Anda di halaman 1dari 10

Demokrasi dan Civil Society

Historical Development of Civil Society


Dosen Pengampu: Havidz Ageng Prakoso, S.IP., M.A.

Oleh

Thoriq Ridhoni Zaindri (201910360311192)


Fahmi Allaudin Ardiansyah (201910360311200)

Program Studi Ilmu Hubungan Internasional

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Muhammadiyah Malang

2021
Pendahuluan

Civil Society merupakan sebuah konsep kehidupan sosial yang terorganisir yang
terbuka dan termasuk otonom dari negara dan terikat oleh tatanan hukum dari aturan
bersama. Civil society berbeda dari pengertian masyarakat pada umumnya karena dalam
civil society adanya keterlibatan warga negara yang bertindak secara kolektif di ruang
publik untuk mengekspresikan keinginannya atau kepentingannya demi mencapai
tujuan bersama. Civil society juga mempunyai peran untuk meningkatkan struktur dan
fungsi negara serta meminta pertanggungjawaban pejabat negara. Civil society juga
dapat membuat tuntutan pada negara apabila terjadi di hal yang tidak diinginkan dalam
jalannya pemerintahan negara tersebut. Civil society berbeda dengan masyarakat politik
yang mana masyarakat politik dalam aksinya mempunyai tujuan untuk memenangkan
kendali suatu negara atau menjadi oposisi dari pemerintahan. Civil society juga
mengakui prinsip-prinsip negara otoritas dan supremasi hukum serta membutuhkan
perlindungan dalam tatanan hukum yang melembaga demi kemakmuran dan keamanan.

Organisasi yang tercangkup dalam civil society sangatlah beragam baik itu
formal maupun informal, dapat meliputi di bidang ekonomi, budaya, informasi dan
pendidikan, kelompok kepentingan, organisasi pengembangan, gerakan yang
berorientasi pada suatu masalah, serta kelompok-kelompok sipil yang mencari massa
untuk memperbaiki sistem politik dan membuatnya lebih demokratis. Sehingga dapat
juga ditekankan bahwa civil society lebih mementingkan tujuan publik daripada tujuan
pribadi. Civil society berhubungan dengan negara dalam beberapa cara tetapi tidak
berusaha untuk memegang kendali atau menjadi oposisi dalam pemerintahan suatu
negara. Civil society tidak menginginkan untuk mengatur suatu pemerintahan, tetapi
lebih terfokus pada pengawasan suatu pemerintahan atau bisa dikatakan bertujuan untuk
mereformasi struktur kekuasaan daripada mengambil alih kekuasaan tersebut. Civil
society bersifat pluralisme dalam perbedaan bukan merupakan suatu kumpulan dari
fundamentalis agama ataupun suatu etnis yang berusaha memonopoli fungsional atau
politik di ruang masyarakat serta Civil society tidak mempunyai keberpihakan khusus
kepada suatu kelompok tetapi masyarakat sipil berusaha mewakili seluruh kepentingan
masyarakat. Civil society memiliki implikasi mendalam bagi kualitas dan konsolidasi
dalam demokrasi karena mereka menjembatani literatur tentang budaya politik dan
masyarakat, maka dapat disimpulkan civil society merupakan konsep yang lebih luas
karena mencangkup segala macam asosiasi.

Peran civil society dalam memainkan demokrasi berada pada posisi sentral tidak
berperan sebagai aktor yang paling penting ataupun sebagai aktor penentu tetapi lebih
aktif dalam membangun dan mengkonsolidasi demokrasi. Dalam aksinya civil society
untuk melayani demokrasi dengan cara berasosiasi, semakin besar kepadatan kehidupan
berasosiasi semakin banyak keanggotaan yang dimiliki warga negara sehingga semakin
luas jangkauan kepentingan masyarakat yang akan diperjuangkan atau disuarakan oleh
organisasi. Ada dua cara yang dilakukan oleh civil society dalam memajukan
demokrasi, yaitu dengan membantu menciptakan transisi dari pemerintahan otoriter ke
pemerintahan demokrasi dan dengan memperdalam dan mengkonsolidasikan demokrasi
Setelah demokrasi tersebut didirikan dengan bukti dalam beberapa kasus masyarakat
sipil menjadi peran paling penting dalam menghasilkan transisi ke demokrasi.

