kemandirian tinggi dalam berhadapan dengan negara, dan berkaitan dengan norma
atau nilai-nilai hukum yang diikuti warganya.
Makna lain bagi istilah civil society yaitu adanya penekanan pada ruang
(space) yang dimana individu dan kelompok masyarakat saling berinteraksi dalam
semangat toleransi di suatu wilayah atau negara. Di dalam ruang tersebut
masyarakat berpartisipasi dalam proses pembuatan kebijakan publik. Selain itu
ada juga yang memahami civil society sebagai sebuah asosiasi masyarakat yang
beradab dan sukarela hidup dalam suatu tatanan sosial dimana terjadi mobilitas
yang tinggi dan kerja sama antar seluruh elemen masyarakat5.
Ernest Gellner mengartikan masyarakat sipil atau masyarakat madani ini
sebagai masyarakat yang terbangun atas dasar berbagai Non Government
Organization (NGO) yang bersifat otonom dan tangguh untuk menjadi penetral
kekuasaan negara. Mereka tidak tersentuh hierarki politik, ekonomi, ideologi yang
3 Mochamad Parmudi. Op.cit. Hal. 302
4 Ibid.

5 Suryanto, Pengantar Ilmu Politik. (Bandung : Pustaka Setia, 2018). Hal. 125. 12
tidak menoleransi adanya kompetisi, bervisi plural dalam memaknai kebenaran
dan menentukan parameter kebenaran secara bersama-sama. Pemerintah dalam
hal ini berfungsi sebagai pencipta dan penjaga perdamaian diantar berbagai
kepentingan. (Suryanto : 2018, 127-128).
Sementara itu, Nurcholis Madjid menekankan istilah Civil society sebagai
masyarakat madani yang berasal dari kata madinah, dalam istilah yang modern
mengarah pada semangat dan pengertian Civil society yang berarti masyarakat
yang memiliki sopan santun, beradab, dan teratur yang terbentuk dalam negara
yang baik. Di dalam negara ini terdapat kedaulatan rakyat sebagai prinsip
kemanusiaan dan musyawarah, terdapat partisipasi aktif dari masyarakat dalam
proses menentukan kehidupan bersama di bidang politik.
Dalam buku Pengantar Ilmu Politik (Suryanto : 2018), dijelaskan bahwa
Civil society sebagai proyek peradaban dan pembangunan dapat direalisasikan
terutama oleh tiga agen utama. Pertama, golongan intelektual atau mahasiswa
sebagai pengubah pada aspek sosial politik, melalui berbagai ide, inovatif dan
kreatif mereka. Kedua, golongan kelas menengah yang akan diposisikan sebagai
modal kekayaan demokratisasi dalam sebuah negara. ketiga, golongan arus
bawah, mereka lah yang kelak menjadi sumber kekuatan, sekaligus sasaran dan
tujuan pemberdayaan politik. Selain itu dibutuhkan adanya organisasi sosial
politik sebagai sebuah wadah kelompok kepentingan dengan kemandirian yang
tinggi, dibutuhkan juga public sphere atau ruang gerak yang memadai untuk 13
rakyat agar memiliki akses pada lembaga-lembaga administrasi negara, lembaga
peradilan dan perwakilan ataupun NGO6.
Dapat dikatakan bahwa civil society merupakan suatu ruang (space) yang
terletak antara negara di satu pihak dan masyarakat di pihak lain, dan di dalam
ruang tersebut terdapat asosiasi warga masyarakat yang bersifat sukarela dan
terbangun sebuah jaringan hubungan di antara asosiasi tersebut. Oleh karena itu,
civil society merupakan suatu bentuk hubungan antara negara dengan sejumlah
kelompok sosial dan gerakan sosial yang ada dan bersifat independen terhadap
Negara.
Dari berbagai pengertian yang telah diuraikan, maka dapat disimpulkan
bahwa civil society berwujud kedalam berbagai organisasi yang dibuat masyarakat
secara otonom diluar pengaruh negara. Eksistensi organisasi-organisasi ini
memberikan peluang bagi adanya ruang publik (public sphare) yang
memungkinkan untuk memperjuangkan kepentingan-kepentingan tertentu. Wujud
lain dari civil society ini seperti Lembaga swadaya masyarakat (LSM), organisasi
sosial keagamaan, paguyuban, dan kelompok-kelompok kepentingan lainnya7.

