Anda di halaman 1dari 17

MATKUL: AGAMA (KLP 8)

HAKIKAT MANUSIA MENURUT ISLAM

D
I
S
U
S
U
N
OLEH:
INTAN PUTRI YANTI
IMRAN ALATUBIR

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN GUNUNG SARI


PRODI S1 KEPERAWATAN
T.A 2021
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Tuhan Yang Maha Esa telah melimpahkan karunia
dannikmat bagi umat-Nya. Alhamdulillah Makalah ini dapat teselesaikan
tepat padawaktunya.Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas
Mata Kuliah Agama Islamyang berjudul “Keimanan dan Ketaqwaan”.
Makalah ini jauh dari sempurna.Untuk itu, saran dan kritik yang membangun
sangat penulis harapkan.Tidak lupa penulis sampaikan rasa terima kasih kepada
semua pihak yangtelah turut membantu dalam penyusunan makalah ini.
Semoga bantuan dan bimbingan yang telah diberikan kepada kami mendapat
balasan yang setimpal dariTuhan Yang Maha Esa.Semoga makalah ini
bermanfaat khusus bagi penulis dan umumnya bagipembaca

Makassar, 25 oktober 2021


DAFTAR ISI
SAMPUL.....................................................................................................
KATA PENGANTAR.................................................................................
DAFTAR ISI................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN............................................................................
A. Latar belakang..................................................................................
B. Rumusan masalah............................................................................
C. Tujuan..............................................................................................
BAB II PEMBAHASAN.............................................................................
A. Menjelaskan apa itu eksistensi dan martabat manusia……………
B. Menjelaskan fitra manusia, hanif dan potensi akal, kalbu dan nafsu
C. Menjelaskan eksistensi dan martabat manusia……………………
D. Menjelaskan kedudukan, tujuan, tugas dan program hidup manusia
BAB III PENUTUP.....................................................................................
A. Kesimpulan......................................................................................
B. Saran ................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Berbicara tentang manusia dan agama dalam Islam adalah
membicarakan sesuatu yang sangat klasik namun senantiasa aktual.
Berbicara tentang kedua hal tersebut sama saja dengan berbicara tentang
kita sendiri dan keyakinan asasi kita sebagai makhluk Tuhan. Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia, ‘manusia’ diartikan sebagai ‘makhluk
yang berakal budi (mampu menguasai makhluk lain); insan; orang’
(1989:558). Menurut pengertian ini manusia adalah makhluk Tuhan yang
diberi potensi akal dan budi, nalar dan moral untuk dapat menguasai
makhluk lainnya demi kemakmuran dan kemaslahatannya. Dalam bahasa
Arab, kata ‘manusia’ ini bersepadan dengan katakata nâs, basyar, insân,
mar’u, ins dan lain-lain. Meskipun bersinonim, namun katakata tersebut
memiliki perbedaan dalam hal makna spesifiknya. Kata nâs misalnya lebih
merujuk pada makna manusia sebagai makhluk sosial. Sedangkan kata
basyar lebih menunjuk pada makna manusia sebagai makhluk biologis.
Begitu juga dengan kata-kata lainnya.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Menjelaskan apa itu eksistensi dan martabat manusia
2. Menjelaskan fitra manusia, hanif dan potensi akal, kalbu dan nafsu
3. Menjelaskan eksistensi dan martabat manusia
4. Menjelaskan kedudukan, tujuan, tugas dan program hidup manusia

C. TUJUAN
1. Mengetahui apa itu eksistensi dan martabat manusia
2. Mengetahui fitra manusia, hanif dan potensi akal, kalbu dan nafsu
3. Mengetahui eksistensi dan martabat manusia
4. Mengetahui kedudukan, tujuan, tugas dan program hidup manusia.
BAB II
PEMBAHASAN

