Anda di halaman 1dari 34

KEGIATAN BELAJAR 2:

SUMBER AKHLAK DAN


IMPLEMENTASINYA

CAPAIAN PEMBELAJARAN, SUB CAPAIAN


PEMBELAJARAN DAN POKOK MATERI

CAPAIAN PEMBELAJARAN
1. Mampu menganalisis hakikat akhlak dan kekuatan pendukungnya dalam jiwa
manusia.
2. Menganalisis hakikat amal saleh dan amal baik serta unsur-unsur iman yang
mendasar dalam implementasi amal sholeh dan amal baik dalam kehidupan
manusia.
SUB CAPAIAN PEMBELAJARAN
1. Mahasiswa mampu menyimpulkan konsep akhlak al-karimah
2. Mahasiswa mampu menyimpulkan konsep jiwa quwwah al-Ilmi dalam Islam
3. Mahasiswa mampu menyimpulkan konsep jiwa quwwah al-ghadhab
4. Mahasiswa mampu menyimpulkan iman dan amal saleh dalam Islam
5. Mahasiswa mampu menyimpulkan konsep amal saleh dalam Islam dan
implementasinya
6. Mahasiswa mampu menganalisis tawakkal dalam Islam
POKOK-POKOK MATERI
1. Akhlak al-Karimah
2. Quwwah al-Ilmi
3. Quwwah al-Ghadhab
4. Iman sebagai Pondasi Amal Saleh dan Implementasinya
5. Tawakkal

1
URAIAN MATERI

A. Akhlak al-Karimah
Bagaimana Saudara, sudah siap untuk mengkaji definisi akhlak? Ingat, tidak
ada yang susah kalau Saudara sungguh-sungguh, “ ‫”وجد جد من‬.
1. Pengertian Akhlak al-Karimah
Baik, kita mulai pahami menurut bahasa terlebih dahulu. Menurut bahasa
kata Akhlak dalam bahasa Arab merupakan jama’ dari ‫( خلق‬khuluqun) yang berarti
budi pekerti, perangai, tingkah laku, sopan santun atau tabiat. Kata tersebut
mengandung segi persesuaian dengan perkataan ‫( خلق‬khalqun) berarti kejadian,
yang juga erat hubungannya dengan ‫( خالق‬khalik) yang berarti pencipta, demikian
pula ‫( مخلوق‬makhluqun) yang berarti yang diciptakan. Perumusan pengertian
akhlak timbul sebagai media yang memungkinkan adanya hubungan baik
antara khalik dengan makhluk (Mushtofa, Akhlak Tasawuf, 2008: 11)
Sudah tergambar? Coba selanjutnya Saudara pahami beberapa definisi
akhlak menurut para ahli berikut:
a. Ibn Miskawih
‫روي ة ْول فك ر غ ير من أفعالها إلى له ا داعي ة لنفس ح ال الخلق‬
“Akhlak adalah kondisi jiwa yang mendorong tindakan-tindakan tanpa
perlu berpikir dan pertimbangan lagi” (Ibn Miskawaih, Thadzib al-Akhlaq,
1985; 25)

Kondisi jiwa seseorang dalam definisi Ibn Miskawaih di atas merupakan


kondisi jiwa yang sudah terbiasa melakukan tindakan-tindakan tertentu,
sehingga tindakan-tindakan tersebut seakan sudah mendarah daging, mereka
akan melakukannya secara spontan ketika mendapatkan stimulus tertentu.

b. Al-Ghazali
‫الخلق عبارة عن ه ْي َئ ة˚ ِفي الَّن ْف ِس راسخة˚ ع ْن َها ُت ص ِد ُر ا ْ َأل ْف َعال ِبس ُهوَل ٍة وُيس ٍر م ْن غ ْي ِر حاج ٍة‬
‫ِإلَى ْك ٍر و َر ِو َّي ٍة‬
“Akhlak ialah gambaran keadaan jiwa berupa sifat-sifat yang sudah
mendarah daging yang mendorong dilakukannya perbuatan-perbuatan
dengan mudah tanpa berfikir panjang” (Al-Ghazali, Ihya Ulum ad-
Din/Rubuu’ al-Muhlikat, 2005; 890)

Gambaran sifat-sifat jiwa yang sudah terlatih dan juga sudah mendarah
daging yang dapat menjadi sumber inspirasi dan mendorong tindakan-
tindakan yang bersifat spontan. Tindakan-tindakan seperti inilah yang
dapat dikategorikan sebagai akhlak. Apabila seuatu perbuatan dilakukan
dengan mempertimbangkan dahulu, apa untung ruginya bagi si pelaku
perbuatan tersebut, maka belum dikatakan sebagai akhlak.

2
c. Prof. Dr. Ahmad Amin
Seorang ahli Ilmu Akhlak modern, yakni Ahmad Amin dalam bukunya
Kitab al-Akhlaq, menegaskan bahwa pada dasarnya akhlak adalah kehendak
yang dibiasakan, bukan perbuatan yang tidak ada kehendaknya. Seperti
bernafas, denyut jantung, kedipan mata dan lain-lain (Ahmad Amin, Kitab
al- Akhlaq, 2012; 10).

