Anda di halaman 1dari 20

JIWA MANUSIA

MENURUT TINJAUAN SUFISTIK

MAKALAH
ditulis sebagai tugas mata kuliah TEORI SULUK
yang diampu oleh Dr. Abdul Muhayya, MA.

Ditulis oleh :

Ahmad Ahid
NIM : 095112006

PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) WALI SONGO
2010
JIWA MANUSIA
MENURUT TINJAUAN SUFISTIK

A. PENDAHULUAN

Kajian tentang jiwa manusia (an-nafs) adalah kajian yang menarik, karena
sifatnya yang tidak tampak, tetapi bisa dirasakan keberadaannya. Ia adalah sesuatu
yang masih misterius sepanjang sejarah kemanusiaan hingga kini. Para pemikir sejak
era filsafat Yunani, era Islam dan era kemajuan keilmuan hingga sekarang berbicara
tentang jiwa manusia, termasuk para sufi.

Menurut mereka, manusia adalah mahluk Allah yang paling sempurna di


dunia ini. Hal ini, seperti yang dikatakan Ibnu Arabi manusia bukan saja karena
merupakan khalifah Allah di bumi yang dijadikan sesuai dengan citraNya, tetapi juga
karena ia merupakan madhhar (penampakan) asma dan sifat Allah yang paling
lengkap dan menyeluruh.

Jasad Adam (manusia) yang merupakan awal penciptaannya, kemudian Allah


meniupkan roh ke dalam jasadnya (al-Hijr: 29 dan Shad: 72) menurut para sufi,
hanyalah alat, perkakas atau kendaraan bagi roh dalam melakukan aktifitasnya.
Manusia pada hakekatnya bukanlah jasad lahir yang diciptakan dari unsur-unsur
materi, akan tetapi roh yang berada dalam dirinya.

Karena itu, pembahasan tentang jasad tidak banyak dilakukan oleh para sufi
dibandingkan pembahasan mereka tentang roh (ar-ruh), jiwa (an-nafs), akal (al-’aql)
dan hati (al-qalb), meskipun terjadi perbedaan pendapat tentang definisi dan
kedudukan masing-masing term tersebut di kalangan mereka sendiri, apalagi di luar
mereka dari para teolog, filosuf, maupun psikolog dan yang lainnya. Perbedaan ini
semakin menambah kemisteriusan jiwa (an-nafs), dan tidak ada yang tahu hakekat
sejatinya kecuali Allah SWT. (al-Isra: 85).

2
B. DISKURSUS TERMINOLOGI JIWA

Kata jiwa, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memiliki beberapa
arti, diantaranya: roh manusia (yang ada di dalam tubuh dan menyebabkan seseorang
hidup); nyawa, seluruh kehidupan batin manusia (yang terjadi dari perasaan, pikiran,
angan-angan, dan sebagainya), sesuatu atau orang yang utama dan menjadi sumber
tenaga dan semangat, isi (maksud) yang sebenarnya; arti (maksud) yang tersirat
(dalam perkataan, perjanjian, dan sebagainya), buah hati; kekasih, orang (dalam
perhitungan penduduk) dan daya hidup orang atau makhluk hidup lainnya
(Depdikbud, 1994: 416). Beberapa arti jiwa dalam KBBI di atas yang memiliki
hubungan erat dengan kajian tentang jiwa ini adalah bahwa jiwa merupakan roh
manusia (yang ada di dalam tubuh dan menyebabkan seseorang hidup); nyawa dan ia
merupakan seluruh kehidupan batin manusia (yang terjadi dari perasaan, pikiran,
anggan-angan dan sebagainya).

Jika jiwa disinonimkan dengan roh, maka kata roh sendiri merupakan kata
yang diadopsi dari bahasa Arab ar-ruh yang berarti an-nafs, keduanya memiliki satu
arti. Bedanya ar-ruh dalam bentuk mudzakkar (kata yang menunjukkan laki-laki) dan
an-nafs dalam bentuk mu’annats (kata yang menunjukkan perempuan) (Ibnu
Mandhur, tth, III: 1768).

Namun demikian, antara ar-ruh dan an-nafs dalam terminologi para ulama,
masih menjadi perdebatan. Perdebatan ini dipicu oleh perbedaan sudut pandang
mereka tentang ar-ruh dan an-nafs menurut disiplin ilmunya masing-masing. Ibnu
Sina (370-428 H/980-1037 M) mendefinisikan ar-ruh sama dengan an-nafs.
Menurutnya, jiwa adalah kesempurnaan awal, karena dengannya spesies menjadi
sempurna sehingga menjadi manusia yang nyata. Artinya, jiwa merupakan
kesempurnaan awal bagi tubuh, dan tubuh sendiri merupakan prasyarat bagi definisi
jiwa. Ia bisa dinamakan jiwa, jika aktual di dalam tubuh dengan satu perilaku dari
berbagai perilaku (Uthman, 2002: 144) dengan mediasi alat-alat tertentu yang ada di
dalamnya, yaitu berbagai anggota tubuh yang melaksanakan berbagai fungsi

3
psikologis. Ibnu Sina membagi daya jiwa (ar-ruh) menjadi tiga bagian yang masing-
masing bagian saling mengikuti, yaitu:

a. Jiwa (roh) tumbuh-tumbuhan, mencakup daya-daya yang ada pada manusia,


hewan dan tumbuh-tumbuhan. Jiwa ini merupakan kesempurnaan awal bagi
tubuh yang bersifat alamiah dan mekanistik, baik dari aspek melahirkan, tumbuh
dan makan.

b. Jiwa (roh) hewan, mencakup semua daya yang ada pada manusia dan hewan. Ia
mendefinisikan jiwa ini sebagai sebuah kesempurnaan awal bagi tubuh alamiah
yang bersifat mekanistik dari satu sisi, serta menangkap berbagai parsialitas dan
bergerak karena keinginan (Ibnu Sina, 1952: 258).

c. Jiwa (roh) rasional, mencakup daya-daya khusus pada manusia. Jiwa ini
melaksanakan fungsi yang dinisbatkan pada akal. Ibnu Sina mendefinisikannya
sebagai kesempurnaan awal bagi tubuh alamiah yang bersifat mekanistik, dimana
pada satu sisi ia melakukan berbagai perilaku eksistensial berdasarkan ikhtiar
pikiran dan kesimpulan ide, namun pada sisi lain ia mempersepsikan semua
persoalan yang bersifat universal (Ibnu Sina, 1952: 62-65).

