Anda di halaman 1dari 18

Memahami hakikat dan konsep keimanan kepada Qoda’ dan Qodar,

negidentifikasi dalil dalil tentang Qadha’ dan Qadar

1. Memahami, konsep dan Hakikat Qadha’ dan Qadar


2. Mngidentifikasi Dalil-dalil Iman kepada Qadha’ dan Qadar
3. Memahami Hikmah Iman Kepada Qadha’ dan Qadar

1. Pengertian Qadha’ dan Qadar.


2. Hakikat Iman Kepada Qadha’ dan Qadar.
3. Dalil Iman Kepada Qadha’ dan Qadar
4. Hikmah Iman Kepada Qadha’ dan Qadar
5. Persoalan Seputar Qadha’ dan Qadar

1
Uraian Materi

AKHLAK DALAM ISLAM

1. Definisi Akhlak
a. Definisi Akhlak Secara Umum
Perkataan akhlak secara etimologis, berasal dari bahasa Arab yang merupakan
jama‘ dari bentuk mufradnya khuluqun (‫ )خلق‬dimana kata khuluqun (‫ )خلق‬memiliki arti:
budi pekerti, perangai, tingkah laku, karakter atau tabiat. Kalimat tersebut mengandung
segi-segi persesuaian dengan perkataan Khalqun (‫ )خلق‬yang berarti kejadian, serta
erat hubungannya dengan Khâliq (‫ )خالق‬yang berarti pencipta dan Makhluq (‫ )مخلوق‬yang
berarti diciptakan.

Pola bentuk defenisi akhlak diatas muncul sebagai mediator yang


menjembatani komunikasi antar Khaliq (pencipta) dengan makhluk (yang diciptakan)
secara timbal balik yang kemudian disebut sebagai hablum minallah. Dari produk hablum
minallah yang benar, biasanya lahirlah pola hubungan antar sesama manusia yang disebut
dengan hablum minannas (pola hubungan antar sesama makhluk).
Makna akhlak juga bisa dilihat dari perspektif lain, yaitu sebagai ilmu. Pertama,
diartikan sebagai ilmu tentang kebiasaan. Arti ini mengikuti pendapat dari para filusuf
Yunani, namun definisi ini membatasi ruang lingkup ilmu akhlak yang terbatas pada
perbuatan manusia yang sesuai dengan kehendaknya yang menjadi kebiasaan dan tradisi,
padahal ilmu akhlak lebih luas daripada itu, di dalamnya juga meliputi petunjuk yang
benar untuk perbuatan baik dan menjauhi perbuatan buruk serta perintah untuk berpegang
teguh pada tradisi dan kebiasaan yang benar. (Mu‘ti et.al, 2001: 33)
Kedua, akhlak diartikan sebagai ilmu tentang manusia. Ini adalah pendapat dari
seorang penulis berkebangsaan Prancis. Berbeda dengan definisi pertama yang
membatasi ruang lingkup akhlak, maka definisi yang kedua ini justru lebih luas
cakupannya karena dalam definisi ini meliputi segala sesuatu yang berhubungan dengan
manusia dari berbagai macam ilmu dan pengetahuan mulai dari ilmu kedokteran, ilmu
jiwa, ilmu logika, sejarah dan segala macam ilmu yang berada di sekitar manusia ( Mu‘ti
et.al, 2001:33-34)
Pendapat ketiga menjelaskan bahwa akhlak adalah ilmu tentang baik dan

2
buruk. Akhlak juga diartikan sebagai studi tentang wajib dan kewajiban. Pengertian ini
terlalu ringkas karena mengabaikan sisi yang terpenting dari aspek ilmu yaitu nilai-nilai
dari perbuatan manusia yang berubah nilai baik dan buruk. (Mu‘ti et.al, 2001:34)

Selanjutnya akhlak didefinisikan sebagai ilmu tentang keutamaan atau sifat-sifat


yang utama dan bagaimana cara agar manusia senantiasa menghiasi diri dengan
keutamaan tersebut, dan Ilmu yang membahas tentang keburukan-keburukan dan
bagaimana cara menjaga diri agar menjauhi dari perbuatan buruk tersebut. Ini adalah
pengertian menurut al-Bustani definisinya itu membatasi pada bagaimana manusia
menghiasi diri dengan sifat-sifat utama serta menjauhkan diri dari sifat-sifat buruk dan
tercela serta menerangkan contoh-contoh metode untuk mencapai hal tersebut. (Mu‘ti
et.al, 2001:33-34)
Beberapa kalangan pengkaji etika maupun akhlak seperti Poedjawiyatna
menklasifikasi beberapa ukuran baik dan buruk seperti teori hedonisme, utilitarisme,
vitalisme, sosialisme, religeosisme dan humanisme, dengan uraian sebagai berikut;
1) Hedonisme, yaitu sebuah aliran klasik dari Yunani yang menyatakan bahwa
ukuran tindakan kebaikan adalah done, yakni kenikmatan dan kepuasan rasa.
Tokoh utama pandangan ini adalah S. Freud.
2) Utilitarisme, yaitu aliran yang menyatakan bahwa yang baik adalah yang
berguna. Karena ini jika berbuatan itu dilakukan atas diri sendiri maka itu disebut
individual, dan jika terhadap kepentingan orang banyak disebut sosial.
3) Vatalisme, yaitu aliran yang berpandangan bahwa ukuran perbuatan baik itu
adalah kekuatan dan kekuasaan, bahwa yang baik adalah mencermikan kekuatan
dalam hidup manusia.
4) Sosialisme, yaitu aliran yang berpendapat bahwa baik nya sesuatu ditentukan
oleh masyarakat. Jadi, masyarakatlah yang menentukan baik dan buruknya
tindakan seseorang bagi anggotanya.
5) Religiosisme, aliran yang mengatakan bahwa baik dan buruk itu adalah sesuai
dengan kehendak Tuhan. Lantas, manakah yang menjadi kehendak Tuhan itu?,
ini adalah tugas para theolog dalam memberikan gambaran.
6) Humanisme, yaitu aliran yang berpandangan bahwa baik dan buruknya sesuatu
itu adalah sesuai dengan kodrat manusia itu sendiri, atau kemanusiaannya.
Dari sejumlah aliran dalam mengukur baik buruknya sesuatu di atas, Islam tentu
saja memiliki sikap tersendiri. Islam berpandangan bahwa baik dan buruk itu adalah
sesuai dengan kehendak Allah. Meski demikian, tidak mudah menjawabnya. Jika muncul