Akhlak merupakan perbuatan yang mudah dilakukan karena telah


dibiasakan dalam kehidupan sehari-hari. Perbuatan akhlak adalah perbuatan
yang dilakukan dengan sengaja dan melalui ikhtiar. Pelakunya mengetahui baik
atau buruk dari perbuatan yang dilakukannya. Karena perbuatan akhlak juga
termasuk perbuatan yang kelak akan dipertanggungjabawkan di hadapan Allah
Swt.
Selain tiga tokoh ahli dalam bidang akhlak di atas sebenarnya masih banyak,
tetapi pada dasarnya sama bahwa akhlak unsurnya terdiri dari perbuatan sadar
(ada iradah dan ikhtiar) yang didorong oleh sifat-sifat yang sudah terbiasa
sehingga seakan-akan spontan dan terkesan tidak usah dipikirkan sebelumnya.
Karimah berasal dari akar kata yang serupa dengan Karomah, dari bahasa
arab ‫ ك رم‬berarti kemuliaan, keluhuran, dan anugerah. Pengertian karimah
menurut kamus besar bahasa Indonesia memiliki arti baik, dan terpuji. Dengan
demikian pengertian Akhlak al-Karimah adalah “Kemuliaan dan kebaikan yang
dilakukan secara sadar karena dorongan jiwa yang sudah terbiasa tanpa harus
dipertimbangkan”. Akhlak al-Karimah ini juga biasa dikenal dengan Akhlak
Mahmudah.
Selamat, Saudara telah berhasil memahami apa itu pengertian Akhlak al-
Karimah. Kalau masih ada waktu coba baca sekali lagi!

2. Dalil Akhlak al-Karimah


Saudara, untuk meyakini hati bahwa Akhlak al-Karimah adalah sesuatu
yang penting, perlu merujuk pada dalil yang berkaitan. Salah satu tugas
Rasulullah diutus ke dunia adalah untuk memperbaiki akhlak dan mengajarkan
akhlak yang baik kepada seluruh manusia. Hal ini tertuang dalam hadis yang
diriwayatkan Imam Ahmad, nomor hadis 381 sebagai berikut:

‫وسل نَّ َما ب ت ألُ ت ص ح ا ْألَ ْخ ًَلق‬ َ‫ل لّٰ ِال صل لّٰ ُال عل‬ :‫ع ْن أَ ِبي ه َريرة ل‬
‫ِعث ِ’م َم ا‬ :‫ّ َم‬ ‫ْي‬ ‫ى‬ ‫قَا قَا رسول‬
‫ِل‬ ‫ِه‬

Dari Abu Hurairah Berkata: Rasulullah saw. Bersabda: “Sesungguhnya aku


(Rasulullah saw.) diutus untuk menyempurnakan akhlak yang baik.” (HR.
Ahmad 2/381)

3
Hadis ini bisa dijadikan dasar bahwa jika ingin menjalankan hidup seperti
yang Rasulullah ajarkan adalah dengan memperbaiki akhlak atau selalu
memastikan akhlak yang dimiliki adalah akhlak yang baik. Selain itu, sebagai
gambaran seperti apa akhlak Rasulullah, dapat merujuk hadis dalam Musnad
Ahmad ibn Hanbal, juz VI, hal. 163, hadis nomor 25341:

‫ ي‬،‫خ ْ قل ُهُ ا ْلقُ ْرآ َن‬ :”‫وسل قَال ت‬ َ‫ سأ ع ش ْ خ ل رسول لّٰ ِال صل لّٰ ُال عل‬:‫ ال‬،‫ع ْن أَ ِبي الدَّ ْردَا ِء‬
‫ْغضب‬ ‫َكا َن‬ ،‫ّ َم‬ ‫ْي‬ ‫ى‬ ‫ْل ت ا ئ ة ن ق‬
‫ِه‬
‫ع‬
‫ل َغ ِب ْر ضى ل ضا ُه‬
‫ِر‬ ‫ و‬،‫ِه‬
‫ض َي‬

“Dari Abu ad-Darda’, dia berkata: Saya pernah bertanya kepada ‘Aisyah
tentang akhlak Rasulullah s.a.w.. Beliau pun menjawab: Akhlak beliau
adalah al-Quran. Beliau (Rasulullah shalllallâhu ‘alaihi wa sallam) marah
karenanya, dan beliau pun rida karenanya.”

