Anda di halaman 1dari 21

Akhlak dan Tasawuf.

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Kita mengetahui bahwa dalam era globalisasi ini banyak pemuda yang sudah kehilangan
akhlakulkarimahnya sehingga perlu pemahaman dan pembelajaran untuk mengkaji akhlak
dan tasawuf.

Tasawuf adalah upaya melatih jiwa dengan berbagai kegiatan yang dapat membebaskan
dirinya dari pengaruh kehidupan dunia, sehingga tercermin ahlak yang mulia dan dekat
dengan Allah Swt. Inilah esensi atau hakikat tasawuf itu sendiri.

Tasawuf bertujuan untuk memperoleh suatu hubungan khusus langsung dari Tuhan.
Hubungan yang dimaksud mempunyai makna dengan penuh kesadaran. Bahwa manusia
sedang berada di hadirat Tuhan. Kesadaran tersebut akan menuju kontek komunikasi dan
dialog antara ruh manusia dengan Tuhan. Hal ini dapat dilakukan dengan cara manusia perlu
mengasingkan dirinya. Keberadaannya yang dekat dengan Tuhan akan berbentuk “Ijtihad”
(bersatu dengan Tuhan) demikian menjadi inti persoalan “sufisme” baik pada agama Islam
maupun diluarnya.

1.2. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian ilmu akhlak?

2. Apa saja ruang lingkup ilmu akhlak?

3. Apa manfaat yang diperoleh dari mempelajari ilmu akhlak?

4. Pengertian Tasawuf

5. Asal-usul tasawuf

6. Hubungan akhlak dan tasawuf

6. Tujuan taswuf

1.3. Tujuan Pembahasan

1. Untuk mengetahui pengertian ilmu akhlak.

2. Untuk mengetahui ruang lingkup ilmu akhlak.


3. Untuk mengetahui manfaat yang diperoleh dari mempelajari ilmu akhlak.

4. Untuk memahami pengertian tasawuf

5. Untuk mengetahui asal-usul taswuf

6. Untuk mengetahui tujuan tasawuf

1.3 Tujuan

1. Menjelaskan definisi akhlak dan tasawuf

2. Dapat memahami akhlak dan tasawuf

BAB II

PEMBAHASAN

AKHLAK

2.1 Pengertian Akhlak

Kata “Akhlak” berasal dari bahasa Arab, jamak dari khuluqun (‫ ) ُخلُق‬yang menurut bahasa
berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat.

Kata tersebut mengandung segi-segi persesuaian dengan perkataan khalqun (‫ ) َج ْلق‬yang berarti
kejadian, yang juga erat hubungannya dengan khaliq (‫ ) َجا ِلق‬yang berarti sang pencipta,
demikian pula dengan mkhluqun (‫ ) َمجْ لُ ْوق‬yng berarti yang diciptakan.

Kata akhlak adalah jamak dari kata khalqun atau khuluqun yang artinya sama dengan arti
akhlak sebagaimana telah disebutkan di atas. Baik kata akhlak atau pun khuluk kedua-duanya
dijumpai pemakaiannya baik dalam Al Qur’an maupun Al Hadits, sebagai berikut:

ٍ ُ‫َو اِنَّكَ لَعَلَى ُخل‬


( 4 : ‫ق َع ِظي ٍْم ) القلم‬

Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung. (QS. Al Qalam: 4)

(‫سنُ ُه ْم ُخلُقًا )رواه الترمذى‬


َ ْ‫ا َ ْك َم ُل اْل ُمؤْ ِمنِيْنَ اِ ْي َمانًا َو اَح‬

Orang mukmin yang paling sempurna keimanannya adalah orang yang sempurna budi
pekertinya. (HR. Tirmidzi)

Ilmu akhlak adalah ilmu yang membahas tentang perbuatan-perbuatan manusia, kemudian
menetapkannya apakah perbuatan tersebut tergolong perbuatan yang baik atau perbuatan
yang buruk. Ilmu akhlak dapat pula disebut sebagai ilmu yang berisi pembahasan dalam
upaya mengenal tingkah laku manusia, kemudian memberikan nilai atau hukum kepada
perbuatan tersebut, yaitu apakah perbuatan tersebut tergolong baik atau buruk. Dalam
pengertian yang hampir sama dengan kesimpulan di atas, Dr. M Abdullah Dirroz,
mengemukakan definisi akhlak sebagai berikut:

“Akhlak adalah suatu kekuatan dalam kehendak yang mantap, kekuatan dan kehendak mana
berkombinasi membawa kecenderungan pada pemilihan pihak yang benar (dalam hal akhlak
yang baik) atau pihak yang jahat (dalam hal akhlak yang jahat).”

Menurut Istilah, akhlak adalah:

1. Ibnu Miskawaih: sifat yang tertanam dalam jiwa yang mendorongnya untuk
melaksanakan perbuatan tanpa memerlukan pemikiran danpertimbangan.
2. Imam Ghazali: sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan macam-macam
perbuatan yang mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.

Selanjutnya menurut Abdullah Dirroz, perbuatan-perbuatan manusia dapat dianggap sebagai


manifestasi dari akhlaknya, apabila dipenuhi dua syarat, yaitu:

1. Perbuatan-perbuatan itu dilakukan berulang kali dalam bentuk yang sama, sehingga
menjadi kebiasaan.

2. Perbuatan-perbuatan itu dilakukan karena dorongan emosi-emosi jiwanya, bukan karena


adanya tekanan-tekanan yang datang dari luar seperti paksaan dari orang lain sehingga
menimbulkan ketakutan, atau bujukan dengan harapan-harapan yang indah-indah dan lain
sebagainya.

Keseluruhan definisi akhlak tersebut di atas tampak tidak ada yang bertentangan, melainkan
memiliki satu kemiripan antara satu dengan lainnya. Definisi-definisi akhlak tersebut secara
substansial tampak saling melengkapi, dan darinya kita dapat melihat lima ciri yang terdapat
dalam perbuatan akhlak, yaitu:

1. Pebuatan akhlak adalah perbuatan yang telah tertanam kuat dalam jiwa seseorang,
sehingga telah menjadi kepribadiannya.

2. Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan mudah dan tanpa pemikiran.

3. Bahwa perbuatan akhlak adalah perbuatan yang timbul dari dalam diri orang yang
mengerjakannya, tanpa ada paksaan atau tekanan dari luar.[1]

4. Bahwa perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan sesungguhnya, bukan
main-main atau karena bersandiwara.

5. Sejalan dengan ciri yang keempat, perbuatan akhlak (khususnya akhlak yang baik)
adalah perbuatan yang dilakukan karena ikhlas semata-mata karena Allah, bukan karena ingin
dipuji orang atau karena ingin mendapatkan suatu pujian.

Dalam perkembangan selanjutnya akhlak tumbuh menjadi suatu ilmu yang berdiri sendiri,
yaitu ilmu yang memiliki ruang lingkup pokok bahasan, tujuan, rujukan , aliran dan para
tokoh yang mengembangkannya. Kesemua aspek yang terkandung dalam akhlak ini
kemudian membentuk satu kesatuan yang saling berhubungan dan membentuk suatu ilmu.

