Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH MATA KULIAH TAFSIR TARBAWI

WAWASAN AL-QURAN TENTANG MANUSIA

Dosen Pengampu :

Dr. Charles Rangkuti, S.Pd.,M.Pd.I

Disusun Oleh :

1. SU’AD NAA’IMAH
2. AIDIL FIKRI

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN PANCABUDI


FAKULTAS PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DAN HUMANIORA
PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perhatian umat Islam terhadap Al Quran terasa semakin besar. Hal itu
terlihat dari berbagai gagasan yang dilontarkan para pakar, seperti dalam
bentuk seruan untuk kembali menelaah ayat-ayat Al-Quran. 1 Banyak pesan
Al Quran bagi ilmuan (Ulu Al albab)2 untuk mengkaji alam dan
fenomenanya dan menemukan misteri-misteri ciptaan Tuhan. Ilmuan ini
hendaklah menggunakan kemampuan indera dan intelektual (al hawas wa
al-aql) secara bersamaan3 yang dikenal juga dengan cara
rasionalisme dan empirisme.4
Al-Qur’an merupakan kalam Ilahi yang di dalamnya terkandung
pesan-pesan jiwa yang menuntun pembacanya kepada jalan yang diridhai
Allah. Sifat al-Qur’an yang universal itu sendiri membawa kepada
eksistensi al-Qur’an tidak akan usang dan tidak akan dianggap kuno
seiring berkembangnya zaman maupun sasaran dari pesan tersebut terus
berubah-ubah, sehingga dengan berbagai polemik yang terjadi di setiap
zaman, al-Qur’an mampu menyelesaikannya dengan penyelesaian yang
baik. Harun Yahya menyebutkan dengan isi kandungan al-Qur’an yang
konsisten tersebut maka akan sejalan dengan perkembangan sejarah serta
penemuan-penemuan sejarah.5

1
Abd.Muin Salim, Metodologi Tafsir, Sebuah Rekonstruksi Epistimologis, Memantapkan
Keberadaan Ilmu Tafsir Sebagai Disiplin Ilmu (Ujungpandang: IAIN Alauddin, 1999), h 1
2
Lihat misalnya Q.S. Ali Imran (3): 190, QS. Sad (38):2
3
Taba Taba’ī, diterjemahkan Agus Efendi dengan judul, Filsafat Sains Menurut Al Quran
(Bandung: Mizan, 1998), h.144 dan Lihat Muhammad Yusuf Musa, Al Quran Wa Al Falsafah,
(Mesir: Dar Al Ma’arif, 1996), h.50
4
Harun Nasution, Filsafat Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 1989), h.8
5
Harun Yahya, Memilih al-Qur’an sebagai Pembimbing, Terj: Hari Cahyadi, Syafruddin
Hasani, (Surabaya: Risalah Gusti, 2004), hlm. 8.
Al Quran dengan wawasannya yang amat luas banyak berbicara
tentang manusia, kodrat dan kedudukannya.6 Manusia adalah makhluk
ciptaan Allah yang paling mulia diantara makhluk ciptaan-Nya yang lain.
Oleh sebab itu manusia diharuskan mengenal siapa yang menciptakan
dirinya sebelum mengenal lainnya.7 Manusia sebagaimana sering
dikemukakan adalah makhluk dwi dimensi yaitu rohani dan jasmani,
jasad, akal dan roh kesemuanya perlu diasah dan diasuh agar mendapat
porsi pengembangan yang memadai.8
Dalam buku wawasan Al-Qur’an menurut Quraish Shihab, ada tiga
kata yang berkaitan dengan manusia sesuai dengan karakternya, yaitu
Insan, al-nas dan Al-Basyar.9 Penyebutan manusia yang berbeda, ini
mengindikasikan adanya I’jaz al-‘ilmi Al-Qur’an sebab dalam waktu yang
sangat jauh sebelum manusia menemukan ilmu psikologi, Al-Qur’an sudah
menyinggungnya beberapa abad lalu, dan perlu diyakini kemurnian
ayat Al-Qur’an.10
B. Rumusan Masalah
1. Kosakata “manusia” di dalam Al-Quran
2. Pendapat para pakar tentang manusia.
3. Pandangan Al-Quran tentang kemungkinan manusia sebagai makhluk
yang bisa dididik.
C. Tujuan Penulisan
1. Menelusuri kosakata manusia di dalam Al-Quran
2. Mengetahui pendapat para pakar ilmuwan tentang manusia