3
pertanyaan yang manakah yang dikehendaki Tuhan? Sebagai antaran awal, guna
menjawab pertanyaan ini, bahwa kehendak Tuhan tentu saja adalah apa-apa yang
difirmankan di dalam al-Qur‘an dan ajaran praktis para utusan-Nya, khususnya terhadap
ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw. Lebih dari itu, pemahaman tentang
kebaikan dan keburukan, atau yang dikehendaki oleh Allah dan yang tidak dikehendaki-
Nya dapat pula diperoleh melalui akal, jiwa dan hati yang jernih.
b. Definisi Akhlak Secara Istilah
Akhlak yang berasal dari kata khuluq secara hahasa menurut ibnu mundzir: berarti
Ad-diin wa at-thab’u, wa as-sajiyah. Sementara Azhari mengatakan At-thabi’atu dan
kholiqotu serta saliqotu mempunyai makna yang sama.
Menurut istilah ada beberapa definisi tentang akhlak. Pertama, adalah
kemampuan yang menimbulkan pekerjaan-pekerjaan dengan mudah tanpa harus berfikir
dan terbebani (al-abd, Nd)
Definisi kedua akhlak adalah kumpulan dari makna-makna dan sifat-sifat yang
bersemayam di dalam jiwa yang darinya perbuatan seseorang menjadi baik atau buruk
(al-Kharaiti, 14).
Definisi yang ketiga akhlaq adalah perumpamaan dari kondisi jiwa yang bersih
yang memunculkan perbuatan dengan mudah tanpa memerlukan pertimbangan pikiran.
Jika keadaan jiwa itu menimbulkan perbuatan yang baik, baik secara akal maupunsyariat
dengan mudah, maka akhlak itu disebut dengan akhlak yang baik, dan jika yang muncul
adalah perbuatan yang jelek maka disebut dengan akhlak yang buruk.
Akhlak juga diartikan sebagai perilaku manusia sebagaimana mestinya sesuai
dengan teladan yang baik sehingga akal manusia condong untuk mengikutinya bukan
sebagai tujuan tetapi karena itu wajib.
Ibnu Athir dalam bukunya An-Nihayah memberikan komentar sebagai berikut:
“Hakikat makna khuluq itu adalah gambaran batin manusia (yaitu jiwa dan sifat-
sifatnya), sedang khalqun merupakan gambaran bentuk luarnya (raut muka, warna
kulit, tinggi rendah tubuhnya, dan lain sebagainya yang berkaitan dengan sikap dan
perbuatan hamba)”.
Pendapat Ibnu Athir ini sejalan dengan Imam Al-Ghazali yang
menyatakan.bahwa:
“Bilamana orang mengatakan si A itu baik khalqunya dan khuluqnya, berarti si A
baik sifa-sifat lahirnya dan sifat-sifat batinnya.

Jadi, berdasarkan sudut pandang kebahasaan, defenisi akhlak dalam pengertian


sehari-hari disamakan dengan ―budi pekerti‖, kesusilaan, sopan santun, tata karma dan
karakter (versi bahasa Indonesia), sedang dalam Bahasa Inggrisnya disamakan dengan

4
istilah moral atau etic.
Dalam bahasa Yunani istilah ―akhlak dipergunakan istilah ethos atau ethikos atau
etika (tanpa memakai huruf H) yang mengandung arti ―Etika adalah Bahasa Indonesia
untuk memakai akal budi dan daya pikirnya dalam memecahkan masalah bagaimana ia
harus hidup kalau ia mau menjadi baik. Dan etika itu adalah sebuah ilmu bukan sebuah
ajaran. Dalam sebuah kitab yang ditulis oleh Abd. Hamid Yunus dinyatakan:

‫ا ألخالق هو صفات الانسان ا ألدابية‬


Artinya: “Akhlak ialah segala sifat manusia yang terdidik”
Ungkapan tersebut memberikan pemahaman bahwa sifat/potensi yang dibawa
setiap manusia sejak lahir: artinya, potensi tersebut sangat bergantung dari cara
pembinaan, latihan/pembiasaan dan pembentukannya. Apabila pengaruhnya posotif,
outputnya adalah akhlak mulia; sebaiknya apabila pembinaaannya negatif, yang terbentuk
adalah akhlak mazmumah (tercela). Lingkungan keluarga, masyarakat dan situasi negara
sangat mempengruhi akhlak seseorang, sebagai individu dan warga negara, karena secara
potensial dan aktual Allah telah membentangkan jalan yang benar dan jalan yang salah.
Firman Allah surat Al-Syam: 8

َ ‫فَأ َ ۡل َه َم َها فُ ُج‬


‫ورهَا َوت َۡق َو ٰى َها‬
Artinya: “Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kepasikan dan
ketakwaannya”.
Pemahaman tentang akhlak dapat diperoleh dari para para tokoh moralis Islam.
Berikut ini dikemukakan defenisi akhlak menurut beberapa pakar, yaitu sebagai berikut:
1) Ibn Miskawaih
‫حال للنفس داعية هلا اىل افعاهلا من غري فكر وروية‬
Artinya: “Keadaan jiwa yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan-perbuatan
tanpa melalui pertimbangan pikiran (lebih dulu)

2) Iman Al-Ghazali

‫اخللق عبارة عن هيئة ىف النفس راسخة عنها تصدر األفعال بسهولة ويسر من غري حاجة إىل فكر وروية‬
Artinya: “Akhlak ialah suatu sifat yang tertanam dalam jiwa yang dari padanya timbul
perbuatan-perbuatan dengan mudah dengan tidak memerlukan pertimbangan pikiran
(lebih dulu).
3) Ahmad Amin

‫عرف بعضهم اخللق ابنه عادة اإلرادة يعىن أن اإلرادة إذا اعتادت شيئا فعائدهتا هي املسماة ابخللق‬
Artinya: “Sebagian orang mengartikan bahwa yang disebut akhlak ialah kehendak yang