Imam al-Ghazali (450-505 H/1058-1111 M) juga membagi jiwa manusia


menjadi tiga golongan: jiwa tumbuh-tumbuhan (an-nafs an-nabatiyah), jiwa hewan
(an-nafs al-hayawaniyah) dan jiwa manusia (an-nafs al-insaniyah) (Dewan Redaksi,
1993: 174). Jiwa manusia inilah, menurut al-Ghazali disebut sebagai roh (an-nafs an-
nathiqah/jiwa manusia). Ia sebelum masuk dan berhubungan dengan tubuh disebut
ar-ruh, sedangkan setelah masuk ke dalam tubuh dinamakan an-nafs yang
mempunyai daya pikir (al-'aql). Selanjutnya al-Ghazali menjelaskan bahwa al-qalb,
ar-ruh dan an-nafs al-muthmainnah merupakan nama-nama lain dari an-nafs an-
nathiqah yang bersifat hidup, aktif dan bisa mengetahui (Dewan Redaksi, 1993: 174)

Menurut Ibnu Thufail (580 H/ 1185 M), sesungguhnya jiwa yang ada pada
manusia dan hewan tergolong sebagai jiwa hewan yang berpusat di jantung. Itulah

4
faktor penyebab kehidupan hewan dan manusia beserta seluruh perilakunya. Jiwa ini
muncul melalui saraf dari jantung ke otak, dan dari otak ke seluruh anggota badan.
Dan inilah yang yang menjadi dasar terwujudnya semua aksi anggota badan (Amin,
1966: 37-38). Jiwa atau roh itu berjumlah satu. Jika ia bekerja dengan mata, maka
perilakunya adalah melihat; jika ia bekerja dengan telinga maka perilakunya adalah
mendengar; jika dengan hidung maka perilakunya adalah mencium dan sebagainya.
Meskipun berbagai anggota badan manusia melakukan perilaku khusus yang berbeda
dengan yang lain, tetapi semua perilaku bersumber dari satu roh, dan itulah hakikat
zat, dan semua anggota tubuh seperti seperangkat alat (Amin, 1966: 149).

Menurut Ibnu Taimiyah (661-728 H/1263-1328 M), jiwa adalah sesuatu yang
tidak tersusun dari substansi-substansi terpisah, bukan pula terdiri dari bentuk dan
materi. Jiwa juga bukan fisik dan bukan pula esensi yang merupakan sifat yang
bergantung pada yang lain. Ia berdiri sendiri dan tetap ada setelah berpisah dari badan
ketika kematian datang. Ia menyatakan bahwa kata ar-ruh juga digunakan untuk
pengertian jiwa (an-nafs). Roh yang mengatur badan yang ditinggalkan setelah
kematian adalah roh yang dihembuskan ke dalamnya (badan) dan jiwalah yang
meninggalkan badan melalui proses kematian. Roh yang dicabut pada saat kematian
dan pada saat tidur disebut roh dan jiwa (an-nafs). Begitu pula yang diangkat ke
langit disebut ar-ruh dan an-nafs. Ia disebut aln-nafs karena sifatnya yang mengatur
badan, dan disebut ar-ruh karena sifat lembutnya. Kata ar-ruh sendiri identik dengan
kelembutan, sehingga angin juga disebut ar-ruh (Damej, 1970: 36-37).

Berbeda dengan gurunya, Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim Al-Jauziyah (691-751


H/1292-1350 M) berpendapat bahwa jiwa adalah substansi, jism yang bersifat nurani,
berada di tempat yang tinggi, lembut, hidup dan dinamis (nurani, ‘alawi, lathif, hayy,
mutaharrik). Ia bukan tubuh, bukan substansi immaterial, bukan pula angin halus
yang masuk dan keluar melalui proses pernafasan. Ia tidak memiliki ruang, panjang,
lebar, dalam, warna dan bagian. Jiwa juga tidak berada di dalam alam, di luar alam, di
samping alam atau di alam lain. Menurutnya, jiwa itu menembus anggota tubuh dan

5
mengalir bagaikan air atau minyak zaitun atau api di dalam kayu bakar. Selama
anggota badan dalam keadaan baik untuk menerima pengaruh dari jism lathif (halus)
ini, maka jism lathif ini akan membuat jaringan dengan bagian-bagian tubuh,
kemudian pengaruh itu memberinya manfaat berupa rasa, gerak dan keinginan (Ibnu
Qayyim, 1986: 276).

Ibnu Qayyim menjelaskan bahwa sebenarnya jiwa itu satu, tapi memiliki tiga
sifat dan dinamakan dengan sifat yang mendominasinya. Ada jiwa yang disebut an-
nafs al-ammarah yaitu nafsu yang menyuruh kepada keburukan. Ada an-nafs al-
lawwamah yang selalu mencela, selalu ragu-ragu antara menerima dan mencela
secara bergantian. Dan terakhir ada jiwa yang disebut an-nafs al-muthma’innah (jiwa
yang tenang) karena ketenangannya dalam beribadah, bermahabbah, berinabah,
bertawakal, ridla dan kedamaiannya dengan Allah. Adapun tujuan perkembangan
jiwa manusia adalah tercapainya an-nafs al-muthma’innah, yang merupakan
kesempurnaannya (Ibnu Qayyim, 1986: 330). Di sini terlihat bahwa bagi Ibnu
Qayyim ar-ruh dan an-nafs digunakan dalam arti atau pengertian yang sama.