Ciri-Ciri Masyarakat Madani (Civil Society)


Secara umum ciri-ciri yang dimiliki oleh civil society yaitu seperti hidup
mandiri, memiliki rasa toleransi yang tinggi, berpartisipasi aktif dalam segala
pembentukan kebijakan publik, bekerja sama secara sukarela, menjunjung tinggi
nilia-nilai keadilan dan kejujuran, mengakui dan menghargai perbedaan, memiliki
integritas nasional yang kokoh, menjunjung tinggi HAM dan supremasi hukum
6 Ibid. hal 129
7 Ibid. 14
serta terbuka dan transparan. Dari keseluruhan ciri-ciri tersebut, setidaknya
terdapat lima point penting dalam civil society, yaitu sebagai berikut :
a.
Partisipasi rakyat. Rakyat dalam sebuah masyarakat madani tidak
bergantung secara penuh terhadap negara, tetapi ia berupaya untuk
meningkatkan kualitas hidup dan dirinya secara mandiri.
b.
Otonom. Masyarakat sipil atau masyarakat madani diartikan sebagai
masyarakat yang berupaya memenuhi kebutuhannya sendiri, selalu
mengembangkan daya kreatifitas untuk memperoleh kebahagiaan dan
memenuhi tuntutan hidup secara bebas dan mandiri, dengan tetap mengacu
pada perundangan dan hukum yang berlaku.
c.
Tidak bebas nilai. Masyarakat madani sangat menjunjung tinggi nilai-nilai
kemanusiaan agar hal-hal yang dikerjakan selalu berada dalam jalur
kebajikan dan menghasilan dampak positif yang dirinya (masyarakat)
secara umum.
d.
Menjunjung tinggi rasa saling menghargai, menghormati, dan menerima
segala bentuk perbedaan sehingga dalam kedamaian sosial yang dibangun
terpancar keindahan ragam perbedaan yang memperkaya budaya dan
menjadi nilai lebih yang positif. Masyarakat madani harus meletakkan
permasalahan di atas perbedaan sehingga tidak ditemui pertikaian antar
kelompok yang berbau SARA.
e.
Terwujudnya dalam badan organisasi yang rapi dan modern dalam upaya
penciptaan hubungan stabil antar elemen masyarakat.
Adapun ciri dari masyarakat sipil sebagai sebuah komunitas yaitu selalu
memposisikan dirinya di atas keluarga dan dibawah negara. Bentuk lain dari 15
masyarakat sipil dapat kita lihat ke dalam kelompok-kelompok kecil dalam
masyarakat yang disebut dengan organisasi masyarakat sipil (ormas) atau juga
lembaga swadaya masyarakat (LSM). Organisasi-organisasi tersebut memiliki ciri
antara lain : mandiri dalam hal pendanaan (tidak bergantung kepada negara),
swadaya dalam kegiatannya dengan memanfaatkan berbagai sumber daya di
lingkungannya, bersifat memberdayakan masyarakat dan bergerak di bidang
sosial, tidak terlibat dalam persaingan politik untuk merebut kekuasaan, bersifat
inklusif (melengkapi beragam kelompok) dan menghargai keragaman.

Ukhuwah Islamiyah
Ukhuwwah islâmiyyah mengandung arti persaudaraan yang
bersifat keislaman atau persaudaraan antar sesama pemeluk
Islam. Konsep ini mengajarkan bahwa setiap muslim
merupakan saudara bagi muslim lainnya.
Seorang muslim harus menganggap muslim lainnya sebagai
saudaranya tanpa memandang latar belakang keturunan,
kebangsaan, atau pertimbangan-pertimbangan lainnya.

Ukhuwah Insaniyah
Insan berarti manusia. Maka, ukhuwah insâniyah merupakan
persaudaraan yang cakupannya lebih luas, yaitu antarsesama
umat manusia di seluruh dunia.
Salah satu ayat yang menjadi dasar ukhuwah insaniyah adalah
surat al-Hujurat ayat 11. Allah berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman janganlah suatu kaum
mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka
(yang diolok-olok) lebih baik dari mereka (yang mengolok-
olok) dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olok) wanita-
wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-
olokkan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olok) dan
janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu
panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-
buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman
dan barangsiapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah
orang-orang yang zalim”.
Ayat ini menekankan bahwa setiap manusia hendaknya tidak
saling berburuk sangka dan membenci untuk memantapkan
solidaritas kemanusiaan

