Anda di halaman 1dari 51

KEGIATAN BELAJAR 1:

CAPAIAN PEMBELAJARAN

Mampu menganalisis hakekat akhlak dan kekuatan pendukungya dalam jiwa


manusia

INDIKATOR KOMPETENSI

1. Mendefinisikan hakekat akhlak al-karimah.


2. Membedakan potensi-potensi jiwa; Quwwah al-Ilmi, Quwwah al-Ghadhab,
Quwwah asy-Syahwah, dan Quwwah al-‘Adalah dalam jiwa manusia.
3. Menganalisis terbentuknya akhlak al-karimah dengan sumber-sumber
kemuliaan; hikmah, syaja'ah, iffah, dan ‘adalah

URAIAN MATERI
1. DEFINISI AKHLAK AL-KARIMAH
Bagaimana Saudara sudah siap untuk mengkaji definisi akhlak? Saudara tidak perlu
tegang atau takut. Ingat tidak ada yang susah kalau Saudara sudah bisa. Dan tidak ada yang
tidak bisa diraih kalau Saudara sungguh-sungguh “ ‫”من جد وجد‬
Baik, kita mulai fahami menurut bahasa terlebih dahulu.
Menurut bahasa kata Akhlak dalam bahasa Arab merupakan jama’ dari ‫خلق‬/khuluqun
yang berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku, sopan santun atau tabiat. Kata tersebut
mengandung segi persesuaian dengan perkataan ‫خلق‬/khalqun berarti kejadian, yang juga erat
hubungannya dengan ‫خالق‬/khalik yang berarti pencipta, demikian pula ‫مخلوق‬/makhluqun yang
berarti yang diciptakan. Perumusan pengertian akhlak timbul sebagai media yang
memungkinkan adanya hubungan baik antara khaliq dengan makhluk (Mushtofa, Akhlak
Tasawuf, 2008: 11)

1
Sudah nyambung? Coba selanjutnya Saudara fahami beberapa definisi akhlak menurut
para ahli berikut:
a. Ibnu Miskawih

‫الخلق حال للنفس داعية لها إلى أفعالها من غير فكر وال روية‬
“Akhlak adalah kondisi jiwa yang mendorong tindakan-tindakan tanpa perlu berpikir
dan pertimbangan lagi” (Ibn. Miskawaih, Thadzib al-Akhlaq, 1985; 25)
Kondisi jiwa seseorang dalam definisi Ibn Miskawaih di atas merupakan kondisi
jiwa yang sudah terbiasa melakukan tindakan-tindakan tertentu, sehingga tindakan-
tindakan tersebut seakan sudah mendarah daging, mereka akan melakukannya secara
sepontan ketika mendapatkan stimulus tertentu.

b. Al-Ghazali

ُ ِ‫صد ُِر ْاْل َ ْفعَا َل ب‬


‫س ُهولَة َويُ ْسر‬ ْ ُ ‫الخلق عبارة عن َه ْيئَة فِي النَّ ْف ِس َرا ِسخَة َع ْن َها ت‬
‫ِم ْن َغي ِْر َحا َجة إِلَى فِ ْكر َو َر ِويَّة‬
“Akhlak ialah gambaran keadaan jiwa berupa sifat-sifat yang sudah mendarah daging
yang mendorong dilakukannya perbutan-perbuatan dengan mudah lagi gampang
tanpa berfikir panjang” (Al-Ghazali, Ihya Ulum ad-Din/Rubuu’ al-Muhlikat, 2005;
890)
Gambaran sifat-sifat jiwa yang sudah terlatih dan juga sudah mendarah daging
yang dapat menjadi sumber inspirasi dan mendorong tindakan-tindakan yang bersifat
spontan. Tindakan-tindakan seperti inilah yang dapat dikategorikan sebagai akhlak.
Apabila seuatu perbuatan dilakukan dengan mempertimbangkan dahulu, apa untung
ruginya bagi si pelaku perbuatan tersebut, maka belum dikatakan sebagai akhlak.

c. Prof. Dr. Ahmad Amin


Seorang ahli Ilmu Akhlak modern, yakni Ahmad Amin dalam bukunya Kitab
al-Akhlaq, menegaskan bahwa pada dasarnya akhlak adalah kehendak yang dibiasakan,
bukan perbuatan yang tidak ada kehendaknya. Seperti bernafas, denyut jantung,
kedipan mata dan lain-lain (Ahmad Amin, Kitab al-Akhlaq, 2012; 10).
Akhlak merupakan perbuatan yang mudah dilakukan karena telah didik dengan
membiasakannya dalam kehidupan sehari-hari. Perbuatan akhlak adalah perbuatan
yang dilakukan dengan sengaja dan melalui ikhtiar. Pelakunya mengetahui baik atau
buruk dari perbuatan yang dilakukannya. Karena perbuatan akhlak juga termasuk
perbuatan yang kelak akan dipertanggung-jabawkan di hadapan Allah Swt.

2
Selain tiga tokoh ahli dalam bidang akhlak tersebut di atas sebenarnya masih
banyak, tetapi pada dasarnya sama bahwa akhlak unsurnya terdiri dari perbuatan sadar
(ada iradah dan ikhtiar) yang didorong oleh sifat-sifat yang sudah terbiasa sehingga
sekan-akan spontan dan terkesan tidak usah dipikirkan sebelumnya.
Selamat, Saudara telah berhasil memahami apa itu definisi akhlak. Kalau masih
ada waktu coba baca sekali lagi! Selanjutnya dalam KB 1 ini Saudara akan menganalisis
unsur-unsur yang ada di dalam jiwa Saudara yang dapat mempengaruhi terbentuknya
akhlak.

2. KEKUATAN JIWA DAN SUMBER TERBENTUKNYA AKHLAK AL-


KARIMAH

Setelah Saudara mendalami berbagai pendapat mengenai definisi akhlak, kira-kira


Bagaimana pendapat Saudara? Apakah akhlak seseorang bisa terbentuk dengan sendirinya?
Ataukah harus dibentuk dengan mendidik dan membiasakan sampai betul-betul mendarah
daging dalam dirinya? Tentunya Saudara akan setuju kalau akhlak seseorang itu harus dididik
dan dibiasakan secara terus menerus dalam lingkungannya di mana ia tinggal sampai benar-
benar melekat dalam jiwanya.
Dalam rangka pembentukan akhlak seseorang, Saudara perlu terlebih dahulu
memahami kekuatan-kekuatan jiwa yang dapat mendorong terbentuknya akhak tersebut. Baik
bacalah dengan saksama penjelasan berikut ini:
Ibu Miskawaih menjelaskan bahwa di dalam jiwa seseorang itu terdapat tiga kekuatan
(al-quwwah) yang sangat penting dalam membentuk akhlak manusia. Sementara Imam Al-
Ghazali menyebutkan sebagai Ummahat al-Akhlaq wa Ushuluha dengan ditambahkan satu
kekuatan (al-quwwah) sehingga genap menjadi empat kekuatan (al-quwwah) (Al-Ghazali, Ihya
Ulum ad-Din/Rubuu’ al-Muhlikat, 2005; 936), keempatnya adalah sebagai berikut:

1. Quwwah al-Ilmi
Quwwah al-Ilmi adalah kekuatan yang berasal dari akal. Dengan akal inilah
manusia dapat dengan mudah membedakan mana yang jujur dan mana yang bohong
dalam berbicara, mana yang benar dan mana yang salah dalam mengambil keputusan,
mana yang baik dan mana yang buruk dalam bertindak. Kekuatan inilah yang menjadi
pembeda manusia dengan jenis binatang. Dengan akal manusia dapat mencipta dan
mengembangakan budaya sehingga terus berkembang ke arah yang lebih baik dan lebih
maju dari sebelumnya.

3
Buahnya adalah hikmah, yakni pemahaman yang mendalam tentang segala
sesuatu sesuai dengan syariat Allah Swt. Sebagaimana firman-Nya:
ُ
‫يرا َو َما يَذَّ َّك ُر ِإ َّال‬ َ ِ‫ت ْال ِح ْك َمةَ فَقَ ْد أوت‬
ً ِ‫ي َخي ًْرا َكث‬ َ ْ‫يُؤْ تِي ْال ِح ْك َمةَ َم ْن يَشَا ُء َو َم ْن يُؤ‬
)269:‫ب (البقرة‬ ِ ‫أُولُو ْاْل َ ْل َبا‬
Artinya:
“Dia berikan hikmah kepada yang Dia kehendaki dan Siapa yang diberikan al-hikmah
maka sesungguhnya dia telah diberikan kebaikan yang sangat banyak. Dan hanya
orang-orang memiliki akal fikiranlah yang mampu memahaminya”. (QS. Al-
Baqarah/2:169)
Al-Maraghi menjelaskan bahwa yang dimaksud hikmah adalah ilmu yang
bermanfaat, yakni ilmu yang dapat mempengaruhi jiwa pemiliknya dan membimbing
kehendaknya untuk mendorong melakukan tindakan-tindakan yang dapat membawa
manfaat dan kebahagiaan dunia akhirat (Al-Maraghi Jilid III, h. 40)
Hikmah dalam pengertian di atas, apabila dimiliki seseorang bisa menjadi salah
satu sumber penting dalam pembentukan akhlak yang mulia. Dan inilah tujuan utama
diutusnya Nabi Kita Muhammad Saw. ke dunia ini. Sebagaimana sabda beliau. berikut:

ُ‫ "إِنَّ َما بُ ِعثْت‬:‫سلَّ َم‬ َ ُ‫صلَّى للا‬


َ ‫علَ ْي ِه َو‬ ُ ‫ قَا َل َر‬:‫ قَا َل‬،َ ‫ع ْن أَبِي ُه َري َْرة‬
َ ِ‫سو ُل للا‬ َ
)‫ق" (رواه احمد‬ َ ‫ِْلُت َ ِم َم‬
ِ ‫صا ِل َح ْاْل َ ْخ ََل‬
Dari Abi Hurairah berkata, Rasulullah Saw. bersabda, “Sesungguhnya aku diutus
hanya untuk menyempurnakan akhlak” (H. R. Ahmad)
Coba perhatikan fenomena dunia zaman sekarang! Banyak orang kelihatannya
berilmu, tapi ilmunya kurang atau bahkan tidak dapat membimbing kehendaknya untuk
mendorong melakukan tindakan-tindakan yang dapat membawa manfaat dan
kebahagiaan dunia akhirat. Kenapa? Jawabnya sederhanya karena ilmunya tidak
mengandung hikmah.
Bagaimana, sekarang sudah mulai nyambung? Kita lanjutkan, memahami konsep
hikmah.
Hikmah sebagai konsep itu mencakup empat turunan, yakni: husnu at-tadbir
(baik pemikirannya), judat adz-dzihn (jernih pemikirannya), tsiqabah ar-ra’yi (tajam
pemikirannya) dan shawab azh-zhann (tepat pemikirannya) (Al-Ghazali, Mizan al-
‘Amal, 1964; h. 284)
Mari kita analisis konsep turunan hikmah tersebut di atas satu persatu.

a. Husnu at-Tadbir

4
Seseorang yang memiliki hikmah akan menjadi husnu at-tadbir yakni cerdas
dan lurus jalan fikirannya dalam mengistimbatkan (mengambil kesimpulan). Ia akan
bisa mengambil yang terbaik, dan paling bermanfaat dalam berbagai urusan, sesulit
apapun dan segawat apapun. Ia tidak sekedar cerdas (kayyis), tetapi mampu
memikirkan hal-hal yang abstrak dengan benar sehingga dapat mengambil
keputusan yang menghasilkan kebaikan-kebaikan yang agung dan akhir yang mulia
dalam berbagai urusan kehidupan.
b. Jaudat adz-Dzihn

Seseorang yang memiliki hikmah akan menjadi jaudat adz-dzihn, yakni


memiliki kemampuan untuk dapat berfikir memperoleh kebijaksanaan ketika
dihadapkan pada pendapat yang mirip-mirip dan mengandung pertentanagan-
pertentangan dalam implementasi. Ia akan selalu mendapatkan kosep yang
memberikan manfaat sesamanya dan diterima oleh berbagai pihak.

c. Tsiqabah ar-Ra’yi
Seseorang yang memiliki hikmah akan menjadi tsiqabah ar-ra’yi, yakni
mempunyai kecepatan kemampuan dalam menghubungkan data-data yang
dimilikinya dengan sebab akibat yang mengasilkan kemaslahatan dalam kehidupan
masyarakat.

d. Shawab azh-Zhann
Seseorang yang memiliki hikmah akan menjadi shawab azh-zhann, yakni ia
akan mendapatkan taufiq dari Allah Swt. dengan kesesuaian antara dugaan yang
terdapat dalam alam fikirannya dengan kebenaran hakiki tanpa harus lama-lama
memikirkannya.

Kebalikan dari Quwwah al-Ilmi adalah lemahnya ilmu atau kebodohan, terbagi
dalam dua konsep, yaitu radzilah al-khibb dan radzilah al-balah. Radzilah al-khabb
terdiri dari ad-dahaa (tertipu) dan al-jarbazah (lemah berfikir) yaitu. Logikanya
kurang sehat atau kurang lurus sehingga ketika mengambil kesimpulan sering kali tidak
benar, apa yang dikatakannya baik ternyata buruk atau sebaliknya.
Sementara radzilah al-balah terdiri dari tiga hal; pertama kebodohan sebab
karena kurang pengalaman belajar, kedua kebodohan sebab dari bawaan seperti idiot
dan ketiga kebodohan sebab hilangnya akal atau gila.

5
Ilmu dalam bentuk hikmah seperti dijelaskan di atas sangat penting dalam
membentuk menanamkan dan mendidik akhlak seseorang, karena ia dapat membentuk
konsep diri (manset) seseorang. Apabila konsep diri seseorang tentang perbuatan itu
baik, maka kelak ia akan menjadi baik perbuatannya, sebaliknya apabila konsep dirinya
buruk maka mereka akan menjadi buruk perbuatannya pula.
Selesai sudah pembahasan Quwwah al-Ilmi. Apa Saudara masih sanggup
melanjutkan? Hayoo … kita lanjutkan pembahasan mengenai kekuatan jiwa yang ke
dua yaitu Quwwah al-Ghadhab.

2. Quwwah al-Ghadhab
Quwwah al-Ghadhab merupakan dorongan manusia untuk menolak yang tidak
disenangi dan memdapatkan kenikmatan yang bersifat abstrak dan batin. Dimana ia
bisa menghasilkan sifat utama yang dapat menjadi sumber akhlak yang mulia serta
menumbuhkan kebaikan-kebaikan yakni sifat syaja’ah (keberanian) (Al-Ghazali, Ihya
Ulum ad-Din/Rubuu’ al-Muhlikat, 2005; 936). Dengan sifat syaja’ah manusia bisa
berani berkorban apa saja untuk meraih kebahagian dan kemuliaan batinnya. Dan
bahkan ia akan berani berkorban tidak hanya dengan apa yang dimilikinya tetapi juga
berani maju mengorbankan jiwa raganya demi kemuliaan dan kebahagiaan yang
diyakininya benar.
Bagaimana setelah membaca alinea di atas? Apa yang ada di dalam fikiran
Saudara mengenai hubungan konsep Quwwah al-Ghadhab dan Syaja’ah? Untuk lebih
fahamnya mari kita lanjutkan!
Syaja’ah menurut al-Ghazali dalam kitab Mizan al-Amal meliputi banyak sifat
turunannya, diantara lain adalah sebagai berikut:
a. Al-Karam (kebaikan budi), yaitu berani mengambil sikap moderat untuk mengambil
atau menerima keputusan penting dalam berbagai masalah yang menyangkut
kemaslahatan yang besar dan urusan-urusan yang mulia.
b. An-Najdah (membantu, menolong), yaitu berani dalam membantu atau menolong
siapapun, apalagi menolong hal yang benar, baginya merupakan jihad. Bukan
penekad juga bukan penakut, apabila sudah menyakini sebuah kebenaran maka
harus berani maju, meskipun harus mempertaruhkan jiwa demi kemuliaan abadi.
c. Kibr an-Nafs (berjiwa besar), bukan sombong juga bukan rendah diri (mider). Ia
berani menjadikan dirinya sebagai ahli dalam hal kemuliaan dengan penuh

6
kerendahan hati dan menghindari perdebatan pada urusan-urusan yang sedikit
manfaatnya. Ia sangat menghormati ulama.
d. Al-Ihtimal (ketahanan dalam bekerja), berani bertanggung jawab menahan diri
dalam menjalankan tugas, meski dirasa sangat berat.
e. Al-Hilm (santun), ia dapat menahan emosi yang biasanya meledak-ledak, tidak
terpancing dalam keadaan apapun dan marah. Sikapnya tetap santun dalam
menghadapi semua orang, ia sudah dapat lepas dari sikap yang buruk dalam
menghadapi orang lain atas gejolak jiwa suka dan tidak suka.
g. Al-Wiqar (tenang), menahan diri dari berbicara secara berlebihan, kesia-siaan,
banyak menunjuk dan bergerak dalam perkara yang tidak membutuhkan gerakan.
Mengurangi amarah, tidak banyak bertanya, menahan diri dari menjawab yang
tidak perlu, menjaga diri dari ketergesaan dalam beramal, dan bersegera dalam
seluruh perkara kebaikan.
Perlu Saudara ketahui bahwa Quwwah al-Ghadhab, juga dapat mendorong
perbutan yang buruk bagi seseorang. Apa itu? Jawabnya adalah at-Tahawwur dan al-
Jubn. Dengan adanya dorongan manusia dari dalam dirinya untuk memdapatkan
kenikmatan yang bersifat abstrak dan batin berupa kemuliaan atau kekuasaan manusia
bisa Tahawwur (nekad) yakni berani melakukan tindakan yang bukan pada tempatnya
(Sultoni Dalimunthe, Filsafat Pendidikan Akhlak , h. 149). Misalnya berani maju ikut
tawuran, padahal belum mengetahui mana yang benar dan mana yang salah dan
resikonya bisa mati terbunuh.
Juga karena di dalam diri manusia ada dorongan ingin tetap mendapatkan
kenikmatan yang bersifat abstrak dan batin berupa kemuliaan atau kekuasaan, maka ia
bisa bersifat Jubn (pengecut), sifat takut yang berlebihan dalam mempertahankan diri
dari berbagai masalah kehidupan. Misalnya takut mengadapi ujian, padahal ujian
adalah satu cara yang harus dilalui oleh siapapun yang ingin meningkatkan dan
memperbaiki nasib dan derajatnya.
Bagaimana, cukup faham sudah? Kalau sudah kita lanjutkan pada bahasan
berikutnya, yakni Quwwah asy-Syahwah

