PENDAHULUAN
sehingga mendapat perhatian lebih dari para ilmuan, seperti sosiolog, antropolog,
Menurut pandangan klasik dari Yunani dan Romawi, manusia itu adalah
manusia menjadi manusia dan berbudi pekerti. Bagi Aristoteles, akal adalah
kekuatan yang tinggi dari jiwa, akal adalah sifat milik manusia yang
manusia tetap memberikan kesan “percaya kepada akal” sebagai pokok dasar dari
keistimewaan manusia itu dilihat dari segi kebebasan dan hubungan manusia
dengan Tuhan.2
1
Kata renaisance adalah istilah dalam bahasa Prancis. Dalam bahasa latin, “re + nasci” berarti
kebangkitan kembali (rebirth). Istilah ini biasanya digunakan oleh sejarahwan yang terkenal,
Michelet, dan dikembangkan oleh J. Burckhardt (1800), untuk menunjuk berbagai periode
kebangkitan intelektual, khususnya yang terjadi di Eropa, dan lebih khusus lagi di Italia, sepanjang
abad ke-15 dan ke-16. lihat Ahmad Tafsir, Filsafat Umum Akal dan Hati Sejak Thales Sampai
Capra, Rosda, Bandung: 2005, h. 125
2
Harol H. Titus, dkk., Persoalan-persoalan Filsafat, terj. H.M. Rasjidi, (Jakarta: Bulan Bintang,
1984), h. 41-42
1
2
mengandung pedoman dan informasi bagi manusia dunia dan akhirat. Persoalan
tentang al-Insan-pun dapat dirujuk dalam al-Qur`an. Namun, isi al-Qur`an baru
potensi manusia. Ada banyak cara dan kata-kata yang digunakan al-Quran dalam
menjelaskan tentang potensi manusia, contohnya saja seperti kata an-Nafs, ar-
masing kata tersebut diungkapkan dalam al-Quran sebagai potensi yang dimiliki
oleh manusia dan memiliki peran, fungsi dan kontek yang berbeda-beda. Namun,
secara tektual kata potensi lebih dikenal dalam bahasa Arab dengan istilah Fitrah.
63 ayat yang tersebar ke dalam 43 surat. 4 Kata al-Insan memiliki arti yang sama
dengan istilah basyar dan al-nas,5 namun makna dari masing-masing kata itu
3
Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat,
(Bandung: Mizan, 2005), h. 13, selanjutnya disebut Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an
4
Muhammad Fu’ad ‘Abd al-Baqiy, al-Mu’jam al-Mufahras liy Alfazh al-Qur’an al-Karim, (Beirut:
Dar al-Fikr, 1987), h. 119-120 selanjutnya disebut al-Baqiy, al-Mu’jam al-Mufahras
5
Di dalam al-Quran kata basyar disebut sebanyak 36 kali, dan digunakan untuk
menggambarkan dimensi fisik manusia. Sedangkan istilah al-Nas digunakan dalam al-
Quran untuk menyatakan adanya sekelompok orang atau masyarakat. Lihat Musa ’Asy’ari,
Manusia Pembentuk Kebudayaan Dalam Al-Quran, (Yogyakarta: Lembaga Studi Filsafat
Islam, 1992), h. 19-27, selanjutnya disebut Musa ’Asy’ari, Manusia Pembentuk Kebudayaan...
Lih. Abdus Shabur Sahin, Penciptaan Nabi Adam; Mitos atau Realitas, pent. Hanif Anwari,
judul asli, Abi Adam: Qishshahal-Khaliqah, (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2004), h. 70, Quraish
Shihab, Wawasan Al-Qur’an, h. 279-280
3
berbeda. Secara harfiah, Insan berarti manusia, jama’nya kata al-nas.6 Kata insan
memiliki tiga asal kata. Pertama, berasal dari kata anasa yang berarti ”melihat,
mengetahui dan minta izin”. Kedua, berasal dari kata nasiya berarti ”lupa”.