Hadis ini menjadikan rujukan kuat agar bisa melihat gambaran Akhlak
Rasulullah adalah dengan melihat seluruh isi kandungan Al-Qur’an. Seluruh
kebaikan dalam Al-Qur’an adalah wujud akhlak Rasulullah. Ayat dalam Al-
Qur’an yang dapat menggambarkan akhlak Rasulullah sangat banyak, di
antaranya adalah sebagai berikut:
‫لَقَدْ كا َن َل ُك ْم ِفي رس ْول ل ّالِٰ اُ س َوة˚ حسَنة˚ ِل’ َم ْن كا َن ْرجوا لالَّٰ وا ْل َي ْو َم ا ْ ْٰل ِخ َر وذَ َك َر لالَّٰ ك ِث ْي ًر‬
‫َۗا‬
Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu
(yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari
Kiamat dan yang banyak mengingat Allah. (Q.S. al-Ahzab [33]: 21)

Ayat ini menggambarkan secara umum dalam diri Rasulullah terdapat


Akhlak yang baik, dan dalam hadis sebelumnya menunjukkan bahwa akhlak
Rasulullah adalah Al-Qur’an. Artinya, Al-Qur’an dan Rasulullah tidak bisa
dipisahkan dan saling menguatkan.

3. Ciri-ciri dan Contoh Akhlak al-Karimah


Saudara, dalil Akhlak al-Karimah ini menjadi sangat penting karena akan
menguatkan, bahwa berakhlak yang baik adalah hal yang perlu dilakukan.
Ditinjau dari objeknya, penerapan akhlak berwujud sebagai pengaturan sebuah
hubungan. Dalam mengatur hubungan ini, akhlak dibagi menjadi beberapa
hubungan.

a. Akhlak Manusia terhadap Dirinya


Akhlak ini mendorong seriap individu memelihara dirinya secara fitrah,
4
memenuhi hak, dan menjaga dari perbuatan dosa. Seseorang yang membuat
dirinya sendiri menderita apalagi sampai bunuh diri adalah perbuatan dosa
besar.

5
b. Akhlak Manusia terhadap Allah
Sebagai makhluk, menghamba kepada pencipta adalah fitrah yang pasti
akan dilakukan. Beribadah kepada Allah adalah wujud penghambaan dan
akhlak kepada Allah.

c. Akhlak Manusia terhadap Sesama Manusia


Sebagai makhluk sosial yang satu sama lain saling bergantung, maka
menjaga hati dan perasaan orang lain adalah bagian dari akhlak terhadap
sesama. Saling tolong-menolong dan berbagi dalam kebaikan juga hal yang
penting dilakukan.

d. Akhlak Manusia terhadap Makhluk Lain


Hubungan dengan makhluk lain yang Allah ciptakan diatur sedemikian
rupa agar saling memberikan kebaikan. Makhluk lain yang dimaksud bisa
hewan, tumbuhan, alam, bahkan makhluk tak terindra seperti malaikat dan
jin perlu menggunakan akhlak al-Karimah.

4. Hikmah Mempelajari Akhlak al-Karimah


Ketika Saudara menganalisis materi Akhlak al-Karimah ini, apa yang
Saudara rasakan? Apakah Saudara merasa ada kebahagiaan mempelajari
kebaikan yang bisa dilakukan? Apakah Saudara membayangkan apa jadinya jika
Allah tidak mengutus Rasulullah saw dengan Akhlak al-Karimah? Di antara
hikmahnya adalah seluruh manusia bisa belajar bahwa hubungan baik perlu
dibangun dan dijalin dengan kemuliaan agar tercipta suasana masyarakat yang
tentram dan saling menghargai. Sebagai pendidik perlu menjadikan materi ini
sebagai modal, baik untuk diri sendiri maupun untuk peserta didik. Pelajaran
penting ini bisa sebagai bahan memuliakan diri sendiri, Allah, sesama manusia
dan makhluk lain. Serta sebagai bahan mengajak orang lain berakhlak yang
mulia. Selain hikmah ini, hikmah apa lagi yang bisa Saudara dapatkan dari
materi ini? Silahkan analisis lebih dalam!

6
B. Quwwah al-Ilmi (Potensi Berpikir)
Setelah Saudara mendalami tentang Akhlak al-Karimah, kira-kira Bagaimana
pendapat Saudara? Apakah akhlak seseorang bisa terbentuk dengan sendirinya?
Ataukah harus dibentuk dengan mendidik dan membiasakan sampai betul-betul
mendarah daging dalam diri? Tentunya Saudara akan setuju kalau akhlak seseorang
itu harus dididik dan dibiasakan secara terus menerus dalam lingkungannya di
mana ia tinggal sampai benar-benar melekat dalam jiwanya.
Dalam rangka pembentukan akhlak seseorang, Saudara perlu terlebih dahulu
memahami kekuatan-kekuatan jiwa yang dapat mendorong terbentuknya akhlak.
Baik, bacalah dengan saksama penjelasan berikut ini:
Ibnu Miskawaih menjelaskan bahwa di dalam jiwa seseorang itu terdapat tiga
kekuatan (al-quwwah) yang sangat penting dalam membentuk akhlak manusia.
Sementara Imam Al-Ghazali menyebutkan sebagai Ummahat al-Akhlaq wa Ushuluha
dengan ditambahkan satu kekuatan (al-quwwah) sehingga genap menjadi empat
kekuatan (al-quwwah) (Al-Ghazali, Ihya Ulum ad-Din/Rubuu’ al-Muhlikat, 2005;
936). Keempat kekuatan tersebut adalah Quwwah al-Ilmi, Quwwah al-Ghadhab, Quwwah
asy- Syahwah, dan Quwwah al-‘Adl.

