Anda di halaman 1dari 30

TUGAS AGAMA

TENTANG HAKIKAT MANUSIA


HAKIKAT MANUSIA
Menurut bahasa, hakikat berarti kebenaran atau sesuatu yang sebenar-benarnya atau
asal segala sesuatu. Dapat juga dikatakan hakikat itu adalah inti dari segala sesuatu atau yang
menjadi jiwa sesuatu. Dikalangan tasawuf orang mencari hakikat diri manusia yang
sebenarnya, karena itu muncul kata-kata diri mencari sebenar-benar diri. Sama dengan
pengertian itu mencari hakikat jasad, hati, roh, nyawa, dan rahasia.

Manusia adalah makhluk paling sempurna yang pernah diciptakan oleh Allah swt.
Kesempurnaan yang dimiliki manusia merupakan suatu konsekuensi fungsi dan tugas mereka
sebagai khalifah di muka dumi ini. Al-Quran menerangkan bahwa manusia berasal dari
tanah.

Jadi hakekat manusia adalah kebenaran atas diri manusia itu sendiri sebagai makhluk
yang diciptakan oleh Allah SWT.

1. Hakikat Manusia Menurut Para Ahli Filsafat

1. Plato

Berpendapat tentang hakikat manusia : Bahwa manusia adalah suatu pribadi yang tak
terbatas,pada saat bersatunya jiwa dan raga,lalu jiwa dan raga bukan diciptakan dengan
situasi yang bersamaan, serta jiwa itu telah ada sebelumnya . .

Raga manusia adalah hanya sebatas instrument,bagi penyempurnaan jiwanya di dunia


ini,dan bagi Plato setiap manusia saat ia lahir kedunia selalu membawa ide ide yang
baik[innate idea].

Plato tokoh pilsafat dari Yunani

2. Aristoteles

Berpendapat tentang hakikat manusia : Bahwa manusia adalah mahluk yang organis
dimana fungsionalisasinya tergantung dengan jiwanya,dengan menitik beratkan pada
fungsi humanis pada jiwanya,ketika manusia berhadapan dengan hal hal sulit dan
memperlihatkan fungsi motoriknya,dan unsur kreatifitas mempunyai hubungan dengan
daya motoriknya.
3. Rene Descrates

Berpendapat tentang hakikat manusia : Jiwa adalah perpaduan antara rasional dan
konsisten,serta terpadu didalam aktifitasnya didalam tubuh manusia,interaksi jiwa ini
dapat mengubah makna nafsu yang dimaknai dengan pengalaman pengalaman sadar yang
disertai dengan kontrol emosi jasmaniah.
Dan ini berarti hakikat manusia ada pada aspek kesadaran yang eksistensinya ada pada
daya intelektual sebagai hakikat jiwanya.

Itulah beberapa pendapat pra ahli pilsafat tentang hakikat jiwa manusia,lalu juga ada
sanggahan dari seorang ahli pilsafat yaitu ''Arthur Scopenhauer''yang mengatakan,
kesadaran dan intelek itu hanyalah permukaan jiwa manusia,pada hakikatnya di bawah
intelek itu,ada suatu kehendak yang tidak sadar,yang merupakan daya kekuatan
hidup,dan itu sifatnya abadi.

2. Pengertian Dan Hakekat Manusia Menurut Pandangan Islam.


Dalam Al-Quran manusia dipanggil dengan beberapa istilah, antara lain al-insaan, al-
naas, al-abd, dan bani adam dan sebagainya. Al-insaan berarti suka, senang, jinak, ramah,
atau makhluk yang sering lupa. Al-naas berarti manusia (jama’). Al-abd berarti manusia
sebagai hamba Allah. Bani adam berarti anak-anak Adam karena berasal dari keturunan nabi
Adam.
Namun dalam Al-Quran dan Al-Sunnah disebutkan bahwa manusia adalah makhluk
yang paling mulia dan memiliki berbagai potensi serta memperoleh petunjuk kebenaran
dalam menjalani kehidupan di dunia dan akhirat.
Allah selaku pencipta alam semesta dan manusia telah memberikan informasi lewat
wahyu Al-quran dan realita faktual yang tampak pada diri manusia. Informasi itu diberi- Nya
melalui ayat-ayat tersebar tidak bertumpuk pada satu ayat atau satu surat. Hal ini dilakukan-
Nya agar manusia berusaha mencari, meneliti,memikirkan, dan menganalisanya. Tidak
menerima mentah demikian saja. Untuk mampu memutuskannya, diperlukan suatu peneliti
Alquran dan sunnah rasul secara analitis dan mendalam. Kemudian dilanjutkan dengan
melakukan penelitian laboratorium sebagai perbandingan, untuk merumuskan mana yang
benar bersumber dari konsep awal dari Allah dan mana yang telah mendapat pengaruh
lingkungan.
Hasil peneliti Alquran yang telah dilakukan, dapat ditarik kesimpuannya bahwa
manusia terdiri dari unsur-unsur: jasad, ruh, nafs, qalb, fikr, dan aqal.
Penciptaan manusia terdiri dari bentuk jasmani yang bersifat kongkrit, juga disertai
pemberian sebagian Ruh ciptaan Allah swt yang bersifat abstrak. Manusia dicirikan oleh
sebuah intelegensi sentral atau total bukan sekedar parsial atau pinggiran. Manusia dicirikan
oleh kemampuan mengasihi dan ketulusan, bukan sekedar refles-refleks egoistis. Sedangkan,
binatang, tidak mengetahui apa-apa diluar dunia inderawi, meskipun barangkali memiliki
kepekaan tentang yang sakral.

Manusia perlu mengenali hakekat dirinya, agar akal yang digunakannya untuk
menguasai alam dan jagad raya yang maha luas dikendalikan oleh iman, sehingga mampu
mengenali ke-Maha Pekasaan Allah dalam mencipta dan mengendalikan kehidupan
ciptaanNya. Dalam memahami ayat-ayat Allah dalam kesadaran akan hakekat dirinya,
manusia menjadi mampu memberi arti dan makna hidupnya, yang harus diisi dengan patuh
dan taat pada perintah-perintah dan berusaha menjauhi larangan-larangan Allah. Berikut
adalah hakekat manusia menurut pandangan Islam:

1. Manusia adalah Makhluk Ciptaan Allah SWT.

Hakekat pertama ini berlaku umum bagi seluruh jagat raya dan isinya yang
bersifat baru, sebagai ciptaan Allah SWT di luar alam yang disebut akhirat. Alam
ciptaan meupakan alam nyata yang konkrit, sedang alam akhirat merupakan ciptaan
yang ghaib, kecuali Allah SWT yang bersifat ghaib bukan ciptaan, yang ada karena
adanya sendiri.

Firman Allah SWT mengenai penciptaan manusia dalam Q.S. Al-Hajj ayat 5 :

“Hai manusia, jika kamu dalam keraguan tentang kebangkitan (dari kubur), maka
(ketahuilah) sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari
setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang
sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar Kami jelaskan kepada kamu
dan Kami tetapkan dalam rahim, apa yang Kami kehendaki sampai waktu yang sudah
ditentukan, kemudian Kami keluarkan kamu sebagai bayi, kemudian (dengan
berangsur-angsur) kamu sampailah kepada kedewasaan, dan di antara kamu ada yang
diwafatkan dan (adapula) di antara kamu yang dipanjangkan umurnya sampai pikun,
supaya dia tidak mengetahui lagi sesuatupun yang dahulunya telah diketahuinya. Dan
kamu lihat bumi ini kering, kemudian apabila telah Kami turunkan air di atasnya,
hiduplah bumi itu dan suburlah dan menumbuhkan berbagai macam tumbuh-
tumbuhan yang indah.”

