Anda di halaman 1dari 22

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Akhlak
Secara etimologi akhlak berasal dari bahasa arab akhlaqa,
yukhliqu, ikhlaqan, jama’nya khuluqun yang berarti perangai (al-sajiyah),
adat kebiasaan (al’adat), budi pekerti, tingkah laku atau tabiat (ath-
thabi’ah), perbedaan yang baik (al-maru’ah), dan agama (ad-din).[1]
Akhlak adalah suatu istilah agama yang dipakai menilai perbuatan
manusia apakah itu baik, atau buruk. Sedangkan ilmu akhlak adalah suatu
ilmu pengetahuan agama islam yang berguna untuk memberikan petunjuk-
petunjuk kepada manusia,bagaimana cara berbuat kebaikan dan
menghindarkan keburukan. Dalam hal ini dapat dikemukakan contohnya:
1. Perbuatan baik termasuk akhlak, karena membicarakan nilai atau
kriteria suatu perbuatan.
2. Perbuatan itu sesuai dengan petunjuk Ilmu Akhlak; ini termasuk
ilmunya, karena membicarakan ilmu yang telah dipelajari oleh manusia
untuk melakukan suatu perbuatan.[2]
Adapun ayat yang menjelaskan tentang akhlak yaitu terdapat dalam (Q.S.
al-ahzab,33:21)
Artinya: Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan
yang
baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan
(kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah.[3]
Sedangkan pengertian akhlak secara terminologi dapat dilihat dari
beberapa pendapat para ahli :
a. Ibnu Maskawaih
Menyebutkan bahwa akhlak yaitu keadaan jiwa yang mendorong atau
mengajak melakukan sesuatu perbuatan tanpa melalui proses berpikir, dan
pertimbangan terlebih dahulu.

3|Page
b. Prof. Dr. Ahmad Amin
Akhlak menurut Prof. Dr. Ahmad Amin yaitu suatu ilmu yang
menjelaskan baik dan buruk, menerangkan yang harus dilakukan,
menyatakan tujuan yang harus dituju dan menunjukkan apa yang harus di
perbuat.
c. Didalam buku akhlak dalam berbagai dimensi, akhlak yaitu sifat-
sifat
yang berurat berakar dalam diri manusia, serta berdasarkan dorongan dan
pertimbangan sifat tersebut, dapat dikatakan bahwa perbuatan tersebut
baik atau buruknya dalam pandangan manusia.[4]
Dari definisi berbagai pendapat di atas, dapat kita simpulkan
bahwa akhlak adalah keadaan jiwa yang mendorong melakukan suatu
perbuatan secara spontan tanpa pertimbangan dan proses berfikir terlebih
dahulu dan tanpa ada unsur paksaan.
Dorongan jiwa yang melahirkan perbuatan manusia pada dasarnya
bersumber dari kekuatan batin yang dimiliki oleh setiap manusia, yaitu :
1) Tabiat(pembawaan); yaitu suatu dorongan jiwa yang tidak
dipengaruhi oleh lingkungan manusia, tetapi disebabkan oleh
naluri(gharizah) dan factor warisan sifat-sifat dari orang tuanya atau nenek
moyangnya.
2) Akal pikiran; yaitu dorongan jiwa yang dipengaruhi oleh lingkungan
manusia setelah melihat sesuatu, mendengarkanya, merasakan serta
merabanya. Alat kejiwan ini hanya dapat menilai sesuatu yang lahir (yang
nyata)
3) Hati nurani; yaitu dorongan jiwa yang hanya berpengaruh oleh alat
kejiwaan yang dapat menilai hal-hal yang sifatnya absrak (yang batin)
karena dorongan ini mendapatkan keterangan(ilham) dari allah swt.
Rasulullah sallallahu 'alaihi wa sallam bersabda
« ‫ وبِذ ِلك ُأ ِم ْرتُ وأنا ِمن‬،ُ‫س ِكي ومحْياي ومماتِي ِ َلِل ِ ربِ ا ْلعال ِمين ل ش ِريك له‬
ُ ‫إ ِ َن صَلتِي و ُن‬
ِ ‫ ال َل ُهمَ ا ْه ِدنِي ِِلحْس ِن ْاِلعْما ِل وأحْس ِن ْاِل ْخَل‬.‫ا ْل ُم ْس ِل ِمين‬
‫ وقِنِي سيِئ‬،‫ق ل ي ْهدِي ِِلحْسنِها إ ِ َل أ ْنت‬
‫أ ْنت‬ ‫إ ِ َل‬ ‫سيِئها‬ ‫ي ِقي‬ ‫ل‬ ِ ‫ْاِل ْخَل‬
‫ق‬ ‫وسيِئ‬ ‫» ْاِلعْما ِل‬

"Sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanya untuk Allah


Rabb semesta alam tiada sekutu bagi-Nya, dan demikianlah aku
diperintahkan dan aku bagian dari orang Islam, Ya Allah berilah aku
amalan yang terbaik dan akhlak yang paling mulia, tiada yang bisa
memberi yang terbaik selain Engkau, dan lindungilah aku dari amalan
dan akhlak yang buruk, tidak ada yang bisa melindungiku dari hal yang
buruk selain Engkau". [Sunan An-Nasa'i: Sahih]
Hadist tersebut menjelaskan betapa pentingnya akhlak mulia itu,
terutama untuk umat islam saat ini. Akhlak mulia merupakan cermin
seorang muslim, mencerminkan kesucian hati dan fikirannya, sedanggkan
akhlak buruk mencerminkaan
seseorang yang telah gelap hatinya sehingga ia tidak bisa
menentukan mana yang baik dan buruk baginya karena keburukan itu
telah mendarah daging dalam dirinya.
Beberapa ciri-ciri khusus dari akhlak yaitu:
a. Akhlak mempunyai suatu sifat yang teranam kuat di dalam jiwa atau
lubuk hati seseorang yang menjadi kepribadiannya dan itu akan membuat
berbeda dengan orang lain.
b. Akhlak mengandung perbuatan yang dilakukan secara terus menerus,
dalam keadaan bagaimana pun juga. Dengan kata lain akhlak merupakan
adat kebiasaan yang selalu dilakukan oleh seseorang.
c. Akhlak mengandung perbuatan yang dilakukan karena kesadaran
sendiri, bukan karena di paksa, atau mendapatkan tekanan dan intimidasi
dari orang lain.
d. Akhlak merupakan manifestasi dari perbuatan yang tulus ikhlas,
tidak di buat-buat.[5]
B. Ruang Lingkup Akhlak
Ruang lingkup ilmu akhlak adalah pembahasan tentang perbuatan-
perbuatan manusia, kemudian menetapkannya apakah perbuatan itu
tergolong baik atau tergolong buruk. Ilmu Akhlak dapat pula disebut
sebagai ilmu yang berisi pembahasan dalam upaya mengenal tingkah laku
manusia, obyek pembahasan ilmu akhlak berkaitan dengan norma atau
penilaian terhadap suatu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang. Jika
kita katakana baik atau buruk, maka ukuran yang harus digunakan adalah
ukuran normative.
Pokok-pokok masalah yang dibahas dalam ilmu akhlak pada
intinya adalah perbuatan manusia yang baik maupun yang buruk sebagai
individu maupun sosial.Tapi sebagian orang juga menyebutkan ilmu
akhlak adalah tingkah laku manusia, namun perlu ditegaskan bahwa yang
dijadikan obyek kajian ilmu akhlak adalah perbuatan yang dilakukan
atas kehendak dan kemauan, sebenarnya mendarah daging dan telah
dilakukan secara continue atau terus menerus sehingga mentradisi dalam
kehidupannya.
Banyak contoh perbuatan yang termasuk perbuatan akhlak dan
begitu juga sebaliknya. Seseorang yang membangun mesjid, gedung
sekolah, rumah sakit, jalan raya, dan pos keamanan termasuk perbuatan
akhlak yang baik karena itu berdasarkan kemauan manusia itu sendiri yang
telah dipersiapakan sebelumnya.
Tetapi jikaseseorang yang memicingkan mata dengan tiba-
tiba pada waktu benda berpindah dari gelap ke terang, atau menarik
tangan pada waktu tersengat api atau binatang buas,bernapas, hati yang
berubah rubah, orang yang menjadi ibu-bapak kita, tempat tinggal
kita, kebangsaan kita,warna kulit kita, dan tumpah darah
kita itu tidak termasuk perbuatan akhlak karena semua itu diluar
perencanaan, kehendak atau pilihan kita.
Jadi sekarang kita bisa memahami yang dimaksud ilmu akhlak
adalah ilmu yang mengkaji suatu perbuatan yang dilakukan oleh manusia
yang dalam keadaan sadar,kemauan sendiri, tidak terpaksa, dan sungguh-
sungguh atau sebenarnya bukan perbuatan yang pura-pura. Perbuatan-
perbuatan demikian selanjutnya diberi nilai baik atau buruk.[6]

C. Perbedaan Akhlak,Etika,dan Moral


i) Pengertian Etika
Kata etika berasal dari yunani yaitu ethos yang berarti adat
kebiasaan. Tetapi didalam kamus bahasa indonesia, etika diartikan sebagai
ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlak(moral). Etika berbicara
tentang kebiasaan (perbuatan) tetapi bukan menurut arti tata adat. Oleh
karena itu, etika landasannya adalah sifat dasar manusia. Tetapi etika
menurut filsafat yaitu menyelidiki mana yang baik, dan mana yang buruk
menurut perbuatan manusia.[7]
ii) Pengertian Moral
Berasal dari bahasa latin, mos yaitu prinsip-pinsip tingkah laku
manusia yang sejalan dengan adat kebiasaan. Dalam Kamus Umum
Bahasa Indonesia disebutkan bahwa moral adalah penentuan baik buruk
terhadap perbuatan dan kelakuan. Meskipun etika dan moral mempunyai
kesamaan pengertian dalam percakapan sehari-hari, namun dari sisi lain
mempunyai unsur perbedaan, misalnya :
a. Istilah etika digunakan untuk mengkaji system nilai yang ada. Karena
itu, etika merupakan suatu ilmu.
b. Istilah moral digunakan utnuk memberikan criteria perbuatan yang
sedang dinilai. Karena itu, moral bukan suatu ilmu tetapi merupakan suatu
perbuatan manusia.
Antara etika dan akhlak terdapat persamaan dan perbedaan.
Persamaannya adalah sama-sama membahs masalah baik dan buruknya
tingkah laku manusia. Perbedaan antara akhlak dengan moral dan etika dapat
dilihat dari:
Pertama, dasar penentuan atau standar ukuran baik dan buruk yang
digunakannya. Standar baik dan buruk akhlak berdasarkan Al Qur’an dan
Sunnah Rasul, sedangkan moral dan etika berdasarkan adat istiadat atau
kesepakatan yang dibuat oleh suatu masyarakat. Jika masyarakat menganggap
suatu perbuatan itu baik maka baik pulalah nilai perbuatan itu.
Kedua, standar nilai moral dan etika bersifat lokal dan temporal
dimana hanya berlaku pada tempat tertentu dan sifatnya sementara, sedangkan
standar akhlak bersifat universal dan abadi, dimana dapat diterima oleh
seluruh umat manusia di segala waktu dan tempat. Konsekuensinya, akhlak
bersifat mutlak, sedang moral dan etika bersifat relatif (nisbi).
Perbedaan pengertian ini hartus dipahami agar kita dapat
membedakan sifat dan isi akhlak, moral dan etika, alaupun dalam masyarakat
ketiga istilah ini disinonimkan dan dipakai silih berganti untuk menunjukkan
sesuatu yang baik atau buruk, kendatipun istilah akhlak, tampaknya, makin
lama makin terdesak.
.
D. Akhlak Terhadap Allah
Sumber untuk menentukan Akhlak dalam Islam, apakah termasuk
akhlak yang baik (mulia) atau akhlak yang tercela, adalah al-Quran
dan as Sunnah Nabi Muhammad ‫ﷺ‬.Terlebih lagi akhlak terhadap Allah
SWT, tentunya standar baik dan buruknya adalah berasal dari aturan-Nya
bukan akal atau adat manusia, sebab akan berbeda-beda
ukuran/standarnya.[8]
Jika kita perhatikan, akhlak terhadap Allah ini merupakan pondasi
atau dasar dalam berakhlak terhadap siapapun yang ada dimuka bumi ini.
Jika seseorang tidak memiliki akhlak positif terhadap Allah, maka ia tidak
akan mungkin memiliki akhlak positif terhadap siapapun. Demikian pula
sebaliknya, jika ia memiliki Akhlak al Karimah terhadap Allah, maka ini
merupakan gerbang untuk menuju kesempurnaan akhlak terhadap orang
lain.
Titik tolak Akhlak kepada Allah SWT adalah pengakuan dan
kesadaran bahwa Tiada Tuhan Melainkan Allah SWT dalam beribadah
kepadaNya. [9]
Sebagaimana firman Allah dalam Al Qur’an.