Ma’arif ilmu akhlak adalah:

َ َ‫ذَائِ ِل َو َك ْي ِفيَ ِة ت َْوقِ ْي َها ِلتَتَغَلَّىَ ََاْل ِع ْل ُم بِ ْالف‬


ُ ‫ضائِ ِل َو َك ْي ِفيَ ِة اِ ْقتِنَا ِئ َها ِلتَتَعَلَّى اْلنَ ْف‬
‫س بِ َها َو بِالر‬

Ilmu tentang keutamaan-keutamaan dan cara mengikutinya hingga terisi dengannya dan
tentang keburukan dan cara menghindarinya hingga jiwa kosong dari padanya.[2]

Di dalam Mu’jam al-Wasith disebutkan bahwa ilmu akhlak adalah:

َ ‫ف بِاْل َح‬
‫س ِن‬ ُ ‫ص‬ ُ ‫َو اْلقُبْحِ اْل ِع ْل ُم َم ْوض ُْو‬
َ ‫عهُ اَحْ كَام تَتَعَلَّ ُق بِ ِه اْأل َ ْع َما ُل الَّتِى ت ُ ْو‬

Ilmu yang objek pembahasannya adalah tentang nilai-nilai yang berkaitan dengan perbuatan
manusia yang dapat disifatkan dengan baik atau buruk.[3]

Selain itu ada pula pendapat yang mengatakan bahwa ilmu akhlak adalah ilmu tentang tata
krama.[4]

2.2 Ruang lingkup kajian ilmu ahkalak

Ilmu akhlak adalah ilmu yang membahas tentang perbuatan-perbuatan manusia, kemudian
menetapkannya apakah perbuatan tersebut tergolong perbuatan yang baik atau perbuatan
yang buruk. Ilmu akhlak dapat pula disebut sebagai ilmu yang berisi pembahasan dalam
upaya mengenal tingkah laku manusia, kemudian memberikan nilai atau hukum kepada
perbuatan tersebut, yaitu apakah perbuatan tersebut tergolong baik atau buruk.

Dengan demikian objek pembahasan ilmu akhlak berkaitan dengan norma atau penilaian
terhadap suatu perbuatan yang dilakukan seseorang. Perbuatan tersebut selanjutnya
ditentukan kriterianya apakah baik atau buruk. Dalam hubungan ini Ahmad Amin
mengatakan sebagai berikut:

Bahwa objek ilmu akhlak adalah membahas perbuatan manusia yang selanjutnya perbuatan
tersebut ditentukan baik atau buruk.[5]

Dengan demikian terdapat akhlak yang bersifat perorangan dan akhlak yang bersifat kolektif.

Jadi yang dijadikan objek kajian Ilmu Akhlak di sini adalah perbuatan yang memiliki ciri-ciri
sebagaimana disebutkan di atas, yaitu perbuatan yang dilakukan atas kehendak dan kemauan.
Sebenarnya, mendarah daging dan telah dilakukan secara terus-menerus sehingga mentradisi
dalam kehidupannya. Perbuatan atau tingkah laku yang tidak memiliki ciri-ciri tersebut tidak
dapat disebut sebagai perbuatan yang dijadikan garapan Ilmu Akhlak, dan tidak pula
termasuk ke dalam perbuatan akhlaki.

Dengan demikian perbuatan yang bersifat alami, dan perbuatan yang dilakukan dengan tidak
senganja, atau khilaf tidak termasuk perbuatan akhlaki, karena dilakukan tidak atas dasar
pilihan. Hal ini sejalan dengan sabda Rasulullah SAW yang berbunyi:

( ‫) رواه ابن المخة عن ابى الزار‬ َ ‫َاو َّر ِلى َو َع ْن أ ُ َّمتِى اْل َخ‬
‫طأ َ َو النِ ْسيَانَ َو َما ا ْست ُ ْك ِره ُْوا َعلَ ْي ِه‬ َ ‫ا َِّن هللاَ تَعَالَى تَخ‬
Bahwasanya Allah memaafkanku dan ummatku yang berbuat salah, lupa dan dipaksa. ( HR.
Ibnu Majah dari Abi Zar )

Dengan memperhatikan keterangan tersebut di atas kita dapat memahami bahwa yang
dimaksud dengan Ilmu Akhlak adalah ilmu yang mengkaji suatu perbuatan yang dilakukan
oleh manusia yang dalam keadaan sadar, kemauan sendiri, tidak terpaksa dan sungguh-
sungguh, bukan perbuatan yang pura-pura. Perbuatan-perbuatan yang demikian selanjutnya
diberi nilai baik atau buruk. Untuk menilai apakah perbuatan itu baik atau buruk diperlukan
pula tolak ukur, yang baik atau buruk menurut siapa, dan apa ukurannya.

Imam Al-Ghazali membagi tingkatan keburukan akhlak menjadi empat macam, yaitu:

1. Keburukan akhlak yang timbul karena ketidaksanggupan seseorang mengendalikan


nafsunya, sehingga pelakunya disebut al-jahil ( ‫) الخاهل‬.

2. Perbuatan yang diketahui keburukannya, tetapi ia tidak bisa meninggalkannya karena


nafsunya sudah menguasai dirinya, sehingga pelakunya disebut al-jahil al-dhollu ( ‫الجاهل‬
‫) الضال‬.

3. Keburukan akhlak yang dilakukan oleh seseorang, karena pengertian baik baginya
sudah kabur, sehingga perbuatan buruklah yang dianggapnya baik. Maka pelakunya disebut
al-jahil al-dhollu al-fasiq ( ‫) الجاهل الضال الفاسق‬.

4. Perbuatan buruk yang sangat berbahaya terhadap masyarakat pada nya, sedangkan
tidak terdapat tanda-tanda kesadaran bagi pelakunya, kecuali hanya kekhawatiran akan
menimbulkan pengorbanan yang lebih hebat lagi. Orang yang melakukannya disebut al-jahil
al-dhollu al-fasiq al-syarir ( ‫) الجاهل الضال الفاسق الشرير‬.

Menurut Imam Al-Ghazali, tingkatan keburukan akhlak yang pertama, kedua dan ketiga
masih bisa dididik dengan baik, sedangkan tingkatan keempat sama sekali tidak bisa
dipulihkan kembali. Karena itu, agama Islam membolehkannya untuk memberikan hukuman
mati bagi pelakunya, agar tidak meresahkan masyarakat umum. Sebab kalu dibiarkan hidup,
besar kemungkinannya akan melakukan lagi hal-hal yang mengorbankan orang banyak.[6]

Banyak sekali petunjuk dalam agama yang dapat dijadikan sarana untuk memperbaiki akhlak
manusia, antara lain anjuran untuk selalu bertobat, bersabar, bersyukur, bertawakal,
mencintai orang lain, mengasihani serta menolongnya. Anjuran-anjuran itu sering didapatkan
dalam ayat-ayat akhlak, sebagai nasihat bagi orang-orang yang sering melakukan perbuatan
buruk.

2.3 Ahklak secara Universal

Akhlak universal adalah kebaikan yang bersumber kepada al-quran dan hadist, sehingga
berlaku umum untuk seluruh umat di setiap tempat dan masa, oleh karena itu dipandang dari
sumbernya akhlak bersifat tetap dan berlaku untuk selamanya, untuk mendapatkan definisi di
atas ada beberapa pendapat para ahli diantaranya :

Imam AL-GHOZALI menyebut akhlak ialah suatu sifat yang tertanam dalam jiwa dan dari
jwa itu timbul perbuatan-perbuatan dengan mudah tanpa melakukan pertimbangan pikiran.
Prof,Dr, Ahmad amin mendefinisikan akhlak sebagai kehendak yang dibiasakan .Maksudnya
suatu kehendak itu apabila membiasakan sesuatu maka kebiasaan itu dinamakan akhlak

1. Tertanam kuat dalam jiwa seseorang sehingga telah menjadi kepribadiannya.


2. Dilakukan dengan mudah tanpa pemikiran.
1. Timbul dari dalam diri orang yang mengerjakannya tanpa ada paksaan atau
tekanan dari luar.
2. Dilakukan dengan sungguh-sungguh.
3. Dilakukan dengan ikhlas

2.4 Manfaat Mempelajari Ilmu Akhlak

Berkenaan dengan manfaat mempelajari Ilmu Akhlak ini, Ahmad Amin mengatakan sebagai
berikut:

Tujuan mempelajari Ilmu Akhlak dan permasalahannya menyebabkan kita dapat menetapkan
sebagian perbuatan lainnya sebagai yang baik dan sebagian perbuatan lainnya sebagai yang
buruk. Bersikap adil termasuk baik, sedangkan berbuat zalim termasuk perbuatan buruk,
membayar hutang kepada pemiliknya termasuk perbuatan baik, sedangkan mengingkari
hutang termasuk perbuatan buruk.[7]

Selanjutnya Mustafa Zahri mengatakan bahwa tujuan perbaikan akhlak itu, ialah untuk
membersihkan kalbu dari kotoran hawa nafsu dan amarah sehingga hati menjadi bersih.

