Anda di halaman 1dari 21

PENCIPTAAN ADAM DALAM AL-QUR’ȂN

Disusun untuk memenuhi tugas: Tafsir Falsafi

Dosen Pengampu: Dr. Sujiat Zubaidi

Disusun Oleh:

Mujahid Imaduddin

PROGRAM DOKTORAL AQIDAH FILSAFAT ISLAM

UNIVERSITAS DARUSSALAM GONTOR

1444/2023
Penciptaan Adam Dalam Al-Qur’an
Mujahid Imaduddin
mujahidimaduddin33@student.afi.unida.ac.id

Abstrak: Tulisan singkat ini mengupas tentang penciptaan Adam dalam al-Qur’ȃn.
Tema tentang penciptaan Adam ini perlu untuk dikaji melihat banyaknya hikmah dan
pelajaran yang dapat dipetik dalam setiap untaian kata dalam al-Qur’an yang
membahas tentangnya. Kajian dalam Tulisan ini menitikberatkan pada bagaimana
proses penciptaan Adam dan manusia dalam al-Qur’an, serta bagaimana hubungannya
dengan misi kekholifahan di bumi. Data yang dipakai berupa data kepustakaan yaitu
buku-buku tafsir dan kajian para ulama. Kesimpulan tulisan ini bahwa terdapat
perbedaan proses kejadian manusia secara umum dan proses kejadian Adam a.s. Dalam
penciptaan manusia, terdapat misi kekholifahan di muka bumi, meskipun tidak setiap
manusia yang tercipta kemudian berhasil menjadi khalifah. Al-Qur’an mencatat bahwa
manusia memiliki potensi menyimpang dari tugas khalifah saat ia memilih kufur dan
lari dari tanggung jawab.
Pendahuluan
Manusia diciptakan Allȃh dalam bentuk sebaik-baiknya, Allȃh
memberikan kelebihan kepada manusia atas makhluk lain yang
diciptakan. Allȃh menciptakan manusia dari tanah yang apabila diorganisir ke dalam
diri manusia akan menghasilkan ekstrak sulȃlah (air mani). Jika masuk ke dalam rahim
akan mengalami proses kreatif. 1
Manusia merupakan kesatuan terdiri dari dua unsur pokok yang tidak dapat
dipisahkan, karena bila dipisahkan maka ia bukan lagi manusia. Sebagaimana air yang
terdiri dari kadar-kadar tertentu. Bila kadar oksigen dan hidrogennya dipisahkan maka
ia tidak akan menjadi air lagi. Dalam penciptaannya manusia juga dilengkapi
dengan potensi-potensi. 2
Manusia mempunyai misi yang suci di muka bumi ini yaitu sebagai
khalifah. Sungguh simbol khalifah yang digunakan al-Qur’an itu sangat eksplisit,
namun manusia sebagai wakil Tuhan di bumi bukan pengertian bahwa Allȃh akan
membuat kerajaan-Nya di muka bumi, seperti kingdom of god dalam istilah taurat.

1
Fazlur Rahman, Tema-tema Pokok al-Qur’an, (Bandung: Penerbit Pustaka, 1996), hlm. 26.
Lihat: Qs. al-Mu’min, 23: 12-14
2
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an Tafsir Maudhu’i atas Berbagai Persoalan Umat,
Volume 9, (Bandung: Penerbit MIZAN, cet. 1, 1996), hlm. 278.
Konsep tersebut di kalangan masyarakat Yahudi dan Kristiani sering dipahami oleh
muslim dalam memberi interpretasi kata khalifah. 3
Al-Qur’an menguraikan produksi manusia dan reproduksi manusia. Ketika
berbicara tentang penciptaan manusia pertama menunjuk kepada sang pencipta
dengan menggunakan pengganti nama bentuk tunggal. Tetapi ketika berbicara
tentang reproduksi manusia secara umum, Yang Maha Pencipta menunjuk dengan
menggunakan bentuk jamak. Demikian kesimpulan kita ketika membaca surat at-
Tin ayat 4:
َْ ْ َ َ ْ ْ َ َْ َ ْ ََ
٤ ۖ‫ﻟﻘﺪ �ﻠﻘﻨﺎ ا� ِ�� َ�ﺎن ِ� ْ ٓي اﺣ َﺴ ِﻦ ﺗﻘ ِﻮ ْﻳ ٍﻢ‬

Artinya: “sungguh, Kami benar-benar telah menciptakan manusia dalam


bentuk yang sebaik-baiknya”. (Qs. at-Tin, 95: 4).
Hal ini untuk menunjukkan perbedaan proses kejadian manusia secara
umum dan proses kejadian Adam a.s. Penciptaan manusia secara umum, melalui
proses keterlibatan Tuhan bersama selain-Nya, yaitu ibu dan bapak. Keterlibatan ibu
dan bapak mempunyai pengaruh menyangkut bentuk fisik dan psikis anak,
sedang dalam penciptaan Adam tidak terdapat keterlibatan pihak lain termasuk
ibu dan bapak. 4
Titik penting dalam pembahasan ini deskripsi yang jelas tentang
penciptaan Adam yang tidak terdapat keterlibatan pihak lain termasuk ibu dan
bapak, dan Bani Adam melalui proses keterlibatan Tuhan bersama selain-Nya, yaitu
ibu dan bapak. 5

Terma Manusia Dalam Al-Qur’ȃn


Sebelum masuk pada pembahasan terkait penciptaan manusia dan Nabi Adam
a.s, kajian ini memulai pembahasan dengana mengajak pada pemahaman terkait terma
manusia dalam al-Qur’ȃn. Secara umum manusia memiliki arti Makhluk yang berakal
budi (mampu menguasai makhluk lain); insan; orang: sebagai orang biasa, ia bisa juga
khilaf, orang mati meninggalkan nama; misal harimau mati meninggalkan belang,

3
Irwandar, Demitologisasi Adam dan Hawa, (Jogjakarta: AR-RUZZ Pres, 2003), hlm. 167.
4
Lihat., Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an Tafsir Maudhu’i atas berbagai Persoalan Ummat,
volume 9...., hlm. 276
5
Hisyam Thalbah, penerjemah. Syarif Hade Masyah, Ensiklopedia Kemukjizatan al-Qur’an
dan Hadis, cet IV, (Jakarta: PT Sapta Sentosa: 2010), hlm. 52
gajah mati meninggalkan gading 6. Dalam al-Qur’ȃn ada empat kata yang bisa diartikan
sebagai manusia, yaitu, al-Basyar, an-Nȃs, dan al-insȃn dan bani adam, namun jika
ditinjau dari segi bahasa dan penjelasan al-Qur’an sendiri, pengertian keempat kata
tersebut berbeda.
Agar tidak terjadi kerancuan makna kata (semantic), kita harus memahami
dalam konteks apa manusia disebut dengan terma Al-Basyar maupun terma Al-Insân,
dan dalam konteks apa pula manusia disebut dengan terma An-Nȃs ataupun terma Bani
Adam. Masing-masing dari keempat terma tersebut memiliki stressing dan aksentuasi
makna tersendiri di mana satu dengan yang lainnya saling melengkapi dan
menyempurnakan. Dengan demikian keempat terma tersebut merupakan satu kesatuan
tidak terpisahkan yang mendeskripsikan manusia secara holistic dan komprehensif.
Sebab, memahami manusia dalam empat terma ini menjadi penting untuk dijadikan
paradigma dalam merumuskan tujuan penciptaan manusia.
Di dalam al-Qur’ȃn manusia disebutkan dengan lafal atau terma Al-Basyar. Al-
Basyar adalah gambaran manusia secara materi yang dapat dilihat,
memakan sesuatu, berjalan, dan berusaha memenuhi kebutuhan kehidupannya. Terma
ini mengacu pada makna manusia jasadiah ditemukan sebanyak tiga puluh tujuh (37)
kali, tersebar dalam dua puluh tiga (23) surat atau menempati posisi sepuluh persen
(10%) dari totalitas utuh manusia. 7 6F

Adapun terma manusia sebagai al-Insȃn dan al-Ins,


dalam al-Qur’an, sekalipun memiliki akar kata yang sama, kedua kata tersebut
mempunyai pengertian yang berbeda dan memiliki keistimewaan yang berbeda pula.
Pertama, terma manusia sebagai Al-Insân di dalam al-Qur`an disebutkan
sebanyak 65 kali (17%) yang tersebar dalam 43 Surat dan Al-Ins sebanyak 18 kali
(6%). Al-Insân dan al-Ins total menempati posisi dua puluh tiga persen (23%) dari
totalitas utuh manusia. 8 Kedua, manusia dalam terma Al-Ins disebutkan sebanyak
delapan belas (18) kali. 9 Ada juga terma unâs disebutkan lima (5) kali. 10

