Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

Berbicara dan berdiskusi tentang manusia selalu menarik. Karena selalu menarik, maka
masalahnya tidak pernah selesai dalam artia tuntas. Manusia merupakan makhluk yang paling
menakjubkan, makhluk yang unik multi dimensi, serba meliputi, sangat terbuka, dan mempunyai
potensi yang agung.

Manusia dalam pandangan kebendaan (materialis) hanyalah merupakan sekepal tanah di


bumi. Dari bumi asal kejadiannya, di bumi dia berjalan, dari bumi dia makan dan kedalam bumi
dia kembali.

Dalam pandangan orang yang beriman, manusia itu makhluk yang mulia dan terhormat
pada sisi Tuhan. Manusia diciptakan Tuhan dalam bentuk yang amat baik, setelah itu ditiup Roh
ke dalam tubuhnya, para malaikat diharuskan sujud (memberi hormat) kepadanya. Tuhan
memberi manusia ilmu pengetahuan dan kemauan, dijadikan khalifah (penguasa) di bumi dan
menjadi pusat kegiatan di alam ini. Segala apa yang ada di langit dan di bumi, semuanya bekerja
untuk kepentingan manusia, dan kepadanya di berikan nikmat lahir dan batin.

Al-Qur'an memberi keterangan tentang manusia dari banyak seginya, Dari ayat-ayat Al-
Qur’an, dapat disimpulkan bahwa manusia adalah makhluk fungsional yang bertanggung jawab,
pada surat al-Mu'minun ayat 115 Allah bertanya kepada manusia sebagai berikut : "Apakah
kamu mengira bahwa kami menciptakan kamu sia-sia, dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan
kepada Kami?"

Dari ayat ini, menurut Ahmad Azhar Basyir, terdapat tiga penegasan Allah yaitu [1]
manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan, [2] manusia diciptakan tidak sia-sia, tetapi berfungsi,
dan [3] manusia akhirnya akan dikembalikan kepada Tuhan, untuk mempertanggungjawabkan
semua perbuatan yang dilakukan pada waktu hidup di dunia ini, dan perbuatan itu tidak lain
adalah realisasi daripada fungsi manusia itu sendiri.
BAB II

A. Hakikat Manusia

1. Pengertian Hakikat

Menurut bahasa, hakikat berarti kebenaran atau sesuatu yang sebenar-benarnya atau asal
segala sesuatu. Dapat juga dikatakan hakikat itu adalah inti dari segala sesuatu atau yang menjadi
jiwa sesuatu. Dikalangan tasawuf orang mencari hakikat diri manusia yang sebenarnya, karena
itu muncul kata-kata diri mencari sebenar-benar diri. Sama dengan pengertian itu mencari
hakikat jasad, hati, roh, nyawa, dan rahasia. Jadi hakekat manusia adalah kebenaran atas diri
manusia itu sendiri sebagai makhluk yang diciptakan oleh Allah SWT.

Dengan demikian al-Quran tidak berbicara tentang proses penciptaan manusia pertama. Yang
dibicarakan secara terinci namun dalam ungkapan yang tersebar adalah proses terciptanya
manusia dari tanah, saripati makanan, air yang kotor yang keluar dari tulang sulbi, alaqah,
berkembang menjadi mudgah, ditiupkannya ruh, kemudian lahir ke dunia setelah berproses
dalam rahim ibu.

2. Pengertian Manusia menurut agama islam

Dalam Al-Quran manusia dipanggil dengan beberapa istilah, antara lain al-insaan, al-naas, al-
abd, dan bani adam dan sebagainya. Al-insaan berarti suka, senang, jinak, ramah, atau makhluk
yang sering lupa. Al-naas berarti manusia (jama’). Al-abd berarti manusia sebagai hamba Allah.
Bani adam berarti anak-anak Adam karena berasal dari keturunan nabi Adam. Namun dalam
Al-Quran dan Al-Sunnah disebutkan bahwa manusia adalah makhluk yang paling mulia dan
memiliki berbagai potensi serta memperoleh petunjuk kebenaran dalam menjalani kehidupan di
dunia dan akhirat.

