Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

“MUHAMMADIYAH SEBAGAI GERAKAN ISLAM YANG BERWATAK TAJDID”

Disusun Oleh :

Nama : - ADNAN BUYUNG (217 190 097)


- LISKA AMELA (217 190 099)
- MUH. FATWA AMAL (217 190 100)
- MUH. TIRTO NUGROHO (217 190 104)
- ASRI AMIR (217 190 141)
Kelas : III Sipil C

FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PAREPARE
2018
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang senantiasa melimpahkan rahmat dan
karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
Muhammadiyah Sebagai Gerakan Islam yang Berwatak Tajdid.
Makalah yang ditulis penulis ini berbicara mengenai Muhammadiyah Sebagai
Gerakan Islam yang Berwatak Tajdid dan , Penulis menuliskannya dengan
mengambil dari beberapa sumber baik dari buku maupun dari internet dan membuat
gagasan dari beberapa sumber yang ada tersebut.
Penulis berterima kasih kepada beberapa pihak yang telah membantu penulis
dalam penyelesaian makalah ini. Hingga tersusun makalah yang sampai dihadapan
pembaca pada saat ini.
Penulis juga menyadari bahwa makalah yang penulis tulis ini masih banyak
kekurangan. Karena itu sangat diharapkan bagi pembaca untuk menyampaikan saran
atau kritik yang membangun demi tercapainya makalah yang lebih baik.
DAFTAR ISI
Kata Pengantar……………………………………………………………………i
Daftar Isi………………………………………………………………………….ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang……..……………………………………………………........1
B. Rumusan Masalah...………………………………………………………......1
C. Tujuan…...………….………………………………………………………...1
D. Mamfaat............................................................................................................1
BAB II ISI
A. Pengertian tajdid ......…...................................................................................2
B. Model tajdid Muhammadiyah...........................................................................4
C. Model gerakan keagamaan Muhammadiyah....................................................8
D. Makna gerakan keagamaan Muhammadiyah...................................................9
E. Gerakan tajdid pada 100 tahun kedua..............................................................10
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan……………………………..…………...……………………….13
B. Saran.................................................................................................................13
Daftar Pustaka………………………………………………………………..…..14
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Modernitas muhammadiyah lahir sebagai respon atas sejarah, pukan
spontanitas. Ketika rakyat tenggelam dalam kemiskinan dan kebodohan semasa
rezim kolonial, muhammadiyah lahir dengan banyak respon; pendidikan modern
dan mengembangkan spirit PKO ( Pertolongan Kesengsaraan Oemoem) ketika
massyarakat teklena dalam tradisional dan pencampuradukan ajaran agama,
muhammadiyah memberikan wacana dan spirit baru, tajdid dan purifikasi.
Muhammadiyah sebagai gerakan islam merumuskan gerakan pembaharuannya
dalam bentuk purifikasi dan dinamisasi. Purifikasi didasarkan pada sumsi bahwa
kemunduran umat islam terjadi karena umat islam tidak mengembangkan aqidah
islam yang benar, sehingga harus dilakukan purifikasi dalam bidang aqidah-ibadah
dengan teori “ segala sesuatu dalam ibadah madlah dilaksanakan bila ada perintah
dalam Al-Qur’an dan Hadist” sedangkan dinamisasi dilakukan dalam bidang
muamalah, dengan melakukan gerakan modernisasi sesuai dengan teori “ segala
sesuatu boleh dikerjakan selama tak ada larangan dala Al-qur’an dan Hadist”.
Muhammadiyah dalam gerakan pembaharuannya di lakukan bersamaan antara
gerakan purifikasi dengan gerakan muamalah. Purifikasi dalam bidang aqidah yang
dilakukan oleh muhammadiyah adalah aqidah yang memiliki keterkaitan dengan
aspek sosial kemasyarakatan.