٤ ُ ‫ ولم ي ُكن لَ ۥه ُ ُكفُ ًوا أحد‬٣ ‫ لم ي ِلد ولم يُولد‬٢ ُ ‫صمد‬ َ ‫قُل هُو‬
َ ١ ‫ٱلِلُ أحد‬
َ ‫ٱلِلُ ٱل‬
“1. Katakanlah: "Dialah Allah, Yang Maha Esa 2. Allah adalah Tuhan
yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu 3. Dia tiada beranak dan
tidak pula diperanakkan 4. dan tidak ada seorangpun yang setara dengan
Dia." [QS. al-Ikhlash [112] :1–4]
Dan pula dalam ayat yang lain.
ِ ‫ٱۡلنس إِ َل ِليعبُد‬
٥٦ ‫ُون‬ ِ ‫وما خلقتُ ٱل ِج َن و‬
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
mengabdi (beribadah) kepada-Ku.” [QS. alDzariyat [51]: 56]
Akhlak kepada Allah dapat diartikan sebagai sikap atau perbuatan
yang seharusnya dilakukan oleh manusia sebagai makhluk, kepada Tuhan
sebagai Al Khalik (Pencipta).Sehingga Akhlak kepada Allah dapat
diartikan, “Segala sikap atau perbuatan manusia yang dilakukan tanpa
dengan berfikir lagi (spontan) yang memang seharusnya ada pada diri
manusia (sebagai hamba) kepada Allah SWT (sebagai Al Khalik).Umat
Islam diwajibkan berakhlak baik kepada Allah SWT dengan bertaqwa
kepadaNya, Allah SWT yang telah menjadikan umat Islam dengan sebutan
sebagai Umat Terbaik (Khoiru Ummah).
Akhlak kepada Allah SWT adalah contohnya dengan,[10]
1. Bertauhid kepadaNya (QS. al-Ikhlash [112] :1–4; QS. alDzariyat
[51]: 56),
2. Menaati perintahNya (QS. Ali ‘Imran [3]: 132),
3. Ikhlas dalam semua amal (QS. al-Bayyinah [98]: 5),
4. Tadlarru’ dan khusyu’ dalam beribadah (QS. al-Fatihah [1]: 6),
5. Berdoa dan penuh harapan pada Allah SWT. (QS. al-Zumar [39]:
53),
6. Berbaik sangka pada setiap ketentuan Allah (QS. Ali ‘Imran [3]:
154),
7. Bertawakal setelah memiliki kemauan dan ketetapan hati (QS. Ali
‘Imran [3]: 159),
8. Bersyukur (QS. Ibrahim [14]: 7), dan
9. Bertaubat serta istighfar bila berbuat kesalahan (QS. al-Tahrim [66]:
8).
Alasan Seorang Muslim Harus Berakhlak Kepada Allah SWT
Menurut Kahar Mashyur, ada 4 (empat) alasan manusia perlu berakhlak
kepada Allah SWT, yakni:[11]
1. Allah yang menciptakan manusia.
Dia yang menciptakan manusia dari air yang ditumpahkan keluar dari
tulang punggung dan tulang rusuk.
“Maka hendaklah manusia memperhatikan dari apakah dia diciptakan?.
Dia tercipta dari air yang terpancar. Yang terpancar dari tulang sulbi dan
tulang dada.
[at-Thariq: 5-7]
2. Allah-lah yang telah memberikan perlengkapan panca indera.
Berupa pendengaran, penglihatan, akal pikiran dan hati sanubari,
disamping anggota badan yang kokoh dan sempurna kepada manusia.
“Dan Allah telah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan
tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran,
penglihatan, dan hati, agar kamu bersyukur.” [Q.S an-Nahl : 78]
3. Allah-lah yang telah menyediakan berbagai bahan dan sarana yang
diperlukan bagi kelangsungan hidup manusia.Seperti bahan makanan yang
berasal dari tumbuh-tumbuhan, air, udara, binatang ternak dan
lainnya. [Q.S al-Jatsiyah :12-13]
4. Allah-lah yang telah memuliakan manusia dengan diberikannya
kemampuan didaratan dan dilautan.
“Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak cucu Adam, Kami
angkut mereka dari daratan dan lautan, Kami beri mereka dari rizki yang
baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna
atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.” [Q.S al-Isra’ : 70]
Setiap muslim meyakini, bahwa Allah SWT adalah sumber segala
sumber dalam kehidupannya. Allah adalah Pencipta dirinya, pencipta
jagad raya dengan segala isinya, Allah SWT adalah pengatur alam semesta
yang demikian luasnya. Allah adalah pemberi hidayah dan pedoman hidup
dalam kehidupan manusia, dan lain sebagainya. Sehingga jika hal ini
mengakar dalam diri setiap muslim, maka akan terealisasi dalam
realita bahwa Allah lah yang pertama kali harus dijadikan prioritas dalam
berakhlak.

