Anda di halaman 1dari 11

KONSEP DAN FUNGSI MANUSIA DALAM ALQUR’AN

DOSEN PENGAMPU :

Dra. HALIMATUSSAKDIYAH SILITONGA, M.Ag

DISUSUN OLEH :

YUNI ARISKA LUBIS

HARNITA

FARIDA HARIYANI

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM BAHRIYATUL ULUM

KHZ.ARIFIN TAP.TENG

PANDAN

T.A 2021
A. Hakikat Manusia

Manusia adalah makhluk Allah yang paling sempurnah dan sebaik-baik ciptaan yang
dilengkapi dengan akal fikiran. Dalam hal ini Ibn ‘Arabi misalnya melukiskan hakikat
manusia dengan mengatakan bahwa “tak ada makhluk Allah yang lebih bagus dari pada
manusia, yang memiliki daya hidup, mengetahui, berkehendak, berbicara, melihat,
mendengar, berfikir dan memutuskan. Manusia adalah makhluk kosmis yang sangat penting
karena dilengkapi dengan semua pembawaan dan syarat-ayarat yang diperlukan bagi
mengemban tugas dan fungsinya sebagai makhluk Allah dimuka bumi.
Tugas manusia dalam pandangan Islam adalah memakmurkan bumi dengan cara
memanifestasikan potensi Tuhan dalam dirinya. Dengan kata lain manusia sesungguhnya
diperintahkan untuk mengembangkan sifat-sifat Tuhan menurut perintah dan petunjuknya.
Al-Qur’an adalah kitabullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. untuk segenap
manusia. Di dalamnya Allah menyapa akal dan perasaan manusia, mengajarkan tauhid
kepada manusia, menyucikan manusia dengan berbagai ibadah, menunjukkan manusia
kepada hal-hal yang dapat membawa kebaikan serta kemaslahatan dalam kehidupan
individual dan sosial manusia, membimbing manusia kepada agama yang luhur agar
mewujudkan diri, mengembangkan kepribadian manusia, serta meningkatkan diri manusia ke
taraf kesempurnaan insani. Sehingga, manusia dapat mewujudkan kebahagiaan di dunia dan
akhirat.
Al-Qur’an juga mendorong manusia untuk merenungkan perihal dirinya, keajaiban
penciptaannya, serta keakuratan pembentukannya. Sebab, pengenalan manusia terhadap
dirinya dapat mengantarkannya pada ma’rifatullah, sebagaimana tersirat dalam Surah at-
Taariq [86] ayat 5-7.

Artinya :

“ Maka, hendaklah manusia merenungkan, dari apa yang ia diciptakan, ia diciptakan dari air yang
terpancar, yang keluar dari antara tulang sulbi dan tulang dada”. (Q.S at-tariq 5-7)

M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Tematik atas Pelbagai Persoalan Umat (Bandung:


Mizan, 2007), h. 367.

1
Berkaitan dengan hal ini, terdapat sebuah atsar yang menyebutkan bahwa  “Barang
siapa mengenal dirinya, niscaya ia mengenal Tuhan-nya.”
Di samping itu, Al-Qur’an juga memuat petunjuk mengenai manusia, sifat-sifat dan
keadaan psikologisnya yang berkaitan dengan pembentukan gambaran yang benar tentang
kepribadian manusia, motivasi utama yang menggerakkan perilaku manusia, serta faktor-
faktor yang mendasari keselarasan dan kesempurnaan kepribadian manusia dan terwujudnya
kesehatan jiwa manusia.