Tentang al-qalb (hati) dan al-‘aql (akal), menurut Ibnu Qayyim, hati adalah
raja yang mengatur bala tentaranya, semua perbuatan berasal dari perintahnya, lalu ia
gunakan sekehendaknya, sehingga semua berada di bawah kekuasaan dan
perintahnya, darinya muncul istiqamah dan kesesatan dan darinya pula niat menjadi
termotifasi atau memudar (Ibnu Qayyim, 2005: xxxvi). Adapun akal dipandang Ibnu
Qayyim sebagai alat atau timbangan setiap ilmu untuk mengetahui yang benar dan
salah. Sedangkan tempat akal bukanlah di otak, tetapi di hati (al-Hajj: 46), cabang
dan buahnya barulah terletak di otak (Ibnu Qayyim, 2004: 313).

Para pakar psikologi memiliki pandangan tersendiri tentang ar-ruh dan an-
nafs. Menurut mereka, untuk menentukan struktur kepribadian seseorang, tidak dapat
terlepas dari pembahasan substansi manusia, sebab dengan pembahasan substansi
tersebut dapat diketahui hakikat dan dinamika prosesnya. Pada umumnya, para ahli
psikologi membagi subtansi manusia atas al-jasad (tubuh) dan ar-ruh (roh), tanpa

6
memasukkan an-nafs (jiwa). Antara al-jasad dan ar-ruh, masing-masing saling
membutuhkan. Al-Jasad tanpa ar-ruh merupakan substansi yang mati, sedang ar-ruh
tanpa al-jasad tidak dapat teraktualisasi. Karena saling membutuhkan, maka
diperlukan perantara yang dapat menampung kedua naluri yang berlawanan, yang
dalam terminologi psikologi Islam disebut dengan an-nafs (Abdul Mujib dan Yusuf
Muzakir, 2001: 38).

Ada juga yang menyatakan bahwa jiwa itu satu saja, tetapi memiliki fungsi
yang berbeda-beda sehingga diberi nama yang berbeda-beda pula. Misalnya ketika
jiwa mengarahkan dirinya kepada Tuhan maka ia disebut ar-ruh. Ketika ia
melakukan perenungan atau kontemplasi maka ia disebut al-‘aql. Ketika ia menerima
iluminasi serta ilham atau mukasyafah, maka ia disebut al-qalb, dan ketika
berhubungan dengan badan, maka ia disebut an-nafs.

Dari semua penjelasan teoritis tentang jiwa manusia di atas, penjelasan Abd
ar-Razzaq al-Kasyani (w. 730 H) adalah yang paling jelas menerangkan struktur jiwa
manusia dan saling hubungan di antara mereka. Bagi al-Kasyani unsur-unsur yang
paling fundamental dan orisinal dalam diri manusia ada dua: tanah (turab) dan roh.
Namun karena keduanya merupakan dua substansi yang sangat berlainan sifat
dasarnya, maka keduanya tidak bisa saling berhubungan. Oleh karena itu, Allah
menciptakan unsur ketiga yang dapat mempertemukan keduanya yang disebut an-
nafs (jiwa), sehingga ia berada tepat diantara keduanya. Dalam bukunya Isthilahat
ash-Shufiyyah, al-Kasyani menjelaskan definisi serta kedudukan hati sebagai berikut:

Hati adalah substansi yang bercahaya dan terpisah (terletak) antara roh dan
jiwa (an-nafs). Melalui hatilah kemanusiaan yang sejati (al-insaniyyah)
terealisir. Para filosuf menyebutnya sebagai jiwa rasional. Roh adalah dimensi
batinnya, sedangkan jiwa (an-nafs) adalah tunggangannya serta dimensi
lahirnya. Jiwa (an-nafs) ini terletak antara ia (hati) dan badan (al-Kasyani,
1992: 162).
Dengan demikian kita bisa melihat kedudukan hati (al-qalb) yang berada pada
posisi tengah antara ar-ruh dan an-nafs. Di bawah an-nafs terdapat badan, dan di atas

7
roh ada Tuhan. Selain itu al-Kasyani juga berbicara tentang akal (al-‘aql) yang
diletakkan antara roh dan hati, dan ash-shadr (dada) yang terletak antara al-qalb
(hati) dan an-nafs (jiwa). Jadi struktur jiwa manusia menurut al-Kasyani, kira-kira
sebagai berikut:

Allah

ar-Ruh (Roh)

al-‘Aql (Akal)

al-Qalb (Hati)

ash-Shadr (Dada)

an-Nafs (Jiwa)

al-Jasad (Badan)

Di sini terlihat bahwa al-qalb (hati) terletak persis ditengah-tengah. Dan


karena kedudukannya yang sentral ini, maka hati manusia berada di bawah pengaruh
atau tarikan antara ar-ruh dan an-nafs. Jika ia naik menuju ar-ruh, ia akan mencapai
kesempurnaannya sebagai jiwa rasional (al-‘aql). Jika ia turun menuju an-nafs, ia
akan terputus dari cahaya itu dan turun ke posisi kegelapan, yaitu ash-shadr (dada).
al-Kasyani mengatakan:

Hendaklah kamu ketahui bahwa wajah hati yang dipalingkan kepada ar-ruh
mendapat cahaya dari cahaya roh dan disebut al-‘aql. Ia mendorong menuju
kebaikan dan merupakan tempat ke mana ilham malaikat dapat masuk. Wajah
hati yang dipalingkan ke arah an-nafs itu menjadi gelap melalui kegelapan
dari sifat-sifatnya, dan itu dinamakan ash-shadr (dada). Itulah tempat setan
berbisik, seperti firman Allah, “Dia yang berbisik-bisik di dada manusia” (QS.
an-Nas:5) (al-Kasyani, 1992: 115)
Perbedaan definisi tentang ar-ruh, an-nafs, al-‘aql dan al-qalb bagi para
ulama hingga saat ini masih menjadi ajang perdebatan. Perbedaan terjadi karena
sifatnya yang abstrak (jism lathif) dan Allah tidak membuka lebar ilmu tentangnya.
Sebagaimana firmanNya, “Mereka bertanya padamu tentang roh, katakanlah roh itu

8
adalah urusan Tuhanku. Dan tidaklah Aku berikan sebagian ilmu (tentang roh)
kecuali hanya sedikit” (al-Isra: 85). Mahmud Syalthut mengatakan bahwa roh itu
memang sesuatu yang gaib dan belum dibukakan oleh Allah bagi manusia. Akan
tetapi, pintu penyelidikan tentang hal-hal yang gaib masih terbuka karena tidak ada
nash agama yang menutup kemungkinannya (Kafie, 1993: 15-16).