Firman tersebut menjelaskan pada manusia tentang asal muasal dirinya, bahwa
hanya manusia pertama Nabi Adam AS yang diciptakan langsung dari tanah, sedang
istrinya diciptakan dari satu bagian tubuh suaminya. Setelah itu semua manusia
berikutnya diciptakan melalui perantaraan seorang ibu dan dari seorang ayah, yang
dimulai dari setetes air mani yang dipertemukan dengan sel telur di dalam rahim.

Hakikat pertama ini berlaku pada umumnya manusia di seluruh jagad raya
sebagai ciptaan Allah diluar alam yang disebut akhirat. Alam ciptaan merupakan alam
nyata yang konkrit sedangkan alam akhirat merupakan ciptaan yang ghaib kecuali
Allah yang bersifat ghaib bukan ciptaan yang ada karena dirinya sendiri.

2. Kemandirian dan Kebersamaan (Individualitas dan Sosialita).

Kemanunggalan tubuh dan jiwa yang diciptakan Allah SWT , merupakan satu diri
individu yang berbeda dengan yang lain. setiap manusia dari individu memiliki jati
diri masing - masing. Jati diri tersebut merupakan aspek dari fisik dan psikis di dalam
kesatuan. Setiap individu mengalami perkembangan dan berusah untuk mengenali
jati dirinya sehingga mereka menyadari bahwa jati diri mereka berbeda dengan yang
lain. Firman Allah dalam Q.S. Al-A’raf 189:

Artinya: Dialah Yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan dari padanya Dia
menciptakan isterinya, agar dia merasa senang kepadanya. Maka setelah
dicampurinya, isterinya itu mengandung kandungan yang ringan, dan teruslah dia
merasa ringan (beberapa waktu). Kemudian tatkala dia merasa berat, keduanya
(suami-isteri) bermohon kepada Allah, Tuhannya seraya berkata: "Sesungguhnya jika
Engkau memberi kami anak yang saleh, tentulah kami termasuk orang-orang yang
bersyukur".

Firman tersebut jelas menyatakan bahwa sebagai satu diri (individu) dalam
merealisasikan dirinya melalui kehidupan, ternyata diantaranya terdapat manusia
yang mampu mensyukurinya dan menjadi beriman.

Di dalam sabda Rasulullah SAW menjelaskan petunjuk tentang cara mewujudkan


sosialitas yang diridhoiNya, diantara hadist tersebut mengatakan:

“Seorang dari kamu tidak beriman sebelum mencintai kawannya seperti


mencintai dirinya sendiri” (Diriwayatkan oleh Bukhari)

“Senyummu kepada kawan adalah sedekah” (Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dan
Baihaqi)

Kebersamaan (sosialitas) hanya akan terwujud jika dalam keterhubungan itu


manusia mampu saling menempatkan sebagai subyek, untuk memungkinkannya
menjalin hubungan manusiawi yang efektif, sebagai hubungan yang disukai dan
diridhai Allah SWT.[6] Selain itu manusia merupakan suatu kaum (masyarakat)
dalam menjalani hidup bersama dan berhadapan dengan kaum (masyarakat) yang
lain. Manusia dalam perspektif agama Islam juga harus menyadari bahwa pemeluk
agama Islam adalah bersaudara satu dengan yang lain.

3. Manusia Merupakan Makhluk yang Terbatas.

Manusia memiliki kebebasan dalam mewujudkan diri (self realization), baik


sebagai satu diri (individu) maupun sebagai makhluk social, terrnyata tidak dapat
melepaskan diri dari berbagai keterikatan yang membatasinya. Keterikatan atau
keterbatasan itu merupakan hakikat manusia yang melekat dan dibawa sejak manusia
diciptakan Allah SWT. Keterbatasan itu berbentuk tuntutan memikul tanggung jawab
yang lebih berat daripada makhluk-makhluk lainnya. Tanggung jawab yang paling
asasi sudah dipikulkan ke pundak manusia pada saat berada dalam proses penciptaan
setiap anak cucu Adam berupa janji atau kesaksian akan menjalani hidup di dalam
fitrah beragama tauhid. Firman Allah Q.S. Al-A’raf ayat 172 sebagai berikut:
Artinya : Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam
dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya
berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau
Tuhan kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari
kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-
orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)",

Kesaksian tersebut merupakan sumpah yang mengikat atau membatasi manusia


sebagai individu bahwa didalam kehidupannya tidak akan menyembah selain Allah
SWT. Bersaksi akan menjadi manusia yang bertaqwa pada Allah SWT. Manusia
tidak bebas menyembah sesuatu selain Allah SWT, yang sebagai perbuatan syirik dan
kufur hanya akan mengantarkannya menjadi makhluk yang terkutuk dan
dimurkaiNya.

3. Hakikat Manusia Menurut Pendapat Ahli Fiqih


Manusia adalah makhluk paling mulia dan paling sempurna sesuai yang di katakan oleh
OmaMohammad Al Toumi ulama Fiqh dari Mesir sejalan dengan firman Allah Surat At-tin
Ayat 4 :

Artinya : Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-
baiknya .

Penjelasan ayat ini sangat selaras dengan pedapat ulama Fiqh Mesir, sehingga dimensi
manusia mendpat derajat sempurna dari makhluk lain itu karena manusia di anugrahi dengan
Akal Pikiran dan Nafsu (Keinginan) sedangkan binatang hanya sebatas Nafsu saja dan
Malaikat hanya Saja di anugrahi Akal saja dari sinilah nilai sempurna bagi manusia dan juga
dikenal sebagai mulia ketika akal mengendalikan hawa Nafsu dan akan hina dari binatang
ketika nafsu menahkodai akal dalam menjalankan kehdiupan seharai – harinya.

4. Definisi Hakikat Manusia Menurut Para Ahli


1. Menurut Plato

Hakikat manusia merupakan makhluk yang memiliki 3 unsur yaitu roh, nafsu dan
rasio, dimana roh merupakan simbol kebaikan, nafsu sebagai simbol keburukan dan
penggunaan kedua unsur tersebut kemudian dikontrol dan dikendalikan oleh rasio/akal.
2. Menurut M.J. Langeveld :1955

Hakikat manusia adalah makhluk yang memiliki sifat sosial, individualitas, dan
moralitas, yang mana sifat tersebut menjadi dasar dan tujuan dari kehidupan manusia
yang sewajarnya atau menjadi dasar dan tujuan setiap orang dan kelompoknya. Dengan
keberadaan sifat itu pula maka setiap manusia akan saling membutuhkan, saling
membantu, dan saling melengkapi dan juga selalu berinteraksi dengan manusia lain untuk
mencapai tujuan hidupnya, dan interaksi tersebut merupakan wadah untuk pertumbuhan
dan perkembangan kepribadiannya.

3. Menurut Thomas Hobbes

Hakikat manusia adalah keberadaan kontrak sosial dari manusia itu sendiri, yaitu
setiap orang harus menghargai dan menjaga hak orang lain.

4. Menurut Tafsir : 2010

Hakikat manusia merupakan sosok makhluk sosial yang ditandai dengan keberadaan
kontrak sosial di dalamnya. Dimana manusia itu sendiri tidak dapat menjalani
kehidupannya secara sendiri-sendiri,sehingga harus saling menghargai antar sesama dan
saling menjaga hak-hak satu sama lain.

5. Manusia Menurut Ilmu Tasawuf (Akhlak Tasawuf)


A. Kejadian Manusia

Allah swt. menciptakan alam semesta dan makhluk-makhluk yang beraneka ragam ini
tidak sekaligus, melainkan melalui tahapan-tahapn selama enam periode seperti firman-
Nya dalam al-Qur’an surah al-A’raf ayat 54 :

Artinya : “ Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan
bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas 'Arsy. Dia menutupkan malam
kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari,
bulan dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah,
menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha suci Allah, Tuhan semesta
alam.” (Q.S. al-A’raaf : 54)

Literatur-literatur ke-Islaman tidak pernah membahas dan menjelaskan secara rinci


urutan atau periodisasi penciptaan makhluk Allah, sehingga tidak diketahui jenis
makhluk apa yang diciptakan Allah pada periode pertama, jenis makhluk apa yang
diciptakan pada periode kedua, jenis makhluk apa yang diciptakan pada periode ketiga,
jenis makhluk apa yang diciptakan pada periode keempat, dan periode kelima. Tetapi
semua ilmuan muslim mengatakan bahwa manusia dalam tatanan kronologis penciptaan
merupakan makhluk ciptaan yang paling bungsu (ciptaan terakhir), setelah terciptanya
makhluk-mahkluk laindi sekitarnya.