B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian tajdid?
2. Bagaimana Model tajdid Muhammadiyah
3. Bagaimana Model gerakan keagamaan Muhammadiyah
4. Apa Makna gerakan keagamaan Muhammadiyah
5. Apa Gerakan tajdid pada 100 tahun kedua
C. Tujuan
Tujuan dari makalah ini adalah
· Mampu menjelaskan pengertian tajdid
· Mampu menjelaskan model tajdid Muhammadiyah
· Mampu memahami model dan makna gerakan keagamaan Muhammadiyah
· Mampu menjelaskan gerakan tajdid pada 100 tahun kedua

D. Manfaat
Adapun yang manfaat dari makalah ini yaitu memberikan penjelasan kepada
mahasiswa mengenai, tajdid Muhammadiyha,model dan makna gerakan
keagamaan Muhammadiyah, Mampu menjelaskan gerakan tajdid pada 100 tahun
kedua
BAB II
ISI

A. Pengertian Tajdid
 Pengertian Tajdid
Istilah tajdid berasal dari bahasa Arab yaitu jaddada, yang berarti
memperbaharui atau menjadikan baru. Dalam kamus Bahasa Indonesia tajdid
berarti pembaruan, modernisasi atau restorasi.
Secara bahasa (etimologi) tajdid memiliki makna pembaharuan dan pelakunya
disebut mujaddid (pembaharu). Sedangkan dalam pengertian istilah (terminology),
tajdid berarti pembaharuan terhadap kehidupan keagamaan, baik dalam bentuk
pemikiran ataupun gerakan, sebagai respon atau reaksi atas tantangan baik internal
maupun eksternal yang menyangkut keyakinan dan sosial umat (Ibnu Salim dkk:
1998:1).
Dalam pengertian lain, tajdid adalah upaya untuk memperbaharui interpretasi-
interpretasi atau pendapat-pendapat ulama terdahulu terhadap ajaran-ajaran dasar
Islam, atas dasar bahwa ajaran tersebut sedah tidak relevan dengan tuntutan dan
perkembangan zaman. Oleh karena itu, tajdid adalah usaha yang kontinyu dan
dinamis, sebab selalu berhadapan dan beinteraksi dengan historisitas kehidupan
manusia.
Dalam konteks Muhammadiyah, tajdid bertujuan untuk menghidupkan kembali
ajaran al-Qur'an dan Sunnah dan memerintahkan kaum muslimin untuk kembali
kepadanya. Adapun yang masih merupakan rumpun tajdid dalam perspektif
Muhammadiyah adalah seperti diurakan oleh beberapa tokoh Muhammadiyah
sebagai berikut: Pertama, K.H. Azhar basyir menyebutkan bahwa Muhammadiyah
bertujuan memurnikan ajaran al-Qur'an dan Sunnah dari praktek-praktek takhayul,
bid’ah dan khurafat yang dianggap syirik.
Dengan kata lain, Muhammadiyah berkepentingan mengusung Islam murni (Lihat
Azhar Basyir: 1993: 255-257). Kedua Syafi’i Ma’arif menyebutkan bahwa
Muhammadiyah mentahbihkan dirinya sebagai gerakan non-mazhab, dinamisasi di
tengah-tengah arus utama umat Islam yang terkungkung dalam belenggu mazhab
(Syafi’i Ma’arif 1997: 133). Dan Ketiga, K. H. Suja inti dari pendirian
Muhammadiyah sebagai jawaban terhadap surat al-Maun yang dikaitkan dengan
pembebasan kaum tertindas. (Q.S. Al-Anfal: 24) (Sukrianto AR 1990: 43)
Apa yang dimaksud dengan tajdîd dalam Muhammadiyah dan bagaimana
perkembangannya selama satu abad pertama? Kedua persoalan ini perlu dianalisis
berdasarkan periodesasi dan kurun waktu yang telah ada. Secara garis besar,
perkembangan tajdid dalam Muhammadiyah dapat dibedakan menjadi tiga pase,
yakni pase aksi-reaksi, konsepsionalisasi dan pase rekonstruksi. Ketika
Muhammadiyah didirikan, para tokoh Muhammadiyah, termasuk K.H. Ahmad
Dahlan, belum memikirkan landasan konseosional dan teoritis tentang apa yang
