Anda di halaman 1dari 20

Tugas Kelompok 9 Islam Interdisipliner

Dosen Pengampu Dr. Ruslan Fariadi, S.Ag., M.Si

Oleh :

1. Amanda Fadhia Feriqhalisyah 2100013116


2. Bagas Darma Batavia 2100013300
3. Muhammad Afzal Khan 2100013080

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS AHMAD DAHLAN YOGYAKARTA
2023
Hakekat Manusia dalam Perspektif Islam

Abstrak:
Konsep manusia dalam pandangan Islam adalah konsep sentral bagi setiap
disiplin ilmu sosial kemanusiaan yang menjadikan manusia sebagai objek formal
dan materialnya. Agar konsep manusia yang kita bangun bukan semata-mata
merupakan konsep yang spekulatif, maka kita mesti bertanya pada zat yang
mencipta dan mengerti manusia, yaitu Allah SWT, melalui al-Qur’an. Lewat
al-Qur’an Allah memberikan rahasia-rahasia tentang manusia. Secara etimologi
istilah manusia di dalam al-Qur’an ada empat kata yang dipergunakan, yakni al-
Insan, al-Basyar, BaniAdam, Dzurriyat Adam, al-Nas. Para ahli kerohanian Islam
atau lebih populer para ahli ilmu tasawuf, memandang manusia bukan sekedar
makhluk lahir yang berakal, akan tetapi manusia mereupakan seorang hamba
Allah Ta’ala yang mempunyai dua dimensi lahiriyah dan bathiniyah. Berbicara
masalah pertumbuhan dan perkembangan, kata kunci utamanya yaitu
perubahan. Perubahan dalam diri manusia terdiri atas perubahan kualitatif akibat
dari perubahan psikis, dan perubahan kuantitatif akibat dari perubahan fisik.

A. PENDAHULUAN
Dalam al-Quran banyak sekali ditemukan gambaran tentang manusia
dan makna filosofis dari penciptaanya. Manusia merupakan makhluk yang
paling sempurna dan sebaik-baik ciptaan yang dilengkapi dengan akal pikiran.

Dalam hal ini Ibn’Arabi misalnya melukiskan hakikat manusia


dengan mengatakan bahwa, “Tidak ada makhluk Allah yang paling bagus dari
pada manusia, yang memiliki daya hidup, mengetahui, berkehendak,
berbicara, melihat, mendengar, berpikir dan memutuskan.

Manusia adalah makhluk kosmis yang sangat penting, karena


dilengakapi dengan semua pembawaan dan syarat-syarat yang
diperlukan bagi pengemban tugas dan fungsinya sebagai makhluk Allah di
muka bumi (Ramayulis dan Nizar, 2009:57). Pembicara tentang manusia adalah
pembicaraan tentang diri kita sendiri, suatu pembicaraan yang tidak pernah
tuntas dan berakhir. Manusia dalam persektif Islam berbeda dengan
konsep manusia dalam pandangan-pandangan agama selain Islam. Konsep
manusia dalam pandangan Islam adalah konsep sentral bagi setiap disiplin ilmu
sosial kemanusiaan yang menjadikan manusia sebagai objek formal
dan materialnya. Agar konsep manusia yang kita bangun bukan semata-mata
merupakan konsep yang spekulatif, maka kita mesti bertanya pada zat yang
mencipta dan mengerti manusia, yaitu Allah SWT, melalui al-Qur’an.
Lewat al-Qur’an Allah memberikan rahasia-rahasia tentang manusia(Shaleh,
2004:52). Oleh kaena itu tulisan ini akan mencoba memperbincangkan
hakikat manusia dalam ajaran Islam yang nantinya berkontribusi dengan
kajian bimbingan dan Konseling Islam yang bertujuan memuliakan
kemuliaan manusia yang mulia. Kemulian manusia yang muliav
ditandai dengan prinsip iman dan 30 Islam yang menjadi dasar
ketertlaksanaan proses konseling antara konselor dengan klien atau
siterbimbing dalam rangka upaya membantu menyelesaikan
permasalahan yang dihadapinya.

Misteri tentang manusia sama dengan misteri tentang alam, semakin banyak
dimensi yang telah diketahui, semakin disadari bahwa hal-hal yang belum diketahui
justru lebih banyak lagi. Manusia adalah miniatur dari keajaiban alam ciptaan Tuhan.
Ada orang yang secara individual sangat menarik kepribadiannya dan dari kepribadian
individual yang kuat dan mulia itu ia kemudian sukses secara sosial, menjadi
orang yang terhormat dan dihormati oleh masyarakat. Quraish Syihab dalam
bukunya “Wawasan Al-Qur’an” mengungkapkan pen-dapat Alexis Carrel tentang
kesukaran yang dihadapi untuk mengetahui hakikat manusia bahwa “sebenarnya
manusia telah mencurahkan perhatian dan usaha yang sangat besar untuk
mengetahui dirinya, kendatipun kita memiliki perbendaharaan yang cukup banyak
dari hasil penelitian para ilmuwan, filosof, sastrawan, dan para ahli kerohanian
sepanjang masa ini. Tapi kita manusia hanya mampu mengetahui beberapa segi
tertentu dari diri kita. Kita tidak mengetahui manusia secarautuh. Yang kita ketahui
hanyalah bahwa manusia terdiri dari bagian-bagian tertentu, dan ini pun hakikatnya
dibagi lagi menurut tata cara kita sendiri. Pada hakikatnya pertanyaan-pertanyaan yang
diajukan oleh mereka yang mempelajari manusia kepada diri merekahingga kini
masih tetap tanpa jawaban”.

Untuk memahami manusia dibutuhkan penjelasan dan interpretasi yang lebih


banyak dibandingkan dengan yang dibutuhkan oleh selain manusia. Hingga
pada akhirnya Al-Qur’an menggambarkan tahapan-tahapan danpetunjuk mengenai
manusia dimulai dari fase penciptaannya, dimensi kepribadiannya. Yang kemudian
kepribadian manusia ini diberikan wadah yaitu agama Islam untuk mengetahui dan
mengajarkan manusia lebih dalam dan jelas tentang peran serta tanggung
jawabnya sesuai dengan fitrah dan tujuan hidup manusia itu sendiri sehingga
menjadikannya sebagai model manusia muslim sesungguhnya. Untuk memenuhi
keinginan akan pengetahuan tentang manusia itu sendiri maka dalam makalah
ini peneliti mencoba mengungkapkan beberapa literatur yang menjelaskan
mengenai hakikat tentang manusia dalam perspektif Islam.