Ketiga, berasal dari kata al-uns yang artinya ”jinak lawan dari buas”.7
Menurut Quraish Shihab, kata al-Insan bila ditinjau dari sudut pandangan
al-Quran lebih tepat asal katanya terambil dari kata al-uns. Quraish Shihab
Semua pengertian dari asal kata al-Insan tersebut di atas, menunjukkan kepada
karakter dan kebiasaan kemanusiaan yang lahir dari kesadaran penalarannya, yaitu
terpuji dan memiliki kualitas yang tinggi, tetapi disebut pula sebagai makhluk
direndahkan. Mereka dinobatkan jauh mengungguli alam sorga, bumi dan bahkan
para malaikat, tetapi pada saat yang sama, mereka bisa tak lebih berarti
6
Mahmud Yunus, Kamus Bahasa Arab Indonesia, (Jakarta: Hidakarya, 1990), h. 51 & 387
7
Ibn Mansur, Lisan al-’Arab, (Mesir: Daral-Misriyah, 1968), Jil. VII, h. 306-314, selanjutnya
disebut Ibn Mansur, Lisan al-’Arab
8
Abbas Mahmud al-Aqqad, Manusia Diungkap Qur’an, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993), h. 11
10
Murtadha Muthahhari, Perspektif al-Qur'an tentang Manusia dan Agama, terj, Sugeng Rijono dan
Farid Gaban, (Bandung: Mizan, 1992), h. 117
4
Disamping memiliki akal dan nafsu, ia juga merupakan makhluk yang dimuliakan
dan puncak dari kesempurnaan ciptaan Allah yang diciptakan dalam gambaran-
Nya,12 dan karena itu juga Al-Insan ialah makhluk yang dikondisikan sebagai
bumi ini ketika amanat itu ditolak oleh makhluk-makhluk Allah yang lain. 15 Al-
Insan menerima amanat itu karena secara potensi atau fitrah, ia sanggup
menerima beban amanat dan memikulnya. Karena itu, al-Insan ditakdirkan oleh
11
Al-Allamah al-Sayyid Muhammad Husayn Al-Thabathaba’iy, Al-Mizan fiy Tafsir al-
Quran, (Bairut: Muassasat al-a’lamiy li al-Mathbu’at, 1991), cet. I, Jil. I, h. 113. selanjutnya
disebut Al-Thabathaba’iy, Al-Mizan fiy Tafsir al-Quran
12
Tim Penyusun, Enslikopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, tth), Jil. III, h. 163
13
“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung,
semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mere khawatir akan mengkhianatinya dan
dipikullah amanat itu oleh manusia, sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh”. (al-
Ahzab (33) : 72)
5
karena kehidupan dunia ini adalah ujian menuju kepada kehidupan yang lebih
kemulian besar yang Allah berikan kepada Adam a.s dan merupakan anugerah
berharga seperti binatang, benda mati atau makhluk lainnya. 18 Kedua, manusia
sebagai makhluk istimewa dan terpilih. Salah satu anugrah Allah Swt. yang
kebaikan dan kejahatan atau kedurhakaan dari ketakwaan dan dapat menilai diri
manusia sebagai makhluk yang dapat dididik. Allah Swt. telah menganugrahi
manusia sarana untuk belajar, seperti penglihatan, pendengaran dan hati. Dengan
kelengkapan sarana belajar tersebut, Allah swt. selalu bertanya kepada manusia
Allah Swt. kepada manusia yang menunjukkan manusia mempunyai potensi untuk
belajar.20
16
Al-Thabathaba’iy, Al-Mizan fiy Tafsir al-Quran, jil. XIX, h. 109
17
Abu al-Fida’ Isma’il Ibn Katsir, Tafsir al-Quran al-‘Azhim, (Bairut: Dar al-Fikr, 1969), Jil.I, h. 69,
selanjutnya disebut Ibn Katsir, Tafsir ibn Katsir
18
Q.S. Al-Israa’ : 70-72. lihat Ahzami Samiun Jazuli, Kehidupan Dalam Pandangan Al-Quran, terj.
