Dosen Fasilitator :
Eka Misbahatul M.H., S.Kep., Ns., M.Kes
Disusun Oleh :
KELOMPOK 5
PENDAHULUAN
Sebagai insan yang beriman, tentunya tidak diragukan lagi keyakinan dalam diri
kita, bahwa manusia adalah ciptaan Allah, dilahirkan ke dunia pertama kali dalam
bentuk manusia, kemudian menjalani masa kehidupan di dunia, sampai akhirnya saat
yang ditentukan tiba, yaitu kembali kepada pencipta, Allah Maha Kuasa. Allah swt
sebagai pencipta manusia, tentu saja mempunyai kekuatan besar untuk mematikan
(mengambil kembali) makhluk ciptaan-Nya. Jadi kematian adalah hukum Allah
yang pasti. Ruh yang tiada itu tentu saja akan kembali pada Allah dengan proses yang
tak terjangkau akal kita. Kita harus ingat bahwa manusia sebagai makhluk tentu tidak
akan sama dengan penciptanya (Allah), karena itu akal kita tidak bisa menjangkau ke
wilayah yang disana hanya ada kekuasaan Allah.
Oleh karena itu, maka sudah seharusnya sebagai manusia yang beriman mengoptimalkan
anugerah Allah SWT berupa pendengaran, penglihatan dan hati untuk mendengar, melihat
dan memahami ayat-ayat Allah SWT, agar keimanan senantiasa bertambah, sehingga terus
bersemangat untuk membelkali diri dengan ketakwaan atau pengabdian kepada Allah SWT
dalam rangka menyongsong kehidupan yang abadi di akhirat kelak dengan penuh
kebahagiaan dan kesejahteraan.
1.2 TUJUAN
1.1.1 TUJUAN UMUM
Mengenal Manusia sebagai mahluk Allah (Makrifatul Insan)
1.1.2 TUJUAN KHUSUS
a. Mampu menjelaskan definisi manusia
b. Mampu menjelaskan hakikat penciptaan manusia
c. Mampu menjelaskan proses penciptan manusia
d. Mampu menjelaskan potensi manusia
e. Mampu menjelaskan jiwa manusia
f. Mampu menjelaskan sifat manusia
g. Mampu menjelaskan tujuan manusia sebagai mahluk Allah
h. Mampu menjelaskan tugas manusia terhadap diri sendiri, orang lain dan
lingkungan.
i. Mampu menjelaskan hakikat ibadah
j. Mampu menjelaskan cakupan ibadah dan diterimanya ibadah
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Penyebutan kata manusia dalam al Qur’an diwakili oleh beberapa kata, yaitu: ‘abdun
(hamba), al insan (manusia), an nas (masyarakat atau sekumpulan manusia), bani adam
(keturunan Nabi Adam), khalifah fil ardl (khalifah di bumi), dan al basyar (makhluk
biologis). Masing-masing dari keenam istilah ini merupakan perwakilan dari enam karakter
dasar manusia yang jika kita gabungkan akan membentuk sebuah kesimpulan tentang hakekat
manusia. Berikut adalah penjelasan singkat satu-persatu dari lima sebutan
al- Qur’an terhadap manusia di atas selain ‘abdun.
Sebutan ini sangat erat kaitannya dengan ucapan ahli mantiq “al insan
hayawan an nathiq” yang artinya manusia adalah makhluk yang berakal. Berdasarkan
pernyataan ini, kata insan identik dengan kesempurnaan manusia sebagai makhluk yang
berakal, berbicara, dan menentukan kebaikan suatu perkara. Dalam beberapa ayat, kata ini
menunjukkan bahwa Allah menciptakan manusia dengan sebaik-baik penciptaan. Disisi lain,
ada juga beberapa ayat yang menunjukkan bahwa manusia adalah makhluk lemah, sering
lalai, dan memerlukan bimbingan.