TASAWUF

2.4 Pengertian tasawuf

Sebelum lebih jauh membahas tentang asal-usul tasawuf, sedikit kami berikan pengertian
singkat sufi dan tasawuf. Ada beberapa pendapat tentang asal-usul kata tasawuf. Ada yang
mengatakan bahwa tasawuf berasal dari kata safa’, artinya suci, bersih atau murni. Karena
memang, jika dilihat dari segi niat maupun tujuan dari setiap tindakan dan ibadah kaum sufi,
maka jelas bahwa semua itu dilakukan dengan niat suci untuk membersihkan jiwa dalam
mengabdi kepada Allah SWT.[1] Ada lagi yang mengatakan tasawuf berasal dari kata saff,
artinya saff atau baris. Mereka dinamakan sebagai para sufi, menurut pendapat ini, karena
berada pada baris (saff) pertama di depan Allah, karena besarnya keinginan mereka akan Dia,
kecenderungan hati mereka terhadap-Nya.[2] Ada pula yang mengatakan bahwa tasawuf
berasal dari kata suffah atau suffah al Masjid, artinya serambi mesjid. Istilah ini dihubungkan
dengan suatu tempat di Mesjid Nabawi yang didiami oleh sekelompok para sahabat Nabi
yang sangat fakir dan tidak mempunyai tempat tinggal. Mereka dikenal sebagai ahli suffah.
Mereka adalah orang yang menyediakan waktunya untuk berjihad dan berdakwah serta
meninggalkan usaha-usaha duniawi. Jelasnya, mereka dinamakan sufi karena sifat-sifat
mereka menyamai sifat orang-orang yang tinggal di serambi mesjid (suffah) yang hidup pada
masa nabi SAW.[3] Sementara pendapat lain mengatakan bahwa tasawuf berasal dari kata
suf, yaitu bulu domba atau wol. Hal ini karena mereka (para sufi) tidak memakai pakaian
yang halus disentuh atau indah dipandang, untuk menyenangkan dan menenteramkan jiwa.
Mereka memakai pakaian yang hanya untuk menutupi aurat dengan bahan yang terbuat dari
kain wol kasar (suf).[4]

Sedangkan tasawuf menurut beberapa tokoh sufi adalah seperti berikut:[5]

1. Bisyri bin Haris mengatakan bahwa sufi ialah orang yang suci hatinya menghadap
Allah SWT.
2. Sahl at-Tustari mengatakan bahwa sufi ialah orang yang bersih dari kekeruhan, penuh
dengan renungan, putus hubungan dengan manusia dalam menghadap Allah SWT,
dan baginya tiada beda antara harga emas dan pasir.
3. Al-Junaid al-Bagdadi (w. 289 H), tokoh sufi modern, mengatakan bahwa tasawuf
ialah membersihkan hati dari sifat yang menyamai binatang dan melepaskan akhlak
yang fitri, menekan sifat basyariah (kemanusiaan), menjauhi hawa nafsu, memberikan
tempat bagi kerohanian, berpegang pada ilmu kebenaran, mengamalkan sesuatu yang
lebih utama atas dasar keabadiannya, memberi nasihat kepada umat, benar-benar
menepati janji terhadap Allah SWT, dan mengikuti syari’at Rasulullah SAW.
4. Abu Qasim Abdul Kari mal-Qusyairi memberikan definisi bahwa tasawuf ialah
menjabarkan ajaran-ajaran al-Qur’an dan sunah, berjuang mengendalikan nafsu,
menjauhi perbuatan bid’ah, mengendalikan syahwat, dan menghindari sikap
meringan-ringankan ibadah.
5. Abu Yazid al-Bustami secara lebih luas mengatakan bahwa arti tasawuf mencakup tiga
aspek, yaitu kha (melepaskan diri dari perangai yang tercela), ha (menghiasi diri
dengan akhlak yang terpuji) dan jim (mendekatkan diri kepada Tuhan).

2.5 Asal usul tasawuf

Tasawuf Islam bersumber dari al-Qur’an dan Hadis. Banyak ayat al-Qur’an dan Hadis Nabi
SAW. berbicara tentang hubungan antara Allah dengan hamba-Nya manusia, diantaranya
seperti tertulis pada pendahuluan di atas.

Secara umum Islam mengatur kehidupan yang bersifat lahiriah atau jasadiah, dan kehidupan
yang bersifat batiniah. Pada unsur kehidupan yang bersifat batiniah inilah kemudian lahir
tasawuf. Unsur kehidupan tasawuf ini mendapat perhatian yang cukup besar dari sumber
ajaran Islam, al-Qur’an dan al-Sunnah serta praktek kehidupan Nabi dan sahabatnya. Lebih
jauh, al-Qur’an berbicara tentang kemungkinan manusia dan Tuhan dapat saling mencintai
(mahabbah) seperti dalam al-Maidah: 54; perintah agar manusia senantiasa bertaubat (at-
Tahrim: 8); petunjuk bahwa manusia akan senantiasa bertemu dengan Tuhan dimanapun
mereka berada (al-Baqarah: 110); Allah dapat memberikan cahaya kepada orang yang
dikehendaki (an-Nur: 35); Allah mengingatkan manusia agar dalam hidupnya tidak
diperbudak oleh kehidupan dunia dan harta benda (al-Hadid, al-Fathir: 5); dan senantiasa
bersikap sabar dalam menjalani pendakatan diri kepada Allah SWT (Ali Imron: 3).[6]

Begitu juga perintah Allah untuk ikhlas semata mengharap ridha-Nya dalam beribadah (al-
Bayinah: 5); berperilaku jujur (al-Anfal: 58), adil, taqwa (al-Maidah: 6); yakin, tawakal (al-
Anfal: 49); qonaah, rendah hati dan tidak sombong (al-Isra’:37); beribadah dengan penuh
pengharapan terhadap ridha-Nya (raja’) (al-Kahfi: 110), takut terhadap murka Allah atas
segala dosa (khauf) (at-Tahrim: 6); menahan hawa nafsu (Yusuf: 53); amar ma’ruf nahi
munkar (Ali Imron: 104); dan banyak lagi konsep akhlak dan amal diajarkan dalam al-Qur’an
kesemuanya adalah sumber tasawuf dalam Islam.

Sejalan dengan apa yang dibicarakan al-Qur’an, as-Sunnah pun banyak berbicara tentang
kehidupan rohaniah. Teks hadis qudsi berikut dapat dipahami dengan pendekatan tasawuf:

‫كنت كنزا مخفيا فاحببت ان اعرف فخلقت الخلق فبى عرفونى‬

“Aku adalah perbendaharaan yang tersembunyi, maka Aku menjadikan makhluk agar
mereka mengenal-Ku”.

Hadis tersebut memberi petunjuk bahwa alam raya, termasuk manusia adalah merupakan
cermin Tuhan, atau bayangan Tuhan. Tuhan ingin mengenalkan diri-Nya melalui penciptaan
alam ini. Dengan demikian dalam alam raya ini terdapat potensi ketuhanan yang dapat
didayagunakan untuk mengenal-Nya. Dan apa yang ada di alam raya ini pada hakikatnya
adalah milik Tuhan dan akan kembali kepada-Nya, sebagaimana firman-Nya dalam al-
Baqarah: 156: “Orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: “Inna
lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun” Sesungguhnya Kami adalah milik Allah dan kepada-Nya-
lah Kami kembali.” dan al-Baqarah 45-46: “Jadikanlah sabar dan shalat sebagai
penolongmu. dan Sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang
yang khusyu’, (yaitu) orang-orang yang meyakini, bahwa mereka akan menemui Tuhannya,
dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya.”