Sejarah Perkembangan Masyarakat Sipil (Historical Development of Civil Society)

Sejarah perkembangan civil society berasal dari sejarah masyarakat Barat. Akar
perkembangannya dapat dapat dimulai dari masa Cicero (106-43 SM). Cicerio
memandang civil society merupakan kelompok atau kekuatan yang mendominasi
seluruh kelompok masyarakat lain. Bahkan wacana tentang civil society telah ada di
zaman Aristoteles dengan istilah “koinonia politike” yang merupakan komunitas politik
dimana warga negara terlibat langsung dalam berbagai aspek dan pengambilan
keputusan.1 Konsep civil society berasal dari Eropa Barat pada era modern awal
pemikiran kemudian menciptakan kembali di Eropa Timur dan Amerika Latin pada
tahun 1980-an kemudian menjadi unsur kebijakan dalam pembangunan internasional
selama tahun 1990-an kemudian konsep ini telah menyebar ke seluruh penjuru dunia
melalui berbagai hal. Baik itu secara pertukaran intelektual, gerakan aktivis, dan
kesepakatan demi pembangunan. Dalam tradisi Eropa sampai abad ke-18 pengertian
civil society dianggap sama halnya dengan pengertian negara atau state yang merupakan
kelompok atau kekuatan yang mendominasi seluruh kelompok masyarakat lain.
Kemudian pada paruh kedua abad 18 mengalami pergeseran makna yang mana negara

1
Sri Agustin Sutrisnowati, V. F. (2013). Civil Society, Konsep Ummah Dan Masyarakat Madani. Humanika,
13(1), 11–23. https://doi.org/10.21831/hum.v13i1.3199
dan civil society dipahami sebagai entitas yang berbeda disebabkan pembentukan sosial
dan banyak perubahan struktur politik di Eropa setelah renaissance.2

Dalam perkembangan istilah civil society telah mengalami pergeseran makna


yang disebabkan adanya dinamika pemikiran dan faktor- faktor di mana civil society
tersebut diterapkan. Pada awal abad 18 konsep civil society dikembangkan oleh Thomas
Hobbes dan John Locke. Hobbes mengartikan civil society masyarakat politik yang
harus memiliki kekuasaan yang absolut agar mampu meredam konflik dan mengontrol
penuh warga negara. Masyarakat menerima kontrak kepatuhan untuk diatur oleh raja
absolut kekerasan menentang masyarakat yang bebas menurut Thomas Hobbes hak-hak
masyarakat didirikan atas dasar kontrak di mana masyarakat harus melepaskan
kebebasan mereka untuk diserahkan kepada raja yang absolut. 3 Sedangkan menurut
John Locke adanya civil society untuk melindungi kebebasan dan hak milik warga
negara. Lock juga masih belum memisahkan antara civil society dan Political Society.
Argumen John Locke berdasarkan pada State of nature yang menjunjung tinggi akan
kebebasan dan kontrak asali di mana masyarakat dianggap telah ada sebelum adanya
pemerintah. Civil society tidak boleh absolut dan harus membatasi perannya pada
wilayah yang dikelola masyarakat dan memberikan ruang kepada masyarakat untuk
memperoleh hak nya secara adil.4

Pada tahap selanjutnya di belahan kedua abad 18 yang telah memisahkan


pengertian negara dan civil society, Adam Ferguson memaknai civil society sebagai
sebuah kebalikan dari masyarakat primitif. Merupakan visi dalam kehidupan
bermasyarakat untuk mempertahankan tanggung jawab sosial yang didasari oleh moral
serta sikap yang baik pada masyarakat. 5 Dengan konteks sosial kultural dan politik
Skotlandia Adam Ferguson mengantisipasi perubahan sosial yang diakibatkan oleh
revolusi industri dan munculnya kapitalisme. Ferguson mempunyai harapan untuk
publik agar memiliki semangat untuk menghalangi lahirnya kembali despotisme karena
menurutnya solidaritas sosial muncul di ilhami oleh sikap antar warga negara secara