6
Hasan Alwi, Kmus Besar Bahas Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, cet. 3, 2002), hlm. 714.
7
Muhammad Fuad Abd Baqi, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfaz al-Qur’an, (Bairut: Dâr al-Fikr,
1987), hlm. 120-121.
8
Ibid. hlm. 93-94.
9
Ali Audah, Konkordansi Qur ‘an, (Jakarta: Litera Anatar Nusa, 1991), hlm. 691.
10
Muhammad Fuad Abd Baqi, al-Mu’jam..., hlm. 120-121.
Adapun terma manusia sebagai an-Nȃs disebutkan sebanyak dua ratus empat
puluh (240) kali, menempati enam puluh lima persen (65%) dari totalitas utuh manusia.
Tersebar dalam 52 surat. 11
Jika diperhatikan dengan seksama ayat-ayat yang mengandung terma al-nâs,
menurut al-Rȃghib al-Ishfahȃny, kata an-Nȃs menunjukan pada eksistensi manusia
sebagai makhluk sosial secara keseluruhan, tanpa melihat status keimanan dan
kekafirannya. 12 Kalau terma Al-Basyar aksentuasi dan sressingnya lebih menitik
beratkan pada dimensi fisik lahiriah. Dan Al-Insân lebih fokus pada dimensi totalitas
selaku individu baik fisik maupun psikis. Adapun terma An-Nȃs stressingnya pada
dimensi manusia sebagai makhluk kolektif (social being). Karena itu tidak heran jika
keseluruhan ayat-ayat terkait terma Al-Nâs, kata ganti (dhamir) yang digunakan selalu
dalam bentuk jama’ (plural). Sebagai contoh bila diperhatikan dengan teliti, firman
Allah dalam surat an-Nisâ’ ayat 1 dan surat al-Hujurât ayat 13, akan tampak dengan
jelas penggunaan kata ganti atau dhamirnya menggunakan kata ganti jamak atau plural.
ً َ َ ُ ْ ‫ﱠ ُ ْ َﱠ ُ ُ ﱠ ْ َ َ َ ُ ْ ّ ْ ﱠ ْ ﱠ َ ﱠ َ َ َ ْ َ َ ْ َ َ َ َ ﱠ‬ َ
��‫ا�ﺪ ٍة و�ﻠﻖ ِﻣﻨﻬﺎ زوﺟﻬﺎ وﺑﺚ ِﻣﻨﻬﻤﺎ ِر�ﺎ‬ ُ ‫ٰٓ ﱡ َ ﱠ‬
ِ ‫ﻳﺎﻳﻬﺎ ا��ﺎس اﺗﻘﻮا رﺑﻜﻢ ا� ِ�ي �ﻠﻘﻜﻢ ِﻣﻦ ﻧﻔ ٍﺲ و‬
ُ َ َ َ َ ّٰ ‫ْ َ َ َ ﱠ‬ ُ ‫ّٰ ﱠ‬ َ
ْ َ ‫اﷲ ا�� ْي �َ َ�ﺎ َۤءﻟ ْﻮ َن ﺑ ٖﻪ َوا�� ْر�ﺎمۗ ان‬
١ ‫اﷲ ��ن �� ْ�ﻜ ْﻢ َر ِﻗ� ًﺒﺎ‬ َ ‫ﻛﺜ ْي ً�ا ﱠو� َ�ﺎ ًۤءۚ َوﱠاﺗ ُﻘﻮا‬
ِ ِ ِ ِ ِ

Artinya: “Wahai manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakanmu dari diri
yang satu (Adam) dan Dia menciptakan darinya pasangannya (Hawa). Dari keduanya Allah
memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. 13143 Bertakwalah kepada
Allah yang dengan nama-Nya kamu saling meminta dan (peliharalah) hubungan kekeluargaan.
Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu. (Qs. An-Nisȃ, 4: 1)

ّٰ َ ْ ْ ُ َ َ ْ َ ‫ٰٓ َ ﱡ َ ﱠ ُ ﱠ َ َ ْ ٰ ُ ْ ّ ْ َ َ ﱠ ُ ْ ٰ َ َ َ ْ ٰ ُ ْ ُ ُ ْ ً ﱠ َ َ َ َ َ َ ُ ْ ﱠ‬
‫اﷲ‬
ِ ‫ﻳﺎﻳﻬﺎ ا��ﺎس ِاﻧﺎ �ﻠﻘﻨﻜﻢ ِﻣﻦ ذﻛ ٍﺮ واﻧ�ى وﺟﻌﻠﻨﻜﻢ ﺷﻌﻮﺑﺎ وﻗﺒﺎۤﯨِٕﻞ ِﻟﺘﻌﺎرﻓﻮاۚ ِان اﻛﺮﻣﻜﻢ ِﻋﻨﺪ‬
َ َ َ ّٰ ‫َ ْ ٰ ُ ْ ﱠ‬
١٣ �ٌ ‫اﷲ � ِﻠ ْﻴ ٌﻢ ﺧ ِﺒ ْي‬ ‫ۗان‬
ِ ‫اﺗﻘﯩﻜﻢ‬

Artinya: “Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki
dan perempuan. Kemudian, Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku
agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah

11
Ibid, hlm. 726-729. Dalam karya, Ali Audah, Konkordansi al-Qur’ȃn, hlm. 468, terma an-
Nȃs disebutkan sebanyak 241 kali.
12
Al-Raghib al-Isfahani dalam Ramayulis dan Nizar Samsul, Filsafat Pendidikan Islam,
(Bandung: al-Ma’arif, 1962), hlm. 50.
13
Ayat ini menegaskan bahwa Nabi Adam a.s. dan Hawa tidak diciptakan melalui proses
evolusi hayati seperti makhluk hidup lainnya, tetapi diciptakan secara khusus seorang diri, lalu
diciptakanlah pasangannya dari dirinya. Mekanismenya tidak dapat dijelaskan secara sains. Selanjutnya,
barulah anak-anaknya lahir dari proses biologis secara berpasangan-pasangan sesuai kehendak-Nya.
adalah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Teliti.”
(Qs. Al-Hujurȃt, 49: 13)

Berbeda dengan penggunaan kata ganti kedua dan ketiga untuk terma al-Insȃn,
dengan konsisten selalu menggunakan betuk tunggal (mufrod), berbeda dengan terma an-Nȃs
kata ganti kedua dan ketiga selalu menggunakan bentuk jama’. Salah satu contoh ayat terma
al-Insȃn di dalam surat an-Najm ayat 39-41. Allȃh berfirman:

ٰ َْ َْ ُ ْ ُ ُ َ ٗ ْ ‫َﱠ‬ ‫ﱠ‬ ْ ‫َ ﱠ‬
َ ْ ���‫َوا ْن ﻟ ْ� َﺲ ِل‬
٤١ۙ‫ ﺛﱠﻢ �� ٰﺰﯨﻪ ا�� َﺰا َۤء ا�� ْو�ى‬٤٠ ۖ‫ َوان َﺳﻌ َﻴﻪ َﺳ ْﻮف ُﻳ ٰﺮى‬٣٩ ۙ��ٰ ‫ﺎن ِا�� َﻣﺎ َﺳ‬
ِ � ِ

Artinya: “bahwa manusia hanya memperoleh apa yang telah diusahakannya. Bahwa
sesungguhnya usahanya itu kelak akan diperlihatkan (kepadanya). Kemudian dia akan diberi
balasan atas (amalnya) itu dengan balasan yang paling sempurna.”

Dari ayat di atas jelas menunjukkan kata ganti mufrad atau tunggal.

Terma manusia terakhir dalam al-Qur’ȃn adalah terma Bani Adam. Manusia dalam
terma Bani Adam di dalam al-Qur’ȃn ditemukan sebanyak 7 kali atau dua persen (2%),
tersebar di dalam tiga surat. Lima kali disebutkan dalam surah al-A’rȃf: ayat 26, 27, 31, 35 dan
172. Dan masing-masing disebutkan satu kali dalam dua surah, yakni surat al-Isrȃ ayat 70 dan
surah Yâsin ayat 60. 14 Terma Bani Adam terdiri dari dua kata Bani dan Adam. Bani artinya
anak atau keturunan dan Adam maksudnya Nabi Âdam a.s. manusia pertama yang diciptakan
Allah S.W.T yang menempati planet bumi. Karena itu, Bani Adam artinya keturunan Nabi Adam
a.s., bapak segala manusia yang ada, baik yang hidup maupun yang sudah meninggal, umat
terdahulu dan ummat terakhir adalah berasal darinya. 15

Jika diperhatikan ketujuh ayat yang mengandung terma Bani Adam, secara eksplisit
maupun implisit, ada unsur-unsur penting secara signifikan menunjukan bahwa manusia
sebagai keturunan atau dzurriyah Adam a.s. merupakan makhluk yang bermoral. Dengan kata
lain, bahwa penyebutan manusia dengan terma Bani Adam di dalam al-Qur’ȃn aksentuasi dan
stressingnya adalah Allah S. W.T. hendak memberitahukan bahwa manusia adalah makhluk
paripurna yang bermoral yang dimuliakan dan memiliki keutamaan-keutaman.

Tabel I
Terma Manusia Dalam Al-Qur’ȃn
No Terma Jumlah Jumlah Lafal Jumlah Lafal
Manusia Surat (dalam satuan) (dalam %)
1 Al-Basyar 23 37 10
2 Al-Insȃn 43 65 17
3 An-Nȃs 52 240 65
4 Al-Ins 9 18 6
5 Bani Ȃdam 3 7 2
Total 367 100 %

14
Ali Audah, Konkordansi Al-Qur’ȃn, hlm. 161.
15
Ramayulis, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: Al-Ma’arif, 1962), hlm. 8.
Penciptaan Manusia
Konsep manusia dalam Islam, diisyaratkan dalam surat al-Insân ayat 1, menurut
Quraish Shihab, bahwa “Manusia pernah tidak ada sebelumnya.” 16 Menurut A. Yusuf
Ali: Tidak ada wujud (Non existence) atau wujud seperti tanah liat tanpa nyawa
(exsistence as clay without life). 17 Menurut Ibn Katsir, Lalu Allah mengeluarkan
manusia menjadi ada. 18 Artinya menurut Al-Baghawi, Manusia diciptakan di dalam
kandungan (al-arhâm) di dunia ini. 19 Terkait proses penciptaan manusia eksplisit
disyaratkan di dalam surat al-Mu’minun, 23: 12-16, substansinya, manusia diciptakan
Allah dari intisari tanah yang dijadikan nuthfah dan disimpan di tempat yang kokoh
(qarâr makin). Disebutkan tempat kokoh sungguh menakjubkan dikarenakan
keberadaan Rahim di dalam surat al-Zumar, 39: ayat 6, dijuluki dengan tiga kegelapan
(Dzulumât tsalâts). Menurut al-Baghawi: Pertama, kegelapan dalam perut. Kedua,
kegelapan dalam kandungan. Ketiga, kegelapan tembuni atau ari-ari (masyȋmah). 20
Menurut Maurice Bucaille, bahwa: “Para ahli tafsir modern mengartikannya sebagai
tiga bagian anatomic yang memelihara bayi dalam kandungan: dinding perut
(plasenta), Rahim (membrane), dan zat-zat pembungkus bayi (cairan aminotik). 21

