Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Al-Insan (manusia) sebagai salah satu makhluk Allah telah menarik

perhatian banyak peneliti, mungkin karena ia unik. Kecenderungan penelitian

tentang al-Insan karena al-Insan merupakan objek kajian yang terpenting,

sehingga mendapat perhatian lebih dari para ilmuan, seperti sosiolog, antropolog,

psikolog, filosof, agamawan, dan lain-lain.

Menurut pandangan klasik dari Yunani dan Romawi, manusia itu adalah

makhluk yang berakal. Plato misalnya, menyatakan akallah yang membuat

manusia menjadi manusia dan berbudi pekerti. Bagi Aristoteles, akal adalah

kekuatan yang tinggi dari jiwa, akal adalah sifat milik manusia yang

memisahkannya dari watak yang non-manusiawi. Pandangan renaisans1 terhadap

manusia tetap memberikan kesan “percaya kepada akal” sebagai pokok dasar dari

defenisi manusia. Perbedaannya dengan pandangan klasik adalah bahwa

keistimewaan manusia itu dilihat dari segi kebebasan dan hubungan manusia

dengan Tuhan.2

1
Kata renaisance adalah istilah dalam bahasa Prancis. Dalam bahasa latin, “re + nasci” berarti
kebangkitan kembali (rebirth). Istilah ini biasanya digunakan oleh sejarahwan yang terkenal,
Michelet, dan dikembangkan oleh J. Burckhardt (1800), untuk menunjuk berbagai periode
kebangkitan intelektual, khususnya yang terjadi di Eropa, dan lebih khusus lagi di Italia, sepanjang
abad ke-15 dan ke-16. lihat Ahmad Tafsir, Filsafat Umum Akal dan Hati Sejak Thales Sampai
Capra, Rosda, Bandung: 2005, h. 125
2

Harol H. Titus, dkk., Persoalan-persoalan Filsafat, terj. H.M. Rasjidi, (Jakarta: Bulan Bintang,
1984), h. 41-42

1
2

Sebagai kitab suci dari Allah, Al-Qur`an merupakan petunjuk yang

mengandung pedoman dan informasi bagi manusia dunia dan akhirat. Persoalan

tentang al-Insan-pun dapat dirujuk dalam al-Qur`an. Namun, isi al-Qur`an baru

akan menjadi petunjuk-petunjuk bila telah dipelajari dan dipahami. Apabila

dihayati dan diamalkan, ia akan membentuk realitas keimanan yang dibutuhkan

bagi stabilitas dan ketenteraman hidup pribadi dan masyarakat.3

Salah satu informasi penting al-Quran tentang manusia adalah mengenai

potensi manusia. Ada banyak cara dan kata-kata yang digunakan al-Quran dalam

menjelaskan tentang potensi manusia, contohnya saja seperti kata an-Nafs, ar-

Ruh, al-Fitrah, al-Qalb, al-’Aql, al-Bashirah, al-Fu’ad dan al-Hawa. Masing-

masing kata tersebut diungkapkan dalam al-Quran sebagai potensi yang dimiliki

oleh manusia dan memiliki peran, fungsi dan kontek yang berbeda-beda. Namun,

secara tektual kata potensi lebih dikenal dalam bahasa Arab dengan istilah Fitrah.

Kata al-Insan dijumpai di dalam al-Quran tersebut sebanyak 65 kali dalam

63 ayat yang tersebar ke dalam 43 surat. 4 Kata al-Insan memiliki arti yang sama

dengan istilah basyar dan al-nas,5 namun makna dari masing-masing kata itu

3
Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat,
(Bandung: Mizan, 2005), h. 13, selanjutnya disebut Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an
4

Muhammad Fu’ad ‘Abd al-Baqiy, al-Mu’jam al-Mufahras liy Alfazh al-Qur’an al-Karim, (Beirut:
Dar al-Fikr, 1987), h. 119-120 selanjutnya disebut al-Baqiy, al-Mu’jam al-Mufahras
5

Di dalam al-Quran kata basyar disebut sebanyak 36 kali, dan digunakan untuk
menggambarkan dimensi fisik manusia. Sedangkan istilah al-Nas digunakan dalam al-
Quran untuk menyatakan adanya sekelompok orang atau masyarakat. Lihat Musa ’Asy’ari,
Manusia Pembentuk Kebudayaan Dalam Al-Quran, (Yogyakarta: Lembaga Studi Filsafat
Islam, 1992), h. 19-27, selanjutnya disebut Musa ’Asy’ari, Manusia Pembentuk Kebudayaan...
Lih. Abdus Shabur Sahin, Penciptaan Nabi Adam; Mitos atau Realitas, pent. Hanif Anwari,
judul asli, Abi Adam: Qishshahal-Khaliqah, (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2004), h. 70, Quraish
Shihab, Wawasan Al-Qur’an, h. 279-280
3

berbeda. Secara harfiah, Insan berarti manusia, jama’nya kata al-nas.6 Kata insan

memiliki tiga asal kata. Pertama, berasal dari kata anasa yang berarti ”melihat,

mengetahui dan minta izin”. Kedua, berasal dari kata nasiya berarti ”lupa”.