Kata insan dalam al Quran disebutkan sebanyak 64 kali. Kata ini dalam al
Qur’an sering digunakan sebagai perbandingan dari kata jin. Berdasarkan kata
dasarnya, insan berasal dari kata نسي، أنّس،( أنسAnasa, Annasa, Nasiya). Kata
anasa bisa diartikan melihat, memperhatikan, kata annasa bisa diartikan lembut,
jinak, ramah, dan kata nasiya bisa diratikan dengan lupa. Dari ketiga kata
dasarnya, dapat kitasimpulkan manusia adalah makhluk yang mampu mempelajari
sesuatu dengan akal dan indranya, makhluk yang lemah sehingga membutuhkan
orang lain, dan makhluk yang memiliki sifat pelupa. Dengan kata lain, kata insan merupakan
gambaran manusia dengan seluruh potensi yang dimilikinya baik dari sisi positif negatifnya,
kelebihan dan kekurangan baik yang secara dlohir maupun batin, fisik maupun psikisnya.
Secara bahasa, kata ini merupakan bentuk jamak dari kata insan. Dalam al
Qur’an, kata ini sering digunakan untuk menyeru sekumpulan manusia. pada surat
al Hujurat ayat tigabelas dengan gamblang disebutkan maksud dari an nas adalah
makhluk yang diciptakan bersuku-suku, berbagai macam budaya dan adatnya. Dengan
penjelasan ini, dapat kita simpulkan penyebutan manusia dengan kata
an nas bertujuan untuk menunjukkan hakekat manusia sebagai makhluk sosial yang
saling membutuhkan satu dengan yang lainnya dan tidak mungkin hidup sendirian.
Kata ini dalam al Qur’an disebutkan sebanyak dua ratus empat puluh satu kali.
Peyebutan manusia sebagai anak turun Nabi Adam ingin menekankan bahwa
manusia berasal dari manusia bukan dari evolusi makhluk lain. Dengan mengetahui
asal muasalnya, diharapkan manusia tidak merendahkan dirinya sendiri dengan menyembah
kepada benda yang ia ciptakan sendiri, atau berperilaku yang melanggar nilai-nilai
kemanusiaan seperti tidak memiliki rasa malu, mendahulukan nafsu dan sebagainya.
Dalam al Quran, penyebutan manusia sebagai bani Adam sebanyak tujuh kali,
masing-masing ayat yang menyatak manusia sebagai bani Adam menunjukkan
betapa tingginya derajat manusia sebagai makhluk Allah, dalam beberapa ayat juga
disebutkan agar manusia tidak terjerumus pada godaan setan sebagaimana Nabi
Adam dahulu. Ada satu istilah lagi yang menunjukkan bahwa manusia adalah keturunan
Nabi Adam yaitu kata dzurriyah Adam. Kata ini hanya digunakan satu kali dalam surat
Maryam ayat 58.
Kata khalifah berasal dari kata khalafa yang memiliki arti antara lain;
pengganti, yang baru, dan berbeda8. Sedangkan kata khalifah sendiri sering
diartikan sebagai pemimpin, atau orang yang menggantikan orang lain dan
menemapati posisinya. Dalam al Qur’an kata ini hanya disebutkan sebanyak dua kali, yaitu
dalam surat al Baqarah dan surat Shad. Dalam surat al Baaqrah ayat 30 telah disebutkan
bagaimana perangai manusia di bumi yaitu melakukan kerusakan dan menumpahkan darah,
perilaku ini juga menggambarkan maksud dari arti kata khalaf, yaitu bertentangan, berbeda.
Akan tetapi dalam ayat 26 dalam surat Shad Allah menjelaskan kriteria khalifah yang baik
adalah yang bersikap adil dan tidak mengikuti hawa nafsu. Dari penjelasan di atas, dapat kita
ketahui peran manusia sebagai khalifah di bumi adalah sebagai makhluk yang bertanggung
jawab atas segala yang terjadi di bumi, juga berhak untuk memanfaatkan semua yang tersedia
di bumi secara adil dan bijaksana. Dengan Allah menjadikan manusia sebagai khalifah di
bumi, maka manusia sepenuhnya bertanggung jawab pada berbagai peristiwa di bumi ini baik
itu bersifat positif ataupun negatif.