2
Sufyanto. (2001).  Masyarakat Tamaddun; Kritik Hermeneutis Masyarakat Madani Nurcholis
Madjid, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
3
Baidhawy, Z. (2016). Diskursus Civil Society dalam Perspektif Filsafat Barat dan Islam. Journal of Islamic
Studies and Humanities, 1(2), 17–34. https://doi.org/10.18326/millati.v1i1.169-186
4
Sri Agustin Sutrisnowati, V. F. (2013). Civil Society, Konsep Ummah Dan Masyarakat Madani. Humanika,
13(1), 11–23. https://doi.org/10.21831/hum.v13i1.3199
5
Ibid,.
alamiah.6 Ferguson dengan Smith mempertahankan dan mengelaborasi pendapat Locke
tentang pentingnya otonomi ruang ekonomi. Para pemikir setelah renaissance Di
Skotlandia memahami civil society sebagai tatanan alami yang berasal dari pembagian
kerja merupakan realitas kebebasan dan mencerminkan pilihan rasional individu.7

Menurut Karl Marx civil society lebih berbasis pada material sehingga Marx
menyebutnya sebagai masyarakat borjuis sehingga keberadaannya harus dihapuskan.
Marx memiliki pandangan yang berbeda dari para pendahulunya tentang sifat dan
dinamika masyarakat sipil dan hubungannya dengan negara Marx menyebutkan bahwa
civil society merupakan keseluruhan kehidupan komunal dan industri dalam tahap
tertentu baginya masyarakat sipil dicirikan oleh individualisme, hak, mengejar
kepentingan pribadi, pemenuhan keputusan, kebebasan, dan kesetaraan. Marx melihat
civil society sebagai perang antar kelas yang terorganisir unsur-unsur yang terletak di
jantung masyarakat sipil menurutnya sangatlah terdistorsi dan dibuat hampa oleh
struktur masyarakat kapitalis.

Pada abad ke 19 Alexis De tocqueville memaknai civil society sebagai


penyeimbang kekuatan negara. Menurutnya civil society merupakan struktur yang
merealisasikan ruang publik.8 Tocqueville menganjurkan gagasan civil society
membangun dirinya sendiri melawan despotisme negara modern. Ia mengungkapkan
bahwa terbentuknya demokrasi sering terjadi dalam asosiasi lokal. Demokrasi Amerika
didominasi oleh kebebasan, kesetaraan yang memiliki kebajikan besar tetapi cenderung
mengisolasi individu. Menurutnya terbentuknya asosiasi bebas merupakan hal yang
spontanitas secara sadar dilakukan oleh masyarakat untuk mencapai tujuan bersama.
Terbentuknya asosiasi dengan sukarela merupakan aspek terpenting bagi konsep civil
society karena hal semacam ini ini dapat menghindarkan depotisme dan melindungi
kebebasan individu. Tocqueville menjelaskan civil society sebagai sesuatu yang berbeda
dari negara sekaligus pasar tetapi dalamnya menjelaskan aspek aspek politik dan
ekonomi dan lebih mencerminkan ruang bagi kehidupan berasosiasi.9
6
Sapei Rusin. (2020). Masyarakat Sipil dan Politik Arus Bawah. Inisiatif.
7
Baidhawy, Z. (2016). Diskursus Civil Society dalam Perspektif Filsafat Barat dan Islam. Journal of Islamic
Studies and Humanities, 1(2), 17–34. https://doi.org/10.18326/millati.v1i1.169-186
8
Sri Agustin Sutrisnowati, V. F. (2013). Civil Society, Konsep Ummah Dan Masyarakat Madani. Humanika,
13(1), 11–23. https://doi.org/10.21831/hum.v13i1.3199

9
Baidhawy, Z. (2016). Diskursus Civil Society dalam Perspektif Filsafat Barat dan Islam. Journal of Islamic
Studies and Humanities, 1(2), 17–34. https://doi.org/10.18326/millati.v1i1.169-186
Civil Society Dalam Pemanfaatan Media Sosial untuk Demokratisasi Mesir