6
Lihat Abd.Muin Salim, Konsepsi Kekuasaan Politik dalam Al Quran, Cet.I (Jakarta: Raja
Grafindo, 1994), h.81-92
7
Sudono Syueb, Buku Pintar Agama Islam(Percetakan Bushido Indonesia:Delta
Media, 2011) hal.70
8
Muhammad Yasir Nasution, Manusia Menurut al-Ghazali, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
1996), cet 1, hlm. 1
9
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, (Jakarta: Mizan, 2007), hlm. 367.
10
Juhaya s. Praja, Tafsir Hikmah Seputar Ibadah, Muamalah, Jin dan Manusia. ( Cet. I;
Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2000), hlm. 177.
BAB II
PEMBAHASAN
1.1 Kosakata Manusia di Dalam Al-quran
Menurut ‘Aishah ‘Abdurrahman dalam kitabnya Maqāl fī al- Insān ia
mengungkapkan bahwa untuk mengetahui hakikat manusia dibutuhkan
pemahaman terhadap kata yang mengandung makna manusia itu sendiri
yaitu lafaz insān, nās dan basyar sehingga dengan memahami ragam
ungkapan tersebut akan menghasilkan pemahaman manusia secara utuh
mengenai apa hakikatnya ia diciptakan, apa tugas serta tanggung
jawabnya, serta hikmah dibalik penggunaan kata yang berbeda-
beda tersebut.11
A. Insan
Ibnu Abbas mengungkapkan bahwa manusia itu disebut insan karena
sering lupa kepada janjinya. Namun dari sudut pandang Al-Quran,
pendapat yang mengatakan Insan terambil dari kata Uns yang berarti jinak,
harmonis, dan tampak.12Dalam Al-Qur'an, kata insan disebut sebanyak 61
kali. Kata insan di dalam kebanyakan konteks pembicaraanya dalam Al-
Quran lebih mengarah kepada arti manusia dengan
sifat psikologisnya.13Menurut Quraish Shihab, kata insan digunakan Al-
Qur"an untuk menunjuk kepada manusia dengan seluruh totalitanya, jiwa
dan raga. Bahkan Bintusy Syathi' menegaskan bahwa makna kata insan
inilah yang membawa manusia sampai pada derajat yang membuatnya
pantas menjadi khalifah di muka bumi, menerima beban dan
amanat kekuasaan.14 Dalam kamus al-Wasiṭ disebutkan juga bahwa
manusia disebut dengan al-Insān dikarenakan manusia merupakan
makhluk hidup yang berpikir, menalar dengan akalnya, dikatakan dengan
kata al-insan karena ia merupakan makhluk yang mampu berbicara.15
11
Aishah ‘Abdurrahman, Maqāl fī al-Insān, (Kairo: Dār al-ma’ārif, 1969), hlm. 11.
12
Sahabuddin., (ed.). Ensiklopedi Al-Quran : Kajian Kosakata (Jakarta : Lentera Hati, 2007),
Cet. 1,Hal. 1040
13
Ibid
14
Jalaluddin.Teologi Pendidikan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), H.23
15
Ali bin Muhammad al-Jarjani, al-To'rifat, (Jeddah: al-Haramain, tth). hlm. 38.
B. Nas
Konsep al-Nas pada umumnya dihubungkan dengan fungsi manusia
sebagai makhluk sosial.16 Menurut al-Kisa'i bahwa asal dari nas yaitu dari
kata nun, waw dan sin yang artinya bergerak. 17 Penyebutan kata nās
digunakan untuk menyebut manusia dalam jumlah yang banyak seperti
keluarga, suku, kelompok, dan lainnya. Sedangkan dalam jumlah yang
sedikit maka digunakan kata insān.18
Kata al-Nas disebutkan dalam al-Qur’an sebanyak 240 kali yang tersebar
dalam 53 surat sebagai nama jenis keturunan Adam, yaitu satu spesies di
alam semesta19 Kata al-Nas menunjukkan pada hakekat; manusia sebagai
makhluk sosial secara keseluruhan, baik beriman atau-pun kafir.20
Penggunaan kata nās digunakan dalam al-Quran untuk menunjukkan
makna komunal yang melahirkan interaksi sosial antara sesama manusia
sehingga akan memperbaiki keadaan yang ada dengan interaksi sesama
manusia yang terjaga, contoh penggunaan kata nās dalam al- Quran dapat
ditemukan dalam QS. al-Hujurāt: 13
‫ٰۤي‬
‫َا ُّيَها الَّنا ُس ِاَّنا َخ َلْقٰن ُك ْم ِّم ْن َذ َك ٍر َّو ُاْنٰث ى َو َجَع ْلٰن ُك ْم ُش ُعْو ًبا َّو َقَبٓاِئَل ِلَتَع ا َر ُفْو ا ۗ ِاَّن َاْك َر َم ُك ْم ِع ْنَد ِهّٰللا َا ْتٰق ٮُك ْم ۗ ِاَّن َهّٰللا‬
‫َع ِلْيٌم َخ ِبْيٌر‬
"Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh,
yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling
bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti."