Ketiga, berasal dari kata al-uns yang artinya ”jinak lawan dari buas”.7

Menurut Quraish Shihab, kata al-Insan bila ditinjau dari sudut pandangan

al-Quran lebih tepat asal katanya terambil dari kata al-uns. Quraish Shihab

menambahkan, bahwa kata al-Insan digunakan dalam al-Quran untuk

menunjukkan kepada manusia dengan seluruh totalitasnya, jiwa dan raganya. 8

Semua pengertian dari asal kata al-Insan tersebut di atas, menunjukkan kepada

karakter dan kebiasaan kemanusiaan yang lahir dari kesadaran penalarannya, yaitu

melihat, mengetahui, lupa, jinak atau damai.

Dalam al-Qur'an, al-Insan banyak disebut sebagai makhluk yang amat

terpuji dan memiliki kualitas yang tinggi, tetapi disebut pula sebagai makhluk

yang amat tercela.9 Manusia berkali-kali diangkat derajatnya, berulangkali pula

direndahkan. Mereka dinobatkan jauh mengungguli alam sorga, bumi dan bahkan

para malaikat, tetapi pada saat yang sama, mereka bisa tak lebih berarti

dibandingkan dengan setan terkutuk dan binatang jahanam sekalipun.10

6
Mahmud Yunus, Kamus Bahasa Arab Indonesia, (Jakarta: Hidakarya, 1990), h. 51 & 387
7
Ibn Mansur, Lisan al-’Arab, (Mesir: Daral-Misriyah, 1968), Jil. VII, h. 306-314, selanjutnya
disebut Ibn Mansur, Lisan al-’Arab
8

Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran, h. 280


9

Abbas Mahmud al-Aqqad, Manusia Diungkap Qur’an, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993), h. 11
10

Murtadha Muthahhari, Perspektif al-Qur'an tentang Manusia dan Agama, terj, Sugeng Rijono dan
Farid Gaban, (Bandung: Mizan, 1992), h. 117
4

Menurut al-Thabathaba’iy, dilihat dari segi wujudnya, al-Insan adalah

sesuatu yang tumbuh dan berkembang secara evolutif menuju kepada

kesempurnaan.11 Artinya, al-Insan merupakan makhluk potensial. Dengan

demikian, dapat dipahami bahwa al-Insan adalah makhluk multidimensi.

Disamping memiliki akal dan nafsu, ia juga merupakan makhluk yang dimuliakan

dan puncak dari kesempurnaan ciptaan Allah yang diciptakan dalam gambaran-

Nya,12 dan karena itu juga Al-Insan ialah makhluk yang dikondisikan sebagai

penanggungjawab atas kelangsungan hidup ciptaan-ciptaan Allah yang lainnya.13

Keberadaan al-Insan semakin sempurna ketika Allah mengangkatnya

sebagai khalifah di muka bumi.14 Al-Insan dibebani amanat untuk memakmurkan

bumi ini ketika amanat itu ditolak oleh makhluk-makhluk Allah yang lain. 15 Al-

Insan menerima amanat itu karena secara potensi atau fitrah, ia sanggup

menerima beban amanat dan memikulnya. Karena itu, al-Insan ditakdirkan oleh

Allah sebagai makhluk yang harus mempertanggungjawabkan perbuatannya,

11
Al-Allamah al-Sayyid Muhammad Husayn Al-Thabathaba’iy, Al-Mizan fiy Tafsir al-
Quran, (Bairut: Muassasat al-a’lamiy li al-Mathbu’at, 1991), cet. I, Jil. I, h. 113. selanjutnya
disebut Al-Thabathaba’iy, Al-Mizan fiy Tafsir al-Quran

