Anda di halaman 1dari 14

“HAKIKAT, TUGAS DAN KEWAJIBAN

MANUSIA MENURUT ISLAM”


Makalah ini Diajukan untuk Memenuhi Tugas Kelompok-3
Mata Kuliah: Agama Kontekstual Islam
Dosen Pengampu: Muhammad Badzruzzaman, S. Hum., M. Pd. I.

Disusun oleh :
1. Aldi Wahyu Purnomo (23111017)
2. Pajar Hidayat (23111014)
3. Rendi Alamsyah (23111016)
4. Muhammad Nazaruddin (23111018)

AGAMA KONTEKSTUAL ISLAM (PAI)


JURUSAN AGROTEKNOLOGI FAKUKTAS PETANIAN
INSTITUT PERTNIAN STIPER
YOGYAKARTA
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang atas rahmat-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul
“Hakikat Manusia Menurut Islam”. Penulisan makalah ini merupakan salah satu
tugas yang diberikan dalam mata kuliah Pendidikan Agama Islam di Universitas
Setia Budi Surakarta.
Dalam Penulisan makalah ini kami merasa masih banyak kekurangan baik
pada teknis penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang kami
miliki. Untuk itu, kritik dan saran dari semua pihak sangat kami harapkan demi
penyempurnaan pembuatan makalah ini.
Dalam penulisan makalah ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang membantu dalam
menyelesaikan makalah ini, khususnya kepada Dosen kami yang telah
memberikan tugas dan petunjuk kepada kami, sehingga kami dapat
menyelesaikan tugas ini.

Yogyakarta, 21 September 2023

Penulis

2
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang

Makalah ini kami tujukan agar kita semua memahami hakikat, tugas dan kewajiban manusia
sebagai hamba Allah dan khalifah di muka bumi. Sebagai manusia kita harus mengetahui apa
tujuan kita dilahirkan sebagaimana dalam firman-Nya “Dan aku tidak menciptakan jin dan
manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (QS. Al-Dzariyat: 56). Ayat di atas
menjelaskan bahwa tujuan diciptakannya manusia dan makhluk lainnya tidak lain semata-
mata untuk beribadah kepada Allah ta’ala bukan untuk prioritas yang lain.

1.2. Rumusan Masalah

1. Apa Hakikat manusia?


2. Penggolongan dan penjelasan hakikat manusia menurut Al-Qur’an.
3. Definisi dari basyar (‫)بشر‬, al-Insan (‫)االنسان‬, dan al-Nas (‫)الناس‬.
4. Tugas manusia sebagai ’Abdullah (hamba Allah).
5. Tugas manusia sebagai Khalifah Allah.
6. Peran dan Tanggungjawab Manusia sebagai Hamba Allah dan Makhuk Sosial
7. Peran dan Tanggungjawab Manusia sebagai Khalifah fil Ard.

1.3. Tujuan Penulisan


1. Menambah nilai dan memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Agama Islam
2. Mengetahui hakikat penciptaan manusia.
3. Memahami tugas-tugas manusia sebagai kholifah fill ard.
4. Mamapu melaksanakan tugas, peran dan tanggungjawab manusia sebagai hamba Allah.

BAB II
1
PEMBAHASAN

2.1. Hakikat Manusia Menurut Islam

Menurut bahasa hakikat berarti kebenaran atau seesuatu yang sebenar-benarnya atau asal
segala sesuatu. Dapat juga dikatakan hakikat itu adalah inti dari segala sesuatu atau yang
menjadi jiwa sesuatu. Karena itu dapat dikatakan hakikat syariat adalah inti dan jiwa dari
suatu syariat itu sendiri, sedangkan dikalangan tasauf ialah orang yang mencari hakikat diri
manusia yang sebenarnya. Karena itu muncul kata-kata diri mencari sebenar-benarnya diri.
Sama dengan pengertian itu mencari hakikat yakni mencari jasad, hati, roh, nyawa, dan
rahasia.

