Anda di halaman 1dari 18

HAKIKAT MANUSIA

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Pendidikan Islam
Dosen Pengampu: Abdullah Rikza, S.Ip, M.P

Disusun oleh:
Eka Putri Nurrohmah (1122054)
Naili Maqfiroh (1122061)

PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS PESANTREN TINGGI DARUL ULUM JOMBANG
2023
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang, kita panjatkan puji syukur ke Hadirat Allah SWT, atas limpahan
rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini
dengan tepat pada waktunya.
Tujuan kami dari penulisan makalah ini guna sebagai memenuhi tugas
Filsafat Pendidikan Islam, dengan judul : “Hakikat Manusia”.
Dalam penulisan makalah ini kami menyadari banyak kekurangan-
kekurangan baik pada penyusunan maupun materi. Karena itu kami
mengharapkan kritik dan saran demi perbaikan makalah di masa mendatang.
Kami harapkan semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca berbagai
pihak.
BAB 1
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Manusia adalah makhluk bertanya, ia mempunyai hasrat untuk mengetahui
segala sesuatu. Atas dorongan hasrat ingin tahunya, manusia tidak hanya
bertanya tentang berbagai hal yang ada di luar dirinya, tetapi juga bertanya
tentang dirinya sendiri. Dalam rentang ruang dan waktu, manusia telah dan
selalu berupaya mengetahui dirinya sendiri. Hakikat manusia dipelajari
melalui berbagai pendekatan (common sense, ilmiah, filosofis, religi) dan
melalui berbagai sudut pandang (biologi, sosiologi, antropobiologi, psikologi,
politik).
Manusia dalam pendidikan menempati posisi sentral, karena manusia di
samping dipandang sebagai subjek, ia juga dipandang sebagai objek
pendidikan itu sendiri. Sebagai subjek, manusia menentukan corak dan arah
pendidikan, manusia khususnya manusia dewasa bertanggung jawab dalam
menyelenggarakan pendidikan dan secara moral berkewajiban atas
perkembangan pribadi peserta didik. Sedangkan sebagai objek, manusia
menjadi fokus perhatian segala teori dan praktik pendidikan. Maka dari itu,
tanpa lebih dulu dijelaskan siapa sejatinya manusia itu, proses pendidikan
akan meraba-raba tanpa arah. Untuk itu manusia dan pendidikan merupakan
satu kesatuan utuh. Dengan kata lain hakikat manusia dan pendidikan ibarat
dua sisi mata uang yang menyatu dan tidak dapat dipisahkan.
Dalam makalah ini, akan dijelaskan hakikat manusia sejatinya seperti apa
dan bagaimana hubungan hakiakat manusia dengan pendidikan.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana konsep manusia dalam Al-Qur’an?
2. Apa dimensi-dimensi psikis manusia?
3. Apa tujuan, fungsi, dan tugas pokok penciptaan manusia (‘abd dan
khalifah?
4. Bagaimana konsep fitrah dan pengembangan pendidikan?
C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui konsep manusia dalam Al-Qur’an: an-nas, al-basyar,
al-insan, bani adam
2. Untuk mengetahui dimensi-dimensi psikis manusia: ar-ruh, al-‘aql, an-
nafs, al-qalb
3. Untuk mengetahui tujuan, fungsi, dan tugas pokok penciptaan manusia
(‘abd dan khalifah)
4. Untuk mengetahui fitrah dan pengembangan pendidikan
BAB II
PEMBAHASAN