Menurut urutannya, ciptaan awal Allah swt. sebelum manusia adalah alam semesta
dan segala isinya termasuk udara, tanah dan air. Di atas media ini (secara logika) baru
dapat hidup tumbuh-tumbuhan. Sesudah itu barulah dimungkinkan hidupnya hewan. Jadi
penciptaan generasi makhluk tersebut, secara logika tidak mungkin serentak. Sebab setiap
makhluk ciptaan itu saling memerlukan antar sesamanya. Masing- masing tidak mungkin
hidup secara terpisah sendiri-sendiri. Manusia sebagai generasi makhluk yang paling
akhir memerlukan dukungan ketiga makhluk generasi sebelumnya, yaitu 1) udara, air dan
tanah; 2) tumbuh-tumbuhan; 3) hewan.

Dikalangan sufi secara tidak tertulis diajawakan bahwa makhluk pertama yang
diciptakan Allah adalah alam nur, kemudian pada masa kedua diciptakan alam arwah,
pada masa ketiga diciptakan alam malakut, pada masa keempat diciptakan alam jabarut,
pada masa kelima diciptakan alam mitsal, dan pada ,asa terakhir (yaitu masa keenam)
diciptakan alam insan (alam manusia).

Sebagai makhluk yang paling bungsu, manusia merupakan ciptaan dan karya Allah
swt. yang paling istimewa dan penuh rahasia. Manusia merupakan sstu-satunya makhluk
Allah yang eprbuatannya mampu mewujudkan bagian tertinggi dari kehendak Tuhan
sebagai pencipta alam semesta. Keistimewaan dan kerahasiaan manusia disbanding
seluruh makhluk-makhluk lain adalah kejadiannya yang terdiri dari dua dimensi yaitu
dimensi jasmani dan rohani.

1. Dimensi Jasmaniah Manusia dan Kebutuhannya.

Menurut al-Qur’an, penciptaan tubuh Adam sebagai manusia pertama adalah dari
tanah langsung. Seperti dijelaskan dalam surah Ali-Imraan ayat 59:
Artinya : “Sesungguhnya misal (penciptaan) Isa di sisi Allah, adalah seperti
(penciptaan) Adam. Allah menciptakan Adam dari tanah, kemudian Allah berfirman
kepadanya: "Jadilah" (seorang manusia), Maka jadilah Dia.” (Q.S. Ali-Imraan : 59)

Jika jasmani Adam sebagai manusia pertama diciptakan langsung dari tanah,
tetapi keturunannya (manusia; generasi berikutnya) tidak lagi diciptakan langsung
dari tanah, melinkan dari saripati tanah seperti yang dijelaskan dalam al-Qur’an :

Artinya : “12. dan Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati
(berasal) dari tanah. 13. kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan)
dalam tempat yang kokoh (rahim). 14. kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal
darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging
itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan
daging. kemudian Kami jadikan Dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha
sucilah Allah, Pencipta yang paling baik.” (Q.S. al-Mukminuun : 12-14)

Demikianlah asal kejadian (proses penciptaan) jasmani manusia itu, diciptakan


Allah swt. dari tanah atau saripati tanah yang kemudian dalam kehidupannya
mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang selanjutnya mengalami penuaan
dan pada gilirannya mengalami kematian (kembali ke tanah). Karena tercipta dari
tanah yang bersifat benda materi, jasmani manusia adalah sesuatu yang dapat dilihat,
diraba, terikat serta tunduk atau terpengaruh dengan sifat-sifat alam materi, kebutuhan
jasmani itu adalah sesuatu yang bersifat materi seperti: makan, minum, pakaian, dan
lain sebagainya.

2. Dimensi Rohaniah Manusia dan Kebutuhannya.

Sekalipun proses penciptaan jasmani manusia sudah sempurna, namun pada saat
roh belum ditiupkan ke dalamnya, jasmani manusia itu belum merupakan makhluk
hidup. Jasmani tersebut menjadi manusia setelah roh ditiupkan Allah kepadanya.

Dengan demikian hakikat manusia adalah roh yang ditiupkan Allah, yang roh ini
ternyata lebih mulai dari para malaikat, iblis, jin dan sekalian mahkluk ciptaan Allah,
karena setelah roh ditiupkan Allah ke dalam jasad, para malaikat diperintahkan untuk
hormat/sujud kepada manusia. Disinilah kekeliruan iblis dalam memandang manusia
dari satu aspek jasmaniah yang tercipta dari saripati tanah, tidak memandang manusia
dari aspek hakikat yaitu roh atau An-Nafs.

Akibat dari kekeliruan tersebut, iblis merasa bahwa dirinya jauh lebih mulia dari
manusia yang diciptakan dari tanah sedangkan dirinya diciptakan dari api, sehingga
iblis enggan dan ingkar (kufur) terhadap perintah Allah swt. yang memerintahkan
mereka untuk bersujud kepada manusia. Seperti firman Allah swt dalam surah al-hijr
ayat 28-33.

Artinya : “28. dan (ingatlah), ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat:
"Sesungguhnya aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering (yang
berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk, 29. Maka apabila aku telah
menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniup kan kedalamnya ruh (ciptaan)-Ku,
Maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud. 30. Maka bersujudlah Para
Malaikat itu semuanya bersama-sama 31. kecuali iblis. ia enggan ikut besama-sama
(malaikat) yang sujud itu, 32. Allah berfirman: "Hai iblis, apa sebabnya kamu tidak
(ikut sujud) bersama-sama mereka yang sujud itu?", 33. berkata Iblis: "Aku sekali-
kali tidak akan sujud kepada manusia yang Engkau telah menciptakannya dari tanah
liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk".” (Q.S. al-Hijr : 28-
33).

Dan juga Allah swt. berfirman :

Artinya : “dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada Para Malaikat: "Sujudlah
kamu kepada Adam," Maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan
adalah ia Termasuk golongan orang-orang yang kafir.” (Q.S. al-Baqarah : 34)

Kaum sufi berpendapat bahwa roh manusia itu diciptakan Allah dari nur yang
paling dekat dengan zat Allah yang disebut dengan istilah “Asrori nurihi” (rahasia
nur-Nya), sehingga seperti dikatakan oleh Haidar Putra Daulay, bahwa : “Ruh
manusia tidak terpisah dengan Tuhan, ia ibarat matahari dengan cahayanya”.
Hubungan antara Allah dengan roh manusia tidak terpisahkan. “Hubungan antar
keduanya bisa terganggu apabila roh manusia dipengaruhi oleh tarikan material yang
ada pada diri manusia”, yaitu tarikan (hawa) dari jasad/jasmaniah yang selalu tunduk
pada sifat-sifat alam materi.

