Anda di halaman 1dari 10

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

Dosen : M. Sabarudin Nasir

ETIKA MORAL DAN AKHLAK

1. Pentingnya Akhlak

Suatu ungkapan hikmah mengatakan, Maju bangsa karena akhlak, akhlak rusak hancurlah
bangsa. Sukses tidaknya suatu bangsa mencapai tujuan hidupnya tergantung atas committed
tidaknya bangsa itu terhadap nilai-nilai akhlak. Jika ia committed terhadap akhlak maka bangsa itu
akan sukses, dan sebaliknya jika ia mengabaikan akhlak maka bangsa itu pun akan hancur.

Nabi SAW mengatakan, Innama bu ’itstu liutammima makarimal akhlak. (sesungguhnya


saya diutus hanya untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak manusia). Pernyataan Nabi itu
mengandung beberapa makna, di antaranya: 1) kedatangan Nabi melengkapi kemuliaan akhlak
manusia yang sebelumnnya belum sempurna; 2) inti dari ajaran Islam sesungguhnya adalah
kemuliaan akhlak. Missi beliau yang utama adalah perbaikan akhlak, penyempurnaan budi pekerti
yang mulia (al-akhlak al-karimah). Sahabat bertanya-tanya tentang bagaimana sesungguhnya
akhlak Nabi itu. Ketika ada sahabat yang bertanya kepada Aisyah isteri Nabi, kaifa akhlaquhu>.
(bagaimana akhlak Nabi itu?) Aisyah menjawab dengan singkat akhlaquhu Al-Qur’an (akhlaknya
adalah al-Qur’an).

Kalau kita mau bersikap dan berperilaku dengan akhlak yang sempurna dan berakhlak mulia
berpeganglah pada al-Qur’an. Sedang yang paling mengerti tentang pengamalan al-Qur’an adalah
Nabi sendiri. Rasulullah adalah prototipe manusia yang berakhlak sempurna. Allah
mengabadikannya dalam QS. 68 (al-Qalam): 4 :

Artinya : Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.

Berdasarkan ayat tersebut, para sufi menyebut Nabi Muhammad sebagai al- Insan al-Kamil,
prototipe manusia sempurna sejak Adam hingga manusia akhir zaman. Kita sebagai umat
Rasulullah wajib menjadikan beliau sebagai uswah hasanah (teladan yang baik) dalam segala segi
kehidupan sebagaimana firman Allah dalam QS. 33 (al-Ahzab): 21 :

1
Artinya : “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu
(yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak
menyebut Allah. ” (QS Al-Ahzab,
33: 21).

Menjadikan Rasulullah Muhammad SAW sebagai uswah hasanah dalam segala aspek
kehidupannya itulah yang dimaksud ber-Islam secara kaffah (total).

2. Konsep Etika, Moral Dan Akhlak

Akhlak merupakan perilaku yang dibangun berbasis hati nurani. Meski ada yang
mengklasifikasikannya menjadi akhlak mulia dan akhlak tercela, tapi pada lazimnya akhlak adalah
suatu sebutan bagi perilaku terpuji yang berakar dari iman. Malah dasar pijakan akhlak adalah al-
Qur’an dan al-Sunnah, sehingga perilaku yang tidak berdasar keduanya tidak ada jaminan sebagai
akhlak mulia. Sumber pijakan inilah yang merupakan perbedaan prinsip dari akhlak dengan etika,
budi pekerti, moral dan sebagainya.

Etika, moral, budi pekerti, meskipun dasarnya adalah kebiasaan, adat- istiadat masyarakat,
tapi di kalangan umat beragama, perilaku yang terbiasa, dapat disesuaikan dan dijiwai oleh akhlak
yang diajarkan oleh agama. Karena itu banyak kita temui etika, moral dan budi pekerti saling
mengisi dengan ajaran akhlak yang dibimbing oleh agama. Mengapa demikian ? Karena unsur-
unsur akhlak ini adalah hal-hal yang makruf, yang sudah dimaklumi oleh orang banyak sebagai
hal yang baik, dan bersumber pada sifat dan sikap jiwa yang mulia dan terpuji, seperti : jujur, adil,
bijaksana, berkata benar, ramah, senyum, pemaaf, disiplin, dsb.

Berbicara masalah akhlak berarti berbicara tentang konsep al-husn (baik) dan al-qubh
(buruk). Menurut Mu’tazilah al-husn adalah sesuatu yang menurut akal bernilai baik dan al-qubh
adalah sesuatu yang menurut akal bernilai buruk. Bagi Mu’tazilah baik dan buruk itu ukurannya
adalah akal manusia. Berbeda dengan Mu’tazilah, Ahlu al-Sunnah berpendapat, bahwa yang dapat
menentukan baik dan buruk bukan akal tetapi wahyu. Oleh karenanya Ahlu al-Sunnah
berpendapat, bahwa al-husn adalah sesuatu yang menurut al-Quran dan al- Sunnah adalah baik
dan al-qubh adalah sesuatu yang menurut al-Qur’an dan al-Sunnah adalah buruk.