C. JIWA MANUSIA DAN POTENSINYA

Menurut tradisi sufi, manusia memiliki tujuh jiwa. Masing-masing mewakili


tingkat evolusi dan potensi yang berbeda. Dengan tujuh jiwa ini manusia berbeda
dengan makhluk lainnya (tumbuhan dan hewan) walaupun sebagian jiwa yang
dimiliki oleh manusia dimiliki juga oleh tumbuhan dan hewan. Ketujuh jiwa tersebut
adalah (Frager, 2003: 145-189):

1. Jiwa Material (an-Nafs al-Maddaniyah)

Jiwa Material sangatlah dekat dengan Tuhan. Ia tidak pernah memberontak


kepada kehendak Tuhan dan merupakan wadah percikan ilahi yang suci di dalam diri
manusia. Ia berfungsi sebagai dasar/pondasi yang kuat untuk mendukung manusia di
dalam kehidupan. Ibarat suatu bangunan, ia adalah kerangkanya yang senantiasa
harus ada.

2. Jiwa Tumbuhan (an-Nafs an-Nabatiyah)

Jiwa Tumbuhan berfungsi untuk membantu manusia menjaga kesehatan dan


kekuatan tubuh. Jika tidak seimbang dia menjadi sumber kemalasan dan sikap
hiperaktif. Jiwa tumbuhan mengatur pertumbuhan dan asimilasi dari bahan-bahan
makanan. Jika seseorang kekurangan vitamin ataupun mineral, maka secara perlahan
ia akan menjadi lemah dan mungkin jatuh sakit. Jiwa tumbuhan segera mengetahui
kekurangan tersebut dan akan segera memberikan informasi kepadanya.

Di waktu seseorang berada di dalam rahim, ia sepenuhnya berfungsi sebagai


jiwa tumbuhan. Ia dihubungkan pada rahim ibunya dengan tali pusar, yang berfungsi

9
sebagai penyalur makanan. Namun demikian, jiwa tumbuhan masih ada hingga
tubuhnya mati atau rusak.

3. Jiwa Hewan (an-Nafs al-Hayawaniyah)

Jiwa Hewan bertujuan untuk memberikan kepada manusia hasrat dan


dorongan agar mampu melaksanakan pelayanan-pelayanan yang bermanfaat di dunia
ini. Ketika jiwa hewan ini tidak seimbang, maka akan mendorong manusia bersikap
buruk dengan amarah, ketamakan dan nafsu birahi.

4. Jiwa Pribadi (an-Nafs an-Nafsaniyah)

Jiwa Pribadi merupakan tempat ego. Manusia memiliki ego negatif dan ego
positif. Mulai tingkat jiwa ini dan tingkat selanjutnya, hanya dimiliki oleh manusia,
tidak dimiliki oleh tunibuhan dan hewan. Jiwa pribadi bertujuan untuk membina
manusia agar memiliki kecerdasan untuk memahami diri dan dunia di sekelilingnya.
Jika tidak seimbang, maka akan menyesatkannya melalui keangkuhan dan egoisme.

5. Jiwa Insani (an-Nafs al-Insaniyah)

Jiwa Insani terletak di dalam hati. la berfungsi untuk memberikan belas


kasihan dan kecerdasan yang mendalam, tempat keimanan serta kreatifitas. Jika tidak
seimbang, maka ia akan membuat manusia bodoh dengan rasa belas kasihan tidak
pada tempatnya.

6. Jiwa Rahasia (an-Nafs as-Sirriyah)

Jiwa Rahasia adalah bagian dari diri manusia untuk mengingat Allah. Ia
terletak di dalam hati batiniah dan dapat memunculkan kearifan batiniah sejati1.
Namun jika tidak seimbang, maka ia dapat membuat manusia menolak dunia dan
melakukan pemisahan antara spiritual dan material dan menjadi penghambat kesatuan
yang utuh dengan Allah dan ia berada di dalam kegelapan selamanya.

1
Jiwa Rahasia memunculkan kesadaran batiniah untuk selalu mencari, mencintai dan
mengenal Allah.

10
7. Jiwa Maharahasia (Nafs Sirr al-Asrar)

Jiwa Maharahasia merupakan sesuatu yang benar-benar transendent. Ia adalah


jiwa azali (roh) yang ditiupkan oleh Tuhan ke dalam diri manusia, ia merupakan inti
manusia. Ketika manusia meninggal dunia, ketiga jiwa pertama akan mengikuti tubuh
jasmaniah manusia dan keempat jiwa berikutnya akan meninggalkan tubuh, tidak
binasa dan akan kembali kepada Tuhannya1.

Ketujuh jiwa tersebut, semuanya memerlukan keseimbangan. Menurut


perspektif sufistik, perkembangan spiritual bukanlah semata berkenaan dengan
meningkatkan jiwa kepada posisi yang lebih tinggi dan melemahkan yang lebih
rendah, karena setiap jiwa memiliki potensi yang berharga.