Manusia diciptakan oleh Allah SWT dalam bentuk yang terindah dan paling sempurna
(kamal). Kamal atau kesempurnaan manusia terletak pada kesetabilan dan keseimbangan
nilai-nilainya. Manusia dengan segala kemampuan yang ada pada dirinya dapat dianggap
sempurna, ketika tidak hanya cenderung pada satu nilai dari sekian banyak nilai yang ia
miliki. Ia dapat dianggap sempurna ketika mampu menyeimbangkan serangkaian potensi
insaninya untuk menjadi insan kamil yang tidak hanya berhubungan dengan manusia akan
tetapi dengan makluk lain dan alam sekitarnya. Insan kamil dalam hal ini adalah manusia
yang seluruh nilai insaninya berkembang secara seimbang dan stabil walaupun seringkali
nilai-nilai insani yang berkembang tidak selaras dengan nilai-nilai yang lain.
Menurut pandangan agama Islam, manusia merupakan makhluk ciptaan Tuhan
dengan bentuk dan pencitraan yang paling indah serta sempurna. kesempurnaan manusia
bukan saja karena manusia sebagai makhluk terindah di bumi yang sesuai dengan citra-Nya,
tetapi karena ia juga merupakan pencerminan dari Al-Asma’ul Husna yang dibekali dengan
berbagai potensi untuk menjalankan hidup dan kehidupannya terutama tanggungjawabnya
menjaga kelestarian kehidupan manusia dan alam sekitarnya. Potensi-potensi manusia
menurut pandangan Islam tersimpul dalam Al Asma’Al Husna,yaitu sifat-sifat Allah yang
berjumlah 99. Pengembangan sifat-sifat tersebut pada diri manusia merupakan ibadah dalam
arti kata yang luas, sebab tujuan manusia diciptakan dalam bentuk yang sempurna adalah
untuk menyembah Allah SWT. Oleh karena itu, pengembangan sifat-sifat pada manusia perlu
untuk dikembangkan kaitan dengan
tugas dan amanahnya di muka bumi.
Kesempurnaan manusia sebagai pribadi pada dasarnya terletak pada pengejawantahan
manunggalnya berbagai ciri atau karakter hakiki atau sifat kodrati manusia yang seimbang
antar berbagai segi yakni segi individu dan sosialnya, jasmani dan ruhaninya, dunia dan
akhieratnya. Sifat kodrati manusia, serba monodualis, yaitu sebagai makhluk individu dan
makhluk sosial, berjiwa dengan adanya cipta, rasa, karsa, serta makhluk ciptaan Tuhan dan
makhluk yang bebas serta otonom.
Kesempurnaan manusia selain karena berbagai potensi sebagaimana telah disebutkan
di atas juga karena dilengkapi dengan potensi ruh. Dimensi ruh ini membawa sifat-sifat dan
daya-daya yang dimiliki oleh sumbernya, yaitu Allah. Dengan demikian dapat dikemukakan
bahwa dimensi al-ruh merupakan unsur kesempurnaan manusia dan merupakan daya
potensial internal dalam diri manusia.
Manusia diciptakan oleh Allah dilengkapi dengan keindahan dan kesempurnaan
fisiknya. Aspek jasmaniah adalah organ fisik dan biologis manusia dengan segala perangkat-
perangkatnya. Kelengkapan inilah yang menjadikan kaitan yang erat antara kelanjutan
kehidupan manusia dengan keseimbangan alam sekitar dan lingkungannya yang memberikan
substansi kehidupan dan pemenuhan kehidupan fisik dan perkembangannya.Oleh karena itu
manusia memiliki konsekuensi logis dalam menjaga dan melestrikan alam dan
lingkungannya. Predikat paling indah dan paling sempurna dapat diartikan bahwa tiada suatu
ciptaan Tuhan yang menyamai keberadaan manusia yang mampu mendatangkan kesenangan
dan kebahagiaan, sedangkan keindahannya berpangkal pada diri manusia itu sendiri yang
memang indah baik fisiknya, maupun dasar-dasar mental, akal dan kemampuannya.