A. HAKIKAT EKSISTENSI DAN MARTABAT MANUSIA


Penciptaan manusia terdiri dari bentuk jasmani yang bersifat
kongkrit, juga disertai pemberian sebagian Ruh ciptaan Allah swt yang
bersifat abstrak. Manusia dicirikan oleh sebuah intelegensi sentral atau
total bukan sekedar parsial atau pinggiran. Manusia dicirikan oleh
kemampuan mengasihi dan ketulusan, bukan sekedar refles-refleks
egoistis. Sedangkan, binatang, tidak mengetahui apa-apa diluar dunia
inderawi, meskipun barangkali memiliki kepekaan tentang yang sakral.
Manusia perlu mengenali hakikat dirinya, agar akal yang
digunakannya untuk menguasai alam dan jagad raya yang maha luas
dikendalikan oleh iman, sehingga mampu mengenali ke-Maha
Perkasaan Allah dalam mencipta dan mengendalikan kehidupan
ciptaanNya. Dalam memahami ayat-ayat Allah dalam kesadaran akan
hakekat dirinya, manusia menjadi mampu memberi arti dan makna
hidupnya, yang harus diisi dengan patuh dan taat pada perintah-
perintah dan berusaha menjauhi larangan-larangan Allah. Berikut
adalah hakekat manusia menurut pandangan Islam:
1. Manusia adalah Makhluk Ciptaan Allah SWT.
Hakekat pertama ini berlaku umum bagi seluruh jagat raya
dan isinya yang bersifat baru, sebagai ciptaan Allah SWT di luar
alam yang disebut akhirat. Alam ciptaan meupakan alam nyata
yang konkrit, sedang alam akhirat merupakan ciptaan yang ghaib,
kecuali Allah SWT yang bersifat ghaib bukan ciptaan, yang ada
karena adanya sendiri.
Firman Allah SWT mengenai penciptaan manusia dalam Q.S. Al-
Hajj ayat 5 :
“Sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah,
kemudian dari setetes air mani menjadi segumpal darah, menjadi
segumpal daging yang diberi bentuk dan yang tidak berbentuk,
untuk Kami perlihatkan kekuasaan Tuhanmu.”
Firman tersebut menjelaskan pada manusia tentang asal
muasal dirinya, bahwa hanya manusia pertama Nabi Adam AS
yang diciptakan langsung dari tanah, sedang istrinya diciptakan
dari satu bagian tubuh suaminya. Setelah itu semua manusia
berikutnya  diciptakan melalui perantaraan seorang ibu dan dari
seorang ayah, yang dimulai dari setetes air mani yang
dipertemukan dengan sel telur di dalam rahim.
Hakikat pertama ini berlaku pada umumnya manusia di
seluruh jagad raya sebagai ciptaan Allah diluar alam yang disebut
akhirat. Alam ciptaan merupakan alam nyata yang konkrit
sedangkan alam akhirat merupakan ciptaan yang ghaib kecuali
Allah yang bersifat ghaib bukan ciptaan yang ada karena dirinya
sendiri.
2. Kemandirian dan Kebersamaan (Individualitas dan Sosialita).
Kemanunggalan tubuh dan jiwa yang diciptakan Allah
SWT , merupakan satu diri individu yang berbeda dengan yang
lain. setiap manusia dari individu memiliki jati diri masing -
masing. Jati diri tersebut merupakan aspek dari fisik dan psikis di
dalam kesatuan. Setiap individu mengalami perkembangan dan
berusah untuk mengenali  jati dirinya sehingga mereka menyadari
bahwa jati diri mereka berbeda dengan yang lain.  Firman Allah
dalam Q.S. Al-A’raf 189:
“Dialah yang menciptakanmu dari satu diri”
Firman tersebut jelas menyatakan bahwa sebagai satu diri
(individu) dalam merealisasikan dirinya melalui kehidupan,
ternyata diantaranya terdapat manusia yang mampu mensyukurinya

dan menjadi beriman.