Roh itu sebelum ditiupkan ke dalam jasad manusia, dihidupkan di suatu alam
(alam ghaib) yang oelh ulama sufi disebut “alam arwah”. Di dalam arwah ini para roh
manusia senantiasa bertasbih mensucikan dan memuliakan Allah swt., karena para
arwah tersebut dapat menyaksikan Zat Allah dengan semua kesempurnaan-Nya. Di
manakah alam arwah itu berada? Manusia tidak akan dapat mengetahuinya, karena
alam arwah ini adalah merupakan kekuasaan Allah secara mutlak sehingga disebut
dengan “alam al-Mulk” atau alam yang hanya Allah mengetahuinya sehingga disebut
dengan istilah “alam amar Rob” (alam urusan Allah), seperti yang ditegaskan dalam
al-Qur’an surat al-Israa’ ayat 85 :

Artinya : “dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu
Termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan
sedikit".” (Q.S. al-Israa’ : 85)

Kaum sufi berpendapat bahwa roh manusia yang tercipta dari alam nur, memiliki
kebutuhan yang berbeda dengan jasmani. Jika kebutuhan jasmani adalah sesuatu
yang bersifat materi, maka kebutuhan rohani manusia adalah bertasbih dan berzikir.
Jika kebutuhan ini tidak terpenuhi, maka rohani manusia akan mengalami kegelisahan
dan apabila terpenuhi maka rohani manusia akan menjadi tentram seperti ditegaskan
dalam surah ar-Ra’du ayat 28 :

Artinya : “(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram
dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi
tenteram.” (Q.S. ar-Ra’d : 28).
B. Hubungan Fungsional Antara Rohani dan Jasmani Manusia.

Imam al-Ghazali sebagai seorang hujjatul islam dalam berbagai karyanya seperti
dikutip oleh Dr. M. Yasir Nasution mengatakan bahwa yang menjadi hakikat manusia itu
adalah rohnya. Tubuh atau jasad bukanlah hakikat manusia, karena tubuh adalah sesuatu
yang terus berubah-ubah dan tubuh atau jasad tidak membedakan manusia dari makhluk
lain seperti tumbuhan dan hewan.

Yang dimaksud dengan hakekat disini adalah sesuatu yang tetap, tidak berubah-ubah,
yaitu identitas esensial membedakannya dari yang lainnya.

Setelah roh berada/bersama jasad manusia Allah memanggil/ menyebutnya dengan


nama “An-Nafs”. Hal ini dapat kita lihat dari beberapa ayat al-Qur’an seperti dalam surat
Asy-Syams ayat 7-8 .

Artinya : “7. dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), 8. Maka Allah


mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya.” (Q.S. asy-Syams :
7-8).

Panggilan atau sebutan lain terhadap roh yang sudah ditiupkan ke dalam jasad/
jasmani tersebut adalah “qalb”, seperti disebutkan dalam surat al-Baqarah ayat 10 yang
berbunyi :

Artinya : “dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi
mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta.” (Q.S. al-Baqarah : 10).

Sebagaimana nama lain dari An-Nafs, maka Al-Qalb juga merupakan nama dari roh
yang merupakan hakikat manusia itu sendiri, seperti dijelaskan dalam hadits Rasulullah
yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim : “Ingatlah dalam tubuh manusia ada segumpsl
darah, apabila baik maka akan baiklah seluruh tubuh, dan apabila rusak maka rusaklah
seluruhnya, itulah dia hati.”

Mengenai hubungan antara roh dan jasmani manusia, kaum sufi mengajarkan bahwa
jasmani adalah merupakan tempat bagi jiwa ketika berada di dunia, dalam kapasitasnya
sebagai tempat bagi jiwa, hubungan atau fungsi jasmani bagi jiwa selama berada di
kehidupan dunia ini adalah sebagai berikut :
1) Jasmani Merupakan Kendaraan Bagi An-Nafs

Hubungan An-Nafs dengan jasmani adalah seperti pangendara dengan


kenderaannya dalm menuju suatu tujuan. Pangendara adalah An-Nafs dan
kenderaannya adalah jasmaniah. Jadi bukan sebaliknya. Kehidupan duniawi bagi An-
Nafs adalah bersifat sementara dan sebentar saja. Kehidupan dunia hanyalah
persinggahan yang menentukan bagi An-Nafs. Bagikan seorang musafir dalam
menuju akhirnya yaitu kehidpan akhirat.

Sebelum hidup di dunia, An-Nafs ( roh ) sudah hidup dialam arwah. Dari alam
arwah diperjalankan (ditiupkan) ke alam kandungan ibu, selanjutnya dikeluarkan kea
lam dunia dan kelak akan diperjalankan lagi ke alam berikutnya yang merupakan
tujuan akhir perjalanan tersebut yaitu alam akhirat. Selama hidup di dunia An-Nafs
diberikan kendaraan oleh Allah, itulah dia jasmani. Manusia dalam mencapai tujuan
akhirnya (kehidupan akhirat) terlebih dahulu mengalami kematian (perpisahan antara
unsure jasmani dengan An-Nafs). Dengan kematian itulah An-Nafs memasuki pintu
gerbang kehidupan akhir, sedangkan jasmani kembali ke asal kejadiannya semula
yaitu tanah.

Sebagai kendaraan bagi An-Nafs dalam perjalanannya, jasmani harus mendapat


pehatian, pemeliharaan atau perawatan dengan baik. Jika kendaraan rusak atau tidak
sehat maka An-Nafs akan mengalami gangguan dalam menjalankan fungsinya
sebagai pengendara. Karena itulah dalam islam ditekankan perlunya menjaga
kesehatan tubuh atau kebahagiaan duni. Seperti dijlaskan dalam surat Al-Qashash
ayat 77 yang berbunyi :

Artinya : “dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu
(kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari
(kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah
telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka)
bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.”
(Q.S. al-Qashash : 77).
2) Jasmani Merupakan Alat Bagi An-Nafs

Selain berfungsi sebagai kendaraan, fungsi kedua jasmani bagi An-Nafs adalah
sebagai alat, sehingga dalam hal ini hubungan an- nafs dengan jasmani adalah
bagaikan pengguna alat (An-Nafs) dengan alat yang digunakan (jasmani). Dalam
fungsinya sebagai alat, jasmani memiliki 3 peran terhadap An-Nafs. Ketiga peran
tersebut adalah sebagai berikut:

a. Alat untuk menerima kenikmatan hidup di dunia bagi An-Nafs, seperti menerima
kenikmatan pemandangan yang indah yang di terima melalui indra mata,
menerima kenikmatan suara yang merdu melalui alat indra pendengaran dan lain
sebagainya.

b. Alat untuk menerima ujian dan cobaan berupa penderitaan hidup di dunia bagi
An-Nafs , seperti rasa lapar, dan haus akibat kurangnya makanan yang diterima
indra mulut, derita rasa sakit akibat luka yang terjadi pada indra jasmaniah, atau
perut masuk angin, mata masuk pasir dan lain sebagainya. Dalam hal ini yang
menderita adalah An-Nafs, tetapi alat menerima penderitaan tersebut adalah indra
jasmaniah.

c. Alat bagi An-Nafs dalam melakasanakan fungsi kesaksian dan penghambaan diri
kepada Zat Penciptanya.

Sebagai sesuatu yang diciptakan dari Nur Allah, An-Nafs bersifat lembut ( tidak
kasar ), juga memiliki kecederungan untuk selalu dapat berhubungan dengan sumber
kejadiannya sekalipun dia sudah berada di alam fisika (alam materi). Selain itu,an –
Nafs memiliki sifat menghambakan diri dengan penuh ketaatan dan kepada Tuhan
kepada Allah sebagai zat pencipta-Nya. An–Nafs juga memiliki sifat untuk selalu
mewujudkan rasa kesaksiannya tentang adanya Allah sebagai pencipta, yang
memberikan kehidupan,yang memberikan pendengaran, pengelihatan, kemampuan
berfikir, berkata–kata, yang memelihara dan memenuhi kebutuhan dari segala
kenikmatan hidup serta rezeki yang tiada terhingga dalam kehidupan inilah fitrah
kejadian an–Nafs (jiwa) seperti dijelaskan dalam al–Qur’an surat Ar–Rum ayat 30
yang berbunyi :
Artinya : “Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah; (tetaplah
atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada
perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia
tidak mengetahui,” (Q.S. ar-Ruum : 30).