12
Tim Penyusun, Enslikopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, tth), Jil. III, h. 163
13

"Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi"QS. Al-


Baqarah : 30
14

“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat:”Sesungguhnya Aku hendak


menjadikan seorang khalifah di muka bumi…..” (QS. al-Baqarah (2):30)
15

“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung,
semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mere khawatir akan mengkhianatinya dan
dipikullah amanat itu oleh manusia, sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh”. (al-
Ahzab (33) : 72)
5

karena kehidupan dunia ini adalah ujian menuju kepada kehidupan yang lebih

kokoh berupa kebahagiaan atau kesengsaraan.16

Ibn Katsir mengungkapkan, kekhalifahan dan kepemimpinan adalah satu

kemulian besar yang Allah berikan kepada Adam a.s dan merupakan anugerah

bagi keturunannya.17 An-Nahlawi juga mengatakan, manusia menurut pandangan

Islam meliputi, Pertama, manusia sebagai makhluk yang dimuliakan, artinya

Islam tidak memposisikan manusia dalam kehinaan, kerendahan atau tidak

berharga seperti binatang, benda mati atau makhluk lainnya. 18 Kedua, manusia

sebagai makhluk istimewa dan terpilih. Salah satu anugrah Allah Swt. yang

diberikan kepada manusia adalah menjadikan manusia mampu membedakan

kebaikan dan kejahatan atau kedurhakaan dari ketakwaan dan dapat menilai diri

sendiri serta mengarahkan perilaku dan pekerjaannya dengan bebas. 19 Ketiga,

manusia sebagai makhluk yang dapat dididik. Allah Swt. telah menganugrahi

manusia sarana untuk belajar, seperti penglihatan, pendengaran dan hati. Dengan

kelengkapan sarana belajar tersebut, Allah swt. selalu bertanya kepada manusia

dalan firman-Nya “afala ta’qilun”, “afala tatafakkarun”, dan lain-lain pertanyaan

Allah Swt. kepada manusia yang menunjukkan manusia mempunyai potensi untuk

belajar.20
16
Al-Thabathaba’iy, Al-Mizan fiy Tafsir al-Quran, jil. XIX, h. 109
17

Abu al-Fida’ Isma’il Ibn Katsir, Tafsir al-Quran al-‘Azhim, (Bairut: Dar al-Fikr, 1969), Jil.I, h. 69,
selanjutnya disebut Ibn Katsir, Tafsir ibn Katsir
18

Lihat QS. al-Isra’(17) : 70 dan QS. al-Hajj (22) : 65


19

Q.S. Al-Israa’ : 70-72. lihat Ahzami Samiun Jazuli, Kehidupan Dalam Pandangan Al-Quran, terj.
Sari Narulita dkk., (Jakarta: Gema Insani, 2006), h. 47-48
20

Abdurrahman An-Nahlawi, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan Masyarakat, (Jakarta:


Gema Insani Press, 1995), h. 35
6

Al-Qur’an juga menjelaskan bahwa manusia memiliki kecenderungan

untuk melanggar perintah Allah swt., padahal Allah swt. telah menjanjikannya

kedudukan yang tinggi.21 Sejak awal Allah Swt. menghendaki manusia untuk

menjadi hamba-Nya yang paling baik, tetapi karena sifat dasar alamiahnya,

manusia mengabaikan itu. Ini memperlihatkan bahwa pada diri manusia itu

terdapat potensi-potensi baik, namun karena potensi itu tidak didayagunakan

maka manusia terjerembab dalam lembah kenistaan, bahkan terkadang jatuh pada

tingkatan di bawah hewan.22

Abdullah Fattah Jalal menyebutkan, banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang

berkaitan dengan alat-alat potensial yang dianugerahkan oleh Allah kepada al-

Insan untuk meraih dan menjadi manusia yang sempurna. Masing-masing mediasi

itu saling berkaitan dan melengkapi. 23

Dari diuraikan di atas, terlihat semacam dualisme pandangan al-Quran

terhadap al-Insan. Dengan posisi seperti ini, bagaimana proporsional dan

keseimbangan perspektif al-Quran tentang al-Insan terkait dengan keunggulan

serta kemuliaan al-Insan pada satu sisi dan kelemahan serta kekurangan al-Insan

21

Allah berfirman: “Dan kalau Kami menghendaki sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya
dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang
rendah…..” (QS. al-A’raaf (7) : 176)
22