Runtuhnya kediktatoran yang digerakkan oleh gerakan rakyat seharusnya


menjadi peluang bagi sebuah negara untuk menjadi negara demokrasi. Hal yang sama
akan terjadi di Mesir. Jatuhnya Hosni Mubarak pada 11 Februari 2011 oleh kelompok
pemuda merupakan peluang besar bagi Mesir untuk menjadi negara demokrasi. Karena
kelompok ini menuntut pemilihan umum yang bebas dan adil, kebebasan berbicara dan
berserikat, dan diakhirinya kediktatoran. Dengan kata lain, gerakan kelompok ini
menginginkan Mesir menjadi negara demokrasi setelah 30 tahun diperintah oleh
kediktatoran Mubarak.10 Kekuatan politik di Mesir cukup terpolarisasi dalam beberapa
kelompok besar dan kecil. Pertama, kelompok militer yang berkuasa dan memainkan
peran dominan dalam politik domestik pasca-Gamal Abdul Nasser, yang naik ke
tampuk kekuasaan melalui kudeta terhadap pemimpin sipil sebelumnya.
Kedua, kelompok Islam garis keras dengan pemahaman yang diyakini oleh pengikut
Salafi dan Wahab. Ketiga, kelompok modernis mereka percaya pada penerapan hukum
positif di negara, dan penerapan demokrasi modern yang sesuai dengan pasar dan sistem
politik sekuler, serta pemerintahan demokratis yang menjamin transparansi dan
akuntabilitas. Aliansi kelompok modernis religius dan sekuler ini menghitung kesalahan
Mursi yang hanya berpihak pada kepentingan Kelompok IM dan Salafi. Dalam transisi
demokrasi Mesir, ada empat aktor yang berperan, yaitu: SCAF ; kelompok Islam, yang
meliputi Ikhwanul Muslimin dan kelompok Salafi; elit rezim lama, elit rezim Mubarak
yang tersisa, baik yang masih dalam struktur politik maupun yang sudah tersingkir.11

Munculnya Internet di Mesir pada tahun 2004 mengawali era baru munculnya
sistem informasi modern melalui teknologi informasi dan komunikasi. Pada masa
pemerintahan Muhammad Hosni Said Mubarak, atau lebih dikenal dengan Hosni
Mubarak, inilah awal era Internet di Mesir, meskipun masih dalam kendali negara yang
ketat. Meskipun Internet berada di bawah pengawasan negara, namun perkembangan
Internet yang pesat tidak dapat dihentikan oleh hambatan aparatur negara yang
melakukan penyensoran dan pengawasan. Hal ini terlihat pada perkembangan

10
Apriasari, H., Sobandi, K. R., Firdaus, S., Soedirman, U. J., & Kunci, K. (2011).
11
Ibid.,
11
penggunaan internet khususnya media sosial yang semakin populer di berbagai negara,
termasuk Mesir. Internet menjadi sangat berguna bagi perkembangan awal
demokratisasi Mesir. Melalui internet, masyarakat sipil di Mesir melakukan konsolidasi
dengan memperkuat wacana gerakan demokratisasi Mesir yang akan berlangsung,
Meskipun ada sangat sedikit ide dan wacana tentang masalah ini. Seiring dengan
perkembangan Internet di Mesir, media sosial seperti Facebook muncul dalam bahasa
Arab dengan 900.000 pengguna. Pada tahun 2009 dan terus meningkat menjadi 3 juta
orang pada April 2009, dan bahkan menurut Laporan Media Sosial Arab Sekolah
Pemerintah Dubai lebih dari 4,6 juta di Mesir pada tahun 2011, yang juga merupakan
jumlah terbesar pengguna Facebook di antara 22 negara Arab yang disurvei.2 Dengan
demikian, Facebook telah menjadi media paling populer di Mesir. 12 Di tengah pesatnya
pertumbuhan pengguna Facebook, muncul akun bernama We All Khaled Said, jaringan
yang berperan dalam demokratisasi di Mesir. Media sosial digunakan oleh para aktivis
Mesir untuk memberikan pengaruh politik dan kesadaran kepada masyarakat Mesir
untuk melakukan perubahan dengan menginisiasi demokratisasi. Akses media sosial dan
internet juga tinggi di Mesir, yaitu sekitar 25 persen dari total penduduk. Media sosial
dapat memainkan peran yang sangat penting karena sifat media ini, yang
memungkinkan siapa saja dan dari elemen apa pun untuk mengekspresikan pendapatnya
dalam bentuk dukungan atau penolakan. Pada saat yang sama, terjadi di Mesir bahwa
rakyat Mesir ditindas dan diawasi oleh aparatur negaranya. Karena itulah rakyat Mesir,
dari berbagai elemen, mengungkapkan keinginannya melalui media sosial untuk
mendapatkan dukungan bagi pelaksanaan revolusi. Sambutan tituler tersebut,
masyarakat Mesir melalui gerakan siber yang melek di media online, memberikan
respon positif terhadap dorongan revolusi, yang dimulai dengan berbagai wacana publik
Mesir di jejaring sosial dengan tujuan untuk demokratisasi, terbukti menjadi kekuatan
politik nyata yang sangat besar.13

