Konsep manusia
Manusia Dalam pandangan islam
Dalam pandangan Islam, manusia didefinisikan sebagai makhluk,
mukalaf,
mukaram,
mukhaiyar, dan mujizat. Manusia adalah makhluk yang memiliki nilai-nilai
fitri dan sifat-sifat insaniah, seperti dhaif lemah (an-Nisaa: 28), jahula
bodoh
(al-Ahzab:
72), faqir ketergantungan atau memerlukan (Faathir: 15), kafuuro
sangat
mengingkari nikmat (al-Israa: 67), syukur (al-Insaan:3), serta fujur
dan taqwa (asy-Syams: 8).
Selain itu, manusia juga diciptakan untuk mengaplikasikan bebanbeban
ilahiah
yang
mengandung maslahat dalam kehidupannya. Ia membawa amanah ilahiah
yang
harus
diimplementasikan dalam kehidupan nyata. Keberadaannya di alam
mayapada
memiliki arti yang hakiki, yaitu menegakkan khilafah. Keberadaannya
tidaklah
untuk huru-hara dan tanpa hadaf tujuan yang berarti. Perhatikanlah
ayat-ayat Qur`aniah di bawah ini.
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat:
Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.
Mereka
berkata:
Mengapa
Engkau
hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat
kerusakan
padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih
dengan
memuji
Engkau dan mensucikan Engkau? Tuhan berfirman: Sesungguhnya Aku
mengetahui apa yang tidak kamu ketahui. (al-Baqarah: 30)
Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya
mereka
mengabdi
kepada-Ku. (adz-Dzariyat: 56)
Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit,
bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul
amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah
amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan
amat bodoh. (al-Ahzab: 72)
Manusia adalah makhluk pilihan dan makkhluk yang dimuliakan oleh
Allah
SWT
dari
makhluk-makhluk yang lainnya, yaitu dengan keistimewaan yang
dimilikinya,
seperti akal yang mampu menangkap sinyal-sinyal kebenaran,
merenungkannya,
dan
kemudian memilihnya. Allah SWT telah menciptakan manusia dengan
ahsanu
taqwim, dan telah menundukkan seluruh alam baginya agar ia mampu
memelihara
dan
memakmurkan serta melestarikan kelangsungan hidup yang ada di alam
ini.
Dengan
akal yang dimilikinya, manusia diharapkan mampu memilah dan memilih
nilai-nilai kebenaran, kebaikan, dan keindahan yang tertuang dalam
risalah
para rasul. Dengan hatinya, ia mampu memutuskan sesuatu yang sesuai
dengan iradah Robbnya dan dengan raganya, ia diharapkan pro-aktif
untuk
melahirkan karya-karya besar dan tindakan-tindakan yang benar,
sehingga
ia
tetap mempertahankan gelar kemuliaan yang telah diberikan oleh Allah
SWT
kepadanya
seperti ahsanu taqwim, ulul albab, rabbaniun dan yang lainnya.
Maka, dengan sederet sifat-sifat kemuliaan dan sifat-sifat insaniah yang
berkaitan
dengan keterbatasan dan kekurangan, Allah SWT membebankan misi-misi
khusus
kepada manusia untuk menguji dan mengetahui siapa yang jujur dalam
beriman dan dusta dalam beragama.
Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan:
Kami
telah beriman, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya kami
telah
menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah
mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui
orang-orang yang dusta. (al-Ankabuut: 2-3).
Ada 3 teori dalam konsepsi manusia yaitu :
Dalam
pandangan
Islam,
manusia
didefinisikan
sebagai
makhluk,
mukalaf,
mukaram,
mukhaiyar,
dan
mujizat.
Manusia adalah makhluk yang memiliki nilai-nilai fitri dan sifat-sifat
insaniah, seperti dhaif lemah (an-Nisaa: 28), jahula bodoh (al-Ahzab:
72), faqir ketergantungan atau memerlukan (Faathir: 15), kafuuro
sangat
mengingkari nikmat (al-Israa: 67), syukur (al-Insaan:3), serta fujur
dan taqwa (asy-Syams: 8).
Keberadaan manusia di muka bumi ini mempunyai misi utama, yaitu
beribadah kepada Allah SWT. Maka, setiap langkah dan gerak-geriknya
harus
searah
dengan
garis
yang
telah ditentukan. Setiap desah nafasnya harus selaras dengan
kebijakan-kebijakan ilahiah, serta setiap detak jantung dan keinginan
hatinya
harus seirama dengan alunan-alunan kehendak-Nya. Semakin mantap
langkahnya
dalam merespon seruan Islam dan semakin teguh hatinya dalam
mengimplementasikan
apa yang telah menjadi tugas dan kewajibannya, maka ia akan mampu
menangkap
sinyal-sinyal yang ada di balik ibadahnya. Karena, dalam setiap ibadah
yang
telah diwajibkan oleh Islam memuat nilai filosofis, seperti nilai filosofis
yang
ada dalam ibadah shalat, yaitu sebagai aun (pertolongan) bagi manusia
dalam
mengarungi lautan kehidupan (al-Baqarah:153), dan sebagai benteng
kokoh
untuk
menghindari, menghadang, dan mengantisipasi gelombang kekejian dan
kemungkaran (al-Ankabuut: 45). Adapun nilai filosofis ibadah puasa
adalah untuk menghantarkan manusia muslim menuju gerbang
ketaqwaan,
dan
ibadah-ibadah
lain
yang
bertujuan
untuk
melahirkan manusia-manusia muslim yang berakhlak mulia (al-Baqarah:
183
dan
aat-Taubah:103). Maka, apabila manusia mampu menangkap sinyal-sinyal
nilai
filosofis dan kemudian mengaplikasikan serta mengekspresikannya dalam
bahasa
lisan maupun perbuatan, ia akan sampai gerbang ketaqwaan. Gerbang
yang
dijadikan satu-satunya tujuan penciptaannya.