Sari Narulita dkk., (Jakarta: Gema Insani, 2006), h. 47-48
20
untuk melanggar perintah Allah swt., padahal Allah swt. telah menjanjikannya
kedudukan yang tinggi.21 Sejak awal Allah Swt. menghendaki manusia untuk
menjadi hamba-Nya yang paling baik, tetapi karena sifat dasar alamiahnya,
manusia mengabaikan itu. Ini memperlihatkan bahwa pada diri manusia itu
maka manusia terjerembab dalam lembah kenistaan, bahkan terkadang jatuh pada
berkaitan dengan alat-alat potensial yang dianugerahkan oleh Allah kepada al-
Insan untuk meraih dan menjadi manusia yang sempurna. Masing-masing mediasi
serta kemuliaan al-Insan pada satu sisi dan kelemahan serta kekurangan al-Insan
21
Allah berfirman: “Dan kalau Kami menghendaki sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya
dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang
rendah…..” (QS. al-A’raaf (7) : 176)
22
Berhubungan dengan hal ini, K.H Didin Hafidhuddin mengacu pada surat al-Fatihah ayat 7
mengklasifikasikan manusia menjadi tiga, “ pertama;mereka golongan yang memperoleh
nikmat. Kedua; golongan orang-orang yang dimurkai Allah. Ketiga: golongan orang-orang
sesat”. Golongan yang pertama memperlihatkan bahwa pada dasarnya manusia mampu
untuk mencapai derajat yang lebih baik, dan bisa saja melampau derajat para malaikat.
Sedangkan dua kelompok berikutnya adalah golongan yang melupakan kebermanusiaan
dalam manusia.” Didin Hafidhuddin, Tafsir al-Hijri, (Jakarta: Yayasan Kalimah Thayyibah,
2000), h. 204
23
Abdullah Fattah Jalal, Min al-Ushul al-Tarbiyah fi al-Islam (Mesir: Dar al-Kutub, 1977) h.
103-110.
7
pada sisi yang lain yang dikaitkan dengan fitrah dan potensi-potensi yang
dimilikinya. Lain dari pada itu, bagaimana pula wacana tafsir tentang keunggulan
dan kelemahan al-Insan serta segala potensi yang dimilikinya. Oleh karena itu,
penulis tertarik untuk melakukan penelitian masalah ini. Penulis akan mengupas
masalah ini lebih dalam lagi secara ilmiah dan dideskripsikan ke dalam bentuk
Berdasarkan latar belakang di atas, maka bahasan pokok yang akan dikaji
dalam penelitian ini adalah “bagaimana potensi al-Insan dalam perspektif al-
Quran”.
Agar penelitian ini terfokus dan lebih terarah, maka berdasarkan rumusan
Quran
Quran
Sejalan dengan batasan masalah yang telah penulis paparkan di atas, maka
Quran
Quran
pengetahuan
D. Defenisi Operasional
maksudnya:
Kata ”potensi” adalah kemampuan atau kekuatan dasar yang telah ada
dalam diri manusia yang masih bersifat potensial atau dengan kata lain belum
mengaktualisasi.24
24
MDJ. Al-Barry & Sofyan Hadi, Kamus Ilmiah Kontemporer, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), h.
246
9
Kata ”al-Insan” berasal dari bahasa Arab. Kata al-Insan mempunyai tiga
asal kata. Pertama, berasal dari kata anasa yang berarti ”melihat, mengetahui dan
minta izin”. Kedua, berasal dari kata nasia berarti ”lupa”. Ketiga, berasal dari kata
al-uns yang artinya ”jinak lawan dari buas”.25 Menurut Jamil Shaliba, kata insan
menunjukkan pada sesuatu yang secara khusus digunakan untuk arti manusia dari
segi sifatnya, bukan fisiknya. Dalam bahasa Arab kata insan mengacu kepada sifat
manusia yang terpuji seperti kasih sayang, mulia dan lainnya. Selanjutnya kata
insan digunakan oleh filosof klasik sebagai kata yang menunjukan kepada arti
manusia secara totalitas yang secara langsung mengarah pada hakikat manusia.
Selain itu, kata insan juga menunjukkan pada arti terkumpulnya seluruh potensi
intelektual, rohani, dan fisik yang ada pada manusia, seperti hidup, sifat
manusia yang dapat menunjukkan seluruh totalitasnya, yaitu jiwa dan raganya
lain-lain pada permukaan yang mendatar sebagaimana terlihat oleh mata pada tiga
penulis maksud dalam tesis ini adalah cara al-Qur’an mengungkapkan tentang al-
Insan.
25
Ibn Mansur, Lisan al-’Arab, h. 306-314
26
Jamil Shaliba, Al-Mu’jam al-Falsafi, (Beirut: Dar al-Kitab, 1978), Jil. I, h. 158
27
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), h. 602
10
Al-Qur`an adalah kitab suci umat Islam,28 Kitab yang mulia, kitab suci
yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW dan beribadah
Secara keseluruhan judul ini bermaksud membahas arti penting potensi al-
konsep al-Qur`an.