A. Konsep Manusia Dalam Al-Qur’an


Manusia yang hadir sebagai makhluk fisika berbeda dengan jin
sebagai makhluk metafisika, dalam kehidupannya mendapat predikat
“ahsan al taqwim” (dalam bentuk yang sebaik-baiknya). Demikian juga
manusia sebagai makhluk terhormat memikul beban “khalifah Allah dan
hamba Allah”.1 untuk bisa memperjuangkan hak-hak kemanusiaan dengan
menikmati kehidupan dan memperoleh kesejahteraan di dunia ini dengan
cara terhormat, tidak melampaui batas atau melanggar norma-norma
hukum, karena salah satu kelemahan manusia adalah melampaui batas.
Manusia memiliki beberapa term yang dapat digunakan dalam Al-
Quran seperti al-insan/al-nas, al-basyar dan bani Adam. Untuk lebih
jelasnya, berikut ini dipaparkan penelusuran makna term-term tersebut.
1. Makna al-Insan/al-ins/al-nas (‫ االنس – االنسان‬- ‫)الناس‬
Menurut Jalaluddin Rahmat (2003) Lafadz al-Nas yang mengacu
pada manusia sebagai makhluk sosial. Inilah manusia yang paling
banyak disebut Alquran (240 kali). “al-nas” secara umum
menggambarkan manusia universal netral tanpa sifat. Sifat tertentu
yang membatasi atau mewarnai keberadaannya, sedangkan kata “insan”
pada umumnya menggambarkan makhluk manusia dengan berbagai
potensi dan sifat.2
al-nas (‫اس‬LL‫ )الن‬menggambarkan manusia yang universal netral
sebagai makhluk sosial seperti pernyataan Al Quran QS. Al Hujurat
(49): 13
‫ٰٓيَاُّيَها الَّناُس ِاَّنا َخ َلْقٰن ُك ْم ِّم ْن َذ َك ٍر َّو ُاْنٰث ى َو َجَع ْلٰن ُك ْم ُش ُعْو ًبا َّو َقَبۤا ِٕىَل ِلَتَع اَر ُفْو اۚ ِاَّن َاْك َر َم ُك ْم ِع ْنَد ِهّٰللا‬
‫َاْتٰق ىُك ْم ۗ ِاَّن َهّٰللا َع ِلْيٌم َخ ِبْيٌر‬
“Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal.
Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah
orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui,
Mahateliti.”
Berbeda dengan kata “al-nas” kata “insan” yang secara umum
menggambarkan manusia yang memiliki potensi atau sifat yang
1
Lihat misalnya QS. Al Baqarah (2): 30, QS. Al An’am (6):165, lihat Zalbawi Soejoeti
(et.al), Islam dan Iptek (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,1998), h.41
2
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al Quran al Karim, Tafsir atas surat-surat pendek
berdasarkan urutan turunnya wahyu (Bandung: Pustaka Hidayah, 1997), h.87 dan Lihat Al Ragib
Al Asfahani, Mufradat Alfaz al Quran (Beirut: Dar al Dar Syamiyah), h.94
beragam, baik sifat positif maupun negatif. Seperti Firman Allah: QS.
Al Alaq (96): 4-5

‫ َع َّلَم اِاۡل ۡن َس اَن َم ا َلۡم َيۡع َلؕۡم‬٤ ‫اَّلِذ ۡى َع َّلَم ِباۡل َقَلِۙم‬
“Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam, Mengajarkan
kepada manusia apa yang tidak diketahuinya”.

QS. Al Alaq (96): 6

Pada ayat 4-5 QS. Al Alaq di atas, Allah Swt menegaskan tentang
pemberian ilmu melalui “qalam”. Ini merupakan salah satu anugrah
terbesar karena dengan tulisan satu generasi terdahulu dapat mentransfer
ilmu dan pengalamannya kepada suatu generasi yang akan datang
kemudian. Sebagai penerima ilmu, manusia (al-insan) ini memiliki
potensi dan sifat positif.
2. Makna Al-Basyar
Kata basyar terambil dari kata yang pada mulanya berarti
penampakkan sesuatu yang baik dan indah. Dari akar kata yang sama
lahir kata basyarah yang berarti kulit yang halus dan nampak, manusia
dinamai basyar karena kulinya halus dan tampak jelas, dan berbeda
dengan kulit binatang yang lain.3
H.A Muin Salim menuturkan dalam Al Quran ditemukan 32 kali
kata “basyar” adalah manusia dewasa secara fisik dan psikis (biologis
dan kejiwaan), sehingga dia mampu bertanggung jawab, sanggup
diberikan beban keagamaan bahkan mampu menjalankan tugas
khalifah.4 Seperti QS. Al Rum (30): 20
‫َوِم ْن ٰا ٰي ِتٖٓه َاْن َخ َلَقُك ْم ِّم ْن ُتَر اٍب ُثَّم ِاَذ ٓا َاْنُتْم َبَش ٌر َتْنَتِش ُرْو َن‬
“Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan
kamu dari tanah, kemudian tiba-tiba kamu (menjadi) manusia yang
berkembang biak”.

