NIM : 2220203870232048
KELAS : 32.b
Abstrak
Istilah-istilah dalam al Qur‟an memiliki makna yang kaya dan konteks yang ragam, termasuk
istilah yang digunakan untuk menunjukkan instrumen psikis manusia. Al Nafs sebagai salah
satu instrumen psikis manusia memiliki makna yang bervariasi sesuai objek dan konteks ayat,
antara lain bermakna: nyawa, nafsu, diri dan hakikat diri manusia dan jiwa. Secara fungsional
al-nafs juga dipersiapkan untuk dapat menampung dan mendorong manusia untuk melakukan
perbuatan baik dan buruk. Dalam beberapa ayat dijelaskan kepada al-nafs telah diilhamkan
jalan kebaikan dan jalan keburukan. Selain itu, ditemukan isyarat juga bahwa al-nafs
merupakan tempat yang dapat menampung gagasan dan kemauan. Isyarat ini dipahami dari
firman Allah dalam surat al-Ra„d ayat 11, bahwa suatu kaum tidak akan berubah keadaannya
sebelum mereka mengubah terlebih dahulu apa yang ada di dalam nafs mereka. Apa yang ada
di dalam nafs itu dapat berupa gagasan, pikiran, kemauan, dan tekad untuk berubah.
penggunaan kata nafs (jiwa) dapat ditemukan dalam berbagai bentuk diantaranya Nafs dalam
arti perasaan dan perilaku Lafaz nafs dalam hadist sering mengandung makna wijdaan,
suluuk, syu’uur (feeling), maupun ihsaas (sensasion) yang semuanya menunjuk kepada
sesuatu yang terbetik atau bergejolak di dalam diri manusia. Dengan sesuatu inilah manusia
kemudian memiliki perasaan dan emosi terhadap sesuatu yang selanjutnya diterjemahkan ke
dalam tingkah laku.
Pendahuluan
Defenisi Jiwa
Dalam Bahasa Indonesia istilah nafs bisa diartikan jiwa. Dalam Bahasa inggris sering
diartikan sebagai soul. dalam bahasa Inggris disebut soul atau spirit.3 Secara istilah kata jiwa
dapat merujuk pada beberapa pandangan ulama dan filusuf muslim. Para filosof muslim -
terutama al-Kindi, al-Farabi dan Ibn Sina- umumnya sepakat mendefiniskan bahwa jiwa
adalah “kesempurnaan awal bagi fisik yang bersifat alamiah, mekanistik dan memiliki
kehidupan yang energik.”4 Secara lebih rinci yang dimaksudkan ‘kesempurnaan awal bagi
fisik yang bersifat alamiah’ adalah bahwa manusia dikatakan menjadi sempurna ketika
menjadi makhluk yang bertindak. Sebab jiwa merupakan kesempurnaan pertama bagi fisik
alamiah dan bukan bagi fisik buatan. Kemudian makna ‘mekanistik’ adalah bahwa badan
menjalankan fungsinya melalui perantara alat-alat, yaitu anggota tubuhnya yang beragam.
1
Amin an-Najar, Tasawwuf an-Nafsi, (Kairo, al-Hay-ah al-Mishriyah, 2002), h. 22.
2
Dadang Ahmad Fajar, ‘Jiwa Dalam Pandangan Filsafat Mulla Shadra’, Jaqfi:Jurnal Aqidah Dan
Filsafat Islam, 3.1 (2018), h. 14.
3
John M. Echols, Kamus Indonesia-Inggris, cet. III, (Jakarta, Gramedia, 1997), h. 245.
8 Mahmud Qasim, Fi an-Nafs wa al-‘Aql li Falasifah al-‘Ighriq wa al-Islam, cet. IV, (Kairo,
Maktabah al-Injilu al-Mishriyah, 1969), 73-74.