Keselarasan komponen dan potensi-potensi ketujuh jiwa itu dimetamorfosikan


bagai ‘Kereta Kuda’2. Semua komponen-komponen dalam kereta kuda harus sehat

1
Jika manusia memihak kepada Jiwa Material, maka sulit bagi Jiwa Insani dan Jiwa Rahasia
untuk pergi saat kematian, bagaikan menarik duri melalui saraf. Orang semacam ini terpaut pada
kesenangan dan kehidupan tubuh, hasrat, ego untuk tubuh. Tetapi jika manusia memihak Jiwa Insani
dan Jiwa Rahasia, maka ia keluar dari tubuh seperti sehelai rambut yang ditarik dari mentega.
Manusia seperti ini tidak terikat oleh kehidupan dunia.
2
Para sufi kuno menyamakan jiwa-jiwa tersebut dengan sebuah kereta kuda. Jiwa Material
adalah rangka atau as. Jiwa Tumbuhan adalah badan dan keretanya, Jiwa Hewan adalah kudanya dan
Jiwa Pribadi adalah pengendaranya. Jiwa Pribadi dipadu dengan Jiwa Rahasia dan Jiwa Maharahasia,
adalah si pemilik yang duduk di dalam kereta kuda tersebut.
Seluruh jiwa tersebut haruslah sehat dan bekerjasama agar kereta dapat berfungsi dengan
baik. Kerangka dan badan haruslah kokoh. Roda-roda dan as haruslah kuat. Jika badan kereta kuda
rusak maka perjalanan tidak dapat dilanjutkan. Kuda-kuda, satu hitam dan satu putih, haruslah sehat.
Kuda hitam mewakili amarah dan rasa takut, kuda putih mewakili hasrat. Karena, tanpa kekuatan
motifasi dari mereka, kereta kuda tidak akan pergi kemanapun.
Sang Pengendara haruslah cukup kuat dan cukup terlatih untuk mengarahkan kuda-kuda
tersebut dan mamapu mengendarai kuda tersebut dengan benar. Yang paling penting adalah sang
pengendara harus mengikuti petunjuk sang pemilik.
Sang pemilik haruslah kuat dan sehat, serta mampu melakukan komunikasi sehingga sang
pengendara dapat memberikan keputusan yang tepat. Bagi sebagian orang, tabung komunikasi antara
pengendara dan pemilik tersumbat akibat pemakaian yang jarang. Sang pengendara bahkan lupa ada
sang pemilik yang berada di dalam kuda tersebut, dan ia telah mengambil alih kekuasaan. (Frager,
2003:175-177)

11
dan kuat, tidak ada yang merasa berkuasa1 agar berfungsi dan dapat menggerakkan
kereta kuda itu hingga sampai kepada tujuan akhirnya.

Selanjutnya jiwa-jiwa tersebut memunculkan tingkatan-tingkatan an-nafs.


Jika ditinjau dari segi tasawuf, an-nafs yang suci dapat menyatu dengan Tuhan karena
an-nafs berasal dari Tuhan dan akan kembali kepadaNya.

D. TINGKATAN JIWA

Banyak penulis kaum sufi membagi an-nafs ke dalam tujuh tingkat


perkembangan an-nafs yang diadopsi dari al-Qur'an. Setiap tingkatan menuju
tingkatan berikutnya memiliki hubungan hierarki. Semakin ke atas tingkatannya,
akan semakin baik sifat dan potensinya. Sesuai dengan kondisi dan keadaan nafsnya,
manusia dapat digolongkan ke dalam tingkatan yang terendah sampai ke puncak
tingkatan tertinggi tersebut. Ketujuh tingkatan itu dijelaskan oleh Syekh Safer Dal
(Frager, 2003: 85-121), pimpinan kelompok Halveti Jerrahi, kelompok Darwis India
dan al-Ghazali (tth: 281-284) serta al-Hakim al-Turmudzi (tth: 80-83) yang
merupakan saduran dari pendapat para sufi Islam sebagai berikut:

1. Nafsu Tirani (an-Nafs al-Ammarah bi as-Su’)

Nafsu Tirani merupakan nafsu yang sifatnya selalu menyuruh kepada berbuat
kejahatan. Nafsu Tirani berusaha untuk mendominasi dan mengendalikan pikiran
serta tindakan manusia. Seseorang yang telah didominasi oleh Nafsu Tirani ini, akan
melakukan amalan-amalan keagamaan, namun hanya untuk mendapatkan

1
Jika kereta kuda berkuasa, maka tidak akan ada perjalanan. Tidak ada yang bergerak, sebab
tidak ada motifasi untuk pergi kemanapun. Jika kuda-kuda tersebut berkuasa, maka mereka akan
membawa kereta kuda tersebut ke ladang rumput dan kuda itu akan berhenti selamanya di tempat itu.
Jika Sang pengendara tidak memiliki kemampuan untuk menunjukkan kepada tujuan yang benar, tidak
peduli seberapa baik ia dapat mengendarainya melewati liku-liku jalan dan rintangan-rintangan.
Kecerdasan pribadi adalah alat yang baik, namun terbatas dan berpusat pada dirinya sendiri. Maka kita
memerlukan Jiwa Insani, Jiwa Rahasia dan Jiwa Maharahasia untuk mengarahkan kereta itu ke arah
tujuannya. (Frager, 2003: 177)

12
penghargaan orang lain (riya). Ia lebih mementingkan aspek luarnya daripada aspek
dalamnya dengan bertindak berbeda ketika sedang berhadapan dengan orang lain dan
ketika sedang dalam keadaan sendiri. Sifat ini dapat dihilangkan dengan jalan
ketulusan dan keikhlasan.

Ketika Allah memerintahkan untuk berbuat baik, orang yang memiliki Nafsu
Tirani ini justru melakukan perbuatan sebaliknya. Pada kondisi ini, orang tersebut
diperintah oleh akalnya saja, tanpa disertai dengan keimanan dan akidah yang kokoh,
tidak ada cinta kepada Tuhan, tidak ada pengendalian batiniah bahkan perasaan dosa.
Tujuan hidupnya adalah tercapainya penumpukkan harta, kekuasaaan dan kepuasan
egoisme1, karena di dalam jiwanya tidak terdapat moral batiniah.

Nafsu Tirani ini secara terus menerus memberikan obsesi-obsesi kepentingan


pribadinya, tanpa memperdulikan apakah Tuhan ridla ataukah tidak. Hasilnya adalah
meningkatnya rasa ‘ujub (membanggakan diri sendiri), angkuh, merendahkan orang
lain dan hasad (tidak suka dengan kebahagiaan orang lain).

Nafsu ini juga secara terus menerus mengingat jasa kebaikannya, sekecil
apapun kebaikannya, kemudian merasa bangga dan kagum kepada dirinya sendiri. Ia
menganggap penting hal-hal kecil yang dilakukan untuk orang lain, namun ia
menganggap kecil sebesar apapun bantuan orang lain kepadanya, bahkan
melupakannya dengan cepat. Orang-orang seperti ini telah menjadi hamba bagi
dirinya sendiri, walaupun di saat yang sama ia adalah hamba Allah.