Manusia merupakan sosok makhluk yang diciptakan dari dua unsur, thȋn (‫)اﻟﻄﲔ‬
dan ruh (‫)اﻟﺮوح‬. Demikian keterangan Sang Pencipta dalam al-Qur’an,
َ َ َ ٌ َ ّ َ ٰۤ ْ َ َ َ ْ
ٗ ُ َ َ ُ ْ ََ ٗ ُ َ َ
‫ِاذ ﻗﺎل َر ﱡﺑﻚ ِلﻠ َﻤﻠﯩِٕﻜ ِﺔ ِ ِا� ْي �ﺎ ِﻟﻖۢ �� ً�ا ِّﻣ ْﻦ ِﻃ ْي ٍن ﻓ ِﺎذا َﺳﱠﻮ ْﻳﺘﻪ َوﻧﻔﺨﺖ ِﻓ ْ� ِﻪ ِﻣ ْﻦ ﱡر ْو ِ� ْي ﻓﻘﻌ ْﻮا �� ٰﺳ ِﺠ ِﺪ ْﻳ َﻦ‬

Artinya: (Ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat, “Sesungguhnya Aku


akan menciptakan manusia dari tanah. Apabila Aku telah menyempurnakan

16
Quraish Shihab, Maut: Perjalanan Menuju Keabadian, Jurnal Bimas Islam, Vol. 4 No.2, 2011,
hlm. 204.
17
A. Yusuf Ali, The Holy Qur'ân: Tranlation and Commentary, (Jeddah, SA: Dâr al-Qiblah
For Islamic Literature, 1403 H), hlm. 1265.
18
Ibn Katsir al-Farsyiyy al-Dimasyqi, Tafsir al-Qur’ân al-‘Azim, (Bairut, Libanon: Dâr al-
Khayr, 1993), hlm. 71.
19
Al-Baghawi, Tafsir al-Baghawi: Ma 'âlim Tanzîl, (Bairut, Libanon: Dâr Ibn Hazm 2002),
hlm. 875.
20
Ibid. hlm. 1121.
21
Maurice Bucaille, La Bible le Coran et la Science, Terj. HM. Rasyidi, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1978), hlm. 305.
(penciptaan)-nya dan meniupkan roh (ciptaan)-Ku ke dalamnya, tunduklah kamu
kepadanya dalam keadaan bersujud.” (Qs. Shad, 38: 71-72)
Fakta ilmiah menunjukkan bahwa manusia diciptakan dari tanah (turâb) atau
thȋn, lalu dari saripati tanah menurut Zaghloul El-Naggar, “Sebagai petunjuk yang
benar-benar luar biasa, karena tidak seorang pun manusia mengetahui fakta ini pada
masa turunnya wahyu dan tidak pula beberapa abad sesudahnya.” 22 Terbukti elemen
yang ada pada tanah: nitrogen, fasfor, kalsium, kalium, magnesium dan karbon, ada
pula pada manusia. 23 Dari saripati tanah dijadikan nutfah disimpan di tempat kokoh
(Rahim). Kemudian nuthfah dijadidikan darah yang melekat di dinding Rahim
(‘alaqah). Lalu alaqah dijadikan mudghah, kemudian mudghah dijadikan tulang
belulang (‘izâmâ), lalu tulang dibalut dengan daging yang kemudian dijadikan-Nya
makhluk lain.
Kemudian dijelaskan lebih lanjut dalam surat al-Sajdah, 32: ayat 7-9, bahwa
setelah kejadian manusia dalam kandungan mengambil bentuk yang disempurnakan,
lalu ditiupkan ruh ciptaan Allah Ta’âlâ dan dijadikan-Nya pada manusia pendengaran,
penglihatan dan perasaan (fu’âd). Setelah itu, Ali Yafie menyatakan, al-Qur`an
mengisyaratkan perubahan yang sangat mendasar. 24 Menurut al-Nahlâwi bahwa: Allah
telah menciptakan bagi manusia pendengaran, penglihatan dan hati (fu’ȃd) agar kita
berfikir, merenungkan dan memandang dengan pandangan yang bersih. Dan
memperhatikan apa yang ada di sekeliling kita, kemudian kita memurnikan keadaan
itu dengan akal dan hati kita agar kita dapat mempergunakan apa yang telah diberikan
Allah untuk kita. 25
Dalam Hadits al-Arba’în diriwayatkan Bukhari-Muslim, Imam Nawawi
menyatakan, bahwa janin diciptakan seratus dua pulah hari dalam tiga tahapan. Setiap
tahapan selama empat puluh hari. Empat puluh hari pertama berupa nuthfah, empat
puluh hari kedua berupa ‘alaqah dan empat puluh hari ketiga berupa mudghah, dan
pada hari ke seratus dua puhuh, Malaikat meniupkan ruh (al-rûh) kepadanya. 26 Dari
ayat dan hadits di atas tampak jelas, bahwa menurut Harun Nasution: Manusia tersusun
dari dua unsur, materi dan imateri, jasmani dan ruhani. Tubuh manusia berasal dari
tanah dan ruh atau jiwa berasal dari substansi imateri di alam ghaib. Tubuh pada

22
Zaghloul El-Naggar, Mukhtarât min Tafsir al-Ayat al-Kawniyyah fi al-Qur’ân al-Karim,
Terj- Masri El-Masyar Bidin dan Mizan Thabrani, Jilid I, (Jakarta: Shorouk Internasional Bookshoop,
2010), hlm. 255.
23
Riwayah Ahmad, Huquq al-Insân fi al-Islâm, (Madinah al-Munawwarah, 2015), hlm. 24.
24
Ali Yafie, Mengagas Fiqh Sosial, (Bandung: Mizan, 1995), hal. 30-31.
25
Abd al-Rahman Al-Nahlawi, Ushûl al-Tarbiyyah al-Islâmiyyah wa Asâlȋbihâ, (Bairut: Dâr
al-Fikr, 2015), hlm. 35.
26
Imam al-Nawawi dalam Musthafa Dieb al-Bugha dan Muhyiddin Mitsu, Al-Wâfi fi Syarh al-
‘Arba'in al-Nawawiyyah, Terj. Iman Sulaiman, (Jakarta: Pustaka Kautsar, 1993), hlm. 23.
akhirnya akan kembali menjadi tanah dan ruh atau jiwa akan pulang ke alam ghaib. 27
Begitu pula menurut Zakiah Daradjat, bahwa “Manusia merupakan persenyawaan
antara jasad dan ruh. Manusia merupakan makhluk yang terdiri dari jasad dan ruh
sekaligus. Manusia adalah makhluk jasadiah sekaligus ruhaniah, bukan jasad murni
dan bukan pula ruh murni. Kedua elemen itu membentuk sebuah jati diri manusia.” 28
Bila dicermati, pemilihan thȋn sebagai “bahan dasar” raga manusia tentunya
telah terukur secara sempurna, karena disiapkan untuk manambah misi agung yang
tidak mungkin dijalani oleh makhluk yang berbahan dasar lainnya. Tidak pada bangsa
jin yang tercipta dari bahan dasar api yang amat panas 29, ataupun malaikat yang dicipta
dari cahaya 30. Keagungan misi ini dibuktikan dalam proses penciptaan fisik yang amat
sempurna, tatkala Allȃh mengisi thȋn dengan ruh kehidupan lalu menyempurnakan
bentuknya, lantas menyebutnya sebagai ciptaan yang lain (kholqan ȃkhor) 31. Bukan
semata thȋn atau ruh, namun perpaduan antara thȋn dan ruh yang kemudian memiliki
nama manusia. Demikian kesempurnaan penciptaan manusia dari segi fisik, yang
bahkan ditegaskan kembali dalam ayat lain, sebagai berikut:
َ َ َْ ْ َ ْ َ َ ْ َ َ
‫ﻢ‬ ْ ‫ﺎن � ْي ا ْﺣ َﺴﻦ َﺗ ْﻘﻮ‬
‫ﻳ‬
ٍۖ ِ ِ ٓ ِ ���ِ �‫ﻟﻘﺪ �ﻠﻘﻨﺎ ا‬

Artinya: “Sungguh, Kami benar-benar telah menciptakan manusia dalam bentuk yang
sebaik-baiknya”. (Qs. At-Tȋn, 95:4)
Adapun ruh, maka Allȃh menyempurnakan tempat bersemayamnya di dalam
jiwa dengan mengilhamkan kepada jiwa (itu) jalan fujur dan takwanya”. (Qs. As-
Syams, 91: 7-8)

َ ‫ َﻓ َﺎ ْﻟ َﻬ َﻤ َﻬﺎ ُﻓ ُﺠ ْﻮ َر َﻫﺎ َو َﺗ ْﻘ ٰﻮ‬٧ ۖ‫ﯨﻬﺎ‬


٨ ۖ‫ﯨﻬﺎ‬ َ ‫َو َﻧ ْﻔﺲ ﱠو َﻣﺎ َﺳ ّٰﻮ‬
ٍ

Artinya: “dan demi jiwa serta penyempurnaan (ciptaan)-nya, lalu Dia mengilhamkan
kepadanya (jalan) kejahatan dan ketakwaannya”. (Qs. As-Syams. 91: 7-8)
Demikian tegasNya dalam al-Qur’an, misi agung ini juga semakin menjadi
terang tatkala Allȃh Subhȃnahu wa Ta’ȃla menguji para malaikat yang “keberatan”
dengan penciptaan manusia sebagai pengembang misi ini 32, melalui penyebutan nama-