Secara substansial, etika, moral dan akhlak memang sama, yakni ajaran tentang kebaikan dan
keburukan, menyangkut perikehidupan manusia dalam hubungannya dengan Tuhan, sesama
manusia dan alam dalam arti luas. Yang membedakan satu dengan yang lainnya adalah ukuran
kebaikan dan keburukan itu sendiri. Etika adalah ajaran yang berbicara tentang baik dan buruk dan
yang menjadi ukuran baik dan buruknya adalah akal karena memang etika adalah bagian dari
filsafat. Sedangkan akhlak yang secara kebahasaan berarti budi pekerti, perangai atau disebut juga
sikap hidup adalah ajaran yang berbicara tentang baik dan buruk yang ukurannya adalah wahyu
Tuhan.

Secara terminologis akhlak adalah ilmu yang menentukan batas antara yang baik dan yang
buruk, terpuji atau tercela, menyangkut perkataan dan perbuatan manusia lahir batin. Secara rinci
kajian akhlak itu meliputi:

a. Pengertian baik dan buruk.


b. Menerangkan apa yang harus dilakukan oleh seorang manusia terhadap manusia lainnya.
c. Menj elaskan tujuan yang seharusnya dicapai oleh manusia dengan perbuatan- perbuatannya.
d. Menerangkan jalan yang harus dilalui untuk berbuat.

2
Menurut Ibnu Miskawaih, akhlak adalah keadaan jiwa seseorang yang mendorongnya untuk
melakukan perbuatan-perbuatan tanpa melalui pertimbangan pikiran terlebih dahulu. Sejalan
dengan apa yang diungkapkan Ibnu Miskawaih, al-Ghazali menyebutkan bahwa akhlak adalah
suatu sifat yang tertanam dalam jiwa yang dari padanya timbul perbuatan-perbuatan dengan
mudah tanpa memerlukan pertimbangan pikiran.

Dua definisi di atas menyatakan, bahwa akhlak secara substansial adalah sifat hati (kondisi
hati) - bias baik - bias buruk - yang tercermin dalam prilaku. Jika sifat hatinya baik, maka yang
muncul adalah akhlak yang baik (al-akhlaq al-karimah) dan jika sifat hatinya buruk, maka yang
keluar dari perilakunya adalah akhlak yang buruk (al-akhlak al-mazmumah). Kemudian muncul
pertanyaan, apa yang menyebabkan hati manusia kotor dan jelek dan apa pula yang menyebabkan
hati manusia bersih dan baik. Menurut Ibnu al-‘ Arabi, hati manusia bias jelek dan rusak juga bias
baik dan suci adalah faktor dirinya.
Di dalam diri manusia ada tiga nafsu; 1) nafsu syahwaniyyah, (nafsu ini ada pada manusia
dan ada pada binatang, yaitu nafsu yang cenderung pada kelezatan misalnya makanan, minuman
dan syahwat jasmaniyah, seperti bersenang-senang dengan lawan jenis). Kalau nafsu ini tidak
dikendalikan, maka manusia tak ada bedanya dengan hewan, sikap hidupnya menjadi hedonisme;
2) nafsu al-ghadhabiyah, nafsu ini juga ada pada manusia dan ada pada hewan, yaitu nafsu yang
cenderung kepada marah, merusak, ambisi, senang menguasai dan mengalahkan yang lain. Nafsu
ini lebih kuat ketimbang nafsu syahwaniyah dan lebih berbahaya bagi pemiliknya jika tak
terkendalikan. Ia cenderung pemarah, sangat hiqdu (dengki), tergesa-gesa tidak tenang, cepat
bertindak untuk menaklukkan musuhnya tanpa pertimbangan matang dan rasional; dan 3) al-nafsu
al-nathiqah, yaitu nafsu yang membedakan manusia dengan hewan. Nafsu yang dengannya
manusia mampu berzikir mengambil hikmah, memahami fenomena alam dan dengannya manusia
menjadi agung, besar cita-citanya, kagum terhadap dirinya sehingga bersyukur kepada Tuhannya.
Nafsu ini menjadikan manusia dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, serta
dengannya pula manusia dapat mengendalikan kedua nafsu al-syahwaniyah dan al-gadhabiyah.
Al-Nathiqah ini akan berkembang positif bahkan dapat mengendalikan kedua nafsu yang lainnya,
yaitu dengan mempelajari ilmu akhlak, hikmah dan menahan diri dari keburukan dan fahisyah,
mengatur kehidupan dan penghidupannya secara baik, menjaga harga diri dan muru ’ah.