E. Akhlak Terhadap Sesama Manusia


,‫ و الناس منهُ ِفي سَلمة‬,‫ الحسن ال ُخلُق من نفسه ِفي راحة‬:‫والسيئ الخلُق الناس قال بعض البلغاء‬
‫و هو من نفسه ِفي عناء‬,‫منهُ ِفي بَلء‬
“Berkata beberapa ahli Balaghah; bahwa akhlak yang baik adalah
(sikap) yang memebuat diri yang bersangkutan tenang dan orang lain
selamat atas (perbuatan tersebut).
Sementara akhlak yang buruk adalah (perbuatan) yang membuat manusia
mendapat bala dan (pelaku) akhlak buruk itu sendiri sesungguhnya
sedang sakit (jiwa).”
[Adab Dunia dan Agama, Al Mawardi][12]
Pengertian Akhlak kepada sesama manusia berarti kita harus
berbuat baik kepada sesama manusia tanpa memandang kepada siapa
orang tersebut, sehingga kita mampu hidup dalam masyarakat yang aman
dan tenteram.
Dalam realitas keseharian kita, kadangkala kita pernah menjumpai
seorang Muslim yang mungkin dari sisi ritualitas ibadahnya bagus, namun
hal demikian sering tidak tercermin dalam perilaku atau
akhlaknya. Shalatnya rajin, tetapi sering tak peduli dengan tetangganya
yang miskin. Shaum sunnahnya rajin, namun wajahnya jarang
menampakkan sikap ramah kepada sesama. Zikirnya rajin, tetapi tak mau
bergaul dengan masyarakat umum. Demikian seterusnya. Tentu saja,
Muslim demikian bukanlah Muslim yang ideal dan ber-akhlaq al-
karimah apalagi menjaga muru’ah (kehormatan).[13]
Banyak sekali ruang lingkup Akhlak yang
dikemukakan al Quran dan as Sunnah berkaitan dengan Akhlak terhadap
sesama manusia. Sebagai contoh dari Al Qur’an.
1. Akhlak kepada Nabi ‫ﷺ‬, sebab beliau adalah Rasul yang memperoleh
wahyu dari Allah. Atas dasar itulah beliau berhak memperoleh
penghormatan melebihi manusia lain.
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu
lebih dari suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan
suara keras sebagaimana kerasnya (suara) sebahagian kamu terhadap
sebahagian yang lain, supaya tidak hapus (pahala) amalanmu sedangkan
kamu tidak menyadari.” (QS.al-Hujurât [49] : 2)
2. Akhlak kepada sesama (pergaulan dimasyarakat), misal:
· Larangan menyakiti hati walaupun diringi dengan sedekah.
“Perkataan yang baik dan pemberian ma`af lebih baik dari sedekah yang
diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan sipenerima). Allah
Maha Kaya lagi Maha Penyantun.” (QS al-Baqarah[2]: 263)
· Akhlak bertamu, bahwa akan perlunya privasi (kekuasaan atau
kebebasan pribadi).
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang
bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada
penghuninya. Yang demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu (selalu)
ingat”. (QS.an-Nûr [24]: 27)
Akhlak dalam berbicara haruslah ucapan yang baik dan benar.
“... serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia...”
(QSal-Baqarah[2]:83)
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan
katakanlah perkataan-yang-benar”.(QS.al-Ahzâb[33]:70)
3. Akhlak kepada Orang tua, tidak durhaka kepada mereka walau hanya
berkata “ah” (menyakitkan hati). [QS. Al Isra : 23-24] dan berbakti
kepada mereka [QS. Lukman:14]
4. Akhlak Al Karimah terhadap tetangga, kerabat dekat, anak-anak yatim,
orang miskin, teman sejawat, dan hamba sahaya bahkan ibnu
sabil (musafir), yakni dengan berbuat baik kepada mereka. [QS. An Nisa :
36]
5. Akhlak kepada anak, adalah dengan mendoakannya (QS. Al-Furqan
[25]: 74), menafkahinya, meng-aqiqah-kan, memberi nama yang baik,
menyusukan selama 2 tahun, meng-khitan, memberikan ilmu, berlaku adil,
dan mengkawinkan jika sudah baligh.
Dalam sejumlah hadits lainnya, Baginda Rasulullah ‫ ﷺ‬menyebut
sejumlah keistimewaan Akhlak Mulia ini. Saat beliau ditanya tentang apa
itu kebajikan (al-birr), misalnya, beliau langsung menjawab, “Al-Birr
husn alkhulq (Kebajikan itu adalah akhlak mulia.” (HR Muslim).
Beliau bahkan bersabda, “Tidak ada sesuatu pun yang lebih berat
dalam timbangan seorang Mukmin pada Hari Kiamat nanti selain akhlak
mulia. Sesungguhnya Allah membenci orang yang berbuat keji dan
berkata-kata keji.” (HR at-Tirmidzi).
Dalam kesempatan lain Baginda Rasulullah ‫ ﷺ‬pernah ditanya
tentang apa yang paling banyak menyebabkan orang masuk surga. Beliau
menjawab, “Takwa kepada Allah dan akhlak mulia.” (HR atTirmidzi).
Keutamaan kedudukan orang yang berakhlak mulia juga
disejajarkan dengan keutamaan kedudukan orang yang biasa
memperbanyak ibadah shaum (puasa) dan sering menunaikan shalat
malam. Baginda Rasulullah ‫ ﷺ‬bersabda, “Sesungguhnya seorang Mukmin-
karena kebaikan akhlaknya-menyamai derajat orang yang