16
Jalaluddin. Teologi Pendidikan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), Hal. 24
17
Muhammad Yusuf al-Syahid bi Abi Hayyan al-Andalusi, Tafsir al-Bahr al-Muhith, Jilid I,
(Beirut: Dar al-Kutub al-‘ilmiyah, 1993), hlm. 180. 23Louis Ma’luf, al-Munjid fi al-Lug
18
Louis Ma'luf, al-Munjid fi al-Lughah, Cet XVIIII, (Beirut: al-Mathba' ah al-Katsulikiyah:
1956), hlm. 846.
19
Aisyah Abdurrahman, Manusia Sensitivitas dan Henneneutika al-Qur’an, terj. M. Adib al-
Arief (Jakarta: LKPSM, 1997), h. 2.
20
Al-Raghib al-Isfahaniy, al-Mufradat fi Gharb al-Qur’an (Beirut: dar al-Ma’arif, tt), h. 509.
Adapun pada ayat 13 Allah menjelaskan etika antar bangsa dan suku,
21
yakni cakupannya lebih luas. Ayat in menguraikan mengenai hakikat
prinsip dasar hubungan antar manusia. Oleh karena itu, dalam ayat 13
surat al-Hujurat pada penggalan awalnya tidak menggunakan kata-kata
"wahai orang-orang vang beriman" tetapi menggunakan penggalan kata
"wahai manusia” yang berarti prinsip dasar dalam hubungan antar manusia
tidak hanya diantara orang-orang beriman saja, akan tetapi mencakup
kepada seluruh manusia.
Kata al-Nas digunakan Alquran untuk menunjukkan bahwa
karakteristik manusia senantiasa berada dalam keadaan labil. Meskipun
manusia diberikan berbagai potensi untuk mengenal Tuhannya, namun
hanya sebagian manusia saja yang mengikuti ajaran. Dengan demikian,
manusia dapat dikatakan berdimensi ganda, yaitu sebagai makhluk yang
mulia dan tercela.22 Sebagaimana yang diungkapkan dalam surat Al-
Baqarah [2] ayat 8. Yang Artinya: “Di antara manusia ada yang
mengatakan: "Kami beriman kepada Allah dan hari kemudian," padahal
mereka itu Sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman”.23
Aspek lainnya kata al-nas mengacu kepada makhluk sosial ialah
dengan melihat kepada ungkapan akthar al-nas (kebanyakan
manusia).24Dari beberapa uraian dari penafsiran di atas, dapat disimpulkan
bahwa secara garis besar penggunaan kata nas dalam al-Quran menunjuk
kepada jumlah manusia yang banyak, sehingga dengan jumlah yang
banyak menuntut manusia dalam berinteraksi sosial dan menjaga
hubungan dengan manusia lainnya .Oleh karena itu manusia tidak dapat
terlepas dari manusia lainnya, bahkan dalam beribadah sekalipun manusia
membutuhkan bantuan lainnya, baik dalam bentuk pengajaran maupun
dalam bentuk pengarahan dalam beribadah.
C. Basyar