Dalam konsepsi Islam, manusia merupakan satu hakikat yang mempunyai dua dimensi, yaitu
dimensi material (jasad) dan dimensi immaterial (ruh, jiwa, akal dan sebagainya). Unsur jasad
akan hancur dengan kematian, sedangkan unsur jiwa akan tetap dan bangkit kembali pada hari
kiamat. (QS. Yasin, 36: 78-79). Manusia adalah makhluk yang mulia, bahkan lebih mulia dari
malaikat (QS. al-Hijr, 15: 29). Bahkan manusia adalah satu-satunya mahluk yang mendapat
perhatian besar dari Al-Qur’an, terbukti dengan begitu banyaknya ayat al-Qur‟an yang
membicarakan hal ikhwal manusia dalam berbagai aspek-nya, termasuk pula dengan nama-
nama yang diberikan al-Qur’an untuk menyebut manusia, setidaknya terdapat lima kata yang
sering digunakan Al-Qur’an untuk merujuk kepada arti manusia, yaitu insan atau ins atau al-
nas atau unas, dan kata basyar serta kata bani adam atau durriyat adam. Berbicara dan
berdiskusi tentang manusia memang menarik dan tidak pernah tuntas. Pembicaraan mengenai
makhluk psikofisik ini laksana suatu permainan yang tidak pernah selesai. Selalu ada saja
pertanyaan mengenai manusia. Para ahli telah mencetuskan pengertian manusia sejak dahulu
kala, namun sampai saat ini pun belum ada kata sepakat tentang pengertian manusia yang
sebenarnya.

Jika diperhatikan dengan seksama, penggunaan kata yang merujuk pada makna manusia
dalam al-Qur’an terdapat beberapa istilah. Istilah tersebut antara lain basyar (‫)بشر‬, al-Insan (
‫)االنسان‬, dan al-Nas (‫)الناس‬. Masing-masing istilah tersebut memiliki maksud dan perberdaan
tersendiri. Perbedaan tersebut dapat dilihat dalam uraian berikut ini :

2.1.1. Basyar (‫)بشر‬

2
Dalam ilmu mantiq, basyar disebut juga hayawanun natiq, yaitu hewan yang bisa bicara.
Hewan yang bisa bicara adalah manusia seperti kita ini.
Basyar adalah manusia yang karakternya sangat dasar. Fitrahnya sebagai manusia yang
merasakan berbagai sensasional dan emosional seperti: lapar, haus, marah, benci, suka, kawin,
rakus, dendam, nafsu, dan sebagainya. Emosionalnya lebih dominan daripada spiritual dan
intelektualnya.

Itulah sebabnya, Nabi Adam adalah Basyar pertama di muka bumi ini. Fakta yang diungkap
arkeolog berhasil menemukan fosil tulang yang mirip seperti struktur tulang manusia modern.
Diperkirakan mereka hidup sebelum Nabi Adam, jauh di zaman megalitikum misalnya.

Al Quran menyebutkan, Allah menciptakan Adam sebagai khalifah atau pengganti di muka
bumi. Sebelumnya Allah menciptakan makhluk di bumi yang merusak, dan minim
pengetahuan.
Ketika Allah menciptakan Nabi Adam sebagai Basyar, dan menyuruh malaikat dan iblis untuk
sujud kepada Adam. Sujud di sini bisa ragawi seperti sujud di atas tanah kepada Adam. Bisa
juga sujud maknawi, yaitu tunduk pada Nabi Adam yang dikaruniai akal untuk berpikir dan
menjadi khalifah pengelola kehidupan bumi.

Jadi, kalau makhluk seperti kita masih dominan emosionalnya daripada spiritual dan
intelektualnya, dia adalah basyar, hewan yang bisa bicara. Basyar, lebih dominan sifat
hewani.

2.1.2. Naas (‫)الناس‬

Istilah ini digunakan bagi basyar yang mengoptimalkan intelektualnya. Mereka bersosialisasi,
berkarya, membangun peradaban, kebudayaan, keilmuan, dan selalu berpikir memperbaiki
tatanan dan nilai nilai kehidupan.

Surat an-Naas, membahas tentang hal ini, sebagian ayat juga membahas tentang Naas ini. Di
dalam surat an-Naas juga dibahas adanya was-was di dalam dadanya, yang dihembuskan oleh
sisi negatif. Sehingga Naas terbagi dua yaitu naas yang baik dan naas yang jahat.