3. Quwwah asy-Syahwah
Al-Quwwah asy-Syahwah yaitu kekuatan yang ada dalam diri manusia yang
yang mendorong perbutan-perbuatan untuk memperoleh kenikmatan-kenikmatan yang
bersifat zhahir, yang dinspirasi oleh panca indranya seperti: mencari makanan dan

7
minuman, mencintai lawan jenis dan lain-lainnya. Dengan kekuatan ini manusia
menjadi lebih bergairah dalam melaksanakan tugas-tugas kehidupan. Quwwah asy-
Syahwah yang baik disebut al-iffah.
Seorang dikatakan sebagai orang yang ‘affih apabila yang mampu menahan diri
dari perkara-perkara yang diharamkan oleh Allah Swt. Dengan demikian seorang
yang 'afif adalah orang yang bersabar yakni taat muthlak kepada Allah Swt. baik dalam
menjalankan perintah-perintah-Nya, maupun meninggalkan lawangan-Nya walaupun
jiwanya (syahwatnya) sangat menginginkan untuk melanggarnya.
'Iffah merupakan akhlaq yang sangat dicintai oleh Allah Swt. Oleh sebab itulah
sifat ini perlu dilatih sejak anak-anak masih kecil, sehingga memiliki kemampuan dan
daya tahan terhadap keinginan-keinginan yang tidak semua harus dituruti karena akan
membahayakan saat telah dewasa. Dari sifat 'iffah inilah akan lahir sifat-sifat mulia.
Diantara sifat-sifat terpuji turunan dari sifat 'Iffah adalah sebagai berikut:
a. ‫الحياء‬/haya’, adalah sifat malu untuk meninggalkan perbuatan yang diperintahkan
oleh Allah Swt. dan sebaliknya malu melakukan perbutan yang dilarang oleh-Nya.
Apabila jiwa manusia semua sudah memiliki sifat malu seperti ini, niscaya tidak
ada lagi tindak kejahatan dimuka bumi ini. Sehingga bumi akan aman, tentram dan
damai. Karena malu akan menjadi benteng terakhir bagi diri seseorang dalam
melakukan kemaksiatan
b. ‫القناعة‬/qana'ah, adalah sifat menerima atau merasa cukup atas karunia Allah Saw.,
sekaligus menjauhkan diri dari sifat tidak puas dan merasa kekurangan yang
berlebih-lebihan. Qanaah muncul dalam kehidupan seseorang berupa sikap rela
menerima keputusan Allah Swt. yang berlaku bagi dirinya. Bagi siapa yang dapat
menjadikan dirinya qana'ah, maka ia akan dijamin akan mendapatkan hakekat
dunia, menjadi orang yang beruntung, mudah bersyukur, terhindar dari sifat hasud
dan terhindar dari problema kehidupan dunia.
c. ‫السخاء‬/sakha’, yaitu sifat dermawan senanga memberikan harta dalam kondisi
memang wajib memberi, sesuai kepantasannya dengan tanpa mengharap imbalan
dari yang diberi dalam bentuk apapun seperti pujian, balasan, kedudukan, ataupun
sekedar ucapan terima kasih (QS. Al-Insan/76:9).
Jadi seseorang disebut dermawan jika dapat memberi secara tulus ikhlas. Orang
yang memberi karenan ingin balasan dari pihak yang diberi bukanlah dermawan
tapi disebut berdagang. Sebab ia seolah-olah membeli balasan berupa pujian,
kedudukan, ucapan terima kasih dan lainnya dengan hartanya.

8
d. ‫الورع‬/wara’, yaitu meninggalkan hal-hal yang syubhat karena khawatir
membahayakan nasibnya di akhirat kurang baik. Meninggalkan yang syubhat,
yakni sesutau yang hukumnya belum jelas halal atau haram yang berlaku dalam
semua aktifitas manusia, baik yang berupa benda maupun perilaku. Dan lebih dari
itu meninggalkan segala hal yang kurang atau tidak bermanfaat.
Perlu Saudara ketahui juga bahwa Quwwah asy-Syahwah, dapat mendorong
perbutan yang buruk bagi seseorang. Apa itu? Jawabnya antara lain; rakus, tabdzir, ria,
hasud dan lain-lain.
Bagaimana, faham? Kalau sudah, kita lanjutkan pada bahasan berikutnya, yakni
Quwwah al-‘Adl

4. Quwwah al-‘Adl
Menurut al-Ghazali, terbentuknya akhlak yang mulia pada diri seseorang
diperlukan lagi satu kekuatan, yaitu Al-Quwwah al-‘Adl, sebuah kekuatan
penyeimbang dari ketiga kekuatan jiwa sebelumnya (Al-Ghazali, Ihya Ulum ad-
Din/Rubuu’ al-Muhlikat, 2005; 935). Sementara Ibnu Miskawaih meskipun tidak
menyebutkan secara khusus adanya Al-Quwwah al-‘Adl, tetapi dalam penjelasnnya
juga mengkaitkannya dengan ketiga kekuatan jiwa tersebut.
Tiga kekutan jiwa manusia yang menjadi dorongan tingkah lakunya akan
menjadi baik kalau bersinergi secara adil (keseimbang). Quwwah al-Ilmi akan menjadi
sumber kebaikan kalau sudah menuntun dengan mudah untuk membedakan yang
benar dan yang salah dalam keyakinan, yang baik dan yang buruk dalam perbuatan
serta yang jujur dan yang bohong dalam berkata-kata. Atau dengan kata lain ilmunya
sudah menjadi hikmah.
Quwwah al-Ghadhab, akan menjadi baik apabila dapat dikendalikan oleh akal
yang sehat dan syariat, sehingga menghasilkan sifat (syaja’ah) yang menjadi sumber
berbagai akhlah yang baik. Apabila tidak mengikuti tuntunan akal dan syariat condong
pada hal yang berlebih, maka dinamakan tahawwur (nekad). Tetapi bila condong pada
sifat lemah dan pengurangan, maka dinamakan jubn (takut yang berlebihan).
Kemudian Quwwah asy-Syahwah, akan menjadi baik apabila dapat terdidik
oleh akal dan syariat, maka ia akan menghasilkan sifat ‘iffah yang menjadi sumber
dari berbagai akhlak yang mulia, seperti malu, sabar, qanaah, wara, zuhud dan lain-
lain. Dan sebalikanya kalau tidak disinergikan dengan akal dan syariat, maka apabila

9
congdong pada hal yang berlebihan disebut syarh (rakus) dan sebaliknya bila condong
pada hal dikuran-kurangi disebut jumud (tidak ada kemajuan).
Singkatnya siapa yang dapat memposisikan diri di tengan dengan lurus (‘itidal)
dalam empat dasar akhlak di atas, maka akhlaknya akan menjadi baik semuanya.
Keempat akhlak ini, yakni hikmah, syaja’ah, ‘iffah dan adl adalah sumber pokok
keutamaan dan akhlak yang lainnya adalah berupa cabang-cabangnya.

10
KEGIATAN BELAJAR 2:

CAPAIAN PEMBELAJARAN

Mampu menganalisis hakekat amal shaleh dan unsur-unsur iman yang mendasari
dalam implementasinya.

INDIKATOR KOMPETENSI

Mendefinisikan hakekat amal Shalih.


1. Menganalisis terbentuknya amal Shalih, berdasarkan konsep iman; tawakkal,
ikhlas, shabar, dan syukur.
2. Membedakan antara amal Shalih dan amal baik dalam kehidupan sehari-hari.

URAIAN MATERI
1. HAKEKAT AMAL SHALIH
Menurut bahasa “Amal Shaleh”, berarti perbutan yang baik, bermanfaat, selamat, atau
cocok. Sedang menurut istilah terdapat beberapa definisi, antara lain:
Menurut Zamahsyari’ amal shalih diartikan sebagai semua perbuatan yang sesuai
dengan ajaran al-Qur’an dan Sunnah Nabi Saw. Amal shalih juga disefinisikan sebagi
perbuatan baik yang dilakukan seseorang karena Allah Swt. dengan tujuan untuk mendapatkan
rahmat dan ridha-Nya, baik menjalankan perintah maupun menjalankan perintah maupun
menjauhi larangan-Nya. sesuai dengan aturan-aturan ajaran Islam.
Dilihat dari hubungan antara manusia sebagai makhluk dan Allah Swt. sebagai Khalik,
maka amal shalih dapat didefinisikan dengan semua perbuatan yang dilakukan hamba kepada
Allah Swt. sebagai bentuk pengabdiannya yang didasari dengan iman. Didasari dengan iman
artinya disyaratkan dengan keyakinan dan pengetahuan yang benar.
Siapapun yang amalnya ingin menjadi amal shalih, maka ia harus beriman kepada Allah
Swt. terlebih dahulu, lalu memiliki ilmu yang cukup sebelum tawakkal. Ini sebagai syarat
supaya pelaksanaannya dapat dikerjakan dengan benar. Kemudian ia harus ikhlas hanya karena

1
Allah, bersabar dan atau bersyukur dalam pelaksaanya. Dan terakhir ridha terhadap semua
keputusan Allah Swt. dengan hasil dari ikhtiar dan amal kita.
Untuk lebih mudah memahami hakekat dari amal shalih Saudara dapat melihat gambar
di bawah ini.

AMAL SHALIH
PUNYA RENCANA YANG MATANG (TEKAD DAN TAWAKKAL)?

TIDAK YA
DIMULAI DENGAN IKHLAS, NIAT
SALAH/BATAL/RUSAK HANYA KARENA ALLAH ?

TIDAK YA
DIAMALKAN DENGAN SABAR DAN
SALAH/BATAL/RUSAK ATAU SYUKUR?

TIDAK YA
RIDHA DENGAN KEPUTUSAN ALLAH?
SALAH/BATAL/RUSAK

TIDAK
Keterangan:
YA
SALAH/BATAL/RUSAK
Untuk bisa menilai amal Saudara shaleh atau tidak, Saudara harus menjawab “YA”
pmelalui proses sebagai berikut:
1. Sebelum mengamalkan sesuatu pastikan dahulu, tanyakan pada diri Saudara sendiri,
apakah Saudara sudah mempunyai rencana yang matang? Rencana yang didasari
iman dan pengetahuan yag cukup tentang apa yang Saudara akan kerjakan? Karena
siapa yang beramal tanpa ilmu, amalnya tidak akan diterima. Jika jawaban Saudara
“TIDAK” berarti salah, batal atau rusak. Artinya amal Saudara tidak dapat

2
dikategorikan amal shalih, meskipun menurut pandangan manusia mungkin baik.
Jika jawaban Saudara “YA”, maka lanjutkan.
2. Apabila jawaban Saudara “Ya” sudah, maka tanyakan lagi apakah yang Saudara
amalkan niatnya hanya untuk mendapatkan ridha Allah Swt. semata. Dan
menyerahkan penilaiannya juga hanya kepada-Nya? Apabila jawaban Saudara
ternyata masih ada sedikit saja ingin dinilai oleh selain Allah Swt. apalagi ingin
imbalan dari yang lain misalnya ucapan terima kasih. Berarti jawaban Saudara
hakekatnya “TIDAK” dan amal Saudara termasuk amal yang salah, batal atau rusak.
3. Apabila jawaban Saudara “YA”, teruskan pertanyaan berikutnya. Apakah ketika
menjalankan pekerjaan tersebut bersabar apabila susah atau bersyukur jika
menyenangkan? Apabila jawaban Saudara “TIDAK”, maka amal Saudara salah,
batal atau rusak.
4. Apabila jawaban Saudara “YA”, maka tanyakan kembali apakah setelah selesai
Saudara ridha denga hasil pekerjaan atau amal Saudara sebagai takdir terbaik yang
Allah berikan kepada Saudara? Apabila jawaban Saudara “TIDAK”, maka amal
Saudara salah, batal atau rusak. Dan sebaliknya jika Saudara menerima InsyaAllah
akan menjadi amal shalih. Amin Ya Rabbal Alamin.

3
2. AMAL SHALIH SEBAGAI AKHLAK AL-KARIMAH KEPADA ALLAH SWT.

Bagaimana Saudara, apakah sudah faham tentang hakekat amal shalih? Tentu sudah
mulai kebuka. Selanjutnya mari kita dalami hal-hal yang terkait dengan nilai-nilai keimanan
dan ubudiyyah yang harus melekat dan mendasari amal, sehingga amal kita dapat dikategorikan
sebagai amal shalih.
Manusia diciptakan oleh Allah Swt. tujuannya adalah supaya beribadah hanya kepada-
Nya. Sebagaimana dinyataka dalam Al-Qur’an surah adz-Dzariyat/51: 56 sebagai berikut:

)56:‫ون (الذاريات‬
ِ ‫س ِإّل ِل َي ْعبد‬ ِ ْ ‫َو َما َخلَ ْقت ْال ِجن َو‬
َ ‫اْل ْن‬
Artinya :Dan tidak Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku
Oleh sebab itu semua amal perbuatan manusia yang beriman harus bernilai ibadah dan
menjadi amal shalih. Amal yang hanya dipersembahkan kepada Allah Swt. dan ridah
penilaiannya diserahkan sepenuhnya hanya kepada-Nya.
Adapun kisi-kisi penilaian amal shalih sebenarnya sudah disampaiakan dalam ajaran
Islam yang dibawakan oleh Nabi Muhammad Saw., yakni amal yang dibingkai dengan iman;
diawali rencana yang matang dan tawakkal, niat yang ikhlas, dikerjakan dengan sabar dan atau
syukur, serta akhirnya dapat menerima (ridha) hasilnya sebagai bagian dari takdir Allah Swt.
Untuk lebih detilnya mari kita pelajari satu persatu konsep bingkai amal shalih dengan
baik!

a. Tawakkal
Menurut bahasa kata tawakkal diambil dari Bahasa Arab ‫الت ََو ُّكل‬/tawakkul dari
akar kata ‫ َو َك َل‬/wakala) yang berarti lemah. Adapun ‫الت ََو ُّكل‬/tawakkul berarti
menyerahkan atau mewakilkan. Seperti seseorang mewakilkan urusan kepada orang
lain atau menggantikannya. Artinya, dia menyerahkan suatu perkara atau urusannya
dan dia menaruh kepercayaan kepada orang itu mengenai urusan tadi.
Secara istilah tawakkal telah didefinisikan oleh ulama, antara lain Imam al-
Ghazali. Beliau menyebutkan dalam kitab Ihya’ Ulumuddin pada bab at-Tauhid wa
at-Tawakkal, bahwa tawakkal itu adalah hakikat tauhid yang merupakan dasar dari
keimanan, dan seluruh bagian dari keimanan tidak akan terbentuk melainkan dengan
ilmu, keadaan, dan perbuatan. Begitupula dengan sikap tawakkal, ia terdiri dari suatu
ilmu yang merupakan dasar, dan perbuatan yang merupakan buah (hasil), serta
keadaan yang merupakan maksud dari tawakkal. Tawakkal adalah menyerahkan diri

4
kepada Allah tatkala menghadapi suatu kepentingan, bersandar kepada-Nya dalam
kesulitan di luar batas kemampuan manusia.
Berikutnya Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, dalam kitabnya Madarij as-Salikin
menjelaskan bahwa Tawakkal merupakan amalan dan penghambaan hati dengan
menyandarkan segala sesuatunya hanya kepada Allah Swt. semata, percaya
terhadap-Nya, berlindung hanya kepada-Nya dan ridha atas sesuatu yang menimpa
dirinya, berdasarkan keyakinan bahwa Allah akan memberikan segala ‘kecukupan’
bagi dirinya, dengan tetap berikhtiar semaksimal mungkin untuk dapat
memperolehnya.
Allah Swt. berfirman:

ِ ‫ظ ْالقَ ْل‬
ََ ‫ب َّل ْنفَضُّوا ِم ْن َح ْو ِل‬ َ ‫ظا َغ ِلي‬ ًّ َ‫ت ف‬
َ ‫ت لَه ْم َولَ ْو ك ْن‬
َ ‫َف ِب َما َر ْح َمة ِمنَ ّللاِ ِل ْن‬
ِ‫ت فَت َ َوك ْل َعلَى ّللا‬َ ‫فَاعْف َع ْنه ْم َوا ْست َ ْغ ِف ْر لَه ْم َوشَا ِو ْره ْم فِي ْاْل َ ْم ِر فَإِذَا َعزَ ْم‬
)159 :‫إِن ّللاَ ي ِحبُّ ْالمت َ َو ِك ِلينَ (آل عمران‬
Artinya:
Maka sebab rahmat dari Allah, Engkau bersikap lemah lembut kepada mereka.
Seandainya Engkau bersikap kasar lagi keras hati, niscaya mereka akan pergi dari
sekelilingmu. Sebab itu maafkan mereka, mintakan ampunan baginya dan ajaklah
bermusyawarah mereka dalam urusan itu (menentukan strategi perang). Lalu
apabila Engkau telah memiliki tekad yang bulat, maka bertawakkallah kepada
Allah. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertawakkal (QS. Ali
Imran/3: 159).
Ayat di atas menempatkan tawakkal pada posisi penyusunan rencana tahap
rakhir setelah mempunyai keputusan dan tekad yang bulat. Hal ini menunjukkan
bahwa sebelum tawakkal manusia harus terlebih dahulu berikhtiyar secara zhahir,
selanjutnya jangan lupa ikhtiar batin, yakni ikhtiyar dan do’a. Sebagaimana
dicontohkan oleh Nabi kita Muhammad Saw., beliau melakukan rundingan dahulu
dengan para sahabat dengan meminta pendapat atau buah pikiran mereka mengenai
urusan peperangan dan lain-lain demi mengambil hati mereka dengan sikap lemah
lembut, kemudian setelah keputusan diambil dan telah menetapkan hati, lalu
bertawakkal kepada Allah dengan berserah kepada-Nya.
Jadi tawakkal bukan berarti tinggal diam, tanpa kerja dan usaha, bukan
menyerahkan semata-mata kepada keadaan dan nasib dengan tegak berpangku
tangan duduk memekuk lutut, menanti apa-apa yang akan terjadi. Memohon
pertolongan dan Bertawakkal tidaklah berarti meninggalkan upaya, bertawakkal