Berhubungan dengan hal ini, K.H Didin Hafidhuddin mengacu pada surat al-Fatihah ayat 7
mengklasifikasikan manusia menjadi tiga, “ pertama;mereka golongan yang memperoleh
nikmat. Kedua; golongan orang-orang yang dimurkai Allah. Ketiga: golongan orang-orang
sesat”. Golongan yang pertama memperlihatkan bahwa pada dasarnya manusia mampu
untuk mencapai derajat yang lebih baik, dan bisa saja melampau derajat para malaikat.
Sedangkan dua kelompok berikutnya adalah golongan yang melupakan kebermanusiaan
dalam manusia.” Didin Hafidhuddin, Tafsir al-Hijri, (Jakarta: Yayasan Kalimah Thayyibah,
2000), h. 204
23

Abdullah Fattah Jalal, Min al-Ushul al-Tarbiyah fi al-Islam (Mesir: Dar al-Kutub, 1977) h.
103-110.
7

pada sisi yang lain yang dikaitkan dengan fitrah dan potensi-potensi yang

dimilikinya. Lain dari pada itu, bagaimana pula wacana tafsir tentang keunggulan

dan kelemahan al-Insan serta segala potensi yang dimilikinya. Oleh karena itu,

penulis tertarik untuk melakukan penelitian masalah ini. Penulis akan mengupas

masalah ini lebih dalam lagi secara ilmiah dan dideskripsikan ke dalam bentuk

tesis dengan judul “Potensi Al-Insan Dalam Perspektif Al-Quran”.

B. Rumusan dan Batasan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka bahasan pokok yang akan dikaji

dalam penelitian ini adalah “bagaimana potensi al-Insan dalam perspektif al-

Quran”.

Agar penelitian ini terfokus dan lebih terarah, maka berdasarkan rumusan

di atas, penulis membatasi masalah pokok kepada;

1. Bagaimana keutamaan dan keunggulan al-Insan dalam perspektif al-

Quran

2. Bagaimana kelemahan dan kekurangan al-Insan dalam perspektif al-

Quran

3. Bagaimana al-Insan yang berkualitas dalam perspektif al-Quran

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Sejalan dengan batasan masalah yang telah penulis paparkan di atas, maka

tujuan penelitian ini adalah;


8

1. Menjelaskan keutamaan dan keunggulan al-Insan dalam perspektif al-

Quran

2. Menjelaskan kelemahan dan kekurangan al-Insan dalam perspektif al-

Quran

3. Menjelaskan al-Insan yang berkualitas dalam perspektif al-Quran

Sedangkan kegunaan dari penelitian ini yang disesuaikan dengan

tujuannya diantaranya ialah:

1. Menambah referensi dan literatur dalam bidang tafsir

2. Dapat mengembangkan wawasan keilmuan

3. Ikut serta memberikan sumbangan ilmiah bagi perkembangan ilmu

pengetahuan

4. Memenuhi prasyarat mencapai gelar Magister

5. Dapat dijadikan sebagai konsep yang berguna bagi perubahan

masyarakat kearah yang lebih baik

D. Defenisi Operasional

Judul penelitian ini adalah Potensi Al-Insan Dalam Perspektif Al-Qur`an.

Untuk menghindari kesalah pahaman terhadap judul, maka perlu dijelaskan

maksudnya:

Kata ”potensi” adalah kemampuan atau kekuatan dasar yang telah ada

dalam diri manusia yang masih bersifat potensial atau dengan kata lain belum

mengaktualisasi.24

24
MDJ. Al-Barry & Sofyan Hadi, Kamus Ilmiah Kontemporer, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), h.
246
9

Kata ”al-Insan” berasal dari bahasa Arab. Kata al-Insan mempunyai tiga

asal kata. Pertama, berasal dari kata anasa yang berarti ”melihat, mengetahui dan

minta izin”. Kedua, berasal dari kata nasia berarti ”lupa”. Ketiga, berasal dari kata

al-uns yang artinya ”jinak lawan dari buas”.25 Menurut Jamil Shaliba, kata insan

menunjukkan pada sesuatu yang secara khusus digunakan untuk arti manusia dari

segi sifatnya, bukan fisiknya. Dalam bahasa Arab kata insan mengacu kepada sifat

manusia yang terpuji seperti kasih sayang, mulia dan lainnya. Selanjutnya kata

insan digunakan oleh filosof klasik sebagai kata yang menunjukan kepada arti

manusia secara totalitas yang secara langsung mengarah pada hakikat manusia.

Selain itu, kata insan juga menunjukkan pada arti terkumpulnya seluruh potensi

intelektual, rohani, dan fisik yang ada pada manusia, seperti hidup, sifat

kehewanan, berkata-kata dan lain sebagainya.26

Pengertian operasional, al-Insan yang dimaksud dalam judul ini ialah

manusia yang dapat menunjukkan seluruh totalitasnya, yaitu jiwa dan raganya

yang menyebabkan dia pantas untuk menerima amanah.