Di dalam sabda Rasulullah SAW menjelaskan petunjuk
tentang cara mewujudkan sosialitas yang diridhoiNya, diantara
hadist tersebut mengatakan:
“Seorang dari kamu tidak beriman sebelum mencintai
kawannya seperti mencintai dirinya sendiri” (Diriwayatkan oleh
Bukhari)
“Senyummu kepada kawan adalah
sedekah” (Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dan Baihaqi)
Kebersamaan (sosialitas) hanya akan terwujud jika dalam
keterhubungan itu manusia mampu saling menempatkan sebagai
subyek, untuk memungkinkannya menjalin hubungan manusiawi
yang efektif, sebagai hubungan yang disukai dan diridhai Allah
SWT. Selain itu manusia merupakan suatu kaum (masyarakat)
dalam menjalani hidup bersama dan berhadapan dengan kaum
(masyarakat) yang lain. Manusia dalam perspektif agama Islam
juga harus menyadari bahwa pemeluk agama Islam adalah
bersaudara satu dengan yang lain.
3. Manusia Merupakan Makhluk yang Terbatas.
Manusia memiliki kebebasan dalam mewujudkan diri (self
realization), baik sebagai satu diri (individu) maupun sebagai
makhluk social, terrnyata tidak dapat melepaskan diri dari berbagai
keterikatan yang membatasinya. Keterikatan atau keterbatasan itu
merupakan hakikat manusia yang melekat dan dibawa sejak
manusia diciptakan Allah SWT. Keterbatasan itu berbentuk
tuntutan memikul tanggung jawab yang lebih berat daripada
makhluk-makhluk lainnya. Tanggung jawab yang paling asasi
sudah dipikulkan ke pundak manusia pada saat berada dalam
proses penciptaan setiap anak cucu Adam berupa janji atau
kesaksian akan menjalani hidup di dalam fitrah beragama tauhid.
Firman Allah Q.S. Al-A’raf ayat 172 sebagai berikut:
“Dan ingat lah ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan
anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian
jiwa mereka, “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab,
“Betul Engkau Tuhan kami dan kami bersaksi.”
Kesaksian tersebut merupakan sumpah yang mengikat atau
membatasi manusia sebagai individu bahwa didalam kehidupannya
tidak akan menyembah selain Allah SWT. Bersaksi akan menjadi
manusia yang bertaqwa pada Allah SWT. Manusia tidak bebas
menyembah sesuatu selain Allah SWT, yang sebagai perbuatan
syirik dan kufur hanya akan mengantarkannya menjadi makhluk
yang terkutuk dan dimurkaiNya.

Martabat adalah harga diri tingkatan harkat kemanusiaan dan


kedudukan yang terhormat, dan martabat saling berkaitan dengan
maqam, maksudnya adalah secara dasarnya maqam merupakan tingkatan
martabat seseorang hamba terhadap khalik-Nya, yang juga merupakan
sesuatu keadaan tingkatannya seseorang sufi di hadapan tuhannya pada
saat dalam perjalanan spritual dalam beribadah kepada Allah Swt.
Maqam ini terdiri dari beberapa tingkat atau tahapan seseorang
dalam hasil ibadahnya yang di wujudkan dengan pelaksanaan dzikir pada
tingkatan maqam tersebut, secara umum dalam thariqat naqsyabandi
tingkatan maqam ini jumlahnya ada 7 (tujuh), yang di kenal juga dengan
nama martabat tujuh, seseorang hamba yang menempuh perjalanan dzikir
ini biasanya melalui bimbingan dari seseorang yang alim yang paham akan
isi dari maqam ini setiap tingkatnya, seseorang hamba tidak di benarkan
sembarangan menggunakan tahapan maqam ini sebelum menyelesaikan
atau ada hasilnya pada riyadhah dzikir pada setiap maqam, ia harus ada
mendapat hasil dari amalan pada maqam tersebut.
Tingkat martabat seseorang hamba di hadapan Allah Swt mesti
melalui beberapa proses sebagai berikut :
1. Taubat;
2. Memelihara diri dari perbuatan yang makruh, syubhat dan
apalagi yang haram;
3. Merasa miskin diri dari segalanya;
4. Meninggalkan akan kesenangan dunia yang dapat merintangi
hati terhadap tuhan yang maha esa;
5. Meningkatkan kesabaran terhadap takdirNya;
6. Meningkatkan ketaqwaan dan tawakkal kepadaNya;
7. Melazimkan muraqabah (mengawasi atau instropeksi diri);
8. Melazimkan renungan terhadap kebesaran Allah Swt;
9. Meningkatkan hampir atau kedekatan diri terhadapNya dengan
cara menetapkan ingatan kepadaNya;
10. Mempunyai rasa takut, dan rasa takut ini hanya kepada
Allah Swt saja.