5
dibiasakan( karakter). Artinya, kehendak itu bila membiasakan sesuatu, kebiasaan itu
dinamakan akhlak”.
Menurut Ahmad Amin, kehendak ialah ketentuan dari beberapa keinginan
manusia setelah bimbang, sedang kebiasaan merupakan perbuatan yang diulang- ulang
sehingga mudah melakukannya. Masing-masing dari kehendak dan kebiasaan ini
mempunyai kekuatan, dan gabungan dari dua kekuatan itu menimbulkan kekuatan yang
lebih besar. Kekuatan yang besar inilah yang bernama akhlak.
Akhlak darmawan umpamanya, semula timbul dari keinginan berderma atau
tidak. Dari kebimbangan ini tentu pada akhirnya timbul, umpamanya, ketentuan memberi
derma. Ketentuan ini adalah kehendak, dan kehendak ini bila dibiasakan akan menjadi
akhlak, yaitu akhlak dermawan.
Betapapun semua definisi akhlak diatas berbeda redaksinya, tetapi sebenarnya
tidak berjauhan maksudnya, bahkan artinya berdekatan satu dengan yang lain, sehingga
Prof. K.H. Farid Ma‘ruf membuat kesimpulan tentang definisi akhlak ini sebagai berikut:
“Kehendak jiwa manusia yang menimbulkan perbuatan dengan mudah karena
kebiasaan, tanpa memerlukan pertimbangan pikiran terlebih dahulu”.
Dalam pengertian yang hampir sama dengan kesimpulan di atas, Dr. M. Abdullah
Darroz, mengemukakan definisi akhlak sebagai berikut:
“Akhlak adalah suatu kekuatan dalam kehendak yang mantap, kekuatan dan
kehendak yang berkombinasi membawa kecenderungan pada pemilihan pihak yang
benar (dalam hal akhlak yang baik) atau pilihan yang jahat (dalam hal akhlak
yang jahat)”.
Selanjutnya menurut Abdullah Darraz, bahwa perbuatan-perbuatan manusia dapat
dianggap sebagai menifestasi dari akhlaknya, apabila memenuhi dua syarat, yaitu:
1) Perbuatan-perbuatan itu dilakukan berulang kali dalam bentuk yang sama
sehingga menjadi kebiasaan,

2) Perbuatan-perbuatan ini dilakukan karena dorongan emosi-emosi jiwanya, bukan


karena adanya tekanan-tekanan yang datang dari luar, seperti paksaan dari orang
lain yang menimbulkan ketakutan, atau bujukan dengan harapan- harapan yang
indah-indah, dan lain sebagainya.
Sesungguhnya akhlak mempunyai peran yang penting dalam perilaku manusia
dan apa yang dimunculkannya. Perilaku manusia sesuai dengan apa yang bersemayam
di dasar jiwanya dari nilai-nilai dan sifat-sifat. Oleh karena itu, perbuatan-perbuatan
manusia selalu berhubungan dengan jiwanya, artinya adalah bahwa baiknya perbuatan
seseorang itu dikarenakan karena baiknya akhlak orang tersebut.

6
Oleh karena itu metode yang paling tepat untuk memperbaiki perilaku manusia
adalah dengan memperbaiki jiwa-jiwa dan mensucikannya serta menanamkan akhlak
akhlak yang utama. Islam sudah menjelaskan bahwa perubahan keadaan seseorang itu
mengikuti perubahan jiwanya. Allah berfirman dalam Surat Ar Radu ayat 11:
‫ٱّللَ ََل يُغ َِّي ُر َما ِّبقَ ۡو ٍم َحت َ ٰى يُغ َِّي ُرواْ َما ِّبأَنفُ ِّس ِّه ۡ ِۗم‬ ُ َ‫ت ِّم ۢن َب ۡي ِّن َيدَ ۡي ِّه َو ِّم ۡن خ َۡل ِّفِّۦه َي ۡحف‬ٞ ‫لَهۥُ ُم َع ِّق ٰ َب‬
ِّ ِۗ َ ‫ظونَ ۥهُ ِّم ۡن أَمۡ ِّر‬
َ ‫ٱّلل ِّإ َن‬
‫س ٓو ٗءا فَ ََل َم َردَ لَ ۚهۥُ َو َما لَ ُهم ِّمن دُونِِّّۦه ِّمن َوا ٍل‬ َ َ‫َو ِّإذَآ أَ َراد‬
ُ ‫ٱّللُ ِّبقَ ۡو ٖم‬
“Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan
di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak
merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri
mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum,
maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka
selain Dia”
Akhlak yang terpuji merupakan kebutuhan primer dari suatu masyarakat. Sejarah
telah menunjukkan bahwa bangsa yang kuat dan maju adalah bangsa yang memiliki
akhlak yang baik.

2. Dasar Ilmu Akhlak


Akhlak sebagaimana hal-hal lainnya memiliki dasar-dasar. Adapun dasar dari
akhlak di dalam aqidah Islamiyah adalah:

Pertama: Dasar I’tiqadi


Dasar I’tiqadi ini meliputi tiga hal:
a. Iman dan percaya kepada Allah (bahwa Allah itu ada dan nyata) yang
menciptakan mati dan hidup, manusia dan alam semesta, Dialah Allah yang Maha
Mengetahui segala sesuatu, yang telah lalu, saai ini dan yang akan datang.
b. Sesunggguhnya Allah sejak menciptakan manausia di dunia ini telah
mengenalkannya kepada Diri (jiwa) nya, dan mengenalkan jalan yang baik dan
buruk, mengenalkan yang haq dan yang batil melalui risalah dan wahyu. Allah
juga memberikan kemampuan kepada manusia untuk memahami hakikat
tersebut, serta memberikan petunjuk kaarah hal tersebut di dalam alam ini yang
barang siapa mau merenungkan dan mencarinya maka akan dapat
menemukannya.
c. Adanya kehidupan setelah mati. Kehidupan setelah mati ini ada yang penuh
kenikmatan namun sebaliknya ada juga yang penuh derita. Kenikmatan setelah
mati dapat diperoleh dengan mengikuti kebenaran. Sedangkan mereka yang

7
mengikuti kebatilan akan mendapatkan kehidupan setelah mati yang sangat
pedih. Akhlak Islam mengarahkan manusia untuk mengikuti yang benar guna
meraih kebahagiaan di dunia dan setelah mati (Yaljin, 1392: 119-121).
Kedua, Dasar Ilmiah
Islam adalah agama yang moderat. Islam mengambil posisi ditengah diantara dua
kelompok yang bertolak belakang. Kelompok pertama meyakini dan mengarahkan
orientasi hidupnya hanya pada kehidupan dunia ini saja dan mengabaikan (bahkan
mengingkari) kehidupan setalah kehidupan di dunia ini. Kelompok kedua sebaliknya
berorientasi pada kehidupan setelah kematian mengambil jalan kehidupan ruhani dan
mengabaiakan kehidupan dunia. Sedangkan Islam mengambil posisi ditengah tengah
dengan menyeimbangkan antara kehidupan dunia dan akhirat.
Ketiga, (Menjaga) Tabiat Manusia
Hal ini dikarenakan adanya hubungan yang erat antara perilaku (perbuatan)
manusia dengan tabiat (perangai) manusia, maka untuk dapat membentuk akhlak yang
baik para ulama menaruh perhatian pada aspek tabiat manusia.