biasa melakukan shaum dan menunaikan shalat malam.” (HR Abu
Dawud).
Jenis hubungan antar sesama manusia;
 Akhlak terpuji ( Mahmudah )
 Husnuzan.
Berasal dari lafal husnun ( baik ) dan Adhamu (Prasangka).
Husnuzan berarti prasangka, perkiraan, dugaan baik. Lawan kata
husnuzan adalah suuzan yakni berprasangka buruk terhadap
seseorang. Hukum kepada Allah dan rasul nya wajib, wujud
husnuzan kepada Allah dan Rasul-Nya antara lain: Meyakini
dengan sepenuh hati bahwa semua perintah Allah dan Rasul-Nya
Adalah untuk kebaikan manusia. Meyakini dengan sepenuh hati
bahwa semua larangan agama pasti berakibat buruk. Hukum
husnuzan kepada manusia mubah atau jaiz (boleh dilakukan).
Husnuzan kepada sesama manusia berarti menaruh kepercayaan
bahwa dia telah berbuat suatu kebaikan. Husnuzan berdampak
positif berdampak positif baik bagi pelakunya sendiri maupun
orang lain.
 Tawaduk
Tawaduk berarti rendah hati. Orang yang tawaduk berarti orang
yang merendahkan diri dalam pergaulan. Lawan kata tawaduk
adalah takabur. Allah berfirman , Dan rendahkanlah dirimu
terhadap keduanya, dengan penuh kasih sayang dan ucapkanlah,
”Wahai Tuhanku! Sayangilah keduanya sebagaimana mereka
berdua telah mendidik aku pada waktu kecil.” (Q.S. Al Isra/17:24)
Ayat di atas menjelaskan perintah tawaduk kepada kedua orang
tua.
 Tasamu
Artinya sikap tenggang rasa, saling menghormati dan saling
menghargai sesama manusia. Allah berfirman, ”Untukmu
agamamu, dan untukku agamaku (Q.S. Alkafirun/109: 6). Ayat
tersebut menjelaskan bahwa masing-masing pihak bebas
melaksanakan ajaran agama yang diyakini.
 Ta’awun
Ta’awun berarti tolong menolong, gotong royong, bantu membantu
dengan sesama manusia. Allah berfirman, ”...dan tolong
menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan
jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan
permusuhan...”(Q.S. Al Maidah/5:2)
Dll
 Akhlak tercela ( Mazmumah )
 Hasad
Artinya iri hati, dengki. Iri berarti merasa kurang senang atau
cemburu melihat orang lain beruntung. Allah berfirman, ”Dan
janganlah kamu iri hati terhadap karunia yang telah dilebihkan
Allah kepada sebagian kamu atas sebagian yang lain.(Karena) bagi
laki-laki ada bagian dari apa yang merekausahakan, dan bagi
perempuan (pun) ada bagian dari mereka usahakan. Mohonlah
kepada Allah sebagian dari karunia-Nya...” (Q.S. AnNisa/4:32)
 Dendam
Dendam yaitu keinginan keras yang terkandung dalam hati untuk
membalas kejahatan. Allah berfirman, ”Dan jika kamu membalas,
maka balaslah dengan (balasan) yang sama dengan siksaan yang
ditimpakan kepadamu. Tetapi jika kamu bersabar, sesungguhlah
itulah yang terbaik bagi orang yang sabar” (Q.S. An Nahl/16:126)
 Gibah dan Fitnah
Membicarakan kejelekan orang lain dengan tujuan
untuk menjatuhkan nama baiknya. Apabila kejelekan yang
dibicarakan tersebut memang dilakukan orangnya dinamakan
gibah. Sedangkan apabila kejelekan yang dibicarakan itu tidak
benar, berarti pembicaraan itu disebut fitnah. Allah berfirman,
”...dan janganlah ada diantara kamu yang menggunjing sebagian
yang lain. Apakah ada diantara kamu yang suka memakan daging
saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik...” (Q.S. Al
Hujurat/49:12)
 Namimah
Adu domba atau namimah, yakni menceritakan sikap atau
perbuatan seseorang yang belum tentu benar kepada orang lain
dengan maksud terjadi perselisihan antara keduanya. Allah
berfirman, ”Wahai orang-orang yang beriman! Jika seseorang yang
fasik datang kepadamu membawa suatu berita maka telitilah
kebenarannya, agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena
kebodohan (kecerobohan), yang akhirnya kamu menyesali
perbuatanmu itu.” (Q.S. Al Hujurat/49:6)
Alasan Mengapa Sesama Manusia Harus Saling Berakhlak
1. Akhlak adalah bagian dari Syariat Islam (Hukum Syara’) dan tidak
akan mungkin dipisahkan dari bagian macam-macam hukum syara’,
seperti ibadah, muamalah dan lain sebagainya. Misalnya khusyu tidak
akan nampak kecuali dalam shalat, sifat jujur dan amanah hanya akan
muncul pada muamalah, jadi akhlak merupakan bagian dari hukum
syariat, yakni perintah dan larangan Allah SWT yang akan nampak ketika
melaksanakan amal perbuatan.[14]
2. Manusia merupakan makhluk yang saling membutuhkan satu sama lain,
dalam bermasyarakat kita perlu saling menghargai, misalnya cara bersikap
kepada orang yang lebih tua maupun muda. Ini merupakan alasan
mengapa akhlak sangat penting bagi sesama manusia, karena dengan kita
berakhlak, maka kita akan dapat saling menghargai satu sama lain dan
tercipta ketentraman.