Alat yang harus digunakan oleh an-Nafs (jiwa) dalam mewujudkan atau
melaksanakan fitrah bertuhan selama di dunia ini adalah organ jasmaniah, seperti
untuk komunikasi dengan Allah atau beribadah, seperti melaksanakan salat,
puasa,membayar zakat, menunaikan haji, berdo’a, bersyukur dan amal–amal saleh
lainnya.

Karena itu, demi lancarnya pelaksanaan fitrah bertuhan bagi an–Nafs, organ
tubuh / jasmaniah harus dijaga pertumbuhan dan perkembangannya, organ jasmani
harus dipelihara kesehatannya. Sebab apabila anggota jasmaninyah mengalami
gangguan kesehatan, maka hal itu akan mengganggu kelancaran pelaksanaan fitrah
bertuhan bagi an–Nafs.

3) Jasmani merupakan ujian bagi an–Nafs

Kalau an–Nafs memiliki fitrah bertuhan atau bersifat Ilahiyat (ketuhanan) hingga
ia selalu ingin (rindu) untuk dapat berkomunikasi langsung dengan Allah yang ghaib.
Sebaliknya jasmani yang diciptakan dari tanah atau saripati tanah yang bersifat materi
memiliki kecenderungan untuk terikat tunduk dan tergantung pada benda–benda
alam. Jasmani juga memiliki sifat seperti makhluk alam materi lainnya seperti : sifat
tanah (jumudat), sifat tumbuhan (nafsul nabatat), dan lebih dari itu jasmani juga
memiliki sifat kehewanan (nafsul hayawaniyat).

Karena itu, an–Nafs sebagai hakikat manusia yang seharusnya mengendalikan


organ jasmani sebagai kenderaan dan alat untuk mengaktualisasikan fitrah
Ilahiyatnya, justru dihadapkan pada tarikan sifat – sifat materi kebendaan yang ada
pada jasmani tersebut, sehingga jasmani justru menjadi tantangan dan ujian bagi an-
Nafs dalam perjalanan hidupnya di dunia. Dalam posisi seperti ini, an-Nafs yang pada
dasarnya cenderung kepada nilai–nilai ketuhanan (Ilahiyat), justru akan lupa pada
tuhan, alergi mendengar nama Tuhan dan benci bila mendengar seruan dan ajaran
Tuhan. Tetapi apabila an-Nafs mampu mengeluarkan dirinya dari tarikan hawa ini
secara bertahap melalui latihan dan upaya pencerahan kerohanian maka pada
giliriannya an-Nafs itu dapat kembali seperti posisi kejadiannya semula yang tercipta
dari NurNya Allah.

Seiring dengan tingkat ketaklukan an-nafs dan kemampuannya melepaskan diri


dari tarikan hawa jasmani yang bersifat materi keduniawian tersebut, maka umumnya
ulama membagi an-nafs itu ke dalam tiga golongan yaitu : nafs amarah, nafs
lawwamah dan nafs muthmainnah. Tetapi para kaum sufi mengelompokkannya ke
dalam tujuh tingkatan yaitu : 1) Nafs al Amarah Bissu’i, 2) nafs al salwalah, 3) nafs al
lawwamah, 4) nafs al Malhamah, 5) nafs al Mutmainnah, 6) nafs al Roidhiah, dan 7)
nafs al Mardhiyah.

1) Nafs al Amarah Bissu’i

Nafs al-Amarah, maksudnya adalah an-Nafs yang mempunyai kecenderungan


terhadap tipe kejasmanian , selalu menyuruh kepada kelezatan syahwat, selalu
menarik hati agar menghadap ke arah bawah dimana arah bawah itu merupakan
sarang keburukan dan sumber dari prilaku tercela. Nafs inilah yang tunduk dan
taat kepada godaan- godaan syaitan. Hal ini sejalan dengan firman Allah dalam
al-quran surat Yusuf ayat 53 :

Artinya : “dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena


Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang
diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi
Maha Penyanyang.” (Q.S. Yusuf : 53)

An-nafs yang pada dasarnya memiliki sifat ilahiyat (ketuhanan) , apabila


berada dalam tarikan yang terdalam dari sifat jasmaniah justru akan menjadi
pencipta hal-hal yang bersifat material keduniawinyan secara berlebihan (hubbud
dunya) , sehinnga lahirlah sifat-sifat seperti : mencintai lawan jenis secara
berlebihan (hubbud maal) dan mencintai pangkat, status dan jabatan secara
berlebihan pula (hubbud jah), jelasnya lahirlah sifat berlebihan terhadap tiga “
TA” ( Wanita, harta dan tahta ).

Akibat kecintaan berlebihan terhadap hal-hal di atas sudah terjadi, maka akan
mendorong manusia itu untuk melakukan kejahatan-kejahatan (amara bissu’i).
Kecintaan kepada lawan jenis berlebihan, akan membuat seseorang mengumbar
nafsu seksnya, penyimpangan seksual. Semangat hidup hedonis melanda
keperibadiannya. Dan seterusnya apabila seseorang dihinggapi penyakit cinta
pangkat dan jabatan berlebihan, akan membuat seseorang menjadi sangat
ambisius. Keambisiusannya itulah membuat dia berbuat apa saja untuk
memperoleh pangkat/jabatan tersebut.
2) Nafs al-Syalwalah

Nama lain dari an-Nafs apabila berada dalam tarikan terkuat/terdalam dari
sifat-sifat jasmaniah adalah an-Nafsas-syalwalah. Artinya adalah diri yang merasa
bangga apabila sudah selesai (berhasil) melakukan prerbuatan jahat, bangga
apabila berhasil menipu atau merampok atau membodohi orang lain, merasa
bangga menjadi seorang preman, merasa bangga menjadi seorang pecandu
narkoba dan lain sebagainya.

3) Nafs al-Lawwamah

Nafs al-Lawwamah adalah jiwa yang disinari oleh cahaya hati, disamping
juga masih memperhatikan keburukan. Setiap kali jiwa al-Lawwamah berbuat
keburukan sebagai akibat dari kegelapan hatinya, maka saat itu juga ia meminta
ampun dan bertaubat. Nafs al-Lawwamah ini kadang-kadang melahirkan
kejahatan dan kadang-kadang kebaikan.

4) Nafs Al-Malhamah

An-Nafsul Malhamah artinya adalah jiwa yang sudah memperoleh ilham,


ajaran atau ilmu tentang mana jalan kehidupan yang baik (taqwa) dan jalan
kehidupan kejahatan atau dosa (fujur). Terserah jiwa memilih jalan yang mana,
atau dengan kata lain jiwa bisa kembali pada an-Nafsal-amara bissu’i atau an-
Nafsal-syalwalah.

5) Nafs Al-Mutmainnah

Nafs ini adalah jiwa yang telah disinari oleh cahaya hati sehingga mampu
menghilangkan sifat-sifat tercela dan akhirnya dia berperilaku terpuji dan sebagai
hasilnya akan merasakan kententraman.

6) Nafs al-Rodhiyah

Sebagai kelanjutan dari jiwa dan hati yang tentram karena mengingat Allah
swt, maka jiwa manusia akan semakin terdorong untuk lebih ikhlas melaksanakan
perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-laranganNya, lebih ikhlas dan
ridha menerima semua ketentuan allah swt, selalu berprasangka baik terhadap apa
yang datang darinya. Keadaan jiwa yang seperti ini disebut dengan Nafs al-
Rodhiyah.

7) Nafs al-Mardhiyyah

Terhadap jiwa yang yang selalu ingat kepada Allah swt, berprasangka baik
terhadap segala ketentuan dan taqdir Allah, ikhlas melaksanakan perintah-
perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, tidak riya melainkan beribadah hanya
ingin memperoleh ridho-Nya, maka jiwa seperti ini sesuai dengan janji Allah swt.
bahwa dia kan meridhionya. Jiwa yang diridhoi Allah itulah yang disebut dengan
an-Nafsal-Mardiyah.