B. FITRA MANUSIA, HANIF DAN POTENSI AKAL, KALBU DAN


NAFSU
Kata fithrah (fitrah) merupakan derivasi dari kata fatara, artinya
ciptaan, suci, seimbang. Louis Ma’luf dalam kamus Al-Munjid
(1980:120) menyebutkan bahwa fitrah manusia adalah sifat yang ada
pada setiap yang ada pada awal penciptaannya, sifat alami manusia,
agama dan sunnah
Menurut iman Al-Maraghi (1974:200) fitrah adalah kondisi di
mana Allahmenciptakan manusia yang menghadapkan dirinya kepada
kebenaran dan kesiapan untuk menggunakan pikirinnya.
Dengan demikian arti fitrah dari segi bahasa dapat diartikan
sebagai kondisi awal suatu penciptaan atau kondisi awal manusia yang
memiliki potensi untuk mengetahui dan cenderung kepadan kebenaran
(hanif). Fitrah dalam arti hanif ini sejalan dengan isyarat Al-Quran.
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah;
(tetaplah atas) fitrah Allah yang Telah menciptakan manusia menurut
fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang
lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”. (Ar- Ruum,
30:30)
Fitrah dalam ard penciptaan tidak hanya dikaitkan dengan arti
penciptaan fisik, melainkan juga dalam arti rohaniah, yaitu sifat-sifat
dasar manusia yang baik. Karena itu fitrah disebutkan sebagai konotasi
nilai. Lahirnya fitrah sebagai nilai dasar kebaikan manusia itu dapat
dirujukkan kepada ayat.
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-
anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian
terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku Ini
Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuban kami), kami
menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat
kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah
orang-orang yang lengah terhadap Ini (keesaan Tuhan)". (Al-A’raaf,
7:172)
Ayat diatas merupakan penjelasan dari fitrah manusia yang berarti
hanif (kecendrungan kepada kebaikian) yang dimilikim manusia
karena terjadinya proses persaksian sebelum digelar ke muka bumi.
Persaksian ini merupakan proses fitriah manusia yang selalu memiliki
kebutuhan terhadap agama (institusi yang menjelaskan tentang Tuhan),
karena itu dalam pandangan ini manusia dianggap sebagai makhluk
religius. Ayat diatas juga menjadi dasar bahwa manusia memiliki
potensi baik sejak awal kelahirannya. Ia bukan makhluk amoral, tetapi
memiliki potensi moral. Juga kelahirannya. Ia bukan makhluk amoral,
tetapi memiliki potensi moral. Juga bukan makhluk yang kosong
seperti kertas putih sebagaimana dianut para pengikut tabula rasa.
Fitrah dalam arti potensi, yaitu kelengkapan yang diberikan pada
saat dilahirkan ke dunia. Potensi yagn dimiliki manusia tersebut
dikelompokkan kepada dua hal, yaitu potensi fisik dan potensi rohani.
Potensi rohaniah adalah akal, qalb, dan nafsu. Akal dalam