F. Akhlak Terhadap Lingkungan Sekitar


Lingkungan adalah segala sesuatu yang berada di sekitar manusia,
baik binatang, tumbuh-tumbuhan, maupun benda-benda tak bernyawa.
Pada dasarnya, akhlak yang diajarkan al-Quran terhadap lingkungan
bersumber dari fungsi manusia sebagai khalifah.
Kekhalifahan menuntut adanya interaksi antara manusia dengan
sesamanya dan manusia terhadap alam. Kekhalifahan mengandung arti
pengayoman, pemeliharaan, serta pembimbingan, agar setiap makhluk
mencapai tujuan penciptaannya.
Dalam pandangan akhlak Islam, seseorang tidak dibenarkan
mengambil buah sebelum matang, atau memetik bunga sebelum mekar,
karena hal ini berarti tidak memberi kesempatan kepada makhluk untuk
mencapai tujuan penciptaannya. Ini berarti manusia dituntut untuk mampu
menghormati proses-proses yang sedang berjalan, dan terhadap semua
proses yang sedang terjadi. Yang demikian mengantarkan manusia
bertanggung jawab, sehingga ia tidak melakukan perusakan.
Binatang, tumbuhan, dan benda-benda tak bernyawa semuanya
diciptakan oleh Allah Swt. dan menjadi milik-Nya, serta semua memiliki
ketergantungan kepada-Nya. Keyakinan ini mengantarkan sang Muslim
untuk menyadari bahwa semuanya adalah "umat" Tuhan yang harus
diperlakukan secara wajar dan baik.
Jangankan dalam masa damai, dalam saat peperangan pun terdapat
petunjuk al-Quran yang melarang melakukan penganiayaan. Jangankan
terhadap manusia dan binatang, bahkan mencabut atau menebang
pepohonan pun terlarang, kecuali kalau terpaksa, tetapi itu pun harus
seizin Allah, dalam arti harus sejalan dengan tujuan-tujuan penciptaan dan
demikemaslahatanterbesar.
Sebelum Eropa mengenal Organisasi Pencinta Binatang, Nabi
Muhammad Saw. telah mengajarkan, “Bertakwalah kepada Allah dalam
perlakuanmu terhadap binatang, kendarailah, dan beri makanlah dengan
baik”.
Di samping prinsip kekhalifahan yang disebutkan di atas, masih ada
lagi prinsip taskhîr, yang berarti penundukan. Namun dapat juga berarti
"perendahan". Firman Allah yang menggunakan akar kata itu dalam al-
Quran surat al-Hujurat ayat 11 adalah: “Dan Dia menundukkan untukmu
apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya, (sebagai
rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar
terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir”.
(QSal-Jâtsiyah[45]:13).
Ini berarti bahwa alam raya telah ditundukkan Allah untuk manusia.
Manusia dapat memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya. Namun pada
saat yang sama, manusia tidak boleh tunduk dan merendahkan diri kepada
segala sesuatu yang telah direndahkan Allah untuknya, berapa pun harga
benda-benda itu. Ia tidak boleh diperbudak oleh benda-benda itu. Ia tidak
boleh diperbudak oleh benda-benda sehingga mengorbankan
kepentingannya sendiri. Manusia dalam hal ini dituntut untuk selalu
mengingat-ingat, bahwa ia boleh meraih apa pun asalkan yang diraihnya
serta cara meraihnya tidak mengorbankan kepentingannya di akhirat kelak.

G. Akhlakul Karimah
Kata “ Akhlak” berasal dari bahasa Arab “ Khulqun” yang berarti
suatu keadaan jiwa yang dapat melakukan tingkah laku tanpa
membutuhkan banyak akal dan pikiran.[15] Sedangkan akhlak karimah
(mahmudah) adalah segala tingkah laku yang terpuji (yang baik) yang bisa
juga dinamakan “fadilah” (kelebihan).[16]
Al-Ghazali menerangkan bentuk keutamaan Akhlak Mahmudah
yang dimiliki seseorang misalnya jujur, bersikap baik terhadap tetangga
dan tamu, itu dinyatakan sebagi gerak jiwa dan gambaran batin seseorang
yang secara tidak langsung menjadi akhlaknya. Al Gahzali menerangkan
adanya pokok keutamaan yang baik, antara lain mencari hikmah, bersikap
berani, bersuci diri, berlaku adil.[17]
‫ َم ْن دَ َّل َءلَى َخي ٍْر‬: ‫سلَّ َم‬ َ ‫صلّى هللا ُ َءلَ ْي ِه َو‬ ُ ‫ قَا َل َر‬: ‫ي هللاُ َء ْنهُ قَا َل‬
َ ِ‫سو هللا‬ ِ ‫َو َء ْن أبِي َم ْسعُو ٍد َر‬
َ ‫ض‬
‫أ َ ْخ َر َجهُ ُم ْس ِلم‬. ‫فَلَهُ ِمثْ ُل أَجْ ِر فَا ِء ِل ِه‬.
Dari Abdullah bin Mas’ud Radiyallahu Anhu berkata “ Rasulullah SAW
bersabda ,” Barang siapa yang menunjukan kepada sebuah kebaikan,
maka baginya pahala seperti pahala orang yang
mengerjakannya.” (HR.Muslim) Hadits ini shahih, Muslim 1018
Hadits ini membuktikan, bahwa seorang yang menunjukan orang
lain kepada sebuah kebaikan, maka ia akan mendapatkan pahala seperti
orang yang mengerjakannya. Isi hadits ini sama seperti sabda rasulullah
SAW:
‫األ ْسالَ ِم كَا نَ لَهُ أ َ ُج ُر هَا َوأ َ ْج ُر َم ْن َع ِم َل بِ َها‬
ِ ‫سنَةً فِى‬
َ ‫سنَّةً َح‬ َ ‫ َم ْن‬.
ُ ‫س َّن‬
“Barang siapa yang melakukan sunnah yang baik di dalam Islam maka ia
akan memperoleh pahalanya dan pahala orang yang melaksanakannya.”
Kata “ menunjukan” yang tercantum dalam hadits merupakan
isyarat bahwa orang tersebut tidak melakukannya. Ia berusaha
mendapatkan kebaikan dengan cara menujukan orang lain kepada
kebaikan tersebut. Kata kebaikan yang tertera di dalam hadits mencakup
semua kebaikan dunia dan akhirat.[18]