Hakekat manusia juga terletak pada ketinggian derajat manusia terutama dalam hal
kualitas personal yang antara lain disebabkan ia mendapat keistimewaan ilmu, pandai
berbicara, mempunyai akal dan kemampuan berpikir, berikut medan penerapannya dalam
menghadapi ujian untuk memilih antara yang baik dan yang buruk, mengatasi kesesatan yang
lahir darikekuatan dan kemampuannya, serta mengendalikan segala sesuatu yang dapat
menutupi kesadaran nuraninya lantaran tergoda oleh kemampuan, kedudukan dan derajatnya
yang lebih tinggi dari derajat dan martabat berbagai makro organisme dan makhluk-makhluk
lainnya yang merupakan lingkungan dalam arti yang lebih luas dalam kehidupannya.Namun
demikian, apabila kemampuan untuk mengatasi dan mengendalikan diri hilang, derajat
manusia lebih rendah dibandingkan dengan makhluk lainnya.
Allah mempercayakan amanah kepada manusia karena keutamaan kualitasnya
kemanusiannya dan ketinggian derajatnya sehingga alam semesta dan makluk lainpun
termasuk malaikat diperintahkan untuk tunduk dan sujud kepada manusia. Ketinggian derajat
manusia juga dikarenakan kemampuannya menjelaskan kepada manusia melalui kata-kata
yang penuh penghayatan, mendalam dan sarat makna. Sehingga, peradaban manusia
mencapai tingkat kecerdasan yang tinggi, mampu memahami kandungan Al Qur’an dan
mengimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Menurut embriologi, proses kejadian manusia ini terbagi dalam tiga periode:
Terkadang organ tidak terbentuk dengan sempurna atau sama sekali tidak terbentuk, misalnya
jika hasil pembelahan zygote tidak bergantung atau berdempet pada dinding rahim. Ini yang
dapat mengakibatkan keguguran atau kelahiran dengan cacat bawaan.
c. Periode ketiga periode foetus yaitu periode perkembangan dan penyempurnaan organ,
dengan pertumbuhan yang amat cepat dan berakhir dengan kelahiran (Assegaf, 2005:
105).
Dengan demikian bahwa antara al-Qur’an surat al-Mukminun ayat 12-14 ada kesesuaian
dengan embriologi dalam proses kejadian manusia, nyata bahwa dalam periode ketiga yang
disebut al-Qur’an sebagai al-mudghah merupakan periode kedua menurut embriologi
(periodeembrio). Dalam periode inilah terbentuknya organ-organ penting. Adapun periode
keempat dan kelima menurut al-Qur’an sama dengan periode ketiga atau foetus
Manusia menyimpan potensi dalam dirinya. Potensi tersebut mengarah pada dua
kecenderungan yang berlawanan. Dua kecenderungan tersebut mengarahkan manusia untuk
berbuat takwa atau berbuat fujur. “Maka Dia (Allah) mengilhamkan kepada manusia (jalan)
fujur dan taqwa.” (Asy- Syams: 8).
Fujur adalah representasi semua kebatilan, kejahatan dan keburukan yang semua itu akan
menghasilkan dosa dan kesengsaraan dan muaranya adalah neraka. Sementara takwa adalah
representasi kebenaran, kebaikan dan keindahan yang semua itu menghasilkan pahala dan
kebahagiaan yang muaranya adalah surga. Sesungguhnya potensi fujur dan potensi takwa
tidak akan pernah bertemu pada satu waktu dalam diri manusia. Sebagaimana Allah swt
berfirman : “Sesungguhnya orang kafir, ahli kitab, dan orang musyrik masuk ke dalam neraka
jahanam dan mereka kekal di dalamnya, mereka itulah sejelek-jelek makhluk. Sesungguhnya
orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh mereka itulah sebaik-baik makhluk.
Balasan mereka di sisi Tuhan mereka adalah surga Adn yang mengalir di bawahnya sungai-
sungai, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya….” (Al-Bayyinah: 6-8).
Potensi dasar manusia sebagai ciptaan Allah SWT yang paling tinggi dan sempurna
diantara mahluk lainnya ialah keberadaan sang akal, menjadi bagian terpenting dari sebuah
sistem yang dirancang oleh sang kholik untuk memimpin di dunia ini. Mereka disiapkan
dengan harapan mampu memakmurkan dunia, terutama di lingkungan sekitar mereka, dan
menyatakan bahwa tujuan hidup tidak lain adalah bertaqwa kepada Allah SWT dengan ikhlas
mengemban amanah tadi. Oleh sebab itu salah satu wujud ketaqwaan itu adalah berusaha
semaksimal mungkin berbenah diri dalam perangai sikap, muamalah, dan pengetahuan.