B. Konsep manusia dalam al-qur’an


Pada awalnya, tulisan Konsep Manusia dalam Al-Qur’an ini terinspirasi dari banyaknya kata
yang digunakan dalam penyebutan manusia di Al-Qur’an.
Manusia Sebagai ‘Abd Allah, Sebagai hamba Allah manusia harus mengabdi kepada Allah
sebagai Sang Pencipta. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat at-Taubah ayat 112,

“Mereka itu adalah orang-orang yang bertobat, yang beribadah, yang memuji (Allah), yang
melawat, yang rukuk, yang sujud, yang menyuruh berbuat makruf dan mencegah berbuat
mungkar dan yang memelihara hukum-hukum Allah. Dan gembirakanlah orang-orang mukmin
itu.” (QS. At-Taubah: 112)
Dalam tafsir Ibnu Katsir, sebagai seorang ‘aabid, maka manusia harus menegakkan
ibadahnya dan memeliharanya dengan baik. Baik ibadah yang berkaitan dengan lisan maupun
amaliah. Kata ‘aabid dalam Al-Qur’an disebutkan sebanyak 11 kali.
Sebagai seorang hamba, kita harus patuh dan tunduk kepada Allah Swt. Menjalankan apa
yang telah menjadi kewajiban dan menjadikannya sebagai suatu kebutuhan, yang mana apabila
ditinggal mengakibatkan suatu keresahan. Dan juga menjauhi apa yang telah menjadi larangan-
Nya. Serta bisa dikatakan bahwa ‘aabid adalah sosok hamba yang taat dan ikhlas dalam beribadah
kepada Rabb-nya.

 Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, (Jogjakarta: Ar-Ruzzmedia, 2006) h.91

2
Manusia Sebagai an-Naas Konsep ini cenderung kaitannya antara manusia dengan
lingkungan sosialnya. Manusia merupakan makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri.
Hal tersebut sesuai dengan firman Allah dalam surat al-Hujurat ayat 13

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal
mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang
paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
(QS. Al-Hujurat: 13)
Maksud dari penggunaan kata naas dalam menyeru hambanya, berarti menunjukkan kepada
seluruh hamba tanpa terkecuali. Penggunaan kata naas disitu berkaitan dengan dianjurkannya
untuk saling kenal mengenal. Allah telah menjadikan kita bersuku-suku dan berbangsa-bangsa,
yang mana pastinya setiap suku dan bangsa tersebut memiliki ciri tersendiri. Hingga ciri tersebut
dapat memudahkan kita untuk saling mengenal antara satu dengan yang lainnya.
Manusia Sebagai Khalifah Allah Sebagai khalifah, manusia memiliki tugas untuk
mengemban amanah, memanfaatkan bumi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya, serta
menjaga keseimbangan alam. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 30

“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak
menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak
menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan
menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan
Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (QS.
Al-Baqarah: 30)

___________________________________________________________________________
Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, (Jogjakarta: Ar-Ruzzmedia, 2006) h.91
3
Dalam tafsir Ibnu Katsir, maksud diciptakannya manusia sebagai khalifah ialah untuk
mewakili dan melaksanakan hukum-hukum dan peraturan-peraturan Allah Swt. Menjadikan
manusia sebagai manusia di muka bumi, berarti menjadikannya sebagai pemimpin dan pengatur
atas proses berjalannya kehidupan.
Manusia Sebagai al-Insan Manusia dalam hal ini berkaitan dengan potensi yang
dimilikinya, yang mana potensi itu mendorong manusia untuk berkreasi dan berinovasi. Manusia
dalam konsep ini, menunjukkan bahwa manusia selalu berkembang untuk menuju kesempurnaan.
Sebagai insan seperti yang disebutkan dalam surat al-‘Alaq, bahwa manusia ialah sosok yang
sempurna dan mulia, dikarenakan oleh ilmu yang dimilikinya. Namun sebagai al-Insan, manusia
juga memiliki sisi negatif, yakni manusia tidak bisa lepas dari sifat kelupaannya. Hal ini sesuai
dengan firman Allah dalam surat Hud ayat 9,

“Dan jika Kami rasakan kepada manusia suatu rahmat (nikmat) dari Kami, kemudian
rahmat itu Kami cabut daripadanya, pastilah dia menjadi putus asa lagi tidak berterima kasih.”
(QS. Hud: 9)
Manusia Sebagai Makhluk Biologis (Basyar) Manusia dalam konsep ini, menunjukkan
manusia hanya sebagai makhluk yang berada (berwujud), yang erat hubungannya dengan
perkembangbiakkan, pertumbuhan, perkembangan, dan juga kebutuhan dalam kehidupan
(makanan) dan akhirnya sampai pada kematian. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat
Al-Mu’minun ayat 12-14,

“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah,
Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim),
Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan
segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu
Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka
Maha Suci lah Allah, Pencipta Yang Paling Baik.” (QS. Al-Mu’minun: 12-14).