Suci dan tidaknya hati manusia tergantung mana yang paling dominan dalam hatinya, jika nafsu
yang pertama dan yang kedua {syahwaniyah dan gadhabiyah) yang mendominasi dirinya, maka
yang muncul adalah akhlak yang buruk {al- akhlak al-mazmumah), tetapi jika nafsu yang ketiga
yang muncul, yaitu al- nafs al-nathiqah yang mendominasi hatinya, maka akhlak al-karimah-lah
yang akan muncul dari dirinya.
Adapun moral adalah ajaran baik dan buruk yang ukurannya adalah tradisi yang berlaku di
suatu masyarakat. Seseorang dianggap bermoral kalau sikap hidupnya sesuai dengan tradisi yang
berlaku di masyarakat tempat ia berada, dan sebaliknya seseorang dianggap tidak bermoral jika
sikap hidupnya tidak sesuai dengan tradisi yang berlaku di masyarakat tersebut. Dan memang
menurut ajaran Islam pada asalnya manusia adalah makhluk yang bermoral dan etis. Dalam arti
mempunyai potensi untuk menjadi makhluk yang bermoral yang hidupnya penuh dengan nilai-
nilai atau norma-norma.
Betapa penting kedudukan akhlak dalam Islam. Al-Quran bukan memuat ayat-ayat yang
secara spesifik berbicara masalah akhlak, malah setiap ayat yang berbicara hukum sekalipun,
dapat dipastikan bahwa ujung ayat tersebut selalu dikaitkan dengan akhlak atau ajaran moral.
Ayat-ayat yang pangkalnya menjelaskan ketentuan hukum, biasanya ujung ayat mengutarakan
masalah akhlak. Sebagai contoh dalam QS 2 (al-Baqarah): 183 Allah berfirman:

3
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana
diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. ” (QS Al-Baqarah, 2:183)

Bertakwa artinya menjauhi perbuatan-perbuatan buruk dan melakukan perbuatan perbuatan


baik. Hadis-hadis Nabi juga mengaitkan puasa dengan perbuatan-perbuatan baik (al-akhlaq-al-
Mahmudah) dan perbuatan buruk (al- akhlak al-mazhmumah). Dalam salah satu Hadis dinyatakan
:

“Orang yang tidak meninggalkan kata-kata bohong dan senantiasa berdusta tidak ada faedahnya
ia menahan diri dari makan dan minum. ” (HR. Tirmizi).

Jadi puasa yang tidak menjauhkan manusia dari ucapan dan perbuatan yang jelek, maka tidak
ada gunanya. Orang yang demikian tidak perlu menahan diri dari makan dan minum, karena
puasanya tak berguna. Hadis lain menyatakan :
Puasa bukanlah menahan diri dari makan dan minum, tetapi puasa adalah menahan diri dari
kata-kata sia-sia dan kata-kata tak sopan; Jika kamu dicaci atau tidak dihargai katakanlah: “Aku
berpuasa. ”
Dengan demikian, berpuasa bukanlah menahan diri dari makan dan minum, tetapi menahan
diri dari ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan yang tidak baik dan kotor. Contoh lain mengenai
haji sebagaimana disebutkan dalam QS 2 (al-Baqarah): 197 :

Artinya : “(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi. Barangsiapa yang menetapkan
niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, Maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan
berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji, dan apa yang kamu kerjakan berupa
kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah
takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal” (QS Al- Baqarah, 2:197).

Ayat di atas begitu jelas menerangkan bahwa sewaktu mengerjakan haji, orang tidak boleh
mengeluarkan ucapan-ucapan yang tidak senonoh, tidak boleh berbuat hal-hal yang tidak baik dan
tidak boleh bertengkar. Demikian juga ayat tentang salat, zakat dan ayat-ayat muamalah lainnya,
selalu dikaitkan dengan pesan-pesan perbaikan akhlak dan moral.

4
3. Hubungan Tasawuf Dengan Akhlak.

Tasawuf adalah proses pendekatan diri kepada Tuhan (Allah) dengan cara mensucikan hati
(tashfiat al-qalbi). Hati yang suci bukan hanya bisa dekat dengan Tuhan, malah dapat melihat
Tuhan (al-Ma’rifah). Dalam tasawuf, bahwa Tuhan Yang Maha Suci tidap didekati kecuali oleh
hati yang suci. Menurut Zun Nun al-Misri, ada tiga macam pengetahuan tentang Tuhan :

a. Pengetahuan awam : Tuhan satu dengan perantaraan ucapan syahadat.


b. Pengetahuan ulama: Tuhan satu menurut logika akal.
c. Pengetahuan kaum sufi: Tuhan satu dengan perantaraan hati sanubari.