pengertian bahasa Indonesia berarti pikiran atau rasio. Harun
Nasution(1986) menyebut akal dalam arti asalnya (bahasa Arab), yaitu
menahan, dan orang ‘aqil di zaman jahiliah yang dikenal dengan darah
panasnya adalah orang yang dapat menahan amarahnya dan oleh
karenanya dapat mengambil sikap dan tindakan yang berisi
kebijaksanaan dalam mengatasi masalah yang dihadapinya. Senada
dengan itu akal dalam Al-Quran diartikan dengan kebijaksanaan
(wisdom), intelegensi(intelligent) dan pengertian(understanding).
Dengan demikian di dalam Al-Quran akan diletakkan bukan hanya
pada ranah rasio tetapi juga rasa bahkan lebih jauh dari itu jika akal
diartikan degnan hilunah atau bijaksana.
Al-qalb berasal dari kata qalaba yang berarti berubah, berpindah
atau berbalik dan menurut Ibn Sayyidah (Ibn Manzur :179) berarti hati.
Musa Asyari (1992) menyebutkan arti al-qalb dengan dua pengertian,
yang pertama pengertian kasar atau fisik, yaitu segumpal daging yang
berbentuk bulat panjang, terletak di dada sebelah kiri, yang sering
disebut jantung. Sedangkan arti yang kedua adalah pengertian yang
halus yang bersifat ketuhanan dan rohaniah yaitu hakikat manusia
yang dapat menangkap segala pengertian, berpengatahuan dan arif.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa akal digunakan
manusia dalam rangka memikirkan alam sedangkan mengingat Tuhan
adalah kegiatan yang berpusat pada qalbu. Keduanya merupakan
kesatuan daya, rohani untuk dapat memahami kebenaran sehingga
manusia dapat memasuki suatu kesadaran tertinggi yang bersatu
dengan kebenaran Ilahi.
Adapun nafsu (bahasa Arab: al-hawa, dalam bahasa Indonesia
sering disebut dengan hawa nafsu) adalah suatu kekuatan yang
mendorong manusia untuk mencapai keinginannya. Dorongan-
dorongan ini sering disebut dengan dorongan primitif, karena sifatnya
bebas tanpa mengenal baik dan buruk. Oleh karena itu nafsu sering
disebut sebagai dorongan kehendak bebas. Dengan nafsu manusia
dapat bergerak dinamis dari suatu keadaan ke keadaan yang lain.
Kecenderungan nafsu yang bebas tersebut jika tidak terkendali dapat
menyebabkan manusia memasuki kondisi yang membahayakan
dirinya. Untuk mengendalikan nafsu manusia menggunakan akalnya
sehingga dorongan-dorongan tersebut menjadi kekuatan positif yang
menggerakkkan manusia ke arah tujuan yang jelas dan baik. Agar
manusia dapat bergerak ke arah yang jelas, maka agama berperan
menunjukkan jalan yang harus ditempuhnya. Nafsu yang terkendali
oleh akal dan berada pada jalur yagn ditunjukkan agama inilah yang
disebut an-nafs al-mutmainnah yagn diungkapkan Al-Quran:
“Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati
yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama'ah
hamba-hamba-Ku, Masuklah ke dalam syurga-Ku”. (Al-Fajr, 89:27-
30)