5
mengharuskan seseorang meyakini bahwa Allah yang mewujudkan segala sesuatu,
sebagaimana ia harus menjadikan kehendak dan tindakannya sejalan dengan
kehendak dan ketentuan Allah Swt. Seorang muslim dituntut untuk berusaha tetapi
di saat yang sama ia dituntut pula berserah diri kepada Allah Swt, ia dituntut
melaksanakan kewajibannya, kemudian menanti hasilnya sebagaimana kehendak
dan ketentuan Allah.
Seorang muslim berkewajiban menimbang dan memperhitungkan segala segi
sebelum dia melangkahkan kaki dan mengerjakan sesuatu. Tetapi bila
pertimbangannya keliru atau perhitungannya meleset, maka ketika itu akan tampil
dihadapannya Allah Swt., Tuhan yang kepada-Nya yakni dengan bertawakkal dan
berserah diri.
Dalam sebuah hadis Rasullah Saw. diriwayatkan sebagai berikut:

‫ " إِذَا خ ََر َج الرجل‬:‫ قَا َل‬،‫سل َم‬ َ ‫صلى للا َعلَ ْي ِه َو‬ َ ‫ أَن النبِي‬،َ‫َع ْن أَن َِس ب ِْن َما ِل‬
‫ يقَال‬:‫ قَا َل‬،ِ‫ َّل َح ْو َل َو َّل قوة َ إِّل ِباَّلل‬،ِ‫ِم ْن بَ ْيتِ ِه فَقَا َل بِ ْس ِم ّللاِ ت َ َوك ْلت َعلَى ّللا‬
:‫طان آخَر‬ َ ‫ش ْي‬
َ ‫ فَيَقول لَه‬،‫اطين‬ ِ َ‫ فَتَتَنَحى لَه الشي‬،‫يت‬ َ ِ‫ َووق‬،‫يت‬َ ‫ َوك ِف‬،‫ِيت‬ َ ‫ هد‬:‫ِحينَئِذ‬
)‫ي؟ "رواه ابو داود‬ َ ِ‫ي َووق‬ َ ‫ْف لَ ََ ِب َرجل قَ ْد هد‬
َ ‫ِي َوك ِف‬ َ ‫َكي‬
Artinya:
Dari Anas bin Malik berkata, bahwasannya Nabi Saw. bersabda, “Apabila seorang
َ ‫ ت ََوك ْلت‬،ِ‫’بِس ِْم ّللا‬,
laki-laki keluar dari rumahnya, lalau membaca ‘ِ‫ َّل َح ْو َل َو َّل قوة َ إِّل بِاَّلل‬،ِ‫علَى ّللا‬
maka pada saat itu dikatakan kepadanya: engkau telah diberi hidayah, engkau telah
dicukupkan, engkau telah dijaga dan ditinggalkan syaitan. Dan syaitan yang lain
berkata kepadanya, Bagaimana bisa menggoda dengan laki-laki ini yang sudah
diberijamin hidayahnya, kecukupannya dan penjagaannya” (HR. Abu Dawud)
Hadits di atas mengisyarahkan kepada kita bahwa tawakkal itu dilakukan
sebelum melakukan aktivitas. Kita harus menyadari sematang apapun rencana yang
kita buat adalah rencana yang dibuat oleh manusia yang serba lemah, dan tidak dapat
mengetahui secara universal tentang hubungan sebab akibat dari semua unsur yang
menentukan dan mempengarui keberhasilannya. Manusia hanya bisa berencana
Allah yang menentukan segalanya. Sebab itu sebelum kita menjalankan rencana,
sudah semestinya kita serahkan sepenuhnya kepada Dzat yang Maha Mengatur dan
Menentukan, Allah Swt.
Sampai di sini bagaimana? Sudah nyambung? Mari kita lanjutkan belajar
konsep tahapan kedua, yakni tahapan dalam membangun amal shalih.

6
b. Ikhlas

Menurut bahasa, ikhlas berarti jujur, tulus dan rela. Dalam bahasa Arab, kata
ْ
‫إخالص‬/ikhlas َ َ‫أخل‬/akhlasa
merupakan bentuk mashdar dari ‫ص‬ ْ yang berasal dari akar
kata ‫خلص‬/khalasa. Kata ini mengandung beberapa makna sesuai dengan kontek
kalimatnya. Ia biasa berarti shafaa (jernih), najaa wa salima (selamat), washala
(sampai) dan I’tazala (memisahkan diri).3 Atau berarti perbaikan dan pembersihan
sesuatu (Ibn Zakaria, Mu’jam Maqayis al-Lughah Jilid 2, 1986: hlm. 208)
Menurut istilah, makna ikhlas diungkapkan oleh para ulama antara lain
adalah sebagai berikut:
1). Muhammad Abduh mengatakan ikhlas adalah ikhlas beragama untuk Allah
SWT. dengan selalu manghadap kepada-Nya, dan tidak mengakui kesamaan-
Nya dengan makhluk apapun dan bukan dengan tujuan khusus seperti
menghindarkan diri dari malapetaka atau untuk mendapatkan keuntungan serta
tidak mengangkat selain dari-Nya sebagai pelindung (Muhammad Rasyid
Ridha,1973, hlm. 475).
2). Muhammad al-Ghazali mengatakan ikhlas adalah melakukan amal kebajikan
semata-mata karena Allah SWT (Muhammad al-Ghazali, 1993, hlm. 139)
Sekilas apabila diperhatikan makna ikhlas dari dua definisi di atas itu dapat
digambarkan seseorang yang sedang membersihkan beras dari batu-batu kecil
(kerikil) yang ada di sekitar beras itu. Maka apabila beras itu dimasak akan terasa
nikmat memakannya karena sudah bersih dari kerikil dan batu-batu kecil. Caoba
bayangkan jika beras itu masih kotor, niscaya nasi yang kita kunyah akan ternyata
kerikil juga tergigit. Sungguh tidak nikmatnya nasi tersebut karena masih ada yang
mengganjal kenikmatan rasanya.
Dari ungkapan di atas dapat dipahami bahwa ikhlas itu adalah segala sesuatu
yang berkenaan dengan masalah niat sebab niat merupakan titik penentu dalam
menentukan amal seseorang. Orang yang ikhlas tidak dinamakan orang ikhlas
sampai ia mengesakan Allah SWT. dari segala sesuatu dan ia hanya menginginkan
Allah SWT.
Ikhlas adalah menyengajakan suatu perbuatan karena Allah Swt. dan
mengharapkan ridha-Nya serta memurnikan dari segala macam kotoran dan godaan
seperti keinginan terhadap populeritas, simpati orang lain, kemewahan, kedudukan,
harta, pemuasan hawa nafsu dan penyakit hati lainnya. Hal ini sesuai dengan perintah

7
Allah-Nya yang tercantum dalam QS. al-An’am/6: 162-163. Demikian juga dalam
firman-Nya yang terdapat dalam QS. al-Bayyinah/98: 5.
Apabila ikhlas digambarkan sebagai akad, maka akadnya hanya kepada Allah.
Dan penilaian amal kita sepenuhnya terserah Allah Swt. Jadi apabila penilaiannya
disekutukan dengan manusia, seperti supaya dinilai baik dan dihargai dengan harga
sekecil apapun misalnya ucapan terima kasih, maka akan merusak keikhlasan kita
(QS. Al-Insan/76:9)
Ikhlas merupakan bentuk implementasi iman dalam beramal, karena itu nyata
sama dengan keimanan yang bisa bertambah dan berkurang. Untuk itu umat Islam
harus berhati-hati terhadap sifat-sifat yang dapat merusak keikhlasannya, di
antaranya:
1). Ria, yakni melakukan amal perbuatan tidak untuk mencari ridha Allah SWT.,
akan tetapi untuk dinilai oleh manusia untuk memperoleh pujian atau
kemashuran, posisi, kedudukan di tengah masyarakat, sebagaimana tergambar
di dalam firman Allah SWT. Q. S. al-Ma’un/107: 4-7. Riya’ merupakan salah
satu penyakit yang sifatnya abstrak, namun tanda-tandanya secara empiris dapat
dirasakan, terutama bagi orang yang melakukannya. Ada pun tanda-tanda orang
yang riya’, adalah: (1). Seseorang yang bertambah ketaatannya apabila dipuji
atau disanjung oleh orang lain akan tetapi menjadi berkurang atau bahkan
meninggalkan amalan tersebut apabila mendapat celaan dan ejekan, (b). Tekun
dalam beribadah apabila di depan orang banyak akan tetapi malas apabila
dikerjakan sendirian, (c). Mau memberi atau sedekah apabila dilihat orang
banyak, tetapi enggan apabila tidak ada orang yang melihatnya, (d). Berkata dan
berbuat kebaikan bukan semata-mata karena Allah SWT. Akan tetapi karena
mengharap pamrih kepada manusia
2). Sum’ah, yakni menceritakan amal yang telah dilakukan kepada orang lain supaya
mendapat penilain dan dihargai misalnya kedudukan di hatinya. Pada dasarnya
sama dengan ria, tetapi sum’ah adalah perbuatannya sudah dilaksanakan
sehingga perlu diceriterakan.
3). Nifak, sifat menyembunyikan kekafiran dengan menyatakan dan mengikrarkan
keimanannya kepada Allah Swt. Jadi jelas akan menghilangkan keikhlasan
karena tidak didasari dengan keimanan yang benar kepada Allah Swt.
Bagaimana apa Saudara sudah faham tentang ikhlas sebagai nilai landasan
amal manusia supaya bisa menjadi amal shaleh dan bernilai ibadah? Jika nilai

8
keikhlasan seseorang semakin tinggi, berarti akhlaknya kepada Allah Swt. semakin
baik pula. Dan amalnya akan dinilai oleh Allah Swt. sebaliknya apabila disertakan
keinginan untuk dinilai manusia, maka Allah Swt. tidak akan mau menilai dan
didiskualifikasi sebelum dihisab di hadapan-Nya kelak di hari perhidtungan amal.
Allah Swt. berfirman:

‫ت أ َ ْع َماله ْم فَ َال ن ِقيم لَه ْم َي ْو َم‬ َ ‫ت َر ِب ِه ْم َو ِلقَا ِئ ِه فَ َح ِب‬


ْ ‫ط‬ ِ ‫أولَ ِئ ََ الذِينَ َكفَروا ِبآ َيا‬
)105:‫ْال ِقيَا َم ِة َو ْزنًا (الكهف‬
Artinya:
Mereka itu adalah orang-orang yang mengingkari (tidak percaya) dengan ayat-ayat
Tuhannya dan pertemuan dengan-Nya (di akhirat), maka rusaklah amal-amal
mereka. Kami tidak akan melakukan penimbangan amal di hari kiamat kelak (QS.
Al-Kahfi/18: 105)

c. Sabar

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia sabar berarti tahan menghadapi


cobaan, tidak lekas marah, putus asa atau patah hati. Sebenarnya kata sabar berasal
dari bahasa arab, yaitu shabara- yashbiru-shabran yang artinya menahan. Kata
lainnya adalah alhabs yang artinya menahan atau memenjarakan. Artinya adalah
menahan hatinya dari keinginan atau nafsunya. Kata sabar dengan aneka ragam
derivasinya memiliki makna yang beragam antara lain: shabara bih yang berarti
“menjamin”. Shabîr yang berarti “pemuka masyarakat yang melindungi kaumnya”.
Dari akar kata tersebut terbentuk pula kata yang berarti “gunung yang tegar dan
kokoh”, “awan yang berada di atas awan lainnya sehingga melindungi apa yang
terdapat di bawahnya”, “batu-batu yang kokoh”, “tanah yang gersang”, “sesuatu
yang pahit atau menjadi pahit”.
Sedangkan menurut istilah sabar didefinisikan oleh para ulama, antara lain:
(1). Shabar adalah sikap tegar dalam menghadapai ketentuan dari Allah. Orang yang
sabar menerima segala musibah dari Allah dengan lapang dada, (2). Sabar adalah
keteguhan hati yang mendorong akal pikiran dan agama dalam menghadapi
dorongan-dorongan nafsu syahwat. (3). Shabar adalah tabah hati tanpa mengeluh
dalam menghadapi godaan dan rintangan dalam jangka waktu tertentu dalam rangka
mencapai tujuan.
Ada juga yang memahami bahwa shabar bermakna kemampuan
mengendalikan emosi, sehingga sabar memiliki padananan nama yang berbeda-beda

9
sesuai dengan objeknya: (1). Shabar adalah ketabahan menghadapi musibah,
sehingga kebalikannya gelisah dan keluh kesah berarti tidak shabar, (2). Shabar itu
dhobith an nafs disebabkan mampu menghadapi dan menahan diri dari godaan hidup
yang menyenangkan, (3). Shabar dalam peperangan disebut pemberani,
kebalikannya disebut pengecut, (4). Shabar dalam menahan marah disebut santun
(hilm), kebalikannya disebut pemarah (tazammur), (5). Shabar dalam menghadapi
bencana yang mencekam disebut lapang dada (ridha), (6). Shabar dalam mendengar
gosip disebut mampu menyembunyikan rahasia, (7). Shabar terhadap kemewahan
disebut zuhud, dan (8). Shabar dalam menerima yang sedikit disebut kaya hati
(qana‟ah) kebalikannya disebut tamak atau rakus.
Dari pengertian-pengertian di atas dapat difahami bahwa shabar itu
merupakan kemampuan menahan atau mengatur diri untuk dapat tetap taat terhadap
aturan-aturan yang benar berdasarkan syariat dalam menjalankan perintah Allah
Swt., menjauhi larangan-Nya dan menerima cobaan, pada waktu tertentu mulai dari
awal sampai selesai. Seperti shabar mengerjakan shalat berarti mulai takbiratul
ihram sampai salam. Seseorang dikatakan shabar dalam shalat jika ia tidak
melanggar aturan-aturan shalat dari mulai takbiratul ihram sampai salam. Dan
shalatnya akan salah, batal atau rusak. Harus mengulang kembali dari awal sampai
akhir tanpa ada pelanggaran, jika mau shalatnya menjadi bagian amal shalih.
Bagaimana kalau ada yang bertanya apa shabar ada batasnya? Jawabnya
“Ada”. Kenapa? Karena sesuatu yang tidak ada batasnya berarti sesuatu itu belum
jelas dan sesuatu yang belum jelas itu masih bersifat umum atau mutlak. Dan sesuatu
yang masih bersifat umum atau masih mutlak atau syubhat itu harus ditinggalkan,
tidak boleh diamalkan sampai ada dalil yang mentakhshish dan mentaqyidnya
sehingga jelas batasnya.
Ayat yang sering difahami oleh sebagian orang sebagai dalil bahwa shabar
tidak ada batasnya adalah QS. Ali Imran/3: 200 sebagi berikut:

‫صا ِبروا َو َرا ِبطوا َواتقوا ّللاَ لَ َعلك ْم ت ْف ِلحونَ (ال‬ ْ ‫َيا أَيُّ َها الذِينَ آ َمنوا ا‬
َ ‫صبِروا َو‬
)200:‫عمران‬
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah terus bersabar dan tetaplah dalam
kesabaran. Bertaqwalah kalian kepada Allah supaya kalian beruntung”.
Kalimat tetaplah kalian dalam kesabaran, karena ayat ini konteknya adalah
dalam kondisi perang yang maksudnya yaitu tetap shabar sampai perang berakhir.