H. Keutamaan Perilaku Jujur


Kejujuran adalah budi pekerti yang sangat kuat kaitannya dengan
kemaslahatan perorangan atau jamaah. Kejujuran adalah modal besar
membenahi dan membina masyarakat dalam menrapkan serta menegakan
aturan-aturannya. Menghias diri dengan kejujuran adalah keutamaan.
Melepaskan kejujuran dari diri akan mendatangkan kehinaan. Kejujuran
akan membawa kepada keselamatan jiwa dan harta. Kejujuran
menunjukan keindahan sifat dan moral pemiliknya.
ّ ِ ّ‫ َءلَ ْي ُك ْم ِبا ل‬: ‫سلَّ َم‬
ِ ْ‫صد‬
,‫ق‬ َ ‫صلَّى ا هللُ َءلَ ْي ِه َو‬ ُ ‫ قَا َل َر‬: ‫ي ا هللُ َء ْنه ُ قَا َل‬
َ ِ‫سو ُل ا هلل‬ ِ ‫َء ِن اْب ِْن َم ْسعُو ٍد َر‬
َ ‫ض‬
‫صدُ ُق َويَتَ َح َّر ى‬ ْ َ‫الر ُخ ُل ي‬ َّ ‫ َو َما يَزَ ا ُل‬,ِ‫ َوا َِّن ْالبِ َر يَ ْه ِد ي أِلَى ْال َجنَّت‬,‫صدْقَ يَ ْه ِد ي اِلَى ا ْلبِ ِ ّر‬ َ ‫فَ ِأ َّن ال‬
‫ب َي ْه ِد ي أِ لَى ْالفُ ُج ْو َر يَ ْه ِد ي‬ َ ‫ب فَ ِأ َّن ْال َك ِذ‬ َ ‫ َواِيَّا ُك ْم َو ْال َك ِذ‬,‫ص ِد ّ ْيقًا‬ َ ‫صدْ قَ َحتَّى يُ ْكت‬
ِ ‫َب ِء ْندَ هللا‬ ّ ِ ‫ال‬
‫ ُمتَّفَق َء َل ْي ِه‬.‫َب ِء ْندَ هللاِ َكذَّ ابًا‬َ ‫ب َحتَّى يُ ْكت‬ َ ‫الر ُج ُل يَ ْك ِذ بُ َويَت َ َح َّرى ْال َك ِذ‬ ِ َّ‫أِلَى الن‬.
َّ ‫ َو َما يَزَ ا ُل‬,‫ار‬
Dari Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu Anhu, ia berkata, “Rasulullah
Shallallahu Alaihi wa sallam bersabda, “ Hendaknya kalian berkata jujur,
karena kejujuran akan membawa kepada kebaikan dan kebaikan
membawa akan kepada surga. Sesungguhnya seseorang senantiasa
berkata jujur dan selalu berusaha jujur sehingga ditulis disisi Allah
sebagai orang yang jujur. Dan jauhilah dusta, karena dusta dapat
menyeret kepada kejahatan dan kejahatan dapat menyeret kepada neraka.
Sesungguhnya seseorang senantiasa berdusta dan selalu berdusta hingga
ditulis disisi Allah sebagai pendusta.” (Mattafaq Alaih) Hadits ini shahih, Al-

Bukhari 6090 dan Muslim 260

Ash-shidq (jujur) adalah sesuatu yang sesuai dengan kenyataan. Al-


kidzb (dusta) adalah sesuatu yang tidak sesuai dengan kenyataan. Ibnu
Baththal berkata, “ sabda beliau, “ sesungguhnya kebaikan itu…”
dikuatkan dengan firman Allah Ta’ala,
‫أِ َّن ا ُ ْألَب َُرا َر لَ ِفى نَ ِع ٍيم‬
“ Sesungguhnya orang-orang yang banyak berbakti benar-benar berada
dalam syurga yang penuh kenikmatan.” (Q.S Al-Infithar:13)
Ia juga berkata , “ Sabda beliau,” Apabila seseorang bersikap
jujur…”. Maksudnya, berusaha agar senantiasa bersikap jujur hingga ia
berhak menyandang gelar ash-shiddiiq (seseorang yang senantiasa jujur).
Hadits diatas mengisyaratkan bagi siapa yang berusaha untuk tetap
berkata jujur maka jujur akan mendarah daging pada dirinya. Dengan
latihan dan usaha, sifat baik dan sifat buruk itu dapat dicapai. Hadits ini
menunjukan betapa agungnya sifat jujur, karena kejujuran akan
membimbing pelakunya menuju surga. Hadits ini juga menunjukan betapa
buruknya sifat dusta hingga menyeret pelakunya menuju neraka. Demikian
juga halnya semasa di dunia, ucapan orang yang jujur akan diterima dan
disukai di tengah masyarakat serta diterima persaksiannya oleh para
hakim.[19]