Ayat di atas QS Al Rum (30): 20 menunjukkan perkembangan kehidupan


manusia (basyar), karena dalam ayat tersebut dikemukakan min yang
bermakna peruntutan dan perselangan waktu. Dari pernyataan tersebut
dapat dipahami bahwa kejadian manusia diawali dari tanah kemudian cara
berangsur-angsur mencapai kesempurnaan kejadiaannya ketika ia telah
dewasa.
3
M. Quraish Syihab, Wawasan Al-Quran (Bandung, Mizan, 1996).h.279
4
Abd.Muin Salim, Fitrah Manusia dalam Al Quran (Ujungpandang: Lembaga Studi
Kebudayaan Islam (LSKI), 1990), h.22. lihat juga Ibrahim Madkour, The Concept of Man in Islamic
Tought, cet. II (London: t.p.,1996), h.452
Basyar adalah anak keturunan adam, makhluk fisik yang suka
makan dan berjalan ke pasar. Aspek fisik itulah yang membuat pengertian
basyar mencakup anak keturunan Adam secara keseluruhan. 5 Manusia
disebut al-basyar, karena dia cenderung perasa dan emosional sehingga
perlu disabarkan dan didamaikan. Manusia sebagai basyar berkaitan
dengan unsur material, yang dilambangkan manusia dengan unsur tanah.
3. Makna Bani Adam
Kata Bani ( ‫ ) بنى‬berasal dari kata bana artinya membina,
membangun, mendirikan, menyusun.6 Jadi Bani Adam artinya susunan
keturunan anak cucu anak Nabi Adam dan generasi selanjutnya. Dalam Al
Quran term Bani Adam terdapat enam kali terulang, 7 seperti bunyi ayat
dalam QS. Al Isra (17): 70
‫َٰن‬ ‫َٰن‬ ‫َٰن‬
‫َو َلَقْد َكَّر ْم َنا َبِنٓى َء اَد َم َو َح َم ْل ُهْم ِفى ٱْلَبِّر َو ٱْلَبْح ِر َو َر َز ْق ُهم ِّم َن ٱلَّطِّيَٰب ِت َو َفَّض ْل ُهْم َع َلٰى َك ِثيٍر‬
‫ِّمَّم ْن َخ َلْقَنا َتْفِض يًل‬
“Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut
mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-
baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas
kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan”.
Dari permulaan kehadiran anak cucu Adam (manusia) seperti
halnya hewan di bumi ini, hanya manusia yang mencapai tahapan Adam
yang mampu memikul tanggung jawab. “Beberapa pemikir mengatakan,
manusia lah yang beradab, sedangkan jin adalah makhluk yang tidak
beradab.8 Namun manusia/insan ini pun ada tingkatan-tingkatannya.
Manusia yang sudah mencapai tingkatan Adam, masih terus berlanjut dan
akan berakhir dengan kondisi yang lebih tinggi dibanding Adam. Dari
beberapa term di atas dapat dipadukan bahwa manusia adalah ciptaan
Tuhan sebagai keturunan Adam yang jelas wujudnya, mampu berbicara
dan berpikir serta hidup dalam komunitas kemasyarakatan.

B. Dimensi-dimensi Psikis Manusia


Menurut an-Nawāwī, manusia merupakan makhluk yang paling
menakjubkan, makhluk yang unik multi dimensi, serba meliputi, sangat
terbuka dan mempunyai potensi yang agung.9 Modalitas manusia untuk
5
Aisyah Binti Syati, Manusia dalam perspektif Alquran (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999).
6
Al Ragib Al Asfahani, Mufradat Alfaz al Quran, h.148.
7
Muh.Fuad Abd.Al Baqi, Al Mu’jam al Mufahras, h.93
8
H.G.Sarwar, Filsafat Al Quran, (Jakarta: Rajawali Pers, 1990), h.109