Kata ”perspektif” mempunyai arti, 1) Cara melukiskan suatu benda dan

lain-lain pada permukaan yang mendatar sebagaimana terlihat oleh mata pada tiga

dimensi (panjang, lebar, dan tingginya); 2) Sudut pandang; pandangan. 27 Yang

penulis maksud dalam tesis ini adalah cara al-Qur’an mengungkapkan tentang al-

Insan.

25
Ibn Mansur, Lisan al-’Arab, h. 306-314
26

Jamil Shaliba, Al-Mu’jam al-Falsafi, (Beirut: Dar al-Kitab, 1978), Jil. I, h. 158
27

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), h. 602
10

Al-Qur`an adalah kitab suci umat Islam,28 Kitab yang mulia, kitab suci

yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW dan beribadah

membacanya.29 Yang dimaksud adalah kitab suci umat Islam.

Secara keseluruhan judul ini bermaksud membahas arti penting potensi al-

Insan terkait dengan keutamaan dan kekurangannya secara mendalam menurut

konsep al-Qur`an.

E. Kajian Kepustakaan

Dalam penelusuran kepustakaan, penulis tidak menemukan karya ilmiah

yang membahas tentang potensi al-Insan dalam perspektif al-Quran yang

menggunakan metode tafsir maudhu’iy. Namun begitu, penulis menemukan

beberapa tulisan ilmiah yang telah membahas tema ini dalam perspektif lain.

Kajian-kajian tentang manusia sudah sangat tua dan sangat banyak

dilakukan oleh para pakar dan pemikir, setua kehidupan manusia itu sendiri, baik

sejak zaman filosof Yunani, zaman Islam, hingga pada sekarang ini.

Kajian tentang manusia sebelumnya antara lain telah dilakukan oleh

Muhammad Yasir Nasution, dalam bukunya “Manusia Menurut Al-Ghazali”, M.

Yasir Nasution mengemukakan konsep Al-Ghazali tentang manusia, manusia

adalah makhluk yang terdiri dari badan (fisik atau jasmani), jiwa dan al-ruh.

Essensi ketiganya adalah jiwa. Jiwa dan badan mempunyai hubungan yang

aksidental, pada saat hubungan keduanya terputus. Kedua unsur itu disatukan

28
Tim Penyusun Kamus, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 32
29

Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, h. 335


11

dalam al-nafs (jiwa). Jiwa bersifat immateri dan dinamis. 30 Karya ini berbeda

dengan penelitian yang penulis lakukan. Perbedaan yang paling signifikan ialah

pada aspek penekanan dan objeknya. Karya Yasir hanya membahas bagian jiwa

dari al-Insan. Sedangkan penulis, selain jiwa juga mengakaji bagian lain dari

komponen al-Insan. Dari segi pendekatan, Yasir menggunakan pendekatan

sufistik, sedangkan penulis menggunakan pendekatan tafsir.

Kajian tentang manusia sebelumnya juga telah dilakukan oleh H. Musa

Asy’arie. Menurut Musa Asy’arie manusia disebutkan dalam al-Qur’an dalam

berbagai bentuk suku kata seperti insan, dan basyar. Kedua kata itu mempunyai

hubungan yang erat dengan kedudukan manusia sebagai khalifah dan ‘abd. Insan

sebagai realisasi dari khalifah dan basyar merealisasikan sifat ‘abd.31 Dalam karya

ini, Asy’arie melihat manusia dari segi penciptaannya serta makna-makna dari

term-term yang memiliki arti manusia. Ia tidak melihat al-Insan dari sisi

keutamaan dan kelemahan serta potensi-potensi yang dimilikinya sebagaimana

yang penulis lakukan.

Muhammad Syamsuddin, juga telah melakukan kajian tentang manusia

dalam pandangan KH. A.Azhar Basyir, bahwa eksistensi manusia adalah berasal

dari ruh Allah yang mempunyai substansi material (dari tanah) dan substansi

ruhaniah (ruh ciptaan Allah). Individualitas diukur secara emperis dalam

keterlibatannya dengan sesama manusia dan lingkungannya. Keberadaannya

ditentukan oleh relasi sosial disekitarnya. Dalam relasi sosial, individu dibatasi

oleh norma-norma yang sudah ada, dan mereka terinternsalisasi oleh sistem nilai

30
Muhammad Yasir Nasution, Manusia Menurut Al-Ghazali, ( Jakarta: Sri Gunting 1999), h. 217.
31

Musa Asy’ari, Manusia Pembentuk Kebudayaan, h. 151.