Juga hadis riwayat Imam Bukhari berikut yang menyatakan:

‫ال يزال العبد يتقرب الي بالنوافل حتى احبه فاذا احببته كنت سمعه الذى يسمع وبصره الذى يبصر به ولسانه الذى ينطق به‬
.‫ويده الذى يبطش بها ورجله الذى يمشوى بها فبى يسمع فبى يبصر وبى ينطق وبى يعقل وبى يبطش وبى يمشى‬

“Senantiasa seorang hamba itu mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan sunat,
sehingga Aku mencintainya. Maka apabila Aku mencintainya maka jadilah Aku
pendengarannya yang dia pakai untuk mendengar, penglihatannya yang dia pakai untuk
melihat, lidahnya yang dia pakai untuk berbicara, tangannya yang dia pakai untuk mengepal
dan kakinya yang dia pakai untuk berjalan; maka dengan-Ku lah dia mendengar, melihat,
berbicara, berfikir, meninju dan berjalan.”
Hadis tersebut memberi petunjuk dapat bersatunya manusia dan Tuhan, yang selanjutnya
dikenal dengan istilah al-Fana’ yaitu fana’nya makhluk kepada Tuhan yang saling mencintai.

Benih-benih tasawuf dipraktekkan langsung oleh Muhammad SAW. dalam kehidupan


kesehariannya. Perilaku hidup Nabi SAW sebelum diangkat menjadi Rasul, berhari-hari
beliau berkhalawat di gua Hira’, terutama pada bulan Ramadhan. Di sana Nabi SAW banyak
berzikir dan bertafakur mendekatkan diri kepada Allah SWT. Pengasingan diri Nabi SAW. di
gua Hira’ ini merupakan acuan utama para sufi dalam berkhalawat. Puncak kedekatan Nabi
SAW dengan Allah terjadi ketika beliau melakukan Isro’ wal mi’roj. Dikisahkan Nabi
berdialog langsung dengan Allah ketika menerima perintah Shalat lima waktu.

Perikehidupan (sirah) Nabi SAW juga merupakan benih-benih tasawuf, yaitu pribadi Nabi
yang sederhana, zuhud, dan tidak pernah terpesona oleh kemewahan dunia. Dalam salah satu
do’anya nabi bermohon: “Wahai Allah, hidupkanlah aku dalam kemiskinan dan matikanlah
aku selaku orang miskin.” (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah dan Hakim). Pada suatu waktu Nabi
SAW datang ke rumah istrinya, Aisyah binti Abu Bakar as-Shidiq, ternyata di rumahnya
tidak ada makanan. Keadaan seperti ini diterimanya dengan sabar, lalu beliau menahan
laparnya dengan berpuasa (HR. Abu Daud, Tirmidzi dan Nasai). Nabi juga sering mengganjal
perutnya dengan batu sebagai penahan lapar.

Cara beribadah Nabi SAW juga merupakan cikal-bakal tasawuf. Nabi SAW adalah orang
yang paling tekun beribadah. Dalam satu riwayat dari Aisyah RA disebutkan bahwa pada
suatu malam Nabi SAW mengerjakan shalat malam; di dalam shalat lututnya bergetar karena
panjang, banyak rakaat serta khusu’ dalam shalatnya. Tatkala ruku’ dan sujud terdengar suara
tangisnya, namun beliau tetap terus melakukan shalat sampai suara azan Bilal bin Rabah
terdengar di waktu subuh. Melihat Nabi SAW demikian tekun melakukan shalat, Aisyah
bertanya: “Wahai junjungan, bukankah dosamu yang terdahulu dan akan datang telah
diampuni Allah, kenapa engkau masih terlalu banyak melakukan shalat?” Nabi SAW
menjawab: ‘Aku ingin menjadi hamba yang banyak bersyukur”. (HR. Bukhari dan Muslim).

Akhlak Nabi SAW merupakan acuan akhlak yang tiada bandingannya. Akhlak Nabi bukan
hanya dipuji oleh manusia termasuk musuh-musuhnya, tetapi juga oleh Allah SWT. Allah
berfirman: “Dan sesungguhnya kamu (Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang
agung”. (QS. 68:4). Dan ketika Aisyah ditanya tentang akhlak Nabi SAW, ia menjawab:
“Akhlaknya adalah al-Qur’an”. (HR. Ahmad dan Muslim).

Ajaran rasul tentang bersikap dan berperilaku dalam kehidupan sehari-hari banyak diikuti
oleh para sahabatnya, dilanjutkan oleh para tabi’in, tabiit tabi’in dan seluruh Muslim hingga
saat ini . Mereka mengikuti firman Allah: “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah
itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang-orang yang mengharap (rahmat)
Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (Al-Ahzab: 21).

Demikian sekilas asal-usul tasawuf dalam Islam. Jelas asal-usul tasawuf Islam bersumber dari
al-Qur’an dan Hadis. Namun demikian perlu juga kita perhatikan pendapat dari kalangan
orientalis Barat. Mereka mengatakan bahwa sumber yang membentuk tasawuf itu ada lima,
yaitu unsur Islam, unsur Masehi (agama Nasrani), unsur Yunani, unsur Hindu/Budha dan
unsur Persia. Unsur dari Islam sudah dijelaskan pada penjelasan sebelumnya, selanjutnya
unsur di luar Islam yang masuk ke dalam tasawuf menurut orientalis dapat dijelaskan berikut:
1. Unsur Masehi (agama Nasrani)

Orang Arab sangat menyukai cara kependataan, khususnya dalam hal latihan jiwa dan ibadah.
Atas dasar ini Von Kromyer berpendapat bahwa tasawuf adalah buah dari unsur agama
Nasrani yang terdapat pada zaman Jahiliyah.Hal ini diperkuat pula oleh Gold Ziher yang
mengatakan bahwa sikap fakir dalam Islam adalah merupakan cabang dari agama Nasrani.
Selanjutnya Noldicker mengatakan bahwa pakaian kasar yang kelak digunakan para sufi
sebagai lambang kesederhanaan hidup adalah merupakan pakaian yang biasa dipakai oleh
para pendeta. Sedangkan Nicholson mengatakan bahwa istilah-istilah tasawuf itu berasal dari
agama Nasrani, dan bahkan ada yang berpendapat bahwa aliran tasawuf berasal dari agama
Nasrani.[7]

Unsur lain yang dikatakan berasal dari Nasrani adalah sikap fakir. Menurut keyakinan
Nasrani bahwa Isa bin Maryam adalah seorang yang fakir, dan Injil juga disampaikan kepada
orang fakir. Isa berkata: “Beruntunglah kamu orang-orang miskin, karena bagi kamulah
kerajaan Allah. Beruntunglah kamu orang yang lapar, karena kamu akan kenyang.”
Selanjutnya adalah sikap tawakal kepada Allah dalam soal penghidupan terlihat pada peranan
syekh yang menyerupai pendeta, bedanya pendeta dapat menghapus dosa; selibasi, yaitu
menahan diri tidak kawin karena kawin dianggap dapat mengalihkan perhatian diri dari
Khalik, dan penyaksian, dimana sufi dapat menyaksikan hakikat Allah dan mengadakan
hubungan dengan Allah.[8]

2. Unsur Yunani

Kebudayaan Yunani yaitu filsafatnya telah masuk pada dunia Islam di mana
perkembangannya dimulai pada akhir Daulah Umayyah dan puncaknya pada Daulah
Abbasiyah, metode berpikir filsafat Yunani ini juga telah ikut mempengaruhi pola fikir
sebagian orang Islam yang ingin berhubungan dengan Tuhan. Pada persoalan ini, boleh jadi
tasawuf yang terkena pengaruh Yunani adalah tasawuf yang kemudian diklasifikasikan
sebagai tasawuf yang bercorak filsafat. Hal ini dapat dilihat dari pikiran al-Farabi, al-Kindi,
Ibnu Sina, terutama dalam uraian tentang filsafat jiwa. Demikian juga pada uraian-uraian
tasawuf dari Abu Yazid, al-Hallaj, Ibnu Arabi, Syukhrawardi, dan lain sebagainya.[9]

Selain itu, ada yang mengatakan bahwa masuknya filsafat ke dunia Islam melalui mazhab
paripatetic dan Neo-Platonisme. Mazhab yang pertama (paripatetic) kelihatannya lebih
banyak masuk ke dalam bentuk skolastisisme ortodoks (kalam), sedangkan untuk Neo
Platonisme lebih masuk kepada dunia tasawuf.