Akhlak manusia secara umum dibagi menjadi tiga, akhlak manusia dengan
Tuhannya, akhlak manusia dengan dirinya, dan akhlak manusia kepada masyarakat
sekitarnya. Oleh karena itu tanggunng jawab akhlak adalah mengarahkan manusia pada
nilai-nilai dan usaha-usaha dalam perbuatannya, baik positif atau negativ untuk
dipertanggung jawabkan dihadapan Allah, dirinya sendiri dan dalam masyarakat
sosialnya (yaljin, 1392: 327).
Berdasarkan uraian di atas nilai tanggung jawab akhlak ini didasarkan pada tiga dasar:
a. Iman kepada Allah, karena pilihan untuk berpegang pada akhlak yang utama dan
meninggalkan akhlak tercela tidak dapat terwujud kecuali dengan keyakinan
yang mantap yang mendorong seseorang untuk melakukan tindakan. Begitu juga
pertimbangan untuk melakukan atau tidak melakukan tidak akan muncul kecuali
dengan keyakinan yang bersih, dan keyakinan ini adalah iman kepada Allah.
b. Dasar Rasional (akal). Hal ini karena akal diciptakan bagi manusia agar dapat
membedakan perkara benar dan salah, baik dan buruk sehingga manusia siap
menerima perintah dan larangan, juga manusia memperoleh akibat-akibat dari
perbuatannya (Al-Muhasibi, 1420: 252). Akal juga bisa memberikan isyarat dan
menunjukkan pada kebenaran (al-asfahany, 1408: 102). Akal juga menjadi media
untuk membuat pertimbanagan dalam menentukan pilihan.
c. Dasar intuisi (hati), hati bisa menjadi dasar pertimbangan perbuatan manusia,
seseorang yang mau merenungkan perbuatannya dengan bertanya pada hatinya

8
maka akan menemukan ketenangan dalam hatinya jika dia melakukanperbuatan
baik. Atau hatinya menjadi bingung dan takut perbuatannya diketahuiorang lain
jika melakukan perbuatan buruk.

3. Objek Kajian Ilmu Akhlak


Sebelum sampai kepada pembahasan inti tentang objek akhlak, sebaiknya perlu
dipahami dahulu apa sebenarnya ilmu akhlak itu.
Ilmu akhlak ialah ilmu untuk menetapkan segala perbuatan manusia. Baik atau
buruknya, benar atau salahnya, sah atau batal, semua itu ditetapkan dengan
mempergunakan ilmu akhlak sebagai petunjuknya.

Ahmad Amin lebih mempertegas lagi dalam kitabnya Al-Akhlak dengan


menyatakan bahwa Ilmu Akhlak adalah:

‫علم يوضح معىن اخلري والشر ويبني معاملة الناس بعضهم بعضا ويشرح الغاية الىت ينبغى أن‬
‫يقصدها ما ىف أعماهلم ويبني السبيل لعمل ما ينبغى‬
Artinya: “Ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, dan menerangkan apa yang
harus diperbuat oleh sebagian manusia terhadap sesamanya dan menjelaskan tujuan
yang hendak dicapai oleh manusia dan perbuatan mereka dan menunjukkanyang
lurus yang harus diperbuat”.
Jadi, menurut definisi tersebut ilmu akhlak itu mengandung unsur-unsur sebagai
berikut:
a. Menjelaskan pengertian baik dan buruk;
b. Menerangkan apa yang seharusnya dilakukan seseorang serta bagaimana cara
kita bersikap terhadap sesama;
c. Menjelaskan mana yang patut kita perbuat, dan
d. Menunjukkan mana jalan lurus yang harus dilalui.
Berdasarkan beberapa bahasan yang berkaitan dengan ilmu akhlak, maka dapat
dipahami bahwa objek (lapangan/sasaran) pembahasan ilmu akhlak itu ialah tindakan-
tindakan seseorang yang dapat diberikan nilai baik/buruknya, yaitu perkataan dan
perbuatan yang termasuk dalam kategori perbuatan akhlak. Dalam hubungan ini, Dr.
Ahmad Amin mengatakan bahwa ―etika itu menyelidiki segala perbuatan manusia
kemudian menetapkan hukum baik atau buruk. J.H. Muirhead meyebutkan bahwa pokok
pembahasan (subject matter) etika adalah penyelidikan tentang tingkah laku dan sifat
manusia. Muhammad Al-Ghazali mengatakan bahwa daerah pembahasan ilmu akhlak

9
meliputi seluruh aspek kehidupan manusia, baik sebagai individu (perseorangan)maupun
kelompok (masyarakat).
Untuk jelasnya, bahwa perbuatan-perbuatan manusia itu dapat dibagi dalam tiga
macam perbuatan. Dari yang tiga ini ada yang masuk perbuatan akhlak dan ada yang tidak
masuk perbuatan akhlak.
a. Perbuatan yang dikehendaki atau disadari, pada waktu dia berbuat dan disengaja.
Jelas, perbuatan ini adalah perbuatan akhlak, bisa baik atau buruk, tergantung
pada sifat perbuatannya.