9
Rif'at Syauqi Nawāwī, Konsep Manusia Menurut al-Qur'an, Makalah Disampaikan Pada
Simposium Psikologi Islami, Pada Sabtu, tanggal, 14 Desember 1996, Universitas Padjadjaran,
Bandung, 1996.
mencapai ilmu pengetahuan adalah dengan memfungsikan berbagai
potensi yang dimilikinya, yaitu panca indera, akal, hati dan daya imajinasi
serta estimasi. . Selain itu, manusia sebagai kesatuan, terdiri dari substansi
yang bersifat materi (jismiah) dan yang bersifat immateri. 10 Adapun
hakikat dari manusia adalah substansi immaterinya yang terdiri dari
al-‘aql, al-nafs, al-qalb, al-rūḥ dan al-fiṭrah.
1. Ar-Ruh
Ruh dalam bahasa Arab digunakan untuk menyebut jiwa, nyawa,
nafas, wahyu, malaikat, perintah dan rahmat. Jika kata ruhani dalam
bahasa Indonesia digunakan untuk menyebut lawan dari dimensi
jasmani, maka dalam bahasa Arab kata ruhaniyyun digunakan untuk
menyebut semua jenis makhluk halus yang tidak berjasad, seperti:
malaikat dan jin.
Dalam Al-Qur'an, penggunaan kata ruh untuk menunjukkan makna
nyawa menyebabkan seseorang masih tetap hidup (QS. al-Isra' [17]:
85), malaikat (QS. al-Syu'ara' [26]: 193), rahmat Allah (QS. al-
Mujadalah [58]: 22) dan al-Qur'an (QS. al-Syura [42]: 52). Mengenai
ruh manusia, meski disebutkan ada proses peniupan ruh ke dalam
tubuh manusia (QS. al-Shaffat [37]: 7-9), tetapi dari ayat itu juga dapat
dipahami bahwa ruh itu semacam sinergi dari elemen-elemen sistem
organ tubuh. Artinya ketika organ-organ tubuh manusia semuanya
berfungsi maka ruh hadir, dan ketika tidak berfungsi, ruh menghilang,
sehingga kehadiran ruh dapat dipahami sebagai sunnatullah (hukum
Allah) yang dapat dirumuskan dengan: jika x maka y.
2. Al-Aql
Kata akal berasal dari kata dalam bahasa Arab, al-‘aql. Kata al-‘aql
adalah mashdar dari kata ‘aqola-ya’qilu -‘aqlan yang maknanya adalah
“ fahima wa tadabbaro “ yang artinya “paham (tahu, mengerti) dan
memikirkan (menimbang) “. Maka al-‘aql, sebagai mashdarnya,