Filsafat emanasinya Plotinus yang mengatakan bahwa wujud ini memancar dari zat Tuhan
Yang Maha Esa menjadi salah satu dasar argumentasi para orientalis dalam menyikapi asal
mula tasawuf di dunia Islam. Dalam emanasinya, Plotinus menjelaskan bahwa roh berasal
dari Tuhan dan akan kembali kepada Tuhan. Akan tetapi ketika masuk ke alam materi, roh
menjadi kotor, dan untuk kembali ke tempat asalnya, roh harus terlebih dahulu dibersihkan.
Penyucian roh dilakukan dengan cara meninggalkan dunia dan mendekati Tuhan sebisa
mungkin, atau bersatu dengan Tuhan. Dikatakan pula bahwa filsafat ini mempunyai pengaruh
terhadap munculnya kaum zahid dan sufi dalam Islam.[10]

3. Unsur Hindu/Budha
Tasawuf dan sistem kepercayaan agama Hindu memiliki persamaan, seperti sikap fakir.
Darwis Al-Birawi mencatat adanya persamaan cara ibadah dan mujahadah pada tasawuf dan
ajaran Hindu. Demikian juga pada paham reinkarnasi (perpindahan roh dari satu badan ke
badan lain), cara pelepasan dari dunia versi Hindu-Budha dengan persatuan diri dengan jalan
mengingat Allah.[11]

Salah satu maqamat sufiah al-Fana nampaknya ada persamaan dengan ajaran Nirwana dalam
agama Hindu. Gold Ziher mengatakan bahwa ada hubungan persamaan antara tokoh Sidharta
Gautama dengan Ibrahim bin Adham tokoh sufi.[12]

Menurut Qomar Kailan pendapat-pendapat ini terlalu ekstrim sekali karena kalau diterima
bahwa ajaran tasawuf itu berasal dari Hindu/Budha berarti zaman Nabi Muhammad telah
berkembang ajaran Hindu/Budha itu ke Mekkah, padahal sepanjang sejarah belum ada
kesimpulan seperti itu.[13]

4. Unsur Persia

Sebenarnya Arab dan Persia memiliki hubungan sejak lama, yaitu pada bidang politik,
pemikiran, kemasyarakatan dan sastra. Namun, belum ditemukan argumentasi kuat yang
menyatakan bahwa kehidupan rohani Persia telah masuk ke tanah Arab. Yang jelas
kehidupan kerohanian Arab masuk ke Persia hingga orang-orang Persia itu terkenal sebagai
ahli-ahli tasawuf. Barangkali ada persamaan antara istilah zuhud di Arab dengan zuhud
menurut agama Manu dan Mazdaq; antara istilah Hakikat Muhammad dan paham Hormuz
(Tuhan Kebaikan) dalam agama Zarathustra.[14]

Dari semua uraian di atas dapatlah disimpulkan bahwa sebenarnya tasawuf itu bersumber dari
ajaran Islam itu sendiri ialah al-Qur’an dan Sunah, mengingat yang dipraktekkan Nabi SAW
dan para sahabat. Namun setelah tasawuf itu berkembang menjadi pemikiran, bisa saja ia
mendapat pengaruh dari luar seperti filsafat Yunani dan sebagainya. Dan andaipun terdapat
persamaan dengan ajaran beberapa agama, kemungkinan yang dapat terjadi adalah persamaan
dengan agama-agama samawi (Nasrani dan Yahudi), mengingat semua agama samawi
berasal dari tuhan yang sama Allah SWT yang dalam Islam diyakini sama mengajarkan
tentang ketauhidan.

2.5 Hubungan akhlak dan tasawuf

Akhlak dan Tasawuf saling berkaitan. Akhlak dalam pelaksanaannya mengatur hubungan
horizontal antara sesama manusia, sedangkan tasawuf mengatur jalinan komunikasi vertical
antara manusia dengan Tuhannya. Akhlak menjadi dasar dari pelaksanaan tasawuf, sehingga
dalam prakteknya tasawuf mementingkan akhlak. Hubungan akhlak dan tasawuf tidak bisa
terpisashkan karena kesucian hati akan membentuk akhlakjyang baik pula .Pada intinya
seseorang yang masuk kedalamn dunia tasawuf hgarus munundukan jasmani dan rohani
dengan cara mendekatkan diri kepada Allah dan menjaga akhlak yang baik.

2.6 Tujuan Tasawuf

Adapun tujuan tasawuf adalah:


1. Menurut Harun Nasution, tujuan tasawuf adalah mendekatkan diri
sedekat mungkin dengan Tuhan sehingga ia dapat melihat-Nya dengan mata
hati bahkan rohnya dapat bersatu dengan Roh Tuhan.[15]
2. Menurut K. Permadi, tujuan tasawuf ialah fana untuk mencapai
makrifatullah, yaitu leburnya diri pribadi pada kebaqaan Allah, dimana
perasaan keinsanan lenyap diliputi rasa ketuhanan.[16]

Dengan demikian inti dari ajaran tasawuf adalah menempatkan Allah sebagai pusat segala
aktivitas kehidupan dan menghadirkan-Nya dalam diri manusia sebagai usaha memperoleh
keridaan-Nya

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

1. Kata akhlak diartikan sebagai budi pekerti, peranggai, tingkah laku atau tabiat.
Ahklak adalah hal yang melekat dalam jiwa, dan dari kebiasaan itu akan timbul
perbuatan-perbuatan yang mudah tanpa dipikirkan oleh manusia.
2. Tasawuf itu bersumber dari ajaran Islam itu sendiri ialah al-Qur’an dan Sunah,
mengingat yang dipraktekkan Nabi SAW dan para sahabat. Namun setelah tasawuf itu
berkembang menjadi pemikiran, bisa saja ia mendapat pengaruh dari luar seperti
filsafat Yunani dan sebagainya. Dan andaipun terdapat persamaan dengan ajaran
beberapa agama, kemungkinan yang dapat terjadi adalah persamaan dengan agama-
agama samawi (Nasrani dan Yahudi), mengingat semua agama samawi berasal dari
tuhan yang sama Allah SWT yang dalam Islam diyakini sama mengajarkan tentang
ketauhidan

BAB IV

DAFTAR PUSTAKA

Abudin Nata, Dr. MA. Akhlak Tasawuf. Jakarta: RadjaGrafindo Persada, 2002

al-Ghazali. Ihya’ Ulumu al-Din. Jilid III. Beirut: Dar al-Fikr, t.t.

AL-HABSYI, HUSIN. ___________. Kamusal-Kautsar. Surabaya: Assegaf.

AMIN, AHMAD. __________.Kitab al-Akhlaq. __________: Mesir-Daral-Kutubal-


Mishriyah, cet. III.

Asmaran As, Drs. MA. Pengantar Studi Tasawuf. Jakarta: RadjaGrafindo Persada, 1996
http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Konteks/TasawufHN1.html

MAHJUDIN, Drs. 1991. Kuliah Akhlak-Tasawuf. Jakarta: Kalam Mulia.