Ukhuwah Islamiyah adalah adanya persaudaraan antara sesama umat


Islam, di dalam Al-Qur’an dan Hadits menunjukan bahwa hal tersebut
merupakan sesuatu yang perlu diperhatikan oleh kaum muslimin. Ukhuwah
Islamiyah merupakan suatu ikatan akidah yang dapat menyatukan hati
semua umat Islam walaupun tanah tumpah darah mereka berjauhan, bahasa
dan bangsa mereka berbeda, sehingga setiap individu umat Islam
senantiasa terikat antara satu sama lainya, membentuk suatu bangunan
umat yang kokoh.2 Oleh karena itu Ukhuwah Islamiyah merupakan
landasan utama untuk membangun masyarakat yang ideal yang kita idam-
idamkan dan kita upayakan agar dapat terwujud.3 Jadi Ukhuwah
Islamiyah merupakan dasar bagi umat Islam untuk membangun kekuatan
yang kokoh, yang mana kekuatan tersebut di bentuk dengan ikatan
akidah sebagai landasan utama untuk membangun masyarakat yang ideal,
yang senantiasa terikat antara satu sama lainya. Keinginan tersebut
dapat terwujudkan apabila hubungan persaudaraan ini ditandai dengan
mengharap ridha Allah SWT semata dan bebas dari segala tuntutan
kebutuhan duniawi dan materi. Faktor yang mendorong hal tersebut
2Abdullah Nashih Ulwan, Pendidikan Anak Menurut Islam (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 1990), hal. 5. 3Musthafa Al-Qudhat, Prinsip-
Prinsip Ukhuwah Dalam Islam. Hasanah Ilmu, (Solo: Hasanah Ilmu 1994),
hal. 9. 2 adalah karena iman dan keyakinan kepada Allah SWT semata.4
Karena tingkatan tertinggi dari sebuah persahabatan ialah yang
dilakukan karena Allah SWT dan untuk Allah SWT, bukan untuk meraih
jabatan, mendapatkan keuntungan jangka pendek atau jangka panjang dan
bukan pula untuk mencari materi atau yang lainya. Barangsiapa
kecintaan dan persahabatanya dilakukan karena Allah SWT maka dia
mencapai prestasi puncak. Dan hendaklah dia mewaspadai hal-hal yang
bersifat keuntungan duniawi, karena bisa merusak kemurnian nilainya.5

Disamping itu juga Ukhuwahyang dijalin dengan keikhlasan hati semata-


mata karena Allah SWT akan menjadikan manfaat dan mendatangkan
kebaikan, baik pada tingkah laku kebaikan bagi masyarakat khususnya
bagi kemaslahatan secara murni.7 Ukhuwah Islamiyah juga mendidik para
pelakunya untuk saling menolong dan saling melengkapi, serta Ukhuwah
itu juga akan mendidik para pelakunya menjadi pribadi yang peduli dan
memahami serta merasakan keadaan saudaranya, jika saudaranya dalam
keadaan senang maka dia pun akan merasakan senang, jika saudaranya
dalam keadaan susah maka dia pun akan bersedihkita umat muslim untuk
saling mencintai, saling tolong menolong. Muhammad Bakhit, Mufti
Mesir berkata, tolong-menolong ialah dalam berbuat baik, karena
manusia yang berjasa ialah orang yang berjasa membantu orang lain.
Iman yang sempurna ialah manakala engkau mengasihi saudaramu seperti
mengasihi dirimu sendiri. Allah akan tetap menolong hambanya yang
menolong saudaranya. Muhammad Musthafa Al-Maraghi, syeikh Al-Azhar
berkata, tolong menolong menghidupkan rasa ketergantungan anggota
masyarakat antara satu dengan yang lain. Juga menguatkan tali
perhubungan silaturahmi. Tolong menolong mengikat beberapa rumah
tangga seolah-olah menjadi satu keluarga, dengan tolong menolong
hidup akan menjadi bahagia.10