10
Tidak boleh melanggar strategi dan aturan-aturan perang sesuai dengan hukum yang
ditetapkan Allah. Sama dengan tidak boleh melanggar aturan-aturan shalat sampai
shalat berakhir. Apabila melanggar aturan, maka amalnya menjadi amal yang salah,
batal dan rusak. Dan berarti tidak shabar, berarti pula buruk akhlaknya kepada Allah.
Sebab itu shabar memerlukan pengetahuan yang cukup tentang apa yang
sedang diamalkan. Mustahil orang yang bodoh akan dapat shabar, karena
kemungkinan besar ia akan melanggar aturan-aturan yang sudah ditetapkan sebab
tidak mengetahuinya. Nabi Musa AS. tidak bisa shabar mengikuti Nabi Khidir AS.,
dikarenakan Nabi Musa tidak mengetahui apa maksud dan apa yang akan terjadi.
Allah Swt. berfirman:
ْ ‫ص ِبر َعلَى َما لَ ْم ت ِح‬
)68:‫ط ِب ِه خب ًْرا (كهف‬ َ ‫َو َكي‬
ْ َ ‫ْف ت‬
Artinya:
“Bagaimana mungkin engkau dapat bersabar terhadap apa yang engkau belum tahu
persis masalahnya”

d. Syukur

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), syukur diartikan sebagai: (1)
rasa terima kasih kepada Allah, dan (2) untunglah (menyatakan lega, senang dan
sebagainya). Sebenarnya kata syukur berasal dari bahasa Arab yakni dalam bentuk
mashdar dari kata kerja syakara–yasykuru–syukran–wa syukuran–wa syukranan..
Secara bahasa berarti pujian atas kebaikan dan penuhnya sesuatu. Syukur juga berarti
menampakkan sesuatu kepermukaan. Dalam hal ini menampakkan sesuatu
kepermukaan, yakni menampakkan nikmat Allah.
Sedangkan menurut istilah syukur adalah pengakuan terhadap nikmat yang
dikaruniakan Allah yang disertai dengan kedudukan kepada-Nya dan
mempergunakan nikmat tersebut sesuai dengan tuntunan dan kehendak-Nya. Dalam
hal ini, hakikat syukur adalah “menampakkan nikmat,” dan sebaliknya hakikat
kekufuran adalah menyembunyikannya. Menampakkan nikmat antara lain berarti
menggunakannya pada tempat dan sesuai dengan yang dikehendaki oleh pemberi-
Nya, juga menyebut-nyebut nikmat dan pemberi-Nya dengan lidah. M. Quraish
Shihab menegaskan bahwa syukur mencakup tiga sisi. Pertama, syukur dengan hati,
yakni kepuasaan batin atas anugerah. Kedua, syukur dengan lidah, yakni dengan
mengakui anugerah dan memuji pemberinya. Ketiga, syukur dengan perbuatan,

11
yakni dengan memanfaatkan anugerah yang diperoleh sesuai dengan tujuan
penganugerahannya.
Kaitannya dengan amal shalih syukur itu menjadi landasan tauhid seseorang
ketika diberikan fasilitas yang enak dalam menjalankan tugasnya sebagai seorang
hamba di dunia ini. Dengan kata lain dalam beramal ketika fasilitasnya terbatas maka
harus shabar sementara kalau fasilitasnya cukup apalagi berlimpah maka harus
bersyukur. Dalam perspektif amal shalih keduanya (shabar dan syukur)
kedudukannya sama menjadi cara atau ukuran bagi orang yang beriman apakah
tindakannya akan menjadi amal ibadah atau bukan. Rasulullah Saw. bersabda:

‫ " َع ِجبْت ِم ْن أ َ ْم ِر‬:‫سل َم‬ َ ‫صلى للا َع َل ْي ِه َو‬ َ ِ‫ قَا َل َرسول للا‬:‫َع ْن ص َهيْب قَا َل‬
‫ ِإ ْن‬،‫ْس ذَ ِل ََ ِْل َ َحد ِإّل ِل ْلمؤْ ِم ِن‬ َ ‫ َولَي‬،‫ ِإن أ َ ْم َر ْالمؤْ ِم ِن كله لَه َخيْر‬،‫ْالمؤْ ِم ِن‬
َ‫ َكان‬،‫صبَ َر‬ َ َ‫ضراء ف‬ َ ‫صابَتْه‬ َ َ ‫ َوإِ ْن أ‬،‫ َكانَ ذَ ِل ََ لَه َخي ًْرا‬،‫ش َك َر‬
َ ‫سراء‬ َ ‫صابَتْه‬ َ َ‫أ‬
)‫ذَ ِل ََ لَه َخي ًْرا "(رواه احمد‬
Artinya:
Dari Shuhaib berkata: Rasulullah Saw. bersabda: “Saya heran terhadap urusan
orang yang beriman, sesungguhnya semua urusannya akan menjadi kebaikan, dan itu
tidak dapat terjadi keculi bagi orang yang beriman. Jika ia memperoleh kesenangan lalu
ia bersyukur, maka yang demikian itu akan menjadikan kebaikan baginya. Dan jika ia
ditimpa keburukan lalu ia bersabar, maka yang demikian itu juga menjadi kebaikan (HR.
Ahmad)
Pernyataan Rasulullah Saw. tersebut di atas, yang dimaksud menjadi kebaikan
bagi orang yang beriman adalah menjadi amal yang bernilai ibadah. Karena memang
tugas manusia di dunia ini adalah untuk beribadah kepada-Nya. Dan nilai ibadah itu
bentuknya adalah amal shalih, ketakwaan kepada-Nya. Selalu menjadi hamba yang
shalih dalam kondisi apapun, baik sedang dalam kesusahan maupun sedang dalam
kelapangan. Kesusahan dan kesenangan di dunia, bagi seorang yang beriman itu sama
kedudukannya sebagai alat ujian untuk mendapatkan amal shalih sebanyak-banyaknya.
Maaf, Saudara baiknya Jedda dulu, bagaimana setelah baca teks di atas? Sudah
nyambung? Kalau sudah nyambung mari kita lanjutkan.

e. Ridha
Menurut bahasa kata ‫الرضا‬/ridha berasal dari bahasa Arab yang berarti
senang, suka, rela. Ia merupakan lawan dari kata ‫السخط‬/al-sukht yang berarti
kemarahan, kemurkaan, rasa tidak suka. Orang yang ‫الرضا‬/ridha berarti orang yang

12
sanggup melepaskan ketidak senangan dari dalam hati, sehingga yang tinggal di
dalam hatinya hanyalah kesenangan.
Menurut istilah para ulama ridha didefinisikan antara lain oleh; (1). Dzunnun
Al-Miṣri, beliau mengatakan bawa ridha ialah kegembiraan hati dalam menghadapi
qadha tuhan, (2). Ibnu Ujaibah mengatakan bahwa ridha adalah menerima
kehancuran dengan wajah tersenyum, atau bahagianya hati ketika ketetapan terjadi,
atau tidak memilih-milih apa yang telah diatur dan ditetapkan oleh Allah, atau lapang
dada dan tidak mengingkari apa-apa yang datang dari Allah, (3). Al-Barkawi
berpendapat bawa ridha adalah jiwa yang bersih terhadap apa-apa yang menimpanya
dan apa-apa yang hilang, tanpa perubahan. Ibnu Aṭaillah as-Sakandari berkata,
“ridha adalah pandangan hati terhadap pilihan Allah yang kekal untuk hamba-Nya,
yaitu, menjauhkan diri dari kemarahan.
Dari definisi-definisi di atas dapat difahami bahwa ridha itu merupakan
kondisi kejiwaan atau sikap mental yang senantiasa menerima dengan lapang dada
atas segala keputusan Allah Swt. yang terkait dengan diri seorang hamba, baik
berupa karunia yang baik berupa nikmat maupun yang buruk berupa bala’. Ia akan
senantiasa merasa senang dalam setiap situasi yang meliputinya. Sikap seperti inilah
yang dapat menjadikan amal seorang hamba dapat diterima di sisi Allah Swt. dan
merupakan akhlak yang mulia kepada Penciptanya.
Orang yang ridha terhadap cobaan dan musibah yang menimpanya sebenarnya
merasakan apa yang dirasakan manusia pada umumnya. Akan tetapi dia ridha
dengan akal dan imannya, karena dia meyakini besarnya pahala dan balasan atas
musibah dan cobaan tersebut. Oleh karena itu dia tidak menolaknya dan tidak
gelisah. Abu Ali Ad-Daqqaq berkata, “ridha bukan berarti tidak merasakan bencana.
Akan tetapi, ridha itu berarti tidak menolak qadha dan takdir.
Orang yang jiwanya rela (puas) menerima apapun yang terjadi pada diri
mereka, tidak ada sedikitpun kekecewaan yang melanda dirinya. Orang-orang seperti
inilah yang disebut dengan orang yang ridha . Orang yang ridha sadar bahwa
penderitaan yang menimpanya juga menimpa orang lain, namun dalam bentuk yang
berbeda-beda. Sikap seperti itu muncul karena ia mengimani sepenuhnya rencana
dan kebijaksanaan Allah. Apa yang menimpanya diyakini sebagai ketentuan yang
telah ditentukan oleh Allah kepadanya. Ia menerima dan mensikapi dengan senang
hati sehingga ia dapat terhindar dari kebencian terhadap manusia, karena seseorang
yang berusaha mencari ridha Allah tidak peduli terhadap komentar apapun dari

13
orang lain mengenai dirinya, dan hal itu tidak membuatnya sakit hati, sehingga
hatinya menjadi tenang dan jauh dari gejolak dan gelisah.
Bagaimana hubungannya dengan amal shalih? Ridha terhadap keputusan
Allah Swt. merupakan syarat diterimanya penghambaan seseorang. Siapa yang tidak
ridha dengan keputusan dan takdir-Nya dia tidak berhak mengakui Allah sebagai
Tuhannya. Dan berarti amalnya akan didiskualifikasi, tidak akan dihitung dalam
perhitungan di yaum al-hisab kelak. Karena Allah Swt. tidak ridha dengan
akhlaknya. Sebagaimana diriwayatkan dalam sebuah hadis Qudsi dari Anas bin
Malik sebagai berikut:

َ ‫صلى ّللا َعلَ ْي ِه َو‬


‫ قَا َل‬:‫سل َم يَقول‬ َ ِ‫س ِم ْعت َرسو َل للا‬َ :‫عن أ َنَس بِ ْن َما ِلَ قَا َل‬
‫س َربًّا َغي ِْري "(رواه‬ ْ ‫ضائِي َوقَدَ ِري فَ ْليَ ْلت َ ِم‬ َ ‫ " َم ْن لَ ْم يَ ْر‬:‫للا ت َ َعالَى‬
َ َ‫ض بِق‬
)‫البيهقي‬
Atinya:
Dari Anas bin Malik berkata, saya mendengan Rasulullah Saw. bersabda,
Allah Swt. berfirman, “Siapa yang tidak ridha dengan keputusan dan takdirku, maka
hendaknya mencari dan memohon doa kepada Tuhan selain Aku” (HR. Baihaki)

14
KEGIATAN BELAJAR 3:

CAPAIAN PEMBELAJARAN

Mampu menganalisis kategori akhlak al-karimah yang manfaatnya kembali


kepada diri sendiri

INDIKATOR KOMPETENSI

1. Menemukan kategorisasi akhlak yang ada hubungannya dengan diri sendiri.


2. Menganalisis akhlak yang ada hubungannya dengan diri sendiri; khauf dan
raja’, malu, rajin, hemat dan istiqamah
3. Membedakan sebab dan akibat dari akhlak al-karimah pada diri sendiri; khauf
dan raja’, malu, rajin, hemat dan istiqamah.

URAIAN MATERI
1. HAKEKAT AKHLAK TERHADAP DIRI SENDIRI
Berbicara akhlak adalah berbicara mengenai perbuatan baik dan buruk. Perbuatan baik
yang dimaksud adalah perbuatan yang membawa manfaat dan kemuliaan. Sebaliknya
perbuatan buruk maksudnya ialah perbutan yang menyebabkan kemadharatan dan kehinaan.
Dengan demikian dapat difahami bahwa akhlak terhadap diri sendiri dasarnya adalah
sifat jiwa yang sudah mendarah daging yang dapat menjadi inspirasi dan mendorong
perbuatan-perbuatan yang akibatnya kembali pada dirinya sendiri, baik itu perbuatan yang
bermanfaat maupun perbuatan yang madharat. Meski hakekatnya tidak ada satupun manusia
di dunia ini yang ingin mendapatkan keburukan apalagi keburukan tersebut jelas dari akibat
perbuatannya, tatapi realitanya banyak orang yang berakhlak buruk terhadap dirinya sendiri
Sejatinya apabila Saudara sudah beramal shalih, maka berarti Saudara telah berakhlak
baik kepada Allah Swt., kepada diri sendiri dan kepada sesama makhluk. Masih ingatkan kan,

1
pengertian amal shaleh dan hakekat implementasi imannya? Semua perbuatan yang dilakukan
seorang hamba karena Allah Swt. semata sebagai bentuk pengabdiannya, yakni amal yang
implementasinya didasari dengan hakekat tauhid.
Akhlak yang mulia kepada diri sendiri adalah bagian dari amal shalih. Sebagai contoh
sifat malu. Sifat malu bisa baik dan sebaiknya bisa buruk bagi seseorang. Apabila ia malu
melakukan sesuatu karena Allah, dipastikan ia malu meninggalkan perbuatan yang
diperintahkan oleh-Nya, atau melakukan perbuatan yang dilarang-Nya. Sifat malu seperti ini,
adalah bagian dari keshalehan seseorang dan akan memberikan manfaat bagi dirinya serta akan
menyebabkan ia akan menjadi orang mulia.
Bagaimana sudah nyambung? Mari kita lanjutkan sub bab berikutnya!

2. MACAM-MACAM AKHLAK TERHADAP DIRI SENDIRI


Setelah Saudara memahami dengan saksama mengenai akhlak terhadap diri sendiri,
bagaimana apa saja kira-kira yang termasuk akhlak terhadap diri sendiri? Ingat indikatornya
adalah sifat perbuatan yang langsung berpengaruh atau berakibat baik atau memberi manfaat
dan menjadikan derajatnya mulia bagi diri orang yang menyandangnya. Sifat tersebut akan
menagantar pemiliknya menjadi orang yang sukses dunia akhirat.
Untuk lebih memudahkan Saudara, berikut ini adalah beberapa sifat yang di masud di
atas, yaitu; khauf dan raja’, malu, rajin, hemat dan istiqamah. Dengan kelima sifat tersebut
apabila sudah terpatri dalam jiwa, insyaAllah Saudara akan dapat menjadi pribadi sukses dunia
akhirat.
Selanjutnya mari kita bahas satu persatu:

a. Khauf dan Raja’

Secara bahasa, khauf adalah lawan kata al-amnu. Al-Amnu adalah rasa aman,
dan khauf adalah rasa takut. Khaufa adalah perasaan takut terhadap siksa dan keadaan
yang tidak mengenakkan karena kemaksiatan dan dosa yang telah diperbuat.
Sedangkan raja’ adalah perasaan penuh harap akan surga dan berbagai
kenikmatan lainnya, sebagai buah dari ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Bagi
seorang muslim, kedua rasa ini mutlak dihadirkan. Karena akan mengantarkan pada
satu keadaan spiritual yang mendukung kualitas keberagamaan seorang muslim.
Kenapa kita harus mempunyai sifat khauf. Ada beberapa alasan: Pertama,
supaya ada proteksi diri. Terutama dari perbuatan kemaksiatan atau dosa. Karena, nafsu
selalu menyuruh kita untuk melakukan perbuatan buruk dan tidak ada kata berhenti

2
dalam menjerumuskan kita. Oleh karena itu, kita harus membuat nafsu menjadi takut.
Seorang ahli hikmah berkata, “Suatu ketika nafsu mengajak berbuat maksiat, lalu ia
keluar dan berguling- guling di atas pasir yang panas seraya berkata kepada nafsunya,
“Rasakanlah! Neraka jahanam itu lebih panas dari pada yang anda rasakan ini.”
Kedua, agar tidak ujub atau berbangga diri dan sombong. Sekalipun kita sedang
dalam zona taat, kita harus selalu waspada terhadap nafsu. Perasaan paling suci, paling
bersih dan paling taat adalah di antara siasat halus nafsu. Karena itulah nafsu harus tetap
dipaksa dan dihinakan tentang apa yang ada padanya, kejahatannya, dosa-dosa dan
berbagai macam bahayanya.
Allah Swt. berfirman;
)32:‫ فل تُز ُّكوا أ ْنفُس ُك ْم هُو أعْل ُم ِبم ِن اتَّقى (النجم‬...
“… Jangan engkau merasa paling suci, karena Aku tahu siapa yang paling
bertakwa.” (QS an-Najm, 53: 32).
Berikutnya, kenapa manusia perlu memiliki sifat raja’. Alasannya adalah
pertama, agar tetap bersemangat dalam ketaatan. Sebab berbuat baik itu berat dan setan
senantiasa akan mencegahnya dengan berbagai cara. Allah Swt. berfirman:
ُ ‫ث ُ َّم َلتِينَّ ُه ْم ِم ْن بي ِْن أ ْيدِي ِه ْم و ِم ْن خ ْل ِف ِه ْم وع ْن أيْمانِ ِه ْم وع ْن شمائِ ِل ِه ْم ول ت ِجد‬
)17:‫أ ْكثر ُه ْم شا ِك ِرين (األعراف‬
Artinya:
Kemudian pasti aku akan datangi mereka dari depan, dari belakang, dari
kanan dan dari kiri mereka. Dan Engka tidak akan mendapatka mereka banyak
bersyukur. (Al-‘Araf/7: 17)
Imam al-Ghazali berkata, “Kesedihan itu dapat mencegah manusia dari makan.
Khauf dapat mencegah orang berbuat dosa. Sedang raja’ bisa menguatkan keinginan
untuk melakukan ketaatan. Ingat mati dapat menjadikan orang bersikap zuhud dan tidak
mengambil kelebihan harta duniawi yang tidak perlu.
Kedua, agar tetap tenang dengan berbagai kesulitan hidupnya. Ketika orang
benar-benar menyukai sesuatu, tentu ia sanggup memikul beban beratnya. Bahkan
merasa senang dengan keadaan sulitnya itu. Seperti orang yang mengambil madu di
sarang lebah, ia tidak akan pedulikan sengatan lebah itu, karena ingat akan manisnya
madu.
Begitu pula orang-orang yang tekun beribadah, mereka akan berjibaku apabila
ia teringat surga yang indah dengan berbagai kenikmatannya; kecantikan
bidadaribidadarinya, kemegahan istananya, kelezatan makanan dan minumannya,

3
keindahan pakaian dan keelokan perhiasannya dan semua yang disediakan Allah di
dalamnya.
Di waktu yang lain, Imam Al-Ghazali menjelaskan ketika ditanya, Manakah
yang lebih utama di antara sikap khauf dan raja`? Sang Hujjatul Islam menjawab
dengan pertanyaan balik. Mana yang lebih enak, roti atau air? Bagi orang yang lapar,
roti lebih tepat. Bagi yang kehausan, air lebih pas. Jika rasa lapar dan haus hadir
bersamaan dan kedua rasa ini sama-sama besar porsinya, maka roti dan air perlu
diasupkan bersama-sama, tambah sufi terbesar sepanjang masa ini.
Bagaimana kalau orang yang tidak memiliki rasa takut dan tidak punya
harapan? Tentu dia akan sembarangan dalam beramal atau tidak mau berbuat apa-apa.
Dan tentunya sulit dijelaskan bagaimana ia bisa menjadi orang yang sukses.

b. Malu
Menurut bahasa malu berarti merasa sangat tidak enak hati seperti hina atau
segan melakukan sesuatu karena ada rasa hormat, agak takut, kepada pihak lain. Sedang
menurut istilah adalah adalah sifat yang mendorong seseorang merasa tidak enak
apabila meninggalkan kewajiban-kewajiabannya sebagai hamba Allah Swt dan
meninggalkan larangan-larangan-Nya.
Malu adalah sifat atau perasaan yang membentengi seseorang dari melakukan
yang rendah atau kurang sopan. Ajaran Islam mengajarkan pemeluknya memiliki sifat
malu karena dapat menyebankan akhlak seseorang menjadi tinggi. Orang yang tidak
memiliki sifat malu, akhlaknya akan rendah dan tidak mampu mengendalikan hawa
nafsu.
Sifat malu merupakan ciri khas akhlak orang beriman. Orang yang memiliki
sifat ini apabila melakukan kesalahan atau yang tidak patut bagi dirinya akan
menunjukkan penyesalan. Sebaliknya, orang yang tidak memiliki malu merasa biasa
saja ketika melakukan kesalahan dan dosa meskipun banyak orang mengetahuinya.
Perasaan malu muncul dari kesadaran akan perasaan bersalah tetapi sebenarnya
perasaan malu tidak sama dengan perasaaan bersalah. Rasa malu merupakan perasaan
tidak nyaman tentang bagaimana kita dilihat oleh pihak lain, yakni Allah semata.
Sebagaimana konsep ihsan yang dijelaskan oleh Rasulullah sebagai berikut:

)‫ (رواه مسلم‬... ‫ فإ ِ ْن ل ْم ت ُك ْن تراهُ فإِنَّهُ يراك‬،ُ‫ّللا كأنَّك تراه‬


َّ ‫أ ْن ت ْعبُد‬...
Artinya:

4
Kamu mengabdi (melakukan segala sesuatu perbuatan) kepada Allah Swt. seakan-
akan melihat kamu melihatnya, lalu jika kamu tidak bisa melihat-Nya, maka
sesungguhnya Dia melihatmu. (HR. Muslim)
Ibnul Qoyyim menjelaskan dalam kitabnya Madarijus Salikin bahwa
kuatnya sifat malu itu tergantung kondisi kualitas hatinya. Sedikit sifat malu
disebabkan oleh kematian hati dan ruhnya, sehingga semakin hidup hati itu maka
sifat malupun semakin sempurna. Beliau juga mengatakan, Sifat malu darinya
tergantung kepada pengenalannya terhadap Rabbnya. Atau dengan kata malu
adalah sifat yang melekat pada diri seseorang itu sangat terkait dengan kualitas
imannya.
Diriwayatkan oleh Ibnu Umar dalam sebuah hadis Rasulullah Saw. sebagai
berikut:

:‫ي صلَّى للاُ عل ْي ِه وسلَّم‬


ُّ ‫ قال النَّ ِب‬:‫ قال‬،‫ّللاُ ع ْن ُهما‬
َّ ‫ضي‬ِ ‫عمر ر‬ ُ ‫ع ِن اب ِْن‬
)‫ فإِذا ُر ِفع أحدُهُما ُر ِفع ْاَلخ ُر» (رواه الحاكم‬،‫ان قُ ِرنا ج ِميعًا‬ ِ ْ ‫« ْالحيا ُء و‬
ُ ‫اْليم‬
Artinya:
Dari Ibn. Umar ra. Berkata, Nabi Saw. bersabda:, Malu dan iman senantiasa
bersama. Apabila salah satunya dicabut, maka hilanglah yang lainnya. (HR.
Hakim)
Islam menempatkan malu sebagai bagian dari iman. Orang beriman pasti
memiliki sifat malu. Orang yang tidak memiliki malu berarti tidak ada iman dalam
dirinya meskipun lidahnya menyatakan beriman. Rasulullah SAW bersabda, ''Iman itu
lebih dari 70 atau 60 cabang, cabang iman tertinggi adalah mengucapkan 'La ilaha
illallah', dan cabang iman terendah adalah membuang gangguan (duri) dari jalan, dan
rasa malu merupakan cabang dari iman.'' (HR Bukhari-Muslim).
Apabila seseorang hilang malunya, secara bertahap perilakunya akan buruk,
kemudian menurun kepada yang lebih buruk, dan terus meluncur ke bawah dari yang
hina kepada lebih hina sampai ke derajat paling rendah. Sebagaimana sabda Rasulullah
Saw. sebagai berikut:

‫ّللا ع َّز وج َّل ِإذا‬ َّ ‫ « ِإ َّن‬:‫ قال‬،‫ي صلَّى للاُ عل ْي ِه وسلَّم‬ َّ ِ‫ أ َّن النَّب‬،‫عمر‬ُ ‫ع ِن اب ِْن‬
‫ ل ْم ت ْلقهُ إِ َّل م ِقيًًا‬،‫ فإِذا نزع ِم ْنهُ ْالحياء‬،‫ نزع ِم ْنهُ ْالحياء‬،‫أراد أ ْن يُ ْه ِلك ع ْبدًا‬
ُ‫ت ِم ْنه‬ ْ ‫ فإِذا نُ ِزع‬،ُ‫ت ِم ْنهُ ْاألمانة‬ ْ ‫ نُ ِزع‬،‫ فإِذا ل ْم ت ْلقهُ ِإ َّل م ِقيًًا ُممقًًَّا‬،‫ُممقًًَّا‬
ُ‫ت ِم ْنه‬ ْ ‫ نُ ِزع‬،‫ فإِذا ل ْم ت ْلقهُ ِإ َّل خائِنًا ُمخ َّونًا‬،‫ ل ْم ت ْلقهُ ِإ َّل خائِنًا ُمخ َّونًا‬،ُ‫ْاألمانة‬
5
‫ فإِذا ل ْم ت ْلقهُ إِ َّل‬،‫ ل ْم ت ْلقهُ إِ َّل ر ِجي ًما ُملعَّنًا‬،ُ‫الر ْحمة‬
َّ ُ‫ت ِم ْنه‬ ْ ‫ فإِذا نُ ِزع‬،ُ‫الر ْحمة‬ َّ
)‫اْل ْسل ِم (رواه ابن ماجه‬ ِ ْ ُ‫ت ِم ْنهُ ِربْقة‬
ْ ‫ نُ ِزع‬،‫ر ِجي ًما ُملعَّنًا‬

Artinya:
Dari Ibn. Umar bahwasannya Nabi Saw. bersabda, ''Sesungguhnya Allah
apabila hendak membinasakan seseorang, Dia mencabut rasa malu dari orang
itu. Sesungguhnya apabila rasa malu seorang hamba sudah dicabut, kamu tidak
menjumpainya kecuali dibenci. Apabila tidak menjumpainya kecuali dibenci,
dicabutlah darinya sifat amanah. Apabila sifat amanah sudah dicabut darinya
maka tidak akan didapati dirinya kecuali sebagai pengkhianat dan dikhianati.
Kalau sudah jadi pengkhianat dan dikhianati, dicabutlah darinya rahmat.
Kalau rahmat sudah dicabut darinya, tidak akan kamu dapati kecuali terkutuk
yang mengutuk. Apabila terkutuk yang mengutuk sudah dicabut darinya, maka
akhirnya dicabutlah ikatan keislamannya.'' (HR Ibn Majah).
Ada tiga macam malu yang perlu melekat pada seseorang, yaitu:
1). Malu kepada diri sendiri ketika sedikit melakukan amal saleh kepada Allah dan
kebaikan untuk umat dibandingkan orang lain. Malu ini mendorongnya
meningkatkan kuantitas amal saleh dan pengabdian kepada Allah dan umat.
2). Malu kepada manusia. Ini penting karena dapat mengendalikan diri agar tidak
melanggar ajaran agama, meskipun yang bersangkutan tidak memperoleh pahala
sempurna lantaran malunya bukan karena Allah. Namun, malu seperti ini dapat
memberikan kebaikan baginya dari Allah karena ia terpelihara dari perbuatan
dosa.
3). Malu kepada Allah. Ini malu yang terbaik dan dapat membawa kebahagiaan
hidup. Orang yang malu kepada Allah, tidak akan berani melakukan kesalahan
dan meninggalkan kewajiban selama meyakini Allah selalu mengawasinya.
Sifat malu begitu penting karena sebagai benteng pemelihara akhlak seseorang
dan bahkan sumber utama kebaikan. Maka dari itu, sifat ini perlu dimiliki dan dipelihara
dengan baik. Sifat malu dapat meneguhkan iman seseorang.

c. Rajin
Menurut bahasa rajin berarti suka bekerja, getol (sungguh-sungguh bekerja),
giat berusaha dan kerapkali; terus-menerus. Kata rajin sangat terkenal dengan sebuah
peribahasa “rajin pangkal pandai”

6
Sifat rajin dapat difahami sebagai kondisi jiwa yang dapat mendorong
kesungguhan untuk melakukan kegiatan tertentu secara terus-menerus dalam mencapai
suatu tujuan. Kebalikannya adalah sifat malas, sifat yang melekat dengan kuat di dalam
sudah yang mendorong seseorang tidak mau, segan atau tidak berminat melakukan
sesuatu.
Perlu difahami bahwa perubahan kondisi dalam hidup kita sangat ditentukan
dengan tingkat keseriusan dan kerja keras yang kita lakukan. Allah Swt. tidak akan
pernah mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu berusaha untuk mengubah apa
yang ada di dalam dirinya. Allah Swt. berfirman sebagai berikut:

)11 :‫ّللا ل يُغ ِي ُر ما ِبق ْوم حًَّى يُغ ِي ُروا ما ِبأ ْنفُ ِس ِه ْم (الرعد‬
َّ ‫ِإ َّن‬
Artinya:
Sesungguhnya Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum, sehingga mereka
mau merubah apa yang ada dalam diri mereka sendiri. (QS. Ar-Ra’du/13: 11)

Merubah sesuatu yang ada di dalam diri mereka (manusia) yang dimaksud
adalah merubah akhlaknya. Terutama dalam hal ini merubah sifat-sifat yang
membangun seperti sifat malas menjadi rajin, boros/pelit menjadi hemat dan lain-lain.
Siapa yang bau berubah nasibnya menjadi lebih baik maka ia harus merubah sifat-sifat
destruktif menjadi sifat-sifat yang konstruktif.
Keberhasilan tak akan pernah datang hanya dengan mengkhayal. Sunnatullah
dalam kehidupan ini menegaskan bahwa tidak mungkin kita kenyang hanya dengan
mengkhayal, tetapi rasa kenyang akan datang setelah kita makan, begitu pun juga
kesulitan hanya akan dapat diatasi ketika kita melakukan usaha untuk mengatasinya.
Rezeki akan datang ketika kita berusaha untuk menjemputnya, dan tidak akan pernah
datang hanya dengan bermimpi.
Pentingnya usaha atau ikhtiar yang kita keluarkan dalam mencapai suatu tujuan
yang kita harapkan itu menjadi landasan penting dari kesungguhan kita dalam
bertawakal kepada Allah Swt. Bertawakal bukanlah berpasrah tanpa usaha, tawakkal
ialah upaya yang diawali kebulatan tekad, menyusun rencana yang matang berdasarkan
kemampuan dan ilmu yang kita miliki.
Jihad juaga jangan hanya dimaknai sebatas mengangkat senjata, tapi pelajaran
penting dari jihad adalah bagaimana pentingnya motivasi untuk berusaha. Pergi ke

7
medan perang membutuhkan kekuatan lahir dan batin, butuh kekuatan untuk mengusir
rasa malas dan rasa takut.
Mungkin kita harus merenungkan pula, jika saja para sesepuh dan tokoh bangsa
ini di masa lalu tak mampu mengusir rasa malasnya, nikmat kemerdekaan negara ini
belum tentu sebaik seperti yang kita rasakan.
Terkait dengan sifat malas sebagai penyakit yang harus diperangi, Rasulullah
Saw. mengajarkan kepada kita sebuah doa yang sering beliau panjatkan kepada Allah
Swt. seperti diriwayatkan dari Anas ra. sebagai berikut:

،ِِ‫ّللاِ صلَّى للاُ عل ْي ِه وسلَّم يًع َّوذُ ِبهؤُل ِء ْالك ِلما‬ َّ ‫سو ُل‬ُ ‫ كان ر‬:‫ع ْن أنس قال‬
‫وء‬
ِ ‫س‬ُ ‫ و‬،‫ و ْال ُجب ِْن و ْالبُ ْخ ِل‬،‫ و ْالهر ِم‬،‫عوذُ ِبك ِمن ْالكس ِل‬ ُ ‫ «اللَّ ُه َّم ِإنِي أ‬:‫كان يقُو ُل‬
»‫ب ْالقب ِْر‬
ِ ‫ وعذا‬،‫ و ِفًْن ِة الدَّ َّجا ِل‬،‫ْال ِكب ِر‬
Artinya
Dari Anas berkata, dalu Rasulullah Saw. mohon perlindungan kepada Allah
dengan kalimat-kalimat ini. Beliau berdoa, “Ya Allah ya Tuhan kami,
sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari keluh kesah dan dukacita, aku
berlindung kepada-Mu dari lemah kemauan dan malas, aku berlindung kepada-
Mu dari sifat pengecut dan kikir, aku berlindung kepada-Mu dari tekanan utang
dan kezaliman manusia.” (HR Baihaqi)

Melalui doa tersebut, Rasulullah Saw. mengajarkan kepada kita, bahwa


sosok seorang muslim sejati haruslah tergambar sebagai sosok yang penuh
semangat, memiliki motivasi tinggi dan rajin dalam mengejar kesuksesan,
dermawan, mandiri, serta peduli terhadap sesama.
Tidak patut disebut sebagai seorang muslim sejati, jika kita senantiasa
mengeluh, malas, takut, dan kikir, bahkan selalu bergantung kepada orang lain dan
sering berbuat zalim. Ingatlah bahwa surga Allah Swt. tak akan dapat kita raih hanya
melalui lamunan dan angan-angan, tapi harus diraih dengan semangat yang tinggi
untuk konsisten dalam jalan hidup yang diridai Allah Swt. Seorang muslim harus
rajin dalam segala hal; rajin beramal, belajar, bekerja, dan berbagai usaha untuk
memperbaiki kualitas diri sehingga menjadi orang yang terbaik, sukses hidupnya
dunia akhirat.

d. Hemat

8
Dalam Kamus Besar Bahasa Indosenia hemat diartikan dengan berhati-hati
dalam membelanjakan uang. Semenjak Saudara ada di bangku sekolah dasar, pasti
Saudara sudah hafal betul dengan pepatah yang satu ini, "Hemat Pangkal Kaya".
Seakan atau sepintas hemat hanya berhubungan dengan harta.
Hemat Pangkal Kaya dimaknai, apabila kita senang menabung alias hidup
hemat dalam kehidupan sehari-hari, maka kita bisa dengan mudah mencapai apa yang
kita inginkan atau kita dambakan. Bahkan, tidak mustahil jika ingin menjadi orang yang
sukses juga harus hemat.
Hemat dalam kehidupan sehari-hari adalah sifat jiwa yang sudah menyatu
dengan dirinya yang dapat mendorong seseorang menggunakan segala sesuatu yang
dimilikinya, baik harta, tenaga maupun waktu sesuai dengan kebutuhan. Hemat berarti
tidak boros dan juga tidak kikir atau pelit. Orang-orang yang hemat bisa menahan
nafsunya untuk tidak membeli barang yang tidak penting. Orang yang hemat akan
berusaha dengan upaya yang maksimal untuk membeli dan memenuhi kebutuhannya,
meskipun dalam kondisi serba kekurangan.
Sikap boros dilarang oleh ajaran agama Islam sebagaimana firman Allah
sebagai berikut:

ً ُ‫ان ِلربِ ِه كف‬


)27 :‫ورا (السراء‬ َّ ‫ين وكان ال‬
ُ ‫شيْط‬ ِ ‫اط‬ َّ ‫إِ َّن ْال ُمبذ ِِرين كانُوا إِ ْخوان ال‬
ِ ‫شي‬
Artinya:
Sesungguhnya mubadzir itu adalah teman setan. Dan setan itu ingkar kepada
Tuhannya (QS. Al-Isra’/17:27)
Sementara pelit atau bakhil itu adalah sesuatu yang dibenci oleh Allah Swt.
dan menyebabkan jauh dari rahmat-Nya. Rasulullah Saw. bersabda:
َّ ‫ي ق ِريب ِمن‬
‫ّللاِ ق ِريب ِمن‬ َّ ‫ «ال‬:‫ّللاُ عل ْي ِه وسلَّم قال‬
ُّ ‫س ِخ‬ َّ ‫ ع ِن النَّبِي ِ صلَّى‬،‫ع ْن أبِي ُهريْرة‬
ِ َّ‫ّللاِ ب ِعيد ِمن الجنَّ ِة ب ِعيد ِمن الن‬
‫اس‬ َّ ‫ والب ِخي ُل ب ِعيد ِمن‬،‫ار‬ِ َّ‫اس ب ِعيد ِمن الن‬
ِ َّ‫الجنَّ ِة ق ِريب ِمن الن‬
)‫ار (رواه الًرمذي‬ ِ َّ‫ق ِريب ِمن الن‬
Artinya:
Dari Abu Hurairah ra. Dari Nabi Saw. bersabda, ‘Sifat dermawan itu dekat
kepada Allah, dekat dari surga, dekat dengan manusia dan jauh dari neraka.
Sedangkan sifat kikir itu jauh dari Allah, jauh dari surga, jauh dengan manusia
dan dekat dengan neraka (HR. At-Turmudzi)

Bagaimana menurut Saudara, apakah hemat itu lawan dari boros? Saya
berharap Saudara mulai faham kalau hemat adalah sifat yang terbaik dan yang

9
terbaik adalah yang ada di tengah. Hemat bukan boros dan juga bukan pelit.
Sementara dermawan adalah memberikan sesuatu yang kita miliki sesuai dengan
yang disyariatkan Allah sedang pelit adalah menahan hak orang lain yang ada pada
diri kita.
Hemat adalah membelanjakan apa yang kita punya secara sempurna. Allah
Swt. berfirman:

)67 :‫والَّذِين إِذا أ ْنفقُوا ل ْم يُ ْس ِرفُوا ول ْم ي ْقً ُ ُروا وكان بيْن ذ ِلك قوا ًما (الفرقان‬
Artinya:
Dan orag-orang yang membelanjakan (hartanya) dengan tidak berlebih dan
tidak pelit. Dan pembelanjaannya itu sempurna diantara yang demikian itu (QS. Al-
Furqan/25:67).
Di era modern ini, kebanyakan masyarakat memiliki pola hidup
yang konsumtif. Ini tentu sangat susah dihilangkan apabila sudah melekat di dalam
diri masing-masing. Dengan perilaku yang super konsumtif ini, maka akan membuat
kesenjangan sosial menjadi lebih terlihat mencolok. Hal ini juga yang akan
menimbulkan dan meningkatkan kecemburuan sosial di dalam kehidupan
bermasyarakat.
Selanjutnya hemat juga berlaku pada hal-hal selain dalam penggunaan
barang/harta dan uang. Orang yang hemat juga pandai dalam menggunakan
kesempatan dan waktu. Ia akan membuat rencana dan jadwal untuk menggunakan
waktu, sehingga tidak ada waktu yang terbuang sia-sia karena hanya sebuah alasan
yang tidak jelas. Sangat penting bagi kita apabila bisa menggunakan waktu dengan
hal-hal yang positif dan bermanfaat.
Betapa pentingnya kita untuk bisa mengatur waktu, hemat dengan karunia
kesempatan waktu yang sudah Allah Swt. berikan kepada kita. Dia yang Maha
Mengatur beberapa kali bersumpah terkait dengan waktu. Diantaranya adalah
sebagai berikut:

ِ َّ ‫ ِإ َّل الَّذِين آمنُوا وع ِملُوا ال‬.‫اْل ْنسان ل ِفي ُخ ْسر‬


ِ ‫صا ِلحا‬ ِ ْ ‫ ِإ َّن‬.‫ص ِر‬ ْ ‫و ْالع‬
)3-1 :‫صب ِْر (العصر‬ َّ ‫ق وتواص ْوا ِبال‬ ِ ‫وتواص ْوا ِب ْالح‬
Artinya:
Demi waktu ashr, sesungguhnya manusia dalam kerugian, kecuali orang-
orang yang beriman, beramal shalih, saling menasehati dalam kebenaran dan
saling menasehati dalam kesabaran (QS. Al-‘Ashr/103: 1-3)

10
Waktu merupakan sesuatu yang berharga dalam setiap kehidupan seseorang.
Banyak orang yang gagal memperoleh kesuksesan karena beranggapan bahwa waktu
yang tersedia terbatas. Padahal waktu yang diberikan kepada kita hakekatnya sama,
satu tahun 12 bulan atau 365 hari, satu hari 24 jam dan seterunya. Masalahnya adalah
bagaimana kita dapat mengatur waktu, menghemat waktu.
Keberhasilan kita dalam mengelola waktu dengan baik dapat membantu kita
menghadapi stress yang dapat menimpa pada sitiap orang. Dalam hal ini, kegiatan
mengatur waktu menjadi penting bagi kita dan harus dilakukan oleh setiap pribadi
yang ingin hidupnya lebih teratur, terarah, sehat dan terkendali dan tentunya
terhindar dari stress.
Proses mengatur waktu dimulai dengan mengidentifikasi sejumlah kegiatan
yang biasa kita lakukan setiap harinya, dengan kata lain mengidentifikasi kegiatan
rutinitas kita setiap harinya. Hal ini akan memudahkan kita mengatur dan
mengorganisir setiap kegiatan satu per satu dan menempatkannya pada kuadran
waktu yang telah kita tentukan.
Bagaimana pendapat Saudara tentang hubungan hemat dan akhlak terhadap
diri sendiri? Mudah-mudahan Saudara faham dan mengerti. Yang jelas orang yang
hemat berarti ia telah berbuat baik kepada diri sendiri. Ia akan menjadi orang yang
bisa menahan diri dalam menggunakan karunia Allah, pandai mengelola nikmat
terutama sehat dan waktu, sehingga kita dapat berharga bagi orang lain, merasakan
kebahagian tanpa penyesalan, dan bisa hidup sederhana.

e. Istiqamah
Menurut bahasa Istiqomah berarti “lurus, menjadi lurus atau tegak lurus”,
adalah bentuk mashdâr dari fiil istaqama – yastaqimu istiqamatan (Almunawwir;
1173), atau jalan yang lurus dan benar (Mufradat Alfazh al-Qur’an, hlm. 692) juga
berarti tetap beramal berdasarkan agama tauhid, tidak kembali pada kemusyrikan (Al-
Maraghi, Juz 24: hlm. 127).
Menurut Istilah istiqamah adalah kata yang mencakup semua urusan agama
yakni mendirikan (melaksanakannya secara sempurna) dan menunaikan janji terkait
dengan ucapan, perbuatan, keadaan dan niat dengan sebenar-benarnya kehadirat Allah
Swt. (Ibn. Qayyim, Madarid as-Salikin, Juz III, h. 1708)
Abdur Razaq mendefinisikan bahwa istiqamah itu menuju jalan yang lurus
yakni agama yang sempurna dari keterpihakan ke kanan atau ke kiri, mencakup

11
ketaatan lahir dan batin terhadap pelaksanaan perintah dan meninggalkan larangan
sehingga dapat dikatakan sebagai wasiat ketaatan agama secara menyeluruh (Asyru
Qawaid fi al-Istiqamah, hal. 13).
Dengan demikian dapat difahami bahwa istiqamah adalah sifat yang sudah
menyatu dengan jiwa seseorang yang mendorong untuk melakukan jalan yang lurus
(benar) berupa ketaatan mutlak kepada Allah Swt. secara konsisten dan terus menerus
dalam keadaan apapun dan di mana pun ketika menjalankan perintah-Nya dan menjauhi
larangan-Nya. Ketaan kepada Allah Swt. yang dawam (terus-menerus) merupakan
bagian penting dari Istiqamah.
Jiwa yang istiqamah adalah jiwa yang muttaqin sejati. Siapa yang dapat
menjaga ketakwaannya berarti dia berkhlak mulia kepada Rabnya sekaligus kepada
dirinya sediri. Bahkan ia juga berakhlak baik kepada semua makluk Allah Swt.
Kebaikan dan keutamaan yang kembali pada diri orang yang istiqamah adalah
mendapat jaminan menjadi kekasih Allah. Sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an
sebagai berikut:

‫ّللاُ ث ُ َّم ا ْسًقا ُموا تًن َّز ُل عل ْي ِه ُم ْالملئِكةُ أ َّل تخافُوا ول‬ َّ ‫إِ َّن الَّذِين قالُوا ربُّنا‬
‫ ن ْح ُن أ ْو ِليا ُؤ ُك ْم فِي ْالحياةِ الدُّ ْنيا‬.‫ت ْحزنُوا وأ ْبش ُِروا ِب ْالجنَّ ِة الًَِّي ُك ْنً ُ ْم تُوعدُون‬
‫ نُ ُز ًل ِم ْن‬.‫عون‬ ُ َّ‫س ُك ْم ول ُك ْم فِيها ما تد‬ ُ ُ‫وفِي ْاَل ِخرةِ ول ُك ْم فِيها ما ت ْشً ِهي أ ْنف‬
)32-30:‫غفُور ر ِحيم (فصلت‬
Artinya:
Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan bahwa “Tuhan kami adalah Allah,
kemudian mereka istiqamah, maka turunlah malaikat-malaikat kepada mereka
sembari berkata “Janganlah kalian takut dan jangan pula bersedih dan bersenang-
senanglah dengan surge yang telah dijanjikan kepada kalian”. Kami adalah
pelindung-pelindung kalian dalam kehidupan dunia dan kehidupan akhirat. Di
dalamnya terdapat sesuatu untuk kalian yang kalian inginkan dan kalian minta.
Sesuatu yang turun dari Tuhan yang Maha Pengampun dan Maha Penyayang. (QS
Fussilat/41:30 -32)

Orang yang istiqamah, konsisten jalan pikirannya, ucapan dan perbuatannya


akan selalu mendapatkan kemudahan dalam menghadapi kesulitan, akan mendapatkan
pertolongan dari Dzat yang Maha segalanya. Baginya yang susah akan jadi mudah,
yang jauh akan jadi dekat, yang sedikit akan jadi banyak dan seterusnya.

12
KEGIATAN BELAJAR 4:

CAPAIAN PEMBELAJARAN

Mampu menganalisis macam-macam akhlak al-karimah yang manfaatnya


kembali kepada diri sendiri dan orang lain.

INDIKATOR KOMPETENSI

1. Menemukan kategorisasi akhlak yang berhubungan dengan orang lain.


2. Menganalisis akhlak terhadap orang lain; kasih sayang, siddiq, amanah,
tabligh, pemaaf, dan adil.
3. Menilai implementasi akhlak terhadap orang lain; kasih sayang, siddiq,
amanah, tabligh, pemaaf, dan adil.

URAIAN MATERI
1. HAKEKAT AKHLAK TERHADAP ORANG LAIN
Bagaimana apakah Saudara sudah benar-benar memahami materi yang lalu, yakni tema
akhlak pada diri sendiri? Materi kali ini prinsipnya tidak jauh berbeda, yang berbeda hanya
sasarannya, yaitu membicarakan sikap yang ada hubungannya dengan orang lain. Sikap atau
perbuatan yang apabila dikerjakan seseorang pengaruhnya dapat dirasakan oleh orang lain,
baik manfaat atau madharatnya.
Akhlak yang mulia terhadap orang lain, juga sama merupakan bagian dari amal shalih.
Contohnya sifat jujur, orang yang bersifat jujur, akan memberikan pengaruh terhadap orang
lain. Apabila ia jujur dalam berbicara, maka informasinya akan sangat berguna bagi yang
membutuhkannya. Sebaliknya kalau ia berbohong, maka informasinya sangat
membahayakan, bahkan bisa menimbulkan fitnah yang sangat kejam bagi siapa pun yang
menjadi sasaran.

1
Akhlak terhadap orang lain adalah sifat-sifat yang melekat kuat dalam diri seseorang
yang menjadi sumber kekuatan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat berakibat
baik atau buruk bagi orang lain, di luar pelakunya.
Bagaimana sudah nyambung? Mari kita lanjutkan sub bab berikutnya!

2. MACAM-MACAM AKHLAK TERHADAP ORANG LAIN


Setelah Saudara memahami dengan saksama mengenai hakekat akhlak terhadap orang
lain, Sekarang apa Saudara bisa mengidentifikasi apa saja kira-kira yang termasuk di
dalamnya? Ingat indikatornya adalah sifat dari perbuatan yang menyebabkan atau
mengakibatkan hal-hal yang baik atau buruk terhadap orang lain, selain dirinya. Dan akibat
dari sikap perbuatan seseorang tersebut dapat mempengarui situasi dan kondisi lingkungan
dimana ia melakukannya.
Untuk lebih memudahkan Saudara, berikut ini adalah beberapa sifat yang di maksud di
atas, yaitu; kasih sayang, siddiq, amanah, tabligh, pemaaf, dan adil. Dengan ketujuh sifat
tersebut apabila sudah terpatri dalam jiwa Saudara, insyaAllah Saudara akan menjadi orang
yang bermanfaat, orang yang baik dalam pandangan Allah Swt. Sebagaimaa ukuran orang baik
yang disampaikan oleh Rasullah Saw. sebagai berikut:

ْ ِ َ‫ ْ«خَي ُْر ْالن‬:‫سلَ َْم‬


ْْ‫اس ْأَنفَعُ ُْهم‬ ْ ْ ‫صلَى‬
َ ‫للاُ ْ َعلَي ِْه ْ َو‬ َْ ْ ‫ل‬
َ ْ ِ‫ّللا‬ ُْ ‫سو‬ َْ ‫ ْقَا‬:‫ل‬
ُ ‫ل ْ َر‬ َْ ‫ ْقَا‬،‫َعنْ ْ َجا ِب ٍر‬
)‫اس»ْ(رواهْالطبراني‬ ْ ِ َ‫ِللن‬
Artinya:
Dari Jabir berkata, Raulullah Saw. bersabda; “Manusia yang terbaik adalah
orang yang lebih bermanfaat bagi manusia yang lain. (HR. Thabrani)
Selanjutnya, sifat-sifat tersebut di atas, mari kita bahas satu persatu:

a. Kasih Sayang
Kasih sayang merupakan karunia nikmat yang sangat didambakan oleh semua
orang. Karena dengan sifat ini, dapat tercipta kepedulian, kedamaian dan rasa empati
kepada orang lain. Tidak hanya itu, kasih sayang dapat mendorong manusia untuk
saling membantu untuk meringankan penderitaan yang dialami oleh manusia lainnya.
Tanpa adanya rasa kasih sayang, mungkin manusia akan menjadi sangat individualistis,
egois dan tidak memikirkan kepentingan orang lain.
Islam, sebagai agama yang sempurna, mempunyai konsep kasih sayang,
memahami bahwa manusia merupakan makhluk yang sempurna, dibekali dengan akal,
ghadhab dan nafsu. Karena manusia dibekali dengan akal dan nafsu, maka mereka tidak

2
seperti malaikat yang selalu taat dengan perintah Allah, manusia terkadang lebih
mengutamakan akal atau nafsunya dibandingkan perintah Allah.
Untuk itu, Islam mengatur batas-batas kasih sayang yang diperbolehkan, supaya
berakibat baik bagi semua pihak. Konsep ibadah harus dipahami sebagai prinsip dalam
mengimplementasikan sifat kasih sayang diantara kita, yakni dalam menjalankan
perintah dan menjauhi larangan Allah Swt.
Dengan memegang prinsip tersebut, kita akan terbiasa untuk meniatkan diri
beribadah kepada Allah dalam setiap hal yang kita lakukan, termasuk dalam hati atau
perasaan kita. Tidak ada rasa kasih dan sayang yang kita berikan kepada makhluk lain
kecuali untuk memperoleh ridha Allah Swt.
Kasih sayang memiliki makna yang tidak terbatas. Memiliki rasa kasih sayang
kepada makhluk lain merupakan fitrah yang dimiliki manusia. Maka, tentu kita harus
menempatkan rasa kasih sayang ini sesuai dengan batas-batas penciptaan kita sebagai
makhluk Allah dan jangan sampai melewati batas-batas hukum-Nya
Rasulullah Saw. bersabda:

َْ ُ‫ْأ ُ َبايِع‬:ُْ‫سلَ َْم ْفَقُلت‬


ْ‫ك ْ َعلَى‬ ْ ْ ‫صلَى‬
َ ‫للاُ ْ َعلَي ِْه ْ َو‬ َ ْ ِ‫للا‬
ْ ْ‫ل‬َْ ‫سو‬ُ ‫ْأَتَيتُْ ْ َر‬:‫ل‬ َْ ‫ير ْقَا‬
ٍْ ‫َعنْ ْ َج ِر‬
ْ‫صلَى‬ َ ْ ِ‫للا‬
ْ ْ‫ل‬ ُْ ‫سو‬ ُ ‫ل ْ َر‬َْ ‫ل ْ ُمس ِل ٍْم ْ" ث ُ َْم ْقَا‬
ِْ ‫ح ْ ِل ُك‬
ُْ ‫ْ"ْالنُّص‬:‫ل‬ َْ ‫ْفَقَ َب‬.‫اْلس ََل ِْم‬
َْ ‫ ْ َوقَا‬،ُ‫ض ْيَدَه‬ ِ
ْ‫ل ْ" ْ(رواه‬ ْ ُْ‫اس ْلَمْ ْيَر َحم ْه‬
َْ ‫للاُْ َع َْز ْ َو َج‬ َْ َ‫ْ"ْإِنَ ْهُْ َمنْ ْلَمْ ْيَر َح ِْم ْالن‬:‫سلَ َْم‬
َ ‫للاُْ َعلَي ِْه ْ َو‬
ْ
)‫احمد‬

Artinya:
Dari Jabir berkata, saya datang kepada Rasulullah Saw., lalu saya berkata,
“Saya berbaiat kepadamu untuk masuk Islam”, lalu beliau memegang tangannya
sambil bersabda, “Nasehat itu untuk setiap orang Islam”. Kemudian Rasulullah Saw.
bersabda, “Barang siapa tidak menyayangi manusia, Allah tidak akan
menyayanginya”. (HR. Ahmad)
Hadis tersebut di atas mengisyaratkan bahwa kasih sayang kita itu tidak
terbatas, yakni kepada semua ‘manusia’ bukan hanya saudara muslim. Sehingga kita
sebagai orang Islam harus bisa mengajarkan dan mencontohkan untuk menyayangi
semua manusia di bumi.
Dan masih bayak lagi hadis yang membicarakan kasih sanyang diantaranya
yang artinya sebagai berikut: (1). “Sekali-kali tidaklah kalian beriman sebelum
kalian mengasihi”, (2)” Kasih sayang itu tidak terbatas pada kasih sayang salah