3
Intelektualnya yang terbatas, dan masih terpengaruh emosional terkadang menjerumuskan ke
sisi negatif mereka. Naas, bisa dominan sifat malaikat jika intelektualnya banyak digunakan
kebaikan. Bisa juga dominan sifat syetan, jika intelektualnya banyak digunakan untuk
keburukan.

2.1.3. Insan (‫)االنسان‬

Surat al-Insan khusus membahas ini. Selain surat Aal-Insan, pembahasan makhluk sempurna
ini juga tersebar dalam banyak ayat dan surat. Insan adalah istilah untuk makhluk yang sudah
melewati fase basyar dan naas. Insan adalah makhluk yang menyelaraskan dan
menyeimbangkan dirinya dari sisi emosional dan intelektual, serta dikawal oleh kemampuan
spiritualnya. Insan adalah manusia yang sudah mencapai pencerahan jiwa, spiritual, dan
kesadaran. Selain intelektualnya yang maksimal, hatinya juga optimal, sehingga mampu
memberikan pencerahan jiwa kepada orang lain.

2.2. Tugas Manusia Di Bumi

Dalam perjalanan hidup dan kehidupannya, manusia sebagai makhluk Allah pada dasarnya
mengemban amanah atau tugas-tugas kewajiban dan tanggungjawab yang dibebankan oleh
Allah agar dipenuhi, dijaga dan dipelihara dengan sebaik-baiknya. Al-Maraghy, ketika
menafsirkan ayat “Innallaha ya’murukum an tu’addu al-amanaati ila ahliha … (Q.S. al-
Nisa’: 58), ia mengemukakan bahwa amanah tersebut ada bermacam-macam bentuknya,
yaitu:
Amanah hamba terhadap Tuhannya, yakni sesuatu yang harus dipelihara dan dijaga oleh
manusia, yang berupa mengikuti segala perintahNya dan menjauhi segala laranganNya, serta
menggunakan alat-alat potensialnya dan anggota badannya dalam berbagai aktivitas yang bisa
menimbulkan kemanfaatan baginya dan dapat mendekatkan diri kepada Tuhannya, sehingga
bila manusia melanggarnya, maka berarti dia berkhianat kepada Tuhannya;
Amanah hamba terhadap sesama manusia, yakni mengembalikan barang-barang titipan
kepada pemiliknya dan tidak mau menipu, serta menjaga rahasia seseorang yang tidak pantas
dipublikasikan; dan
Amanah manusia terhadap dirinya, yakni berusaha melakukan hal-hal yang lebih baik dan
lebih bermanfaat bagi dirinya untuk kepentingan agama dan dunianya, tidak melakukan hal-
hal yang membahayakan dirinya baik untuk kepentingan akhirat maupun dunianya, serta
berusaha menjaga dan memelihara kesehatan dirinya.
4
Di dalam al-Qur’an dinyatakan bahwa manusia termasuk makhluk yang siap dan mampu
mengemban amanah tersebut ketika ditawari oleh Allah, sebaliknya makhluk yang lain justeru
enggan menerimanya atau tidak siap dan tidak mampu mengemban amanah tersebut,
sebagaimana firmanNya dalam Q.S. al-Ahzab : 72, yang artinya: “Sesungguhnya Kami telah
mengemukakan amanah kepada langit, bumi, dan gunung-gunung, maka semuanya enggan
untuk memikul amanah itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya dan dipikullah
amanah itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat dhalim dan bodoh”.

Apa itu amanah? Ath-Thabathaba’i, ketika menafsirkan ayat tersebut, ia mengemukakan