21
Kementerian Agama RI, al-Quran dan Tafsirnya..., hlm. 420.
22
Jurnal At-Tibyan Volume 2 No.2, Desember 2017
23
QS. Al-Baqarah [2] ayat 8
24
Akhmad Muzakki, Stilistika al-Quran..., hlm. 52
Kata Basyr bermakna pokok tampaknya sesuatu dengan baik dan
indah. Dari akar kata yang sama, lahir kata basyarah yang berarti kulit.
Manusia dinamai basyar karena kulitnya tampak jelas dan berbeda dengan
kulit binatang yang lain.25 Pemakaian kata Basyar dalam al-Qur’an
memberi pengertian bahwa yang dimaksud dengan kata tersebut adalah
anak Adam yang biasa makan dan berjalan di pasar-pasar, di dalam pasar
itu mereka saling bertemu atas dasar persamaan. Dengan demikian, kata
basyar selalu mengacu kepada manusia dari aspek biologis seperti
mempunyai bentuk tubuh, makan dan minum, kebutuhan seks, mengalami
penuaan dan mati.26 Kata Basyr ini disebutkan al-Qur’an kurang lebih
dalam 23 surat, yang berkaitan tentang penciptaan manusia, kemanusiaan
para nabi, serta ketidak mungkinan basyar dalam berkomunikasi dengan
Allah secara langsung.27 Kata basyar ditunjukkan kepada seluruh manusia
tanpa terkecuali. Hal ini mengisyaratkan bahwanabi dan rasul pun
memiliki dimensi al-basyar. Di sisi lain, banyak ayat al-Quran yang
menggunakan kata basyar yang megisyaratkan proses kejadian manusia
melalui tahap-tahap sehingga mencapai tahap kedewasaan.28
Sebagaimana yang disebutkan di dalam Firman Allah.29
‫َوِم ْن ٰا ٰي ِتٖۤه َاْن َخ َلَقُك ْم ِّم ْن ُتَر ا ٍب ُثَّم ِاَذ ۤا َاْنُتْم َبَش ٌر َتْنَتِش ُرْو َن‬
"Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan kamu
dari tanah, kemudian tiba-tiba kamu (menjadi) manusia yang berkembang
biak." (QS. Ar-Rum 30: Ayat 20)

1.2 Pendapat Para Pakar Tentang Manusia


A. Menurut Para Pakar
25
Muhammad Quraish Shihab, Wawasan A1-Ouran : Tafsir Tematik atas Pelbagai Persoalan
Umat, (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2007), Cet. I, Hal. 367
26
Al-Rasyidin, Falsafah Pendidikan Islam: Membangun Kerangka Ontologi, Epistemologi,
dan Aksiologi Praktik Pendidikan (Bandung: Citapustaka Media Perintis, 2008), h. 15.
17 A. Baiquni, dkk, Ensiklopedi Al-Qur’an Dunia Islam Modern (Yogyakarta: PT. Dana
Bhakti Prima Vasa, 2005), h. 409.
27
Khoirun Nadiyyin, Stuktur Semantik Konsep Manusia dalam Al-Qur’an, Fakultas Adab
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 4
28
Op.Cit.,
29
QS. Ar-Rum ayat 20
1. Seorang Pakar Filsof Muslim, Ibn Sina Jiwa manusia merupakan
satu unit yang tersendiri dan mempunyai wujud terlepas dari badan.
Jiwa manusia timbul dan tercipta tiap kali ada badan, yang sesuai dan
dapat menerima jiwa, lahir didunia ini. Walaupun jiwa tidak
mempunyai fungsi fisik. Panca indera yang lima dan daya-daya batin
dari jiwa binatanglah, yang menolong jiwa manusia untuk memperoleh
konsep-konsep dan ide-ide dari alam sekelilingnya. .30
2. Manusia adalah makhluk lain dari yang lain, manusia memiliki
keistimewaan tersendiri, keistimewaan tersebut adalah pikirannya.
Karena itu Aristotles mendefinisikan manusia sebagai hewan yang
berfikir (thinking animal).31
3. Ali Madkur mengatakan bahwa manusia terdapat kesatuan antara ruh
dan jasad yang keduanya mesti dipelihara dan ditumbuhkembangkan
ole ilmu melalui pendidikan yang bersumber kepada al-Quran dan al-
Sunnah. la menyebut manusia sebagai makhluk berpotensi ganda pula
bahkan multi kebutuhan.32
4. Manusia sebagai makhluk individu. Dalam bahasa latin individu
berasal dari kata individuum, artinya yang tak terbagi. Dalam bahasa
inggris individu berasal dari kata in dan divided yang artinya tidak
terbagi,atau suatu kesatuan.33Individu adalah hasil proses reproduksi
spesies manusia, tetapi proses ini memerlukan partisipasi dua individu.
Interaksi antar individu menghasilkan masyarakat; dan masyarakat,
yang menjadi saksi munculnya budaya, mempengaruhi individu-
individu melalui budaya.34