b. Perbuatan yang tidak dilakukan tidak dikehendaki, sadar atau tidak sadar diwaktu
dia berbuat, tetapi perbuatan itu diluar kemampuannya dan dia tidak bisa
mencegahnya. Perbuatan demikian bukan perbuatan akhlak. Perbuatan ini ada
dua macam:
1) Reflex action, al-a’maalu-mun’akiyah
Umpamanya, seseorang keluar dari tempat gelap ketempat terang, matanya
berkedip-kedip. Perbuatan berkedip-kedip ini tidak ada hukumnya, walupun
dia berhadap-hadapan dengan seseorang yang seakan-akan dikedipi. Atau
seseorang karena digigit nyamuk, dia menamparkan tangan pada yang digigit
nyamuk tersebut.
2) Automatic action, al-a’maalu ‘aliyah
Model ini seperti halnya degup jantung, denyut urat nadi dan sebagainya.
Perbuatan-perbuatan reflex actions dan automatic actions adalah perbuatan
di luar kemampuan seseorang, sehingga tidak termasuk perbuatan akhlak.
c. Perbuatan yang samar-samar, tengah-tengah, mutasyabihat.
Yang dimaksud samar-samar/tengah-tengah, mungkin suatu perbuatan dapat
dimasukkan perbuatan akhlak tapi bisa juga tidak. Pada lahirnya bukan perbuatan akhlak,
tapi mungkin perbuatan tersebut termasuk perbuatan akhlak, sehingga berlaku hukum
akhlak baginya, yaitu bahwa perbuatan itu baik atau buruk. Perbuatan-perbuatan yang
termasuk samar-samar, umpamanya lupa, khilaf, dipaksa, perbuatan diwaktu tidur dan
sebagainya. Terhadap perbuatan-perbuatan tersebut ada hadis-hadis rasul yang
menerangkan bahwa perbuatan-perbuatan lupa, khilaf, dipaksa, perbuatan diwaktu tidur
dan sebagainya, tidak termasuk perbuatan akhlak.
Selanjutnya, dalam menetapkan suatu perbuatan yang muncul dengan kehendak
dan disengaja hingga dapat dinilai baik atau buruk, ada beberapa syarat yang perlu
diperhatikan: (1) situasi dalam keadaan bebas, sehingga tindakan dilakukan dengan
sengaja dan (2) pelaku tahu apa yang dilakukan, yakni mengenai nilai baik buruknya.

10
Oleh sebab itu, suatu perbuatan dapat dikatakan baik buruknya manakala memenuhi
syarat-syarat diatas. Kesengajaan merupakan dasar penilaian terhadap tindakan
seseorang. Sebagai contoh, seorang prajurit yang membunuh musuh dimedan perang
tidak dikatakan melakukan kejahatan, karena ia dipaksa oleh situasi perang. Seorang
anak kecil yang main api didalam rumah hingga berakibat rumah itu terbakar, tidak dapat
dikatakan bersalah, karena ia tidak tahu akibat perbuatannya itu. Dalam Islam faktor
kesengajaan merupakan penentu dalam penetapan nilai tingkah laku/tindakan seseorang.
Seorang muslim tidak berdosa karena melanggar syariat, jika ia tidak tahu bahwa ia
berbuat salah menurut hukum Islam.
Erat kaitannya dengan permasalahan di atas, Rasulullah saw telah memberikan
penjelasan bahwa kalaulah suatu tindakan itu dilakukan oleh seseorang yang didasari
karena kelalaian (di luar kontrol akal normal) atau karena dipaksa, betapapun adaukuran
baik/buruknya, tidak dihukumi sebagai berdosa. Ini berarti diluar objek ilmu akhlak.
Dalam hubungannya dengan problem di atas, Rasulullah saw telah mengeluarkan
sabdanya yang diriwatkan oleh Ahmad, Abu Daud dan Hakim dari Umar bahwa
Rasulullah saw. berdabda:

‫رفع القلم عن اجملنون املغلوب على عقله حىت يربأ وعن النائم حىت يستيقظ وعن الصيب‬
‫حىت حيتلم‬
Artinya: “Tidak berdosa seorang muslim karena tiga perkara: (1) orang gila
hingga sembuh dari gilanya, (2) orang yang tidur hingga terbangun dan (3) seorang anak
hingga ia dewasa”.
Berdasarkan hadis tersebut, perbuatan lupa atau khilaf tidak diberi hukum dan
tidak termasuk perbuatan akhlak. Perbuatan tersebut umpamanya perbuatan diwaktu tidur
dan yang dipaksa. Namun, menurut ayat Al-Qur‘an, kita diperintahkan berdo’a kepada
Allah, untuk minta ampun, agar Allah tidak menghukum dan menyiksa kita apabila kita
berbuat lupa dah khilaf yang dianggap salah, sehingga mendapat hukuman siksa. Jadi
meskipun demikian lupa atau khilaf termasuk perbuatan akhlak. Dalam hal ini para ahli
etika menyimpulkan bahwa perbuatan lupa dan khilaf dan sebagainya ada dua macam:
a. Apabila perbuatan itu sudah dapat diketahui akibatnya atau patut diketahuiakibat-
akibatnya, atau bisa juga diikhtiarkan untuk terjadi atau tidak terjadinya. Oleh
karena itu, perbuatan mutasyabih demikian disebut perbuatan ikhtiari atau ghair
ta’adzur, sehingga dimasukkan perbuatan akhlak. Umpamanya, kalau kita tahu
bahwa dikhawatirkan kalau tidur akan berbuat yang tidak diinginkan, maka
hendaknya sebelum tidur kita harus menjauhkan benda-benda yang

11
membahayakan, senjata harus diamankan, api dipadamkan, pintu-pintu dikunci
dan sebagainya.

b. Apabila perbuatan ini tidak kita ketahui sama sekali dan diluar kemampuan
manusia, walaupun sudah diikhtiarkan sebelumya, tapi toh terjadi juga, perbuatan
demikain disebut ta’adzury (diluar kemampuan manusia). Perbuatan demikian
tidak termasuk perbuatan akhlak.
Rasulullah saw telah mengisyaratkan hal ini sebagai berikut:
‫إن هللا تعاىل جتاوز ىل وعن امىت اخلطأ والنسيان وما استكرهوا عليه‬
Artinya:“Sesungguhnya Allah member maaf bagiku dari umatku yang khilaf, lupa
dan terpaksa”.