Menurut OMAR MOHAMMAD AL-TOUMY AL-SYAIBANY, Manusia adalah mahluk


yang paling mulia, manusia adalah mahluk yang berfikir, dan manusia adalah mahluk yang
memiliki 3 dimensi (badan, akal, dan ruh), manusia dalam pertumbuhannya dipengaruhi faktor
keturunan dan lingkungan.
3. Hakikat manusia menurut pandangan Islam
1. Sebagai Hamba Allah

Hakikat manusia yang utama adalah sebagai hamba atau abdi Allah SWT. Sebagai
seorang hamba maka manusia wajib mengabdi kepada Allah SWT dengan cara menjalani segala
perintahnya dan menjauhi segala larangannya. Sebagai seorang hamba, seorang manusia juga
wajib menjalankan ibadah seperti shalat wajib, puasa ramadhan (baca puasa ramadhan dan
fadhilahnya), zakat (baca syarat penerima zakat dan penerima zakat), haji (syarat wajib haji) dan
melakukan ibadah lainnya dengan penuh keikhlasan dan segenap hati sebagaimana yang
disebutkan dalam ayat berikut ini

“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan
ketaatan kepada-Nya dalam menjalankan agama yang lurus …,” (QS:98:5).

2. Sebagai al- Nas

Dalam al- Qur’an manusia juga disebut dengan al- nas. Kata al nas dalam Alquran
cenderung mengacu pada hakikat manusia dalam hubungannya dengan manusia lain atau dalam
masyarakat. Manusia sebagaimana disebutkan dalam ilmu pengetahuan, adalah makhluk sosial
yang tidak dapat hidup tanpa keberadaan manusia lainnya (baca keutamaan menyambung tali
silaturahmi). Sebagaimana yang dijelaskan dalam firman Allah SWT berikut

“Hai sekalian manusia, bertaqwalaha kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari
seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan istirinya, dan dari pada keduanya Alah
memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah
dengan (mempergunakan) namanya kamu saling meminta satu sama lain dan peliharalah
hubungan silaturahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” (QS: An
Nisa:1).

“Hai manusia sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling
kenal-mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu disisi Allah adalah yang
paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
(QS: Al Hujurat :13).

3. Sebagai khalifah Allah

Telah disebutkan dalam tujuan penciptaan manusia bahwa pada hakikatnya, manusia
diciptakan oleh Allah SWt sebagai khlaifah atau pemimpin di muka bumi.(baca fungsi alqur’an
bagi umat manusia)

“Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (peguasa) di muka bumi,
maka berilah keputusan di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti
hawa nafsu. Karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. …”(QS Shad:26).

Sebagai seorang khalifah maka masing-masing manusia akan dimintai pertanggung jawabannya
kelak di hari akhir.

4. Sebagai Bani Adam

Manusia disebut sebagai bani Adam atau keturunan Adam agar tidak terjadi
kesalahpahaman bahwa manusia merupakan hasil evolusi kera sebagaimana yang disebutkan
oleh Charles Darwin. Islam memandang manusia sebagai bani Adam untuk menghormati nilai-
nilai pengetahuan dan hubungannya dalam masyarakat. Dalam Alqur’an Allah SWT berfirman

“Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup
auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian taqwa itulah yang paling baik. Yang
demikian itu adalah sebagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, semoga mereka selalu ingat. Hai
anak Adam janganlah kamu ditipu oleh syaitan sebagaimana ia telah mengeluarkan kedua ibu
bapamu dari surga, …” (QS : Al araf 26-27).

5. Sebagai al- Insan

Tidak hanya disebut sebagai al nas, dalam Alqur’an manusia juga disebut sebagai Al
insan merujuk pada kemampuannya dalam menguasai ilmu dan pengetahuan serta
kemampuannya untuk berbicara dan melakukan hal lainnya (baca hukum menuntut ilmu).
Sebagaimana disebutkan dalam surat Al hud berikut ini

“Dan jika Kami rasakan kepada manusia suatu rahmat, kemudian rahmat itu kami cabut
dari padanya, pastilah ia menjadi putus asa lagi tidak berterima kasih.” (QS: Al Hud:9).

6. Sebagai Makhluk Biologis (al- Basyar)

Manusia juga disebut sebagai makhluk biologis atau al basyar karena manusia memiliki
raga atau fisik yang dapat melakukan aktifitas fisik, tumbuh, memerlukan makanan, berkembang
biak dan lain sebagainya sebagaimana ciri-ciri makhluk hidup pada umumnya. Sama seperti
makhluk lainnya di bumi seperti hewan dan tumbuhan, hakikat manusia sebagai makhluk
biologis dapat berakhir dan mengalami kematian, bedanya manusia memiliki akal dan pikiran
serta perbuatannya harus dapat dipertanggungjawabkan kelak di akhirat.