Sebuah hadist nabi tentang iman dan budi pekerti yang intinya seorang mukmin yang paling
sempurna imannya ialah mereka yang baik hati.
Berhubungan dengan rasa syukur sebagai ciptaan Allah yang paling sempurna, sudah
selayaknya menunjukkan prestasi tertinggi dalam kehidupan disegala bidang, sebab potensi
kemenangan sudah kita dimiliki semenjak masih dalam alam kandungan. Maksudnya adalah
menang melawan kebodohan, gigih mereda hawa nafsu, berkepribadian mulia yang dikenal
sebagai pribadi Insan Kamil. Hal ini sesuai dengan visi kementrian pendidikan tahun 2005
yaitu menghasilkan insan Indonesia yang Cerdas dan Kompetitif (Insan Kamil/Insan
Paripurna), yang dimaksud dengan insan Indonesia yang cerdas adalah cerdas komprehensif
yaitu cerdas intelektual, cerdas spiritual, cerdas emosional, cerdas sosial dan cerdas
kinestetik. Berikutnya ada pernyataan bahwa keunggulan dan kebaikan perangai sikap
mencirikan mereka yang berhasil dalam membina potensi dirinya, berkaitan dengan hal
tersebut beberapa data dan literatur menyebutkan bahwa keberhasilan itu berawal dari sebuah
pengetahuan tentang pemahaman nilai dan moral yang diterapkan secara konsisten. Sehingga
menjadi kebiasaan yang baik dengan meleburnya kebiasaan buruk terdahulu, memiliki
kemantapan hati yang utuh dalam mengarungi samudra kehidupan.
Upaya pemahaman tersebut secara lansung melalui fungsi dasar otak manusia untuk
berfikir, mengolah, mengamati, mempelajari, dan menyimpulkan. Proses pembelajaran dan
penanaman nilai-nilai dan moral yang dialami manusia sudah dimulai ketika mereka masih
kecil, akan dibina dan diarahkan kemana setelah dewasa nanti terserah kedua orang tuannya.
Paling tidak harapan dari sebagian besar mereka adalah memiliki keturunan yang soleh dan
solekhah baik perangainya, jujur bahkan menjunjung nama baik keluarga.
2.5 JIWA MANUSIA
Kata jiwa berasal dari bahasa al-Nafs. Dalam kitab “Lisān al-Arab”, Ibnu Manzur
menjelaskan bahwa kata nafs dalam bahasa Arab digunakan dalam dua pengertian yakni nafs
dalam pengertian nyawa, dan nafs yang mengandung makna keseluruhan dari sesuatu dan
hakikatnya menunjuk kepada diri pribadi. Setiap manusia memiliki dua nafs, yaitu nafs akal
dan nafs ruh. Hilangnya nafs akal menyebabkan manusia tidak dapat berpikir namun ia tetap
hidup, ini terlihat ketika manusia dalam keadaan tidur. Sedangkan hilangnya nafs ruh,
menyebabkan hilangnya kehidupan.
Untuk itu tugas para ilmuwan untuk menderivasinya menjadi konsep yang utuh. Seperti
misalnya berkaitan dengan jiwa, al-Qur’an setidaknya menyebut term tersebut sebanyak 298
kali dalam 270 ayat yang tersebar dalam 63 surat. Dari sekian banyak penyebutan tersebut
term nafs bermakna, diri atau seseorang, diri Tuhan, person sesuatu, ruh, jiwa, totalitas
manusia dan sisi dalam manusia.