C. Tujuan Penciptaan Manusia Sebagai Makhluk yang Paling Sempurna.

1. Manusia Sebagai Saksi Allah

Artinya : “Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi


dan gunung-gunung, Maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka
khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia…” (Q.S. al-
Ahzab : 72).

Ayat diatas dengan jelas menerangkan bahwa fungsi manusia dalam


kehidupannya di dunia ini adalah sebagai pemegang amanah dari Allah. Isi dari
amanah tersebut adalah bahwa manusia adalah sebagai saksi yang harus
mempersaksikan ke-Esa-an Allah (tauhid) sebagai Rabbul ‘Alamin (pencipta,
pengatur, dan pemelihara alam semesta dengan segala isinya) atau tuhid Rububiyyah.
Manusia harus mempersaksikan ke-Esa-an Allah segala Ilah (Tuhan) yang harus
disucikan (tasbih), dipuji (tahmid), dibersihkan dari kesamaan dengan makhluk
(tahlil) dan dibesarkan namanya (takbir) baik di hati, di lidah maupun dalam
perbuatan atau tauhid Uluhiyyah. Dan juga harus mempersaksikan ke-Esa-an Allah
sebagai ma’bud (Zat yang harus disembah) atau tauhid Ubudiyyah.

Fungsi amanah sebagai saksi ini kelak akan dipertanggungjawabkan manusia di


akhirat. Allah berfirman yang artinya: “dan orang-orang yang memberikan
kesaksiannya.”
2. Manusia Sebagai Khalifah Allah

Artinya : “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat:


"Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka
berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang
akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami
Senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan
berfirman: "Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."” (Q.S. al-
Baqarah : 30).

Yang dimaksud dengan khalifah oleh kaum Sufi dalam ayat tersebut adalah
manusia (Adam), sedangkan khalifah itu dalam konteks ini diartikan sebagai
pengganti Allah dalam melaksanakan perintah-Nya kepada manusia dan alam
semesta. Sebagai khalifah manusia dengan potensi yang diberikan Allah kepadanya
berkewajiban memkamurkan dengan cara memelihara dan melestarikannya. Manusia
juga wajib mengolah dan merekayasa alam semesta agar bermanfaat bagi
kemashlahatan manusia dan makhluk lainnya. Wajib juga memelihara keseimbangan
ekosistem lingkungan dan alam. Dan tidak boleh melakukan pengrusakan terhadap
alam, pengrusakan terhadap alam merupakan tindakan yang menyimpang dari
khalifah.

Sekalipun memiliki kelebihan dan kesempurnaan, manusia adalah sama dengan


makhluk-makhluk lain seperti tumbuh-tumbuhan dan hewan, Allah berfirman :

Artinya : “dan Tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang
terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat (juga) seperti kamu. Tiadalah Kami
alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka
dihimpunkan.” (Q.S. al-An’am : 38).
Manusia juga adalah hamba Allah, tujuan penciptaannya tidak lain adalah untuk
mengabdi kepada-Nya (sesuai dengan Q.S. adz-Dzariyat : 56).

Manusia dalam funsi kekhalifahannya di muka bumi, aktivitasnya bukanlah


“bebas nilai”. Manusia dengan segala perbuatannya harus bertanggung jawab kepada
Allah sebagai Penciptanya dan untuk itu manusia dengan segala perbuatannya akan
dievaluasi seperti terdapat dalam firman Allah :

Artinya : “yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di
antara kamu yang lebih baik amalnya. dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun,”
(Q.S. al-Mulk : 2).

Dan akan dimintai pertanggung jawabannya atas tugas kekhalifahan, inilah yang
dimaksud hadits Rasul yang berbunyi : “Tiap-tiap kamu adalah pemimpin, karena itu
kamu akan dimintai pertanggung jawaban mengenai kepemimpinan kamu.”

3. Manusia Sebagai Hamba

Artinya : “dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
mengabdi kepada-Ku.” (Q.S. adz-Dzariyat : 56).

Menghambakan diri (beribadah) kepada Allah, sekalipun tata cara dan waktu
pelaksanaannya ditentukan oleh Allah, pada hakikatnya bukanlah kewajiban atau
beban bagi manusia. Penghambaan ini (peribadatan) tersebut pada hakikatnya adalah
fitrah yang menjadi kebutuhan an-Nafs (hakikat diri manusia itu sendiri). Menurut
ajaran Islam, setiap aktivitas (selain ibadah mahdah) akan menjadi penghambaan diri
kepada Allah (bernilai ibadah bagi Allah) apabila aktivitas tersebut : dilaksanakan
dengan ikhlas (murni) karena Allah dan untuk mrmperoleh ridho Allah, bukan untuk
mengharapkan yang lain-lain; dan dilaksanakan dengan benar sesuai dengan syari’at
Allah yang dibawa oleh Rasulullah. Upaya pemhambaan didri sperti ini dalam
syari’at dinamakan denga ibadah ghairu mahdah.
D. Arti Kehidupan Dunia Bagi Sufi

Kehidupan dunia hanya sementara. Manusia akan mengalami mati dan apabila ajal
kematian datang manusia tidak dapat menundanya walau satu detikpun. Firman Allah :

Artinya : “Tiap-tiap umat mempunyai batas waktu; Maka apabila telah datang waktunya
mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak dapat (pula)
memajukannya.” (Q.S. al-A’raaf : 34).

Hidup di dunia hanya sementara, yang lebih abadi hanyalah kehidupan di akhirat.
Sesuai dengan Firman Allah yang artinya “sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik
dan lebih kekal.”

Selain dunia ini berfungsi sebagai sarana untuk mangabdi pada Allah swt, ternyata
dunia ini dengan alam materinya bagi kaum sufi berfungsi juga sebagai ujian bagi
manusia. Jiwa manusia diberi potensi untuk takwa mengigat Allah dan potensi
menentang Allah.

Ketertarikan hati manusia kepada dunia membuatnya menjadi lalai akan fungsi dan
tugasnya sebagai hamba Allah yang cebderung menjadikan dunia sebagai tujuan hidup.
Padahal kehidupan dunia tidak lain hanyalah sebuah permainan perhiasan yang penuh
dengan tipu daya.

Allah mengingatkan manusia dengan firman-Nya :

Artinya : “1. demi masa. 2. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, 3.
kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati
supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.” (Q.S.
al-‘Ashr : 1-3).
Berhati-hatilah manusia supaya jangan tertipu oleh godaan syaitan, yang selalu
memperdayakan manusia dari segala segi. Firman Allah dalam surah Luqman : 33 yang
artinya: “Hai manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu dan takutilah suatu hari yang (pada
hari itu) seorang bapak tidak dapat menolong anaknya dan seorang anak tidak dapat
(pula) menolong bapaknya sedikitpun. Sesungguhnya janji Allah adalah benar, Maka
janganlah sekali-kali kehidupan dunia memperdayakan kamu, dan jangan (pula) penipu
(syaitan) memperdayakan kamu dalam (mentaati) Allah.” (Q.S. Luqman : 33).

Untuk obat penangkis penyakit gila-gilaan (segala gila), hanyalah iman dan takwa
kepada Allah. Apabila dua macam ini bersemayam dalam diri manusia, menjadi
perhiasan hidupnya yang disertai dengan budi pekerti yang murni, insya Allah manusia
akan terhindar dari godaan syetan.

Manusia masih dalam perjalanan, dan yang dituju adalah kampong halaman yang
kekal, yaitu kampong akhirat. Maka tiap-tiap tahun yang telah dilalui olehnya laksana
satu pemberhentian. Tiap bulan yang telah lewat, adalah selaku istirahat dan tiap pecan
yang dilewatinya selaku suatu kampung yang ditemuinya dalam perjalanannya, setiap
hari selaku suatau hal yang ditempuhnya dan setiap detik yang dinafaskannya selaku
setiap langkah yang dijalani dan setiap nafas yang dihembuskannya akan mendekatkan
dirinya ke pintu akhirat.