Masyarakat Indonesia dikenal sebagai masyarakat pluralis. Menurut


Nurcholish Madjid, Indonesia adalah salah satu bangsa yang paling pluralis di
dunia (Woorward, 1998: 91). Indonesia terdiri atas berbagai macam suku,
agama, dan ras yang secara keseluruhan membentuk tatanan kebudayaan
nasional bangsa, yaitu kebudayaan Indonesia. Pluralisme dalam masyarakat
Indonesia merupakan sebuah kekayaan budaya bangsa yang sangat tinggi
nilainya. Tetapi, ada sebuah ekses yang muncul dalam masyarakat yang
sifatnya plural, yaitu seringkali tumbuh perbedaan-perbedaan yang
memunculkan potensi-potensi ke arah konflik.
Seringkali kemudian potensi-potensi konflik menjadi kenyataan, yang
menjadi sumber dari perbedaan-perbedaan dalam masyarakat. Pada akhirnya
konflik itu memunculkan perbenturan-perbenturan kepentingan yang
berdampak negatif dalam masyarakat, termasuk dalam hal ini adalah
perbedaan dalam menyikapi latar belakang agama. Perbedaan dalam masalah
kepercayaan agama di dalam sebuah komunitas, termasuk di Indonesia
merupakan kenyataan historis yang tidak dapat dibantah keberadaannya,
sehingga tantangan ke depan agar eksis dan perkembangan agama menjadi
salah satu wacana umat beragama. Pada dataran inilah tantangan bagaimana
sosok manusia beragama (Homo Religious) mampu mendefinisikan
12
agamanya di tengah konsep beragama yang pluralistik, dalam bingkai
pluralisme agama. Meminjam istilah Budhi Munawar-Rahman “konsepsi
berteologi dalam agama-agama yang majemuk” (Rahman, 2004: ix).
Perlu dipahami bahwa pluralisme adalah hukum sejarah, maka perlu
dipahami bahwa pluralisme itu bukanlah sebuah keunikan dalam masyarakat
atau karakteristik yang lain dari sebuah budaya tertentu. Hal ini dibuktikan
dengan tidak adanya dalam sebuah struktur yang benar-benar tunggal tanpa
adanya unsur-unsur lain di dalamnya (Sudarto, 1999: 2). Apalagi pada tahun
1980-an di mana dunia mengalami suatu masa yang belum pernah terjadi
sebelumnya, yaitu hancurnya batas-batas budaya, rasial, bahasa dan
geografis. Untuk pertama kalinya dalam sejarah dunia tidak lagi terkotak
kotak dalam dua kutub perbedaan Barat dan Timur (Coward, 1989: 5).
Oleh sebab itu pluralisme perlu dipahami bukan hanya sebagai
kebaikan negatif yang menyingkirkan paham fanatisme golongan, namun
essensi dari pluralisme adalah dipahami sebagai kekuatan yang bisa
menyatukan komponen masyarakat dalam ikatan pertalian sejati kebhinekaan
yang membangun ikatan keadaban (Amidhan, 2000: 29).
Masyarakat Indonesia adalah sketsa masyarakat yang plural, karena di
dalamnya terdapat bermacam suku, agama, budaya dan ras. Pada tradisi
kehidupan beragam di Indonesia sering terjadi ambiguitas dalam
perkembangannya. Hal ini terkait dengan masalah-masalah keagamaan yang
berujung pada peristiwa-peristiwa konflik yang di luar nalar ataupun ajaran
agama yang mengajarkan tentang cinta damai.3
Di Indonesia terdapat enam agama besar, yakni Hindu, Budha, Islam,
Kristen Katholik, Kristen Protestan dan Konghucu yang mempunyai
mempunyai komposisi penganut terbesar masing-masing agama. Yang mana
dengan perbedaan-perbedaan itu berpotensi menimbulkan konflik antar
agama. Oleh sebab itu, dibutuhkan sikap inklusif oleh masing-masing pihak
agar tecipta suasana yang lebih terbuka, pluralistik dan ingin menciptakan
bagaimana pluralitas agama ini tidak menjadi pemicu terjadinya konflik
sosial, tetapi menjadi alat pemersatu bangsa dengan landasan saling
menghormati satu sama lain dan berlomba-lomba dalam kebaikan (fa istabiqu
al-khairat) (Setiawan, 2010: 6).
Pluralisme secara literal dapat diartikan sebagai paham kemajemukan,
baik dalam agama, etnis, suku, maupun budaya. Namun, karena di Indonesia
sering terjadinya konflik sosial yang dipicu oleh isu agama, wacana
pluralisme juga sering lebih ditekankan pada masalah pluralisme agama. Di
era demokrasi dan globalisasi, pluralisme kemudian menjadi isu yang sangat
penting dan gencar disosialisasikan. Hal ini dilakukan dengan harapan ketika
semangat pluralisme dalam beragama dipahami dengan baik, ketegangan dan
konflik yang disebabkan oleh isu agama dapat diredam, atau paling tidak
makin berkurang. (Setiawan, 2010: 8).
Hal ini sejalan dengan apa yang diungkapan Hans Kung: “Tak ada
perdamaian dunia tanpa perdamaian antar agama”. Pernyataan ini memiliki
nuansa yang amat kaya. Di satu pihak, kita melihat bahwa perdamaian antar
agama menjadi prasyarat bagi perdamaian dunia. Namun, dipihak lain, 4
pernyataan itu juga bisa diartikan bahwa perdamaian dunia tersebut sekaligus
merupakan lingkungan yang kondusif bagi perdamaian antar agama. Tidak
bisa disangkal bahwa agama dan aspek-aspek lain dalam kehidupan
bermasyarakat saling tergantung, satu mempengaruhi yang lain; satu tidak
dapat berdiri sendiri tanpa subyek yang lain (Kuschel, 1999: xvii).
Di kalangan Cendikiawan Muslim di Indonesia, paham pluralisme
agama pertama kali digagas oleh Nurcholish Madjid. Setelah sepeninggal
beliau, ide-ide pluralisme dikembangkan oleh Abdurahman Wahid, Abdul
Munir Mulkhan, Alwi Shihab, Kommaruddin Hidayat, Budhy Munawar
Rahman, Ulil Absor Abdalla serta tokoh-tokoh muslim lain yang tergolong
dalam JIL (Jamaah Islam Liberal) (Handriyanto, 2007: 3)

Anda mungkin juga menyukai