C. KEDUDUKAN, TUJUAN, TUGAS DAN PROGRAM HIDUP


MANUSIA
Kedudukan manusia yang dimaksud pada artikel ini adalah konsep
yang menunjukkan hubungan manusia dengan Allah dan dengan
lingkungannya. Hubungan manusia dengan allah adalah hubungan
makhluk dengan khaliknya. Secara moral manusiawi manusia
mempunyai kewajiban kepada Allah sebagai khaliknya, yang telah
memberi kenikmatan yang tak terhitung jumlahnya.
Berdasarkan hadits Al-Lu'lu Uwal, kewajiban manusia kepada
Allah pada garis besarnya ada 2 yaitu mentauhidkan-Nya, maksudnya
yakni tidak memusyrikan-Nya kepada sesuatu apapun dan beribadat
kepada-Nya. Orang yang demikian mempunyai hak untuk tidak disiksa
oleh Allah, bahkan akan diberi pahala yang berlipat ganda. Kewajiban
manusia terhadap Allah juga harus diimbangi dengan iman dan amal
saleh. Oleh karena itu, kedudukan manusia dalam islam yang pertama
yaitu manusia sebagai hamba allah.
Tidak hanya sebagai hamba Allah saja, kedudukan manusia dalam
islam yang kedua yaitu manusia sebagai khalifah Allah. Seperti yang
sudah di jelaskan pada ayat sebelumnya mengenai tugas manusia
sebagai khalifah, tentunya manusia sebagai makhluk Allah mendapat
amanat yang harus di pertanggung jawabkan di hadapan-Nya. 
Tugas hidup yang di pikul manusia di muka bumi sebagai tugas
kekhalifahan, yaitu tugas kepemimpinan dan sebagai wakil Allah di
muka bumi untuk mengelola dan memelihara alam. Penegasan ini
mengisyaratkan adanya hubungan antara manusia dengan Tuhan.
Kedudukan manusia di muka bumi sebagai khalifah dan sebagai
makhluk Allah, bukanlah dua hal yang bertentangan melainkan suatu
kesatuan yang padu dan tidak terpisahkan. Kekhalifaan adalah ralisasi
dari pengabdiannya kepada Allah yang yang telah menciptakan
manusia.
Manusia merupakan makhluk yang paling mulia di muka bumi.
Selain diberikan akal untuk berfikir, manusia diberikan jabatan untuk
memimpin di muka bumi yang tidak semua makhluk selainnya
mampu.
Disebut dalam QS. Al-Baqarah ayat 30, tugas manusia di muka
bumi ialah untuk menjadi pemimpin di muka bumi, untuk
memakmurkannya. Memakmurkan, baik dalam arti kesejahteraan
atau ketaatan kepada Allah SWT.

Allah SWT yang dalam QS. Al-Baqarah ayat 30:

ٓ
ُ ‫ ِف‬1‫ا َو َي ۡس‬1‫ ُد ف ِۡي َه‬1‫ا َم ۡن ي ُّۡف ِس‬1‫ ُل ف ِۡي َه‬1‫الُ ۡ ٓوا اَ َت ۡج َع‬1‫ة ؕ َق‬1
‫ك‬ ً ‫ض َخل ِۡي َف‬ َ ‫ا َل َرب‬1‫َوا ِۡذ َق‬
ِ ‫ ٌل فِى ااۡل َ ۡر‬1ِ‫ ِة ِا ِّن ۡى َجاع‬1‫ٕٮ َك‬1ِِٕ ‫ُّك ل ِۡل َم ٰل‬
‫ك َقا َل ِا ِّن ۡ ٓى اَ ۡعلَ ُم َما اَل َت ۡعلَم ُۡو َن‬ َ ‫ۚء َو َن ۡحنُ ُن َس ِّب ُح ِب َح ۡمد‬1ََۚ ‫ال ِّد َمٓا‬
‌َؕ ‫ِك َو ُن َق ِّدسُ لَـ‬
Wa iz qoola rabbuka lil malaaa'ikati innii jaa'ilun fil ardi khaliifatan
qooluuu ataj'alu fiihaa mai yufsidu fiihaa wa yasfikud dimaaa'a wa
nahnu nusabbihu bihamdika wa nuqaddisu laka qoola inniii a'lamu
maa laa ta'lamuun
Artinya: "Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para
malaikat, "Aku hendak menjadikan khalifah di bumi." Mereka berkata,
"Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan
menumpahkan darah di sana, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu
dan menyucikan nama-Mu?" Dia berfirman, "Sungguh, Aku
mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."
Para ulama ahli tafsir mengatakan manusia ditunjuk oleh Allah di
muka bumi untuk menjadi pemimpin. Pemimpin, baik bagi dirinya,
keluarganya, komunitas, maupun negaranya dalam cakupan yang
lebih besar.
Dari pada itu, kesejahteraan yang harus diberikan oleh pemimpin
kepda yang lainnya harus berlandaskan pada nilai-nilai keadilan dan
kesetaraan. Tugas sebagai Khalifah Allah, berarti menjadi wakil Allah
untuk mewujudkan kerahmatan-Nya di muka bumi.
Disamping itu, tugas kekhalifahan di muka bumi dijalankan bukan
dengan kecongkakan dan kesombongan. Akan tetapi harus dijalankan
dengan penuh tanggung jawab, dengan niat murni untuk melakukan
ibadah kepada-Nya.