Manusia adalah makhluk yang paling sempurna yang Allah SWT ciptakan. Hal in
dikarenakan Allah SWT menciptakan manusia dengan akal dan fikiran, berbeda
dengan makhluk ciptaan Allah SWT lainnya. Allah SWT berfirman:
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-
baiknya.”( QS. at-Tin [95]: 4)

Surah at-Tin dimulai dengan sumpah Allah dengan at-Tin (zatun) 6 yang
kemudian Allah menjadikan ayat ini sebagai objek sumpah yaitu Allah telah
ciptakan dengan bentuk yang sebaik-baiknya. Allah SWT menjadikan bentuk fisik dan
lahir manusia sempurna, walaupun sebagian dari manusia memiliki kekurangan fisik,
namun itu tidak mengubah bahwa Allah menciptakan manusia itu indah dan
sempurna terlepas keadaannya. Manusia di dalam ayat ini disebutkan dengan , ‫َٰإ‬E ‫َأح‬
‫الن ٰ َسان‬.Dan ada beberapa kata lainnya yang diartikan sebagai manusia. Dalam bahasa
Arab beda kata beda maksud walaupun sama-sama dikatakan satu arti yakni manusia.
Terdapat empat kata dalam Al-Qur’ān yang akan dibahas pada kajian kali ini yaitu Al-
Insān, al-Ins, an-Nāas, al-Basyar dan Bani Adam.

1.Al-InsānKata Al-Insān disebutkan sebanyak 64 kali dalam al-Quran. Kata


ٰ
‫ان‬E ‫النس‬berasal
َ َ ْ‫س‬yang berarti manusia, kebalikan dari jin yang dalam arti
dari kata‫إا‬E ‫نس‬
Bahasa Indonesia bermakna jinak atau bersosial. Secara bahasadiartikan
harmonis,lemah lembut, tampak. Kata al-Insan digunakan dalan al-Qur’an untuk
menunjukan secara keseluruhan sebagai makhluk jasmani dan rohani dan juga
meletakan makna manusia secara umum. Ciri-ciri umum manusia yang sudahkita
ketahui sebelumnya seperti dapat berbicara, berfikir, mengembangkan diri, ilmu,
dan peradaban, mengetahui mana yang baik dan buruk dan lain sebagainya
menggambarkan makna al-Insanitu sendiri.

B. PEMBAHASAN
 Manusia Menurut Pandangan Islam

Allah SWT banyak menjelaskan tentang manusia, baik dari aspek asal
penciptaannya, bentuk penciptaannya, tujuan diciptakan, bagaimana menjalani
hidup hingga kemana ia akan kembali pasca kehidupannya di dunia yang pana ini.
Berikut ini beberapa penjelasan Allah SWT tentang manusia dari berbagai
dimensinya, yaitu:

1. Manusia sebagai Hamba Allah (Abdullah)

Manusia wajib mengabdi dan taat kepada Allah selaku Pencipta karma
adalah hak Allah untuk disembah dan tidak disckutukan. Bentuk pengabdian
manusia sebagai hamba Allah tidak terbatas hanya pada ucapan dan perbuatan
saja, melainkan juga harus dengan keikhlasan hati. Manusia dalam posisiny
sebagai hamba Allah dijelaskan dalam al-Qur’an surat al-Bayyinah:

Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

َّ ‫َ و َم ۤا ا ُ ِمر ۤ ُْوا ِااَّل لِ َيعْ ُب ُدوا هّٰللا َ م ُْخلِصِ ي َْن لَـ ُه ال ِّدي َْن ۙ  ُح َن َفٓا َء َو ُيقِ ْيمُوا الص َّٰلو َة َويُْؤ ُتوا‬
َ ِ‫الز ٰكو َة َو ٰذل‬
‫ك ِديْنُ ْال َق ِّي َم ِة‬

"Padahal mereka hanya diperintah menyembah Allah, dengan ikhlas


menaati-Nya semata-mata karena (menjalankan) agama, dan juga agar
melaksanakan sholat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama
yang lurus (benar)." (QS. Al-Bayyinah 98: Ayat 5)

Dalam Surat Adz-Dzariyat Allah menjelaskan:


Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

َ ‫ت ْال ِجنَّ َوا اْل ِ ْن‬


‫س ِااَّل لِ َيعْ ُب ُد ْو ِن‬ ُ ‫َو َما َخلَ ْق‬

"Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah
kepada-Ku." (QS. Az-Zariyat 51: Ayat 56)
Dengan demikian manusia sebagai hamba Allah akan menjadi manusia
yang taat, patuh dan mampu melaksanakan perannya sebagai hamba yang
hanya mengharapkan ridha Allah.

2. Manusia Sebagai an-Nas

Manusia, di dalam al-Qur'an juga disebut dengan al- nas. Konsep al- nas
ini cenderung mengacu pada status manusia dalam kaitannya dengan
lingkungan masyarakat di sekitarnya. Berdasarkan fitrahnya manusia memang
makhluk sosial. Dalam hidupnya manusia membutuhkan pasangan, dan
memang diciptakan berpasang-pasangan seperti dijelaskan dalam surat an-Nisa'
ayat 1:

Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

‫وا هّٰللا‬EEُ‫ٓا ًء ۚ وا َّتق‬E ‫ث ِم ْن ُهما رجا اًل َك ِثيْرً ا َّونِس‬


َّ ‫س وَّ ا ِح َد ٍة َّو َخلَ َق ِم ْن َها َز ْو َج َها َو َب‬ ۤ
َ َ َ َ ِ َ ٍ ‫ٰيـا َ ُّي َها ال َّنا سُ ا َّتقُ ْوا َر َّب ُك ُم الَّذِيْ َخلَ َق ُك ْم مِّنْ َّن ْف‬
‫هّٰللا‬
‫الَّذِيْ َت َسٓا َءلُ ْو َن ِبهٖ َوا اْل َ رْ َحا َم ۗ اِنَّ َ َكا َن َعلَ ْي ُك ْم َرقِ ْيبًا‬

"Wahai manusia! Bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan


kamu dari diri yang satu (Adam), dan (Allah) menciptakan pasangannya (Hawa)
dari (diri)nya; dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan
perempuan yang banyak. Bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya
kamu saling meminta dan (peliharalah) hubungan kekeluargaan. Sesungguhnya
Allah selalu menjaga dan mengawasimu."
(QS. An-Nisa' 4: Ayat 1)

Selanjutnya dalam surah al-Hujurat ayat 13 dijelaskan:

Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

‫ َد هّٰللا ِ اَ ْت ٰقٮ ُك ْم ۗ اِنَّ هّٰللا َ َعلِ ْي ٌم‬E‫ َر َم ُك ْم عِ ْن‬E‫وا ۗ اِنَّ اَ ْك‬Eْ Eُ‫ع ُْوبًا َّو َقبَٓاِئ َل لِ َتعَ ا َرف‬E‫ش‬
ُ ‫كَر َّوا ُ ْن ٰثى َو َج َع ْل ٰن ُك ْم‬
ٍ ‫ ا َ يُّهَا ال َّنا سُ ِا َّنا َخلَ ْق ٰن ُك ْم مِّنْ َذ‬E‫ٰي‬
ۤ
‫َخ ِب ْي ٌر‬

"Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang


laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-
bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling
mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh,
Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti."
(QS. Al-Hujurat 49: Ayat 13)
Dari ayat-ayat di atas bisa ditegaskan bahwa manusia adalah makhluk
sosial, yang dalam hidupnya membutuhkan manusia dan hal lain di luar dirinya
untuk mengembangkan potensi yang ada dalam dirinya agar dapat menjadi
bagian dari lingkungan soisal dan masyarakatnya.

3. Manusia sebagai khalifah Allah

Hakikat manusia sebagai khalifah Allah di bumi dijelaskan dalam Surah al-
Baqarah ayat 30:

Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

ُ ِ‫ف‬E‫ ُد فِيْهَا َو َي ْس‬E‫ض َخلِ ْي َف ًة ۗ  َقا لُ ۤ ْوا اَ َتجْ َع ُل فِيْهَا َمنْ ُّي ْف ِس‬ ٓ َ ‫َو ِا ْذ َقا َل َر ُّب‬
‫ ِّب ُح‬E‫ ِّد َمٓا َء  َۚ و َنحْ نُ ُن َس‬E‫ك ال‬ ِ ْ‫ك ل ِْل َم ٰلِئ َك ِة ِا ِّنيْ َجا عِ ٌل فِى ااْل َ ر‬
‫ك ۗ  َقا َل ِا ِّن ۤيْ اَعْ لَ ُم َما اَل َتعْ لَم ُْو َن‬ َ ‫ك َو ُن َق ِّدسُ َلـ‬َ ‫ِب َح ْم ِد‬

"Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, "Aku


hendak menjadikan khalifah di bumi." Mereka berkata, "Apakah Engkau hendak
menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana, sedangkan
kami bertasbih memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu?" Dia berfirman,
"Sungguh, Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.""
(QS. Al-Baqarah 2: Ayat 30)

Dalam Surat Shad ayat 26 juga dijelaskan,

Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

‫ك َعنْ َس ِبي ِْل هّٰللا ِ ۗ اِنَّ الَّ ِذي َْن يَضِ لُّ ْو َن‬
َ َّ‫س ِبا ْل َح ِّق َواَل َت َّت ِب ِع ْال َه ٰوى َفيُضِ ل‬ َ ‫ٰيدَ ٗاو ُد ِا َّنا َج َع ْل ٰن‬
ِ ْ‫ك َخلِ ْي َف ًة فِى ااْل َ ر‬
ِ ‫ض َفا حْ ُك ْم َبي َْن ال َّنا‬
‫هّٰللا‬
‫ب‬ِ ‫َعنْ َس ِبي ِْل ِ لَ ُه ْم َع َذا بٌ َش ِد ْي ٌد ِۢب َما َنس ُْوا َي ْو َم ْال ِح َسا‬

"(Allah berfirman), "Wahai Daud! Sesungguhnya engkau Kami jadikan


khalifah (penguasa) di bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara
manusia dengan adil dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu, karena akan
menyesatkan engkau dari jalan Allah. Sungguh, orang-orang yang sesat dari
jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari
Perhitungan.""
(QS. Sad 38: Ayat 26)

Dari kedua ayat di atas dapat dijelaskan bahwa sebutan khalifah itu
merupakan anugerah dari Allah kepada manusia, dan selanjutnya manusia
diberikan beban untuk menjalankan fungsi khalifah tersebut sebagai amanah
yang harus dipertanggungjawabkan. Sebagai khalifah di bumi manusia
mempunyai wewenang untuk memanfaatkan alam (bumi) ini untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya sekaligus bertanggung jawab terhadap kelestarian alam

Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam surah al-Jumu’ah ayat 10;

Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

‫ض َوا ْب َت ُغ ْوا مِنْ َفضْ ِل هّٰللا ِ َوا ْذ ُكرُوا هّٰللا َ َك ِثيْرً ا لَّ َعلَّ ُك ْم ُت ْفلِح ُْو َن‬
ِ ْ‫ت الص َّٰلوةُ َفا ْن َتشِ ر ُْوا فِى ااْل َ ر‬
ِ ‫َف ِا َذا قُضِ َي‬

"Apabila sholat telah dilaksanakan, maka bertebaranlah kamu di bumi; carilah


karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak agar kamu beruntung."
(QS. Al-Jumu'ah 62: Ayat 10)

Selanjutnya dalam surah Al-Baqarah ayat 60 juga disebutkan:

... 6:‫ )البقرة‬E.‫(كلوا واشربوا من رزق هللا وال تعلوا في األرض تقيدين‬

"Makan dan minumlah kamu dari rezeki yang telah diberikan Allah kepadamu,
dan janganlah kamu berbuat bencana di atas bumi." (QS: 2:60).

4. Manusia sebagai Anak Adam

Sebutan manusia sebagai bani Adam merujuk kepada berbagai


keterangan dalam al-Qur’an yang menjelaskan bahwa manusia adalah
keturunan Adam dan bukan berasal dari hasil evolusi dari makhluk lain seperti
yang dikemukakan oleh Charles Darwin. Konsep bani Adam mengacu pada
penghormatan kepada nilainilai kemanusiaan. Konsep ini menitikbertakan
pembinaan hubungan persaudaraan antar sesama manusia dan menyatakan
bahwa semua manusia berasal dari keturunan yang sama. Dengan demikian
manusia dengan latar belakang sosia kultural, agama, bangsa dan bahasa yang
berbeda tetaplah bernilai sama, dan harus diperlakukan dengan sama. Dalam
surah al-A'raf ayat 26-27 dijelaskan:

Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

) ( ‫ت هّٰللا ِ لَ َعلَّ ُه ْم َي َّذ َّكر ُْو َن‬ ِ ‫ك مِنْ ٰا ٰي‬ َ ِ‫ك َخ ْي ٌر  ٰۗ ذل‬ َ ِ‫ٰادَ َم َق ْد اَ ْن َز ْل َنا َعلَ ْي ُك ْم لِ َبا سً ا ي َُّوا ِريْ َس ْو ٰا ِت ُك ْم َو ِر ْي ًشا  َۗ ولِ َبا سُ ال َّت ْق ٰوى  ٰۙ ذل‬ ْ‫ٰي َبن ِۤي‬
‫ه‬Eٗ Eُ‫ٰا َد َم اَل َي ْف ِت َنـ َّن ُك ُم ال َّشي ْٰطنُ َك َم ۤا اَ ْخ َر َج اَ َب َو ْي ُك ْم م َِّن ْال َجـ َّن ِة َي ْن ِز ُع َع ْن ُه َما لِ َبا َس ُه َما لِي ُِر َي ُه َما َس ْو ٰا ت ِِه َما ۗ ِا َّن ٗه َي ٰرٮ ُك ْم ه َُو َو َق ِب ْيل‬ ْ‫ٰي َبن ِۤي‬
‫ْث اَل َت َر ْو َن ُه ْم ۗ ِا َّنا َج َع ْل َنا ال َّش ٰيطِ ي َْن اَ ْولِ َيٓا َء لِلَّ ِذي َْن اَل يُْؤ ِم ُن ْو َن‬ُ ‫مِنْ َحي‬

"Wahai anak cucu Adam! Sesungguhnya Kami telah menyediakan


pakaian untuk menutupi auratmu dan untuk perhiasan bagimu. Tetapi pakaian
takwa, itulah yang lebih baik. Demikianlah sebagian tanda-tanda kekuasaan
Allah, mudah-mudahan mereka ingat." “Wahai anak cucu Adam! Janganlah
sampai kamu tertipu oleh setan sebagaimana halnya dia (setan) telah
mengeluarkan ibu bapakmu dari surga, dengan menanggalkan pakaian
keduanya untuk memperlihatkan aurat keduanya. Sesungguhnya dia dan
pengikutnya dapat melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat
mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan setan-setan itu pemimpin bagi
orang-orang yang tidak beriman.”
(QS. Al-A'raf 7: Ayat 26-27)

5. Manusia Sebagai al-Insan

Manusia disebut al-insan dalam al-Qur'an mengacu pada potensi yang diberikan
Tuhan kepadanya. Potensi-potensi tersebut antara lain adalah; a) Kemampuan
berbicara;
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

‫اَلرَّ حْ ٰمنُ ( ) َعلَّ َم ْالقُرْ ٰا َن ( ) َخلَ َق ااْل ِ ْن َسا َن ( ) َعلَّ َم ُه ْال َب َيا َن‬

“(Tuhan) yang maha pemurah, yang telah mengajarkan al-Quran, Dia


menciptakan manusia, mengajarkan pandai berbicara”. (QS: Ar-Rahman:1-4)

b) Kemampuan menguasai ilmu pengetahuan melalui proses tertentu.

Selain dua kemampuan positif tersebut, manusia sebagai al-insan juga memiliki
kecenderungan untuk lupa dan berprilaku negatif. Sebagaimana dijelaskan
dalam surat hud ayat 9;

Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

‫َولَِئنْ اَ َذ ْق َنا ااْل ِ ْن َسا َن ِم َّنا َرحْ َم ًة ُث َّم َن َزعْ ٰن َها ِم ْن ُه ۚ  ِا َّن ٗه َل َيــُئ ْوسٌ َكفُ ْو ٌر‬

"Dan jika Kami berikan rahmat Kami kepada manusia, kemudian (rahmat itu)
Kami cabut kembali, pastilah dia menjadi putus asa dan tidak berterima kasih."
(QS. Hud 11: Ayat 9)

6. Manusia Sebagai al- Basyar (Makhluk Biologis)

Hasan Langgulung mengatakan bahwa sebagai makhluk biologis,


manusia tersusun dari unsur-unsur material, sehingga memiliki wujud fisik
berupa badan (jasmani) kasar. Dengan kata lain, manusia adalah makhluk fisik
yang umumnya terikat pada cara-cara umum makhluk biologis seperti
bereproduksi, mengalami fase pertumbuhan dan perkembangan, serta
membutuhkan makanan untuk hidup, dan akhirnya mengalami kematian. Dalam
al-Qur’an surah al-Mu’minun dijelaskan: “Dan sesungguhnya Kami telah
menciptakan manusia dari saripati bumi. Kemudian Kami jadikan saripati itu
menjadi mani yang tersimpan di tempat (rahim) yang kuat. Menjadi segumpal
darah, kemudian menjadi segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami
jadikan tulang-tulang, lalu tulang-tulang itu Kami bungkus dengan daging
Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang lain bentuknya, Maha Suci Allah,
Pencipta yang paling baik” (QS: 23: 12-14).

 Eksistensi Sifat Manusia (Sifat Manusia)

Beberapa wujud hakikat manusia yang dijelaskan di bawah ini akan


memberikan gambaran yang jelas bahwa manusia berbeda dengan hewan.
Wujud sifat hakikat manusia ini merupakan karakteristik yang hanya dimiliki oleh
manusia. Faham eksistensialisme mengemukakan bahwa karakteristik manusia
tersebut seharusnya menjadi bahan pertimbangan dalam menetapkan dan
membenahi arah dan tujuan pendidikan. Umar Tirta Raharja dan La Sulo
mengatakan di antara wujud sifat hakikat manusia adalah sebagai berikut:

1. Kemampuan Menyadari Diri


Melalui kemampuan ini manusia betul-betul mampu menyadari bahwa
dirinya memiliki ciri yang khas atau karakteristi diri. Kemampuan ini membuat
manusia bisa beradaptasi dengan lingkungannya baik itu lingkungan berupa
individu lainnya selain dirinya, maupun lingkungan nonpribadi atau benda.
Kemampuan ini juga membuat manusia mampu mengeksplorasi potensi-
potensi yang ada dalam dirinya melalui pendidikan untuk mencapai
kesempurnaan diri. Kemampuan menyadari diri ini pula yang membuat
manusia mampu mengembangkan aspek sosialitas di luar dirinya sekaligus
pengembangan aspek individualitas di dalam dirinya.