Pengetahuan yang disebut pertama dan kedua, menurut Harun Nasution, belum merupakan
pengetahuan hakiki tentang Tuhan (ma ’rifah). Telah dijelaskan bahwa akhlak adalah gambaran
hati (al-Qalb) yang dari padanya timbul perbuatan-perbuatan. Jika hatinya bersih dan suci, maka
yang akan keluar adalah perbuatan-perbuatan yang baik (al-akhlak al-mahmudah) dan sebaliknya,
jika hatinya kotor dengan dosa-dosa dan sifat-sifat yang buruk, maka yang akan muncul dalam
perilakunya adalah akhlak yang buruk (al-akhlak al- mazmumah).

Kalau ilmu akhlak menjelaskan mana nilai yang baik dan yang buruk, juga bagaimana
mengubah makhluk buruk agar menjadi baik secara lahir, yakni dengan cara-cara yang nampak
seperti keilmuan, keteladanan, pembiasaan dan lain-lain, maka ilmu tasawuf menerangkan
bagaimana cara mensucikan hati (tashfiat al-qalb), agar setelah hatinya suci yang muncul dari
perilakunya adalah al-akhlak al-karimah.

Perbaikan akhlak menurut ilmu tasawuf, harus berawal dari pensucian hati. Persoalan yang
mengemuka kemudian adalah bagaimana cara mensucikan hati dalam tasawuf ? Metode tasfiat al-
qalb, dalam pendapat para sufi adalah dengan ijtinab al-manhiyyat (menjauhi larangan Tuhan)
adaa al-wajibat (melaksanakan kewajiban-kewajiban Tuhan), adaa al-naafdat (melakukan hal-hal
yang disunatkan), dan al-riyadhah. Riyadhah artinya latihan spiritual sebagai yang diajarkan oleh
Rasulullah, sebab yang mengotori hati manusia adalah kemaksiatan-kemaksiatan yang diperbuat
oleh manusia akibat ia lengah dari bujukan nafsu dan godaan setan. Kemaksiatan dapat
mengakibatkan hati manusia kotor, kelam dan berkarat sehingga hati tidak berfungsi malah dapat
mati.
Kata para sufi, keadaan hati itu ada tiga macam. Pertama, hati yang mati yaitu hatinya orang
kafir. Kedua, hati yang hidup yaitu hatinya orang beriman. Ketiga, hati yang kadang-kadang hidup
dan kadang mati, itulah hatinya orang- orang fasik dan munafik. Yang harus diperjuangkan adalah
bagaimana agar hati kita istiqamah dalam kehidupannya dan bagaimana cara memperoleh
istiqamah dalam hati. Hal ini pun bagian dari bahasan ilmu tasawuf.

Memperhatikan tujuan global di atas, kita dapat menggambarkan ruang lingkup ajaran akhlak;
yaitu meliputi bagaimana akhlak kita terhadap diri sendiri; al-taubah (kembali kepada Tuhan), al-
muraqobah (kesadaran diri bahwa Tuhan mengintai kita), al-muhasabah ( selalu introspeksi
terhadap diri sendiri) dan al-mujahadah (terus menerus mendekati Tuhan). Akhlak kita terhadap
Allah; akhlak terhadap kalam Allah (al-Kitab), Akhlak terhadap Rasulullah; akhlak terhadap
makhluk (sesama manusia) meliputi; akhlak terhadap kedua orang tua, akhlak terhadap anak, istri,
akhlak terhadap kerabat, terhadap tetangga, terhadap sesama muslim, kepada orang kafir (non
muslim), terhadap hewan dan terakhir akhlak terhadap alam dalam arti luas.

4. Indikator Manusia Berakhlak.

Manusia berakhlak adalah manusia yang suci dan sehat hatinya, sedang manusia tidak
berakhlak (a moral) adalah manusia yang kotor dan sakit hatinya. Namun sering kali manusia
tidak sadar kalau hatinya sakit. Kalaupun dia sadar tentang kesakitan hatinya, ia tidak berusaha

5
untuk mengobatinya. Padahal penyakit hati jauh lebih berbahaya ketimbang penyakit fisik.
Seseorang yang sakit secara fisik jika penyakitnya tidak dapat diobati dan disembuhkan ujungnya
hanya kematian. Kematian bukanlah akhir segala persoalan melainkan pintu yang semua orang
akan memasukinya. Tetapi penyakit hati jika tidak disembuhkan maka akan berakhir dengan
kecelakaan di alam keabadian.