5. Manusia sebagai makhluk social

30
Ahmmad Hanafi, Pengatar Filsafata Islam, (Jakarta, Bulan Bintang, 1982), p. 195
31
M. Quraish Shihab, 1994 :227
32
Ali Madkur, 1422 H / 2002 M: 158
33
Elly M Setiadi, Ilmu Sosial dan Budaya (Jakarta: Prenada Media Group, 2006), h.59-60.
34
Edgar Morin, Tujuh Materi Penting Bagi Dunia Pendidikan (Yogyakarta: Penerbit Kanisius,
2012), h. 60-61.
Menurut Josef Boumans, manusia juga kodratnya adalah makluk
sosial. Semua manusia saling berhubungan dan mempersatukan dalam
keseluruhan sosial (masyarakat).35 August Comte (1875) mempelajari
pendekatan evolusionis dalam sosiologi. Comte menaruh perhatian
besar pada gejala sosial masyarakat. Masyarakat dipandang sebagai
suatu orde (susunan yang tetap dan tertib). Orde itu muncul karena
adanya kenyataan bahwa manusia dan kelompok manusia memiliki
tugas dan kewajiban sendiri. Masyarakat disusun berdasarkan prinsip
pembagian tugas. Jadi orde adalah keadaan normal yang bertumpu
pada sifat sosial manusia.36
6. Manusia sebagai Makhluk Spiritual
Manusia juga hidup dalam dimensi vertikal, dalam arti kehidupan
manusia tidak dapat dipisahkan dengan Sang Pencipta (Tuhan). Hal ini
sesuai dengan hakikat manusia sebagai makhluk spiritual. Sebagai
makhluk spiritual, Allah SWT menyatakan bahwa menciptakan
manusia bukan secara main-main.37 melainkan dengan suatu tujuan dan
fungsi. Secara global hakikat manusia sebagai makhluk spiritual dapat
diklasifikasikan salah satunya yaitu :
Memiliki Kepercayaan dan Keyakinan. Menurut Aceng Kosasih,
bahwa semula kata “iman” dipakai oleh orang Arab yang berarti al-
tasdiq dan bila diterjemahakan kedalam bahasa Indonesia berarti
pengakuan, kepercayaan kepada sesuatu, atau ketetapan hati.38
7. Khalifah. Al-Qur’an menegakkan bahwa manusia diciptakan Allah
sebagai pengemban amanah. Diantara amanat yang dibebankan kepada
manusia memakmurkan kehidupan bumi.39
Dalam pandangan Islam manusia diciptakan bukan hanya sekedar
mainan, melainkan untuk mengemban amanat Tuhan,40 yang pada
35
Josef Boumans, Telaah Sosial Tentang Manusia (Jakarta: Calesty Hieronika, 2000), h.6
36
Usman Pelly, Asih Menanti, Teori Sosial Budaya (Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, 1994), h. 54-55.
37
QS. Al-MU’minun ayat 115
38
Aceng Kosasih, Pendidikan Agama Islam (Bandung: Value Press, 2012), h.. 58.
39
QS. Hud ayat 61
40
Jurnal At-Tibyan Volume 2 No.2 , Desember 2017
akhirnya akan dimintai pertanggung jawaban. Adapaun kata khalifah
sendiri asalnya dari kata khalf yang artinya suksesi, pergantian atau
generasi penerus, wakil, pengganti, penguasa, kata tersebut terulang
sebanyak 22 kali dalam Alquran kemudain lahir kata khalifah.
Kata ini muncul dalam sejarah pemerintah Islam sebagai institusi
politik Islam, yang bersinonim dengan kata imamah yang berarti
kepemimpinan.41 Karena amat mulianya manusia sebagai pengemban
