Anda di halaman 1dari 2

A

SEJARAH PEMIKIRAN MASYARAKAT MADANI Aristoteles berpendapat bahwa civil society sebagai sistem kenegaraan atau identik dengan negara itu sendiri. Hal ini menjadi fase pertama sejarah wacana civil society. Wacana civil society sudah mengemuka pada masa Aristoteles. Pada masa ini civil society lebih dikenal dengan istilah koinonia politike, yakni sebuah komunitas politik sebagai tempat warga dapat terlibat langsung dalam berbagai percaturan ekonomipolitik dan pengambilan keputusan. Istilah koinonia politike ini digunakan untuk menggambarkan sebuah masyarakat politis dan etis dimana setiap warga negara di dalamnya berkedudukan sama di mata hukum. Hukum sendiri dianggap etos, yakni seperangkat nilai yang disepakati sebagai substansi dasar kebijakan (virtue) dari berbagai bentuk interaksi di antara warga negara. Konsepsi Aristoteles ini dikembangkan oleh Marcus Tullius Cicero (106-43 SM), menamakannya dengan societies civilies, yaitu sebuah komunitas yang mendominasi komunitas lain. Istilah yang digunakan Cicero lebih menekankan pada konsep negara kota (city state), yakni untuk menggambarkan kerajaan, kota dan bentuk korporasi lainnya, sebagai kesatuan yang terorganisir. Konsepsi civil society yang aksentuasinya pada sistem kenegaraanini dikembangkan pula oleh Tomas Hobbes (1588-1679 SM) dan John Locke (1632-1704 SM). Menurut Hobbes civil society harus memiliki kekuasaan mutlak, agar mampu sepenuhnya mengontrol dan mengawasi secara ketat pola-pola interaksi (perilaku politik) setiap warga negara. Sementara menurut John Locke, kehadiran civil society dimaksudkan untuk melindungi kebebasan dan hak milik setiap warga negara. Fase kedua pada tahun 1767 Adam Ferguson mengembangkan wacana civil society dengan konteks sosio kultural dan politik di skotlandia. Ferguson menekankan civil society pada sebuah visi etis dalam kehidupan bermasyarakat. Pemahamannya ini digunakan untuk mengantisipasi perubahan sosial yang diakibatkan oleh revolusi industri dan munculnya kapitalisme serta mencoloknya perbedaan antara publik dan individu. Dengan konsep civil societynya ini, Ferguson berharap bahwa publik memiliki spirit untuk menghalangi munculnya kembali despotisme, karena dalam civil society itulah solidaritas sosial muncul dan diilhami oleh sentimen moral dan sikap saling menyayangi serta saling mempercayai antar warga negara secara alamiah. Fase ketiga Thomas Paine (1792) mulai memaknai civil society sebagai suatu yang berlawanan dengan lembaga negara. Menurut Paine terdapat batas-batas wilayah otonom masyarakat sehingga negara tidak diperkenankan wilayah sipil. Dengan demikian menurut Paine civil society adalah ruang dimana warga dapat mengembangkan kepribadian dan memberi peluang bagi pemuasan kepentingannya secara bebas tanpa paksaan. Ruang gerak masyarakat tanpa intervensi negara. Fase keempat wacana civil society selanjutnya dikembangkan oleh GWF Hegel (1770-1831 M) Karl Marx (1818-1883 M) dan Antonio Gramsci (1891-1837 M). Dalam pandangan ketiganya civil society merupakan elemen ideologis kelas dominan. Pemahaman ini adalah reaksi terhadap pandangan Paine yang memisahkan civil society dari negara. Berbeda dengan pandangan Paine, Hegel memandang civil society sebagai kelompok subordinatif terhadap negara. Pandangan ini menurut pakar politik Indonesia Riyas Rosyid erat kaitannya dengan perkembangan social masyarakat borjuasi Eropa

(Burgerlische gessellschaf) yang pertumbuhannya ditandai oleh perjuangan melepaskan diri dari cengkeraman dominasi negara. Berbeda dengan Hegel, Karl Marx memandang civil society sebagai masyarakat borjuis, dalam konteks hubungan produksi kapitalis, keberadaan civil society merupakan kendala terbesar bagi upaya pembebasan manusia dari penindasan kelas pemilik modal. Demi terciptanya proses pembebasan manusia civil society harus dilenyapkan untuk mewujudkan tatanan masyarakat tanpa kelas. Fase kelima, wacana civil society sebagai reaksi terhadap mazhab hegelian yang dikembangkan Alexis tocqueville (1805-1859 M). Civil society bersifat otonom dan memiliki kapasitas politik cukup tinggi sehingga mampu mengimbangi dan mengontrol kekuatan negara. B KARAKTERISTIK MASYARAKAT MADANI Masyarakat madani (civil society) masyarakat madani dicirikan dengan masyarakat terbuka, bebas dari pengaruh kekuasaan negara, kritis dan berpartisipasi aktif dan egaliter. Pada dasarnya, masyarakat madani berkaitan dengan peradaban universal. Suatu masyarakat bisa dinyatakan sebagai masyarakat madani apabila di dalamnya terdapat ciri-ciri yang harus melekat pada masyarakat madani itu sendiri, yaitu: 1 Adanya kemandirian yang tinggi, baik individu maupun kelompok-kelompok yang ada dalam masyarakat. 2 Adanya ruang publik yang bebas (free public sphere) untuk mengemukakan pendapat, terutama berkaitan dengan kepentingan publik. 3 4 5 Toleransi. Pluralisme. Penegakkan demokrasi dan keadilan sosial (social justice).

Anda mungkin juga menyukai