2. Kemampuan Bereksistensi
Melalui kemampuan ini manusia menyadari bahwa dirinya memang ada
dan eksis dengan sebenarnya. Dalam hal ini manusia punya kebebasan
dalam ke ‘beradaan nya. Berbeda dengan hewan di kandang atau tumbuhan
di kebun yang ‘ada’ tapi tidak menyadari ‘keberadaan nya sehingga mereka
menjadi onderdil dari lingkungannya. Sementara itu manusia mampu menjadi
manajer bagi lingkungannya. Kemampuan ini juga perlu dibina melalui
pendidikan. Manusia perlu diajarkan belajar dari pengalaman hidupnya, agw
mampu mengatasi masalah dalam hidupnya dan siap menyambut masa
depannya.

3. Pemilikan Kata Hati (Conscience of Man)


Maksud dari kata hati di sini adalah hati nurani. Kata hati akan melahirkan
kemampuan untuk membedakan kebaikan dan keburukan. Orang yang
memiliki hati nurani yang tajam akan memiliki kecerdasan akal budi sehingga
mampu membuat keputusan yang benar atau yang salah. Kecerdasan hati
nurani inipun bisa dilatih melalui pendidikan sehingga hati yang tumpul
menjadi tajam. Hal ini penting karena kata hati merupakan petunjuk bagi
moral dan perbuatan.

4. Moral dan Aturan


Moral sering juga disebut etika, yang merupakan perbuatan yang
merupakan wujud dari kata hati. Namun, untuk mewujudkan kata hati dengan
perbuatan dibutuhkan kemauan. Artinya tidak selalu orang yang punya kata
hati yang baik atau kecerdasan akal juga memiliki moral atau keberanian
berbuat. Maka seseorang akan bisa disebut memiliki moral yang baik atau
tinggi bila ia mampu mewujudkannya dalam bentuk tindakan yang tepat
dengan nilai-nilai moral tersebut.

5. Kemampuan Bertanggung Jawab


Karakteristik manusia yang lainnya adalah memiliki rasa tanggung jawab,
baik itu tanggung jawab kepada Tuhan, masyarakat ataupu pada dirinya
sendiri. Tanggung jawab kepada diri sendiri terkait dengan pelaksanaan kata
hati. Tanggung jawab kepada masyarakat terkait dengan norma-norma
sosial, dan tanggung jawab kepada Tuhan berkaitan erat dengan penegakan
norma- norma agama. Dengan kata lain kata hati merupakan tuntunan, moral
melakukan perbuatan,dan tanggung jawab adalah kemauan dan kesediaan
menanggung segala akibat dari perbuatan yang telah dilakukan.

6. Rasa Kebebasan (Kemerdekaan)


Kebebasan yang dimaksud di sini adalah rasa bebas yang harus sesuai
dengan kodrat manusia. Artinya ada aturan-aturan yang tetap mengikat
sehingga kebebasan ini tidak mengusik rasa kebebasan manusia lainnya.
Manusia bebas berbuat selama perbuatan itu tetap sesuai denga kata hati
yang baik maupun moral atau etika. Kebebasan yang melanggar aturan akan
berhadapan dengan tanggung jawab dan sanksi-sanksi yang mengikutinya
yang pada akhirnya justru tidak memberikan kebebasan bagi manusia.
7. Kesediaan Melaksanakan Kewajiban dan Menyadari Hak
Idealnya ada hak ada kewajiban. Hak baru dapat diperoleh setelah
pemenuhan kewajiban, bukan sebaliknya. Pada kenyataanya hak dianggap
sebagai sebuah kesenangan, sementara kewajiban dianggap sebagi beban.
Padahal manusia baru bisa mempunyai rasa kebebasan apabila ia telah
melaksanakan kewajibannya dengan baik dan mendapatkan haknya secara
adil. Kesediaan melaksanakan kewajiban dan menyadari hak ini haru dilate
melalui proses pendidikan disiplin. Sebagaimana dikutip oleh Umar dan La
Sulo, Selo Soemarjan menyatakan bahwa perlu ditanamkan empat macam
pendidikan disiplin untuk membentuk karakter yang memahami kewajiban
dan memahami hak-haknya. 1) disiplin rasional yang bila dilanggar akan
melahirkan rasa bersalah. 2) disiplin sosial, yang bila dilanggar akam
menyebabkan rasa malu. 3) disiplin afektif, yang bila dilanggar akan
melahirkan rasa gelisah dan 4) disiplin agama, yang bila dilanggar akan
menimbulkan rasa bersalah dan berdosa.

8. Kemampuan Menghayati Kebahagian


Kebahagian bisa diartikan sebagai kumpulan dari rasa gembira, senang.
kebahagiaan itu lebih pada rasa bukan pikiran. Padahal tidak selamanya
yang dialami oleh manusia. Secara umum orang berpendapat bahwa
demikian, karena selain perasaan, aspek-aspek kepribadian lainnya akal
pikiran juga mempengaruhi kebahagian seseorang. Misalnya, orang yang
sedang mengalami stress tidak akan dapat menghayati kebahagian s Dari
contoh ini jelas, bahwa kemampuan menghayati kebahagiaan dipengaruhi
juga oleh aspek nalar di samping aspek rasa. Untuk mendapatkan
kebahagiaan seseorang harus berusaha. Secara utuh.

Usaha-usaha tersebut harus berlandaskan norma-norma atau kaidah-


kaidah yang ada. Namun usaha-usaha yang dilakukan itu akan terkait erat
dengan takdir Tuhan. Sehingga rasa menerima dan syukur akan
mempengaruhi kemampuan manusia dalam menghayati kebahagian. Dalam
hal ini, pendidikan agama menjadi modal utama untuk dapat menghayati
kebahagian.

 Pertumbuhan dan Perkembangan Manusia

Di kalangan masyarakat awam, bahkan di antara sebagian ilmuan


menyatakan tidak ada perbedaan antara pertumbuhan dan perkembangan.
Namun kelompok ilmuan lainnya membedakan kedua istilah ini dengan sangat
teliti dan rinci. Monk, F.J, misalnya, menyatakan bahwa, “Pertumbuhan secara
khusus dimaksudkan untuk menjelaskan ukuran-ukuran badan dan fungsi- fungsi
fisik sedangkan perkembangan lebih mencerminkan sifat-sifat yang khas
mengenai gejala-gejala psikologis yang tampak”.

Sementara itu Soegarda mengatakan bahwa pertumbuhan merupakan


suatu proses yang menunjukkan perubahan jasmaniyah secara otomatis, sedang
perkembangan, adalah suatu proses dalam pertumbuhan yang menunjukkan
adanya pengaruh dalam yang menyebabkan bertambahnya kualitas dalam
pertumbuhan. Jadi bisa dikatakan bahwa dalam pertumbuhan terjadi perubahan
pada fisik, namun dalam perkembangan terjadi perubahan psikis baik karena
pengaruh internal maupun pengaruh eksternal.