bermacam-macam pengertian dari amanah, yaitu: (1) tugas-tugas/beban kewajiban, sehingga
bila orang mau mematuhinya, maka akan dimasukkan ke dalam surga, sebaliknya bila
melanggarnya akan dimasukkan ke neraka; (2) akal, yang merupakan sendi bagi pelaksanaan
tugas-tugas/beban kewajiban dan tempat bergantungnya pahala dan siksa; (3) kalimah “La
ilaaha illa Allah; (4) anggota-anggota badan, termasuk di dalamnya alat-alat potensial atau
potensi-potensi dasar manusia, yang mampu mengemban dan melaksanakan amanah dari
Allah yang harus dijaga dan hanya digunakan dalam batas-batas yang diridai olehNya; (5)
ma’rifah kepada Allah. Pengertian yang keempat itulah, menurut Ath-Thabathaba’i, yang
lebih mendekati kebenaran. Al-Raghib al-Asfahani, pakar bahasa al-Qur’an, mengemukakan
beberapa pengertian tentang amanah, yaitu: (1) kalimah tauhid; (2) al-’adalah (menegakkan
keadilan); (3) akal. Menurut Al-Asfahani, bahwa pengertian yang ketiga itulah yang benar,
karena dengan akal bisa tercapai ma’rifah tauhid, bisa terwujudkan keadilan dan mampu
menjangkau berbagai ilmu pengetahuan dan sebagainya, bahkan akal inilah yang
membedakan manusia dengan makhluk yang lain.

Dari beberapa pendapat ahli tafsir tersebut dapat difahami bahwa tugas hidup manusia – yang
merupakan amanah dari Allah itu pada intinya ada dua macam, yaitu : ’Abdullah
(menyembah atau mengabdi kepada Allah), dan Khalifah Allah, yang keduanya harus
dilakukan dengan penuh tanggung jawab.

2.2.1. Tugas manusia sebagai ’Abdullah (hamba Allah)

Tugas hidup manusia sebagai ’Abdullah merupakan realisasi dari mengemban amanah dalam
arti memelihara beban/tugas-tugas kewajiban dari Allah yang harus dipatuhi. Sedangkan
5
Khalifah Allah merupakan realisasi dari mengemban amanah dalam arti memelihara,
memanfaatkan, atau mengoptimalkan penggunaan segala anggota badan, alat-alat potensial
(termasuk indera, akal dan qalbu) atau potensi-potensi dasar manusia, guna menegakkan
keadilan, kemakmuran dan kebahagiaan hidup.

Tugas hidup manusia sebagai ’abdullah bisa difahami dari firman Allah dalam Q.S. Adz-
Dzariyat ayat 56: “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
mengabdi kepada-Ku”.

Mengapa manusia bertugas sebagai ‘abdullah? Untuk menjawab masalah ini bisa dikaitkan
dengan proses kejadian manusia yang telah dikemukakan terdahulu. Dari uraian terdahulu
dapat difahami bahwa pada dasarnya manusia terdiri atas dua substansi, yaitu jasad/materi dan
roh/immateri. Jasad manusia berasal dari alam materi (saripati yang berasal dari tanah),
sehingga eksistensinya mesti tunduk kepada aturan-aturan atau hukum Allah yang berlaku di
alam materi (Sunnatullah). Sedangkan roh-roh manusia, sejak berada di alam arwah, sudah
mengambil kesaksian di hadapan Tuhannya, bahwa mereka mengakui Allah sebagai
Tuhannya dan bersedia tunduk dan patuh kepadaNya (Q.S. al-A’raf: 172). Karena itulah,
kalau manusia ingin konsisten terhadap eksistensi dirinya maka salah satu tugas hidup yang
harus dilaksanaannya adalah ’abdullah (hamba Allah yang senantiasa tunduk dan patuh
kepada aturan dan KehendakNya serta hanya mengabdi kepadaNya).

Hanya saja diri manusia juga telah dianugerahi kemampuan dasar untuk memilih atau
mempunyai “kebebasan” (Q.S. al-Syams: 7-10), sehingga walaupun roh Ilahi yang melekat
pada tubuh material manusia telah melakukan perjanjian dengan Tuhannya (untuk bersedia
tunduk dan taat kepadaNya), tetapi ketundukannya kepada Tuhan tidaklah terjadi secara
otomatis melainkan karena pilihan dan keputusannya sendiri. Dan manusia itu dalam
perkembangannya dari waktu ke waktu suka melupakan perjanjian tersebut, sehingga
pilihannya ada yang mengarah kepada pilihan baiknya (jalan ketaqwaan) dan ada pula yang
mengarah kepada pilihan buruknya (jalan kefasikan). Karena itu Allah selalu mengingatkan
kepada manusia, melalui para Nabi atau Rasul-rasulNya sampai dengan Nabi Muhammad
SAW. sebagai nabi/rasul terakhir, agar manusia senantiasa tetap berada pada naturnya sendiri,
yaitu taat, patuh dan tunduk kepada Allah SWT. (’abdullah). Setelah rasulullah SAW. wafat,
maka tugas memperingatkan manusia itu diteruskan oleh para shahabat, dan para pengikut
Nabi SAW. (dulu sampai sekarang) yang setia terhadap ajaran-ajaran Allah dan rasulNya,
termasuk di dalamnya adalah para pendidik muslim.
6
2.2.2. Tugas manusia sebagai Khalifah Allah