Indikator manusia berakhlak (husn al-khuluq), kata al-Gazali, adalah tertanamnya iman dalam
hatinya. Sebaliknya manusia yang tidak berakhlak (su ’u al-khuluq) adalah manusia yang ada
nifaq di dalam hatinya. Nifaq artinya sikap mendua dalam Tuhan. Tidak ada kesesuaian antara hati
dan perbuatan. Iman bagaikan akar dari sebuah tumbuhan. Sebuah pohon tidak akan tumbuh pada
akar yang msak dan kropos. Sebaliknya sebuah pohon akan baik tumbuhnya bahkan berbuah jika
akarnya baik. Amal akan bermakna jika berpangkal pada iman, tetapi amal tidak membawa makna
apa-apa apabila tidak berpangkal pada iman. Demikian juga amal tidak bermakna apabila amal
tersebut berpangkal pada kemunafikan. Hati orang beriman itu bersih, di dalamnya ada pelita yang
bersinar dan hati orang kafir itu hitam dan malah terbalik.
Taat akan perintah Allah, juga tidak mengikuti keinginan sahwat dapat mengkilaukan hati,
sebaliknya melakukan dosa dan maksiat dapat menghitamkan hati. Barang siapa melakukan dosa,
hitamlah hatinya dan barang siapa melakukan dosa tetapi menghapusnya dengan kebaikan, tidak
akan gelaplah hatinya hanya cahaya itu berkurang. Dengan mengutip beberapa ayat al-Qur’an dan
Hadis, selanjutnya al-Gazali mengemukakan tanda-tanda manusia beriman yang uraiannya sebagai
berikut:

a. Manusia beriman adalah manusia yang khusu’ dalam shalatnya.


b. Berpaling dari hal-hal yang tidak berguna (tidak ada faedahnya).
c. Selalu kembali kepada Allah.
d. Mengabdi hanya kepada Allah.
e. Selalu memuji dan mengagungkan Allah.
f. Bergetar hatinya jika nama Allah disebut.
g. Berjalan di muka bumi dengan tawadhu ’ dan tidak sombong.
h. Bersikap arif menghadapi orang-orang awam.
i. Mencintai orang lain seperti ia mencintai dirinya sendiri.
j. Menghormati tamu.
k. Menghargai dan menghormati tetangga.
l. Berbicara selalu baik, santun dan penuh makna.
m. Tidak banyak bicara dan bersikap tenang dalam menghadapi segala persoalan.
n. Tidak menyakiti orang lain baik dengan sikap maupun perbuatan.

Sufi yang lain mengungkapkan tanda-tanda manusia berakhlak, antara lain: Memiliki budaya
malu dalam interaksi dengan sesamanya, tidak menyakiti orang lain, banyak kebaikannya, benar
dan jujur dalam ucapannya, tidak banyak bicara tapi banyak bekerja, penyabar, hatinya selalu
bersama Allah, tenang, suka berterima kasih, ridha terhadap ketentuan Allah, bijaksana, hati-hati
dalam bertindak, disenangi teman dan lawan, tidak pendendam, tidak suka mengadu domba,
sedikit makan dan tidur, tidak pelit dan hasad, cinta karena Allah dan benci karena Allah.
Ketika Rasulullah ditanya tentang perbedaan mukmin dan munafik, Rasulullah menjawab,
orang mukmin keseriusannya dalam shalat, puasa dan ibadah sedangkan orang munafik
kesungguhannya dalam makan minum layaknya hewan. Hatim al-‘Asam seorang ulama tabi’in
menambahkan, bahwa indikator mukmin adalah manusia yang sibuk dengan berfikir dan hikmah,
sementara munafik sibuk dengan obsesi dan panjang angan-angan, orang mukmin putus harapan
terhadap manusia kecuali pada Allah. Sebaliknya orang munafik banyak berharap kepada sesama
manusia dan bukan kepada Allah. Mukmin merasa aman dari segala sesuatu kecuali dari Allah,
munafik merasa takut oleh segala sesuatu kecuali oleh Allah. Mukmin berani mengorbankan
hartanya demi agamanya sedangkan munafik berani mengorbankan agamanya demi hartanya.

6
Mukmin menangis dan berbuat baik, munafik berbuat jahat dan tertawa terbahak-bahak. Mukmin
senang berkhalwat (bersemedi) sedang munafik senang keramaian. Mukmin menanam dan
menjaga agar tidak terjadi kerusakan, munafik menuai dan mengharap keuntungan. Mukmin
memerintah dan melarang (amar ma ’ruf nahi munkar) demi kebaikan, sementara munafik
memerintahkan dan melarang (amar ma ’ruf nahi munkar) untuk kekuasaan, maka kerusakanlah
yang terjadi.

Kalau akhlak dipahami sebagai pandangan hidup, maka manusia berakhlak adalah manusia
yang menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban dalam hubungannya dengan Tuhan,
sesama makhluk dan alam dalam arti luas.