Dari pengertian ini dapat dijelaskan bahwa manusia sebagai nafs tidak hanya dilihat dari
aspek luar saja, tetapi juga harus dilihat aspek dalamnya. Jiwa sebagai aspek dalam inilah
yang menjadi sumber penggerak manusia menuju perubuhan. Sebagai sumber penggerak
tingkah laku manusia, tentu nafs bisa menggerakkan manusia kepada kebaikan dan
keburukan tergantung tingkatan kuilitas nafs yang dimilikinya. Al-qur’an secara eksplisit
telah menyebutkan ada tingkatan nafs bagi orang mukallaf (dewasa), yaitu, dari yang
tertinggi al-Nafs al-Mut}ma’innah, al-Nafs al-Lawwāmah, dan yang terendah al-Nafs al-
Ammārah bi al-Sū’. Di samping tiga tingkatan ini al-Qur’an juga menyebut tingkatan satu
lagi yang terdapat pada anak yang belum mukallaf, yaitu al-Nafs al-Zakiyyah.
1. Lemah
Dalam Surah An-Nisa Ayat 28 dikatakan, "Allah hendak memberikan keringanan
kepada mu, karena manusia diciptakan (bersifat) lemah". Sejatinya manusia itu lemah,
karena yang maha memiliki kekuatan, menguatkan dan yang cukup kuat hanyalah Allah
swt. Sehingga hanya kepadanyalah kita meminta kekuatan
2. Tergesa-gesa
Tercantum didalam Surah Al-Isra Ayat 11, "Dan manusia (seringkali) berdoa untuk
kejahatan, sebagaimana (biasanya) ia berdoa untuk kebaikan. Dan memang manusia
bersifat tergesa-gesa. Pada dasarnya manusia memang sifatnya tergesa-gesa dan ingin
serba instan. Padahal proses yang dijalankan dengan tergesa-gesa tidak akan baik dan
maksimal hasilnya. Maka, jangan sampai kita menjadi manusia yang maunya
gampangnya saja. Tidak mau berproses dan bersabar.
3. Putus Asa
Hal ini dijelaskan dalam Surah Al-Isra Ayat 83, "Dan apabila kami memberikan
kesenangan kepada manusia, niscaya dia berpaling dan menjauh diri dengan sombong dan
apabila dia ditimpa kesusahan, niscaya dia berputus asa"
Tujuan penciptaan manusia adalah untuk menyembah kepada Allah SWT. Penyembahan
manusia kepada Allah lebih mencerminkan kebutuhan manusia terhadap terhadap
terwujudnya sesuatu kehidupan dengan tatanan yang baik dan adil. Karena manusia yang
diciptakan Allah sebagai makhluk yang paling canggih, mampu menggunakan potensi yang
dimilikinya dengan baik, yaitu mengaktualisasikan potensi iman kepada Allah, menguasai
ilmu pengetahuan, dan melakukan aktivitas amal saleh, maka manusia akan menjadi makhluk
yang paling mulia dan makhluk yang berkualitas di muka bumi ini sesuai dengan fitrahnya
masing-masing.
a) Bahwa manusia tidak berasal dari jenis hewan sebagaimana dikatakan dalam teori
evolusi, melainkan berasal dari Adam yang diciptakan dari tanah
b) Dibandingkan dengan makhluk lain, manusia memiliki bentuk fisik yang lebih baik,
sekalipun ini bukan perbedaan yang fundamental (Q.S at-Tin:4).
c) Manusia mempunyai jiwa dan rohani, yang didalamnya terdapat rasio, emosi dan
konasi. Dengan akal, manusia berfikir dan berilmu, dan dengan ilmu manusia menjadi
maju. Bahkan dengan ilmu manusia menjadi lebih mulia daripada jin dan malaikat,
sehingga mereka diminta oleh Allah untuk sujud, menghormati kepada manusia, yakni Adam
a.s (Q.S al-Baqarah: 31-34).
f) Diciptakannya segala sesuatu di muka bumi ini oleh Allah adalah untuk kepentingan
manusia itu sendiri (Q.S al-Baqarah: 29)
g) Manusia diberi beban untuk beragama (Islam) sebagai pedoman dalam melaksanakan
tugas kekhalifaannya. Karenanya, manusia akan diminta pertanggung jawaban atas
pelaksanaan tugasnya tersebut (Q.S al-Qiyamah: 36)
Tujuan diciptakannya manusia di muka bumi yaitu untuk beribadah kepada-Nya. Ibadah
dalam pengertian yang komprehensif menurut Syaikh Al-Islam IbnuTaimiyah adalah sebuah
nama yang mencakup segala sesuatu yang dicintai dan diridhai oleh Allah SWT berupa
perkataan atau perbuatan baik amalan batin ataupun yang zhahir (nyata). Adapun hakekat
ibadah yaitu:
1. Ibadah adalah tujuan hidup kita.
2. Hakikat ibadah itu adalah melaksanakan apa yang Allah cintai dan ridhai dengan penuh
ketundukan dan kerendahan diri kepadaNya.