Artinya adalah manusia sempurna, berasal dari kata al-insan yang berarti
manusia dan al-kamil yang berarti sempurna. Konsepsi filosofid ini
pertama kali muncul dari gagasan tokoh sufi Ibnu Arabi. Oleh Abdul Karim
bin Ibrahim al-Jili (1365-1428), pengikutnya, gagasan ini dikembangkan
menjadi bagian dari renungan mistis yang bercorak tasawuf filosofis.
Al-Jili merumuskan insan kamil ini dengan merujuk pada diri Nabi
Muhammad SAW sebagai sebuah contoh manusia ideal. Jati diri
Muhammad (al-haqiqah al-Muhammad) yang demikian tidak semata-mata
dipahami dalam pengertian Muhammad SAW asebagai utusan Tuhan,
tetapi juga sebagai nur (cahaya/roh) Ilahi yang menjadi pangkal dan poros
kehidupan di jagad raya ini.
Nur Ilahi kemudian dikenal sebagai Nur Muhammad oleh kalangan sufi,
disamping terdapat dalam diri Muhammad juga dipancarkan Allah SWT ke
dalam diri Nabi Adam AS. Al-Jili dengan karya monumentalnya yang
berjudul al-Insan al-Kamil fi Marifah al-Awakir wa al-Awail (Manusia
Sempurna dalam Konsep Pengetahuan tentang Misteri yang Pertama dan
yang Terakhir) mengawali pembicaraannya dengan mengidentifikasikan
insan kamil dengan dua pengertian. Pertama, insan kamil dalam
pengertian konsep pengetahuan mengeneai manusia yang sempurna.
Dalam pengertian demikian, insan kamil terkail dengan pandangan
mengenai sesuatu yang dianggap mutlak, yaitu Tuhan. Yang Mutlak
tersebut dianggap mempunyai sifat-sifat tertentu, yakni yang baik dan
sempurna.
Sifat sempurna inilah yang patut ditiru oleh manusia. Seseorang yang
makin memiripkan diri pada sifat sempurna dari Yang Mutlak tersebut,
maka makin sempurnalah dirinya. Kedua, insan kamil terkait dengan jati
diri yang mengidealkan kesatuan nama serta sifat-sifat Tuhan ke dalam
hakikat atau esensi dirinya. Dalam pengertian ini, nama esensial dan sifatsifat Ilahi tersebut pada dasarnya juga menjadi milik manusia sempurna
oleh adanya hak fundamental, yaitu sebagai suatu keniscayaan yang
inheren dalam esensi dirinya. Hal itu dinyatakan dalam ungkapan yang
sering terdengar, yaitu Tuhan berfungsi sebagai cermin bagi manusia dan
manusia menjadi cermin bagi Tuhan untuk melihat diri-Nya.
Bagi al-Jili, manusia dapat mencapai jati diri yang sempurna melalui
latihan rohani dan mendakian mistik, bersamaan dengan turunnya Yang
Mutlak ke dalam manusia melalui berbagai tingkat. Latihan rohani ini
diawali dengan manusia bermeditasi tentang nama dan sifat-sifat Tuhan,
dan mulai mengambil bagian dalam sifat-sifat Illahi serta mendapat
kekuasaan yang luar biasa.
Pada tingkat ketiga, ia melintasi daerah nama serta sifat Tuhan, masuk ke
dalam suasana hakikat mutlak, dan kemudian menjadi manusia Tuhan
atau insan kamil. Matanya menjadi mata Tuhan, kata-katanya menjadi
kata-kata Tuhan, dan hidupnya menjadi hidup Tuhan (nur Muhammad).
Muhammad Iqbal tidak setuju dengan teori para sufi seperti pemikiran alJili ini. Menurut dia, hal ini membunuh individualitas dan melemahkan
jiwa. Iqbal memang memandang dan mengakui Nabi Muhammad SAW
sebagai insan kamil, tetapi tanpa penafsiran secara mistik.
Insan kamil versi Iqbal tidak lain adalah sang mukmin, yang dalam dirinya
terdapat kekuatan, wawasan, perbuatan, dan kebijaksanaan. Sifat-sifat
luhur ini dalam wujudnya yang tertinggi tergambar dalam akhlak Nabi
SAW. Insan kamil bagi Iqbal adalah sang mukmin yang merupakan
makhluk moralis, yang dianugerahi kemampuan rohani dan agamawi.
Untuk menumbuhkan kekuatan dalam dirinya, sang mukmin senantiasa
Artinya: Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya
mereka menyembah-Ku.(QS.51:56)
Dalam islam tujuan pendidikan identik dengan tujuan hidup
(penciptaan) manusia. Menempatkan ibadah sebagai tujuan hidup
mengandung arti bahwa kita menyerahkan penilaian semua gerak dan
kiprah ibadah kita hanya kepada Allah.
2. Perbedaan Dan Persamaan Manusia Dengan Makhluk Lain.