27
Harun Nasution, Islam Rasional, cet.1, (Bandung: Mizan, 1995), hlm. 37.
28
Zainal Abidin, Filsafat Manusia, Cet. 6, (Bandung: Remja Rosdakarya, 2011), hlm. 25.
29
Qs. al-Hijr, 15:27
30
HR. Muslim
31
Lihat, Qs. al-Mukminȗn, 23:14
32
Qs. al-Baqorah, 2: 30
nama tertentu. 33 Bahkan, malaikat yang tak mampu menyaingi pengetahuan Rabbani 34
yang diajarkan Allȃh pada manusia pertama, Adam a.s., diperintahkan untuk sujud
sebagai penghormatan 35.
Benar sekali, misi dimaksud ialah misi kekholifahan yang tengah dicanangkan
ilahi untuk dipikul oleh manusia di muka bumi, sejak awal penciptaannya. Allȃh
berfirman:
ً َ َ َْ ٌ َ ّ َ ٰۤ ْ َ ‫َ ْ َ َ َ ﱡ‬
‫ﺎﻋﻞ ِ�ى ا�� ْر ِض � ِﻠ ْﻴﻔﺔ‬
ِ � ‫واِ ذ ﻗﺎل رﺑﻚ ِلﻠ َﻤﻠﯩِٕﻜ ِﺔ ِ ِا� ْي‬

Artinya: (Ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Aku hendak
menjadikan khalifah) di bumi....” (al-Baqorah, 2: 30)
Penciptaan Adam
Jamak diketahui bahwa Adam a.s. adalah manusia pertama yang diciptakan.
Namun, sedikit yang menggali hikmah di balik prosesi penciptaan Adam ini, serta
miniatur kehidupannya di surga sebelum turun ke dunia.
Berbeda dengan keturunannya, Adam diciptakan melalui proses yang unik dan
mengagumkan. Begitu unik, karena ia tidak dilahirkan melalui proses seksual suami
istri, melainkan dicipta langsung oleh llahi, Dibentuk, disempurnakan, hingga
ditanamkan ruh dalam raganya. Firman Allȃh Swt:
ُ ْ ََ ٗ ُ َ َ ُ َ َ ْ َ ْ ّ ً َ َ ٌ َ ْ ّ َ ٰۤ َ ْ َ ‫َ ْ َ َ َ ﱡ‬
‫ ﻓ ِﺎذا َﺳﱠﻮ ْﻳﺘﻪ َوﻧﻔﺨﺖ ِﻓ ْ� ِﻪ ِﻣ ْﻦ ﱡر ْو ِ� ْي‬٢٨ ۚ‫ﺎل ِّﻣ ْﻦ � َ� ٍﺎ ﱠﻣ ْﺴﻨ ْﻮ ٍن‬
ٍ ‫واِ ذ ﻗﺎل رﺑﻚ ِلﻠﻤﻠﯩِٕﻜ ِﺔ ِ ِا�ي �ﺎ ِﻟﻖۢ ���ا ِﻣﻦ ﺻﻠ‬
‫ﺼ‬
َ
َ ْ ٰ ٗ ْ ُ َ َ
٢٩ ‫ﻓﻘﻌﻮا �� ﺳ ِﺠ ِﺪﻳﻦ‬

Artinya: “(Ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat, “Sesungguhnya Aku


akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering dari lumpur hitam yang
dibentuk. Maka, apabila Aku telah menyempurnakan (kejadian)-nya dan telah
meniupkan roh (ciptaan)-Ku ke dalamnya, menyungkurlah kamu kepadanya dengan
bersujud.” (Qs. al-Hijr, 15: 28-29)

Qs. al-Baqarah, 2: 31-32


33

Qs. al-Baqorah, 2:31. Disebut pengetahuan rabbani sebagai isyarat bahwa seluruh
34

pengetahuan yang baik sejatinya berasal dari Allȃh Swt, yang wajib diraih melalui jalan yang telah
ditetapkan-Nya, sekaligus menegaskan bahwa hanya pengetahuan rabbanilah yang akan mengangkat
derajat manusia melebihi kemuliaan malaikat, dan mendekatkannya pada Ilahi. Lihat: Adi Hidayat,
Manusia Paripurna Pesan, Kesan dan Bimbingan al-Qur’an, Cet III, (Jawa Barat: Institute Quantum
Akhyar, 2021), hlm. 32.
35
Qs. al-Baqorah, 2: 34
Amat mengagumkan, karena penciptaan manusia pertama ini diiringi
pengajaran ilmu rabbani, langsung dari Sang Pencipta.
َ ٰ ُْ ُ ْ َ ُ ٰٓ َ َ ْ َ َ َ َ َ ٰۤ ْ َ َ َ َ ُ ‫َﱠ ٰ َ ْ َ َ ُﱠ‬
٣١ ‫َو�ﻠ َﻢ اد َم ا�� ْﺳﻤﺎ َۤء �� َﻬﺎ ﺛﱠﻢ ﻋ َﺮﺿ ُﻬ ْﻢ ��� اﻟ َﻤﻠﯩِٕﻜ ِﺔ ﻓﻘﺎل اﻧ ۢ ِﺒ ُٔـ ْ ِﻮ� ْي ِﺑﺎ ْﺳﻤﺎ ِۤء ﻫﺆ�� ِۤء ِان ﻛ�ﺘ ْﻢ ﺻ ِﺪ ِﻗ ْين‬

Artinya: “Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda) seluruhnya, kemudian


Dia memperlihatkannya kepada para malaikat, seraya berfirman, “Sebutkan kepada-
Ku nama-nama (benda) ini jika kamu benar!” (Qs. Al-Baqorah, 2: 31)
Keunikan penciptaan Adam sebagai manusia pertama menitipkan hikmah,
bahwa bagi Sang Maha Pencipta, segala sesuatu dapat mudah terjadi bila telah Dia
tetapkan, tanpa harus mengikuti proses yang lazim dialami manusia umumnya. Hal ini
menyiratkan pesan rabbani, bahwa manusia seyogyanya mengembalikan segala daya
dan kuasa kepada Yang Maha Segalanya, tanpa harus merasa sebagai yang paling
hebat, yang paling tangguh, yang paling kuasa, dan semacamnya. Proses penciptaan
Adam ini juga sekaligus membantah dugaan orang yang mengklaim bahwa Yesus
merupakan tuhan atau anak tuhan, hanya karena ia dilahirkan tanpa ayah. Sungguh,
Adam dilahirkan tanpa ayah dan ibu, namun tidak pernah diklaim atau mengklaim
sebagai Tuhan, sebagaimana Yesus tidak pernah pula mengklaim diri sebagai Tuhan.
Anugerah pengetahuan yang diajarkan langsung oleh llahi pada Adam juga
melahirkan decak kagum tersendiri bagi para penggali hikmah. Setidaknya, ini
menyiratkan bahwa setiap manusia yang tercipta telah dibekali pengetahuan rabbani
untuk mendukung misi dan tujuan hidupnya di muka bumi. Bagi Adam, pengetahuan
ini diajarkan langsung oleh Sang Pencipta 36 karena ia merupakan khalifah pertama
sekaligus Nabi, Sedangkan bagi manusia biasa, pengetahuan ini ditanamkan dalam
bentuk potensi ilmu dalam dirinya 37, hingga ia bisa meraih apa saja yang ia cita
sepanjang dapat mendukung misi dan tujuan hidupnya sebagai kholifah dan ahli
ibadah. Berita al-Qur’an tentang sujud penghormatan malaikat pada Adam a.s. juga
menitipkan pesan potensi ilmunya, memahamkannya dalam penunaian ibadah 38,
mengamalkan sesuai perintah dan petunjuk Allȃh 39, sehingga mampu melahirkan rasa
takut bila jauh dari rahmat-Nya 40, maka akan terangkat derajatnya di sisi Allȃh, bahkan
melebihi kemuliaan malaikat 41.

36
Lihat, Qs. Al-Baqarah,2:31
37
Manusia biasa juga dimungkinkan mendapat pengajaran langsung dari Allâh Swt bila la
bertakwa kepada-Nya. Lihat, Qs. Al-Baqarah,2:282
38
Lihat, Qs. al-Isrâ, 17:36
39
Lihat isyarat al-Qur'an pada al-Baqarah,2:33, yang menitipkan hikmah bahwa Adam a.s.
tidak menampakkan dan mengamalkan ilmunya kecuali atas perintah dan petunjuk Alläh Swt.
40
Lihat, Os. Fâthir,35:28
41
Lihat isyarat al-Qur'an dalam al-Baqarah,2:34 dan al- Mujâdilah,58:11
Penempatan Adam dan Hawa di Surga
Kisah Adam a.s. yang diberitakan al-Qur’an tidak berhenti pada proses
penciptaannya sebagia kholifah, pemberian bekal pengetahuan rabbani, atau sujud
penghormatan malaikat padanya. Kisah ini terus berlanjut pada titah Ilahi agar Adam
berdiam di surga bersama pasangannya. Firman Allȃh Swt,
َ ُ َ َ َ َ ‫ﱠ‬ ٰ َْ َ َ ُْ ُ ْ َ ًَ ْ َ ُ َ ‫َ ُ ْ َ ٰٓ ٰ َ ُ ْ ُ َ ْ َ َ ُ َ ْ َﱠ‬
‫اﺳﻜ ْﻦ اﻧﺖ َوز ْو�ﻚ ا��ﻨﺔ َو��� ِﻣﻨ َﻬﺎ َر�ﺪا ﺣ�ﺚ ِﺷ�ﺘﻤﺎۖ َو�� ﺗﻘ َﺮ َﺑﺎ ﻫ ِﺬ ِه اﻟﺸﺠ َﺮة ﻓﺘﻜ ْﻮﻧﺎ ِﻣ َﻦ‬ ‫وﻗﻠﻨﺎ ﻳﺎدم‬
َ ّٰ
٣٥ ‫اﻟﻈ ِﻠ ِﻤ ْين‬