4
Muhammad Ustman Najjati, Ad-Dirasat.., h. 56. Lihat juga Muhammad Ali Abu Rayyan, Tarikh al-
Fikr al-Falsafi fil Islam, (al-iskandariyah, Dar al-Jami’at al-Mishriyah, 1984), h. 337.
Sedangkan makna ‘memiliki kehidupan yang energik’ adalah bahwa di dalam dirinya
terkandung kesiapan hidup dan persiapan untuk menerima jiwa.5
Nafs, diartikan sebagai totalitas manusia. Namun secara umum dapat dikatakan bahwa
nafs dalam konteks pembicaraan tentang manusia menunjuk pada sisi dalam manusia yang
berpotensi baik dan buruk.6Nafs merupakan organ rohani manusia yang memilki pengaruh
paling banyak dan paling besar diantara anggota rohani lainnya yang mengeluarkan instruksi
kepada anggota jasmani untuk melakukan tindakan.7
Jiwa menurut Ibnu Miskawaihi adalah zat pada diri kita yang bukan berupa
tubuh, bukan pula bagian dari tubuh, bukan pula ‘aradl (sifat peserta pada substansi)
wujudnya tidak memerlukan potensi tubuh, tapi ia jauhar basith (substansi yang tidak
berdiri atas unsur-unsur) tidak dapat di indera oleh penginderaan. Jiwa itu mempunyai
aktifitas yang berlainan dengan aktifitas tubuh serta bagian-bagiannya dengan segala
sifat-sifatnya hingga tidak menyertainya dalam segala hal. Bahkan juga berbeda
dengan sifat ‘aradl (accident) tubuh serta berlainan sama sekali dengan tubuh dan sifat-sifat
‘aradl. tegasnya jiwa itu bukan tubuh, bukan pula bagian dari tubuh dan bukan pula sifat
‘aradly. Jiwa itu tidak mengambil ruang, tidak berubah. Jiwa) dapat menanggapi segala
sesuatu secara serentak bersamaan dan tidak mengalami penyusutan, rusak atau
berkurang8
Sedangkan Para filosof Yunani Kuno mereka mendefinisikan jiwa seperti segala
sesuatu yang memiliki tanggung jawab untuk fungsi-fungsi tubuh yang bertujuan untuk
menjadikan tubuh menjadi tenang hal ini bisa dilakukan dengan berfikir dan bekerja dengan
memiliki keinginan untuk membawa kualitas yang terdapat dalam tubuh, hal ini dijelaskan
juga oleh Aristoteles dalam bukunya” the soul as something that is responsible specifically
for mental or psychological function “jiwa mempunyai kekuatan yang bisa mengendalikan
mental yang mencakup segala fungsi aspek kehidupan.9
5
Mahmud Qasim, Fi an-Nafs wa al-‘Aql li Falasifah al-‘Ighriq wa al-Islam, cet. IV, (Kairo, Maktabah
al-Injilu al-Mishriyah, 1969), 73-74.
6
Jamali Sahrodi and others, ‘Tubuh, Hayat Dan Jiwa’, 12..
7
A Pendahuluan and B Mengurai Makna Nafs, ‘PENDIDIKAN ISLAM ’:, 14.1 (2016), 40.
8
A Amirudin, ‘Entitas Jiwa Dalam Kajian Psikologi Islam’, Masile, 1.1 (2021), 8-9
<http://jurnal.staima.ac.id/index.php/masile/article/view/28>.
9
Aristoteles, On the Soul Book 1 Translated by J.A Smith Ebooks@adelaide (South Australia:
University of Adelaide Library, 2007), h. 85.