Nafsu ini tidak mungkin dimatikan, ia selalu ada bahkan pada tingkat nafsu
terbaik sekalipun. Yang hanya bisa dilakukan adalah mengendalikannya dan
membuatnya tertidur.2 Secara dramatis, ar-Rumi mengingatkan untuk tidak

1
Kebanyakan orang yang berada ditingkat ini adalah budak-budak kesenangan pribadi.
2
Menurut ar-Rumi, gambaran Nafsu Tirani bagaikan seekor naga yang buas dan membeku,
tubuhnya kedinginan oleh salju. Ketika matahari secara perlahan menghangatkan tubuhnya, iapun
mulai terbangun dan membunuh setiap orang yang dijumpainya. Maka cara untuk mengendalikannya
adalah membiarkan naga itu tertidur (Inayat Khan, 2002: 187).

13
meremehkan Nafsu Tirani ini. Seseorang bisa saja merasa mampu menguasai amarah,
kesombongan, dan lainnya, namun pada situasi yang tidak terduga dapat
membangunkan mereka kembali. Jalan keluar satu-satunya hanyalah membiarkannya
tertidur dan pada saat yang sama melakukan transformasi nafsu.

Mentransformasi nafsu artinya mengubah ego negatif ke dalam ego positif


dalam satu waktu, contohnya mengubah kekikiran menjadi kedermawanan,
kemunafikan menjadi keikhlasan, keserakahan menjadi qana'ah. Jalan untuk
mentranformasi nafsu adalah melalui upaya melepaskan diri dari dunia (zuhud) dan
mengingat kepada Allah, sehingga hati akan memancarkan cahaya dan membuatnya
sensitif terhadap setiap kerja nafsu.

2. Nafsu Penuh Penyesalan (an-Nafs al-Lawwamah)

Diatas Nafsu Tirani adalah Nafsu Penuh Penyesalan. Orang yang memiliki
Nafsu Penuh Penyesalan, mulai memahami dampak negatif pendekatan egois
terhadap dunia, walaupun tidak memiliki kemampuan untuk merubahnya. Perbuatan
dosa yang dilakukan mulai terasa menjijikkan sehingga muncul kemauan untuk
bertaubat, tetapi kemudian kembali berbuat dosa.

Gambaran orang yang mempunyai nafsu ini diilustrasikan oleh Jalaludin ar-
Rumi bagaikan seorang yang masuk ke dalam kamar yang gelap, kemudian ia
menyalakan lampu (menyesal), karena ia melihat isi ruang kamar tersebut dipenuhi
oleh kotoran keladai, kambing dan sebagainya, ia berusaha membersihkan kotoran
tersebut dan mengusir binatang-binatang itu dari kamar, dengan berdzikir kepada
Allah dan perasaan berdosa yang mendalam (ar-Rumi, 2002: 18).

Pada saat beribadah, seseorang yang memiliki Nafsu Penuh Penyesalan


tampak seakan-akan taat, suci, saleh dan lurus, namun dicemari oleh keangkuhan,
egois, dengki, ambisi, ketidaktulusan dan hal-hal lain yang merusaknya.

14
3. Nafsu Yang Terilhami (an-Nafs al-Mulhamah)

Pada tingkat ketiga ini, orang mulai merasakan kesenangan sejati di dalam
shalat, berdo'a dan ibadah lainnya. la mulai mengalami sendiri kebenaran spiritual
yang selama ini hanya ia dengar atau ia baca. la mulai merasakan cinta hakiki kepada
Allah dan kepada ciptaannya. Tingkat ini juga merupakan awal dari praktik tasawwuf
yang sejati, karena pada tingkat sebelumnya seseorang masih berada pada
pemahaman palsu dan ibadah semu. Pada saat ini pula, seseorang mampu mendengar
suara hati nuraninya, ia mulai terilhami untuk mengetahui petunjuk kebenaran,
mendapat cahaya kebenaran dan mampu membedakan antara yang benar dan salah
(asy-Syams: 7).

Namun demikian, seseorang yang sudah memiliki nafsu ini belum berada
pada posisi yang aman karena sifat ego masih utuh dan dapat menyeretnya ke jalan
yang salah dan kemunafikan masih menjadi rintangan jalannya.

4. Nafsu Tenang (an-Nafs al-Muthmainnah)

Pada tingkat ini, seseorang sudah mencapai ketenangan jiwa, yaitu pencapaian
sepiritual sejati yang merasa puas (qana’ah) dengan segala pemberian Allah.
Ketenangan dan kepuasan ini berakar pada cinta kepada Allah. Nafsu yang tenang ini
senantiasa diterangi oleh cahaya hati, sehingga ia mampu mengusir seluruh sifat-sifat
buruk (takhally) dan menghiasi dirinya dengan sifat-sifat mulia (tahally), sehingga
setiap langkahnya mendapat petunjuk Allah (tajally), tersingkap baginya rahasia-
rahasia ilahi.

Namun demikian, seseorang yang yang memilki nafsu ini belum aman dari
bahaya besar ego negatif, meskipun tingkat pengaruhnya bersifat sementara dan
mulai melemah, tetapi jika tidak dijinakkan setiap saat, ia akan bangun, bangkit dan
menjadi ancaman besar bagi dirinya.

15
5. Nafsu Yang Rela (an-Nafs ar-Radliyah)

Pada tingkatan ini, seseorang yang memiliki an-nafs ar-radliyah ini tidak
hanya puas dengan takdir Allah (rizki), tetapi ia juga merasa puas dengan segala
kesulitan dan ujian kehidupan yang juga berasal dari Allah1. Kondisi orang yang
memiliki al-nafs al-radliyah ini sangat berbeda dengan kebanyakan manusia. Ketika
rasa syukur dan cinta kepada Allah demikian besarnya, rasa sakit tidak dirasakan,
bahkan yang pahit pun terasa manis, segala keburukan menjadi kebaikan yang indah.
Orang seperti ini, dalam dunia tasawwuf sudah mencapai Maqam ar-Ridla. Di
samping itu, ciri lain orang yang memilikian an-nafs ar-radliyah adalah terjadinya
keajaiban hidup, kebebasan2, ketulusan (keikhlasan), perenungan dan ingat selalu
kepada Allah. Namun demikian, orang yang memiliki an-nafs ar-radliyah ini belum
lepas dari dualisme antara "Aku " dan "Dia" yang mempengaruhi jiwanya.