6. Hakekat Manusia Menurut Pandangan Umum


Pembicaraan manusia dapat ditinjau dalam berbagai perspektif, misalnya perspektif
filasafat, ekonomi, sosiologi, antropologi, psikologi, dan spiritualitas Islam atau tasawuf,
anatar lain :

a. Dalam perspektif filsafat.

Disimpulkan bahwa manusia merupakan hewan yang berpikir karena memiliki nalar
intelektual. Dengan nalar intelektual itulah manusia dapat berpikir, menganalisis,
memperkirakan, meyimpulkan, membandingkan, dan sebagainya. Nalar intelektual ini
pula yang membuat manusia dapat membedakan antara yang baik dan yang jelek, antara
yang salah dan yang benar.

1. Hakekat Manusia

Pada saat-saat tertentu dalam perjalanan hidupnya, manusia mempertanyakan


tentang asal-usul alam semesta dan asal-usul keber-ada-an dirinya sendiri. Terdapat
dua aliran pokok filsafat yang memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut,
yaitu Evolusionisme dan Kreasionisme (J.D. Butler, 1968). Menurut
Evolusionisme, manusia adalah hasil puncak dari mata rantai evolusi yang
terjadi di alam semesta. Manusia sebagaimana halnya alam semesta ada dengan
sendirinya berkembang dari alam itu sendiri, tanpa Pencipta. Penganut aliran ini
antara lain Herbert Spencer, Charles Darwin, dan Konosuke Matsushita. Sebaliknya,
Kreasionisme menyatakan bahwa asal usul manusia sebagaimana halnya alam
semesta adalah ciptaan suatu Creative Cause atau Personality, yaitu Tuhan YME.
Penganut aliran ini antara lain Thomas Aquinas dan Al-Ghazali. Memang kita dapat
menerima gagasan tentang adanya proses evolusi di alam semesta termasuk pada
diri manusia, tetapi tentunya kita menolak pandangan yang menyatakan adanya
manusia di alam semesta semata-mata sebagai hasil evolusi dari alam itu sendiri,
tanpa Pencipta.

2. Wujud dan Potensi Manusia.

Wujud Manusia. menurut penganut aliran Materialisme yaitu Julien de La


Mettrie bahwa esensi manusia semata-mata bersifat badani, esensi manusia
adalah tubuh atau fisiknya. Sebab itu, segala hal yang bersifat kejiwaan, spiritual atau
rohaniah dipandangnya hanya sebagai resonansi dari berfungsinya badan atau
organ tubuh. Tubuhlah yang mempengaruhi jiwa. Contoh: Jika ada organ tubuh luka
muncullah rasa sakit. Pandangan hubungan antara badan dan jiwa seperti itu
dikenal sebagai Epiphenomenalisme (J.D. Butler, 1968). Bertentangan dengan
gagasan Julien de La Metrie, menurut Plato salah seorang penganut aliran
Idealisme -bahwa esensi manusia bersifat kejiwaan/spiritual/rohaniah. Memang
Plato tidak mengingkari adanya aspek badan, namun menurut dia jiwa
mempunyai kedudukan lebih tinggi daripada badan.

b. Dalam Perspektif Ekonomi.

Dalam perspektif ekonomi, manusia adalah makhluk ekonomi, yang dalam


kehidupannya tidak dapat lepas dari persoalan-persoalan ekonomi. Komunikasi
interpersonal untuk memenuhi hajat-hajat ekonomi atau kebutuhan-kebutuhan hidup
sangat menghiasi kehidupan mereka.

c. Dalam Perspektif Sosiologi.

Manusia adalah makhluk social yang sejak lahir hingga matinya tidak pernah lepas
dari manusia lainnya. Bahkan, pola hidup bersama yang saling membutuhkan dan saling
ketergantungan menjadi hal yang dinafikkan dalam kehidupan sehari-hari manusia.

d. Dalam Perspektif Antropologi.

Manusia adalah makhluk antropologis yang mengalami perubahan dan evolusi. Ia


senantiasa mengalami perubahan dan perkembangan yang dinamis.
e. Dalam Perspektif Psikologi.

Manusia adalah makhluk yang memiliki jiwa. Jiwa merupakan hal yang esensisal dari
diri manusia dan kemanusiaannya. Dengan jiwa inilah, manusia dapat berkehendak,
berpikir, dan berkemauan.

7. Hakikat Manusia Menurut Pandangan Ilmuwan Barat

a. Pandangan Psiko Analitik dari S. Freud

Menurut Freud, secara hakiki keperibadian manusia terdiri dari tiga komponen yaitu
Id, ego, dan superego. Istilah lain juga dipakai yaitu Id = das es, dan ego = das ich, serta
superego = dan uber ich. Selanjutnya dijelaskan bahwa Id meliputi berbagai jenis
keinginan, dorongan, kehendak, dan insting manusia yang mendasari perkembangan
individu, yang sering juga disebut libido seksual atau dorongan untuk mencapai
kenikmatan hidup. Di dalam Id itu terdapat dua unsur yang paling utama yaitu seksual
dan sifat agresif sebagai daya penggerak kejiwaan/tingkah laku manusia. Ego berfungsi
untuk menjembatani antara Id dengan dunia luar dari individu itu.

b. Pandangan Humanistik

Pandangan humanistik ini ditokohi oleh: Roger, Hansen, Adlet, dan Martin Buber.
Human artinya manusia, yaitu memahami secara hakiki keberadaan manusia, oleh
manusia, dan dari manusia berdasarkan rasio (pemikiran manusia). Pandangan tersebut
dapat dijelaskan sebagai berikut:

a. Dalam batas tertentu manusia punya otonomi untuk menentukan nasibnya

b. Manusia bukan makhluk jahat atau baik, tetapi ia punya potensi untuk keduanya

c. Manusia adalah makhluk yang bertanggung jawab atas perbuatannya

d. Manusia makhluk yang senantiasa akan menjadi terus berusaha, dan tak pernah

sempurna.

c. Pandangan Behavioristik

Pandangan ini menjelaskan bahwa behavior (tingkah laku) manusia ditentukan oleh
pengaruh lingkungan yang dialami individu yang bersangkutan. Lingkungan adalah
penentu tunggal dari behavior manusia. Jika ingin mengubah tingkah laku manusia, perlu
di persiapkan kondisi lingkungan yang mendukung kearah itu.
8. Hakikat Manusia Menurut Pandangan Pancasila
Kodrat manusia merupakan keseluruhan sifat-sifat asli, kemampuan-kemampuan atau
bakat-bakat alami, kekuasaan, bekal disposisi yang melekat pada kebaradaan/eksistensi
manusia sebagai makhluk pribadi sekaligus makhluk sosial ciptaan Tuhan YME. Harkat
manusia adalah nilai manusia sebagai makhluk Tuhan yang memiliki kemampuan-
kemampuan yang disebut cipta, rasa, dan karsa. Derajat manusia adalah tingkat kedudukan
atau martabat manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang memiliki bakat, kodrat,
kebebasan hak, dan kewajiban asasi.

Pancasila memandang sudut pandang hakikat manusia sebagai berikut:

 Monodualistik dan Monopluralistik.


 Keselarasan, keserasian, dan keseimbangan.
 Integralistik, kebersamaan, dan kekeluargaan.