4. Sumber Akhlak Islam


Sebagaimana ajaran Islam yang bersumber dari al-Qur‘an dan Hadits maka akhlak
Islam juga demikian bersumber pada dua sumber ajaran Islam tersebut yaitu: al-Qur‘an
dan hadits (Sunnah).
Dalil yang menerangkan hal tersebut misalnya Q.S al-Ahzab:31:

‫صا ِّل ًحا نُؤْ تِّ َهآ أَ ْج َرهَا َم َرتَي ِّْن َوأَ ْعتَ ْدنَا‬
َ ‫سو ِّل ِّه َوتَ ْع َم ْل‬ ْ ُ‫َو َمن يَ ْقن‬
ِّ َ ِّ ‫ت ِّمن ُك َن‬
ُ ‫ّلل َو َر‬
‫لَ َها ِّر ْزقًا َك ِّري ًما‬
Artinya: ―dan barang siapa diantara kamu sekalian (isteri-isteri Nabi) tetap taat
kepada Allah dan Rasul-Nya dan mengerjakan amal yang saleh, niscata Kami
memberikan kepadanya pahala dua kali lipat dan Kami sediakan baginya rezki yang
mulia”

Atau Sabda Nabi saw.:

‫امنا بعثت ألمتم مكارم األخالق‬


Artinya: Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang baik (HR. Muslim)

)‫أكمل املؤمنني امياان احسنهم خلقا وخياركم خياركم لنسائهم (رواه الرتمذى‬
Artinya: Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik
akhlaknya, dan yang terbaik diantara kalian adalah yang paling baik (perlakuannya)
kepada wanita (istri)nya. (HR. Tirmidzi)

12
5. Tujuan Akhlak
Akhlak yang diberi penekanan cukup besar dalam agama Islam tentu memiliki
tujuan yang ingin dicapai. Diantara tujuan dari akhlak adalah:

a. Menjadikan manusia memiliki derajat tinggi dan sempurna.


b. Akhlak menjadikan manusia senantiasa menghiasi diri dengan akhlakul karimah
dalam berhubungan dengan Allah dan sesamanya.
c. Akhlak membedakan manusia dengan makhluk lainnya.
d. Akhlak yang baik menjadikan manusia bahagia di dunia dan beruntung di
akhirat.
e. Dengan akhlak yang baik maka keberlangsungan umat manusia akan tetap
terjaga.
f. Akhlak yang baik menjadikan iman seorang mukmin menjadi sempurna. (Mu‘ti
et.al, 2001:37-38)

6. Manfaat Mempelajari Ilmu Akhlak


Akhlak adalah mutiara hidup yang membedakan makhluk manusia dengan
makhluk hewani. Manusia tanpa akhlak akan hilang derajat kemanusiaannya sebagai
makhluk Allah yang paling mulai, menjadi turun kemartabat hewani. Manusia yang telah
lari dari sifat insaniyahnya adalah lebih berbahaya dari binatang buas. Di dalam surat Al-
Tiin ayat 4-6, Allah mengajarkan bahwa: “sesungguhnya kami telah menciptakan
manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya; kemudian Kami kembalikan dia ke tempat
yang serendah-rendahnya (neraka); kecuali orang-orang yang beriman dan
mengerjakan amal saleh, maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya”.
Menurut Iman Al-Ghazali dalam bukunya Mukasyafatul Qulub, Allah telah
menciptakan makhluk-Nya terdiri atas tiga kategori. Pertama, Allah menciptakan
malaikat dan diberikan kepadanya akal dan tidak diberikan kepadanya elemen nafsu
(syahwat). Kedua, Allah menjadikan binatang dan tidak dilengkapi dengan akal, tetapi
dilengkapi dengan syahwat saja. Ketiga, Allah menciptakan manusia (anak Adam)
lengkap dengan elemen akal dan syahwat (nafsu). Oleh karena itu, barang siapa yang
nafsunya dapat mengalahkan akalnya, maka hewan melata misalnya lebih baik dari
manusia. Sebaliknya bila manusia dengan akalnya dapat mengalahkan nafsunya,
derajatnya diatas malaikat. Sedangkan menurut Prof. John Oman, Morality without
religion lacks awide heaven to bearth in (moral tanpa agama kehilangan tempat yang luas

13
untuk bernafas).

Akhlak sangat urgen bagi manusia. Urgensi akhlak ini tidak saja dirasakan oleh
manusia dalam kehidupan perseorangan, tetapi juga dalam kehidupan berkeluarga dan
bermasyarakat, bahkan juga dirasakan dalam kehidupan berbangsa atau bernegara.
Akhlak adalah mustika hidup yang membedakan makhluk manusia dan makhluk hewani.
Manusia tanpa akhlak adalah manusia yang telah ―membinatang, sangat berbahaya.
Ia akan lebih jahat dan lebih buas dari pada binatang buas itu sendiri.
Jika akhlak telah lenyap dari diri masing-masing manusia, kehidupan ini akan
kacau balau, masyarakat menjadi berantakan. Orang tidak lagi peduli soal baik atau
buruk, halal atau haram. Dalam al-Qur‘an ada peringatan yang menjadi hukum besi
sejarah (sunnatullah), yaitu firman Allah dalam surat al-Araf Ayat 182:

‫} َوأ ُ ْم ِّلي‬١٨٢{ َ‫ْث َلَيَ ْعلَ ُمون‬ َ ‫َوالَذِّينَ َكذَبُوا ِّبئَايَاتِّنَا‬


ُ ‫سنَ ْستَ ْد ِّر ُج ُهم ِّم ْن َحي‬
‫لَ ُه ْم ِّإ َن َك ْيدِّي َمتِّين‬
Artinya: “dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami, akan Kami lalaikan
mereka dengan kesenangan-kesenangan dari jurusan yang mereka tidak sadari tidak
mereka kertahui”.

Rasulullah saw. pun diutus diantara misinya membawa ummat manusia kepada
akhlakul karimah. Dalam sabdanya disebutkan:

‫إمنا بعثت ألمتم مكارم األخالق‬


Artinya: “Saya diutus (kedunai) ialah untuk menyempurnakan akhlak yangmulai”.
Syauqi Beik, penyair Arab yang ternkenal pernah memperingatkan bangsa Mesir
‫وإنما األمم األحَلق ما بقيت وإن هموا ذهبت اخَلقهم ذهبواا‬
Artinya: “Bangsa itu hanya bisa bertahan selama mereka memiliki akhlak. Bila akhlak
telah lenyap dari mereka, merekapun akan lenyap pula”.
Berdasarkan definisi ilmu akhlak yang sudah dijelaskan, manfaat mempelajari
ilmu akhlak sebagai berikut:
a. Dapat menyinari orang dalam memecahkan kesulitan-kesulitan rutin yang
dihadapi manusia dalam hidup sehari-hari yang berkaitan dengan perilaku.
b. Dapat menjelaskan kepada orang sebab atau illat memilih perbuatan yang baik
dan lebih bermanfaat.
c. Dapat membendung dan mencegah kita secara kontinyu untuk tidak terperangkap
kepada keinginan-keinginan nafsu, bahkan mengarahkannya kepada hal yang
positif dengan menguatkan unsur iradah.

