Anda di halaman 1dari 1

Artikel Sejarah Islam Nurul Maghfiroh- 134284054

FILSAFAT ISLAM IBNU SINA DAN PEMIKIRAN TENTANG JIWA


Filsafat Jiwa, Menurut pendapat Ibnu Sina, jiwa manusia merupakan satu unit yang tersendiri dan mempunyai
wujud terlepas dari badan. Jiwa manusia timbul dan tercipta tiap kali ada badan yang sesuai dan dapat menerima
jiwa lahir di dunia ini. Sungguhpun jiwa manusia tidak mempunyai fungsi-fungsi fisik, dengan demikian tidak berhajat
pada badan untuk menjalankan tugasnya sebagai daya yang berpikir, yakni jiwa yang masih berhajat pada badan.
Pendapatnya juga searah dengan Aristoteles, Ibnu Sina menekankan eratnya hubungan antara jiwa dan raga, tetapi
semua kecenderungan pemikiran Aristoteles menolak suatu pandangan dua subtansi, dua subtansi ini di yakininya
sebagai bentuk dari dualisme radikal. Sejauhmana dua aspek doktrinnya itu bersesuaian merupakan suatu
pertanyaan yang berbeda, tentunya Ibnu Sina tidak menggunakan dualismenya untuk mengembangkan suatu
tinjauan yang sejajar dan kebetulan tentang hubungan jiwa raga. Menurut Ibnu Sina, hal ini adalah cara pembuktian
yang lebih langsung tentang subtansialitas nonbadan, jiwa, yang berlaku bukan sebagai argumen, tetapi sebagai
pembuka mata. Jiwa manusia , sebagai jiwa-jiwa lain segala apa yang terdapat di bawah bulan, memancar dari Akal
kesepuluh. Kemudian Ibnu Sina membagi jiwa dalam tiga bagian :
- Jiwa tumbuh-tumbuhan (an-Nafsul Nabatiyah), yakni meliputi beberapa daya; Makan (nutrition), Tumbuh (Growth),
Berkembang biak (reproduction).
- Jiwa binatang (an-Nafsul Hayawaniah), yakni meliputi bebrapa daya; Gerak (locomotion), Menangkap (perception),
Dua daya ini dibagi lagi menjadi dua bahagian :
a. Menangkap dari luar (al-Mudrikah minal kharij) dengan pancaindera.
b. Menangkap dari dalam (al-Mudrikah minad dakhil) dengan indera-indera yang meliputi : 1) Indera bersama
yang menerima segala apa yang dirangkap oleh pancaindera, 2) Representasi yang menyimpan segala apa
yang diterima oleh indera bersama, 3) Imaginasi yang menyusun apa yang disimpan dalam representasi, 4)
Estimasi yang dapat manangkap hal-hal abstrak yang terlepas dari materinya, umpama keharusan lari bagi
kambing dari anjing srigala, 5) Rekoleksi yang menyimpan hal-hal abstrak yang diterima oleh estimasi.
- Jiwa manusia (an-Nafsul Natiqah) meliputi dua daya ; Praktis (practical) yang hubungannya adalah dengan badan.
Teoritis (theoritical) yang hubungannya adalah dengan hal-hal abstrak.
Dengan demikian, sifat seseorang bergantung pada jiwa mana dari ketiga macam jiea tumbuh-tumbuhan, binatang
dan manusia yang berpengaruh pada dirinya. Jika jiwa tumbuh-tumbuhan dan binatang yang berkuasa pada dirinya,
maka orang itu dapat menyerupai binatang. Tetapi jika jiwa manusia (an-Nafsul Natiqah) yang mempunyai pengaruh
atas dirinya, maka orang itu dekat menyerupai Malaikat dan dekat pada kesempurnaan.
Ibnu Sina, meski ia seorang dokter, namun ia sadar bahwa penjelasan mengenai jiwa bukan tugas seorang dokter
dan tidak masuk dalam disiplin ilmu tersebut. Oleh karenanya dalam al-quran di jelaskan beberapa pertanyaan yang
berkaitan dengan jiwa beserta berbagai potensinnya, yang mana para dokter dan filosof berbeda pendapat dalam hal
ini. Oleh sebab itu, Ibnu Sina mengatakan bahwa maalah jiwa adalah urusan filosof. Pengaruh Ibnu Sina dalam soal
kejiwaan ini tidak dapat diremehkan, baik pada dunia pikir Arab sejak abad 10 M. Sampai akhir abad 19 M, maupun
pada filsafat scholastik Yahudi dan Masehi terutama tokoh-tokohnya, seperti: Gundisalus, Guillaume, Albert Yong
Agung, St. Thomas Aquinas, Roger Bacon, dan Duns Scotf, serta berhubungan dengan pemikiran Descartes tentang
hakikat dan adanya jiwa.

Anda mungkin juga menyukai