5. Akhlak dan Aktualisasinya Dalam Kehidupan.

Perbaikan akhlak merupakan bagian dari tujuan pendidikan Islam. Pendidikan yang hanya
berorientasi pada kecerdasan intelektual telah gagal membawa manusia dalam penfungsian dirinya
sebagai khalifah fi al-ard. Sejak awal seorang, Socrates telah mengingatkan bahwa tujuan
pendidikan ialah kebaikan sifat dan budi, yaitu kasih sayang dan kerelaan. Tujuan nyata dari
pendidikan ialah menyalurkan warisan sosial dari suku bangsa sejenis. Berbicara masalah yang
sama, lebih jauh Al-Gazali menyatakan, bahwa penyesuaian diri tidak sekedar dijalankan terhadap
norma masyarakat, tetapi terhadap norma Tuhan. Al-Gazali selanjutnya mengutarakan bahwa
tujuan pendidikan secara individual ialah membersihkan kalbu dari godaan hawa nafsu (syahwat)
dan amarah (ghadhab), hingga ia jernih bagaikan cermin yang dapat menerima cahaya Tuhan.
Mendidik itu sama dengan pekeijaan peladang membuang duri dan mencabut rumput yang
tumbuh di antara tanaman-tanaman agar subur tumbuhnya.
Di dalam hati yang bersih, iman tumbuh dan berkembang. Ia menebarkan cahaya ke seluruh
anggota badan lahir batin. Kalau indikator manusia berakhlak adalah manusia yang tertanam
dalam hatinya yang iman dengan kokoh, maka tasawuf adalah upaya bagaimana kiat-kiat agar
iman itu istiqamah dan tetap kokoh. Dalam sebuah Hadits yang amat popular, Nabi berkata
kepada para sahabat:

“Perbaharuilah iman kamu sekalian, perkuatlah iman kamu sekalian. Para sahabat menjawab :
Bagaimana cara kami memperbaharui iman, dan memperkuat iman ya Rasulullah? Rasulullah
menjawab yaitu dengan banyak berzikir kepada Allah. ”

Tasawuf adalah upaya spiritual bagaimana agar manusia dapat memiliki akhlak al-karimah.
Caranya yaitu dengan tasfiat al-qalb. Metode tasfiat al- qalb yang disepakati oleh para sufi adalah
dawam al-zikr (selalu ingat kepada Tuhan). Zikir adalah ruh amal salih. Jika sebuah amal salih
lepas dari zikir, maka laksana jasad tanpa ruh. Mengapa zikir menjadi pola tasfiat al-qalb yang
disepakati oleh para sufi? Paling tidak ada tujuh alasan yang dimajukan mereka secara naqli, yaitu
:

a. Perintah zikir dalam al-Quran datang ada secara mutlak dalam arti tidak dibatasi dengan
pemyatan-pemyataan yang lain dan ada yang perintahnya dikaitkan dengan batasan-batasan
yang lain.
b. Larangan berlaku sebaliknya, yaitu lupa dan lalai dari zikir.
c. Kebahagiaan yang akan diperoleh manusia dikaitkan dengan banyak istiqomah dalam
berzikir.
d. Pujian Allah dialamatkan kepada ahli zikir dan Allah menjanjikan bagi mereka ampunan dan
surga.

7
e. Informasi Allah bahwa kerugian bagi orang yang bersikap sebaliknya yakni tidak berzikir.
f. Allah menjadikan zikir hamba kepada-Nya sebagai syarat zikirnya Allah kepada mereka.
g. Pertanyaan Allah secara jelas bahwa zikir adalah perkara yang amat besar. Zikir adalah
ketaatan yang paling utama dan yang dimaksud ketaatan adalah taat secara total, yakni
melakukan zikir yang zikir itu adalah rahasia ketaatan dan ruh ketaatan. Ada yang
mengartikan, zikir lebih besar, artinya jika zikir dilakukan secara sempurna maka hancurlah
segala kesalahan dan kemaksiatan. Kebaikan akhlak bisa jadi karena anugerah, mujahadah
dan riyadhah.

Kecuali langkah spiritual yang harus dilakukan, juga langkah lahiriah harus diupayakan.
Menurut ilmu akhlak, kebiasaan yang baik harus disempurnakan dan kebiasaan yang buruk harus
dihilangkan. Kebiasaan merupakan faktor yang amat penting dalam membentuk karakter manusia
berakhlak baik. Kebiasaan adalah perbuatan yang dilakukan secara berulang- ulang sehingga
orang menjadi mudah mengerjakannya. Oleh karena itu hendaknya manusia memaksakan diri
(mujahadah) untuk mengulang-ulang perbuatan yang baik sehingga menjadi kebiasaan dan
akhirnya terbentuklah akhlak yang baik pada dirinya. Sejak awal Nabi menganjurkan agar anak
dibiasakan melakukan kewajiban-kewajiban. Nabi bersabda:

Suruhlanh anak-anakmu mengerjakan shalat sewaktu mereka berumur tujuh tahun, dan ambillah
tindakan tegas pada waktu mereka berumur sepuluh tahun, serta pisahkan mereka dari tempat
tidurnya. ” (HR. Tirmizi).

