Anda di halaman 1dari 23

Psikologi Menurut

Al-Quran
Pandangan Islam Tentang Psikologi

Oleh:
Abidah Syakirah - 10050021273
Psikologi Islam 1 - Kelas J
Psikologi dalam Al-Quran
Ada sekitar 295 kali Al-Qur’an menyebutkan kata
jiwa (nafs). Kata nafs dan jamaknya anfus dan
nufus diartikan sebagai jiwa (soul), pribadi
(person), diri (self), hidup (life), pikiran (mind),
hati (heart). Istilah jiwa atau diri hanyalah soal
pilihan kata terjemahannya. Dalam Al-Qur’an kata
jiwa, sebagai kata ganti diri.
Kata hati dan jiwa, keduanya menunjuk pada konsep
tentang sesuatu yang terdapat dalam diri seseorang. Di
sinilah terjadi permasalahan apa yang dimaksud jiwa itu
dalam Al-Qur’an membutuhkan upaya spekulatif kritis-
kreatif maupun kajian empiris untuk memahami apa yang
dimaksud oleh ayat-ayat tersebut (Dawan Rahardjo, 1996).
Istilah Jiwa dalam bahasa Ibrani adalah nafesy, dan
kedengarannya mirip nafs dalam bahasa Arab.

Pengertian jiwa itu jauh melebihi kehidupan


organisme (seperti energi), karena jiwa adalah
tempat tinggal perasaan-perasaan seperti benci,
gembira, cinta, rindu, dan bisa merasakan
kekosongan (Dawan Rahardjo, l996).
Dalam kitab perjanjian lama, jiwa bukanlah bagian dari
dan yang dimiliki seorang manusia, karena manusia
adalah jiwa itu sendiri, nafesy.

Dalam kitab Ibrani, dikenal ruh, yaitu suatu daya yang


menggerakan manusia, sebagai jiwa, tetapi telah
mempribadi.

Dalam Al-Qur’an yang berarti manusia sebagai mahluk


jasmaniah). Daging dalam tubuh manusia menjadi hidup,
karena ditiupkan oleh Allah, suatu jiwa kehidupan.
Al-Quran memberikan keterangan yang lengkap dalam surah
Al-Sajdah (32): 7-11, bahwa manusia terdiri dari unsur jasmani
(yang pada mulanya berasal dari tanah; dalam proses
reproduksi berasal dari air mani) dan baru hidup menjadi
manusia utuh setelah ditiupkan roh ke dalam tubuhnya itu.
Roh sama dengan jiwa, bedanya, jiwa adalah yang telah
mempribadi setelah masuk dalam tubuh (yang akan menjadi)
manusia (Dawan Rahardjo, l996).

Roh dan jiwa itulah yang menjadikan segumpal daging itu


menjadi manusia, maka dalam Al-Qur’an manusia yang
seluruhnya disebut juga sebagai jiwa. Kata jiwa atau psyche,
kata nafesy, dipakai untuk menunjukkan sosok manusia.
Sedangkan istilah roh baru memiliki arti khusus apabila
disebut Roh Allah.
Teori tentang Jiwa dan Badan
Sebagaimana dinyatakan dalam Al-Qur’an, manusia di hari
akhirat akan dibangkitkan kembali raganya dan bersatu
dengan jiwanya. Seperti yang dikatakan oleh Fazlur Rahman
(l980), Al-Qur’an tidak mengakui konsep akhirat yang dihuni
jiwa tanpa raga. Ia pun menyatakan adanya kesenjangan
antara keterangan harfiah Al-Quran mengenai nafs, dengan
analisis para filsuf muslim.
Suatu benda disebut sebagai sesuatu karena bentuknya, dan ia
pun berkembang bersama-sama dengan bentuknya yang
khusus itu.

Menurut Aristoteles, manusia adalah kesatuan utuh jiwa dan


tubuh. Konsep dualisme jiwa-raga dan jiwa-badan muncul
karena adanya keterangan dalam Al-Qur’an mengenai roh yang
ditiupkan ke dalam badan manusia yang setelah mempribadi
dalam proses pertumbuhannya- dikenal dengan jiwa
Menurut Cyril Glasse, seorang Muslim Amerika, nafs dalam
bahasa latinnya, anima, atau Yunani psyche- adalah sebuah
substansi 143 individual, berkedudukan sebagai kutub
reseptif dari wujud (being) yang terdapat pada manusia.
Kutub yang lainnya adalah roh yang dalam bahasa latinnya
disebutspiritus,atau istilah Yunaninya, pneuma yang
merupakan kutub aktif dari wujud, sering juga disebut al-aql
atau intellect atau nous. (Dawan Rahardjo, l996).
Dalam Al-Qur’an surat al-Isra (17: 85) dikatakan:
"roh itu termasuk urusan Tuhan, dan tidaklah kamu diberi ilmu
melainkan hanya sedikit saja".

Ayat itu mengisyaratkan bahwa roh adalah sesuatu yang bisa


dipelajari. Roh dan jiwa (roh yang telah mempribadi) itu setidak
tidaknya adalah suatu konsep yang menunjukkan berbagai
aspek dan sifatnya yang bahkan bisa dirubah dan
dikembangkan. Namun Al-Qur’an mengisyaratkan agar manusia
mengarahkan studinya ke hal-hal yang lebih kongkrit dan
bermanfaat bagi kehidupan manusia.
Membahas jiwa-badan Plato adalah dapat disebut orang pertama
yang memulai studi tentang obyek yang lebih khusus ini. Ia
memulai dengan membedakan antara jiwa-raga itu sedemikian rupa
sehingga memperoleh konsep dualisme jiwa-raga. Ia menekankan
pentingnya jiwa dari raga itu dalam kehidupan manusia.