amant Allah, maka manusia diberi kedudukan sebagi khalifah- Nya di
muka bumi.42 Menurut Ahmad Musthafa Al-Maraghi, kata khalifah ini
memiliki 2 makna, Pertama: adalah pengganti, yaitu pengganti Allah
SWT untuk melaksanakan titah-Nya di muka bumi. Kedua: manusia
adalah pemimpin yang kepadanya diserahi tugas untuk memimpin
diri.43
8. Psikologi Islam. Menurut Harun Nasution, baik dimensi material
maupun non manusia keduanya memiliki energi atau daya (al-
quwwah). Ada dua daya dimensia material manusia, yaitu (1) daya-
daya fisik atau jasme mendengar, melihat, merasa, dll.. dan (2) daya
gerak, yaitu, (a) kemampuan menggerakkan tangan, kepala, kaki dll
(b) kemampuan untuk berpindah tempat, seperti berpindah tempt
duduk, keluar rumah, dsb. Sementara, dimensi non material manusia
juga memiliki dua daya, yaitu (1) daya berpikir yang disebut 'agl, yang
berpusat dikepala, dan (2) daya rasa yang disebut galb yang berpusat di
dada. Dalam hubungannya dengan jiwa, Baharuddin menyebut al-nafs
sebagai elemen dasar phisikis manusia, yaitu sisi jiwa yang menjadi
dasar dalam 'susunan' organisasi jiwa manusia.44
memposisikan manusia sebagai makhluk yang diciptkan oleh Allah,
sedangkan Psikologi Barat memandang manusia sebagai makhluk fisik
duniawi semata, yaitu sebagai hasil evolusi kehidupan. Psikologi Islam
41
M Dawam Rahardjo, Ensiklopedi al-Qur’an Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep
Kunci(Jakarta: Paramadina, 2002), h. 357
42
QS. Al-Baqarah ayat 30
43
Rasyid Rida dalam tafsir al-Manir
44
AL-Irssyad: Jurnal Pendidikan dan Konseling Vol. 7, No. 2, Edisi Juli-Desember 2017
menilai manusuia sebagai salah satu maha karya terpadu Allah yang
terdiri dari ruh dan tubuh yang simultan. Namun Psikologi Barat
memandang manusia hanya sebagai produk budaya dan pengaruh
ekstrernal "hubungan sebab akibat".45
1.3 Pandangan Al-Quran tentang kemungkinan manusia sebagai
makhluk yang bisa dididik.
Manusia adalah makhluk pedagogik yang dilahirkan membawa
potensi dapat dididik dan mendidik, sehingga mampu menjadi khalifah di
bumi. Salah satu tugasnya adalah sebagai pendukung dan pengembang
46
kebudavaan. Kebudayaan yang dikembangkan manusia Berea ide-ide,
gagasan, nilai-nilai, norma, aktivitas, kelakuan dari manusia dalam
masyarakat, benda-benda, dan hasil karya manusia.47 Manusia dapat
melakukan semua itu karena Allah melengkapi fitrah manusia berupa
bentuk atau wadah yang dapat disi dengan berbagai kecakapan dan
keterampilan yang dapat berkembang sesuai dengan kedudukannya
sebagai makhluk yang mulia. Di antara berbagai kemampuan tersebut
adalah pikiran, perasaan, dan kemampuan untuk melakukan sesuatu. 48
Seperangkat kemampuan yang dimiliki manusia meliputi potensi mental
intelektual, sosial emosional, mental spiritual, daya juang, dan potensi
fisik.49