Seseorang akan mudah mengerjakan suatu perbuatan yang telah menjadi kebiasaannya,
meskipun pada awalnya perbuatan itu dirasakan berat. Islam menghendaki agar pemeluknya
melatih diri melakukan kewajibannya secara istiqamah, khususnya shalat yang lima waktu, puasa
pada bulan Ramadhan, zakat, haji dan lain-lain pada waktunya, sehingga semua itu menjadi
kebiasaan yang mencetak orang bersangkutan berkarakter taat terhadap perintah Allah. Demikian
pula kebiasaan berbuat baik terhadap sesama manusia (ibadah sosial) dan alam lingkungan dalam
arti luas.

Dalam akhlak, keutamaan tidaklah cukup dengan hanya mengetahuinya, apakah keutamaan
itu, tetapi harus ditambahkan dengan melatihnya dan terus menerus mengerjakannya atau mencari
jalan lain untuk menjadi orang-orang yang memiliki keutamaan dan kebaikan (ahl al-fadl wa al-
khair). Secara singkat Al-Gazali menyebutkan bahwa untuk mencapai akhlak yang baik, ada tiga
cara, yaitu ; Pertama, akhlak yang merupakan anugerah dan kasih sayang Allah, yakni orang
memiliki akhlak baik secara alamiah (bi al-thabi ’ah wa al- fitrah), sebagai sesuatu yang diberikan
Allah kepadanya sejak ia dilahirkan. Kedua dengan mujahadah (menahan diri/ Ketiga dengan
riyadhah melatih diri secara spiritual, dan bentuk riyadhah yang disepakati para sufi, sebagai telah
dijelaskan antara lain ialah dengan dawam al-zikr.
Upaya mengubah kebiasaan yang buruk menurut Ahmad Amin sebagai yang dikutip Ishak
Solih adalah dengan hal-hal sebagai berikut:

a. Menyadari perbuatan buruk, bertekad untuk meninggalkannya.


b. Mencari waktu yang baik untuk mengubah kebiasaan itu untuk mewujudkan niat atau tekad
semula.
c. Menghindarkan diri dari segala yang dapat menyebabkan kebiasaan buruk itu terulang.
d. Berusaha untuk tetap berada dalam keadaan yang baik.
e. Menghindarkan diri dari kebiasaan yang buruk dan meninggalkannya dengan sekaligus.
f. Menjaga dan memelihara baik-baik kekuatan penolak dalam jiwa, yaitu penolak terhadap
perbuatan yang buruk. Perbuatan baik dipelihara dengan istiqamah, ikhlas dan jiwa tenang.
g. Memilih teman bergaul yang baik, sebab pengaruh kawan itu besar sekali terhadap
pembentukan watak pribadi.
h. Menyibukkan diri dengan pekerjaan yang bermanfaat.

8
Sementara Al-Gazali berpendapat, bahwa upaya mengubah akhlak yang buruk adalah dengan
kesadaran seseorang akan akhlaknya yang jelek pada dirinya. Ada empat cara untuk dapat
membantu setiap orang dalam masalah ini, yaitu :

a. Dengan menjadi murid seorang pembimbing spiritual (syaikh).


b. Dengan minta bantuan seorang teman yang tulus, taat dan punya pengertian. Teman ini
diminta untuk mengamati keadaan dan kondisi orang tersebut dengan teliti dan mengatakan
kepadanya tentang kekurangan-kekurangan yang nyata dan tersembunyi pada dirinya.
c. Dengan mengetahui kekurangan kita dari seseorang yang tidak menyenangi kita. Orang yang
tidak senang kepada kita lebih banyak melihat kekurangan yang ada pada diri kita ketimbang
kebaikannya.
d. Dengan bergaul bersama orang banyak dan memisalkan kekurangan yang dilihat pada orang
lain bagaikan ada pada diri kita. Selanjutnya ia menyatakan bahwa keburukan jiwa dapat
dipulihkan secara permanen jika substansinya dihancurkan. Ini hanya dapat dilaksanakan
dengan menghilangkan penyebab keburukan itu. Oleh sebab itu ia sering mangatakan bahwa
penyembuhan penyakit hati tergantung pada penghalang dan faktor penyebabnya. Carilah
faktor penyebabnya kemudian sembuhkan dengan obat rohani yang tepat dan cocok.
Selanjutnya ia mengatakan:

“Ketahuailah bahwa keburukan jiwa adalah penyakitnya, dan pembersihan jiwa dari
penyakit memakai suatu obat...Bagi tiap penyakit jiwa ada obat yang sebanding dengan kecil
besarnya penyakit itu. Pakailah obat untuk penyakit itu jika ia menimpa kamu dengan
memberikan penawar penyakit atau memotong pangkalnya. ”

Akhlak al-karimah adalah buah yang harus didapatkan. Tasawuf adalah upaya spiritual
bagaimana manusia dapat memperoleh buah itu. Riyadhah adalah salah satu cara yang di
mata para sufi paling efektif untuk mendapatkan buah itu (akhlak al-karimah). Zikir
disepakati oleh para sufi merupakan riyadhah yang paling besar pengaruhnya terhadap
pensucian hati. Tetapi karena tasawuf itu adalah upaya peningkatan kualitas maka
pelaksanaannya tentu saja terintegrasi dengan aqidah dan syari’ah atau dengan istilah lain
fikih. Mengamalkan tasawuf tanpa fikih adalah kezindikan, sebaliknya berfikih tanpa tasawuf
adalah kehampaan spiritual yang didapatkan. Memadukan antara fikih dan tasawuf adalah
pencapaian hakikat kebenaran.