10
M. Saed Syaikh, A Dictionary of Muslim Philosophy (Lahore: Institute of Islamic Culture,
1976), h. 40.
maknanya adalah “ kemampuan memahami dan memikirkan sesuatu “.
Sesuatu itu bisa ungkapan, penjelasan, fenomena, dan lain-lain, semua
yang ditangkap oleh panca indra.
Letak akal Dikatakan di dalam Al-Qur’an surat Al-Hajj (22) ayat
46, yang artinya,” Apakah mereka tidak berjalan di muka bumi lalu
ada bagi mereka al-qolb (yang dengan al-qolb itu) mereka memahami
(dan memikirkan) dengannya atau ada bagi mereka telinga (yang
dengan telinga itu) mereka mendengarkan dengannya, maka
sesungguhnya tidak buta mata mereka tapi al-qolb (mereka) yang di
dalam dada.” Dari ayat ini maka kita tahu bahwa al-’aql itu ada di
dalam al-qolb, karena, seperti yang dikatakan dalam ayat tersebut,
memahami dan memikirkan (ya’qilu) itu dengan al-qolb dan kerja
memahami dan memikirkan itu dilakukan oleh al-‘aql maka tentu
al-‘aql ada di dalam al-qolb, dan al-qolb ada di dalam dada. Yang
dimaksud dengan al-qolb tentu adalah jantung, bukan hati dalam arti
yang sebenarnya karena ia tidak berada di dalam dada, dan hati dalam
arti yang sebenarnya padanan katanya dalam bahasa Arab adalah al-
kabd.
3. Al-Qolbu
Qalbu merupakan salah satu istilah berasal dari bahasa Arab
yang sudah diadaptasi (dipinjam) oleh bahasa Indonesia dan dieja
menjadi kalbu dan digunakan dalam arti hati atau hati nurani. Dimensi
ini mempunyai peranan yang sangat penting dalam memberikan sifat
insaniyyah bagi psikis manusia. Istilah-istilah yang dapat dipahami
dari makna al-qalb adalah:
a. Al-qalb merupakan tempatnya iman
b. Habit al-qalb merupakan tempatnya cinta dan kebenaran
c. As-sirr adalah bagian qalb yang paling halus dan rahasia
d. Asy-syaghaf merupakan tempatnya cinta
Begitu banyaknya nama dan peran al-qalb dalam sistem
kejiwaan manusia (psikis), maka tepatlah kalau dikatakan bahwa al-
qalb sebagai penentu kapasitas kebaikan dan keburukan seseorang.
Sebagaimana dalam hadits berikut, “Ketahuilah bahwa dalam diri ini
terdapat segumpal Sifat-sifat manusia, yang baik maupun yang buruk,
juga sering dilukiskan dengan menggunakan hati, seperti: iri hati,
panas hati, gelap hati, besar hati, kelembutan hati, jatuh hati, kecil hati,
dan sebagainya.
Qalbu merupakan salah satu karunia Allah Swt. yang sifat dan
fungsinya luar biasa besar dalam kehidupan manusia, sehingga tidak
jarang kita menemui ungkapan: "Dalamnya laut dapat diduga,
dalamnya hati siapa tahu". "Hatiku tidak dapat dibohongi." "Hati
adalah pangkal pahala dan dosa," kata Ebied G. Ade.
Dalam al-Qur'an Qalb disebut sebagai alat untuk memahami
realitas dan nilai-nilai (QS. al-Hajj [22]: 46). Qalb hanya menampung
hal-hal yang disadari, dan keputusan yang diambil oleh qalb
berimplikasi pahala dan dosa. Oleh karena itu, Allah pada hari kiamat
tidak akan melihat rupa dan fisik kita, tetapi yang dilihat (dan dinilai)
oleh-Nya adalah hati dan amal perbuatan kita (HR. Muslim).
4. An-Nafs (Nafsu)
Pengertian Al-nafs menurut Al Qur`an, dapat disimpulkan dengan
satu pernyataan bahwa nafs adalah makhluk yang memiliki eksistensi,
sifat dan karakteristik khusus. Oleh karena itu, dalam pengertian ini
dapat mengalami kematian dan kebinasaan sebagaimana makhluk-
makhluk lainnya. Nafs dalam arti jiwa telah di bicarakan para ahli
sejak kurun waktu yang sangat lama.
Dimensi ini adalah dimensi yang memiliki sifat kebinatangan
dalam sistem psikis manusia. Namun demikian ia dapat diarahkan
kepada kemanusiaan setelah mendapat pengaruh yang besar dari
dimensi lainnya, seperti al-‘aqlu dan al-qalb. Berdasarkan telaah
terhadap konsep an-nafs di dalam Al-Qur’an, an-nafs merupakan daya-
daya psikis yang memiliki dua kekuatan ganda, yaitu al-ghadaabiyyah
dan as-sahwaniyyah, al-ghadab adalah daya yang bertujuan untuk
menghindarkan diri dari segala yang membahayakan dan
mencelakakan. Sementara as-shahwaniyyahadalah daya yang
berpotensi untuk mengejar sesuatu yang menyenangkan.11
Jika manusia dikendalikan oleh nafsunya, maka pada prinsipnya
kepribadiannya tidak lain dadalah kepribadian binatang, bahkan bisa
lebih rendah lagi. Dalam Al-Qur’an hal ini di tegaskan dalam QS.
Al-‘Araaf : 179 yang artinya:
“Dan sesungguhnya kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam)
kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak
dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka
mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-
tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak
dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu
sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka
itulah orang-orang yang lalai.”
Dimensi ini apabila tidak terkendali akan mengantarkan manusia
bergaya pada nafsu ammarah bissu’ yakni nafsu yang condong kepada
keburukan. Tetapi jika terkendali dengan sempuna, terytama oleh
al-‘aql dan al-qalb akan menjadi pendorong bagi manusia untuk
berbuat baik, menjauhi sifat-sifat kebinatangan. Nafsu yang demikian
ini disebut nafshul muthmainnah yakni nafsu yang tenang dengan
perintah Allah. Jika tidak terkendali dengan sempurna, kadang-kadang
muncul sifat kemanusiaan dan kadang-kadang muncul sifat
kebinatangan, ini disebut nafshul lawwamah.