Decartes melihat hubungan jiwa dan badan sebagai


pembagian fungsi antara badan sebagai kapal dan jiwa
sebagai nahodanya yang mengemudikan dan memimpin,
serta saling berkaitan, di mana jiwa pada hakekatnya
mengarah pada badan.
Dampak dari konsep dualisme memunculkan berbagai
pendapat bertentangan mengenai kedudukan jiwa-
raga, dan selanjutnya melahirkan dua kutub.

Kutub pertama dikemukakan Kutub kedua dikemukakan oleh


oleh Ludwig Feurbach (1804- George Berkeley (1685-1753) seorang
1872) seorang filsuf Jerman. filsuf Irlandia.

Ia mengatakan bahwa manusia Mengingkari materi sebagai hakiki.


itu pada hakekatnya badan, Kehadiran materi menurutnya tidak
tubuh atau raga yang merupakan bisa dipungkiri. Tetapi materi itu ada
bagian dari materi yang lebih karena dipersepsikan oleh jiwa yang
luas. Dalam pandangan berisikan akal. Tubuh itu sendiri
materialisme ini, rohani itu tidak pada hakekatnya adalah manisfestasi
ada, termasuk jiwa. dari kehadiran jiwa
Tafsiran mengenai manusia dalam Al-Qur’an telah
melahirkan pandangan yang melihat manusia sebagai
mahluk dualistis, terdiri dari jiwa dan badan. Dalam Al-
Quran manusia disebut mahluk biologis, yang disebut al-
basyar. Tetapi juga termasuk mahluk rohaniah berikut
karakteristik-karakteritik psikologisnya dengan sebutan al-
Insanyang ditampilkan sebanyak 65 kali dalam Al Qur’an.
Jiwa merupakan sesuatu yang abstrak, tidak bisa dilihat, diraba,
dicium atau didengar. Namun kita bisa merasakan jiwa itu tampak,
dalam arti tampak secara abstrak. Kita melihatnya dari pola tingkah
laku manusia dalam menjalani kehidupannya.

Menurut Alquran, di dalam jiwa (nafs) manusia terdapat tiga jenis


jiwa (nafs), yakni jiwa amarah (an nafs al ammrah), jiwa lawwamah
(an nafs al lawwamah), dan jiwa muthmainnah (an nafs al
muthmainnah). Dari ketiga jiwa (nafs) tersebut, jiwa manusia
mempunyai sifat yang beraneka ragam sesuai dengan keadaannya
yang dapat menyebabkan konflik dalam jiwa.
Jiwa yang menyuruh berbuat jahat (al-nafs al-ammarah bi as-sur) :
apabila jiwa menyerah dan patuh pada kemauan syahwat dan
memperturutkan ajaran setan, yang memang pada jiwa itu sendiri
ada sifat kebinatangan. Q.S. Yusuf ayat 53.

Jiwa pencela (al-nafs al-lawwamah) : apabila jiwa selalu dapat


menentang dan selalu melawan sifat-sifat tercela. Q.S. Al-Qiyamah
ayat 2.

Jiwa yang tenang (al-nafs al muthmainnah) : apabila jiwa dapat


terhindar dari semua sifat-sifat yang tercela. Q.S. Al-Fajr ayat 27-30.
Sejak awal penciptaan, manusia selalu ada tarik menarik antara
yang baik dan yang buruk. Al-Quran memahami setan ini sebagai
kekuatan antimanusia yang terus-menerus berusaha untuk
menyesatkan manusia dari jalan lurus yang harus ditempuhnya
sehingga manusia terperosok ke dalam tingkah laku yang sesat.
Inilah tantangan abadi manusia dan yang membuat hidup
manusia sebagai perjuangan moral yang tak berkesudahan.
Manusia diberikan kebebasan oleh Allah untuk menentukan apa
yang ingin ia lakukan. Kebebasan memilih ini merupakan
keistimewaan dan sekaligus juga resiko yang unik dari manusia.
Al-Quran membagai perkembangan jiwa ke dalam tiga tahapan;

Tahapan pertama, manusia berada pada tingkat


kebinatangan.

Tahap kedua, manusia sudah mulai menyadari


kesalahannya dan dosanya, ketika telah
mendapat petunjuk Ilahi.

Tahap ketiga (tertinggi), ketika jiwa ketuhanan


telah merasuk ke dalam kepribadian seseorang
yang telah mengalami kematangan jiwa.
Dalam Al-Qur’an asy-Syams (91: 7-10), Allah Swt memberi
gambaran bahwa jiwa adalah sesuatu yang mampu untuk
membedakan perbuatan mana yang buruk dan mana
yang baik. Kemampuan manusia untuk menetapkan
pilihannya, karena pada diri manusia telah diberikan
fasilitas dan kesempurnaannya, yaitu diberikannya akal.
Al-Quran menggambarkan tiga kelompok manusia;

Kelompok pertama al-naf al-amamarah (QS. Yusuf, l2: 53), manusia


berada pada tingkat kebinatangan, mereka cenderung hanyut dalam
nalurti rendah.

Kelompok kedua, al-nafs al-lawwamah (QS. Qoyimah, 75: 2), manusia


yang mulai menyadari kesalahannya, dan ini terjadi pada mereka yang
telah berkenalan dengan petunjuk illahi.

Kelompok ketiga, al-naf-al muthmainnah (QS. Al-Fajr 89: 27), mereka


yang telah memasuki jiwa ketuhanan ke dalam kepribadiannya dan telah
mengalami kematangan jiwa.
Terima kasih!

Anda mungkin juga menyukai