 M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, h. 369.

4
C. Fungsi manusia dalam al-qur’an

Agama Islam mengajarkan bahwa manusia memiliki dua predikat, yaitu sebagai hamba
Allah (`abdullah) dan sebagai wakil Allah (khalifatullah) di muka bumi. Sebagai hamba
Allah, manusia adalah kecil dan tak memiliki kekuasaan. Oleh karena itu, tugasnya hanya
menyembah kepada-Nya dan berpasrah diri kepada-Nya. Tetapi sebagai khalifatullah,
manusia diberi fungsi sangat besar, karena Allah Maha Besar maka manusia sebagai wakil-
nya di muka bumi memiliki tanggung jawab dan otoritas yang sangat besar.

Di dalam Al Qur’an disebutkan fungsi yang diberikan Allah kepada manusia.

• Menjadi abdi Allah. Secara sederhana hal ini berarti hanya bersedia mengabdi kepada Allah
dan tidak mau mengabdi kepada selain Allah termasuk tidak mengabdi kepada nafsu dan
syahwat. Yang dimaksud dengan abdi adalah makhluk yang mau melaksanakan apapun
perintah Allah meski terdapat resiko besar di dalam perintah Allah. Abdi juga tidak akan
pernah membangkang terhadap Allah. Hal ini tercantum dalam QS Az Dzariyat : 56

“Dan tidak Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembahKu”

• Menjadi saksi Allah. Sebelum lahir ke dunia ini, manusia bersaksi kepada Allah bahwa
hanya Dialah Tuhannya.Yang demikian dilakukan agar mereka tidak ingkar di hari akhir
nanti. Sehingga manusia sesuai fitrahnya adalah beriman kepada Allah tapi orang tuanya
yang menjadikan manusia sebagai Nasrani atau beragama selain Islam. Hal ini tercantum
dalam QS Al A’raf : 172

___________________________________________________________________________

Aisyah Abdurrahman Bintusy Syathi’, Manusia, h. 14.

5
“Dan (ingatlah), keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil
kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman):”Bukankah Aku ini Tuhanmu?”. Mereka
menjawab:”Betul (Engkau Tuhan Kami),kami menjadi saksi”.(Kami lakukan yang demikian
itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan:”Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah
orang-orang yang lengah terhadap ini(keesaan Tuhan)”
• Khalifah Allah sebenarnya adalah perwakilan Allah untuk berbuat sesuai dengan misi yang
telah ditentukan Allah sebelum manusia dilahirkan yaitu untuk memakmurkan bumi.
Khalifah yang dimaksud Allah bukanlah suatu jabatan sebagai Raja atau Presiden tetapi yang
dimaksud sebagai kholifah di sini adalah seorang pemimpin Islam yang mampu
memakmurkan alam dengan syariah-syariah yang telah diajarkan Rosulullah kepada umat
manusia. Dan manusia yang beriman sejatilah yang mampu memikul tanggung jawab ini.
Karena kholifah adalah wali Allah yang mempusakai dunia ini.
Sehingga seorang khalifah harus benar-benar memiliki akhlak Al Quran dan Al Hadis.
Dengan berpedoman pada QS Al Baqarah:30-36, maka status dasar manusia adalah sebagai
khalifah (makhluk penerus ajaran Allah) sehingga manusia harus :