Artinya: “Kami berfirman, “Wahai Adam, tinggallah engkau dan istrimu di dalam
surga, makanlah dengan nikmat (berbagai makanan) yang ada di sana sesukamu, dan
janganlah kamu dekati pohon ini,sehingga kamu termasuk orang-orang zalim!”. (Qs.
Al-Baqorah, 2: 35)
Demikian firman Allȃh dalam al-Qur’an 42. Nampak jelas terlihat dalam ayat
ini, bahwa saat Adam diperintah untuk tinggal di surga, hadir bersamanya saat itu sosok
yang akan menemaninya, zaujuka, istrimu. Al-Qur'an tidak menamai istri beliau ini
dengan nama tertentu sekalipun berbagai referensi menuturkan bahwa nama beliau
ialah Hawa, ibunda seluruh insan di dunia. Menarik direnungi, bahwa tiadanya
penyebutan nama di sini tidak berarti mengecilkan peran seorang istri, namun sebagai
penghormatan llahi pada peran rumah tangga keduanya, yang mengesankan bahwa
dalam kehidupan berumah tangga hendaknya tercipta suasana harmoni yang saling
melengkapi antar pasutri, karena kata zauj (‫ )اﻟﺰوج‬sejatinya bermakna pasangan yang
serasi harmoni. Kata ini dapat disematkan pada istri 43, juga pada suami 44, atau bahkan
pada keduanya 45, bergantung konteksnya. 46 Singkatnya, pada fase ini Adam a.s. telah
diminta llahi untuk membina kehidupan rumah tangga bersama istrinya di surga,
sebelum “turun” ke bumi. Berita lain dalam al-Qur’an bahkan menegaskan bahwa akan
tercipta satu komunitas manusia dari keturunan Adam dan istrinya, yang akan berjuang
menyukseskan misi kekholifahan di tengah bujuk rayu setan yang menyesatkan 47. Ini
menunjukkan bahwa misi kholifah tidak dapat diperankan sendirian tanpa adanya
keterlibatan individu lain atau komunitas sosial, terlebih pasangan hidup.

42
Lihat pula Qs. al-A’raf, 7: 19
43
Seperti dalam Qs. Al-Baqoroh, 2: 35 dimuka, atau ayat 234, 240, dan ayat-ayat pada surat
lainnya.
44
Seperti dalam Qs. Al-Baqorah, 2:232
45
Lihat misalnya Qs. Ad-Dzȃriyȃt, 51:49 dan Qs. An-Naba, 78:8
46
Lihat: Ibnu Mandzur, Lisanul ‘Arab, Jilid 2, hlm. 291.
47
Lihat misalnya, Qs. Al-A’raf, 7:16-17, Qs. Al-Hijr, 15: 39
Selanjutnya, perlu juga dicermati tentang surga yang menjadi tempat
berdiamnya Adam dan istrinya. Kata surga dalam ayat ini dilukiskan dengan al-jannah
(‫)اﳉﻨﺔ‬, berarti surga tertentu yang telah dikhususkan bagi keduanya. Sementara ulama
ada yang menduga bahwa surga dimaksud ialah tempat yang akan kita diami kelak,
yang kenikmatannya tidak mampu dijangkau saat ini, walau dengan khayalan. Adi
Hidayat berpendapat bahwa surga yang didiami Adam dan istrinya bukanlah surga
yang akan kita tempati kelak, melainkan satu tempat yang didesain oleh Ilahi dengan
segala kenikmatan dan aturannya, khusus bagi Adam dan istrinya. 48 Bacaan terhadap
al-Qur’ȃn dan hadist jelas menunjukkan bahwa surga yang akan kita diami kelak
merupakan tempat yang kekal, tidak memiliki larangan tertentu, serta mengesankan
tidak pernah didiami satu makhluk pun sebelumnya. Berbeda dengan surga yang
didiami Adam dan istrinya yang memiliki larangan tertentu di dalamnya, serta tidak
mengekalkan penghuninya. Bila surga yang didiami ini mengekalkan Adam dan
istrinya, tentu Adam dan istrinya mudah menolak bujuk rayu setan yang menipu, bahwa
memakan buah pohon larangan akan mengekalkan keduanya di surga 49. Karena itu,
kata surga di sini menggunakan al-jannah (‫ )اﳉﻨﺔ‬sebagai pertanda kekhususan, berbeda
dengan surga lainnya. 5049F

Surga yang ditinggali Adam dan istrinya juga mengesankan satu tempat
“netral” berhias kenikmatan. Dikatakan netral karena ia dapat dimasuki pula setan,
yang sebelumnya meminta izin pada Ilahi untuk menyesatkan Adam dan keturunanya,
hingga kiamat tiba 51. Jamak diketahui kemudian bahwa setan dengan bujuk rayunya
berhasil menggelincirkan Adam dan istrinya dari surga karena melanggar larangan
Ilahi hingga kemudian “terjatuh” ke bumi 52.
Kisah kehidupan Adam dan istrinya di surga, serta pergulatan keduanya dengan
bujuk rayu Iblis dan pasukan setannya seakan mengantar sementara ulama untuk
menduga, bahwa boleh jadi surga yang ditempati Adam dan istrinya sebelum “turun”
ke bumi, sesungguhnya merupakan “training center” yang menjadi miniatur
perjuangan hidup selanjutnya di muka bumi, sekaligus bekal berharga dalam
mengemban misi kekholifahan yang sejatinya akan dijalani di bumi, bukan di surga. 53
Di surga tempat Adam dan istrinya tinggal, Allȃh menyediakan segala
kebutuhan untuk dinikmati, sekaligus perintah dan larangan yang harus dipatuhi. Hal

48
Adi Hidayat, Manusia Paripurna......, hlm. 43.
49
Lihat, Qs. Al-A’raf, 7:20
50
Adi Hidayat, Manusia Paripurna......, hlm. 44.
51
Lihat Kembali, Qs. al-‘Araf, 7: 16-17, Qs. al-Hijr, 15: 39
52
Lihat, Qs. al-Baqarah, 2: 36
53
Adi Hidayat, Manusia Paripurna......, hlm. 45.
ini nampak tak jauh berbeda dengan bumi yang diciptakan Ilahi, lalu jadikan segala
isinya bagi kebutuhan manusia 54, lengkap dengan titah yang harus dipatuhi dan
larangan yang mesti dihindari 55.
Ada hal menarik dari kisah pergulatan Adam beserta istrinya melawan rayuan
maut Iblis dan pasukan setannya, bahwa kala Iblis berhasil menipu Adam dan hawa,
terbukalah aurat keduanya hingga mereka merasa malu dan mencari daun-daun surga
untuk menutupi aurat keduanya 56. Bahkan, jelas dipaparkan al-Qur’an bahwa misi
rayuan Iblis terhadap Adam dan hawa ialah agar terbuka keburukan keduanya yang
menjadi aurat kehidupan mereka 57.
Ini setidaknya menyiratkan, bahwa manusia sejatinya memiliki dua aurat yang
harus ditutupi, jiwa dan raganya. Aurat jiwa wajib ditutup dengan pakaian takwa. Ia
akan tercoreng, bahkan terbuka kala manusia berbuat maksiat, sekalipun memilih
pakaian raga yang kemilau., firman Allȃh Swt:
‫ّٰ َ َ ﱠ‬ ٰ ْ َ ٰ ٌْ َ َ ٰ ٰ ْ‫ﱠ‬ ُ ُ َ ٰ
ً �َ � ‫ٰﻳ َﺒ� ْي ا َد َم َﻗ ْﺪ ا ْﻧ َﺰ ْ� َ�ﺎ َ� َ� ْ�ﻜ ْﻢ‬
‫اﷲ ﻟﻌﻠ ُﻬ ْﻢ‬ ِ ‫ﺎس اﻟﺘﻘﻮى ذ ِلﻚ �ي�ۗ ذ ِلﻚ ِﻣﻦ ا ٰﻳ ِﺖ‬ ُ �َ ِ�‫ﺎﺳﺎ ﱡﻳ َﻮار ْي َﺳ ْﻮ ٰءﺗﻜ ْﻢ َور�ْ ً�ﺎۗ َو‬ ِ
ِ ِ ِ ٓ ِ
َ َ َ َ َ ُ ْ َ ُ ْ َ ‫ٰ َ ْ ٰ َ َ َ َ ْ َﱠ ُ ُ ﱠ ْ ٰ ُ َ َ َ ْ َ َ َ َ َ ْ ُ ْ ّ َ ْ َﱠ‬ َ ‫ﱠﱠ‬
‫ﺎﺳ ُﻬﻤﺎ لِ ُي ِ� َﻳ ُﻬﻤﺎ‬ ��ِ ‫ ﻳﺒ ِ� ٓي ادم �� ﻳﻔ ِتﻨﻨﻜﻢ اﻟﺸﻴﻄﻦ ﻛﻤﺎٓ اﺧﺮج اﺑﻮﻳﻜﻢ ِﻣﻦ ا��ﻨ ِﺔ ﻳن ِ�ع ﻋﻨﻬﻤﺎ‬٢٦ ‫َﻳﺬﻛ ُﺮ ْون‬
َ ُ ْ َ َْ ‫ﱠ‬ َ َ ‫َ ْ ُ َ َ َُ ﱠ َ َ َْ ﱠ‬ ُٗ َ ُ ُ ٗ‫َ ْ ٰ َ ﱠ‬
٢٧ ‫ۗاﻧﻪ َﻳ ٰﺮﯨﻜ ْﻢ ﻫ َﻮ َوﻗ ِب ْﻴ�� ِﻣ ْﻦ ﺣ�ﺚ �� ﺗ َﺮ ْو�� ْمۗ ِاﻧﺎ ﺟﻌﻠﻨﺎ اﻟﺸ ٰﻴ ِﻄ ْين ا ْوِ� َ�ﺎ َۤء ِل� ِ��� �� ُﻳﺆ ِﻣ� ْﻮن‬ ِ ‫ﺳﻮء ِﺗ ِﻬﻤﺎ‬