akan dilakukannya. Yang terjadi adalah, upaya mereka untuk secara praktis dan
pragmatis menyebarkan ajaran Islam yang baik dan benar sesuai dengan tuntunan
Rasulullah. Konsentrasi mereka difokuskan pada bagaimana praktek keagamaan
yang dilakukan masyarakat waktu itu disesuaikan dengan apa yang dilakukan oleh
Rasulullah di satu sisi, tapi juga memperhatikan tradisi agama lain, khususnya
kristen, yang kebetulan disebarkan oleh penjajah negeri iniAdapun rumusan tajdîd
yang resmi dari Muhammadiyah itu adalah sebagai berikut:
Dari segi bahasa, tajdid berarti pembaharuan, dan dari segi istilah, tajdîd memiliki
dua arti, yakni: a. pemurnian; b. peningkatan, pengembangan, modernisasi dan
yang semakna dengannya.
Dalam arti “pemurnian” tajdid dimaksudkan sebagai pemeliharaan matan ajaran
Islam yang berdasarkan dan bersumber kepada al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-
Shohihah. Dalam arti “peningkatan, pengembangan, modernisasi dan yang
semakna dengannya”, tajdid dimaksudkan sebagai penafsiran, pengamalan, dan
perwujudan ajaran Islam dengan tetap berpegang teguh kepada al-Qur'an dan As-
Sunnah Ash-Shahihah.
Untuk melaksanakan tajdid dalam kedua pengertian istilah tersebut, diperlukan
aktualisasi akal pikiran yang cerdas dan fitri, serta akal budi yang bersih, yang
dijiwai oleh ajaran Islam. Menurut Persyarikatan Muhammadiyah, tajdid
merupakan salah satu watak dari ajaran Islam.
Yang diperbaharui adalah hasil pemikiran atau pendapat, dan bukan memperbarui
atau mengubah apa yang terdapat dalam al-Qur”an maupun al-Hadis. Dengan kata
lain, yang diubah atau diperbarui adalah hasil pemahaman terhadap al-Qur’an dan
al-Hadis tersebut.
B. Model Tajdid muhammadiyyah
 Model tajdid muhammadiyah
Pertama; kongkrit dan produktif, yaitu melalui amal usaha yang didirikan, hasilnya
kongkrit dapat dirasakan dan dimanfaatkan oleh umat Islam, bangsa Indonesia dan
umat manusia di seluruh dunia. Suburnya amal saleh di lingkungan aktivis
Muhammadiyah ditujukan kepada komunitas Muhammadiyah, bangsa dan kepada
seluruh umat manusia di dunia dalam rangka rahmatan lil alamin.
Kedua; tajdid Muhammadiyah bersifat terbuka. Maksud dari keterbukaan tersebut,
Muhammadiyah mampu mengantisipasi perubahan dan kemajuan di sekitar kita.
Dari sekian amal usahanya, rumah sakitnya misalnya, dapat dimasuki dan
dimanfaatkan oleh siapapun. Sekolah sampai kampusnya boleh dimasuki dan
dimanfaatkan oleh siapa saja. Kalau Muhammadiyah mendirikan lembaga ekonomi
dan usaha atau jasa, maka yang menjadi nasabah, partner dan komsumennya pun
bisa siapa saja yang membutuhkan.
Ketiga; tajdid Muhammadiyah sangat fungsional dan selaras dengan cita-cita
Muhammadiyah untuk menjadikan Islam itu, sebagai agama yang berkemajuan,
juga Islam yang berkebajikan yang senantiasa hadir sebagai pemecah masalah-
masalah (problem solv), temasuk masalah kesehatan,pendidikan, dan masalah
sosial ekonomi.
Dengan Demikian model Tajdid dibagi dalam tiga bidang, yaitu :
1) Bidang keagamaan
Pembaharuan dalam bidang keagamaan adalah penemuan kembali ajaran atau
prinsip dasar yang berlaku abadi, yang karena waktu lingkungan situasi dan
kondisi mungkin menyebabkan dasar-dasar tersebut kurang jelas dan tertutup oleh
kebiasan dan pemikiran tambahan lain.
Pembaharuan dalam bidang kaagamaan adalah memurnikan kembali atau