I. Hubungan Akhlak dengan Iman dan Insan


 Hubungan Akhlak dengan Iman
Iman ialah mengetahui dan meyakini akan keesaan Tuhan,
mempercayai adanya malaikat, mengimani adanya kitab-kitab yang
diturunkan oleh Allah, iman kepada para Rasul, iman kepada hari
akhir dan iman kepada qada dan qadar. Untuk rukun iman yang
pertama bahwa mengetahui dan meyakini akan keesaan Allah
dengan mempercayai bahwa Allah memiliki sifat-sifat ynag mulia.
Untuk itu manusia hendaknya meniru sifat-sifat Tuhan itu,
yakni Allah SWT. Misalnya bersifat Al-Rahman dan Al-Rahim
(Maha pengasih dan Maha Penyayang), maka sebaiknya manusia meniru
sifat tersebut dengan mengembangkan sikap kasih sayang di muka
bumi. Demikian juga jika Allah bersifat dengan Asma’ul
Husna itu harus dipraktekkan dalam kehidupan. Dengan cara
demikian iman kepada Allah akan memberi pengaruh terhadap
pembentukan akhlak yang mulia.[20]
Demikian juga jika seseorang beriman kepada para malaikat, maka
yang dimaksudkan antara lain adalah agar manusia meniru sift-sifat yang
terdapat pada malaikat, seperti sifat jujur, amanah, tidak pernah durhaka
dan patuh melaksanakan segala yang diperintahkan Tuhan. Hal ini juga
dimaksudkan agar manusia merasa diperhatikan dan diawasi oleh para
malaikat, sehingga ia tidak berani melanggar larangan Tuhan.
Demikian pula beriman kepada kitab-kitab yang diturunkan Tuhan
, khususnya Al-Qur’an, maka dengan mengikuti segala perintah yang ada
dalam Al-Qur’an dan menjauhi apa yang dilarangnya. Dengan kata lain
beriman kepada kitab-kitab, khususnya Al-Qur’an harus disertai dengan
berakhlak dengan akhlak Al-Qur’an seperti halnya dilakukan oleh Nabi
Muhammad SAW.
Selanjutnya beriman kepada para rasul, khususnya kepada Nabi
Muhammad SAW. juga harus disertai upaya mencontoh akhlak
Rasulullah di dalam Al-Qur’an dinyatakan oleh Allah bahwa nabi
Muhammad SAW itu berakhlakmulia.
ٍ ُ‫و ِإنَك لعلى ُخل‬
)٤( ‫ق ع ِظ ٍيم‬

“seseungguhnya engkau Muhammad benar-benar berbudi pekerti mulia.”


(Q. S. Al-Qalam: 4)
Demikian pula beriman kepada hari akhir, dari sisi akhlaki harus
disertai dengan upaya menyadari bahwa segala amal perbuatan yang
dilkaukan selama di dunia ini akan dimintakan pertanggung jawabannya di
akhirat nanti. Amal perbuatan manusia selama di dunia akan ditimbang
dan dihitung serta diputuskan dengan seadilnya. Mereka yang amalnya
lebih banyak yang buruk dan ingkar kepada Tuhan akan dimasukkan ke
dalam neraka, sedangkan mereka yang amalnya lebih banyak yang biak
akan dimasukkan ke dalam syurga. Hal tersebut diharapkan dapat
memotivasi seseorang agar selama hidupnya di dunia ini banyak
melakukan amal yang baik, menjauhi perbuatan dosa dan ingkar
kepada Allah.
Selanjutnya beriman kepada qada dan qadar juga erat kaitannya
dengan akhlak, yaitu agar orang yang percaya kepada qada dan qadar itu
seanantiasa mau bersyukur terhadap keputusan Tuhan dan rela menerima
segala keputusan-Nya. Perbuatan demikian termasuk ke dalam akhlak
yang mulia.[21]
 Hubungan Akhlak dengan Ihsan
Ihsan dalam arti akhlak mulia atau pendidikan akhlak mulia
sebagai puncak keagamaan dapat dipahami dari beberapa hadits terkenal
seperti “sesungguhnya aku diutus hanyalah untuk menyempurnakan
akhlak dan budi pekerti baik”.
Ihsan secara lahiriyah melaksanakan amal kebaikan. Ihsan dalam
bentuk lahiriyah ini, jika dilandasi dan dijiwai dalam bentuk rohaniyah
(batin) akan menumbuhkan keikhlasan. Beramal Ihsan yang ikhlas
membuahkan taqwa yang merupakan buah tertinggi dari segala amal
ibadah kita. Ihsan dalam akhlak sesungguhnya merupakan buah dari
ibadah dan muamalah.Seseorang akan mencapai tingkat Ihsan dalam
akhlaknya apabila ia telah melakukan ibadah seperti yang menjadi
harapan Rasul dalam salah satu haditsnya. Pada akhirnya ia akan berbuah
menjadi akhlak atau perilaku,sehingga mereka yang sampai pada tahap
ihsan maka ibadahnya akan terlihat jelas dalam perilaku dan karakternya.
Adapun landasan Syar’i ihsan yaitu:
)١٩٥( ‫َّللا ي ُِحبُّ ْال ُمحْ ِسنِين‬
َ ‫أحْ ِسنُوا إِ َن‬
“Dan berbuat baiklah kalian karena sesungguhnya Allah mencintai
orang-orang yang berbuat baik”. (QS. Al-Baqarah: 195)
ِ ‫َّللا يأ ْ ُم ُر ِب ْالعدْ ِل واۡلحْ س‬
‫ان‬ َ ‫ِإ َن‬
“Sesungguhnya Allah memerintahkan kamu untuk berbuat adil dan
kebaikan....”. (QS. An-Nahl :90)[22]

Anda mungkin juga menyukai