Artinya: “Wahai anak cucu Adam, sungguh Kami telah menurunkan kepadamu
pakaian untuk menutupi auratmu dan bulu (sebagai bahan pakaian untuk menghias
diri). (Akan tetapi,) pakaian takwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu
merupakan sebagian tanda-tanda (kekuasaan) Allah agar mereka selalu ingat. Wahai
anak cucu Adam, janganlah sekali-kali kamu tertipu oleh setan sebagaimana ia (setan)
telah mengeluarkan ibu bapakmu dari surga dengan menanggalkan pakaian keduanya
untuk memperlihatkan kepada keduanya aurat mereka berdua. Sesungguhnya ia (setan)
dan para pengikutnya melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak (bisa) melihat
mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan setan-setan itu (sebagai) penolong) bagi
orang-orang yang tidak beriman.” (al-‘Araf, 7: 26-27)

54
Lihat misalnya, Qs. al-Baqarah, 2:22 dan 29, Qs, ar-Rahmȃn, 55:10-12
55
Lihat misalnya, Qs. al-Baqarah, 2: 168-169 dan 172-173
56
Lihat, Qs. Thȃhȃ, 20:121
57
Lihat, Qs. al-A’raf, 7:27
Berbeda dengan pakaian raga, maka kebersihan dan keindahan menjadi permata
yang kemilau, tanpa harus royal dengan mengenakan pakaian mahal namun tak bernilai
moral. Firman Allȃh Swt 58:

ُ ْ َ ْ ‫َ ﱡ‬ َ َ َ َ َّ َ َ َْ َ ُ ّ ‫َ َ ْ ﱠ‬
٥ ۖ‫اﻟﺮﺟ َﺰ ﻓﺎﻫﺠ ْﺮ‬‫ و‬٤ ۖ‫ َو ِ�ي َﺎﺑﻚ ﻓﻄ ِ ّﻬ ْﺮ‬٣ ۖ�ْ �ِ ‫ َو َرﱠﺑﻚ ﻓﻜ‬٢ ۖ‫ ﻗ ْﻢ ﻓﺎﻧ ِﺬ ْر‬١ ۙ‫ﻳٰٓﺎﻳﱡﻬﺎ اﻟ ُﻤﺪ ِﺛ ُﺮ‬

Artinya: “Wahai orang yang berselimut (Nabi Muhammad). Bangunlah, lalu berilah
peringatan! Dan Tuhanmu, agungkanlah! Dan Pakaianmu, bersihkanlah! Dan Segala
(perbuatan) yang keji, tinggalkanlah! (Qs. al-Mudatsir, 74:1-5)
Demikian pesan dan hikmah yang mungkin dapat dibaca dari kisah perjuangan
hidup Adam dan istrinya di surga, sebelum “turun” ke muka bumi.
Misi Kekholifahan
Demikian nampak paparan Ilahi, bahwa manusia diciptakan demi mengemban
misi rabbani, sebagai khalifah di muka bumi. Menarik disimak, bahwa Allȃh
Subhânahu wa Ta’âla lebih dulu menyiapkan dua hal sebelum mencipta manusia, yaitu
bumi (‫ )اﻷرض‬dan misi penciptaan (‫)ﺧﻠﻴﻔﺔ‬. Ini jelas menunjukkan bahwa keberadaan
manusia di bumi benar-benar telah “dipersiapkan” llahi. Bumi, sebagai tempat
mengemban misi telah dicipta melalui desain yang amat unik nan sempurna. Teramat
unik, karena ia terhampar dalam bentuk lapisan yang nampak bulat dalam pandangan,
dipasak dengan gunung dan bebukitan, lalu diisi dengan berbagai keindahan yang
saling berpasangan. Begitu sempurna, karena dinaungi langit berlapis tanpa tiang,
berhias bintang dan rembulan, yang terkadang menitikkan air mata kebahagiaan
melalui awan-awan yang dimainkan angin dengan gerakan yang menawan. 59 Firman 58F

Allȃh Subhanahu wa Ta’ȃla:


َ ‫ﱠ‬
ًْ ٰ َ ‫َ ﱠ‬ َ َ ْ َ َ ً َ َ ‫ْ َ َ َ ُ ُ ْ َ ْ َ َ ً ﱠ ﱠ َ َ َ ًﱠ َْ َ َ َ ﱠ‬
‫ا� ِ�ي ﺟﻌﻞ لﻜﻢ ا��رض ِﻓﺮاﺷﺎ واﻟﺴﻤﺎۤء �ِنﺎۤءۖواﻧﺰل ِﻣﻦ اﻟﺴﻤﺎ ِۤء ﻣﺎۤء ﻓﺎﺧﺮج ِﺑ ٖﻪ ِﻣﻦ اﻟﺜﻤﺮ ِت ِرزﻗﺎ‬
َ َ ْ َ ُ ْ َ ً َ ْ َ ّٰ ْ ُ َ ْ َ َ َ ْ ُ ‫ﱠ‬
٢٢ ‫ﷲ اﻧﺪادا ﱠواﻧﺘ ْﻢ ﺗﻌﻠ ُﻤ ْﻮن‬
ِ ِ ‫لﻜﻢۚ ﻓ�� ��ﻌﻠﻮا‬

Artinya: “(Dialah) yang menjadikan bagimu bumi (sebagai) hamparan dan langit
sebagai atap, dan Dialah yang menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia
menghasilkan dengan (hujan) itu buah-buahan sebagai rezeki untuk kamu. Oleh karena

58
Lihat pula ketentuan pakaian ini misalnya pada surat an-Nȗr dan al-Ahzȃb, khususnya bagi
Muslimah.
59
Adi Hidayat, Manusia Paripurna…., hlm. 32.
itu, janganlah kamu mengadakan tandingan-tandingan bagi Allah, padahal kamu
mengetahui”. (Qs. Al-Baqorah, 2: 22)
َ ْ َْ َ ُّ ‫ﱠ‬ ُ َ َ ْ َ
َْْ ٰ ََْ ََ ْ َ َ ْ َ ٰ ‫َ ََ ﱠ‬
‫ا� َي ان ﺗ ِﻤ ْﻴﺪ ِﺑﻜ ْﻢ َو َﺑﺚ ِﻓ ْﻴ َﻬﺎ ِﻣ ْﻦ � ِ� داﱠۤﺑ ٍﺔۗ َواﻧ َﺰ��ﺎ ِﻣ َﻦ‬ َ َ
ِ ‫�ﻠﻖ اﻟﺴ ٰﻤﻮ ِت ِﺑﻐي ِ� ﻋ َﻤ ٍﺪ ﺗ َﺮوﻧﻬﺎ واﻟ�� ِ�ى ا��ر ِض رو‬
َ َ ُّ َ ْ َ َْ َ َ ‫ﱠ‬
١٠ ‫اﻟﺴﻤﺎ ِۤء َﻣﺎ ًۤء ﻓﺎﻧۢبﺘﻨﺎ ِﻓ ْﻴ َﻬﺎ ِﻣ ْﻦ � ِ� ز ْو ٍج ﻛ ِﺮ ْﻳ ٍﻢ‬

Artinya: “Dia menciptakan langit tanpa tiang (seperti) yang kamu lihat dan meletakkan
di bumi gunung-gunung (yang kukuh) agar ia tidak mengguncangkanmu serta
menyebarkan padanya (bumi) segala jenis makhluk bergerak. Kami (juga) menurunkan
air hujan dari langit, lalu Kami menumbuhkan padanya segala pasangan yang baik”.
(Qs. Luqman, 31:10)

Sementara kholifah (‫ )ﺧﻠﻴﻔﺔ‬adalah misi yang harus diemban setiap insan di muka
bumi. Kholifah sejatinya adalah nama bagi pengemban insan di muka bumi. Kholifah
sejatinya adalah nama bagi pengemban sifat khilafah (‫)اﳋﻼﻓﺔ‬, terambil dari kata kerja
kholafa (‫ )ﺧﻠﻒ‬yang berarti menggantikan yang berlalu. 60 Manusia disemati nama
kholifah karena keberadaannya bersifat sementara di muka bumi, serta akan saling
menggantikan dari satu generasi ke generasi lainnya.