MUSTOFA, Drs. H. A. 1999. Akhlak-Tasawuf. Bandung: CV. Pustaka Setia.

NATA, Prof. Dr. H. ABUDDIN, M.A. 2006. Akhlak Tasawuf. Jakarta: PT. Taja Grafindo
Persada.

Permadi, K.Drs. S.H. Pengantar Ilmu Tasawuf. Jakarta: Rineka Cipta, 2004

Rosihon Anwar, Drs. M.Ag. Drs. Mukhtar Solihin, M.Ag. Ilmu Tasawuf. Bandung: Pustaka
Setia, 2000.

Simuh. Tasawuf dan Perkembangannya Dalam Islam. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1996

[1] Ahmad Amin, Kitab al-Akhlaq, (Mesir-Daral-Kutubal-Mishriyah, cet. III. t.t.), hlm. 2-3.

[2] Abd. Hamid Yunus, hlm. 436-437.

[3] Ibrahim Anis.

[4] Husin al –Habsyi, Kamusal-Kautsar, (Surabaya: Assegaf, t.c.), hlm. 87.

[5] Ahmad Amin, Kitab al-Akhlaq, hlm. 2.

[6] Drs. Mahjudin, Kuliah Akhlak-Tasawuf, Kalam Mulia Jakarta, 1991, hlm. 41.

[7] Amhad Amin, hlm. 1.

[1] Drs. Asmaran As, MA. Pengantar Studi Tasawuf. Jakarta: RadjaGrafindo Persada, 1996
hal.42-3

[2] Ibid.

[3]Ibid. hal. 44.

[4] Ibid. Hal 44-5.

[5] Drs. K. Permadi, S.H. Pengantar Ilmu Tasawuf. Jakarta: Rineka Cipta, 2004. hal. 28-9

[6] Dr. H. Abudin Nata, MA. Akhlak Tasawuf. Jakarta: RadjaGrafindo Persada, 2002. hal.
181

[15] http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Konteks/TasawufHN1.html
 Beranda
 TEMUAN ILMIAH TERBARU DAN AL QURAN
 12 AYAT MENUJU SUKSES
 Akibat Berbuat Maksiat
 Bahaya Zina dan Akibat Perzinahan
 Beberapa Keutamaan Bulan Ramadhan
 Cara Menghindari Zina
 Doa-Doa di Dalam Al-Qur’an
 Dua Kalimat Syahadat (Pilar Islam 1)
 Hal-Hal yang Membatalkan Puasa
 Hukum hukum haid
 Isra’ Mi’raj
 Kuliah Akhlak Tasawuf
 Kumpulan Hadits Nabi SAW
 Menegakkan Sholat (Pilar Islam 2)
 Obat Hati
 Puasa Yang Berbahaya
 RUKUN IMAN
 Rukun Islam
 Tata Surya

slam.alkambambangy2
RSS Entri | Comments RSS
 Pages
o TEMUAN ILMIAH TERBARU DAN AL QURAN
o 12 AYAT MENUJU SUKSES
o Akibat Berbuat Maksiat
o Bahaya Zina dan Akibat Perzinahan
o Beberapa Keutamaan Bulan Ramadhan
o Cara Menghindari Zina
o Doa-Doa di Dalam Al-Qur’an
o Dua Kalimat Syahadat (Pilar Islam 1)
o Hal-Hal yang Membatalkan Puasa
o Hukum hukum haid
o Isra’ Mi’raj
o Kuliah Akhlak Tasawuf
o Kumpulan Hadits Nabi SAW
o Menegakkan Sholat (Pilar Islam 2)
o Obat Hati
o Puasa Yang Berbahaya
o RUKUN IMAN
o Rukun Islam
o Tata Surya
 Kategori
o Kategori
 Uncategorized (1)
 Arsip
o Juni 2009

Kuliah Akhlak Tasawuf

A. Pengertian akhlaq dan tasawuf, 1. Pengertian Akhlaq. Secara etimologis ahkhlaq adalah
bentuk jamak dari khuluq yang artinya budi pekerti, tingkah laku, perangai atau tabi?at.
Mempunyai sinonim etika dan moral. Etika dan moral berasal dari bahasa Latin yang berasal
dari kata etos : kebiasaan dan mores artinya kebiasaannya. Kata akhlaq berasal dari kata kerja
khalaqa yang artinya menciptakan. Khaliq maknanya pencipta atau Tuhan dan makhluq
artinya yang diciptakan, sedangkang khalaq maknanya penciptaan. Kata khalaqa yang
mempunyai kata yang seakar diatas mengandung maksud bahwa akhlaq merupakan jalinan
yang mengikat atas kehendak Tuhan dan manusia. Pada makna lain kata akhlaq dapat
diartikan tata perilaku seseorang terhadap orang lain. Jika perilaku atupun tindakan tersebut
didasarkan atas kehendak Khaliq (Tuhan) maka hal itu disebut sebagai akhlaq hakiki. Dengan
demikian akhlaq dapat dimaknai tata aturan atau norma prilaku yang mengatur hubungan
antara manusia dengan Tuhan serta alam semesta.

Pengertian akhlaq secara terminologis menurut :

a) Imam Ghozali :

‫الخلق عبارة عن هيئة في النفس راسخة عنها تصدر األفعال بسهولة ويسر من غير حاجة إلى فكر ورؤية‬.

?Akhlaq adalah sifat yang tertanam dalam jiwa (manusia) yang melahirkan perbuatan-
perbuatan dengan mudah tanpa memerlukan pemikiran maupun pertimbangan?.
b) Ibnu Maskawaih :

‫ الخلق حال للنفس داعية لها إلى أفعالها من غير فكر وروية‬.

?Akhlaq adalah gerak jiwa yang mendorong kearah melakukan perbuatan dengan tidak
membutuhkan pikiran?.

c) Menurut Ahmad Amin :

‫الخلق عادة اإلرادة‬

?Khuluq (akhlaq) adalah membiasakan kehendak?.

Dari berbagai definisi diatas, definisi yang disampaikan oleh Ahmad Amin lebih jelas
menampakkan unsur yang mendorong terjadinya akhlaq yaitu ?adah : kebiasaan dan iradah :
kehendak. Jika ditampilkan satu contoh proses akhlaq adalah ;

1) Dalam ?adah; – harus ada kecenderungan untuk melakukan sesuatu, – terdapat


pengulangan yang sering dikerjakan sehingga tidak memerlukan pikiran.

2) Dalam iradah: a) lahir keinginan-keinginan setelah ada rangsangan (stimulan) melalui


indra-indranya b) muncul kebimbangan, mana yang harus dipilih diantara keinginan-
keinginan itu. Padahal harus memilih satu dari keinginan tersebut. c) mengambil keputusan
dengan menentukan keinginan yang diprioritaskan diantara banyak keinginan tersebut.

Contoh Pada jam 2 siang seorang berangkat ke pasar untuk mencari bengkel motor untuk
membeli kampas rem. Di saat memasuki lorong gang, ketika menoleh ke arah kanan melihat
warung makan yang penuh sesak dan kepulan bau nikmat yang ia hirup. Sesaat kemudian
melihat arah kiri, terdapat es cendol yang laris dibeli orang. Padahal orang tersebut sudah
lapar dan haus. Sementara di arah depan kelihatan mushalla yang nampak bersih dan dilihat
hilir mudik orang sembahyang. Kemudian orang tersebut menentukan shalat terlebih dahulu
karena mempertimbangkan jam yang sudah limit. Kesimpulan yang dipilih oleh orang
tersebut setelah banyak mempertimbangkan beberapa keinginan disebut iradah. Jika iradah
tersebut dibiasakan setiap ada beberapa keinginan dengan tanpa berpikir panjang karena
sudah dirasakan oleh dirinya maka disebut akhlak.