12

yang melingkupinya sejak kecil sampai dewasa.32 Karya Syamsuddin ini menyorot

al-Insan dari sisi perkembangan mentalnya yang dilengkapi dengan faktor-faktor

yang mempengaruhi perkembangan mental tersebut, dari kecil hingga dewasa.

Syamsudin tidak mengungkapkan potensi-potensi keunggulan dan kelemahan

manusia secara signifikan. Inilah perbedaan penelitian penulis dengan karya

Syamsudin.

Dalam tesis Adri di IAIN “IB” Padang (2007), dengan judul Filsafat

Manusia Menyendiri Menurut Ibnu Bajjah. Dalam penelitiannya, Andri

menjelaskan esensi dan eksistensi manusia dalam perspektif filosof. Andri juga

sedikit menyinggung potensi manusia, namun ia menekatkan pada potensi akal

manusia. Karena manusia akan dapat dikatakan telah memiliki eksistensi bila

manusia telah mengaktualkan akalnya. Penelitian ini berbeda dengan penelitian

penulis, yang melihat manusia secara holistik. Artinya, manusia dilihat dari sisi

keunggulan dan kelemahannya serta segala potensi yang ia miliki.

Karya ilmiah Elvi Sukhairi (tesis, 2007 IAIN “IB” Padang), yang berjudul

Penciptaan Perempuan Pertama Dalam Perspektif Tafsir Al-Quran. Dalam tesis

ini ditemukan, Elvi membahas tentang “gambaran penciptaan manusia dalam al-

Quran”. Dalam penelitiannya, Elvi lebih fokus menjelaskan masalah penciptaan

manusia. Ia juga mengungkap tentang keunggulan dan keutamaan manusia, tetapi

itu hanya dilihat dari sisi penciptaan dibanding dengan makhluk lain. Sedangkan

keunggulan-keunggulan lainnya tidak, seperti keunggulan manusia dari sisi

32
Muhammd Syamsuddin, Manusia dalam pandangan KH.A. Azhar Basyir, (Yogyakarta:Titian
Ilahi Press, 1997), h. 95
13

spritual, sosial, intelektual dan emosional. Di sinilah letak perbedaan penelitian

Elvi dengan yang penulis lakukan

Sedangkan dalam karya ilmiah Hermawan (Tesis, 1998 IAIN “IB”

Padang) yang berjudul Konsep Manusia Menurut At-Thabataba’iy (Suatu Studi

Analisis Filsafati atas Tafsir Al-Mizan). Dalam penelitian ini, Hermawan melihat

manusia dari sisi esensi, yaitu konsep penciptaan manusia. Ia menjelaskan

material penciptaan, proses penciptaan serta tujuan penciptaan manusia.

Hermawan tidak meneliti manusia dari sisi keunggulan dan kelemahannya serta

potensi-potensi manusia. Perbedaan yang mendasar karya ini dengan penelitian

penulis ialah terletak pada objek atau focus kajiaannya.

Tesis Yen Fikri Rani (2004) tentang Pemikiran Seyyed Hossein Nasr

dalam Mengatasi Krisis Spritual Manusia menjelaskan Nasr memiliki formula

yang utuh untuk mengatasi krisis spritual manusia. Pertama, malalui Islam awal

dan Islam akhir dengan melihat sejarah Islam sebagai perbandingan untuk

mengobati masyarakat yang dilanda keresahan akibat terjadinya kehampaan

spritual, kedua, melalui filsafat Perennial yang menyoroti tentang pesan

keagamaan yang sama pada setiap agama pada level esoteris, ketiga, melalui

Tasawuf sebagai dimensi batiniah. Penelitian ini berbeda dengan penelitian yang

penulis lakukan. Penelitian ini lebih focus kepada masalah aspek spiritual

manusia dan kemudian pendekatan yang digunakan ialah pendekatan teosofis-

sosiologis. Sedangkan penulis menjadikan al-Insan dan segala dimensinya

sebagai objek sentral dengan menggunakan metode maudhu’i.