Tasawuf perlu dibedah secara naqli dan ‘aqli, agar mahasiswa tahu bahwa bagaimana ber-
Islam secara kaffah, secara ilmu dan amal. Islam kaffah adalah secara ilmu Islam dipahami
lahir batinnya, dan secara amal diaktualisasikan lahir dan batinnya. Kata Ibnu ‘Arabi ilmu
adalah imam bagi amal. Maka pengetahuan yang benar dan agak mendalam tentang tasawuf
akan melahirkan mahasiswa yang memahami Islam dan berusaha secara sungguh-sungguh
mengamalkannya dalam kehidupan ritual dan sosialnya. Yang menjadi persoalan adalah
bagaimana pengimplementasian akhlak dan tasawuf dalam pembelajarannya. Secara singkat
dapat dikemukakan di sini:
a. Dengan penjelasan yang komprehensif tentang kedudukan tasawuf dalam Islam. Sejak lama
Islam yang kita ajarkan kepada anak didik adalah Islam fikih. Islam fikih cenderung
menggiring mahasiswa bersikap formalistik dalam pengalaman agama. Islam fikih kering dari
makna dan ruh ajaran. Padahal Nabi secara jelas menyatakan Al-Qur’an harus dipahami lahir
dan batinnya. Lahir ayat melahirkan fikih, batin ayat melahirkan ajaran tasawuf. Tasawuf
adalah bagian integral dari ajaran Islam, memisahkan tasawuf dari ajaran Islam sama artinya
dengan menghilangkan substansi ajaran Islam itu sendiri. Ayat-ayat Al-Quran sebagaimana
telah dijelaskan bukan hanya mengangkat ayat tentang tasawuf, malah ayat yang berbicara
hukum sekalipun selalu dikaitkan dengan substansi ajaran tasawuf.

b. Dengan memberikan contoh dan teladan. Memberikan contoh dalam pengalaman fikih dan
tasawuf sekaligus memberikan teladan bagaimana sikap berakhlak yang baik dalam

9
kehidupan sehari-hari.

c. Dosen PAI harus menjadi teladan dan dapat dibanggakan oleh mahasiswanya dalam segala
aspek kehidupannya. Jangan mahasiswa kehilangan panutan di kampus atau menjadikan nilai-
nilai yang tidak berasaskan al-Quran dan al-Sunnah sebagai pedoman dalam hidupnya. Yang
lain-lainnya dapat dilakukan oleh dosen PAI, semisal pembiasaan, tentunya pembiasaan
perilaku-perilaku yang baik, menegakkan disiplin, memberi motivasi atau dorongan,
memberikan hadiah terutama yang bersifat psikologis, menghukum (kalau perlu), dalam
rangka pendisiplinan dan yang harus diupayakan oleh institusi dan lingkungan adalah
penciptaan suasana yang berpengaruh bagi pertumbuhan positif berakhlak al-karimah.

Secara substansial, akhlak, etika dan moral adalah sama, yaitu ajaran tentang baik dan
buruk berkaitan dengan sikap hidup manusia. Yang membedakan satu dengan yang lainnya
adalah sumber kebenarannya. Akhlak bersumberkan al-Quran dan al-Sunnah, sementara etika
bersumberkan akal karena ia bagian dari filsafat, sedangkan moral bersumberkan adat istiadat
(tradisi) yang berlaku di masyarakat. Etika lebih bersifat teoritis, moral bersikap praktis, etika
bersifat umum, sedangkan moral lebih bersikap lokal dan khusus. Akhlak bersifat universal
dan komprehensif, mencakup aspek lahir dan batin.

Dari satu segi akhlak adalah buah dari tasawuf (proses pendekatan diri kepada Tuhan), tapi
dari sisi lain akhlak pun merupakan usaha manusia secara lahiriah, yaitu melalui ilmu dan
amal, mujahadah dan riyadhah. Implementasi akhlak dan tasawuf, bahwa secara keilmuan
tasawuf harus dibedah sehingga jelas substansi kajiannya dan sekaligus posisinya dalam
ajaran Islam. Cara lain, keteladanan merupakan usaha yang sulit tetapi amat menentukan,
memberi motivasi memberi hadiah atau sebaliknya menghukum secara psikologis dan yang
tidak kalah pentingnya adalah upaya penciptaan suasana kondusif oleh semua pihak untuk
tumbuhnya sikap akhlak yang positif di kampus masing-masing.

10

Anda mungkin juga menyukai