3. Ibadah akan terwujud dengan cara melaksanakan perintah Allah dan meninggalkan
larangan-Nya
4. Cinta, maksudnya cinta kepada Allah dan Rasul-Nya
yang mengandung makna mendahulukan kehendak Allah dan Rasul-Nya atas yang lainnya.
Adapun tanda-tandanya: mengikuti sunah Rasulullah saw.
5. Jihad di jalan Allah (berusaha sekuat tenaga untuk meraih segalasesuatu yang dicintai
Allah).
6. Takut,maksudnya tidak merasakan sedikitpun ketakutan kepada segala bentuk dan jenis
makhluk melebihi ketakutannya kepada Allah SWT.
Dengan demikian orang yang benar-benar mengerti kehidupan adalah yang mengisi
waktunya dengan berbagai macam bentuk ketaatan; baik dengan melaksanakan perintah
maupun menjauhi larangan. Sebab dengan cara itulah tujuan hidupnya akan terwujud.
Ibadah adalah perkara taufiqiyyah, yaitu tidak ada suatu ibadah yang disyari’atkan
kecuali berdasarkan al-Qur’an dan as Sunnah. Apa yang tidak disyari’atkan berarti bid’ah
mardûdah (bid’ah yang ditolak ), hal ini berdasarkan sabda Nabi SAW.
“ Barangsiapa yang beramal tanpa adanya tuntutan dari Kami, maka amalan tersebut
tertolak.”
Ibadah-ibadah itu bersangkut penerimaannya kepada dua faktor yang penting, yang menjadi
syarat bagi diterimanya. Syarat-syarat diterimanya suatu amal (ibadah) ada dua macam
yaitu[5]:
1. Ikhlas
“Katakanlah: “Sesungguhnya aku diperintahkan supaya menyembah Allah dengan
memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama. Dan aku diperintahkan
supaya menjadi orang yang pertama-tama berserah diri”. Katakanlah: “Sesungguhnya aku
takut akan siksaan hari yang besar jika aku durhaka kepada Tuhanku”. Katakanlah: “Hanya
Allah saja yang aku sembah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan)
agamaku”. (QS az-Zumar/39 : 11-14).
2. Ittiba’ Rasul. Dilakukan secara sah yang sesuai dengan tuntunan Rasulullah SAW.
“Katakanlah: Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan
kepadaku: “Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa”. Barangsiapa
mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh
dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya”. (QS al-
Kahfi/18: 110)
Syarat yang pertama merupakan konsekuensi dari syahadat lâ ilâha illallâh, karena ia
mengharuskan ikhlas beribadah hanya kepada Allah dan jauh dari syirik kepada-Nya.
Sedangkan syarat kedua adalah konsekuensi dari syahadat Muhammad Rasulullah s.a.w.,
karena ia menuntut wajib-nya taat kepada Rasul, mengikuti syari’atnya dan meninggalkan
bid’ah atau ibadah-ibadah yang diada-adakan
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
3.2 SARAN
DAFTAR PUSTAKA
Mustafa, Sahidi. (2018). KONSEP JIWA DALAM AL-QURAN. Jurnal Pendidikan Islam
Vol 2 No 1
Ummah, Siti Rohmatul. (2019). KONSEP MANUSIA SEBAGAI HAMBA DALAM AL-
QUR’AN DAN PERANNYA DALAM KEHIDUPAN BERMASYARAKAT. Pancawahana:
Jurnal Studi Islam Vol 14 No.2.
Ary Ginanjar, Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual, (Jakarta:Arga
Publishing, 2010), cet. 53.h. 21