Gerakan Kefaya adalah pelopor munculnya gerakan revolusioner di jejaring


sosial. Gerakan Kefaya mulai dikenal pada tahun 2004 setelah mereka mengorganisir
protes jalanan pertama untuk menuntut pengunduran diri Presiden Mubarak. Dengan

12
Apriasari, H., Sobandi, K. R., Firdaus, S., Soedirman, U. J., & Kunci, K. (2011). MESIR MELALUI MEDIA
SOSIAL DAN KEJATUHAN REJIM Kemunculan internet di Mesir pada tahun 2004 memulai era baru
datangnya
13
Ibid.,
populasi sekitar 500-1000 aktivis, gerakan Kefaya menggelar aksi protes dengan
menempelkan stiker kuning bertuliskan Kefaya di bibirnya. Kefaya sendiri didirikan
oleh intelektual muda Mesir pada November 2004.14 Awalnya, gerakan ini dimaksudkan
untuk mendahului pemilihan presiden 2005. Gerakan Kefaya sendiri didirikan oleh 300
intelektual muda Mesir. Mesir memiliki latar belakang ideologi yang berbeda dan
mencakup orang-orang dari banyak profesi yang berbeda, termasuk wartawan, dokter,
pengacara dan lain-lain. Gerakan Kefaya merupakan satu-satunya gerakan politik yang
tidak memiliki markas, memfokuskan aktivitas politiknya melalui media online.
Gerakan Kefaya di Mesir memainkan peran yang sangat penting. Intelektual muda
dengan visi yang sama menuju demokratisasi untuk Mesir yang lebih baik kemudian
gerilya yang membuka jalan untuk mendemokratisasikan Mesir melalui cara yang
modern dan canggih dengan penggunaan teknologi, media baru, terutama jejaring
sosial.15 Melalui merekalah masyarakat Mesir menjadi terbuka untuk mengekspresikan
keinginan dan komentar politik mereka yang mewakili partisipasi politik rakyat Mesir
biasa. Intelektual muda dengan visi yang sama menuju demokratisasi untuk Mesir yang
lebih baik kemudian gerilya yang membuka jalan untuk mendemokratisasikan Mesir
melalui cara yang modern dan canggih dengan penggunaan teknologi, media baru,
terutama jejaring sosial. Melalui merekalah masyarakat Mesir menjadi terbuka untuk
mengekspresikan keinginan dan komentar politik mereka yang mewakili partisipasi
politik rakyat Mesir biasa. Intelektual muda dengan visi yang sama menuju
demokratisasi untuk Mesir yang lebih baik kemudian gerilya yang membuka jalan untuk
mendemokratisasikan Mesir melalui cara yang modern dan canggih dengan penggunaan
teknologi, media baru, terutama jejaring sosial. Melalui merekalah masyarakat Mesir
menjadi terbuka untuk mengekspresikan keinginan dan komentar politik mereka yang
mewakili partisipasi politik rakyat Mesir biasa.16 Ruang publik virtual yang berhasil
diciptakan oleh para aktivis online Mesir ini membawa angin segar bagi terciptanya

14
Ndadari, G., Sufa, F., Darmawan, A., & Umar, A. (2014). Media Sosial dan Revolusi Politik: Memahami
Kembali Fenomena Arab Spring dalam Perspektif Ruang Publik Transnasional. Jurnal Ilmu Sosial Dan
Ilmu Politik, 18(2), 37804.
15
Apriasari, H., Sobandi, K. R., Firdaus, S., Soedirman, U. J., & Kunci, K. (2011). MESIR MELALUI MEDIA
SOSIAL DAN KEJATUHAN REJIM Kemunculan internet di Mesir pada tahun 2004 memulai era baru
datangnya
15