14
d. Manusia atau orang banyak mengerti benar-benar akan sebab-sebab melakukan
atau tidak akan melakukan sesuatu perbuatan, dimana dia akan memilih pekerjaan
atau perbuatan yang nilai kebaikannya lebih besar.
e. Mengerti perbuatan baik akan menolong untuk menuju dan menghadapi perbuatan
itu dengan penuh minat dan kemauan.
f. Orang yang mengkaji ilmu akhlak akan tepat dalam memvonis perilaku orang
banyak dan tidak akan mengekor dan mengikuti sesuatu tanpa pertimbangan yang
matang lebih dulu.
Sebenarnya dengan memahami ilmu akhlak itu bukanlah menjadi jaminan bahwa
setiap yang mempelajarinya secara otomatis menjadi orang yang berakhlak mulia, bersih
dari berbagai sifat tercelah. Ilmu akhlak ibarat dokter yang hanya memberikan penjelasan
penyakit yang diderita pasien dan memberikan obat-obat yang diperlukan untuk
mengobatinya. Dokter menjelaskan apa dan bagaimana memelihara kesehatan agar ia
sembuh dari penyakitnya; memberikan saran-saran dan peringatan bahaya-bahaya
penyakit yang diderita pasiennya agar ia lebih berhati-hati menjagadirinya.
Jadi, tugas dokter bukan untuk menyembuhkan pasien, tetapi dia menjelaskan
dengan sesempurna mungkin mengenai penyakit dan gejala-gejala penyakit. Bila si
pasien tidak menghentikan merokok atau tidak meninggalkan minuman-minuman keras,
misalnya, jadi, kesembuhan suatu penyakit sangat tergantung kepada si pasien apakah
setelah ia mendapat keterangan dari dokter mau menurutinya atau tidak. Jika dituruti,
insya Allah dia ada harapan terhindar dari penyakit atau penyakit yang sedang diderita itu
akan berangsur-angsur hilang dan dia menjadi sehat. Dengan demikian, faedah ilmu
akhlak dapat dipahami bahwa sesungguhnya ilmu akhlak tidak memberi jaminan
seseorang menjadi baik dan sopan. Ilmu akhlak membuka mata hati seseorang untuk
mengetahui suatu perbuatan dapat dikatakan baik atau buruk. Selain itu juga memberikan
pengertian apa faedahnya jika berbuat baik dan apa pula bahayanya jika berlaku jahat.

7. Pembagian Akhlak
Beberapa definisi dari akhlak yang telah dijelaskan pada pembahasan
sebelumnya, menjelaskan bahwa aspek penting dari akhlak adalah nilai dari perbuatan
manusia; baik atau buruk.
Berdasarkan definisi di atas akhlak yang merupakan ilmu yang mengkaji tentang
perbuatan manusia, akhlak dapat diklasifikasikan menjadi dua; yaitu akhlak yang terpuji
yang seorang mukmin harus menghiasi dirinya dengannya, dan akhlak yang tercela yang
harus dijauhi dan dihindari oleh seorang mukmin.

15
Dualisme bentuk akhlak yaitu akhlak yang baik dan akhlak yang buruk membawa
konsekwensi berbeda bagi pelakunya. Masing-masing perbuatan akhlak manusia akan
mendapatkan balasannya baik atau buruk. Sebagaimana dijelaskan diatas akhlak
seseorang dibagi menjadi tiga, akhlak terhadap Allah, terhadap diri sendiri dan
masyarakat. Maka manusia akan menerima balasan dari dari tiga akhlak ini. Balasan dari
Allah untuk akhlak manusia berupa pahala untuk orang yang berakhlak baik dan hukuman
bagi yangberakhlak buruk. Balasannya itu bisa di dunia atau kelak di akhirat. Balasan dari
akhlak terhadap diri sendiri adalah berupa ketenangan dan kebahagiaan kalau akhlaknya
baik, dan kegelisahan kalau akhlaknya buruk. Sedangkan balasan dari masyarakat adalah
berupa sanksi sosial sesuai dengan aturan yang berlaku didalam masyarakat.
Pembagian akhlak yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah menurut sudut
pandang Islam, baik dari segi sifat maupun dari segi objeknya. Dari segi sifatnya, akhlak
dikelompokkan menjadi dua, yaitu pertama, akhlak yang baik, atau disebut juga akhlak
mahmudah (terpuji) atau akhlak al-karimah; dan kedua, akhlak yang buruk atau akhlak
madzmumah.
a. Akhlak Mahmudah
Akhlak mahmudah adalah tingkah laku terpuji yang merupakan tanda keimanan
seseorang. Akhlak mahmudah atau akhlak terpuji ini dilahirkan dari sifat-sifat yang
terpuji pula.
Sifat terpuji yang dimaksud adalah, antara lain: cinta kepada Allah, cinta kepda
rasul, taat beribadah, senantiasa mengharap ridha Allah, tawadhu‘, taat dan patuh kepada
Rasulullah, bersyukur atas segala nikmat Allah, bersabar atas segala musibah dan
cobaan, ikhlas karena Allah, jujur, menepati janji, qana‘ah, khusyu dalam beribadah
kepada Allah, mampu mengendalikan diri, silaturrahim, menghargai orang lain,
menghormati orang lain, sopan santun, suka bermusyawarah, suka menolong kaum yang
lemah, rajin belajar dan bekerja, hidup bersih, menyayangi binatang, dan menjaga
kelestarian alam. Selain itu terdapat pula sikap untuk menilai orang lain yang disebut
dengan husnuzzan. Husnuzzan artinya berprasangka baik. Sedangkan huznuzhan kepada
Allah SWT mengandung arti selalu berprasangka baik kepada Allah SWT, karena Allah
SWT akan memberikan terhadap hamba-Nya seperti yang hambanya sangkakan kepada-
Nya. Kalau seorang hamba berprasangka buruk kepada Allah SWT maka buruklah
prasangka Allah kepada orang tersebut, jika baik prasangka hamban kepadanya maka
baik pulalah prasangka Allah kepada orang tersebut.
Apabila kita melihat petunjuk ayat-ayat al-Quran, terdapat isyarat tentang adanya
hirarki atau tingkatan akhlak mahmudah, yaitu:

16
1) Tingkat Hasanah, artinya hirarki akhlak mahmudah dalam tingkatan yang paling
rendah. Contoh kongkritnya misalnya menjawab salam dengan redaksi yang sama
dengan yang diucapkan oleh pemberi salam. Misalnya, ketika seseorang
mengucapkan salam dengan redaksi ―Assalamu’alaikum, dijawab dengan
ucapan―wa’alikumussalam.