Tugas hidup manusia juga sebagai khalifah Allah di muka bumi. Hal ini dapat difahami dari
firman Allah dalam Q.S. al-Baqarah: 30:
”Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak
menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak
menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan
menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan
mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak
kamu ketahui.”

Apa yang dimaksud dengan khalifah? Kata khalifah berasal dari kata “khalf” (menggantikan,
mengganti), atau kata “khalaf” (orang yang datang kemudian) sebagai lawan dari kata “salaf”
(orang yang terdahulu). Sedangkan arti khilafah adalah menggantikan yang lain, adakalanya
karena tidak adanya (tidak hadirnya) orang yang diganti, atau karena kematian orang yang
diganti, atau karena kelemahan/tidak berfungsinya yang diganti, misalnya Abu Bakar ditunjuk
oleh umat Islam sebagai khalifah pengganti Nabi SAW, yakni penerus dari perjuangan beliau
dan pemimpin umat yang menggantikan Nabi SAW. setelah beliau wafat, atau Umar bin
Khattab sebagai pengganti dari Abu Bakar dan seterusnya; dan adakalanya karena
memuliakan (memberi penghargaan) atau mengangkat kedudukan orang yang dijadikan
pengganti. Pengertian terakhir inilah yang dimaksud dengan “Allah mengangkat manusia
sebagai khalifah di muka bumi”, sebagaimana firmanNya dalam Q.S. Fathir ayat 39, Q.S. al-
An’am ayat 165.
Manusia adalah makhluk yang termulia di antara makhluk-makhluk yang lain (Q.S. al-Isra’:
70) dan ia dijadikan oleh Allah dalam sebaik-baik bentuk/kejadian, baik fisik maupun
psikhisnya (Q.S. al-Tin: 5), serta dilengkapi dengan berbagai alat potensial dan potensi-
potensi dasar (fitrah) yang dapat dikembangkan dan diaktualisasikan seoptimal mungkin
melalui proses pendidikan. Karena itulah maka sudah selayaknya manusia menyandang tugas
sebagai khalifah Allah di muka bumi.

Dari berbagai uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa manusia sebagai makhluk
Allah harus mampu mengemban amanah dari Allah, yaitu menjalankan tugas-tugas hidupnya
di muka bumi. Manusia sebagai makhluk Allah mempunyai dua tugas utama, yaitu: (1)
sebagai ’abdullah, yakni hamba Allah yang harus tunduk dan taat terhadap segala aturan dan
7
KehendakNya serta mengabdi hanya kepadaNya; dan (2) sebagai khalifah Allah di muka
bumi, yang meliputi pelaksanaan tugas kekhalifahan terhadap diri sendiri, dalam
keluarga/rumah tangga, dalam masyarakat, dan tugas kekhalifahan terhadap alam.

2.3. Peran dan Tanggung Jawab Manusia Dalam Al-Qur’an

2.3.1 Peran dan Tanggungjawab Manusia

Membincangkan maslah peran dan tanggungjawab manusia, erat hubungannya dengan istilah
khalifah seperti disebutkan dibeberapa ayat Al-Qur’an.
Dalam firman Allah yang artinya:
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat:
“Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi…”. Dan ayat yang
artinya:
“Sungguh Kami telah tawarkan amanat kepada langi, bumi dan gunung- gunung. Tapi mereka
enggan memikulnya, karena takut akan mengkhianatinya. Tapi manusia (bersedia)
memikulnya. Ia sungguh zhalim dan bodoh sekali”.

Ayat di atas dapat dipahami bahwa khalifah adalah sebuah fungsi yang diemban manusia
berdasarkan amanat yang diterimanya dari Allah. Kekhalifahan merupakan amanat atau tugas
mengelola bumi secara bertanggungjawab, dan harus sesuai dengan petunjuk dari yang
memberikan tugas tersebut dengan mempergunakan akal yang telah dianugerahkan Allah
kepadanya.