Jadi, konsep manusia Indonesia seutuhnya dikembangkan atas pandangan hidup bangsa
Indonesia yakni pancasila, yang menganut paham integralistik disesuaikan dengan struktur
sosial masyarakat yang memiliki Bhinneka Tunggal Ika (sudut pandang dari integralistik,
kebersamaan, dan kekeluargaan). Kemudian dengan pandangan hidup pancasila,
pengembangan manusia Indonesia seutuhnya diusahakan agar hidup selaras, serasi, dan
seimbang dalam konteks hubungan manusia dengan ruang lingkupnya (sudut pandang
keselarasan, keserasian, dan keseimbangan). Dan selanjutnya, sesuai dengan dasar
pengendalian diri dalam mengejar kepentingan pribadi, maka manusia Indonesia yang
mendasarkan diri pada pandangan hidup pancasila dalam mewujudkan tujuan hidupnya
(monodualistik), sedangkan monopluralistik, yaitu tujuan hidup tersebut senantiasa dijiwai
oleh pancasila).

Kedudukan manusia dihadapan Tuhan adalah sama yaitu memiliki harkat dan martabat
sebagai manusia mulia. Paulus Wahana (dalam H.A.R. Tilaar. 2002 : 191) mengemukakan
gambaran manusia pancasila sebagai berikut :

1. Manusia adalah makhluk monopluralitas yang memungkinkan manusia itu dapat


melaksanakan sila-sila yang tercantum di dalam pancasila.

2. Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang tertinggi yang dikaruniakan memiliki
kesadaran dan kebebasan dalam menentukan pilihannya.

3. Dengan kebebasannya manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan dapat menentukan


sikapnya dalam hubungannya dengan pencipta-Nya.

4. Sila pertama menunjukkan bahwa manusia perlu menyadari akan kedudukannya sebagai
ciptaan Tuhan Yang Mahakuasa dan oleh sebab itu harus mampu menentukan sikapnya
terhadap hubungannya dengan pencipta-Nya.
5. Manusia adalah otonom dan memiliki harkat dan martabat yang luhur.

6. Sila kedua yaitu kemanusiaan yang adil dan beradab menuntut akan kesadaran keluhuran
harkat dan martabatnya yaitu dengan menghargai akan martabat sesama manusia.

7. Sila persatuan Indonesia berarti manusia adalah makhluk sosial yang berada di dalam
dunia Indonesia bersama-sama dengan manusia Indonesia lainnya.

8. Manusia haruslah dapat hidup bersama, menghargai satu dengan yang lain dan tetap
membina rasa persatuan dan kesatuan bangsa yang kokoh.

9. Manusia adalah makhluk yang dinamis yang melakukan kegiatannya bersama-sama


dengan manusia Indonesia yang lain.

10. Sila keempat atau sila demokrasi dituntut manusia Indonesia yang saling menghargai,
memiliki kebutuhan bersama di dalam menjalankan dan mengembangkan kehidupannya.

11. Dalam sila kelima manusia Indonesia dituntut saling memiliki kewajiban menghargai
orang lain dalam memanfaatkan sarana yang diperlukan bagi peningkatan taraf kehidupan
yang lebih baik.

Dalam kehidupan manusia, terlihat bagaiamana mereka berinteraksi dengan sesama manusia.
Interakasi dalam diri manusia tidak terlepas dari pembahasan antara tubuh dan jiwa. Berikut
adalah pandangan para filosof terhadap badan dan jiwa :

1. Pythagoras mengajarkan keabadian jiwa manusia dan perpindahannya ke dalam jasad hewan
apabila manusia telah mati, dan jika hewan itu mati akan berpindah lagi ke jasad lainnya,
demikian seterusnya. Perpindahan jiwa yang demikian itu merupakan suatu proses penyucian
jiwa. Jiwa itu akan kembali ke tempat asalnya di langit apabila proses penyuciannya telah
selesai. Untuk membebaskan jiwa dari perpindahan itu, manusia harus berpantang terhadap
jenis makanan tertentu, taat terhadap peraturan-peraturan yang berlaku dalam lingkungan
persekutuan Pythagorean, bermusik, dan berfilsafat.
2. Demokritos (460-370 SM) mengajarkan bahwa manusia adalah materi. Jiwa pun adalah
materi yang terdiri dari atom-atom khusus yang bundar, halus dan licin, oleh sebab itu tidak
saling mengait satu sama lain. Demikian juga atom-atom yang berbentuk lain. Dengan
demikian, atom-atom jiwa gampang menempatkan diri di antara atom-atom lainnya dan
menyebar ke seluruh tubuh manusia.

3. Plato (428-348 SM) mengajarkan bahwa manusia terdiri dari tubuh dan jiwa. Tubuh adalah
musuh jiwa. Karena tubuh penuh dengan berbagai kejahatan dan jiwa berada di dalam tubuh
yang demikian itu, maka tubuh merupakan penjara jiwa. Jiwa manusia terdiri dari tiga
bagian, yaitu nous (akal), thumos (semangat), dan epithumia (nafsu). Karena pengaruh nafsu,
jiwa manusia terpenjara dalam tubuh.

4. Aristoteles (384-322 SM) menyatakan bahwa manusia merupakan satu kesatuan yang tak
terpisahkan. Tubuh dan jiwa hanya merupakan dua segi dari manusia yang satu. Tubuh
adalah materi, dan jiwa adalah bentuk. Manusia merupakan satu kesatuan yang tidak
terpisahkan, maka konsekuensinya ialah pada saat manusia mati, baik tubuh maupun jiwa,
kedua-duanya mati. Itu berarti jiwa manusia tidak abadi. Dengan kata lain, sama sekali tidak
ada kehidupan sesudah kematian. Kematian adalah akhir dari segala-galanya.
5. Descartes (1596-1650) menegaskan bahwa tubuh dan jiwa adalah dua hal yang sangat
berbeda dan harus dipisahkan. Tubuh adalah suatu mesin yang terdiri dari bagian-bagiannya
yang begitu kompleks. Adapun jiwa adalah sesuatu yang tidak terbagi, tidak terbatasi oleh
ruang dan waktu, ditandai oleh kegiatan rohani, seperti berpikir,
berkehendak, dan sebagainya. Kendati berbeda dan terpisah,
tubuh dan jiwa itu memiliki pertautan yang erat satu sama
lainnya, bagaikan kapal dan juru mudinya.

6. George Berkeley (1685-1753) berpendapat bahwa jiwa manusia adalah pusat segala realitas
yang tampak. Penolakannya terhadap materi menunjukkan bahwa Berkeley adalah seorang
spiritualis. Akan tetapi, idealisme subjektif spiritualis Berkeley tidak berpangkal pada yang
abstrak, melainkan pada yang konkret, yang diperoleh lewat pengamatan indrawi. Sesuatu itu
dikatakan ada karena dapat dilihat dan dirasakan. Jadi, kebenaran sesuatu itu tergantung pada
yang melihat dan yang merasa. Yang melihat dan yang merasa itu adalah yang hadir dalam
tubuh manusia, yaitu roh. Tubuh tidak lebih dari tanda kehadiran roh.

7. Feuerbach mengajarkan bahwa di balik alam tidak ada Allah. Demikian pula di balik tubuh
tidak ada jiwa. Jelas terlihat bahwa Feuerbach adalah seorang materialis karena ia
menyangkal segi rohani manusia. Feuerbach sendiri tidak mau menyebut ajarannya sebagai
materialisme, melainkan organisme. Ia menyatakan bahwa manusia bukan mesin seperti yang
diajarkan oleh penganut materialisme. Feuerbach menunjukkan bahwa ia menolak
materialisme dengan mengajarkan bahwa manusia adalah makhluk hidup yang organis.
Selaku makhluk hidup yang organis manusia senantiasa berhubungan secara konkret dengan
sesamanya. Ungkapan itu sekaligus menunjukkan status manusia. Feuerbach menandaskan
bahwa tubuh menunjukkan manusia sebagai makhluk yang tidak tertutup dalam dirinya
sendiri dan yang dengan akal budinya menyadari bahwa ia senantiasa berada dalam relasi
aku-engkau.

Anda mungkin juga menyukai