1. Perkembangan (Development)

Reni Hawadi seperti dikutip Desmita mengatakan bahwa pekembangan


secara luas menunjuk pada keseluruhan proses perubahan dari potensi yang
dimiliki individu dan tampil dalam kualitas kemampuan, sifat dan ciri-ciri yang
baru. Dalam hal ini tercakup juga konsep usia, yang diawali dari saat konsepsi
dan berakhir dengan kematian. Melengkapi pendapat di atas Seiffert and
Hoffnung dalam Desmita menjelaskan bahwa definisi perkembangan adalah
"long-term changes in a person's growth, feelings, pattern of thinking, social
relationship, motor skills."

Merujuk pada pendapat di atas penulis menyimpulkan bahwa perkembangan


manusia diawali dari proses pembuahan sampai manusia itu mati (decay
process). Selama masa itu manusia mengalami perubahan- perubahan yang
progressif dan berkelanjutan, dari fungsi jasmani dan rohani menuju tahap
pematangan dan belajar. Dalam hal ini Mustaqiem mengatakan perubahan
tersebut meliputi penguasaan syaraf dan otot, kecakapan memahami sesuatu,
pemilikan nila-nilai dan inhibisi (kemampuan mengendalikan diri).

2. Pertumbuhan (Growth)

Pertumbuhan adalah pertambahan atau pertambahan ukuran pada bagian-


bagian tubuh atau dari organisme sebagai suatu keseluruhan. Menurut A. E.
Sinolungan seperti dikutip Desmita18 menyatakan bahwa pertumbuhan
menunjuk pada perubahan kuantitatif, yaitu yang dapat dihitung atau diukur,
seperti tinggi atau berat badan. Sementara itu Ahmad Thontowi menyebutkan
pertumbuhan sebagai perubahan jasad yang meningkat dalam ukuran (size)
sebagai akibat dari adanya perbanyakan (multiplication) sel-sel Dan beberapa
definisi di atas bisa disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan pertumbuhan
adalah perubahan-perubahan yang terjadi pada tubuh atau raga seperti
penambahan berat dan tinggi badan, pertumbuhan fungsi jantung, paru-paru dan
lainnya. Pertumbuhan badan mengalami peningkatan, menetap dan selanjutnya
sesuai dengan bertambahnya umur seseorang menurun kembali. Misalnya dari
merangkak, seorang bayi kemudian bisa berjalan, dan pada masa tuanya
kembali hanya mampu merangkak.

3. Potensi Manusia

Berbeda dengan makhluk lainnya, manusia adalah ciptaan Allah yang paling
potensial. Artinya potensi yang dibekali oleh Allah untuk manusia sangatlah
lengkap dan sempurna. Hal ini menyebabkan manusia mampu mengembangkan
dirinya melalui potensi-potensi (innate potentials atau innate tendencies)
tersebut.

Secara fisik manusia terus tumbuh, secara mental manusia terus


berkembang, mengalami kematangan dan perubahan. Kesemua itu adalah
bagian dari potensi yang diberikan Allah kepada manusia sebagai ciptaan
pilihan. Potensi yang diberikan kepada manusia itu sejalan dengan sifat-sifat
Tuhan, dan dalam batas kadar dan kemampuannya sebagai manusia. Karena
jika tidak demikian, menurut Hasan Langgulung, maka manusia akan mengaku
dirinya Tuhan. Jalaluddin mengatakan bahwa ada empat potensi yang utama
yang merupakan fitrah dari Allah kepada manusia.

Potensi Naluriah (Emosional) atau Hidayat al-Ghariziyyat Potensi naluriah ini


memiliki beberapa dorongan yang berasal dari dalam diri manusia. Dorongan-
dorongan ini merupakan potensi atau fitrah yang diperoleh manusia tanpa
melalui proses belajar. Makanya potensi ini disebut juga potensi instingtif, dan
potensi ini siap pakai sesuai dengan kebutuhan manusia dan kematangan
perkembangannya. Dorongan yang pertama adalah insting untuk kelangsungan
hidup seperti kebutuhan akan makan, minum penyesuaian diri dengan
lingkungan. Dorongan yang kedua adalah dorongan untuk mempertahankan diri.
Dorongan ini bisa berwujud emosi atau nafsu marah. dan mempertahankan diri
dari berbagai macam ancaman dari luar dirinya, yang melahirkan kebutuhan
akan perlindungan seprti senjata, rumah dan sebagainya Ketiga adalah
dorongan untuk berkembang biak atau meneruskan keturunan, yaitu naluri
seksual. Dengan dorongan ini manusia bisa tetap mengembangkan jenisnya dari
generasi ke generasi.

Potensi Inderawi (Fisikal) atau Hidayat al-Hasiyyat. Potensi fisik ini bisa
dijabarkan atas anggota tubuh atau indra-indra yang dimiliki manusia seperti
indra penglihatan, pendengaran, penciuman, peraba dan perasa. Potensi ini
difungsikan melalui indra-indra yang sudah siap pakai hidung, telinga, mata,
lidah, kulit, otak dan sisten saraf manusia. Pada dasarnya potensi fisik ini
digunakan manusia untuh mengetahui hal-hal yang ada di luar diri mereka,
seperti warna, rasa, suara, bau, bentuk ataupun ukuran sesuatu. Jadi bisa
dikatkan poetensi merupakan alat bantu atau media bagi manusia untuk
mengenal hal-hal di luar dirinya. Potensi fisikal dan emosional ini terdapat juga
pada binatang.

Potensi Akal (Intelektual) atau Hidayat al-Aqliyat Potensi akal atau intelektual
hanya diberikan Allah kepada manusia sehingga potensi inilah yang benar-benar
membuat manusia menjadi makhluk sempurna dan membedakannya dengan
binatang. Jalaluddin mengatakan bahwa: "potensi akal memberi kemampuan
kepada manusia untuk memahami simbolsimbol, hal-hal yang abstrak,
menganalisa, membandingkan, maupun membuat kesimpulan yang akhirnya
memilih dan memisahkan antara yang benar dengan yang salah. Kebenaran
akal mendorong manusia berkreasi dan berinovasi dalam menciptakan
kebudayaan serta peradaban. Manusia dengan kemampuan akalnya mampu
menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, mengubah serta merekayasa
lingkungannya, menuju situasi kehidupan yang lebih baik, aman. dan nyaman.