mengembalikan kepada aslinya, oleh karena itu dalam pelaksanaan agama baik
yang menyangkut akidah atau pun ibadah harus sesuai dengan aslinya, yang
sebagai mana diperintahkan dalam Al-Qur’an dan as sunah.
Dalam masalah akidah muhammadiyah bekerja untuk tegaknya akidah islam yang
murni, bersih dari gejala kemusyrikan, bid’ah dan curafat tanpa mengabaikan
prinsip toleransi menurut islam. Sedangkan dalam ibadah, muhammadiyah bekerja
untuk tegaknya ibadah tersebut sebagaimana yang dituntunkan Rasullah tanpa
perubahan dan tambahan dari manusia. Usaha permurnian yang dilakukan
muhamaadiyah terhadap keadaan keagamaan yang tampak dari serapan berbagai
unsur kebudayaan yang ada di indonesia yaitu
Penentuan arah kiblat dalam sholat, yang sebelumnya mengarah tepat ke arah
barat.
2). Bidang pendidikan
Dalam bidang ini Muhammadiyah mempelopori dan meyelenggarakan sejumlah
pembaharuan dan inovasi yang lebih nyata. Bagi Muhammdiyah pendidikan
memiliki arti yang penting dalam penyebaran ajaran islam, karena melalui bidang
pendidikan pemahaman tentang islam dapat diwariskan dan ditanamkan dari
generasi kegenerasi.
Pembaharuan dari segi pendidikan memiliki dua segi yaitu
a. Segi cita-cita
Dari segi ini ingin membentuk manusia muslim yang baik budi, alim dalam agama,
luas dalam pandangan dan paham masalah ilmu keduniaan, dan bersidia berjuang
untuk kemajuan masyarakatnya.
b. Segi teknik pengajaran
Dari segi ini lebih banyak berhubungan dengan cara penyelenggaraan pengajaran.
Dengan mengambil unsur-unsur yang baik dari sistem pendidikan barat dan sistem
pendidikan tradisonal, muhammadiyah berhasil membangun sistem pendidikan
sendiri. Seperti sekolah model barat yang dimasukkan pelajaran agama
didalamnya, sekolah agama dengan menyertakan perlajaran umum.
Selain pembaharuan dalam pendidikan formal, Muhammadiyah juga telah
mempebaharui pendidika tradisional non formal yaitu pengajian. Dimana yang
semula pengajarnya hanya mengajar ngaji dan ibadah oleh muhammadiyah
diperluas dan pengajian di sistematiskan dan diarahkan pada masalah kehidupan
sehari-hari.
Begitupula muhammadiyah telah mewujudkan bidang bimbingaan dan penyuluhan
agama dalam masalah-masalah yang diperlukan dan mungkin bersifat pribadi.
3). Bidang sosial masyarakat
Muhammadiyah merintis bidang sosial kemasyarakatan dengan mendirikan
rumah sakit, piklinik, panti auhan, rumah singgah, panti jompo, Pusat kegiatan
Belajar Masyarakat (PKBM), posyandu lansia yang dikelola melalui amal
usahanya dan bukan secara individual sebagai mana dilakukan orang pada
umumnya. Usaha pembaharuan dalam bidang sosial kemasyarakatan ditandai
dengan didirikannya Pertolongan Kesengsaraan Oemoen (PKO)di tahun 1923.
Perhatian terhadap kesengsaraan orang lain merupakan kewajiban orang muslim,
sebagai perwujudan tuntunan agama yang jelas untuk ber amal ma’ruf dan juga
sebagai bentuk pengamalan firman Allah dalam surat Al-ma;un 107: 1-7
Yang artinya
“ Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama, itulah orang yang menghardik
anak yatim dan tidak menganjurkan memberi makanan orang miskin. Maka
kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat,(yaitu) orang yang lalai dari sholatnya,
orang-orang berbuat riya dan enggan(menolong dengan) barang berguna.”.