Hakikat jiwa
Hubungan antara jiwa dan badan itu adalah hubungan setara dalam eksitensi. Kedua,
Hubungannya dengan sesuatu itu merupakan hubungan sesuatu muncul belakangan dalam hal
eksistensi. Ketiga, hubungan dengan sesuatu itu adalah hubungan yang muncul lebih dulu
dalam hal eksistensi yang ada sebelum dari sisi esensi, bukan dari sisi waktu. Jiwa yang
bersifat kekal meskipun badan hancur dan mati, Ibnu mengibaratkan seperti orang yang
mempunyai sawah misalnya, jika sawah itu hancur dilanda banjir misalnya maka orang yang
memiliki sawah tersebut tidak hancur, karena mungkin orang yang memiliki sawah itu berada
10
Jarman Arroisi and Rahmat Ardi Nur Rifa Dai, ‘Psikologi Islam Ibnu Sina (Studi Analisis Kritis
Tentang Konsep Jiwa Perspektif Ibnu Sina)’, Prosiding Konferensi Integrasi Interkoneksi Islam Dan Sains, 2
(2020), h.201.
di rumah atau memiliki kesibukan lain. Ini lah bukti bahwa jiwa tidak sepenuhnya badan,
karena jika badan mati maka jiwa akan terbebas dari keterkaitan badan.11
Dalam hadist Rasulullah saw., penggunaan kata nafs (jiwa) dapat ditemukan dalam
berbagai bentuk diantaranya Nafs dalam arti perasaan dan perilaku Lafaz nafs dalam hadist
sering mengandung makna wijdaan, suluuk, syu’uur (feeling), maupun ihsaas (sensasion)
yang semuanya menunjuk kepada sesuatu yang terbetik atau bergejolak di dalam diri
manusia. Dengan sesuatu inilah manusia kemudian memiliki perasaan dan emosi terhadap
sesuatu yang selanjutnya diterjemahkan ke dalam tingkah laku.12
Sedangkan Para ulama menyimpulkan dalam tingkatan kejiwaan manusia dalam al-
Qur’an,
11
Amir Reza Kusuma, ‘Konsep Jiwa Menurut Ibnu Sina Dan Aristoteles Konsep Jiwa Menurut Ibnu
Sina Dan Aristoteles’, July, 2022 <https://doi.org/10.47945/tasamuh.v14i1.492>.h. 77
12
Sa’ad Riyadh, ‘Ilmu an-Nafs fi Hadits asy-Syariif, cet. I, (Ttp, Muassasah Iqra, 2004), h. 47-61.
13
Universitas Islam and Negeri Ar-raniry Banda, ‘AL-NAFS DALAM AL-QUR ’ AN (Analisis Terma
Al-Nafs Sebagai Dimensi Psikis Manusia)’, 47.
5. Kelima,Nafs al-Radhiyah atau jiwa yang ridha. Pada tingkatan ini jiwa telah ikhlas
menerima keadaan dirinya. Rasa hajatnya kepada Allah begitu besar. Jiwa inilahyang
diibaratkan dalam doa: Ilahi anta maqsudi wa ridhaka matlubi (Tuhanku engkau tujuanku
dan ridhaMu adalah kebutuhanku). 14
6. Keenam,Nafs al-Mardhiyyah, adalah jiwa yang berbahagia. Tidak ada lagi keluhan,
kemarahan, kekesalan. Perilakunya tenang, dorongan perut dan syhawatnyatidak lagi
bergejolak dominan.Ketujuh,Nafs al-Safiyah adalah jiwa yang tulus murni. Pada tingkat
ini seseorang dapat disifati sebagai Insan Kamil atau manusia sempurna. Jiwanya pasrah
pada Allah dan mendapat petunjuk-Nya. Jiwanya sejalan dengan kehendak-Nya.
Perilakunya keluar dari nuraninya yang paling dalam dan tenang.15
14
D A N Tahapan-tahapan Penyuciannya and Taufik Hasyim, ‘NAFS DALAM PERSPEKTIF
INSANIAH DAN TAHAPAN-TAHAPAN PENYUCIANNYA Taufik Hasyim STAI Miftahul Ulum
Panyepen’, 1.2 (2015). h.275..
15
‘Jurnal At-Tibyan Volume 2 No.2, Desember 2017’, 2.2 (2017). h.232.
DAFTAR PUSTAKA