Dasar yang dipakai manusia ketika bersedia menerima amanat tersebut adalah karena ia diberi
kemampuan atau potensi oleh Allah yang memungkinkan mampu mengemban amanat itu.
Potensi yang dimaksud bukan saja potensi untuk dapat menunaikan amanat tersebut, tetapi
potensi yang dapat menunaikan amanat dengan baik dan bertanggungjawab. Sebab jika Allah
mengetahui ketiadaan potensi yang dimiliki oleh manusia, niscaya Dia tidak akan
menyerahkan amanat yang berat tersebut kepadanya. Tidak ubahnya seperti seorang ayah
yang menyerahkan sebilah pisau kepada anak kecil, atau memerintahkan anak di bawah umur
untuk mengemudi kendaraan. Sang ayah yang bijaksana baru akan menyerahkan hal tersebut
jika sang anak sudah mampu dan mempunyai potensi untuk melaksanakan tugas yang
diberikan kepadanya.

8
Dalam salah satu ayat al-Qur’an, kemampuan atau potensi itu disimbolkan dengan
kemampuan dalam mengeja nama-nama benda seluruhnya. Dengan inderanya, manusia
mengirimkan masukan informasi ke otaknya yang merupakan pusat pengolahan data dan
pengetahuan. Pengetahuan yang demikian ini disebut pengetahuan konseptual. Hal ini
diisyaratkan dalam al-Qur’an yang artinya:
“Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian
mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman: “Sebutkanlah kepada-ku nama
benda-benda itu jika kamu memang orang-orang yang benar”.
Dengan melalui pemahaman serta penguasaan terhadap hUkum- hukum kebenaran yang
terkandung dalam ciptaanNya semua yang ada di alam ini seperti yang terkandung dalam ayat
di atas, maka manusia dapat menyusun konsep-konsep serta melakukan rekayasa membentuk
wujud baru dalam alam kebudayaan untuk kemaslahatan umat manusia. Kemampuan lain
yang diberikan Allah kepada manusia adalah kemampuan untuk membedakan antara yang
baik dan yang buruk.

2.3.2. Peran dan Tanggungjawab Manusia sebagai Hamba Allah dan Makhuk Sosial

Peran dan tanggungjawab manusia yang paling utama adalah bagaimana manusia mampu
memposisikan dirinya di hadapan Allah dan kehidupan sosialnya. Untuk mengetahui hal
tersebut perlu dipaparkan terlebih dahulu maksud dan tugas diciptakan manusia itu, seperti
dijelaskan dalam ayat al-Qur’an yang artinya:
“Dan Aku tidak menciptakan jin and manusia kecuali agar mereka
mengabdi kepada-Ku”.
Term Abdi dan pengabdian merupakan kata-kata yang biasa dipergunankan sehari-hari.
Tetapi dalam konteks al-Qur’an kata ‘abd yang darinya bahasa Indonesia abdi dan pengabdian
itu berasal mengandung pegertian yang luas dan dalam secara baik secara teologis maupun
filosofis. Diantara bentuk peghambaan selain kepada Allah dapat ditemukan dalam ayat al-
Qur’an yang artinya:
“Ketahuilah, bahwa sesunggunya kehidupan dunia hanyalah permainan dan kelengahan, serta
perhiasan dan bermegah-megahan antara kamu serta berbangga- bangga tentang harta dan
anak-anak, ibarat hujan yang mengagumkan para petani tanam-tanamannya, kemudian ia
menjadi kering, lalu engkau lihat dia menguning kemudian ia menjadi hancur dan di akhirat
ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridha’an-Nya. Dan tidaklah kehidupan
dunia kecuali hanyalah kesenangan menipu.