Potensi Agama (Spiritual) atau Hidayat al-Diniyyat Selain potens akal, sejak
awal manusia telah dibekali dengan fitrah beragama atau kecenderungan pada
agama. Fitrah ini akan mendorong manusia untuk mengakui dan mengabdi
kepada sesuatu yang dianggapnya memiliki kelebihan dan kekuatan yang lebih
besar dari manusia itu sendiri. Nantinya, pengakuan dan pengabdian ini akan
melahirkan berbagai macam bentuk ritual atau upacara-upacara sakral yang
merupakan wujud penyembahan manusia kepada Tuhannya. Dalam pandangan
Islam kecenderungan kepada agama ini merupakan dorongan yang bersal dari
dalam diri manusia sendiri yang merupakan anugerah dari Allah. Dalam al-
Qur'an dijelaskan: "Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama
Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah
itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi
kebanyakan manusia tidak mengetahui". (QS: ar-Rum:30).

Dari ayat di atas bisa dikatakan bahwa yang dimaksud dengan fitrah Allah
adalah ciptaan Allah. Artinya Allah menciptakan manusia dengan memberinya
potensi beragama yaitu agama tauhid sehingga apabila ada manusia yang tidak
beragama tauhid maka itu tidak wajar. Dan bisa dipastikan bahwa keadaan
seperti itu adalah karena pengaruh dari luar diri manusia. Dalam sebuah hadits
yang diriwayatkan dari Bukhari menyatakan bahwa setiap anak yang lahir itu
sesuai dengan fitrah atau potensi beragama tauhid dari Allah, namun orang
tuanya (lingkungannya) yang menyebabkan anak tersebut keluar dari fitrah Allah
tersebut. Untuk mempertahankan fitrah tersebut, manusia juga dibekali dengan
potensi emosi, sehingga dengan emosi yang ada dalam dirinya manusia dapat
merasakan bahwa Allah itu ada. Dalam ayat lain dijelaskan bahwa: "Dan ingatlah
ketika Tuhan-mu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka,
dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka dan berfirman, Bukankah
Aku ini Tuhan mu?" Mereka menjawab, "Betul, Engkau adalah Tuhan kami, kami
menjadi saksi". (QS: al- A'raf;172).

Dari ayat di atas bisa kita simpulkan bahwa potensi beragama tauhid telah
ada jauh sebelum manusia lahir. Potensi positif ini harus dipupuk dan dibimbing
melalui proses pendidikan agar tidak menyimpang dari esensi potensi tersebut.
Dalam menjalani hidup di dunia ini manusia memang membutuhkan agama.
Selain potensi atau fitrah dari Allah tersebut, Abuddin Nata25 mengatakan ada
dua hal lain lagi mengapa manusia membutuhkan agama Manusia memang
makhluk sempurna, namun meskipun memiliki banyak potensi tetap saja
manusia mempunyai banyak kelemahan dan kekurangan. Hal ini menyebabkan
manusia membutuhkan sesuatu yang lain yang lebih hebat dari dirinya sendiri,
yang dalam hal ini adalah Tuhan. Hal lain adalah tantangan dalam hidup yang
berupaya menjauhkan atau melencengkan manusia dari potensi beragama ini.
Tantangan ini bisa berasal dari dalam diri manusia, seperti dorongan hawa nafsu
dan bisikan setan ataupun dari luar diri manusia yaitu lingkungan atau manusia
lain yang ingin menjauhkannya dari agama tauhid.

4. Pengembangan Potensi Manusia

Keempat potensi dasar manusia seperti yang dijelaskan di atas harus


dikembangkan agar bisa berfungsi secara optimal dan dapat mencapai tujuan
yang sebenarnya. Pengembangan potensi manusia ini harus dilakukan secara
terarah, bertahap dan berkelanjutan serta dapat dilakukan dengan berbagai cara
dan pendekatan. Jalaluddin mengatakan ada beberapa pendekatan yang bisa
digunakan dalam mengembangkan potensi manusia.

a. Pendekatan Filosofis

Menurut pandangan filosofis, manusia diciptakan untuk mencintai, mengabdi


dan menyembah hanya pada penciptanya. Dalam Al-Qur’an disebutkan, “Dan
Aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali agar mereka mengabdi kepada-
Ku (QS: adz-Dzariyat: 56), demikianlah menurut filosofis alQur’an manusia
memang diciptakan untuk that dan mengabdi kepada penciptanya.
Sesuai dengan hakikat penciptaannya, maka manusia atau keberadaannya
hanya akan bermakna, berarti dan berharga manakala pola kehidupan manusia
telah sesuai dengan cetak biru yang telah ditetapkan Tuhan. Mampu
mengarahkan manusia untuk menjadi hamba Tuhan dan mengikuti nilai-nilai
yang benar menurut kebenaran ilahi yang hakiki.

b. Pendekatan Kronologis

Pendekatan kronologis memandang manusia sebagai makhluk evolutif


Manusia tumbuh dan berkembang secara bertahap dan berangsur. Petumbuhan
fisik dan mental manusia diawali dari proses konsepsi, pada tahap selanjutnya
menjadi janin, kemudian lahir menjadi bayi, anak-anak, remaja, dewasa hingga
meninggal. Hal ini terjadi sesuai dengan tahapan-tahapan pertumbuhan dan
perkembangan yang berlaku. Dalam al-Qur’an dijelaskan: “Dan sesungguhnya
Kami telah menciptakan manusia dari sari pati tanah. Lalu Kami jadikan saripati
itu air mani yang disimpan dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani
itu Kami jadikan segumpal darah, lalu menjadi segumpal daging, dan segumpal
daging itu kemudian Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami
bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk berbentuk lain.
Maka Maha sucilah Allah, Pencipta yang paling baik.” (QS: al-Mu’minun: 12-14).

Tentang perubahan manusia dari tahap selanjutnya dijelaskan: “Dia-lah yang


menciptakan kamu dari tanah kemudian dari setetes mani, sesudah itu dari
segumpal darah, kemudian dilahirkan kamu sebagai seorang anak, kemudian
(kamu dibiarkan hidup) supaya kamu menjadi dewasa, kemudian (dibiarkan
kamu hidup lagi) sampai tua, di antara kamu ada yang dimatikan sebelum itu.
(Kami perbuat demikian) agar kamu sampai kepada ajal yang ditentukan dan
agar kamu mengetahui.”(QS: al-Mu’min: 67)

Dari ayat-ayat di atas jelaslah bahwa manusia itu diciptakan melalui berberta
tahap yang kronologis. Setiap tahap pertumbuhan dan perkembangan ditandai
dengan adanya ciri khas atau karakteristik yang berbeda pula. Kemampuan
manusiapun mengalami peningkatan sesuai periode pertumbuhan dan
perkembangannya. Dengan demikian maka pengembangan potensi manusia
juga harus mengikuti pertumbuhan fisiknya dan perkembangan mentalnya.
Artinya pengembangan potensi manusia harus diarahkan dan dibina sesuai
tahapantahapan tumbuh kembang manusia.