E. Kajian Kepustakaan
beberapa tulisan ilmiah yang telah membahas tema ini dalam perspektif lain.
dilakukan oleh para pakar dan pemikir, setua kehidupan manusia itu sendiri, baik
sejak zaman filosof Yunani, zaman Islam, hingga pada sekarang ini.
adalah makhluk yang terdiri dari badan (fisik atau jasmani), jiwa dan al-ruh.
Essensi ketiganya adalah jiwa. Jiwa dan badan mempunyai hubungan yang
aksidental, pada saat hubungan keduanya terputus. Kedua unsur itu disatukan
28
Tim Penyusun Kamus, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 32
29
dalam al-nafs (jiwa). Jiwa bersifat immateri dan dinamis. 30 Karya ini berbeda
dengan penelitian yang penulis lakukan. Perbedaan yang paling signifikan ialah
pada aspek penekanan dan objeknya. Karya Yasir hanya membahas bagian jiwa
dari al-Insan. Sedangkan penulis, selain jiwa juga mengakaji bagian lain dari
berbagai bentuk suku kata seperti insan, dan basyar. Kedua kata itu mempunyai
hubungan yang erat dengan kedudukan manusia sebagai khalifah dan ‘abd. Insan
sebagai realisasi dari khalifah dan basyar merealisasikan sifat ‘abd.31 Dalam karya
ini, Asy’arie melihat manusia dari segi penciptaannya serta makna-makna dari
term-term yang memiliki arti manusia. Ia tidak melihat al-Insan dari sisi
dalam pandangan KH. A.Azhar Basyir, bahwa eksistensi manusia adalah berasal
dari ruh Allah yang mempunyai substansi material (dari tanah) dan substansi
ditentukan oleh relasi sosial disekitarnya. Dalam relasi sosial, individu dibatasi
oleh norma-norma yang sudah ada, dan mereka terinternsalisasi oleh sistem nilai
30
Muhammad Yasir Nasution, Manusia Menurut Al-Ghazali, ( Jakarta: Sri Gunting 1999), h. 217.
31
yang melingkupinya sejak kecil sampai dewasa.32 Karya Syamsuddin ini menyorot
Syamsudin.
Dalam tesis Adri di IAIN “IB” Padang (2007), dengan judul Filsafat
menjelaskan esensi dan eksistensi manusia dalam perspektif filosof. Andri juga
manusia. Karena manusia akan dapat dikatakan telah memiliki eksistensi bila
penulis, yang melihat manusia secara holistik. Artinya, manusia dilihat dari sisi
Karya ilmiah Elvi Sukhairi (tesis, 2007 IAIN “IB” Padang), yang berjudul
ini ditemukan, Elvi membahas tentang “gambaran penciptaan manusia dalam al-
itu hanya dilihat dari sisi penciptaan dibanding dengan makhluk lain. Sedangkan
32
Muhammd Syamsuddin, Manusia dalam pandangan KH.A. Azhar Basyir, (Yogyakarta:Titian
Ilahi Press, 1997), h. 95
13
Analisis Filsafati atas Tafsir Al-Mizan). Dalam penelitian ini, Hermawan melihat
Hermawan tidak meneliti manusia dari sisi keunggulan dan kelemahannya serta
Tesis Yen Fikri Rani (2004) tentang Pemikiran Seyyed Hossein Nasr
yang utuh untuk mengatasi krisis spritual manusia. Pertama, malalui Islam awal
dan Islam akhir dengan melihat sejarah Islam sebagai perbandingan untuk
keagamaan yang sama pada setiap agama pada level esoteris, ketiga, melalui
Tasawuf sebagai dimensi batiniah. Penelitian ini berbeda dengan penelitian yang
penulis lakukan. Penelitian ini lebih focus kepada masalah aspek spiritual
yang telah dilakukan ini berbeda dengan penelitian yang penulis lakukan, karena
al-Insan dilihat sebagai khalifah. Kemudian dari pada itu, penulis juga sedikit
Masih banyak lagi karya-karya lain yang telah malakukan kajian tentang
Namun begitu, karya tersebut dapat penulis jadikan sebagai rujukan dan
tesis ini adalah kajian al-Insan dilakukan secara lebih mendalam dan fokus
terhadap objek kajian yakni kenggulan dan keutamaan al-Insan, kekurangan dan
F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
yang ada, yaitu keadaan gejala menurut apa adanya pada saat penelitian
Sumber data dalam penelitian ini dapat diklasifikasikan kepada dua jenis
Quran tahlili baik klasik maupun modern guna mengeksplorasi penafsiran ayat-
Kitab tafsir yang penulis gunakan untuk menganalisis tafsiran ayat-ayat al-
Insan adalah Tafsir al-Quran al-‘Azhim (Tafsir Ibn Katsir), karya Ibn Katsir.