C. Model gerakan keagamaan Muhammadiyah


Seperti yang dituliskan di awal bahwa dalam konstitusi Muhammadiyah,
terdapat tiga model gerakan yang mewujud menjadi modal gerakan yaitu: Pertama:
Muhammadiyah sebagai gerakan Islam. Kedua: sebagai gerakan dakwah amar
ma’ruf nahi munkar, dan ketiga: Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid.
Pada dasarnya, Muhamadiyah telah menggagas mengenai penguatan basis gerakan,
sejak awal berdirinya. Bahkan dalam Muktamar pada tahun 1970-an telah
diputuskan untuk menggalang jama’ah dan dakwah jamaah (GJDJ). Hanya saja,
gagasan tersebut belum ter-implementasi secara maksimal dalam aktivistas
gerakan organisasi.
Kesadaran yang sama muncul pada Muktamar ke 46 Yogyakarta dengan adanya
program revitalisasi cabang dan ranting serta pembentukan Lembaga
Pengembangan Cabang dan Ranting (LPCR), sebagai respons atas kondisi global
dan tantangan yang dihadapi.
Kesadaran untuk memperhatikan masyarakat di akar rumput merupakan kelanjutan
dari spirit perubahan formasi sosial dengan terlibat dalam penguatan kesadaran
sosial, politik, ekonomi dan ideologi, -kini terkooptasi oleh kecenderungan
kapitalistik, birokrasi, politisasi yang berlangsung secara massif pasca Orde Baru.
Dan terakhir, beberapa dekade yang lalu, telah di rumuskan pembinaan Jamaah,
keluarga sakinah, dan qaryah thoyyibah untuk memperkuat basis gerakan.
1. Gerakan Jamaah dan Dakwah (GDJD)
Esensi GDJD adalah penguatan kesadaran jamaah dan kepedulian mereka
terhadap lingkungan sosialnya. Definisi sederhana tentang jamaah adalah
kumpulan keluarga muslim yang berada dalam suatu lingkungan tempat tinggal.
Ajakan warga aktif merupakan landasan gerakan Muhammadiyah yang menuntut
adanya komunitas yang solid dan terorganisir untuk memperjuangkan tegaknya
kebaikan menentang segala macam keburukan. Orientasi dari gerakan ini adalah
membangun basis kehidupan dakwah bil halal di bidang pendidikan, sosial,
ekonomi dan kesehatan.
KH. Ahmad Dahlan sebagai pendiri Muhammadiyah dan beberapa sahabatnya
sangat peduli terhadap pembinaan jamaah. Beliau melakukan perjalanan keliling
Jawa untuk melakukan pembinaan hingga ke Banyuwangi, Jakarta dan Jawa
Tengah. Itu artinya, penguatan jamaah sudah menjadi platform dari berdiri dan
pengembangan gerakan Muhamaadiyah.
2. Langkah Penguatan Jama’ah
Langkah pemberdayaan melalui penguatan institusi cabang dan ranting akan
memberi kontribusi bagi penguatan kohesi sosial /solidaritas antar warga di tengah
meluasnya paham-paham radikal yang cenderung anarkis belakangan ini. Ledakan
bom di Pesantren Umar Bin Khattab Bima NTB, dapat menjadi bukti betapa
rapuhnya kohesi sosial warga. Komunitas kecil jauh di Bima saja, terdapat
tindakan kekerasan terhadap ummat Islam. oleh karena itu, memperkuat kembali
identitas lokal melalui gerakan jamaah, dipandang perlu dalam kerangka penguatan
potensi dan basis gerakan untuk hal-hal yang produktif.
Langkah yang dapat dilakukan untuk menggiatkan cabang dan ranting
Muhammadiyah melalui gerakan jamaah dan dakwah jamaah antara lain:
· Melakukan assesment awal mengenai kehidupan keagamaan di desa atau
komunitas atau ranting
· Memantapkan konsep dakwah jamaah yang akan dipergunakan agar sesuai
dengan kondisi sosial, ekonomi dan budaya masyarakat basis
· Melakukan sosialisasi dan pelatihan bagi para fasilitator yang akan
menggerakkan cabang dan ranting
· Melakukan pendampingan dakwah jamaah
· Memantapkan organisasi gerakan di akar rumput (pimpinan ranting) sebagai
ujung tombak gerakan dakwah jamaah
Untuk mensinergiskan langkah-langkah diatas, diperlukan adanya
keterlibatan berbagai lembaga amal Muhammadiyah, seperti: sekolah, rumah sakit
ataupun masjid dari seluruh daerah di Indonesia. Pelibatan lembaga amal itu dalam
mempercepat proses pengembangan cabang dan ranting sebagai sentral untuk
mengembangkan Muhammadiyah sebagai organisasi yang bercorak community
based. Agar nantinya tidak hanya memperkuat infrastruktur Muhammadiyah, tetapi
juga memperkuat infrastruktur masyarakat, sehingga terbentuk masyarakat khairah
ummah sebagaimana cita-cita Muhammadiyah.