14

Taufiqurrahman (tesis, IAIN ”IB” Padang 2000) tentang Khalifah Dalam

Perspektif al-Quran: Analisis Pendekatan Tafsir Tematik. Dalam penelitiannya,

penulis mengangkatkan tema pokok, yaitu khalifah. Di sini khalifah dipahami

sebagi predikat/amanah yang disandangkan kepada manusia yang nantinya akan

dimintakan pertanggungjawabannya di akhirat dan juga dilihat sebagai suatu

sistem kehidupan. Namun penelitian ini menggunakan kata-kata Khalifah yang

terdapat di dalam al-Quran hanya dilihat pada aspek munasabahnya. Kemudian

penulispun tidak konsisten menggunakan ayat-ayat yang menggunakan kata

khalifah tersebut dalam menafsirkan permasalahan seputar khalifah. Penelitian

yang telah dilakukan ini berbeda dengan penelitian yang penulis lakukan, karena

penulis menjadikan Al-Insan sebagai kosentrasi subjek kajian dan menjelaskan

aspek-aspek yang terkait dengan ke-Insan-an secara menyeluruh, termasuk juga

al-Insan dilihat sebagai khalifah. Kemudian dari pada itu, penulis juga sedikit

merasa terbantu oleh tesis Taufiqurrahman ini dalam mengungkap bagian-bagain

tertentu dari konsep al-Insan.

Masih banyak lagi karya-karya lain yang telah malakukan kajian tentang

manusia (al-Insan). Karya-karya tersebut tidak mungkin penulis muat semuanya.

Namun begitu, karya tersebut dapat penulis jadikan sebagai rujukan dan

perbandingan dalam proses penelitian nantinya.

Secara umum, yang menjadi perbedaan dengan karya-karya di atas dalam

tesis ini adalah kajian al-Insan dilakukan secara lebih mendalam dan fokus

terhadap objek kajian yakni kenggulan dan keutamaan al-Insan, kekurangan dan

kelemahan al-Insan, dan al-Insan yang berkualitas.


15

F. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan library research yang bercorak kualitatif dengan

menggunakan metode deskriptif-analisis kritis. Deskriptif merupakan penelitian

yang dimaksudkan untuk mengumpulkan informasi mengenai status suatu gejala

yang ada, yaitu keadaan gejala menurut apa adanya pada saat penelitian

dilakukan.33 Kemudian semua isyarat dan fenomena yang berhubungan dengan

pokok objek kajian yang deskripsikan itu dianalisis secara kritis.

2. Sumber Data (Rujukan)

Sumber data dalam penelitian ini dapat diklasifikasikan kepada dua jenis

sumber. Pertama, sumber primer; yaitu ayat-ayat al-Quran yang yang

menggunakan term-term yang menjadi padanan istilah al-Insan. Dalam

menganalisis tafsiran ayat-ayat tersebut, penulis merujuk kitab-kitab tafsir al-

Quran tahlili baik klasik maupun modern guna mengeksplorasi penafsiran ayat-

ayat terkait, sesuai relevansi dan kebutuhan.

Kitab tafsir yang penulis gunakan untuk menganalisis tafsiran ayat-ayat al-

Insan adalah Tafsir al-Quran al-‘Azhim (Tafsir Ibn Katsir), karya Ibn Katsir.

Karena tafsir ini dipandang oleh ulama lebih selektif terhadap riwayat dan diakui

banyak mufasir tentang otoritasnya. Selain itu, kitab tafsir ini juga banyak

dijadikan sebagai rujukan primer oleh ulama-ulama modern dalam penafsiran

tematik.

33
Suharsimi Arikunto, Manajemen Penelitian, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2005), h. 234
16

Dengan fokus kepada satu kitab tafsir bukan berarti penulis tidak

menggunakan kitab-kitab tafsir yang lainnya. Tetapi penulis tetap menggunakan

kitab-kitab tafsir yang lainya sebagai pembanding atau penguat dalam

menjelaskan suatu tafsiran ayat nanntinya. Kitab-kitab tafsir tersebut ialah Jami’

al-Bayan fi Ta’wil al-Quran, karya Muhammad ibn Jarir al-Thabari, tafsir ini

terkenal dengan pendekatan historisnya. Tafsir al-Manar: Tafsir al-Quran al-

Karim, karya Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha, merupakan pakar tafsir

modern dengan pendekatan rasional dan lebih fokus kepada isu sosial dan

kemasyarakatan. Kitab Fiy Zilal al-Quran, karya Syyid Quthub; Mizan fiy Tafsir

al-Quran, karya Muhammad Husain Thaba’thaba’iy. Kitab Tafsir al-Azhar, karya

Hamka. Tafsir al-Misbah, karya M. Quraisy Shihab dan kitab-kitab tafsir lainnya.

Kedua, sumber sekunder, yaitu berupa buku-buku, artikel, jurnal dan

karya-karya ilmiah lainnya yang memiliki relevansinya dengan pokok kajian

masalah yang dibahas.