9
Orang yang senantiasa mengejar kesenangan duniawi pada dasarnya tidak memahami peran
dan tanggungjawabnya sebagai hamba Allah. Dalam terminologi teologi Islam beribadah atau
penghambaan memiliki dua arti. Pertama, beribadah dalam arti sempit yang disebut dengan
ibadah mahdhah. Ibadah yang masuk dalam lingkup ini seperti shalat, puasa, haji, yang
mengandung ritus yang mutlak. Kedua, ibadah dalam arti yang luas. Beribadah dalam arti ini
adalah mendedikasikan seluruh sikap dan tindakan seseorang hanya kepada Allah. Dalam al-
Qur’an disebutkan sebagai berikut, yang artinya:

“. Jangan kamu mengabdi selain Allah, dan berbuat baiklah kepada ibu, bapak, kaum kerabat,
anak-anak yatim, dan orang-orang miskin, serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepda
manusia, dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat……”.

Ayat ini mengandung dua perintah ibadah yaitu perintah menyembah Allah, dan kedua adalah
konsekuensi-konsekuensi dari beribadah kepada Allah yaitu berbuat baik kepada kedua orang
tua, kerabat, orang miskin, anak yatim, berbuat baik kepada sesama.

2.3.3. Peran dan Tanggungjawab Manusia sebagai Khalifah fil Ardl

Dalam sub bahasan sebelumnya telah dijelaskan bahwa antara peran dan tanggungjawab
manusia sebagai hamba Allah dan makhluk sosial tidak dapat dipisahkan, keduanya
mempunyai hubungan fungsional dan korelatif. Manusia dalam perannya sebagai makhluk
sosial tidak terlepas dari perannya sebagai khalifah fil ardl. Firman Allah yang artinya:
“ ….Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya…”
Khalifah fil ardl dapat diartikan pengemban amanat yang diberikan Allah kepada manusia.
Tugas manusia dalam rangka mengemban amanat “khalifah fil ardl” yang terkandung dalam
ayat di atas adalah mengelola dan memakmurkan bumi dengan menggali sumber daya alam
yang ia miliki untuk kesejahteraan manusia. Kesejahteraan yang dimaksud adalah
kemampuan manusia untuk mengambil manfaat dari kekayaan alam yang tersedia. Karena
Allah menciptakan kekayaan alam tidak lain diperuntukkan bagi manusia (QS. Al-
Baqarah:29).

Lebih jauh lagi, peran dan tanggungjawab manusia sebagai khalifah tidak saja terbatas pada
kemampuan mengeksplorasi sumber daya alam, tetapi bagaimana agar hasil dari eksplorasi
tersebut dapat dijadikan bekal atau modal untuk melakukan perubahan dan pengembangan
masyarkat, khususnya masyarakat Islam.
10
BAB III
PENUTUP

3.1. Simpulan

Setelah menyelesaikan makalah ini, kami dapat menyimpulkan bahwa konsep Hakikat
manusia adalah manusia sebagai makhluk sosial yang ditandai dengan keberadaan kontrak
sosial di dalamnya. Manusia tidak dapat menjalani kehidupannya secara sendiri-sendiri, oleh
karena itu harus ada saling menghargai antar sesama dan saling menjaga hak-hak orang lain.
tugas Manusia atau Hamba Allah SWT yaitu Beribadah dan Menjadi Khalifah/Pemimpin.
Misi pertama, Sebagaimana firman Allah SWT (QS. Az-Zariyat; 56) “Aku tidak menciptakan
jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku. Allah telah menciptakan
manusia dengan sebaik-baiknya, maka tugas manusia mensyukuri hal tersebut dengan cara

11
beribadah hanya kepada Allah. Ibadah merupakan sebuah penghambaan diri kepada Allah
yang tercermin dalam sikap tunduk, patuh, dan taat terhadap perintah Allah.

3.2. Saran

Sebagai seorang yang pemula, kami sadar bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh
karena itu saya mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun. Karena saran dan
kritik akan bermanfaat bagi kami untuk memperbaiki atau memperdalam materi ini.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an

https://www.fib.unair.ac.id/jdownloads/Materi%20Kuliah/MKWU/Materi%20Agama
%20Islam/kuliah_iv_hakikat_manusia_menurut_islam_ok.ppt
https://pasca.uin-malang.ac.id/tugas-manusia-di-bumi/#:~:text=Tugas%20hidup%20manusia
%20sebagai%20'Abdullah,dan%20atau%20ma'rifah%20kepadaNya.
https://jurnal.uinbanten.ac.id/index.php/alfath/article/view/3253/2431

12

Anda mungkin juga menyukai