C. Tujuan, Fungsi dan Tugas Pokok Penciptaan Manusia


Keberadaan manusia sebagai salah satu mahkluk ciptaan Tuhan di muka
bumi ini mempunyai peranan penting dalam menjalankan fungsinya sebagai
khalifah dimuka bumi ini. Dan tujuan penciptaan manusia di atas dunia ini

11
Abu Fida’ abdur Rafi’, Terapi Penyakit Korupsi Dengan Tazkyatun Nafs (Penyucian
Jiwa), (Jakarta: Republika, 2006), hlm. 49
adalah untuk beribadah. Adapun tujuan penciptaan manusia tersebut akan
diuraikan dalam tulisan ini, termasuk pelajaran dan nilai-nilai ke- pendidikan
yang dapat diambil dan dipedomani untuk mengarungi kehidupan dunia agar
selamat di akhirat nanti.
1. Al-Khilafah
Kata khalifah dalam al-qur’an yaitu salah satunya dalam surah Al-
Baqarah ayat 30:
‫َو ِاْذ َقاَل َر ُّبَك ِلْلَم ٰۤل ِٕىَك ِةِ اِّنْي َج اِع ٌل ِفى اَاْلْر ِض َخ ِلْيَفًةۗ َقاُلْٓو ا َاَتْج َع ُل ِفْيَها َم ْن ُّيْفِس ُد ِفْيَها َو َيْس ِفُك الِّد َم ۤا َۚء‬
‫َو َنْح ُن ُنَس ِّبُح ِبَحْمِد َك َو ُنَقِّدُس َلَك ۗ َقاَل ِاِّنْٓي َاْعَلُم َم ا اَل َتْع َلُم ْو ن‬
“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Aku
hendak menjadikan khalifah di bumi.” Mereka berkata, “Apakah Engkau
hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di
sana, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu?”
Dia berfirman, “Sungguh, Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”
Pengertian khalifah dalam ayat diatas, menurut Ar-Razi dikutip
oleh Umar shihab ada dua: pertama Adam sebagai pengganti jin untuk
menempati dunia, setelah jin ditiadakan sebagai penghuni bumi terdahulu.
Kedua Adam adalah penguasa Bumi, sebagai pengganti Allah dalam
menegakkan hukum-hukumnya diatas bumi.12
Manusia adalah mahkluk sentral di Planet ini.selain penciptaannya
yang paling sempurna dan seimbang, mahkluk-mahkluk lain yang ada
seperti hewan dan tumbuh-tumbuhan diciptakan untuk kepentingannya,
baik secara langsung maupun tidak langsung. Hak pemakmuran dan
pengelolaan bumi beserta isinya diberikan kepada manusia sebagai
konsekuensi logis atas kesediaannya memangku amanah Allah.13
Sebagai khalifah, manusia diberi tangung jawab pengelolaan alam
semesta untuk kesejahteraan umat manusia, karena alam semesta memang
diciptakan Tuhan untuk manusia. Sebagai wakil Tuhan manusia juga