6. Nafsu Yang Direlai (an-Nafs al-Mardliyah)

Pada tingkatan ini, orang yang memiliki an-nafs al-mardliyah merasakan


dunia sebagai satu kesatuan yang utuh. Ia menjadi manusia yang sejati, karena dalam
tingkatan ini adalah telah terjadi pernikahan antara batiniah dan roh, tidak terpisah
antara hasrat materinya dan hasrat selalu bersama Allah. Sehingga ia selalu memilih
kondisi apapun yang Allah pilihkan untuk dirinya dan menempatkan diri di
dalamnya.

Pada tingkat ini, orang yang memiliki an-nafs al-mardliyah menyadari bahwa
seluruh kekuatan untuk bertindak datang dari Allah dan tidak merasa takut terhadap
segala sesuatu atau meminta sesuatu apapun kecuali hanya kepada Allah. Pada
tingkat ini, ego sudah melebur dengan roh. Ia tidak mengenal dirinya, bahkan ia
mengatakkan bahwa ‘milikku’ adalah syirik yang tersembunyi yang ingin

1
Seseorang yang berada pada tingkatan an-nafs ar-radliyah berkeyakinan bahwa kebaikan
ataupun keburukan yang menimpa dirinya berasal dari Allah. Karena ia yakin bahwa kehendak Allah
adalah yang terbaik baginya.
2
Kebebasan muncul karena tidak lagi tergoda oleh sesuatu apapun di dunia ini selain Allah.

16
melenyapkan dirinya. Seseorang yang berada pada tingkatan ini, dalam dunia
tasawwuf sudah berada pada tingkatan kondisi al-fana' fillah.

7. Nafsu Suci (an-Nafs ash-Shafiyah)

Hanya sedikit orang yang mencapai tingkatan ini, mereka hanya para nabi dan
wali Allah. Orang yang mencapai tingkatan Nafsu Suci telah melampaui diri secara
utuh, tidak ada lagi ego ataupun kepentingan diri, yang ada hanyalah kesatuan diri
dengan Tuhan. Jalaluddin ar-Rumi menggambarkan, orang yang mencapai tingkatan
nafsu ini, tidak ada lagi perasaan diri yang terpisah atau identitas terpisah, tidak ada
batas jelas antara dirinya dan Tuhan, ia telah menjadi garam yang larut dalam lautan,
yang ada hanyalah Tuhan.

E. AL-QALB SEBAGAI TEMPAT ILMU

Menurut al-Ghazali (tth, III: 12-15), tempatnya ilmu adalah al-Qalb, sebuah
jism lathif yang mengatur seluruh anggota badan. Ibarat cermin, maka untuk
mendapat gambar bidang tertentu, setidaknya harus tersedia tiga hal; cermin itu
sendiri, gambar bidang dan tampilan gambar bidang pada cermin. Al-Qalb adalah
cermin yang ‘alim (mengetahui), gambar bidang yang ma’lum (yang diketahui)
adalah hakikat ilmu dan tampilan bidang gambar pada cermin adalah hadirnya ilmu
dalam al-Qalb. Sama halnya dengan al-Qabdl (memegang pedang), maka al-Qabidl
(yang memegang) adalah tangan, al-Maqbudl (benda yang dipegang) adalah pedang
dan al-Qabdl adalah jatuhnya pedang di tangan seseorang, sehingga tidak dikatakan
seseorang memegang pedang, jika pedang belum berada di tangan.
Sebagaimana cermin, maka gambar bidang tidak akan bisa ditangkap oleh
cermin setidaknya karena salah satu dari lima hal; bidangnya sendiri memang tidak
bisa atau sulit ditangkap karena belum berbentuk, berbentuk tetapi kotor sehingga
tidak bisa ditangkap, berbentuk dan bersih tetapi tidak berada di depan cermin,
berbentuk dan bersih tetapi terdapat hijab (pembatas) yang menghalangi cermin
dengan gambar bidang dan tidak mengetahui arah gambar bidang.

17
Al-Qalb yang tidak mendapatkan illmu juga karena salah satu dari lima hal;
belum sempurnanya al-Qalb seperti qalbnya anak kecil, kotornya al-Qalb karena
perbuatan maksiat, al-Qalb yang tidak searah dengan ilmu yang diinginkan, adanya
hijab antara al-Qalb dan ilmu seperti mitos dan tradisi yang terbentuk sejak kecil dan
al-Qalb yang tidak mengetahui arah ilmu itu sendiri.

F. KESIMPULAN DAN PENUTUP

Jiwa (an-nafs) dengan segala perbedaan ulama dalam mendefinisikannya


adalah bagian dari struktur pembentuk diri manusia. Memahaminya merupakan salah
satu cara untuk memahami penciptanya. Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa
yang mengenal nafsnya, sungguh ia mengenal Tuhannya”1. Dengan demikian,
memahami jiwa manusia adalah sebuah keharusan atas setiap manusia.

Dalam memahami jiwa manusia, tentunya setiap orang akan berbeda dalam
memahaminya. Perbedaan ini disebabkan oleh perbedaan tingkat keilmuan2 dan
pengalaman masing-masing. Apalagi, wilayah keilmuan mereka dibatasi oleh sekat-
sekat keilmuan, baik teologi, filsafat, psikologi, tasawwuf dan lain-lain. Tentunya
dalam memandang sesuatu –dalam hal ini adalah an-nafs- akan berbeda.