1. Pengertian Quwwah al-Ilmi


Quwwah al-Ilmi adalah kekuatan yang berasal dari akal. Dengan akal inilah
manusia dapat dengan mudah membedakan mana yang jujur dan mana yang
bohong dalam berbicara, mana yang benar dan mana yang salah dalam
mengambil keputusan, mana yang baik dan mana yang buruk dalam bertindak.
Kekuatan inilah yang menjadi pembeda manusia dengan binatang. Dengan akal
manusia dapat mencipta dan mengembangakan budaya sehingga terus
berkembang ke arah yang lebih baik dan lebih maju dari sebelumnya. Buahnya
adalah hikmah, yakni pemahaman yang mendalam tentang segala sesuatu
sesuai dengan syariat Allah Swt.

2. Dalil Quwwah al-Ilmi


Quwwah al-Ilmi ini memiliki buah berupa hikmah sebagaimana dijelaskan
dalam Al-Qur’an surah al-Baqarah [2] ayat 269:

‫قَْد ُأ و ِتي ْي ًرا و َما َي َذّ َّك ُر ِإ َّْل أُ وُلو ا‬ ‫ِح‬ ‫ْن‬ ‫ُي ْؤ ِتي ا ْل ِح ْك َمة ْ شا‬
‫ْألَ ْل َباب‬ ‫ك‬ ‫ًرا‬ َ َ ‫ْك‬
‫مة‬ ‫يُ ْؤ‬ ‫ن ُء‬
‫خ ِثي‬ ‫ت ا‬ ‫و َم‬
‫م‬
‫ْل‬

“Dia berikan hikmah kepada yang Dia kehendaki dan Siapa yang diberikan
al-hikmah maka sesungguhnya dia telah diberikan kebaikan yang sangat
banyak. Dan hanya orang-orang memiliki akal fikiranlah yang mampu
memahaminya”. (Q.S. al-Baqarah [2]: 269)
7
Al-Maraghi menjelaskan bahwa yang dimaksud hikmah adalah ilmu yang
bermanfaat, yakni ilmu yang dapat mempengaruhi jiwa pemiliknya dan
membimbing kehendaknya untuk mendorong melakukan tindakan-tindakan
yang dapat membawa manfaat dan kebahagiaan dunia akhirat (Al-Maraghi Jilid
III, h. 40)
Hikmah dalam pengertian di atas, apabila dimiliki seseorang bisa menjadi
salah satu sumber penting dalam pembentukan akhlak yang mulia. Dan inilah
tujuan utama diutusnya Nabi Kita Muhammad Saw. ke dunia ini, yaitu
menyempurnakan akhlak. Coba perhatikan fenomena dunia zaman sekarang!
Banyak orang kelihatannya berilmu, tapi ilmunya kurang atau bahkan tidak
dapat membimbing kehendaknya untuk mendorong melakukan tindakan-
tindakan yang dapat membawa manfaat dan kebahagiaan dunia akhirat.
Kenapa? Jawabnya sederhana, karena ilmunya tidak mengandung hikmah.

3. Turunan Quwwah al-Ilmi


Bagaimana, sekarang sudah mulai paham? Kita lanjutkan, memahami
konsep hikmah. Hikmah sebagai konsep itu mencakup empat turunan, yakni:
husnu at- tadbir (baik pemikirannya), judat adz-dzihn (jernih pemikirannya),
tsiqabah ar-ra’yi (tajam pemikirannya) dan shawab azh-zhann (tepat
pemikirannya) (Al-Ghazali, Mizan al-‘Amal, 1964; h. 284)
Mari kita analisis konsep turunan hikmah tersebut di atas satu persatu.
a. Husnu at-Tadbir
Seseorang yang memiliki hikmah akan menjadi husnu at-tadbir yakni cerdas
dan lurus jalan pikirannya dalam meng-istimbat-kan (mengambil
kesimpulan). Ia akan bisa mengambil yang terbaik, dan paling bermanfaat
dalam berbagai urusan, sesulit apapun dan segawat apapun. Ia tidak sekedar
cerdas (kayyis), tetapi mampu memikirkan hal-hal yang abstrak dengan benar
sehingga dapat mengambil keputusan yang menghasilkan kebaikan-
kebaikan yang agung dan akhir yang mulia dalam berbagai urusan
kehidupan.
b. Jaudat adz-Dzihn
Seseorang yang memiliki hikmah akan menjadi jaudat adz-dzihn, yakni
memiliki kemampuan untuk dapat berpikir memperoleh kebijaksanaan
ketika dihadapkan pada pendapat yang mirip-mirip dan mengandung
pertentangan-pertentangan dalam implementasi. Ia akan selalu mendapatkan
konsep yang memberikan manfaat sesamanya dan diterima oleh berbagai
pihak.
c. Tsiqabah ar-Ra’yi
Seseorang yang memiliki hikmah akan menjadi tsiqabah ar-ra’yi, yakni
mempunyai kecepatan kemampuan dalam menghubungkan data-data yang