Dalam QS. Az-Zariyat ayat 56, Allah SWT berfirman:

‫ُون‬ َ ِ ‫ت ْٱل ِجنَّ َوٱإْل‬


ِ ‫نس إِاَّل ِل َيعْ ُبد‬ ُ ‫َو َما َخلَ ْق‬
Arab latin: Wa mā khalaqtul-jinna wal-insa illā liya'budụn
Artinya: "Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan
supaya mereka mengabdi kepada-Ku."
Ayat di atas jelas memberi penegasan bahwa tugas manusia di
muka bumi yaitu untuk menjalankan ibadah. Bila ayat sebelumnya
memaparkan tugasnya sebagai Khalifah di muka bumi, maka
kaitannya dengan ayat ini, yaitu manusia ditugaskan menjadi Khalifah
di muka bumi, dengan menjalankan tugas-tugasnya dengan niat
ibadah.
Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa tujuan hidup dalam
Islam bagi manusia adalah menunaikan penghambaan dan
pengabdian (dalam makna yang luas) kepada Allah Ta'ala.
Sedangkan perannya di muka bumi adalah sebagai khalifah
(pemimpin) di alam semesta ini.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Jadi manusia merupakan makhluk yang luar biasa
kompleks. Sedemikian sempurna manusia diciptakan oleh Sang
Pencipta dan manusia tidak selalu diam karena dalam setiap
kehidupan manusia selalu ambil bagian. Kita sebagai manusia
harus menjadi individu yang berguna untuk diri sendiri dan
orang lain. Manusia itu tidak sepenuhnya sempurna, dalam
kehidupan yang kita jalani pasti selalu ada masalah yang tidak
bisa kita selesaikan, oleh karena itu juga membutuhkan bantuan
dari orang lain, karena manusia adalah makhluk sosial sama
seperti yang lain karena manusia tidak bisa berdiri sendiri,
dalam hal agama kita juga mempunyai banyak maka dari itu
kita harus saling menghargai dan mengasihi karena kita sama-
sama makhluk yang diciptakan tidak ada bedanya , selain itu
dalam hidup manusia juga terdapat banyak aturan yang harus
kita patuhi sebagai umat manusia.
DAFTAR PUSTAKA

http://www.tugasku4u.com/2013/05/makalah-hakikat-
manusia-menurut-islam.html Abuddin Nata, AL-Qur’an dan
Hadits (Dirasah Islamiyah, Jakarta : PT. Raja Grafindo
Persada, 1998. Departemen Agama RI, Pendidikan Agama
Islam Pada Perguruan Tinggi Umum, Jakarta : Direktorat
Jenderal Kelembagaan Agama Islam, 2001. Hamdan Mansoer,
dkk, Materi Instruksional Pendidikan Agama Islam, Jakarta :
Direktorat Perguruan Tinggi Agama Islam, 2004
Murthada Muthahhari, Perspektif Al-Qur’an Tentang
Manusia dan Agama, Bandung : Mizan, 1990. Nanih
Machendrawaty & Agus Ahmad Safei, Pengembangan
Masyarakat Islam, Jakarta : Rineka Cipta, 2004
Muhammadong. 2009. Pendidikan Agama Islam. Makassar :
Tim Dosen Pendidikan Agama Islam Universitas Negeri
Makassar. Abdullah, Abd. Malik. 2009. Pendidikan Agama
Islam. Makassar : Tim Dosen Penididikan Agama Islam
Universitas Negeri Makassar.

Anda mungkin juga menyukai