Para sufi yang menfokuskan dirinya pada seni mendidik hati atau batin
(tazkiyat an-nafs) menganggap jiwa (an-nafs) adalah sesuatu yang istimewa, karena
ia adalah inti kehidupan manusia. Semakin baik jiwa manusia, maka akan baik pula

1
Hadits ini tidak marfu’ ke Rasulullah SAW, ia diriwayatkan oleh Yahya bin Mu’adz ar-
Razi. Ibnu Taimiyah dan Imam an-Nawawy menganggap lemah hadits ini. Meskipun dianggap lemah,
hadits ini luas beredar di kalangan kaum sufi, bahkan umat Islam secara umum hingga kini.
2
Pemahaman seorang yang bodoh terhadap sesuatu pasti akan berbeda dengan pemahaman
seorang yang berilmu. Seorang yang berilmu saja tanpa didukung oleh pengalaman hidupnya pasti
akan berbeda dengan seorang yang berilmu dengan dukungan pengalaman hidupnya, dan begitu
seterusnya. Dan tentunya yang mahamengetahui segala sesuatu hanyalah Allah SWT. Hal ini sesuai
dengan firmanNya, “Dan di atas setiap orang yang memiliki ilmu ada orang lebih mengetahuinya”
(Yusuf: 76)

18
seluruh kehidupannya. Sebaliknya, semakin buruk jiwa manusia, maka akan buruk
pula seluruh kehidupannya 1. Setiap manusia pasti menginginkan kebaikan hidupnya.

Anatomi jiwa manusia dengan segala potensi dan tingkatannya yang


dijelaskan oleh para sufi, menambah pemahaman tentang seluk beluk jiwa dan
pengaruhnya terhadap perbuatan manusia. Inilah dua hal yang sangat penting, sebab
nilai seseorang di hadapan Allah ditentukan oleh hati dan perbuatannya, bukan
keindahan dan kesempurnaan fisiknya. Rasululullah SAW bersabda: “Sesungguhnya
Allah tidak melihat bentuk tubuhmu dan hartamu, tetapi Allah melihat hati dan
perbuatanmu” (HR. Muslim).

Adapun posisi an-nafs an-nathiqah atau al-qalb dalam ilmu, ia adalah tempat
keberadaan ilmu. Ilmu itu didapatkan oleh al-qalb ketika dalam kondisi yang suci dan
jernih tanpa adanya kotoran sedikitpun, arah al-qalb kepada ilmu itu jelas, ilmu yang
dipelajari juga jelas serta tidak adanya hal-hal yang menghalangi sampainya ilmu
kepada al-qalb.

Demikian makalah ini penulis tulis, semoga bermanfaat bagi diri penulis
sendiri dan pembaca sekalian. Penulis menyadari, tulisan ini masih jauh dari
kesempurnaan. Maka dengan segala kerendahan hari, penulis buka lebar-lebar pintu
masukan dan kritik yang konstruktif, agar makalah ini lebih kredibel dan bisa
dipertanggungjawabkan.

1
Rasulullah SAW mengibaratkan jiwa manusia bagaikan segumpal daging dalam tubuh (al-
qalb, hati nurani, jantung) yang sangat menentukan baik dan buruk keseluruhan diri manusia, termasuk
perbuatannya. Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya di dalam tubuh manusia terdapat segumpal
daging, jika ia baik maka baik seluruh tubuhnya dan jika ia rusak maka rusak seluruh tubuhnya.
Ketahuilah bahwa ia adalah al-qalb (hati nurani, jantung)”. (HR. Muslim)

19
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Mujib dan Yusuf Muzakir, 2001, Nuansa-Nuansa Psikologi Islam, Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada.
Al-Ghazali, tth, Majmu Rasail al-Ghazali, Beirut: Misykat al-Anwar.
-------, tth, Ihya ‘Ulum ad-Din, Semarang: Karya Thaha Putra.
Al-Kasyani, Abd Al-Razzaq, 1992, Mu’jam Isthilahat Al-Shufiyah, Kairo: Dar al-
Manar.
Amin, Ahmad, 1966, Hayy bin Yaqdhan li Ibn Sina wa Ibn Thufail wa as-
Suhrawardi, Kairo: Dar al-Ma'arif.
Ar-Rumi, Jalaludin, 2002, Yang mengenal dirinya Yang mengenal Allah, terjemahan
Sukardi, Bandung: Remaja Rosdakarya
At-Turmudzi, Abi Abdullah Muhammad bin al-Hakim, tth, Bayan al-Farq baina ash-
Shadr wa al-Qalb wa al-Fuad wa al-Lubb, Kairo: Maktabat Kulliyat al-Azhar.
Damej, M. Amin, 1970, Majmu'at ar-Rasail al-Muniriyah, Bandung: Pustaka
Hidayah.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Depdikbud), 1994, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka.
Dewan Redaksi, 1993, Ensklopedi Islam Vol. 4, Jakarta: PT. Ikhtiar Baru Van Hoeve.
Frager, Robert, 2003, Hati Diri dan Jiwa, Psikologi Sufi untuk Transformasi, Jakarta:
Serambi.
Ibnu Sina, 1952, Ahwal an-Nafs, tahqiq Ahmad Fuad al-Ahwani, Kairo: Dar Ihya' al-
Kutub al-'Arabiyah.
Ibnu Mandhur, tth, Lisan al-Arab, ttp: Dar al-Ma’arif.
Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Syamsuddin Abu Abdillah Muhammad bin Abu Bakar
1986, Kitab ar-Ruh, tahqiq Sayyid Jamili, Bairut: Dar al-Kitab al-'Arabi.
-------, 2004, Miftah Dar as-Sa’adah, diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia
Kunci Kebahagiaan, Jakarta: Akbar Media Eka Sarana.
-------, 2005, Mawaridul Aman al-Muntaqa min Ighatsat al-Lahfan fi Mashayid asy-
Syaithan, diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia Manajemen Qalbu:
Melumpuhkan Senjata Syetan, Jakarta: Darul Falah.
Inayat Khan, Hasrat, 2002, The Heart of Sufisme, terjemahan Andi Haryadi,
Bandung: Remaja Rosdakarya
Kafie, Jamaluddin, 1993, Psikologi Dakwah, Surabaya: Offset Indah.
Uthman, Najati, M, 2002, al-Dirasah an-Nafsaniyyah 'inda al-'Ulama' al-Muslimin,
terjemahan, Bandung: Pustaka Hidayah.

20

Anda mungkin juga menyukai