Karena tafsir ini dipandang oleh ulama lebih selektif terhadap riwayat dan diakui
banyak mufasir tentang otoritasnya. Selain itu, kitab tafsir ini juga banyak
tematik.
33
Suharsimi Arikunto, Manajemen Penelitian, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2005), h. 234
16
Dengan fokus kepada satu kitab tafsir bukan berarti penulis tidak
menjelaskan suatu tafsiran ayat nanntinya. Kitab-kitab tafsir tersebut ialah Jami’
al-Bayan fi Ta’wil al-Quran, karya Muhammad ibn Jarir al-Thabari, tafsir ini
Karim, karya Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha, merupakan pakar tafsir
modern dengan pendekatan rasional dan lebih fokus kepada isu sosial dan
kemasyarakatan. Kitab Fiy Zilal al-Quran, karya Syyid Quthub; Mizan fiy Tafsir
Hamka. Tafsir al-Misbah, karya M. Quraisy Shihab dan kitab-kitab tafsir lainnya.
sebab turunnya ayat, penulis memakai kitab Asbab al-Nuzul, karya Abi al-Hasan
‘Ali Ibn Ahmad al-Wahidiy yang telah ditahqiq oleh Aiman Shalih Sya’ban.
17
penulisan karya tulis yang dikeluarkan oleh IAIN Imam Bonjol Padang, termasuk
system transiterasinya.
3. Langkah-langkah penelitian
tematik, sebagai metode tafsir kontemporer yang cukup baik serta focus mengkaji
sebuah tema dari tema-tema al-Quran dan tafsirnya. Penulis beranjak dari metode
yang ditawarkan oleh Abd al-Hayy al-Farmawiy dalam kitabnya al-Bidayah fiy
digunakan ialah:
tersebut
34
Dalam kitab ini disebutkan langkah-langkah metode rafsir maudu’i, yaitu: 1) Menetapkan tema
yang akan dikaji berdasarkan tema-tema yang disajikan al-Qur’an dan tafsirnya. 2) Menghimpun
ayat-ayat yang berkaitan dengan tema tersebut sesuai dengan kronologi urutan turunnya. 3)
Menyusun secara sistematis ayat-ayat yang telah dihimpun sesuai dengan kerangka pembahasan.
4) Meneliti secara cermat semua penggunaan kata atau kalimat yang dipakai dalam ayat-ayat
terkait, terutama kosa kata yang menjadi pokok persoalan dalam ayat itu. 5) Mengkaji semua
aspek yang berkaitan kata atau teks ayat secara seksama dengan melihat asbab nuzul dan
munasabah ayat. 6) Mengkaji pemahaman ayat-ayat itu dari pemahaman dan pendapat mufassir,
baik klasik maupun kontemporer untuk melahirkan konsep yang utuh tentang pokok masalah dan
aspek yang berkaitan dengannya. Lihat Abd Hayy Al-Farmawy, al-Bidayah al-Tafsir al-
Maudhu’iy, (Mishr: Mathba’at al-Hadharah al-’Arabiyyah, 1997), h. 52. selanjutnya disebut ‘Abd
Hayy Al-Farmawy, Al-Bidayah al-Tafsir al-Maudhu’iy
18
didukung oleh fakta, argumen hadits atau fakta kehidupan yang ditemukan dan
tidak lupa pula menjelaskannya dengan ilmu-ilmu lain yang relevan dengan
35
Abd Hayy Al-Farmawy, Al-Bidayah al-Tafsir al-Maudhu’iy, h. 52, lih. Mustafa Muslim,
Mabahits fiy al-Tafsir al-Maudhu’iy, (Dimasyq: Dar al-Qalam, 1989), h. 27