Segala hakikat manusia adalah fitrah yang diberikan Allah SWT agar manusia dapat
menjalankan peran dan fungsinya dalam kehidupan. Manusia sendiri harus dapat memenuhi
tugas dan perannya sehingga tidak menghilangkan hakikat utama penciptaannya.
B. Martabat Manusia

Martabat saling berkaitan dengan maqam, maksud nya adalah secara dasarnya maqam
merupakan tingkatan martabat seseorang hamba terhadap khalikNya, yang juga merupakan
sesuatu keadaan tingkatannya seseorang sufi di hadapan tuhannya pada saat dalam perjalanan
spritual dalam beribadah kepada Allah Swt. Maqam ini terdiri dari beberapa tingkat atau tahapan
seseorang dalam hasil ibadahnya yang di wujudkan dengan pelaksanaan dzikir pada tingkatan
maqam tersebut, secara umum dalam thariqat naqsyabandi tingkatan maqam ini jumlahnya ada 7
(tujuh), yang di kenal juga dengan nama martabat tujuh, seseorang hamba yang menempuh
perjalanan dzikir ini biasanya melalui bimbingan dari seseorang yang alim yang paham akan isi
dari maqam ini setiap tingkatnya, seseorang hamba tidak di benarkan sembarangan
menggunakan tahapan maqam ini sebelum menyelesaikan atau ada hasilnya pada riyadhah dzikir
pada setiap maqam, ia harus ada mendapat hasil dari amalan pada maqam tersebut.

Tingkat martabat seseorang hamba di hadapan Allah Swt mesti melalui beberapa proses sebagai
berikut :

• Taubat
• Memelihara diri dari perbuatan yang makruh, syubhat dan apalagi yang haram
• Merasa miskin diri dari segalanya
• Meninggalkan akan kesenangan dunia yang dapat merintangi hati terhadap tuhan yang
maha esa
• Meningkatkan kesabaran terhadap takdirNya
• Meningkatkan ketaqwaan dan tawakkal kepadaNya
• Melazimkan muraqabah (mengawasi atau instropeksi diri)
• Melazimkan renungan terhadap kebesaran Allah SwtMeningkatkan hampir atau
kedekatan diri terhadapNya dengan cara menetapkan ingatan kepadaNya
Dengan melalui latihan di atas melalui amalan dzikir pada maqamat, maka seseorang hamba
akan muncul sifat berikut :

 Ketenangan jiwa
 Harap kepada Allah Swt
 Selalu rindu kepadaNya dan suka meningkatkan ibadahnya
 Muhibbah, cinta kepada Allah Swt.

Untuk mendapatkan point di atas, seseorang hamba harus melalui beberapa tingkatan maqam di
bawah ini, tetapi melaluinya adalah amalan dzikir pada maqam yang 7 (tujuh), adapun hasilnya
akan dapat di uraikan dengan beberapa maqam sifat, yaitu :

 Taubat
 Zuhud
 Sabar
 Syukur
 Khauf (takut)
 Raja’ (harap)
 Tawakkal
 Ridha
 Muhibbah.
C. Tanggung Jawab Manusia

Manusia di dalam hidupnya disamping sebagai makhluk Tuhan, makhluk individu, juga
merupakan makhluk sosial. Di mana dalam kehidupannya di bebani tanggung jawab, mempunyai
hak dan kewajiiban, dituntut pengabdian dan pengorbanan. Tanggung jawab itu sendiri
merupakan sifat yang mendasar dalam diri manusia. Selaras dengan fitrah. Tapi bisa juga
tergeser oleh faktor eksternal. Setiap individu memiliki sifat ini. Ia akan semakin membaik bila
kepribadian orang tersebut semakin meningkat. Ia akan selalu ada dalam diri manusia karena
pada dasarnya setiap insan tidak bisa melepaskan diri dari kehidupan sekitar yang menunutut
kepedulian dan tanggung jawab.

Inilah yang menyebabkan frekuensi tanggung jawab masing-masing individu berbeda,


Tanggung jawab mempunyai kaitan yang sangat erat dengan perasaan. Tanggung jawab juga
berarti berbuat sebagai perwujudan kesadaran akan kewajibannya.

1. Tanggung Jawab Secara Umum


 Tanggung jawab terhadap dirinya sendiri

Manusia dalam hidupnya mempunyai “harga”, sebagai mana kehidupan manusia mempunyai
beban dan tanggung jawab masing-masing.