D. Makna gerakan keagamaan Muhammadiyah


Secara harfiah ada perbedaan antara kata “gerak, “gerakan”, maupun
“pergerakan”. Gerak adalah perubahan sesuatu materi dari tempat yang satu ke
tempat lainnya[2], gerakan adalah perbuatan atau keadaan bergerak, sedangkan
pergerakan adalah usaha atau kegiatan. Pergerakan identik dengan kegiatan dalam
ranah sosial. Dengan demikian, kata gerakan atau pergerakan mengandung arti,
unsur, dan esensi yang dinamis tidak statis.
Muhammadiyah merupakan organisasi pergerakan. Kader muhammadiyah di
tuntut untuk selalu bergerak dalam menyebar syariat islam yang terinspirasi dari
surat Al-Imran ayat 104.
Muhammadiyah bukanlah gerakan sosial-keagamaan yang biasa. Tetapi sebagai
gerakan Islam, pergerakan organisasi terkait erat dengan perkembangan agama
Islam di Nusantara. Tidak hanya bergerak, karena setiap dakwah yang disampaikan
dan disebarkan harus berdasarkan bingkai petunjuk ajaran agama Islam: Islam
tidak terbangun sebagai asas formal (teks), tetapi menjiwai, melandasi, mendasari,
mengkerangkai, memengaruhi, menggerakan dan menjadi pusat orientasi dan
tujuan. Tidak sekadar meng-Islam KTP, menjadikannya slogan dan simbolik
belaka, tetapi menjadikannya jalan dan ruh kehidupan.

Inilah Islam yang modern, Islam yang melintasi batas-batas kaku tradisional dan
budaya, Islam yang senantiasa melangkah maju ke depan. Sebagaimana semangat
dasar gerakan Muhammadiyah dalam menyebarkan panji-panji agama Islam dan
menghadapi pergolakan arah global dunia.
Oleh karena itu, aktor-aktor gerakan dakwah wajib masuk dalam lingkaran
organisasi agar dapat terorganisir dan memiliki power yang kuat. Sehingga,
kelelahan dan keteteran dalam menyebarkan nilai-nilai ke-Islam-an dapat teratasi
sejak dini dan secara organisatoris. Dalam hal ini, para pendahulu Muhammadiyah
memaknainya dengan kaidah fiqhiyah “ma layatim al-wajib Illa bihi da huma
wajib.” Artinya: organisasi menjadi wajib adanya, karena keniscayaan dakwah
memerlukan perangkat-perangkat organisasi
Di sisi lain: Muhammadiyah bertujuan untuk mencetak ummat terbaik atau ummat
yang unggul. Sebagaimana pokok pikiran keenam Anggaran Dasar
Muhammadiyah. Disebutkan bahwa: “organisasi adalah satu-satunya alat atau cara
perjuangan yang sebaik-baiknya.”
Ciri-cirinya adalah: a) Muhammadiyah adalah subjek atau pemimpin, dan
masyarakat semuanya adalah objek atau yang dipimpinnya; b) Lincah (dinamis),
maju (progresif), selalu dimuka dan militan; c) Revolusioner; d) Mempunyai
pemimpin yang kuat, cakap, tegas dan berwibawa; dan e) Mempunyai organisasi
yang susunannya lengkap dan selalu tepat atau up to date (PP Muhammadiyah,
Manhaj Gerakan Muhammadiyah, 2000; 19-30).

E. Gerakan Tajdid Pada 100 Tahun Kedua


Tajdid merupakan proses yang tidak pernah berhenti. Ia akan tumbuh dan
berkembang seiring dengan perkembangan kehidupan manusia. Dalam ranah
agama, tajdid dimaknai sebagai upaya untuk redefinisi makna di tengah-tengah
kehidupan manusia yang progresif Islam seringkali dimaknai penganutnya sebagai
agama yang “rahmatan lil alamin”, agama yang senantiasa sesuai di setiap tempat
dan zaman. Untuk mengejawantahkannya, seringkali dihadapkan pada dilema
antara normativitas teks dengan realitas sosial. Dalam menghadapi dilema ini,
maka yang harus diubah adalah cara pandang terhadap teks al-Qur’an dan al-
Sunnah. Amin Rais menyebut tajdid dilakukan secara konprehensif yang mengarah
kepada future oriented. (Amin Rais, Visi dan Misi Muhammadiyah, 1998: 10).
Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid menggunakan tiga paradigma dalam
membaca teks yakni bayani, burhani, dan irfani. Ketiga paradigma ini diharapkan
mampu menjawab dilema antar teks dan konteks sehingga menghasilkan Islam
yang rahmatan lil alamin.
Pengetahuan dan peradaban manusia senantiasa berubah dan berkembang
seiring dengan perkembangan zaman. Sebagai bagian dari narasi besar ilmu
pengetahuan, ilmu-ilmu keislaman pun mengalami pergeseran paradigmatik. Hal
ini terjadi karena ilmu-ilmu yang lahir tidak lepas dari bingkai sosial yang
mengkonstruk realitas. Bingkai sosial inilah yang selalu mengalami perubahan
seiring dengan pperkembangan peradaban manusia. Oleh karena itu, pergeseran
paradigma merupakan tuntutan sejarah.
Perkembangan peradaban manusia kini sampai pada era pluralisme dan
multikulturalisme. Agama-agama yang selama ini mapan dengan dirinya, ternyata
mengalami problematika ketika berhadapan dengan realitas luar yang makin
kompleks dan plural. Untuk itu, maka, harus ada redefinisi terhadap makna dan
orientasi agama, sehingga agama senantiasa relevan dengan peradaban manusia.
Tantangan selanjutnya datang dari ranah budaya atau kultur sosial masyarakat
lokal. Agama sebagai sistem nilai, norma dan ajaran yang dominan, berhadapan
dengan sistem nilai yang datang dari tradisi atau adat masyarakat setempat. Sistem
nilai itu lahir dari kearifan lokal yang secara turun temurun dipegang oleh sebuah
masyarakat sebagai suatu ajaran yang harus dijunjung tinggi. Dialektika antara
agama dan budaya (kearifan) lokal ini juga sering memicu ketegangan, konflik dan
perpecahan.
Muhammadiyah 100 tahun kedua, meninjau ulang paradigma yang selama ini
dipegang merupakan suatu keharusan. Misalnya, sikap Muhammadiyah terhadap
persoalan budaya lebih bersifat monolitik. Kecendrungan ini bisa dilihat dari
identitas yang melekat dalam Muhammadiyah yakni gerakan Islam yang murni, di
samping sebagai gerakan modernisme.
Muhammadiyah 100 tahun kedua, diharapkan mampu melangkah dengan
pandangan dan strategi yang lebih tepat sasaran dan mencapai keberhasilan dalam
mewujudkan visi dan tujuannya, baik tujuan jangka menengah dan jangka panjang,
maupun tujuan ideal yakni terbentuknya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.
Untuk mencapai tujuan yang ideal ini, diperlukan transformasi baru dalam
aktualisasi gerakannya di berbagai bidang kehidupan. Disinilah pentingnya
aktualisasi ideologi medernisme-reformasi Islam dalam gerakan dakwah dan tajdid
gelombang kedua yang diperlukan Muhammadiyah. melalui potensi dan modal
sebagai gerakan pencerahan, Muhammadiyah diharapkan terus berkiprah untuk
pencerahan dan kemajuan bangsa, serta mampu menjadikan gerakan Islam
kosmopolitan yang membawa Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam.
Selain transformasi dalam aktualisasi gerakan, juga transformasi di bidang
pemikiran, pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan usaha-usaha lain yang bersifat
unggul dan terobosan, Muhammadiyah dituntut untuk terus berkiprah dengan
inovatif. Dengan demikian transformasi dakwah dan tajdid, yakni melakukan
perubahan-perubahan pandangan dan strategi dakwah dan tajdid lebih mendasar
sebagai alternatif. Benni Setiawan, www.muhammadiyahstudies.blog)
Sejumlah tawaran bagi Muhammadiyah dalam melakukan reorientasi terhadap
gerakan tajdid yang diperankannya. Jalaluddin Rahmat pernah menawarkan
formulasi Tauhid Sosial sebagaimana gagasan Dr. M. Amien Rais sebagai
blueprint (cetak biru) tajdid Muhammadiyah jilid dua. Ahmad Syafii Maarif
menawarkan Muhammadiyah sebagai gerakan ilmu untuk melangkah ke depan di
tengah pergulatan pemikiran Islam dan tantangan besar yang demikian kompleks
saat ini.
Nurcholish Madjid secara isyarat memberikan catatan agar gerakan-gerakan
Islam modernis seperti Muhammadiyah memperkaya khazanah keilmuan dan
pemikiran agar “kunci” metodologis yang selama ini kuat dimiliki dilengkapi
dengan kekayaan materi pemikiran baik yang bersifat pemikiran Islam klasik
maupun kontemporer.
Tawaran-tawaran pemikiran tersebut berangkat dari penilaian bahwa gerakan
Islam modern seperti Muhammadiyah selama ini cenderung terlalu ad-hoc, kaya
amal tetapi kering pemikiran, dan kehilangan daya transformasionalnya di tengah
perubahan dan perkembangan zaman yang sarat kompleksitas masalah dan
tantangan sebagaimana kritik kaum noemodernisme terhadap modernisme.
Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid, M. Syamsul Anwar juga memberikan
tawaran bahwa kini tajdid Muhammadiyah memerlukan pengembangan dari
paradigma tajdid juz’i-‘alami (pembaruan praksis amaliah) ke tajdid usuli-nazari
(pembaruan pemikiran yang lebih mendasar).Dalam konteks ini secara sistemik
tentu saja keseluruhan pengembangan pemikiran tajdid itu berada dalam bingkai
dan legalitas organisasi, bukan bersifat perseorangan kecuali untuk wacana dan
pengembangan wawasan pemikiran.
Tajdid Muhammadiyah bersifat jama’iy atau kolektif, tetapi tentu saja
memerlukan etos ijtihad dan sistem yang lebih dinamis agar tidak mengalami
kelambanan dan tidak terperangkap pada posisi statis. Sedangkan berbagai variasi
dan pengembangan wacana pemikiran sebaiknya diberi ruang yang lebih longgar
agar tradisi pemikiran terus berkembang, tentu saja disertai sikap tasamuh dan
memiliki pertanggungjawaban intelektual yang tinggi.
Keberhasilan Muhammadiyah melangkah melintasi zaman menuju 100 tahun
kedua, karena potensi dan modal dasar yang dimiliki sebagai gerakan pencerahan.
Melalui gerakan pencerahan yang membawa misi dakwah dan tajdid yang
membebaskan, memberdayakan, dan memajukan kehidupan di tengah dinamika
abad modern yang sarat tantangan.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas dapat difahami, bahwa tajdid dalam
Muhammadiyah mengalami perubahan yang sangat berarti. Tajdid dalam
Muhammadiyah pada tataran praktis dan gerakan aksi yang mengarah pada
pemurnian akidah dan ibadah, sebagai reaksi terhadap penyimpangan yang
dilakukan oleh umat Islam.
Model model Tajdid dalam Muhammadiyah digolongkan dalam tiga bidang
diantaranya (a) bidang keagarmaan yaitu Pembaharuan dalam bidang keagamaan
adalah penemuan kembali ajaran atau prinsip dasar yang berlaku abadi, yang
karena waktu lingkungan situasi dan kondisi mungkin menyebabkan dasar-dasar
tersebut kurang jelas dan tertutup oleh kebiasan dan pemikiran tambahan lain. (b)
bidang pendidikan yaitu Muhammadiyah mempelopori dan meyelenggarakan
sejumlah pembaharuan dan inovasi yang lebih nyata dimana bidang pendidikan
dipandang sangat penting dalam penyebaran ajaran agama islam. (c) bidang sosial
masyarakat Muhammadiyah merintis bidang sosial kemasyarakatan dengan
mendirikan rumah sakit, piklinik, panti auhan, rumah singgah, panti jompo, Pusat
kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM), posyandu lansia yang dikelola melalui amal
usahanya dan bukan secara individual sebagai mana dilakukan orang pada
umumnya.
B. Saran
Tajdid atau pembaharuan dalam Islam khususnya dalam Muhammadiyah memang
perlu terus dilakukan oleh kader–kader Muhammadiyah. Hal ini untuk melindungi
ajaran–ajaran agama yang semakin hari luntur oleh fenomena modern yang
berkembang di masyarakat. Pola kehidupan masyarakat modern yang memiliki
budaya baru yang lebih bebas cenderung melupakan ajaran – ajaran agama yang
sebenarnya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrohman, Asjmuni, Manhaj Tarjih Muhammadiyah, Metodologi dan
Aplikasi,( Jokyakarta : Pustaka Pelajar, 2002, Cet I )
Badan pendidikan Kader PP. Muhammadiyah, Materi Induk Perkaderan
Muhammadiyah, ( Jogyakarta : BPK PP.Muhammadiyah,Oktober 1994, Cet I )
§ Majlis Tarjih Dan Pengembangan Pemikiran Islam Pimpinan Pusat
Muhammadiyah, Buku Panduan Munas Tarjih ke 26 , (Jokyakarta : MTPPI PP
Muhammadiyah, 2003)
Wikepedia,arti tajdid secara harfiah:id.wikepedia.org/tajdid

Anda mungkin juga menyukai