12
Umar Shihab, Kontekstualitas Al-Qur,an; Kajian Tematik Ayat-ayat Hukum dalam
AlQur‟an, (Jakarta, Penamadani, 2005), h. 121.
13
Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur‟an, Tafsir Al-qur‟an Tematik (Spritualitas dan
Ahklak), (Jakarta, Aku Bisa, 2012), h. 37
diberi otoritas ketuhanan; menyebarkan rahmat Tuhan, menegakkan
kebenaran, membasmi kebatilan, menegakkan keadilan, dan bahkan diberi
otoritas untuk menghukum mati manusia. Sebagai hamba manusia adalah
kecil, tetapi sebagai khalifah Allah, manusia memiliki fungsi yang sangat
besar dalam menegakkan sendi-sendi kehidupan di muka bumi. Oleh
karena itu, manusia dilengkapi Tuhan dengan kelengkapan psikologis
yang sangat sempurna, akal, hati, syahwat dan hawa nafsu, yang
kesemuanya sangat memadai bagi manusia untuk menjadi makhluk yang
sangat terhormat dan mulia, disamping juga sangat potensi untuk
terjerumus hingga pada posisi lebih rendah dibanding binatang.
Ketika memerankan fungsinya sebagai khalifah Allah di muka
bumi, ada dua peranan penting yang diamanahkan dan dilaksanakan
manusia sampai hari kiamat. Pertama, memakmurkan bumi (al ‘imarah).
Kedua, memelihara bumi dari upaya-upaya perusakan yang datang dari
pihak manapun.
2. Al-‘Ibadah
Ungkapan kata al-Ibadah beserta musytaq-nya dalam al-Quran
terulang sebanyak 275 kali. Seperti dalam QS. Ad-Dzariyat ayat 56:
‫و ما خلقت الجن و اإلنس إال ليعبدون‬
“Tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah
kepada-Ku”.
pada ayat 56 surat al- Dzariyat dijelaskan bahwa tujuan hakiki dari
penciptaan jin dan manusia adalah dalam rangka berubudiyah kepada-Nya.
Agama Islam mengajarkan bahwa manusia memiliki dua predikat, yaitu
sebagai hamba Allah (`abdullah) dan sebagai wakil Allah (khalifatullah) di
muka bumi. Sebagai hamba Allah, manusia adalah kecil dan tak memiliki
kekuasaan. Oleh karena itu, tugasnya hanya menyembah kepada-Nya dan
berpasrah diri kepada-Nya. Tetapi sebagai khalifatullah, manusia diberi
fungsi sangat besar, karena Allah Maha Besar maka manusia sebagai
wakilNya di muka bumi memiliki tanggung jawab dan otoritas yang
sangat besar.
Allah menjanjikan akan menolong orang-orang yang menolong
agama-Nya, yaitu orang-orang yang apabila dimenangkan atas musuh-
musuhnya dan diteguhkan kedudukannya sebagai penguasa atau
pemimpin, bertambah tekun dan rajin melaksanakan perintahperintah
Allah, mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, menyuruh orang
berbuat makruf dan melarang orang berbuat mungkar. Dan kepada
Allahlah kembali segala sesuatu dan dari pada-Nya-lah akan diterima
pembalasan atas segala amal dan perbuatan. 14 Mendirikan shalat
merupakan gambaran dari hubungan yang baik dengan Allah, sedangkan
menunaikan zakat merupakan gambaran dari keharmonisan dengan sesame
manusia. Ma‟ruf adalah suatu istiah yang berkaitan dengan segala sesuatu
yang dianggap baik oleh agama, akal dan budaya, dan sebaliknya dari
mungkar.
D. Konsep Fitrah dan Pengembangan Pendidikan
Mengenai kata fitrah menurut istilah (terminologi) dapat dimengerti dalam
uraian arti yang luas, sebagai dasar pengertian itu tertera pada surah al-Rum
ayat 30, maka dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa pada asal kejadian
yang pertama-pertama diciptakan oleh Allah adalah agama (Islam) sebagai
pedoman atau acuan, di mana berdasarkan acuan inilah manusia diciptakan
dalam kondisi terbaik. Oleh karena aneka ragam faktor negatif yang
mempengaruhinya, maka posisi manusia dapat bergeser dari kondisi fitrahnya,
untuk itulah selalu diperlukan petunjuk, peringatan dan bimbingan dari Allah
yang disampaikan-Nya melalui utusannya (Rasul-Nya).15
Imam Nawawi mendefinisikan fitrah sebagai kondisi yang belum pasti
yang terjadi sampai seorang individu menyatakan secara sadar keimanannya.
Sementara menurut Abu Haitam fitrah berarti bahwa manusia yang dilahirkan
dengan memiliki kebaikan atau ketidakbaikan yang berhubungan dengan jiwa.
pada awalnya setiap makhluk yang diciptakan oleh Tuhan dibekal dengan