Sebaliknya ada seorang kaya, mendengarkan pengajian Da?i kondang menjelaskan hikmah
infaq. Orang itu kemudian tertarik dan secara spontan memberikan uang satu juta rupiah
untuk didermakan. Orang tersebut belum termasuk dermawan, karena pemberiannya ada
dorongan dari luar. Orang tidak termasuk ramah tamu jika ia senang membeda-bedakan tamu
yang datang. Dengan demikian akhlaq bersifat konstan (tetap-selalu) spontan, tidak temporer
dan juga tidak memerlukan pemikiran dan pertimbangan serta dorongan dari luar.

Disamping akhlaq ada istilah lain disebut etika dan moral masing-masing bahasa Latin. Tiga
istilah diatas sama ?sama menentukan nilai baik dan buruk sikap perbuatan seseorang.
Bedanya akhlaq mempunyai standar ajaran yang bersumber kepada al-Qur?an dan Sunnah
Rasul. Etika berstandar kepada akal pikiran, sedangkan moral bersumber kepada adat
kebiasaan yang umum berlaku di masyarakat. Dalam penggunaan kata-kata tersebut kadang-
kadang terjadi tumpang tindih, seperti Hassan Shadily menggunakan istilah moral sama
dengan akhlaq.
1. Sumber Akhlaq;

Ukuran yang dapat menentukan perbuatan itu dianggap baik ? buruk, mulia atau tercela
dalam akhlaq adalah Al-Qur?an dan Sunnah Rasul. Bukan akal pikiran dan adat kebiasaan,
seperti dalam etika dan moral dan bukan pula baik dan buruk ditentukan dengan akal dengan
sendirinya menurut faham Mu?tazilah. Sifat-sifat baik (terpuji) dituntun dalam syara? seperti
sabar, syukur, pema?af, pemurah dan jujur, sebaliknya sifat ?sifat congkak, dendam, kikir,
dusta adalah sifat-sifat yang dicela oleh syara?. Dengan demikian syara? berperan untuk
menuntun ajaran tersebut.

Apakah fitrah (hati nuirani), akal dan kebiasaan masyarakat dapat dijadikan ukuran baik ?
buruk, terpuji ? tercela satu perbuatan. Fitrah tidak serta merta dapat dijadikan dasar untuk
menentukan baik ? buruk, tercela ?terpuji suatu perbuatan, karena ia adalah potensi dasar
yang dimiliki seseorang yang tidak selalu terjamin berfungsi dengan baik. Sebab dapat
dipengaruhi dari luar, seperti pengaruh pendidikan dan lingkungan. Akal juga bagian dari
salah satu kekuatan yang dimiliki manusia untuk mencari kebaikan dan menghindari
keburukan dari pengalaman empiris, tapi bersifat spekulatif dan subyektif. Kebiasaan
masyarakat (pandangan masyarakat) dapat menentukan baik-buruk suatu hal, tetapi sangat
relatif, karena akan tergantung pada kemurnihan dan kejernihan pikiran mereka. Karena itu
cara untuk menentukan baik-buruk, terpuji ? tercela yang mentukan hanya ajaran Al-Qur?an
dan Sunnah Rasul saw.

2. Ruang Lingkup Akhlaq

Abdullah Dr�z dalam buku Dustur al-akhlaq fi al-Islam membagi ruang lingkup akhlaq lima
macam ;

1) ‫ = األخال ق الفرد ية‬akhlaq perorangan. Akhlak ini dibagi menjadi a) semua hal yang
diperintahkan 9al-awamir) b) segala yang dilarang ( al-nawahi) c) hal-hal yang diperbolehkan
( al-munahat) dan d) akhlak dalam keadaan darurat al-mukhalafah bi al-idhthirar).

2) ‫ = األخال ق األ سرية‬akhlak keluarga; terbagi menjadi a) kewajiban timbal bail orang tua dan
anak (wajibat nahwa ushul wa al-furu?) b) kewajiban suami ? isteri ( wajibat baina al-azwaj)
c) kewajiban terhadap kerabat dekat ((wajibat nahwa al-aqarib).

3) ‫ = األخال ق اإلجتماعية‬Akhlak bermasyarakat, meliputi a) hal-hal yang dilarang (al-


makhdzurat) b) hal-hal yang diperintahkan (al-awamir) dan c) kaidah-kaidah adab (qawa?id
al-adab).

4) ‫ = األخالق الد و لة‬Akhlak bernegara meliputi ; a) hubungan antara pemimpin dan rakyat (al-
?alaqah baina al-rais wa al-sya?b) b) hubungan luar negeri (al-alaqah al-kharijiyyah).

5) ‫ = األخال ق الد ينية‬Akhlak beragama; kewajiban terhadap Allah swt.

Ruang lingkup di atas dipandang sangat luas karena mencakup semua aspek kehidupan.
Secara vertikal hubungan dengan sang Haliq dan secara horizontal dengan sesama manusia.
Jika ruang lingkup akhlak tersebut dipersempit tetapi memiliki cakupan yang menyeluruh
maka akhlak tersebut dapat dibagi menjadi ;

a) Akhlak (tata krama) kepada Allah swt.


b) Akhlak kepada Rasul Allah saw.

c) Akhlak untuk diri pribadi.

d) Akhlak dalam keluarga.

e) Akhlak dalam masyarakat.

f) Ahlak bernegara.

Ciri-ciri akhlak dalam Islam ada lima macam;

1) Akhlak rabbani; adalah akhlak yang bersumber kepada wahyu Ilahi yang tercantum dalam
Al-Qur?an dan Sunnah Rasul saw. Akhlak rabbani menekankan pada tujuan untuk
memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat. Sumber akhlak rabbani adalah bukan etika
dan moral (seperti penjelasan di atas). Kebenaran nilai dalam akhlak ini bersifat mutlak dan
terhindar dari nilai moral yang kacau. Ayat yang berhubungan dengan akhlak sekitar 1500
ayat dan banyak hadits Nabi .Seperti isyarat dalam QS al-Baqarah [2]: 153 ; ‫وأن هذا صراطي‬
‫ وال تتبعوا السبل فتفرق بكم عن سبيله‬, ‫… مستقيما فاتبعو ه‬

?Inilah jalan-Ku yang lurus, hendaklah kamu mengikutinya jangan kamu ikuti jalan-jalan
lain, sehingga kamu bercerai-berai dari jalan-Nya?? .

2) Akhlak manusiawi; adalah ajaran akhlak untuk manusia yang membutuhkan kebahagiaan
yang hakiki. Ajaran ini diperlukan untuk memenuhi tuntutan fitrahnya, karena untuk
memelihara eksistensi manusia sebagai mahluk terhormat.

3) Akhlak universal; adalah ajaran akhlak yang mencakup semua aspek kehidupan manusia
baik dalam dimensi vertikal maupun horizontal. Seperti kandungan QS al-An?am [6] : 151,
bahwa manusia wajib menghindari sepuluh keburukan, yaitu syirik, ?aq lil walidain, qatlul
walad lil imlaq, perbuatan keji terbuka atau tertutup, qatlu nafs illa bil haq, aklu malil yatim,
tathfif fil kail wal wazn, membebani orang lain lampaui batas, persaksian tidak adil dan
khianat.

4) Ahlak keseimbangan; manuisia mempunyai akhlak yang bersumber pada hati nurani, akal
dan kekuatan buruk yang didorong hawa nafsu. Setiap orang mempunyai naluriah hewani dan
naluriah malaikat. Juga mempunyai unsur ruhani dan jasmani. Masing-masing membutuhkan
pelayanan yang seimbang. Kerena manusia menghendaki dua kebahagiaan yang seimban,
yaitu dunia ? akhirat, maka pemenuhan kebutuhan tersebut juga dilakukan secara seimbang.

5) Akhlak realistik; manusia mempunyai kelemahan di sisi kelebihan yang dimilikinya.


Manusia biasa melakukan kesalahan-kesalahan atau pelanggaran. Ajaran ini memberi
kesempatan kepada manusia untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan dengan bertaubat.