 Tanggung jawab terhadap keluarga

Keluarga terdiri dari ayah, ibu, dan anak, dan juga orang lain yang menjadi anggota keluarga.
Tiap anggota keluarga wajib bertanggung jawab kepada keluarganya.

 Tanggung jawab terhadap masyarakat

Pada hakikatnya manusia tidak dapat hidup tanpa bantuan orang lain, sesuai dengan
kedudukanya sebagai makhluk sosial. Karena membutuhkan manusia lain, maka ia harus
berkomunikasi dengan manusia lain tersebut. Sehingga dengan demikian manusia di sini
merupakan anggota masyarakat yang tentunya mempunyai tanggung jawab seperti anggota
masyarakat yang lain agar dapat melangsunggkan hidupnya dalam masyarakat tersebut.
 Tanggung jawab terhadap Bangsa / Negara

Suatu kenyataan bahwa setiap manusia, setiap individu adalah warga negara suatu negara. Dalam
berfikir, berbuat, bertindak, bertingkah laku manusia terikat oleh norma-norma atau ukuran-
ukuran yang dibuat oleh negara. Manusia tidak bisa berbuat semaunya sendiri. Bila perbuatan
manusia itu salah, maka ia harus bertanggung jawab kan kepada negara.

 Tanggung jawab terhadap Tuhan

Manusia mempunyai tanggung jawab langsung kepada Tuhan. Sehingga tindakan manusia tidak
bisa lepas dari hukum-hukum Tuhan yang dituangkan dalam berbagai kitab suci melalui berbagai
macam agama.

2. Tanggung jawab manusia menurut ajaran Islam

 Bertanggung jawab sebagai khalifah dan hamba Allah. Sebagai khalifah, manusia
mempunyai kewajiban untuk mengelola dan memanfaatkan alam demi mencapai
kemakmuran dan kebahagiaan di dunia dan sebagai hamba Allah manusia wajib untuk
beribadah demi mencapai kebahagiaan di akhirat kelak.
 Bertanggung jawab kepada diri sendiri, keluarga, lingkungan masyarakat, negara dan
agama dengan menggunakan akal, hati dan nafsunya.
 Bertanggung jawab atas keseimbangan keduanya, baik sebagai khalifah ataupun sebagai
hamba Allah dengan melaksanakan kewajiban - kewajibannya untuk memperoleh hak -
haknya.

“Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.
Aku tidak menghendaki rizki sedikitpun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka
memberi Aku makan. Sesungguhnya Allah Dialah Maha Pemberi rizki Yang Mempunyai
Kekuatan lagi Sangat Kokoh.” (QS.Adz Dzariat : 56-58)
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Manusia telah dianugrahi potensi yang sempurna untuk hidup di dunia, yaitu akal, nafsu,
dan qalbu. Akal diarahkan kepada alam melalui proses tafakur, sehingga manusia dapat
menguasai ilmu dan teknologi sebagai pelaksanaan tugas kekhalifahannya, dan manusia
mempunyai hakikat, martabat, serta tanggung jawab nya masing-masing. Sementara qalbu yang
diarahkan kepada penghayatan firman-firman Allah melalui proses dzikir melahirkan keimanan
sebagai bentuk pelaksanaan tugas ke-abdullah-annya.

Penggunaan potensi akal secara terpisah dari qalbu akan melahirkan materialisme yang
kering dan hampa. Sementara penggunaan qalbu terpisah dari akal melahirkan mistisisme yang
statis dan beku. Karena itu, seluruh potensi yang dimiliki manusia semestinya digunakan secara
terpadu. Keterpaduan dalam penggunaan potensi dan tugas tersebut akan mewujudkan sosok
manusia yang utuh dan sempurna.
Daftar Pustaka

Trianto. 2006. Wawasan Ilmu Alamiah Dasar. Surabaya : Prestasi Pustaka.

Muchsin, dkk. 1984. Dasar-Dasar Agama Islam. Jakarta : Bulan Bintang.

Sauri Sofyan. 2004. Pendidikan Agama Islam. Bandung : Alfabeta.

http://ratrismart.blogspot.com/2010/04/pengertian-manusia.html

http://carapedia.com/pengertian_definisi_manusia_menurut_para_ahli_info508.html

http://wadahsufiyah.blogspot.com/2011/07/pengertian-maqam-dan-martabat.html

http://bacaebookgratis.wordpress.com/2011/06/03/9-manusia-dan-tanggung-jawab-2/

Anda mungkin juga menyukai