45
Ali Madkur, 1422 H / 2002 M: 154).
46
Zakiah Daraiat. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara, 1996. hlm. 16.
47
Koentjaningrat dalam Dwi Lestari, Konsep Manusia Pembentuk Kebudavaan dalam al-
Quran Menurut Musa Asy'Arie, Skripsi Program Studi Agidah dan Filsafat Fakultas Ushuluddin
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta 2010, hlm. 10.
48
Zakiah Darajat, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara... hlm. 16.
49
Dewi Haroen, Personal Branding: Kunci Kesuksesan Berkiprah di Dunia Politik, Jakarta:
PT Gramedia Pustaka Utama, 2014, hm. 138.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Hakekat manusia menurut pandangan para filosof adalah sebagai
berikut: pertama, manusia sebagai hewan yang berfikir (thinking animal);
kedua, bahwa manusia terdapat kesatuan antara ruh dan jasad yang
keduanya mesti dipelihara dan ditumbuhkembangkan oleh ilmu melalui
pendidikan yang bersumber kepada Alquran dan al-Sunnah. Ia menyebut
manusia sebagai makhluk berpotensi ganda pula bahkan multi kebutuhan;
dan ketiga, manusia pada asalnya memilki karakter baik, sedangkan
perbuatan jahat seperti korupsi itu berasal dari masyarakat atau unsur lain.
Ia lebih lanjut mengatakan bahwa manusia yang baik dengan karakternya
karena datang dari pencipta alam semesta, jika disentuh atau bergaul
dengan manusia, maka manusia itu menjadi jahat; dan keempat, Para ahli
sosiologi berbeda dalam memandang manusia, mereka adalah makhluk
yang tidak mampu untuk hidup sendiri. Ia harus mempunyai hubungan
interdependensi baik langsung maupun tidak langsung dengan orang lain.
Dengan demikian manusia adalah makhluk social.
Manusia dalam al-Quran terdapat 4 lafadz yaitu: pertama, Kata Insan
tersebar ditemukan 65 kali dalam Alquran dengan tiga kategori. Pertama,
dihubungkan dengan keistimewaan sebagai khalifah atau pemikul amanah.
Kedua, insan dihubungkan dengan predisposisi negative diri manusia.
Ketiga, insan dihubungkan dengan proses penciptaan manusia. Kedua,
Lafadz Al-Basyar disebut dalam al-Quran sebanyak 35 kali. Manusia
disebut al-basyar, karena dia cenderung perasa dan emosional sehingga
perlu disabarkan dan didamaikan. Manusia sebagai basyar berkaitan
dengan unsur material, yang dilambangkan manusia dengan unsur tanah.
Ketiga, Lafadz al-Nas yang mengacu pada manusia sebagai makhluk
sosial. Inilah manusia yang paling banyak disebut al-Qur'an 240 kali.
Dalam hal ini setidaknya ada tiga aspek yang dikaji, yaitu: Pertama,
anjuran untuk berbudaya sesuai dengan ketentuan Allah, di antaranya
adalah dengan berpakaian guna manutup auratnya. Kedua, mengingatkan
pada keturunan Adam agar jangan terjerumus pada bujuk rayu setan yang
mengajak kepada keingkaran. Ketiga, memanfaatkan semua yang ada di
alam semesta dalam rangka ibadah dan mentauhidkanNya.
Dari penjelasan di atas dapat juga disimpulkan bahwa, manusia adalah
makhluk paling sempurna yang pernah diciptakan oleh Allah SWT. Kedua,
manusia diciptakan untuk beribadah kepada Allah SWT. Allah mengancam
bagi manusia yang tidak beribadah dan taat kepada-Nya akan
mendapatkan siksaan yang pedih. Ketiga, manusia dipercaya Allah untuk
menjadi khalifah dibumi. Hal ini dikarenakan manusia dilahirkan kedunia.
Dengan berbagai potensi yang dimilikinya sehingga dengan potensi