2) Tingkat Karimah, artinya hirarki akhlak mahmudah dalam tingkat yang lebih
tinggi dari tingkat hasanah. Contoh kongkritnya misalnya menjawab salam
dengan redaksiyang lebih panjang dari yang diucapkan pemberi salam. Misalnya,
ketika seseorang mengucapkan salam dengan redaksi ―Assalamu’alaikum,
dijawab dengan ucapan ―wa’alikumussalam warohmatullah wabarokatuh.
3) Tingkat ‘Azhimah (‫)عظيمة‬, artinya hirarki akhlak mahmudah dalam tingkat yang

paling tinggi. Bentuk kongkritnya yaitu membalas keburukan dengan kebaikan.


Hal ini memang tidak mudah. Rasulullah SAW adalah personifikasi orang yang
mampu mempraktekkan tingkatan ini. Makanya Rasul disebut orang yang
memiliki akhlak mulia dengan tingkat ini. Hal ini diisyaratkan dalam Q.S. al-
Qalam [68]: 4 berikut ini:

‫ع ِّظ ٍيم‬ ٍ ُ‫َو ِّإنَ َك لَعَلَى ُخل‬


َ ‫ق‬
Artinya: ―dan Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung”

Hirarki akhlak mahmudah tingkat hasanah dan karimah dalam al-Quran


diisyaratkan oleh Q.S. al-Nisa [4]: 86 berikut ini:

َ َ‫سنَ ِّم ْن َهآ أَ ْو ُردُّوهَآ إِّ َن للاَ َكان‬


‫علَى ُك ِّل‬ َ ‫َوإِّذَا ُحيِّيتُم بِّتَ ِّحيَ ٍة فَ َحيُّوا بِّأ َ ْح‬
‫ش ْىءٍ َحسِّيبًا‬
َ
Artinya: “Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan,
maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau
balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa). Sesungguhnya Allah
memperhitungankan segala sesuatu”.

b. Akhlak Madzmumah
Akhlak madzmumah adalah tingkah laku yang tercela atau perbuatan jahat yang
merusak iman seseorang dan menjatuhkan martabat manusia.
Sifat yang termasuk akhlak mazmumah adalah segala sifat yang bertentangan

17
dengan akhlak mahmudah, antara lain: kufur, syirik, munafik, fasik, murtad, takabbur,
riya, dengki, bohong, menghasut, kikil, bakhil, boros, dendam, khianat, tamak, fitnah,
qati‘urrahim, ujub, mengadu domba, sombong, putus asa, kotor,mencemari lingkungan,
dan merusak alam.
Berdasarkan uraian di atas, hendaknya seorang mukmin senantiasa menghiasi
dirinya dengan akhlak yang terpuji dalam setiap tarikan dan hembusan nafasnya. Hal
demikian ini sudah diajarkan oleh Allah melalui al-Quran untuk hidup dalam tuntunan
Ilahi. Quraish Shihab menjelaskan tentang hal ini dalam menafsirkan al-Quran surat al-
Anfalayat 34 yang berbunyi: “Hai orang-orang beriman berkenan lah Allah dan
Rasul apabila Dia menyeru kamu kepada apa yang menghidupkan kamu”. Menurut
Quraish Shihab kata menghidupkan kamu dalam surat al-Anfal ayat 34 tersebut mengandung arti
bahwa Allah menganugerahi manusia apa yang berpotensi mencapai kesempurnaannya. Seperti
pencerahan akalnya, keyakinan yang benar, budi pekerti yang luhur. petunjuk menyangkut
kegiatan positif serta perbaikan individu dan masyarakat. (Shihab, 2018: 68-69)
Sebagaimana akhlak terpuji, akhlak tercela juga dapat dikatakan memiliki
tingkatan, walaupun tidak secara tegas diisyaratkan dalam teks al-Quran atau hadits.
Kata-kata hûban kabîra yang terdapat dalam Q.S. al-Nisa [4]: 2 yang ditafsirkan dengan
dzanban ‘azhîmâ (dosa besar) atau kata-kata lain yang semakna dengannya, atau istilah
min al-kabâir dalam hadits nabi menunjukkan adanya tingkatan dosa besar. Beberapa
contoh dosa besar yang dijelaskan dalam al-Quran dan hadits diantaranya: syirik,
menyakiti kedua orang tua, memakan harta riba, mengkonsumsi minuman keras (khamr),
membunuh jiwa bukan karena alasan yang benar, dan lain. Mafhum mukhalafah dari
adanya dosa besar adalah ada yang disebut dosa kecil, walaupun dalamteks al-Quran tidak
ada istilah dzanban shagîra. Seorang muslim dituntut menjauhi dosa besar dan kecil.
Ketika melakukan dosa besar segera bertaubat kepada Allah, dan diusahakan sekua
mungkin mengerjakan dosa kecil. Dalam sebuah keterangandijelaskan:

ِّ ‫اَل ْستِّ ْغ َف‬


‫ار‬ ِّ ‫ص َر ِّار َوَلَ َك ِّبي َْرةَ َم َع‬
ْ ‫اَل‬
ِّ ‫ص ِّغي َْرةَ َم َع‬
َ ‫َل‬
Artinya: “Tidak ada (disebut) dosa kecil kalau dikerjakan terus menerus (akhirnya
menjadi besar juga), dan tidak ada dosa besar kalau diiringi istighfar/ tobat(akhirnya
akan terhapus juga)”.

18

Anda mungkin juga menyukai