C. Pendekatan Fungsional
Potensi-potensi yang dimiliki manusia diberikan Tuhan untuk dapat
dipergunakan dan difungsikan dalan kehidupan mereka. Karena tidak mungkin
Tuhan menciptakan sesuatu yang tidak bermanfaat. Semua ciptaan Tuhan
mempunyai maksud dan tujuan, temasuk potensi-potensi yang diberikan kepada
manusia. Dalam surat ad-Dukhan ayat 38 dijelaskan; “Dan Kami tidak
menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dengan
bermain-main.”

Dalam pendekatan ini pengembangan potensi manusia harus


dilaksanakan sesuai dengan manfaat dan fungsi potensi itu sendiri. Misalnya,
dorongan seksual, harus dibina dan diarahkan untuk menjaga kelestarian jenis
manusia, bukan untuk berbuat maksiat atau mencari kesenangan semata.
Dorongan naluri lain lainnya seperti makan, minum dan mempertahankan diri
harus diarahkan untuk kelangsungan hidup, bukan mengumbar nafsu. Maka
perkataan yang benar adalah makan untuk hidup bukan hidup untuk makan.
Selanjutnya pengembangan potensi fisik adalah untuk memaksimalkan fungsi
faik dan alat inderawi manusia untuk bisa berinteraksi dengan lingkungan
hidupnya dan juga untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Pengembangan fungsi potensi akal dengan benar akan menjadikan


manusia mampu membedakan yang baik dari yang salah, mengatur dan
memberdayakan lingkungannya untuk kelangsungan hidupnya. Sementara
pengembangan fungsi potensi beragama akan membuat manusia benar-benar
menjadi makhluk yang setia kepada Tuhannya. Jalaluddin mengatakan bahwa
melalui pendekatan fungsional ini terlihat bahwa potensi yang dimiliki manusia
mempunyai fungsi pengabdian, fungsi kemanusiaan, fungsi individu dan fungsi
sebagai makhluk. Fungsi-fungsi tersebut memang sudah terpola secara baku.
Maka pengembangan potensi mnusia tersebut tidak boleh menyimpan dari pola
dasar yang sudah ada, agar potensi yang dimiliki manusia betul-betul akan
berfungsi sebagaimana mestinya.

D. Pendekatan Sosial

Dalam pendekatan ini manusia dipandang sebagai makhluk sosial


Manusia dianggap sebagai makhluk yang cenderung untuk hidup bersama
dalam kelompok kecil (keluarga) maupun besar (masyarakat). Sebagai makhluk
sosial manusia harus mampu mengembangkan potensinya untuk bisa
berinteraksi di dalam lingkungannya dan mampu memainkan peran dan
fungsinya di tengah lingkungannya. Dalam upaya mengembangkan potensi
potensinya manusia membutuhkan dukungan dan bantuan dari pihak lain di luar
dirinya untuk membimbing, mengarahkan, dan menuntunnya agar
pengembangan potensi tersebut berhasil secara maksimal. Upaya
pengembangan potensi ini dilihat dari sudut pandang manapun akan merujuk
kepada pendidikan.

Tugas pendidikan dalam pengembangan potensi manusia, adalah dalam


upaya menjaga dan mengerahkan fitrah atau potensi tersebut menuju kebaikan
dan kesempurnaan. Pengembangan berbagai potensi manusia (fitrah) ini dapat
dilakukan dengan kegiatan belajar, yaitu melalui institusi-institu Belajar yang
dimaksud tidak harus melalui pendidikan di sekolah saja, tetapi juga dapat
dilakukan di luar sekolah, baik dalam keluarga maupun masyarakat ataupun
melalui institusi sosial yang ada. Kesimpulannnya adalah manusia bisa
mengembangkan seluruh potensinya melalui pendidikan, baik itu pendidikan
formal, informal maupun pendidikan nonformal

C, Kesimpulan

Manusia adalah makhluk Allah yang paling sempurna dan dalam berbagai
ayat al-Qur’an dijelaskan tentang kesempurnaan penciptaan manusia tersebut.
Kesempurnaan penciptaan manusia itu kemudian semakin “disempurnakan” oleh
Allah dengan mengangkat manusia sebagai khalifah di muka bumi yang
mengatur dan memanfaatkan alam. Allah juga melengkapi manusia dengan
berbagai potensi yang dapat dikembangkan untuk memenuhi kebu Tuhan hidup
manusia itu sendiri. Di antara potensi-potensi tersebut adalah potensi emosional,
potensi fisikal, potensi akal dan potensi spritual. Keseluruhan potensi manusia ini
harus dikembangkan sesuai dengan fungsi dan tujuan pemberiannya oleh
Tuhan. Ada berbagai pandangan dan pendapat seputar pengembangan potensi
manusia, seperti pandangan filosofis, kronologis, fungsional dan sosial. Di
samping memiliki berbagai potensi manusia juga memiliki berbagai karakteristik
atau ciri khas yang dapat membedakannya dengan hewan yang merupakan
wujud dari sifat hakikat manusia.

Berdasarkan pembahasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa pada


hakikatnya manusia berbeda dengan makhluk Tuhan yang lain seperti hewan
ditinjau dari karakteristiknya, potensi-potensi yang dimilikinya dan kemampuan
manusia dalam mengembangkan potensinya. (Sumber: Siti Khasinah, Jurnal
Ilmiah Didaktika, Februari 2013, VOL. XIII, NO. 2)

Daftar Pustaka

Askar, A. Hakikat Manusia Dalam Pandangan Islam.


Fariadi, Ruslan AM. (2023). Islam Interdisipliner: Integrasi-Interkoneksi Islam dan
IPTEKS (SAINS), Yogyakarta
Mulyadi, M. (2017). Hakikat Manusia Dalam Pandangan Islam. Jurnal Al-Taujih:
Bingkai Bimbingan dan Konseling Islami, 3(1), 29-38.
Nopiansah, M. (2022). HAKIKAT MANUSIA DALAM PERSPEKTIF ISLAM. Akrab
Juara: Jurnal Ilmu-ilmu Sosial, 7(3), 192-206.

Anda mungkin juga menyukai