Belajar. Manusia sebagai khalifah harus mau belajar. Obyek belajar nya adalah ilmu Allah
yang berwujud Al Quran dan ciptaanNya.Hal ini tercantum juga di dalam QS An Naml: 15-16
dan QS Al Mukmin: 54

Mengajarkan Ilmu. Khalifah yang telah diajarkan ilmu Allah maka wajib untuk
mengajarkannya kepada manusia lain.Yang dimaksud dengan ilmu Allah adalah Al Quran dan
juga Al Bayan
Membudayakan Ilmu. Ilmu Allah tidak hanya untuk disampaikan kepada manusia lain
tetapi juga untuk diamalkan sehingga ilmu yang terus diamalkan akan membudaya. Hal ini
tercantum pula di dalam QS Al Mu’min:35 .

____________________________________________________________________________
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Tematik atas Pelbagai Persoalan Umat (Bandung: Mizan,
2007), h. 367.

6
Dari ketiga peran tersebut,maka semua yang dilakukan oleh khalifah harus untuk
kebersamaan sesama umat manusia dan hamba Allah serta pertanggungjawabannya kepada Allah,
diri sendiri, dan masyarakat.

__________________________________________________________________________
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Tematik atas Pelbagai Persoalan Umat (Bandung:
Mizan, 2007), h. 367.
7
 D. Kesimpulan

Manusia adalah manusia dengan segala potensialitasnya. Ia dapat memilih hendak


mendayagunakan potensialitas itu dan kemudian menyempurnakan diri menjadi hamba
Tuhan yang sebenarnya. Sebagaimana seperti yang dijelaskan dalam al-Qur’an bahwa
manusia itu memiliki beberapa redaksi antaranya ialah “al-Nas” yang artinya bahwa manusia
itu mempunya jiwa social. Dengan kata lain bahwa manusia itu saling membutuhkan antar
satu sama lain.
Manusia Sebagai khalifah fil ardl manusia diberikan kewenangan untuk memanfaatkan
bumi Allah sebagai tempat tinggal. Baik buruknya bumi dipercayakan kepada manusia. Oleh
karena itu, jika saat ini bumi semakin tidak bersahabat maka sebenarnya keadaan itu adalah
ulah tangan-tangan usil manusia sendiri.
Begitu juga penggunaan kata al-Nas dalam al-Qur’an sebanyak 241 kali dalam ragam
penyebutan maksud yang bermacam-macam. Hal tersebut dapat ditunjukkan oleh suatu ayat
dengan melihat konteks kalimat tersebut atau melihat kolerasi (munasabahnya) dengan ayat-
ayat yang lain.
Dalam penunjukan maknanya, walaupun kata al-nas merupakan bentuk plural, namun
di dalam Al-qur’an ia tidak selalu menunjukkan kepada makna plural. Adakalanya ia
menunjukkan hanya kepada satu orang, beberapa kelompok manusia dan adakalanya ia
menunjukkan makna untuk manusia secara keseluruhannya.
E. Daftar pustaka

Ismail Raj’I al-Faruqi, Islam dan kebudayaan,(Bandung: Mizan, 1994), h.37


Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, (Jogjakarta: Ar-Ruzzmedia, 2006) h.91
Muhammad Utsman Najati, Psikologi dalam Al-Qur’an: Terapi Qur’ani dalam Penyembuhan Gangguan
Kejiwaan, (Bandung: Pustaka Setia, 2005), h. 11.
Al-Qur’an dan Terjemahannya, Jakarta: Depag RI, 2000
Muhammad Fuad ‘Abd al-Baqi, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfaz Al-Qur’an Al-
Karim (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), h. 153
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Tematik atas Pelbagai Persoalan Umat (Bandung:
Mizan, 2007), h. 367.
Aisyah Abdurrahman Bintusy Syathi’, Manusia Sensitivitas Hermeneutika Al-Qur’an, terj. M. Adib al-
Arief (Yogyakarta: LKPSM, 1997), h. 7.

Anda mungkin juga menyukai