8
dimilikinya dengan sebab akibat yang mengasilkan kemaslahatan dalam
kehidupan masyarakat.
d. Shawab azh-Zhann
Seseorang yang memiliki hikmah akan menjadi shawab azh-zhann, yakni
ia akan mendapatkan taufiq dari Allah Swt. dengan kesesuaian antara
dugaan yang terdapat dalam alam pikirannya, dengan kebenaran hakiki
tanpa harus lama-lama memikirkannya.
Kebalikan dari Quwwah al-Ilmi adalah lemahnya ilmu atau kebodohan, terbagi
dalam dua konsep, yaitu radzilah al-khibb dan radzilah al-balah. Radzilah al-khabb
terdiri dari ad-dahaa (tertipu) dan al-jarbazah (lemah berpikir). Logikanya kurang
sehat atau kurang lurus sehingga ketika mengambil kesimpulan sering kali
tidak benar, apa yang dikatakannya baik ternyata buruk atau sebaliknya.
Sementara radzilah al-balah terdiri dari tiga hal: pertama kebodohan sebab
karena kurang pengalaman belajar; kedua kebodohan sebab dari bawaan
seperti idiot; dan ketiga kebodohan sebab hilangnya akal atau gila.
Ilmu dalam bentuk hikmah seperti dijelaskan di atas sangat penting dalam
membentuk, menanamkan dan mendidik akhlak seseorang, karena ia dapat
membentuk konsep diri (mindset) seseorang. Apabila konsep diri seseorang
tentang perbuatan itu baik, maka kelak ia akan menjadi baik perbuatannya,
sebaliknya apabila konsep dirinya buruk maka mereka akan menjadi buruk
perbuatannya pula.

4. Contoh Quwwah al-Ilmi dalam Kehidupan Sehari-hari


Dalam kehidupan sehari-hari Quwwah al-Ilmi yang diturunkan menjadi
hikmah memiliki gambaran yang bisa kita saksikan. Di antaranya adalah jika
kita dapati seorang guru yang dapat dengan tenang menghadapi berbagai
kondisi, padahal dalam keadaan yang genting, bahkan saat mengambil
keputusan malah memberikan keputusan yang baik. Contoh lain adalah
seseorang yang bijaksana dalam mempersatukan perbedaan dan dapat diterima
oleh berbagai kalangan. Hal ini bisa diraih dari hikmah yang Allah anugerahkan.
Selain contoh-contoh ini, Saudara bisa mengeksplor lagi sebanyak-banyaknya
contoh Quwwah al-Ilmi yang diturunkan menjadi hikmah, di lingkungan
masyarakat untuk menambah wawasan.

5. Hikmah Mempelajari Quwwah al-Ilmi


Ketika Saudara menganalisis materi Quwwah al-Ilmi ini, apa yang Saudara
rasakan? Apakah Saudara merasa ada hikmah yang bisa diraih? Apakah Saudara
membayangkan apa jadinya jika Allah tidak memberi hikmah pada orang yang
tepat? Di antara hikmahnya adalah banyak orang beriman yang bijaksana dan
menentramkan, ini juga membuat kehidupan menjadi saling memberi kebaikan.

9
Sebagai pendidik perlu menjadikan materi ini sebagai modal, baik untuk diri
sendiri maupun untuk peserta didik. Pelajaran penting ini bisa sebagai bahan
memuliakan diri sendiri, Allah, sesama manusia dan makhluk lain. Serta sebagai
bahan mengajak orang lain mempelajari sumber terbentuknya akhlak, yaitu
Quwwah al-Ilmi. Selain hikmah ini, hikmah apa lagi yang bisa Saudara dapatkan
dari materi ini? Silahkan analisis lebih dalam!