tersebut manusia dapat mengembangkan peradaban di dunia.
DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’anulkarim.
‘Abdurrahman, Aishah. Maqāl fī al-Insān. Kairo: Dār al-ma’ārif, 1969.
‘Abdurrahman, Aisyah. Manusia Sensitivitas dan Henneneutika Al-Qur’an.
Jakarta: LKPSM, 1997.
Al-Andalusi, Muhammad Yusuf Al-Syahid bin Abi Hayyan. Tafsir Al-Bahr Al-
Muhith. Beirut: Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyah, 1993.
Al-Isfahaniy, Al-Raghib. Al-Mufradat Fi Gharb Al-Qur’an. Beirut: Dar Al-Ma’rif,
tt.
Al-Jarjani, Ali bin Muhammad. Al-To'rifat. Jeddah: al Haramain, tth.
Al-Rasyidin. Falsafah Pendidikan Islam: Membangun Kerangka Ontologi,
Epistemologi, dan Aksiologi Praktik Pendidikan. Bandung: Citapustaka
Media Perintis, 2008.
Baiquni, A, dkk. Ensiklopedi Al-Qur’an Dunia Islam Modern. Yogyakarta: PT.
Dana Bhakti Prima Vasa, 2005.
Boumas, Josef. Telaah Sosial Tentang Manusia. Jakarta: Calesty Hieronika, 2000.
Darajat, Zakiah. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara, 1996.
Hanafi, Ahmad. Pengatar Filsafata Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1982.
Haroen, Dewi. Kunci Kesuksesan Berkiprah di Dunia Politik. Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama, 2014.
Jalaluddin. Teologi Pendidikan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003.
Kosasih, Aceng. Pendidikan Agama Islam. Bandung: Value Press, 2012.
Koentjaningrat dan Dwi Lestari. Konsep Manusia Pembentuk Kebudavaan dalam
al-Quran Menurut Musa Asy'Arie. Yogyakarta: Universitas Islam Negeri
Sunan Kalijaga, 2010.
Ma’luf, Louis. Al-Munjid fi Al-Lughah. Beirut: Al-Mathba’ Al-Katsulikiyah, 1956.
Morin, Edgar. Tujuh Materi Penting Bagi Dunia Pendidikan. Yogyakarta:
Kanisius, 2012.
Nasution, Harun. Filsafat Agama. Jakarta: Bulan Bintang, 1989.
Nasution, Muhammad Yasir. Manusia Menurut Al-Ghazali. Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1996.
Nadiyyin, Khoirun, Stuktur Semantik Konsep Manusia dalam Al-Qur’an.
Yogyakarta: Fakultas Adab UIN Sunan Kalijaga, 2009.
Pelly, Usman, dan Asih Menanti. Teori Sosial Budaya. Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, 1994.
Praja, Juhaya S. Tafsir Hikmah Seputar Ibadah, Muamalah, Jin dan Manusia.
Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2000.
Rahardjo, Muhammad Dawan. Ensiklopedi Al-Qur’an Tafsir Sosial Berdasarkan
Konsep-Konsep Kunci. Jakarta: Paramadina, 2002.
Sahabuddin. Ensiklopedi Al-Quran: Kajian Kosakata. Jakarta: Lentera Hati, 2007.
Salim, Abd. Muin. Konsepsi Kekuasaan Politik dalam Al Quran. Jakarta: Raja
Grafindo, 1994.
Salim, Abd. Muin. Metodologi Tafsir, Sebuah Rekonstruksi Epistemologi,
Memantapkan, Keberadaan Ilmu Tafsir Sebagai Disiplin Ilmu.
Ujungpandang: IAIN Alauddin, 1999.
Shihab, Muhammad, Quraish. Wawasan A1-Quran: Tafsir Tematik atas Pelbagai
Persoalan Umat. Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2007.
Shihab, Muhammad Quraish. Wawasan Al-Qur’an. Jakarta: Mizan, 2007.
Setiadi, Eli M. Ilmu Sosial dan Budaya. Jakarta: Prenada Media Group, 2006.
Syueb, Sudoyono. Buku Pintar Agama Islam. Bushido Indonesia: Delta
Media, 2011.
Yahya, Harun. Memilih Al-Qur’an Sebagai Pembimbing. Surabaya: Risalah Gusti,
2004.
Yasir, Muhammad. Manusia Menurut al-Ghazali. Jakarta: Raja Grafindo Persada,
1996.

Anda mungkin juga menyukai