14
H. Salim Bahreisy dan H Said Bahreisy, Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsier, Jilid V,
(Surabaya, PT. Bina Ilmu, tt), h. 376
15
Rif’at Syauqi Nawawi, Konsep Manusia Menurut Al-Qur’an ddalam Metodologi
Psikologi Islami, (Ed. Rendra Pustaka Pelajar: Yogyakarta, 2000), 67
fitrah (keseimbangan) yang bilamana keseimbangan ini mampu dijaga dengan
baik maka yang bersangkutan akan senantiasa berada dalam kebaikan.
Sebaliknya bila keseimbangan ini sudah tidak mampu dipertahankan maka
menyebabkan seseorang akan terjerumus kepada ketidakbaikan. Fitrah adalah
kata yang selalu digunakan untuk menunjukkan kesucian sekalipun dalam
bentuk abstrak keberadaannya selalu dikaitkan dengan masalah moral.
Keabstrakan ini meskipun selalu dipakai dalam aspek-aspek tertentu namun
pengertiannya hampir sama yaitu keseimbangan.
Konsep fitrah dalam hubungannya dengan pendidikan Islam mengacu
pada tujuan bersama dalam menghadirkan perubahan tingkah laku, sikap dan
kepribadian setelah seseorang mengalami proses pendidikan. Menjadi masalah
adalah bagaimana sifat dan tanda-tanda (indikator) orang yang beriman dan
bertaqwa. Maka konsep fitrah terhadap pendidikan Islam dimaksudkan di sini,
bahwa seluruh aspek dalam menunjang seseorang menjadi menusia secara
manusiawi adanya penyesuaian akan aktualisasi fitrah-nya yang diharapkan,
yakni pertama, konsep fitrah mempercayai bahwa secara alamiah manusia itu
positif (fitrah), baik secara jasadi, nafsani (kognitif dan afektif) maupun ruhani
(spiritual). Kedua, mengakui bahwa salah satu komponen terpenting manusia
adalah qalbu. Perilaku manusia bergantung pada qalbunya. Di samping jasad,
akal, manusia memiliki qalbu. Dengan qalbu tersebut manusia dapat
mengetahui sesuatu (di luar nalar) berkecenderungan kepada yang benar dan
bukan yang salah (termasuk memiliki kebijaksanaan, kesabaran), dan
memiliki kekuatan mempengaruhi benda dan peristiwa.
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Manusia yang hadir sebagai makhluk fisika berbeda dengan jin sebagai
makhluk metafisika, dan manusia sendiri memiliki term atauistilah berdasarkan
al-qur’an bebrapa diantaranya: An-Nas, Al-Basyar, Al- Insan, dan bani adam.
Adapun hakikat dari manusia adalah substansi immaterinya yang terdiri dari
al-‘aql, al-nafs, al-qalb, al-rūḥ dan al-fiṭrah.
Dan secara umum, keberadaan manusia sebagai salah satu mahkluk
ciptaan Tuhan di muka bumi ini mempunyai peranan penting dalam
menjalankan fungsinya sebagai khalifah dimuka bumi ini. Dan tujuan
penciptaan manusia di atas dunia ini adalah untuk beribadah.
Sedangkan fitrah manusia sebagai kondisi yang belum pasti (unconfirmed
state) yang terjadi sampai seorang individu menyatakan secara sadar
keimanannya. Dan Konsep fitrah dalam hubungannya dengan pendidikan
Islam mengacu pada tujuan bersama dalam menghadirkan perubahan tingkah
laku, sikap dan kepribadian setelah seseorang mengalami proses pendidikan.

DAFTAR PUSTAKA

Soejoeti, Zalbawi. 1998. Islam dan Iptek. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Shihab, Muhammad Quraish. 1997. Tafsir al Quran al Karim, Tafsir atas surat-
surat pendek berdasarkan urutan turunnya wahyu. Bandung: Pustaka Hidayah.

Syihab, M. Quraish Syihab. 1996. Wawasan Al-Quran. Bandung: Mizan.

Salim, Abd.Muin. 1990. Fitrah Manusia dalam Al Quran. Ujungpandang:


Lembaga Studi Kebudayaan Islam (LSKI).
Syati, Aisyah Binti. 1999. Manusia dalam perspektif Alquran. Jakarta: Pustaka
Firdaus.

Sarwar, H.G. 1990. Filsafat Al Quran. Jakarta: Rajawali Pers.

Nawawi, Rif'at Syauqi. Konsep Manusia Menurut al-Qur'an. Makalah


Disampaikan Pada Simposium Psikologi Islami, Pada Sabtu, tanggal, 14
Desember 1996, Universitas Padjadjaran, Bandung, 1996.

Syaikh, M. Saed. 1976. A Dictionary of Muslim Philosophy .Lahore: Institute of


Islamic Culture.

Rafi’, Abu Fida’ abdur Rafi’. 2006. Terapi Penyakit Korupsi Dengan Tazkyatun
Nafs (Penyucian Jiwa). Jakarta: Republika.

Shihab, Umar. 2005. Kontekstualitas Al-Qur,an; Kajian Tematik Ayat-ayat


Hukum dalam AlQur‟an. Jakarta, Penamadani.

Bahreisy, H. Salim, dan H Said Bahreisy. Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsier,
Jilid V. Surabaya, PT. Bina Ilmu.

Nawawi, Rif’at Syauqi. 2000. Konsep Manusia Menurut Al-Qur’an ddalam


Metodologi Psikologi Islami, Ed. Rendra Pustaka Pelajar: Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai