Anda di halaman 1dari 11

Jiwa (nafs) menurut para pemikir Islam

ELY ARIFAH, M.SI

SENIN, 3 JUNI 2013 PERTEMUAN KE 13 BKI FAKULTAS DAKWAH

IBNU SINA
KONSEP JIWA DALAM PANDANGAN IBNU SINA :

NAFS (JIWA) DALAM JASAD ITU BAGAIKAN BURUNG YANG TERKURUNG DALAM SANGKAR, MERINDUKAN KEBEBASANNYA DI ALAM LEPAS, MENYATU KEMBALI DENGAN ALAM RUHANI, YAITU ALAM ASALNYA. SETIAP KALI IA MENGINGAT ALAM ASALNYA, IA PUN MENANGIS KARENA RINDU INGIN KEMBALI.

Pokok Pikiran Ibnu Sina ;


Jiwa bersumber pada akal pertama. 2. Akal pertama mempunyai dua sifat : sifat wajib wujudnya sebagai pancaran dari Allah, dan sifat mungkin wujudnya jika ditinjau dari hakekat dirinya. 3. Segi-segi jiwa terbagi menjadi dua : segi fisika yang membicarakan tentang macam-macam jiwa (jiwa tumbuhan, jiwa hewan dan jiwa manusia), segi metafisika, yang membicarakan tentang wujud dan hakikat jiwa, pertalian jiwa dengan badan dan keabadian jiwa.
1.

Lanjutan
4. Ibnu Sina membagi jiwa menjadi 3 bagian :
Jiwa tumbuh tumbuhan dengan daya daya : makan, tumbuh, berkembang biak. Jiwa binatang dengan daya daya : gerak, menangkap segala apa yang ditangkap oleh panca indera, Representasi yang menyimpan segala apa yang diterima oleh indera bersama, Imaginasi yang dapat menyusun apa yang disimpan dalam representasi, Estimasi yang dapat menangkap hal hal abstraks yang terlepas dari materi, Rekoleksi yang menyimpan hal hal abstrak yang diterima oleh estimasi. Jiwa manusia dengan daya daya : Praktis yang hubungannya dengan badan. Teoritis yang hubungannya adalah dengan hal hal abstrak.

Simpulan Ibnu Sina tentang Jiwa dan Jasad


Jiwa dan Jasad memiliki korelasi sedemikian kuat, Jiwa tidak akan pernah mencapai tahap fenomenal tanpa adanya jasad. Begitu tahap ini dicapai ia menjadi sumber hidup, pengatur, dan potensi jasad, bagaikan nakhoda (al-rubban) begitu memasuki kapal ia menjadi pusat penggerak, pengatur dan potensi bagi kapal itu. Jika bukan karena jasad, maka jiwa tidak akan ada, karena tersedianya jasad untuk menerima, merupakan kemestian baginya wujudnya jiwa, dan spesifiknya jasad terhadap jiwa merupakan prinsip entitas dan independennya nafs.

Abu Nasr Muhammad Al - Farabi


Dalam wacana psikologi Islam, konsep Freud tersebut biasanya dikaitkan dengan konsep nafs, aql dan qalb dalam sufisme. Nasf sejajar dengan id, aql dengan ego, sedang qalb dengan superego. Isi dan fungsi kedua konsep tersebut, sekilas, memang tampak cukup serasi. Akan tetapi, keduanya sesungguhnya sangat jauh berbeda. Dalam Islam, tiga eleman dasar manusia tersebut ada secara terpisah dan berdiri sendiri, sementara dalam Freud, ketiganya menyatu dan terwadahi dalam id. Di antara ketiganya, id adalah unsur pribadi yang paling dominan, rahim tempat ego dan superego berkembang

Konsep jiwa menurut al-Farabi

Baginya jiwa tidak sekedar tentang nafs, aql (rasio) dan qalb, tetapi juga potensi-potensi yang lain, bahkan tentang intelek (al-aql al-kull), sebuah fakultas dalam diri manusia yang lebih dari sekedar rasio (al-aql al-juzi).

Pokok Pikiran Al-Farabi


Manusia sebagai binatang rasional (al-hayawn

alnthiq) yang lebih unggul dibanding makhlukmakhluk lain. Manusia menikmati dominasinya atas spesiesspesies lain karena mempunyai intelegensi atau kecerdasan (nuthq) dan kemauan (irdah): keduanya merupakan fungsi dari daya daya kemampuan yang ada dalam diri manusia.

5 kemampuan manusia :
kemampuan untuk tumbuh yang disebut daya vegetatif (alquwwat al-ghdziyah) sehingga memungkinkan manusia berkembang menjadi besar dan dewasa. 2. daya mengindera (al-quwwah al-hssah), sehingga memungkinkan manusia dapat menerima rangsangan seperti panas, dingin dan lainnya. 3. daya imajinasi (alquwwah al-mutakhayyilah) sehingga memungkinkan manusia masih tetap mempunyai kesan atas apa yang dirasakan meski objek tersebut telah tidak ada lagi dalam jangkauan indera
1.

Lanjutan .
4. daya berpikir (al-quwwat al-nthiqah) yang memungkinkan manusia untuk memahami berbagai pengertian sehingga dapat membedakan antara yang satu dengan lainnya, kemampuan untuk menguasai ilmu dan seni. 5. dayarasa (al-quwwah al-tarwi`iyyah), yang membuat manusia mempunyai kesan dari apa yang dirasakan: suka atau tidak suka.

Pengetahuan manusia, menurut al-Farabi, diperoleh lewat tiga daya yang dimiliki, yaitu daya indera (alquwwah al-hassah), daya imajinasi (al-quwwah almutakhayyilah) dan daya pikir (al-quwwah alnthiqah), yang masing-masing disebut sebagai indera eksternal, indera internal dan intelek. Tiga macam indera ini merupakan sarana utama dalam pencapaian keilmuan.

Anda mungkin juga menyukai