3
seorang di antara kalian kepada sahabatnya (mukmin), tetapi bersifat umum (untuk
seluruh umat manusia” (H.R. Thabrani).
Islam, sebagai agama rahmatan lil ‘alamin atau rahmat bagi seluruh alam,
juga mengajarkan bahwa kasih sayang tidak hanya berlaku antar manusia, melainkan
juga pada hewan, tumbuhan dan lingkungan di sekitarnya. Pernah diceritakan Abu
Bakar as-Shiddiq ra. berpesan kepada pasukan yang dipimpin oleh Usamah bin Zaid,
“Janganlah kalian bunuh perempuan, orang tua, dan anak-anak kecil. Jangan pula
kalian kebiri pohon-pohon kurma, dan janganlah kalian tebang pepohonan yang
berbuah. Jika kalian menjumpai orang-orang yang tidak berdaya, biarkanlah
mereka, jangan kalian ganggu”. Nasehat ini, yang diberikan dalam keadaan perang,
sungguh mencerminkan makna kasih sayang yang diajarkan oleh agama Islam.
Kasih sayang tidak hanya untuk manusia, melainkan juga untuk lingkungan di
sekitarnya.
Perlu digaris bawahi bahwa sifat kasih sayang yang tidak didasari dengan
prinsip penghambaan diri kepada Allah, adalah tidak benar. Yang demikian itu justru
akan memberikan energi negatif untuk beramal yang salah, tidak diterima oleh Allah,
dan akan memberikan dampak buruk kepada semua orang bahkan makhluk yang lain.

b. Siddiq
Kata ‫صديق‬/ Siddiq, berasal dari bahasa Arab yang berarti "benar/jujur".
Menurut istilah adalah sesuatu yang diberikan sebagai sebuah gelar kehormatan
kepada individu tertentu, Siddiq untuk laki-laki dan Siddiqah untuk perempuan. Dalam
sejarah Islam, kita kenal gelar seperti ini pernah diberikan kepada sahabat yang
membenarkan berita Isra dan Mi’rajnya Nabi Muhammad Saw. yang kemudian diberi
gelar Ash-Shiddiq, yaitu Abu Bakar Ash-Shiddiq.
Ash-Shiddiq yang dimaksud adalah orang yang dengan jujur mau menerima
‫صدق‬/shidq, (kebenaran). Jujur adalah sifat yang ada dan sudah menyatu dengan jiwa
seseorang yang dapat mengispirasi dan mendorong secara cepat untuk berbicara dan
berbuat apa adanya. Sama antara pembicaraan dan perilakunya. Apa yang ada di dalam
hatinya sama dengan apa yang disampaikan melalui lisannya. Perbuatannya juga tidak
dibut-buat, sesuai dengan keyakinan kebenaran yang ada di dalam hatinya. Teguh
pendiriannya, tidak mudah goyah oleh pengaruh dari luar.
Di tengah perkembangan zaman yang sangat cepat, masyarakat semakin hari
semakin rasional dan logis. Jujur menjadi sesuatu yang langka, ada tetapi sangat jarang

4
ditemukan. Hal ini dikarenakan banyak orang yang sudah meninggalkan prinsip
kebenaran, terutama masalah akhlak. Orang akan banyak memihak kepada hal yang
menguntungkan dirinya, yang paling masuk akalnya. Sementara akalnya sudah tidak
sehat lagi karena dibimbing oleh nafsu angkara murka.
Ada sebuah dialog menarik dalam kitab Ihya Ulumiddin terkait dengan
kelangkaan sifat jujur ini. Dialog antara Hakim dengan seorang laki-laki yang menyoal
kejujuran yang susah didapatkan

ْ‫ْ ْ“لو ْكنت ْصادقا ْلعرفت‬:‫ْ“ما ْرأيت ْصادقا!” ْفقال ْله‬:‫وقال ْرجل ْلحكيم‬
”‫الصادقين‬
Artinya:
Seorang laki-laki berkata kepada Hakim: “Aku tidak bisa mengenali orang
yang jujur!” Kemudian dijawab oleh Hakim: “Seandainya kamu adalah orang yang
jujur kamu juga akan mengenal orang-orang yang jujur.”
Laki-laki dalam dialog di atas memiliki keinginan untuk mengetahui kejujuran
orang lain, tapi ketika dirinya sendiri tidak memiliki sikap jujur, maka orang-orang jujur
tidak lagi bisa ia liat, dan tidak nampak baginya. Hal ini menggambarkan adanya
indikasi dalam bahwa laki-laki tersebut sudah semakin susah untuk membedakan mana
orang yang jujur dan mana orang yang bohong. Bahkan dirinya sendiri tidak sadar kalau
bukan bagian dari orang-orang yang jujur.
Salah satu kitab yang memersoalkan tentang jujur adalah Ihya Ulumiddin. Kitab
ini merupakan kitab fenomenal yang memuat banyak sekali hikmah dan moral yang
layak dijadikan pedoman. Imam Abu Hamid al-Ghazali (w. 505 H) sendiri
memasukkannya ke dalam Rubu’ al-Munjiyat (seperempat hal yang dapat
menyelamatkan). Beliau mengutip sebuah hadis yang diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin
Mas’ud Rasulullah Saw bersabda:

ُْ ُ‫ل ْ َل َيصد‬
ْ‫ق‬ َْ ‫الر ُج‬
َ ْ‫ن‬ َْ ‫ن ْال ِب َْر ْ َيهدِي ْ ِإلَى ْال َجنَ ِْة ْ َو ِإ‬
َْ ‫الصدقَْ ْ َيهدِي ْ ِإلَى ْال ِب ِْر ْ َو ِإ‬ ِْ ْ ‫ن‬ َْ ‫ِإ‬
ْ‫ور ْيَهدِي ْإِلَى‬ َْ ‫ن ْالفُ ُج‬ َْ ِ‫ور ْ َوإ‬ِْ ‫ِب ْيَهدِي ْإِلَى ْالفُ ُج‬ َْ ‫ن ْال َكذ‬ َْ ِ‫صدِيقًا ْ َوإ‬ ِ ْ َْ‫َحتَى ْيَ ُكون‬
‫للاِْ َكذَابًا‬ َْ َ ‫ِبْ َحتَىْيُكت‬
ْ َْ‫بْ ِعن ْد‬ ُْ ‫لْلَيَكذ‬ َْ ‫الر ُج‬
َ ْ‫ن‬ ِْ َ‫الن‬
َْ ‫ارْ َو ِإ‬
Artinya:
“Sesungguhnya jujur itu menunjukkan kepada kebaikan, dan kebaikan
menunjukkan kepada surga. Sungguh akan ada seorang laki-laki yang berbuat
jujur sehingga ia akan dicatat sebagai orang yang sangat jujur. Sebaliknya,
dusta menunjukkan kepada kemaksiatan, dan kemaksiatan mengantarkan

5
seseorang ke neraka, sungguh akan ada seorang laki-laki yang pandai berdusta
sehingga ia dicatat di sisi Allah sebagai seorang pendusta.” (HR. Bukhari dan
Muslim)
Sifat jujur merupakan salah satu sifat wajib yang dimiliki oleh para nabi dan
para rasul Allah. Berikut adalah beberapa contoh firman Allah Swt. yang menyatakan
bahwa para nabi dan rasul memiliki sifat jujur;
1). Nabi Ibrahim as.

)41:‫صدِيقًاْنَبِيًّاْ(مريم‬
ِ َْْ‫يمْ ِإنَ ْهُْ َكان‬ ِْ ‫َواذ ُكرْْفِيْال ِكتَا‬
َْ ‫بْ ِإب َرا ِه‬
Artinya:
“Ceritakanlah (Hai Muhammad) kisah Ibrahim di dalam Al Kitab (Al
Quran) ini. Sesungguhnya ia adalah seorang yang sangat jujur lagi seorang
Nabi.” (QS. Maryam/19: 41)

2). Nabi Isma’il as.

ًْ ‫س‬
)54:‫ولْنَبِيًّاْ(مريم‬ َ َْْ‫لْ ِإنَ ْهُْ َكان‬
ُ ‫صادِقَْْال َوع ِْدْ َو َكانَْْ َر‬ ِْ ‫َواذ ُكرْْ ِفيْال ِكتَا‬
َْ ‫بْ ِإس َما ِعي‬
Artinya:
“Dan ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka) kisah Ismail (yang
tersebut) di dalam Al Quran. Sesungguhnya ia adalah seorang yang benar
janjinya, dan dia adalah seorang rasul dan nabi.” (QS. Maryam/19: 54)

3). Nabi Idris as.

)56:‫صدِيقًاْنَبِيًّاْ(مريم‬
ِ َْْ‫يسْ ِإنَ ْهُْ َكان‬ ِْ ‫َواذ ُكرْْفِيْال ِكتَا‬
َْ ‫بْ ِإد ِر‬
Artinya:
“Dan ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka, kisah) Idris (yang
tersebut) di dalam Al Quran. Sesungguhnya ia adalah seorang yang sangat
membenarkan dan seorang nabi.” (QS. Maryam/19: 56)

Jujur adalah sifat terpuji yang selayaknya dimiliki oleh umat Islam. Abu Hamid
al-Ghazali secara khusus membahas tentang hal jujur ini. Tepatnya dalam sub tema
yang berjudul fi al-Shidqi wa Fadhilatih wa Haqiqatihi (Jujur, Keutamaan dan
Hakikatnya).
Menurut al-Ghazali kata jujur dapat diartikan dalam berbagai makna. Pertama
adalah jujur dalam perkataan, jujur dalam niat dan kehendak, jujur di dalam azam
(tekad), jujur di dalam menunaikan azam, jujur di dalam perbuatan dan yang terakhir

6
jujur di dalam mengimplementasikan maqamat di dalam beragama. Berikut kami
paparkan masing-masing dari pengertian jujur di atas.
Pertama, jujur dalam lisan; jujur dalam lisan atau ucapan berkaitan langsung
dengan informasi atau berita yang disampaikan, apakah itu benar atau salah. Baik yang
telah berlalu maupun yang akan terjadi. Menurut al-Ghazali kejujuran ini akan semakin
lengkap jika seseorang tidak terlalu membesar-besarkan informasi. Karena menurut al-
Ghazali, hal itu dekat dengan kedustaan. Dan kedua, memperhatikan makna jujur secara
seksama agar tidak bercampur dengan syahwat keduniaan.
Kedua, jujur dalam niat dan kehendak. Jujur dalam hal ini terkait langsung
dengan keikhlasan. Tidak ada dorongan sedikitpun kecuali hanya karena Allah. Jika
niat dan kehendak seseorang bercampur dengan nafsu maka batal kejujuran niat
tersebut. Dan orang yang niatnya bercampur dengan nafsu bisa dikategorikan sebagai
orang yang berdusta. Kejujuran yang kedua ini tercermin dalam hadis Nabi yang
diriwayatkan oleh Abu Hurairah.

ْ،ْ‫يك‬ َْ ِْ‫ْت َ َعلَمتُْْال ِعل َْمْ َوقَ َرأتُْْالقُرآنَْْ َو َع ِملت ُ ْهُْف‬:ْ‫ل‬ َْ ‫تْفِي َهاْ؟ْقَا‬ َْ ‫ْ َماْ َع ِمل‬:ْ‫ل‬َْ ‫…فَقَا‬
ْ‫ْفَُْأ ُ ِم َْر‬،ْ‫ل‬
َْ ‫ْفَقَدْْقِي‬،ْْ‫ارئ‬ِ َ‫ْ َوفَُلَنْْق‬،ْْ‫لْفَُلَنْْ َعا ِلم‬ َْ ‫تْأَنْْيُقَا‬َْ ‫ْإِنَ َماْأ َ َرد‬،ْ‫ت‬َْ ‫ْ َكذَب‬:ْ‫ل‬ َْ ‫قَا‬
ِْ َ‫يْ ِفيْالن‬
‫ار‬ َْ ‫بْ َعلَىْ َوج ِه ِْهْ َحتَىْأُل ِق‬ ُ َ‫ِب ِْهْف‬
َْ ‫س ِح‬
… kemudian ditanyakan (kepadanya): “Apa yang engkau perbuat sewaktu di
dunia?” ia menjawab: “Aku menuntut ilmu dan membaca Al-Quran serta
mengamalkannya di jalan-Mu.” Lalu dijawab, “Bohong! Kamu melakukannya
hanya ingin disebut sebagai orang yang alim, yang qari.” Kemudian Allah
memerintahkan untuk disungkurkan wajahnya dan dilemparkan ke dalam api
neraka. (HR. Hakim)
Ketiga, jujur dalam azam (tekad); sebelum seseorang melakukan sesuatu
kadangkala seseorang memiliki tekad terlebih dahulu sebelum
mengimplementasikannya. Contohnya adalah jika seseorang mengatakan jika Allah
memberiku harta maka aku akan mensedekahkan sekian dari harta tersebut. Kejujuran
tekad yang dimaksudkan di sini adalah kesempurnaan dan kekuatan tekad
tersebut. Tekad yang benar atau jujur tidak akan ragu atau goyah sedikitpun.
Keempat, jujur dalam menunaikan azam (tekad); Maksudnya adalah ketika
seseorang telah memiliki azam dan ia memiliki peluang untuk melaksanakan azamnya.
Ketika ia tidak menunaikan apa yang menjadi tekadnya maka itu bisa dikatakan sebagai
kebohongan atau ketidak jujuran.

7
Kelima, jujur dalam perbuatan; adalah usaha seseorang untuk menampilkan
perbuatan lahiriah agar sesuai dengan apa yang ada di dalam hatinya. Berbeda dengan
riya’, riya’ berati perbuatan baik secara lahir tidak sama dengan niat buruk di dalam
hati. Seseorang yang antara perbuatan lahir dan niatnya berbeda tanpa adanya maksud
yang disengaja. menurut al-Ghazali hanya dikatakan sebagai orang yang tidak jujur
dalam perbuatan.
Keenam, jujur dalam mengimplementasikan maqamat di dalam agama seperti
jujur di dalam khauf (takut kepada Allah), raja’ (berharap kepada Allah), zuhud dan
lain sebagainya. Ini adalah tingkatan jujur yang paling tinggi. Seseorang dapat
dikatakan jujur dalam tahap ini ketika ia telah mencapai hakikat yang dimaksud
dalam khauf, raja’ atau zuhud yang dikehendaki. Tingkatan jujur ada dalam ajaran sufi
yang ada dalam Islam.

c. Amanah
Menurut bahasa Amanah berasal dari kata amuna – ya’munu – amanatan yang
bermakna tidak meniru, terpercaya, jujur, atau titipan. Amanah dapat difahami sebagai
sebagai satu sifat yang melekat dalam diri seseorang yang dapat mendorong seseorang
dapat melakukan perbuatan-perbutan dengan cepat tentang segala sesuatu yang
dipercayakan kepadanya, baik yang menyangkut hak dirinya, hak orang lain, maupun
hak Allah Swt.
Sifat amanah merupakan sifat terpenting dari Nabi Muhammad Saw., sifat yang
oleh kaum jahiliah Makkah disematkan kepada diri beliau sebelum turun wahyu,
sehingga beliau dikenal dengan julukan al-Amin; orang yang amanah. Julukan yang
kemudian populer dan sangat lekat di lidah masyarakat Makkah. Dengan julukan inilah
semua orang, laki-laki ataupun perempuan, menyebut Nabi dengan penuh takzim dan
penghormatan.
Ketika usai membangun ulang Ka’bah, kaum Quraisy berisitegang, bahkan
hampir bertumpah darah tentang siapa yang akan mendapat kehormatan meletakkan
kembali Hajar Aswad ke tempatnya. Karena tak ada titik temu, mereka sepakat untuk
menyerahkan putusan kepada siapa yang datang kepada mereka pertama kali.
Tiba-tiba Muhammad bin Abdullah muncul. Betapa girang kaum Quraisy.
Mereka berteriak dengan penuh kepercayaan, “Inilah al-Amin. Inilah al-Amin. Kami
rela dia yang memberi putusan!”

8
Apa yang segera terlintas di hati kaum Quraisy saat itu adalah sifatnya yang
terkenal itu. Sengaja beliau dipanggil begitu karena mereka percaya beliau akan
memberi jalan penyelesaian yang adil. Dan terbukti Nabi mampu mengatasi masalah
mereka dengan cara yang sangat simpel dan melegakan semua pihak. Itu terjadi jauh
sebelum kenabian.
Lebih dari itu, bahkan setelah kenabian pun, rumah beliau menjadi pangkal
penitipan barang paling dipercaya kalangan kaum musyrik –yang justru mengingkari
kenabian beliau. Tanpa segan, mereka titipkan barang-barang yang dicemaskan hilang,
padahal waktu itu dunia belum mengenal rumah penitipan barang. Setelah menerima
perintah hijrah ke Madinah, Nabi menyuruh Ali tinggal dulu di Makkah untuk
mengembalikan barang-barang titipan itu kepada pemiliknya masing-masing.
Amanah dalam arti yang luas dan dalam lebih dari sekedar menunaikan hajat
duniawi kepada pemiliknya. Amanah hakikatnya lawan kata khianat. Orang yang
amanah adalah orang yang dapat dipercaya dan membuat jiwa aman. Orang-orang
Quraisy begitu percaya kepada Rasulullah dalam urusan dunia. Dalam hal ini mereka
tak pernah mencaci beliau. Mereka juga tidak curiga dan tidak menuduh beliau khianat.
Bukan hanya dalam urusan harta benda, melainkan juga kehormatan dan jiwa. Karena
itu, sangatlah aneh ketika mereka mendustakan beliau dalam hal kabar dari langit.
Padahal, bagaimana mungkin pada saat yang sama seseorang amanah sekaligus khianat.
Dalam rumah tangga Nabi, tidak hanya beliau yang amanah. Tetapi juga segenap istri
dan keluarganya. Tak ada yang mengatakan haknya tidak dipenuhi oleh salah seorang
dari mereka. Karena, mereka memang menunaikan amanah dengan sebaik-baiknya dan
dalam arti yang seluas-luasnya.
Amanah yang berarti benar-benar bisa dipercaya (bertanggung jawab). Jika satu
urusan diserahkan kepadanya, niscaya orang orang percaya bahwa urusan itu akan
dilaksanakan dengan sebaik baiknya. Oleh karena itu nabi Muhammad SAW dijuluki
oleh penduduk mekkah dengan gelar "Al amin" yang artinya terpercaya jauh sebelum
beliau diangkat menjadi nabi. Apapun yang beliau ucapkan, penduduk mekkah
mempercayainya karena beliau bukan seseorang yang pembohong.
Amanah dilakukan bukan hanya dalam keadaan tertentu atau terhadap orang
tertentu, melainkan disetiap keadaan dan terhadap siapapun wajib hal itu dilaksakan,
dalam etika beribadah, etika berbisnis maupun etika etika lainnya. Dalam etika
beribadah kita harus melaksanakan Amanah yang Allah perintahkan seperti sholat,
puasa, zakat , haji dan lain sebagainya, sebagai umat muslim kita tidak boleh

9
meninggalkan kewajiban, Allah SWT menyeru kaum muslimin agar tidak
menghkhianati Allah dan Rasulnya, yaitu mengabaikan kewajiban kewajiban yang
harus mereka laksanakan, melanggar larangannya yang telah ditentukan dengan
perantaran Wahyu, dan tidak mengkhianati Amanat yang telah dipercayakan kepada
mereka, yaitu mengkhianati segala macam urusan yang menyangkut kemaslahatan lil
ummah, seperti urusan pemerintah, perang, perdata dan urusan kemasyarakatan.
Dalam adab bermasyarakat bisnis, sifat Amanah juga sangat diperlukan,
misalnya dalam praktik perdagangan syariah, dikenal adanya istilah perdagangan atas
dasar Amanah. Dalam akad-akad tijarah yang menggunakan prinsip mudharabah,
murabahah, syirkah dan wakalah, diperlukan komitmen semua pihak atas amanah yang
diberikan kepadanya.
Adanya salah satu pihak yang khianat atas amanah yang dipercayakan
kepadanya bisa mengakibatkan pembatalan akad perjanjian. Misalnya pihak pengelola
ternyata menggunakan dana tersebut untuk memperkaya diri sendiri atau untuk bisnis
yang diharamkan Allah Swt.
Rasulullah Saw. bersabda, dalam sebuah hadis Qudsinya:

َْ ُْ‫للا‬
ْ‫عز‬ ْ ْ‫ل‬َْ ‫ْ«قا‬:‫للاِْصلىْللاْعليهْوسلم‬
ْ ْ‫ل‬ ُْ ‫لْرسو‬ َْ ‫عنْأبيْهرير ْة َْقا‬
َْ ‫ قا‬:‫ل‬
ِ ْ‫ريكينْماْلمْيَ ُخنْْأَحد ُهما‬
ْ‫ْفإذاْخَاناْخَرجتُْْ ِمن‬،‫صاحبَه‬ ِْ ‫ش‬ ُْ ْ‫ْأَنا‬:‫ل‬
َ ‫ثالثْال‬ َْ ‫وج‬
»‫بينِهما‬
Artinya:
Dari Abu Hurairah berkata, Rasulullah Saw. bersabda, Allah Swt berfirman,
“Aku pihak ketiga dari kedua belah pihak yang berserikat selama salah seorang dari
keduanya tidak mengkhianati temannya, jika salah satu telah mengkhianati
temannya, Aku berlepas dari keduanya”. (H.R Abu Dawud).
Hadits di atas mengisyarahkan bahwa sifat Amanah itu sangat penting
terutama bagi kaum muslimin agar apa yang mereka lakukan menjadi salah satu jalan
untuk taqarrub ila Allah wa Rasul Allah.
Konsekuensi Amanah adalah mengembalikan setiap hak kepada pemiliknya,
baik sedikit maupun banyak, tidak mengambil lebih daripada yang ia miliki, tidak
mengurangi hak orang lain, baik itu hasil penjualan, jasa atau upah buruh. Amanah
juga memiliki tanggung jawab dalam melaksanakan tugas dan kewajiban yang
diberikan padanya.
Bagaimana bisa faham? Singkatnya sifat amanah itu adalah sifat tanggung
jawab dari tugas yang dipikulkan kepada kita, apapun bentuknya. Jika semua orang

10
sudah bisa bertanggung jawab dalam hidupnya, niscaya masyarakat kita akan aman,
tentram dan makmur dalam segala hal. Amin…

d. Tabligh
Menurut bahasa tabligh berasal dari bahasa Arab yang berarti menyampaikan.
Sifat tabligh merupakan satu dari 4 sifat wajib para nabi. Para Nabi wajib
menyampaikan risalah, dan perintah dari Allah Swt. kepada umatnya. Mereka tidak
boleh menyembunyikan sedikitpun perintah dari Allah Swt. Tabligh di sini bermakna
menyampaikan sesuatu dengan benar dan tepat sasaran.
Tabligh juga berarti mengajak sekaligus memberikan contoh kepada pihak lain
untuk kepada pihak lain untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan ajaran Islam dalam
kehidupan sehari-hari. Tablig pada hakikatnya adalah dakwah menyampaikan
kebenaran. Seseorang yang mempunyai sifat tabligh yang tidak pernah
menyembunyikan kebenaran. Ia akan menyampaikan kebenaran itu, dan mengajak
orang-orang untuk mengikutinya.
Dalam hubungannya dengan profesi guru, sifat tabligh dapat diartikan akan
menyampaikan informasi berupa ilmu pengetahuan dengan benar dan dengan tutur kata
yang tepat. Jadi intinya sifat tabligh adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang
mendorong seseorang dapat melakukan dengan cepat untuk menyampaikan apa saja
yang menjadi tanggunggung jawabnya siapa saja yang selayaknya harus menerima.
Seperti contohnya yang ada di dalam perdagangan yaitu Seorang penjual yang
menyampaikan apa barang dagangannya kepada orang lain agar orang-orang tahu apa
yang dia jadikan bisnis. Nilai dasarnya dari Tabligh yaitu komunikatif, menjadi
pelayanan bagi publik, bisa berkomunikasi secara efektif, memberikan contoh yang
baik, dan bisa mendelegasikan wewenangnya kepada orang lain.
Sifat Tabligh yaitu berupa komunikasi, keterbukaan, pemasaran merupakan
teknik hidup muslim karena setiap muslim mengemban tanggung jawab dakwah, yakni
menyeru, mengajak, memberitahu. Sifat ini bila sudah mendarah daging pada setiap
muslim, apalagi yang bekerja sebagai guru, akan menjadikan setiap proses
pembelajaran lebih efektif dan efesien. Dikarenakan sifat tabligh merupakan prinsip
ilmu komunikasi baik personal maupun massal, pemasaran, periklanan, penjualan,
pembentukan opini massa, open management, iklim keterbukaan dan lain sebagainya.
Dan dalam kegiatan ekonomi dan bisnis, kita juga harus mengacu pada prinsip-
prinsip tabligh yang telah diajarkan oleh para nabi dan rasul. Seperti misalnya Nabi

11
mengajarkan kepada kita bahwa yang terbaik diantara antara kalian adalah yang paling
bermanfaat bagi manusia, dengan kata lain bila kita ingin sekali mendapatkan ridha
Allah, maka kita juga harus menyenangkan, membuat hati orang-orang di sekitar kita
ridha dengan perbuatan kita. Dengan prinsip ini maka akan melahirkan sikap
profesional dan tidak putus asa dalam mencari kebenaran atau terus menerus mengejar
hal-hal yang baik sampai menemukan jawaban yang sempurna.
Sebab itu jika Saudara adalah pemikir dan praktisi pendidikan, lalu hendak
menyusun teori, maka hal yang harus menjadi pegangan adalah semua yang datang dari
Allah dan rasul-Nya diyakini sebagai kebenaran yang mutlak. Jika ada hal- hal yang
masih belum bisa dipahami oleh akal pikiran manusia maka itu akan menjadi tugas
manusia untuk terus berusaha menemukan kebenaran tersebut bagaimanapun caranya.
Bagaimana menurut Saudara? Apabila umat Islam secara umum sudah memiliki
sifat tabligh, khususnya guru-guru kita? Pastinya ilmu pengetahuan akan berkembang
dengan sangat pesat di kalangan kaum muslimin. Dan dapat dibayangkan kalau umat
Islam banyak yang menjadi ahli dalam berbagai bidang ilmu. Umat Islam akan
mengalami masa keemasan kembali seperti dahulu telah tercatat dalam sejarah umat
manusia.

e. Pemaaf
Pemaaf berarti orang yang rela member maaf kepada orang lain. Sikap pemaaf
dapat dimaknai sikap suka memaafkan kesalahan orang lain tanpa menyisakan rasa
benci dan keinginan untuk membalasnya. Sebenarnya kata pemaaf, adalah serapan dari
Bahasa Arab, yakni al-‘afw yang berarti maaf, ampun, dan anugerah.
Maaf sejatinya mudah difahami, tapi susah diimplementasikan dalam
kehidupan nyata. Hakiki maaf adalah lupa, benar-benar lupa dari memori otak kita
tentang kesalahan orang lain yang berhubungan dengan kita. Memaafkan kesalahan si
fulan berarti melupakan kesalahan si fulan terkait dengan kita. Pemaaf berarti orang
yang dapat dengan mudah melupakan kejadian-kejadian buruk dan menyakitkan
dirinya yang dilakukan oleh orang lain, karena dorongan dari dalam jiwanya yang taat
kepada perintah Allah untuk bisa memaafkan siapapun.
Meski sifat pemaaf itu sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat, namun
masih banyak orang susah untuk memaafkan kesalahan orang lain. Jika demikian
adanya yakni banyak diantara kita yang masih sulit memaafkan, maka jangan diharap
dendam dalam masyarakat kita akan bisa hilang. Dan jangan berharap aka ada

12
ketenangan dan ketentraman dalam masyarakat kita, kalau diantara kita belum ada
saling memaafkan.
Sebab itu memaksakan diri untuk belajar dan berlatih untuk memiliki sifat
pemaaf itu sangat perlu. Kita perlu belajar dan berlatih untuk bisa berlapang dada
sebagai cerminan sifat pemaaf. Dalam rangka belajar untuk bersifat pemaaf, kita bisa
mengambil pelajaran dari kisah para Rasul dan sahabatnya.
Allah mengajarkan kepada kita agar menjadi pribadi yang pemaaf, melalui
kisah cerita, seperti kisah Abu Bakar as-Shidiq yang menjadi sebab-sebab
diturunkannya ayat berikut ini:

َْْ‫سا ِكين‬ َ ‫س َع ِْة ْأَنْ ْيُؤتُوا ْأُو ِلي ْالقُر َبى ْ َوال َم‬ َ ‫ل ْ ِمن ُكمْ ْ َوال‬ِْ ‫ل ْأُولُو ْالفَض‬ ِْ َ ‫ل ْ َيُأت‬ْ َ ‫َو‬
َْ ْ ‫ل ْت ُ ِحبُّونَْ ْأَنْ ْ َيغِْف َْر‬
ْْ‫ّللاُ ْلَ ُكم‬ ْ َ َ ‫ّللاِ ْ َول َيعفُوا ْ َول َيصفَ ُحوا ْأ‬
َْ ْ ‫ل‬ ِْ ‫س ِبي‬
َ ْ ‫اج ِرينَْ ْ ِفي‬ِ ‫َوال ُم َه‬
)22:‫ّللاُْ َغفُورْْ َر ِحيمْْ(النور‬ َْ ‫َو‬
Artinya:
“Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan
diantara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan member (bantuan) kepada
kerabat(nya), orang-orang miskin dan orang-orang yang berhijrah di jalan Allah,
dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak suka
bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah Maha Pengampun, Maha
Penyayang.” (QS. An-Nur/24: 22)
Selain kisah khalifah Abu Bakar, ada juga kisah dari Rasulullah SAW. Banyak
kisah hidup beliau yang dapat diambil sebagai pelajaran hidup, termasuk salah satu sifat
pemaafnya. Seperti kisah seorang wanita Yahudi yang mencoba meracuni Rasulullah
dengan menabur racun dimakanan beliau, namun Rasulullah terselamatkan. Hingga
wanita itu mengakui perbuatannya kepada Rasulullah, dan beliau memaafkan wanita
itu tanpa menghukumnya.
Memberi maaf kepada orang lain yang bersalah merupakan cara bagaimana kita
bisa membangun kembali tatanan masyarakat yang rusak. Terutama dalam proses
membangun keluarga diantara kita yang tentunya tidak luput dari kesalahan-kesalahan
baik bapak, ibu maupun anak. Allah Swt. berfirman:

ْ‫اج ُكمْْ َوأَو َل ِد ُكمْْ َعد ًُّواْلَ ُكمْْفَاحذَ ُرو ُهمْْ َوإِنْْتَعفُوا‬
ِ ‫نْ ِمنْْأَز َو‬ َْ ِ‫يَاْأَيُّ َهاْالَذِينَْْآ َمنُواْإ‬
)14:‫ّللاَْ َغفُورْْ َر ِحيمْْ(التغابن‬ َْ ْ‫ن‬ َْ ِ ‫َوتَصفَ ُحواْ َوتَغ ِف ُرواْفَإ‬
Artinya:
Hai orang-orang beriman, sesungguhnya diantara pasangan-pasanganmu
dan anak-anakmu itu ada yang menjadi musuhmu. Maka hendaknya kalian berhati-

13
hati dalam menghadapi mereka. Dan jika kalian bisa memaafkan, memperbaiki dan
mengampuni mereka, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang (QS. At-Taghabun/64:14)

Ishlah diantara anggota keluarga yang telah disakiti rasanya susah untuk
dilaksanakan, kalau masing-masing diantara mereka mengatakan tidak ada maaf
bagimu. Sebagai orang yang lebih mengerti di dalam keluarga, harus selalu waspada
dengan anggota keluarga yang lainnya. Sebab diantara mereka memang kadang ada
yang mementingkan nafsunya dan mengikuti jalan setan. Mereka itu semua pada
hakekatnya adalah musuh kita orang yang beriman. Mereka biasnya keras kepala dan
susah untuk menerima nasehat, sehingga kita perlu banyak mengalah untuk menang
dengan selalu memaafkan dan menasehati mereka secara ikhlas.
Sebagai guru dijaman sekarang ini, dimana adab dan akhlak yang mulia mulai
tercerabut dari sikap dan tingkah laku anak-anak sekolah. Sikap pemaaf sangat
diperlukan supaya dapat menebar senyum dihadapan peserta didiknya. Sehingga
menjadi panutan mereka.

f. Adil
Menurut bahasa Adil derasal dari bahasa Arab yang berarti proporsional, tidak
berat sebelah, atau jujur. Adil maksudnya juga tidak berat sebelah, tidak
memihak, berpihak pada yang benar, berpegang pada kebenaran, atau yang sepatutnya,
dan tidak sewenang-wenang. Menurut ilmu akhlak adil dapat didefinisikan sebagai
perbuatan meletakan sesuatu pada tempatnya, memberikan atau menerima sesuatu
sesuai haknya, dan menghukum yang jahat sesuai haknya, dan menghukum yang jahat
sesuai dan kesalahan dan pelanggaranya.
Islam sangat menekankan sikap adil dalam segala aspek kehidupan. Allah Swt.
memerintahkan kepada umat manusia supaya berprilaku adil. Keadilan merupakan inti
ajaran Islam yang mencakup semua aspek kehidupan. Prinsip keadilan yang dibawa Al-
Qur’an sangat kontekstual dan relevan untuk diterapkan kedalam kehidupan beragama,
berkeluarga dan bermasyarakat.
Islam mengajarkan bahwa semua orang mendapat perlakuan yang sama dan
sederajat di hadapan hukum. Tidak ada diskriminasi hukum karena perbedaan kulit,
status sosial, ekonomi, atau politik. Karena keadilan merupakan sesuatu yang bernilai
tinggi, baik, dan mulia. Apabila keadilan diwujudkan dalam kehidupan pribadi,

14
keluarga, masyarakat, serta bangsa dan Negara, sudah tentu ketinggian, kebaikan, dan
kemuliaan akan diraih. Jika seseorang mampu mewujudkn keadilan dalam dirinya
sendiri, tentu akan meraih keberhasilan dalam hidupnya, memperoleh kegembiraan
batin, disenangi banyak orang, dapat meningkatkan kualitas diri, dan memperoleh
kesejahteraan hidup duniawi serta ukkhrawi.
Jika keadilan dapat diwujudkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara, akan terwujud masyarakat yang aman,tentram , serta damai sejahtera
lahir dan batin. Hal ini disebabkan masing-masing anggota masyarakat melaksanakan
kewajiban terhadap orang lain dan akan memenuhi hak orang lain dengan seadil-
adilnya.
Adapun nilai positif perbuatan adil antara lain : (1). membawa ketentraman,
kedamaian, menimbulkan kepercayaan, meningkatkan kesejahteraan, meningkatkan
prestasi belajar, menciptakan kemakmuran, mengurangi kecemburuan sosial,
mempererat tali persaudaraan, dapat menimbulkan kebaikan dan mencegah kejahatan.
Bagaimana dengan guru yang adil dalam mendidik peserta didiknya? Tentu
akan menumbuhkan gairah belajar dan bersaing yang sehat di kalangan peserta didik
dalam mengejar prestasi yang unggul.

15

Anda mungkin juga menyukai