ّ َ ْ ُ ُْ ٰ ْ ُ َ ُْ َ َ َ ََ َ َْ َ ٰۤ َ ُ َ َ َ ‫ُ ﱠ‬
‫ﻫ َﻮ ا� ِ� ْي ﺟﻌلﻜ ْﻢ �ﻠﯩِٕﻒ ِ�ى ا�� ْر ِضۗ ﻓ َﻤ ْﻦ ﻛﻔ َﺮ ﻓﻌﻠ ْﻴ ِﻪ ﻛﻔ ُﺮ ٗهۗ َو�� َﻳ ِﺰ ْﻳﺪ الﻜ ِﻔ ِﺮ ْﻳ َﻦ ﻛﻔ ُﺮﻫ ْﻢ ِﻋﻨﺪ َر ِ� ِ� ْم‬

ً َ َ ‫ﱠ َ ْ ً ََ َ ُْ ْ ٰ َْ ُ ْ ُ ُ ْﱠ‬
٣٩ ‫ِا�� ﻣﻘﺘﺎۚو�� ﻳ ِﺰﻳﺪ الﻜ ِﻔ ِﺮﻳﻦ ﻛﻔﺮﻫﻢ ِا�� ﺧﺴﺎرا‬

Artinya: “Dialah yang menjadikan kamu sebagai khalifah-khalifah di bumi. Siapa yang
kufur, (akibat) kekufurannya akan menimpa dirinya sendiri. Kekufuran orang-orang
kafir itu hanya akan menambah kemurkaan di sisi Tuhan mereka. Kekufuran orang-
orang kafir itu juga hanya akan menambah kerugian mereka”. (Qs. Fathir, 35: 39)
Tersirat ayat di atas menitipkan pesan, bahwa sekalipun manusia diciptakan
sebagai khalifah, tidak setiap manusia yang tercipta kemudian berhasil menjadi
khalifah. Al-Qur’an mencatat bahwa manusia memiliki potensi menyimpang dari tugas
khalifah saat ia memilih kufur dan lari dari tanggung jawab.
Potensi penyimpangan ini diduga sempat terdeteksi oleh malaikat yang
menyimak “rencana” Tuhan dalam mencipta manusia sebagai khalifah, yang
menggunakan kata basyar. Allâh berfirman:

60
Ibnu Mandzur, Lisanul ‘Arab, Jilid 9, (Bairut: Darun Shodir, 1414 H), hlm. 82.
َ َ ٌ َ ّ َ ٰۤ ْ َ َ َ ْ
.... ‫َواِ ذ ﻗﺎل َر ﱡﺑﻚ ِلﻠ َﻤﻠﯩِٕﻜ ِﺔ ِ ِا� ْي �ﺎ ِﻟﻖۢ �� ً�ا‬

Artinya: “(Ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat, “Sesungguhnya Aku


akan menciptakan seorang basyar (manusia)...”. (Qs. al-Hijr, 15: 28) 61
Sebagaimana terurai di muka, penunjukan manusia dengan basyar
mengisaratkan sisi lahiriah manusia yang memiliki keragaman hasrat akibat nafsu yang
dimiliki. Manusia butuh makan, minum, bertransaksi, hingga kecendrungan seksual,
yang semua ini mungkin saja diraih dengan pertentangan antar sesama. Sementara
malaikat adalah makhluk suci tak bernafsu yang hanya memiliki aktifitas ibadah. Baik
berupa tasbih, tahmid, ataupun taqdis 62. Untuk itu, wajar kiranya para malaikat sempat
mengajukan “keberatan” kepada Allȃh atas penunjukan basyar dalam mengemban misi
khilafah, karena belum mampu menjangkau hikmah di balik penciptaan ini 63.
Tugas kholifah memang tidak sederhana. Ia memiliki kewajiban untuk
menegakkan nilai-nilai rabbani di muka bumi, sekaligus mengisi hidupnya dengan
ibadah yang menjadi tujuan penciptaannya 64. Untuk itu, tugas kholifah ini hanyalah
dibebankan kepada orang-orang yang beriman dan beramal shaleh.
‫َ ْ ََ ﱠ‬ َ َ ُ َ َ ْ ُ ْ ْ ُ َ ٰ َ ْ ‫َ َ َ ّٰ ُ ﱠ‬
ْ ْ َ ْ َْ ْ َ َْْ ْ ُ ‫َ ْ َ ْ َﱠ‬ ٰ ّٰ
ۖ‫و�ﺪ اﷲ ا� ِ��� اﻣ�ﻮا ِﻣﻨﻜﻢ وﻋ ِﻤﻠﻮا اﻟﺼ ِﻠﺤ ِﺖ ﻟ�ﺴﺘﺨ ِﻠﻔﻨﻬﻢ ِ�ى ا��ر ِض ﻛﻤﺎ اﺳﺘﺨﻠﻒ ا� ِ��� ِﻣﻦ ﻗﺒ ِﻠ ِﻬﻢ‬
َ َ ُ ُْ َ َ ُ ْ ً َ َ ْ ْ ّ ْ ُ ‫ْ َ ٰ َ ُ ْ َ َ ُ َ ّ َﱠ‬ ‫َ ﱠ‬ َ ‫َ ّ َﱠ‬
‫ﻦ َﺑﻌ ِﺪ ﺧ ْﻮ ِﻓ ِﻬ ْﻢ ا ْﻣ�ﺎۗ َﻳﻌ ُﺒﺪ ْوﻧ ِ� ْي �� �� ِ�ﻛ ْﻮن ِ� ْي ﺷ ْﻴ ًٔـ�ۗ َو َﻣ ْﻦ‬
ۢ ‫َوﻟ ُﻴ َﻤ ِﻜنن ﻟ ُﻬ ْﻢ ِد ْﻳﻨ ُﻬ ُﻢ ا� ِ�ى ارﺗ�ى ﻟﻬﻢ وﻟ�ﺒ ِﺪﻟﻨﻬﻢ ِﻣ‬
َ ُ ٰ ْ ُ َ ٰۤ ُ َ َ ٰ َ ْ َ َ
٥٥ ‫ﻛﻔ َﺮ َﺑﻌﺪ ذ ِلﻚ ﻓﺎو� ِٕ�ﻚ ﻫ ُﻢ اﻟﻔ ِﺴﻘ ْﻮن‬

Artinya: “Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan
yang mengerjakan kebajikan bahwa Dia sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di
bumi sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa; Dia
sungguh akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah Dia ridai; dan Dia sungguh
akan mengubah (keadaan) mereka setelah berada dalam ketakutan menjadi aman
sentosa. Mereka menyembah-Ku dengan tidak mempersekutukan-Ku dengan sesuatu
apa pun. Siapa yang kufur setelah (janji) tersebut, mereka itulah orang-orang fasik”.
(Qs. An-Nur, 24: 55)

Selengkapnya lihat Qs. al-Hijr, 15 ayat 28-31, kemudian amati korelasi ayat tersebut dengan
61

firman Allȃh pada Qs. al-Baqorah, 2 ayat 30-34.


62
Lihat misalnya, Qs. al-Baqarah, 2: 30.
63
Lihat, al-Baqarah, 2: 30-34.
64
Lihat, Qs. Al-Baqarah, 2: 21, dan Qs. Ad-Dzȃriyȃt, 51: 56.
Para Nabi dan Rasul pun kadang mendapat penegasan akan misi kekholifahan
ini, seperti firman Allȃh Subhȃnahu wa Ta’ȃla pada Nabi Daud ‘alaihis salam:
‫ّٰ ﱠ‬ ْ َ َ ‫َْ ٰ َ ﱠ‬ ‫ْ َ ّ َ َﱠ‬ ‫َ ْ ُ ْ ََْ ﱠ‬ ْ �َ �‫ﻚ َ�ﻠ ْﻴ َﻔ ًﺔ �ى ْا‬ َ ْٰ َ َ ‫َٰ ٗ ُ ﱠ‬
‫ۗان‬ ِ ‫ﺎس ِﺑﺎ�� ِﻖ َو�� ﺗت ِﺒ ِﻊ اﻟﻬﻮى ﻓ ُﻴ ِﻀلﻚ ﻋﻦ َﺳ ِب ْﻴ ِﻞ‬
ِ ‫اﷲ‬ ِ ��‫ا‬ ‫ن‬ ‫ي‬ ‫ﺑ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻜ‬�‫ﺎ‬‫ﻓ‬ ‫ض‬ ِ ‫ر‬ ِ ِ ‫ﻳﺪاود ِاﻧﺎ ﺟﻌﻠﻨ‬
ْ َ ّٰ ‫ﱠ‬
٢٦ ࣖ ‫ﺎب‬ ‫ﺴ‬َ ��‫ا‬
ِ
َ ‫اب َﺷﺪ ْﻳ ٌﺪ ۢﺑ َﻤﺎ � َ ُ� ْﻮا َﻳ ْﻮ‬
‫م‬ ٌ ‫اﷲ ﻟ ُﻬ ْﻢ َ� َﺬ‬ ِ ‫ﻞ‬ ‫ﻴ‬ْ ‫ا���ْ َ� َﻳﻀ ﱡﻠ ْﻮ َن َﻋ ْﻦ َﺳب‬
ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ

Artinya: “(Allah berfirman,) “Wahai Daud, sesungguhnya Kami menjadikanmu


khalifah (penguasa) di bumi. Maka, berilah keputusan (perkara) di antara manusia
dengan hak dan janganlah mengikuti hawa nafsu karena akan menyesatkan engkau dari
jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab
yang berat, karena mereka melupakan hari Perhitungan.” (Qs. Shȃd, 38: 26)
Untuk itu, penciptaan manusia bukanlah penciptaan yang asal-asalan, tanpa
misi dan tujuan. Bahkan, sang Pencipta menyanggah secara ilmiah dugaan orang yang
mengabaikan penciptaan ini dengan menanyakan,
ً َ ْ ْ َ ُ ْ ْ ََْ
٣٦ ۗ‫ا�� َﺴ ُﺐ ا� ِ�� َ�ﺎن ان ﱡﻳ� َ�ك ُﺳﺪى‬

Artinya: “Apakah manusia mengira akan dibiarkan begitu saja (tanpa


pertanggungjawaban)?”. (Qs. Al-Qiyamah, 75:36)
َ ُ َ ُ َ َ ْ َ ُ ‫َ َ َ ْ ُ َﱠ َ َ َ ْ ٰ ُ َ َ ً َﱠ‬
١١٥ ‫اﻓﺤ ِﺴبﺘ ْﻢ اﻧﻤﺎ �ﻠﻘﻨﻜ ْﻢ ﻋبﺜﺎ ﱠوا�ﻜ ْﻢ ِاﻟ�ﻨﺎ �� ﺗ ْﺮﺟﻌ ْﻮن‬