16
Ndadari, G., Sufa, F., Darmawan, A., & Umar, A. (2014). Media Sosial dan Revolusi Politik: Memahami
Kembali Fenomena Arab Spring dalam Perspektif Ruang Publik Transnasional. Jurnal Ilmu Sosial Dan
Ilmu Politik, 18(2), 37804.
demokratisasi di Mesir dengan mengutamakan kebebasan berpendapat dan partisipasi
politik rakyat Mesir, yang sebelumnya sangat-sangat minim di bawah rezim otoriter
Mubarak. Melalui kebebasan berekspresi ini, komentar kritis terhadap pemerintah dapat
didiskusikan dan dicari maknanya, selain meningkatkan partisipasi politik publik yang
merupakan salah satu syarat demokrasi. Dengan terbentuknya ruang publik virtual
melalui media sosial Facebook, Myspace dan Youtube, hal ini kemudian berdampak
positif bagi keberlangsungan demokratisasi di Mesir. 

Kesimpulan

Bahwa civil society merupakan keseluruhan kehidupan komunal dan industri


dalam tahap tertentu baginya masyarakat sipil dicirikan oleh individualisme, hak,
mengejar kepentingan pribadi, pemenuhan keputusan, kebebasan, dan kesetaraan. Marx
melihat civil society sebagai perang antar kelas yang terorganisir unsur-unsur yang
terletak di jantung masyarakat sipil menurutnya sangatlah terdistorsi dan dibuat hampa
oleh struktur masyarakat kapitalis. Pada abad ke 19 Alexis De tocqueville memaknai
civil society sebagai penyeimbang kekuatan negara. Menurutnya civil society
merupakan struktur yang merealisasikan ruang publik. Tocqueville menganjurkan
gagasan civil society membangun dirinya sendiri melawan despotisme negara modern.
Menurutnya terbentuknya asosiasi bebas merupakan hal yang spontanitas secara sadar
dilakukan oleh masyarakat untuk mencapai tujuan bersama. Terbentuknya asosiasi
dengan sukarela merupakan aspek terpenting bagi konsep civil society karena hal
semacam ini ini dapat menghindarkan depotisme dan melindungi kebebasan individu.
Tocqueville menjelaskan civil society sebagai sesuatu yang berbeda dari negara
sekaligus pasar tetapi dalamnya menjelaskan aspek aspek politik dan ekonomi dan lebih
mencerminkan ruang bagi kehidupan berasosiasi.

Daftar Pustaka

Apriasari, H., Sobandi, K. R., Firdaus, S., Soedirman, U. J., & Kunci, K. (2011).
Baidhawy, Z. (2016). Diskursus Civil Society dalam Perspektif Filsafat Barat dan
Islam. Journal of Islamic Studies and Humanities, 1(2), 17–34.
https://doi.org/10.18326/millati.v1i1.169-186
Dan, D. (2013). Kegagalan Transisi. V(16).

Diamond, L. (1997). Civil Society and the Development of Democracy Larry Diamond
Estudio / Working Paper 1997 / 101 June 1997 Larry Diamond is Senior Research
Fellow at the Hoover Institution , co-editor of the Journal of Democracy , and co-
director of the National Endowment. June.

Glasius, M., Lewis, D., & Seckinelgin, H. (2004). Exploring civil society
internationally. In Exploring Civil Society: Political and Cultural Contexts.
https://doi.org/10.4324/9780203358290

Layton, R. (2006). order and anarchy Civil society, social disorder and war.

Mushlih, A., & Hurriyah, H. (2017). Aktor Politik dan Gagalnya Transisi Demokrasi
Mesir Tahun 2011-2013. Jurnal Politik, 2(1), 41. https://doi.org/10.7454/jp.v2i1.81

Ndadari, G., Sufa, F., Darmawan, A., & Umar, A. (2014). Media Sosial dan Revolusi
Politik: Memahami Kembali Fenomena Arab Spring dalam Perspektif Ruang
Publik Transnasional. Jurnal Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik, 18(2), 37804.

Sapei Rusin. (2020). Masyarakat Sipil dan Politik Arus Bawah. Inisiatif.

Sri Agustin Sutrisnowati, V. F. (2013). Civil Society, Konsep Ummah Dan Masyarakat
Madani. Humanika, 13(1), 11–23. https://doi.org/10.21831/hum.v13i1.3199

Anda mungkin juga menyukai