Dalam penterjemahan ayat-ayat al-Quran, penulis menggunakan al-Quran

terjemahan keluaran Departemen Agama Republik Indonesia (Depag RI).

Kemudian, untuk melacak ayat-ayat al-Quran yang berkaitan dengan tema

pembahasan, penulis menggunakan kitab al-Mu’jam al-Fahras li alfazh al-Quran

al-Karim, karya Muhammad Fuad Abd al-Baqiy. Sedangkan untuk memonitor

sebab turunnya ayat, penulis memakai kitab Asbab al-Nuzul, karya Abi al-Hasan

‘Ali Ibn Ahmad al-Wahidiy yang telah ditahqiq oleh Aiman Shalih Sya’ban.
17

Sebagai acuan dalam penulisan penelitian ini, digunakan buku pedoman

penulisan karya tulis yang dikeluarkan oleh IAIN Imam Bonjol Padang, termasuk

system transiterasinya.

3. Langkah-langkah penelitian

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode tafsir maudhu’iy atau

tematik, sebagai metode tafsir kontemporer yang cukup baik serta focus mengkaji

sebuah tema dari tema-tema al-Quran dan tafsirnya. Penulis beranjak dari metode

yang ditawarkan oleh Abd al-Hayy al-Farmawiy dalam kitabnya al-Bidayah fiy

Tafsir al-Maudhu’iy.34 Langkah-langkah operasional tafsir al-Maudhu`iy yang

digunakan ialah:

a. Menetapkan tema yang akan dikaji berdasarkan tema-tema yang

disajikan al-Qur`an dan tafsirnya.

b. Menghimpun dan menetapkan ayat-ayat yang menyangkut masalah

tersebut

c. Menyusun secara sistematis ayat-ayat yang telah dihimpun sesuai

dengan kerangka pembahasan.

34
Dalam kitab ini disebutkan langkah-langkah metode rafsir maudu’i, yaitu: 1) Menetapkan tema
yang akan dikaji berdasarkan tema-tema yang disajikan al-Qur’an dan tafsirnya. 2) Menghimpun
ayat-ayat yang berkaitan dengan tema tersebut sesuai dengan kronologi urutan turunnya. 3)
Menyusun secara sistematis ayat-ayat yang telah dihimpun sesuai dengan kerangka pembahasan.
4) Meneliti secara cermat semua penggunaan kata atau kalimat yang dipakai dalam ayat-ayat
terkait, terutama kosa kata yang menjadi pokok persoalan dalam ayat itu. 5) Mengkaji semua
aspek yang berkaitan kata atau teks ayat secara seksama dengan melihat asbab nuzul dan
munasabah ayat. 6) Mengkaji pemahaman ayat-ayat itu dari pemahaman dan pendapat mufassir,
baik klasik maupun kontemporer untuk melahirkan konsep yang utuh tentang pokok masalah dan
aspek yang berkaitan dengannya. Lihat Abd Hayy Al-Farmawy, al-Bidayah al-Tafsir al-
Maudhu’iy, (Mishr: Mathba’at al-Hadharah al-’Arabiyyah, 1997), h. 52. selanjutnya disebut ‘Abd
Hayy Al-Farmawy, Al-Bidayah al-Tafsir al-Maudhu’iy
18

d. Mempelajari sebagian ayat-ayat yang terpilih dengan jalan

menghimpun ayat-ayat yang sama pengertiannya, atau

mengkompromikan antara ’Am dan Khash, yang mutlak dengan

muqayyad, atau yang kelihatannya kontradiktif sehingga semuanya

bertemu dalam satu muara tanpa perbedaan.

e. Mengkaji pemahaman ayat-ayat itu dari pemahaman dan pendapat

mufassir, baik klasik maupun kontemporer untuk melahirkan konsep

yang utuh tentang al-Insan dan aspek yang berkaitan dengannya. 35

Semuanya dikupas dengan seksama menggunakan penalaran objektif, serta

didukung oleh fakta, argumen hadits atau fakta kehidupan yang ditemukan dan

tidak lupa pula menjelaskannya dengan ilmu-ilmu lain yang relevan dengan

pembahasan yang dibahas, seperti sosiologi dan lain-lain.

35
Abd Hayy Al-Farmawy, Al-Bidayah al-Tafsir al-Maudhu’iy, h. 52, lih. Mustafa Muslim,
Mabahits fiy al-Tafsir al-Maudhu’iy, (Dimasyq: Dar al-Qalam, 1989), h. 27

Anda mungkin juga menyukai