Artinya: “Apakah kamu mengira bahwa Kami menciptakan kamu main-main (tanpa
ada maksud) dan kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?”. (Qs. Al-Mu’minȗn,
23:115)
Kemudian meminta untuk memerhatikan,
َ َ ّ ُ ٰ َ َ ّٰ ‫َ ْ ُ ُ ْ َ ْ َ َ َ َ ْ َ ْ َ ُﱠ ّٰ ُ ُ ْ ُ ﱠ ْ َ َ ْ ٰ َ َ ﱠ‬ َْْ ْ ُْ ْ ُ
ۚ‫اﷲ ��� � ِ� � ْي ٍء ﻗ ِﺪ ْﻳ ٌﺮ‬ ‫ۗان‬
ِ ‫ﻗﻞ ِﺳي�وا ِ�ى ا��ر ِض ﻓﺎﻧﻈﺮوا ﻛﻴﻒ ﺑﺪا ا��ﻠﻖ ﺛﻢ اﷲ ﻳﻨ ِ�ئ اﻟ�ﺸﺎة ا�� ِﺧﺮة‬

٢٠

Artinya: “Katakanlah, “Berjalanlah di (muka) bumi, lalu perhatikanlah bagaimana


Allah memulai penciptaan (semua makhluk). Kemudian, Allah membuat kejadian yang
akhir (setelah mati di akhirat kelak). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala
sesuatu”. (Qs. Al-‘ankabut, 29: 20)
Juga menegaskan,
َُ َ ‫ﱠ َ َْٰ ُ ﱠ ْ َ ﱠ‬
٣ ‫ﺎﻛ ًﺮا ﱠواِﱠﻣﺎ ﻛﻔ ْﻮ ًرا‬
ِ ‫ِاﻧﺎ ﻫﺪﻳﻨﻪ اﻟﺴ ِبﻴﻞ ِاﻣﺎ ﺷ‬

Artinya: “Sesungguhnya Kami telah menunjukkan kepadanya jalan (yang lurus); ada
yang bersyukur dan ada pula yang sangat kufur”. (Qs. Al-Insan, 76:20)
Bahkan, saking pentingnya misi dan tujuan penciptaan ini, al-Qur’an merekam
persaksian Rabbani antara Sang Pencipta dan manusia, yang menentukan kelahiran
seorang insan di muka bumi.
ْ َ َ ْ َ ٰ ُ َ ُ ُ ََ ُ ْ َ ٰٓ َ ُ َ ْ َ َ ُ ُ َٰ َ َ ََ ْ
‫ﻦ َﺑ ِ� ْ ٓي اد َم ِﻣ ْﻦ ﻇ ُﻬ ْﻮ ِر ِﻫ ْﻢ ذ ِّرﱠﻳﺘ ُﻬ ْﻢ َواﺷ َﻬﺪﻫ ْﻢ ��� اﻧﻔ ِﺴ ِﻬ ْﻢۚ اﻟ ْﺴﺖ ِﺑ َﺮ ِ ّﺑﻜ ْﻢۗ ﻗﺎﻟ ْﻮا َﺑ��ۛ ﺷ ِﻬﺪﻧﺎۛان‬
ۢ ْ ‫َواِ ذ ا�ﺬ َر ﱡﺑﻚ ِﻣ‬
َ ٰ َ ٰ َ ‫ﱠ ُﱠ‬ ْ ُ َُ
١٧٢ ۙ‫ﺗﻘ ْﻮﻟ ْﻮا َﻳ ْﻮ َم اﻟ ِﻘ ٰﻴ َﻤ ِﺔ ِاﻧﺎ ﻛﻨﺎ ﻋ ْﻦ ﻫﺬا ﻏ ِﻔ ِﻠ ْين‬

Artinya: “(Ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan dari tulang punggung anak cucu
Adam, keturunan mereka dan Allah mengambil kesaksiannya terhadap diri mereka
sendiri (seraya berfirman), “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab, “Betul
(Engkau Tuhan kami), kami bersaksi.” (Kami melakukannya) agar pada hari Kiamat
kamu (tidak) mengatakan, “Sesungguhnya kami lengah terhadap hal ini,”. (Qs. Al-
A’raf, 7: 172)
Demikian persaksian manusia akan keesaan Sang Pencipta yang membuka
gerbang kehidupannya di dunia. Dengan ini pula ia kemudian diistimewakan atas
seluruh makhluk yang tercipta bahkan dijadikan segala isi bumi untuk kebutuhan
hidupnya.
َ ْ َ َ ‫ّﱠ‬ َ ٰ َ ْٰ ‫َﱠ‬ ّ ‫ﱠ‬ ٰ َْ ْ ْ َْ ْٰ َ َٰ َ َ ْ ََ
‫۞ َوﻟﻘﺪ ﻛﱠﺮ ْﻣ�ﺎ َﺑ ِ� ْ ٓي اد َم َو� َ�ﻠﻨ ُﻬ ْﻢ ِ�ى ال� ِ ّ� َوا� َ�ﺤ ِﺮ َو َرزﻗﻨ ُﻬ ْﻢ ِّﻣ َﻦ اﻟﻄ ِ� ٰﺒ ِﺖ َوﻓﻀﻠﻨ ُﻬ ْﻢ ��� ﻛ ِﺜ ْي ٍ� ِﳑ ْﻦ �ﻠﻘﻨﺎ‬
ً َْ
٧٠ ࣖ ��‫ﺗﻔ ِﻀ ْﻴ‬

Artinya: “Sungguh, Kami telah memuliakan anak cucu Adam dan Kami angkut mereka
di darat dan di laut. Kami anugerahkan pula kepada mereka rezeki dari yang baik-baik
dan Kami lebihkan mereka di atas banyak makhluk yang Kami ciptakan dengan
kelebihan yang sempurna.” (Qs. Al-Isrȃ, 17: 70)
َ ُّ َ ُ َ ‫ﱠ‬
َ ُ ُ ‫اﻟﺴ َﻤﺎۤء َﻓ َﺴ ّٰﻮ‬
‫ﯨﻬﱠﻦ َﺳ ْﺒ َﻊ َﺳ ٰﻤ ٰﻮ ٍتۗ َوﻫ َﻮ ِﺑ� ِ� � ْي ٍء � ِﻠ ْﻴ ٌﻢ‬ ْ ‫ُﻫ َﻮ ا�� ْي َ� َﻠ َﻖ لﻜ ْﻢﱠﻣﺎ �ى ْا� َ� ْرض َ�� ْﻴ ًﻌﺎ ُﺛﱠﻢ‬
‫اﺳ َﺘ ٰٓﻮى ا�ى ﱠ‬
ِ ِ ِ ِ ِ ِ

٢٩ ࣖ
Artinya: “Dialah (Allah) yang menciptakan segala yang ada di bumi untukmu,
kemudian Dia menuju ke langit, lalu Dia menyempurnakannya menjadi tujuh langit.
Dia Maha Mengetahui segala sesuatu”. (Qs. Al-Baqorah, 2: 29)
Daftar Pustaka
Al-Qur’an
Abidin, Zainal, Filsafat Manusia, Cet. 6, Bandung: Remja Rosdakarya, 2011
Ali, A. Yusuf, The Holy Qur'ân: Tranlation and Commentary, Jeddah, SA: Dâr al-
Qiblah For Islamic Literature, 1403 H
Alwi, Hasan, Kamus Besar Bahas Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, cet. 3, 2002
Al-Dimasyqi, Ibn Katsir al-Farsyiyy, Tafsir al-Qur’ân al-‘Azim, Bairut, Libanon: Dâr
al-Khayr, 1993
Al-Baghawi, Abi al-Husain, Tafsir al-Baghawi: Ma 'âlim Tanzîl, Bairut, Libanon: Dâr
Ibn Hazm 2002
Al-Nahlawi , Abd al-Rahman, Ushûl al-Tarbiyyah al-Islâmiyyah wa Asâlȋbihâ, Bairut:
Dâr al-Fikr, 2015
Ahmad, Riwayah, Huquq al-Insân fi al-Islâm, Madinah al-Munawwarah, 2015
Audah, Ali, Konkordansi Qur ‘an, Jakarta: Litera Anatar Nusa, 1991
Baqi, Abdul, Muhammad Fuad, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfaz al-Qur’an, Bairut: Dâr
al-Fikr, 1987
Bucaille, Maurice, La Bible le Coran et la Science, Terj. HM. Rasyidi, Jakarta: Bulan
Bintang, 1978
El-Naggar, Zaghloul, Mukhtarât min Tafsir al-Ayat al-Kawniyyah fi al-Qur’ân al-
Karim, Terj- Masri El- Bidin, Masyar dan Mizan Thabrani, Jilid I, Jakarta:
Shorouk Internasional Bookshoop, 2010
Hidayat, Adi, Manusia Paripurna Pesan, Kesan dan Bimbingan al-Qur’an, Cet III,
Jawa Barat: Institute Quantum Akhyar, 2021
Irwandar, Demitologisasi Adam dan Hawa, Jogjakarta: AR-RUZZ Pres, 2003
Mandzur, Ibnu, Lisanul ‘Arab, Jilid 9, Bairut: Darun Shodir, 1414 H
Nasution, Harun, Islam Rasional, cet.1, Bandung: Mizan, 1995
Rahman, Fazlur, Tema-tema Pokok al-Qur’an, Bandung: Penerbit Pustaka, 1996
Ramayulis, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: Al-Ma’arif, 1962
Shihab, M. Quraish, Wawasan Al-Qur’an Tafsir Maudhu’i atas Berbagai Persoalan
Umat, Volume 9, Bandung: Penerbit MIZAN, cet. 1, 1996
---------------Maut: Perjalanan Menuju Keabadian, Jurnal Bimas Islam, Vol. 4 No.2,
2011
Thalbah, Hisyam, penerjemah. Syarif Hade Masyah, Ensiklopedia Kemukjizatan al-
Qur’an dan Hadis, cet IV, Jakarta: PT Sapta Sentosa: 2010
Yafie, Ali, Mengagas Fiqh Sosial, Bandung: Mizan, 1995

Anda mungkin juga menyukai