2. Pengertian Tasawuf.

Lafal tasawuf adalah kata jadian yang berasal dari ;

a) ‫تصوف – يتصوف – تصوفا‬Berasal dari kata ‫ صا ف – يصوف – صوفا‬yang artinya suci, bersih atau
murni. Kesucian, kebersihan dan kemurnian kalangan sufi terlihat dari niatnya yang suci,
bersih dan murni semata-mata mengharap keridlaan Allah swt. berbulu banyak. Golongan ini
mestinya harus diebut ahli safawi.

b) Ada yang menganggap berasal dari kata shaff yang artinya barisan. Kalangan sufi
menganggap mereka dibarisan paling depan, karena rindu dan keinginan mereka bersamama-
Nya. Istilah ini jika digunakan untuk kalangan sufi disebut ahli saffi.

c) Ada juga yang menganggap berasal dari kata suffat al-masjid = serambi masjid.
Sekelompok sahabat Nabi yang hidup di serambi masjid Nabawi. Mereka meninggalkan
kehidupan duniawi, sanak saudara, menyediakan seluruh waktunya untuk mendampingi
Rasul serta jihad dan dakwah. Menurut Sughrawardi mereka hidup dan berkumpul di
Zawiyah dan Ribat. (sekarang mirip dengan Pondok Pesantren) Rasul. sendiri mengajak
untuk memperhatikan dan memberi bantuan kepada mereka. Kemudian terkenal dengan ahlu
suffah. Jika kata sufi berasal dari makna ini maka mereka disebut ahli suffi.

d) Tasawuf berasal dari kata suf = wol kasar. Kalangan sufi tidak menggunakan kain yang
halus untuk menyenangkan hati dan konsentrasi untuk mencintai Tuhan, akan tetapi mereka
hanya menggunakan pakaian apa adanya. Terbuat dari kain kasar = suf. Secara etimologis
pengambilan kata tasawuf dari kata suf lebih dapat diterima karena. Menurut Al-Kalabazi
penggunaan kata tasawuf dari suf tepat jika memperhatikan gramatika bahasa. Kalangan sufi
ini menjauhkan diri dari dunia, meninggalkan tempat tinggal mereka dengan melakukan
pengembaraan. Menolak kesenangan jasmani, memurnikan dan mentuluskan ibadah serta
membersihkan kesadaran.

Secara terminologis makna tasawuf dijelaskan sebagai berikut ;

a) Menurut Ibrahim Hilal; Tasawuf adalah memilih jalan hidup secara zuhud, menjauhkan
diri dari perhiasan hidup dalam segala bentuknya. Ibrahim lebih lanjut menambahkan bahwa
cara tasawuf bermacam-macam yaitu, ibadah, wirid, lapar, berjaga diwaktu malam dengan
memperbanyak shalat dan ibadah lainnya. Cara ini dilakukan agar sahwat jasmaniyah lemah
sedangkan semangat ruhaniyah tinggi. Pada initinya seseorang yang masuk dunia tasawuf
harus menundukkan jasmani dan rohani dengan cara-cara tersebut diatas, agar dapat
mencapai hakikat kesempurnaan rohani dan mengenal zat Tuhan dengan segala
kesempurnaan-Nya.

b) Basyuni mendefinisikan tasawuf mengumpulkan dari definisi-definisi para ahli. Definisi I


ni merupakan tahapan-tahan bagi orang yang masuk dunia tasawuf sebagai beikut ;

1) Al-Bidayah; tahap pemula atau permulaan; seorang harus berusaha untuk mendekatkan
diri dan ingat kepada Tuhan. Adanya tabir yang menghalangi dirinya dengan Tuhan sedikit
demi sedikit akan hilang. Terus hatinya merasakan dilimpahi oleh nur (cahaya) yang
membangikitkan perasaan dan kedungguhan serta membawanya kepada ketenangan jiwa
yang sempurna. Definisi ini memuat pokok pikian yang disampaikan oleh Ma?ruf al-Karakhi
(w. 200 H)- mengambil hakikat dan putus asa terhadap mahluk, tasawuf harus fakir. Abu
Turab al-Nakhsabi (w. 245 H) orang tasawuf harus dapat membersihkan dirinya dari segala
sesuatu. Zu al-Nun al-Mishri ( w. 254 H) Sufi adalah orang yang tidak pernah minta dan tidak
susah karena tidak ada (fakir). Sahl ibn Abdillah al-Tustari (w. 283 H) Sufi adalah orang
yang bersih dari kekeruhan. Pikiran penuh dan terpusat kepada Tuhan.
2) Al-Mujahadah; giat dan kesungguhan. Definisi ini memuat dari definisi Abu Husain al-
Nuri (w. 295 H); tasawuf adalah berakhlak dengan ahlak Allah. Sahl ibn Abdillah al-Tustari;
tasawuf adalah sedikit makan, tenang dengan Allah dan menjauhi manusia. Abu Muhammad
Ruwaim (w3. 303 H); tasawuf adalah keafiran, mengharap Allah, merendahkan diri dan
mendahulukan orang lain dan tidak menonjolkan diri.

3) Al-Mazaqah; pengalaman dan perasaan batin dalam kontak hubungan antara manusia
dengan Tuhan (sebagai kekasihnya). Defini ini memuat pikiran; Al-Junaid al-Baghdadi (w.
297 H); tasawuf adalah bersama Allah tanpa penghubung. Abu Muhammad Ruwaim; tasawuf
: membiarkan diri dengan Allah menurut kehendak-Nya dan Abu Bakar al-Sably (w. 334 H)
tasawuf : anak-anak kecil dipangkuan Tuhan. Dari berbagai komentar diatas dapat
disimpulkan bahwa makna tasawuf adalah kesadaran murni yang mengarahkan jiwa secara
benar kepada amal dan kegiatan yang sungguh-sungguh, menjauhkan diri dari keduniaan
dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah, untuk mendapatkan perasaan berhubungan erat
dengan-Nya.

B. Baik dan buruk.

Pengertian baik dalam etika adalah sesuatu yang berharga untuk suatu tujuan, sebaliknya
sesuatu yang tidak berharga, sesuatu yang tidak berguna, sesuatu yang merugikan adalah
pengertian ?buruk?. Pengertian baik buruk ada yang subyektif dan relatif. Baik untuk seorang
belum tentu baik menurut orang lain. Sesuatu dianggap baik bagi seseorang apabila hal itu
sesuai dan berguna untuk tujuannya. Dalam hal yang sama dapat disebut ?buruk? bagi orang
lain karena tidak berguna menurut tujuannya. Masing-masing orang mempunyai tujuan yang
berbada-beda, bahkan ada yang bertentangan, sehingga sesuatu yang dianggap baik oleh
seorang/kelompok, mungkin dianggap buruk oleh orang lain.

Secara obyektif, ?baik? untuk manusia meskipun orang mempnyai tujuan yang berbada
namun pada dasarnya bahwa tujuan manusia adalah sama, yaitu ingin baik. Atau bahagia.
Tidak ada seorangpun yang ingin tidak baik (bahagia). Tujuan manusia masing-masing
akhirnya adalah sama, yaitu baik. Semua mengharapkan baik. Tujuan akhir dalam etika
adalah kebaikan tertinggi, disebut ?Summum Bonum?, disebut al-khair al-kulli. Kebahagian
tertingi disebuit kebahagian universal atau universal happines.

Tinggalkan Balasan

 Kalender
o

Oktober 2016

S S R K J S M
Oktober 2016

S S R K J S M

« Jun

1 2

3 4 5 6 7 8 9

10 11 12 13 14 15 16

17 18 19 20 21 22 23

24 25 26 27 28 29 30

31

 Blogroll
o WordPress.com
o WordPress.org

Buat situs web atau blog gratis di WordPress.com. WP Designer.

 Ikuti

Anda mungkin juga menyukai