10
C. Quwwah al-Ghadhab (Potensi Marah)

1. Pengertian Quwwah al-Ghadhab


Quwwah al-Ghadhab merupakan dorongan manusia untuk menolak yang tidak
disenangi dan mendapatkan kenikmatan yang bersifat abstrak dan batin.
Dimana ia bisa menghasilkan sifat utama yang dapat menjadi sumber akhlak
yang mulia serta menumbuhkan kebaikan-kebaikan yakni sifat saja’ah
(keberanian) (Al- Ghazali, Ihya Ulum ad-Din/Rubuu’ al-Muhlikat, 2005; 936).
Dengan sifat syaja’ah manusia bisa berani berkorban apa saja untuk meraih
kebahagian dan kemuliaan batinnya. Dan bahkan ia akan berani berkorban
tidak hanya dengan apa yang dimilikinya tetapi juga berani maju
mengorbankan jiwa raganya demi kemuliaan dan kebahagiaan yang
diyakininya benar.
Perlu Saudara ketahui bahwa Quwwah al-Ghadhab, juga dapat mendorong
perbuatan yang buruk bagi seseorang. Apa itu? Jawabnya adalah at-Tahawwur
dan al-Jubn. Dengan adanya dorongan manusia dari dalam dirinya untuk
mendapatkan kenikmatan yang bersifat abstrak dan batin berupa kemuliaan atau
kekuasaan, manusia bisa Tahawwur (nekad) yakni berani melakukan tindakan
yang bukan pada tempatnya (Sultoni Dalimunthe, Filsafat Pendidikan Akhlak, h.
149). Misalnya berani maju ikut tawuran, padahal belum mengetahui mana
yang benar dan mana yang salah dan resikonya bisa mati konyol.
Juga karena di dalam diri manusia ada dorongan ingin tetap mendapatkan
kenikmatan yang bersifat abstrak dan batin berupa kemuliaan atau kekuasaan,
maka ia bisa bersifat Jubn (pengecut), sifat takut yang berlebihan dalam
mempertahankan diri dari berbagai masalah kehidupan. Misalnya takut
menghadapi ujian, padahal ujian adalah satu cara yang harus dilalui oleh
siapapun yang ingin meningkatkan dan memperbaiki nasib dan derajatnya.
Bagaimana setelah membaca alinea di atas? Apa yang ada di dalam pikiran
Saudara mengenai hubungan konsep Quwwah al-Ghadhab dan Syaja’ah? Untuk
lebih pahamnya mari kita lanjutkan!

2. Turunan Quwwah al-Ghadhab


Syaja’ah menurut al-Ghazali dalam kitab Mizan al-Amal meliputi banyak
sifat turunannya, di antaranya adalah:
a. Al-Karam (kebaikan budi), yaitu berani mengambil sikap moderat untuk
mengambil atau menerima keputusan penting dalam berbagai masalah
yang menyangkut kemaslahatan besar dan urusan-urusan mulia.
b. An-Najdah (membantu, menolong), yaitu berani dalam membantu atau
menolong siapapun, apalagi menolong hal yang benar, baginya
merupakan jihad. Bukan penekad juga bukan penakut, apabila sudah

11
menyakini sebuah kebenaran maka harus berani maju, meskipun harus
mempertaruhkan jiwa demi kemuliaan abadi.
c. Kibr an-Nafs (berjiwa besar), bukan sombong juga bukan rendah diri
(mider). Ia berani menjadikan dirinya sebagai ahli dalam hal kemuliaan
dengan penuh kerendahan hati dan menghindari perdebatan pada urusan-
urusan yang sedikit manfaatnya. Ia sangat menghormati ulama.
d. Al-Ihtimal (ketahanan dalam bekerja), berani bertanggung jawab menahan
diri dalam menjalankan tugas, meski dirasa sangat berat.
e. Al-Hilm (santun), ia dapat menahan emosi yang biasanya meledak-ledak,
tidak terpancing dalam keadaan apapun dan marah. Sikapnya tetap
santun dalam menghadapi semua orang, ia sudah dapat lepas dari sikap
buruk dalam menghadapi orang lain atas gejolak jiwa, suka dan tidak
suka.
g. Al-Wiqar (tenang), menahan diri dari berbicara secara berlebihan, kesia-
siaan, banyak menunjuk dan bergerak dalam perkara yang tidak
membutuhkan gerakan. Mengurangi amarah, tidak banyak bertanya,
menahan diri dari menjawab yang tidak perlu, menjaga diri dari
ketergesaan dalam beramal, dan bersegera dalam seluruh perkara
kebaikan.

3. Dalil Quwwah al-Ghadhab


Quwwah al-Ghadhab yang diturunkan dalam bentuk saja’ah akan membentuk
jiwa seseorang menjadi berani dan kuat, tentu ini akan membuatnya tidak
lemah dan tidak mudah bersedih. Hal ini adalah yang seharusnya dimiliki
seorang muslim sebagaimana surah Ali Imran [3] ayat 139 sebagai berikut:
‫و َْل َت ِهُن ْوا و َْل َت ْح َزُن ْوا واَ ْن ُت ُم ا ْ َلعَل ْو َن ْن ك ْن ُت ْم م ْؤ ِم ِن ْي‬
‫َن‬
Dan janganlah kamu (merasa) lemah, dan jangan (pula) bersedih hati, sebab kamu
paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang beriman. (Q.S. Ali Imran [3]: 139)

Selain itu, seorang muslim juga harus berani berada di jalan yang benar.
Keberanian yang ada adalah keberanian menegakkan kebenaran dan keadilan
sesuai syariat, sebagaimana surah Hud [11] ayat 112 sebagai berikut:
‫َفاس َت ِق ْم ك َما˜ ُا ِم ْرت و َم ْن َتاب م َعك و َْل َتطَغ ْو َۗا َّن ٗه ِب َما َت ْع َمُل ْو َن ص‬
‫ْي ˚ر‬
“Maka tetaplah engkau (Muhammad) (di jalan yang benar), sebagaimana telah
diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang bertobat bersamamu, dan janganlah
kamu melampaui batas. Sungguh, Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan”. (Q.S.
Hud [11]: 112)

4. Contoh Quwwah al-Ghadhab dalam Kehidupan Sehari-hari


Quwwah al-Ghadhab yang diturunkan dalam bentuk saja’ah akan membentuk
jiwa seseorang menjadi berani dan kuat. Hal ini membuat contoh yang dapat
12
kita lihat dalam kehidupan sehari-hari adalah pada sifat berani menyampaikan
atau melaporkan kecurangan yang dilakukan orang lain dalam rangka
memperbaiki

13
tatanan kehidupan. Berani melawan penindasan yang dilakukan dalam rangka
menguatkan diri dan lingkungan. Jika diajarkan kepada peserta didik, mereka
berani bertindak yang benar di tengah-tengah peserta didik lain yang
melakukan pelanggaran. Selain contoh-contoh ini, Saudara bisa mengeksplor
lagi sebanyak- banyaknya contoh Quwwah al-Ghadhab yang diturunkan pada
sifat saja’ah untuk menambah wawasan.

5. Hikmah Mempelajari Quwwah al-Ghadhab


Ketika Saudara menganalisis materi Quwwah al-Ghadhab ini, apa yang
Saudara rasakan? Apakah Saudara merasa ada keberanian yang menggebu?
Apakah Saudara membayangkan apa jadinya jika Allah tidak memberi Saja’ah
pada umat Islam terdahulu? Di antara hikmahnya adalah Islam bisa sampai
pada kita melalui keberanian umat Islam terdahulu mendakwahkan Agama
Islam. Sebagai pendidik perlu menjadikan materi ini sebagai modal, baik untuk
diri sendiri maupun untuk peserta didik. Pelajaran penting ini bisa sebagai
bahan memuliakan diri sendiri, Allah, sesama manusia dan makhluk lain. Serta
sebagai bahan mengajak orang lain mempelajari sumber terbentuknya akhlak,
yaitu Quwwah al-Ghadhab. Selain hikmah ini, hikmah apa lagi yang bisa Saudara
dapatkan dari materi ini? Silahkan analisis lebih dalam!

6. Quwwah asy-Syahwah (Potensi Syahwat)


Al-Quwwah asy-Syahwah yaitu kekuatan yang ada dalam diri manusia yang
mendorong perbuatan-perbuatan untuk memperoleh kenikmatan-kenikmatan
yang bersifat zhahir, yang diinspirasi oleh panca indranya seperti: mencari
makanan dan minuman, mencintai lawan jenis dan lain-lainnya. Dengan
kekuatan ini manusia menjadi lebih bergairah dalam melaksanakan tugas-tugas
kehidupan. Quwwah asy-Syahwah yang baik disebut al-iffah.
Seorang dikatakan sebagai orang yang ‘affih apabila yang mampu menahan
diri dari perkara-perkara yang diharamkan oleh Allah Swt. Dengan demikian
seorang yang 'afif adalah orang yang bersabar yakni taat mutlak kepada Allah
Swt. baik dalam menjalankan perintah-perintah-Nya, maupun meninggalkan
lawangan-Nya walaupun jiwanya (syahwatnya) sangat menginginkan untuk
melanggarnya.
'Iffah merupakan akhlaq yang sangat dicintai oleh Allah Swt. Oleh sebab
itulah sifat ini perlu dilatih sejak anak-anak masih kecil, sehingga memiliki
kemampuan dan daya tahan terhadap keinginan-keinginan yang tidak semua
harus dituruti karena akan membahayakan saat telah dewasa. Dari
sifat 'iffah inilah akan lahir sifat-sifat mulia. Diantara sifat-sifat terpuji turunan
dari sifat 'Iffah adalah sebagai berikut:

14
a. ‫ الحي اء‬/haya’, adalah sifat malu untuk meninggalkan perbuatan yang
diperintahkan oleh Allah Swt. dan sebaliknya malu melakukan perbuatan
yang dilarang oleh-Nya. Apabila jiwa manusia semua sudah memiliki
sifat malu seperti ini, niscaya tidak ada lagi tindak kejahatan dimuka
bumi ini. Sehingga bumi akan aman, tentram dan damai. Karena malu
akan menjadi benteng terakhir bagi diri seseorang dalam melakukan
kemaksiatan
b. ‫القناعة‬/qana'ah, adalah sifat menerima atau merasa cukup atas karunia
Allah Saw., sekaligus menjauhkan diri dari sifat tidak puas dan merasa
kekurangan yang berlebih-lebihan. Qanaah muncul dalam kehidupan
seseorang berupa sikap rela menerima keputusan Allah Swt. yang
berlaku bagi dirinya. Bagi siapa yang dapat menjadikan dirinya qana'ah,
maka ia akan dijamin akan mendapatkan hakikat dunia, menjadi orang
yang beruntung, mudah bersyukur, terhindar dari sifat hasud dan
terhindar dari problema kehidupan dunia.
c. ‫السخاء‬/sakha’, yaitu sifat dermawan senanga memberikan harta dalam
kondisi memang wajib memberi, sesuai kepantasannya dengan tanpa
mengharap imbalan dari yang diberi dalam bentuk apapun seperti
pujian, balasan, kedudukan, ataupun sekedar ucapan terima kasih (QS.
Al-Insan/76:9). Jadi seseorang disebut dermawan jika dapat memberi
secara tulus ikhlas. Orang yang memberi karenan ingin balasan dari
pihak yang diberi bukanlah dermawan tapi disebut berdagang. Sebab ia
seolah-olah membeli balasan berupa pujian, kedudukan, ucapan terima
kasih dan lainnya dengan hartanya.
d. ‫الورع‬/wara’, yaitu meninggalkan hal-hal yang syubhat karena khawatir
membahayakan nasibnya di akhirat kurang baik. Meninggalkan yang
syubhat, yakni sesuatu yang hukumnya belum jelas halal atau haram yang
berlaku dalam semua aktivitas manusia, baik yang berupa benda maupun
perilaku. Dan lebih dari itu meninggalkan segala hal yang kurang atau
tidak bermanfaat.

Perlu Saudara ketahui juga bahwa Quwwah asy-Syahwah, dapat mendorong


perbuatan yang buruk bagi seseorang, antara lain; rakus, tabdzir, ria, hasud dan
lain-lain.

7. Quwwah al-‘Adalah
Menurut al-Ghazali, terbentuknya akhlak yang mulia pada diri seseorang
diperlukan lagi satu kekuatan, yaitu Al-Quwwah al-‘Adalah, sebuah kekuatan
penyeimbang dari ketiga kekuatan jiwa sebelumnya (Al-Ghazali, Ihya Ulum ad-
Din/Rubuu’ al-Muhlikat, 2005; 935). Sementara Ibnu Miskawaih meskipun
tidak

15
menyebutkan secara khusus adanya Al-Quwwah al-‘Adalah, tetapi dalam
penjelasannya juga mengkaitkannya dengan ketiga kekuatan jiwa tersebut.
Tiga kekutan jiwa manusia yang menjadi dorongan tingkah lakunya akan
menjadi baik kalau bersinergi secara adil (keseimbang). Quwwah al-Ilmi akan
menjadi sumber kebaikan kalau sudah menuntun dengan mudah untuk
membedakan yang benar dan yang salah dalam keyakinan, yang baik dan yang
buruk dalam perbuatan serta yang jujur dan yang bohong dalam berkata-kata.
Atau dengan kata lain ilmunya sudah menjadi hikmah.
Quwwah al-Ghadhab, akan menjadi baik apabila dapat dikendalikan oleh
akal yang sehat dan syariat, sehingga menghasilkan sifat (syaja’ah) yang
menjadi sumber berbagai akhlak yang baik. Apabila tidak mengikuti tuntunan
akal dan syariat condong pada hal yang berlebih, maka dinamakan tahawwur
(nekad). Tetapi bila condong pada sifat lemah dan pengurangan, maka
dinamakan jubn (takut yang berlebihan).
Kemudian Quwwah asy-Syahwah, akan menjadi baik apabila dapat terdidik
oleh akal dan syariat, maka ia akan menghasilkan sifat ‘iffah yang menjadi sumber
dari berbagai akhlak yang mulia, seperti malu, sabar, qanaah, wara, zuhud dan
lain-lain. Dan sebaliknya kalau tidak disinergikan dengan akal dan syariat, maka
apabila congdong pada hal yang berlebihan disebut syarh (rakus) dan
sebaliknya bila condong pada hal dikurang-kurangi disebut jumud (tidak ada
kemajuan).
Singkatnya siapa yang dapat memposisikan diri di tengah dengan lurus
(‘itidal) dalam empat dasar akhlak di atas, maka akhlaknya akan menjadi baik
semuanya. Keempat akhlak ini, yakni hikmah, syaja’ah, ‘iffah dan adl adalah sumber
pokok keutamaan dan akhlak yang lainnya adalah berupa cabang-cabangnya.

16
D. Iman sebagai Pondasi Amal Saleh dan Implementasinya
Bagaimana Saudara, apakah sudah paham tentang potensi jiwa pembentuk
akhlak? Selanjutnya mari dalami hal-hal yang terkait dengan nilai-nilai keimanan
dan ubudiyyah yang harus melekat dan mendasari amal, sehingga amal kita dapat
dikategorikan sebagai amal saleh.
Manusia diciptakan oleh Allah Swt. tujuannya adalah supaya beribadah hanya
kepada-Nya. Sebagaimana dinyatakan dalam Al-Qur’an surah adz-Dzariyat [51]: 56
sebagai berikut:
‫و َما خَل ْقت ا ْل ِج َّن وا ْ ِْل ْنس َّْل ل َي ْعُب ُدو ِن‬
Dan tidak Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku

Oleh sebab itu semua amal perbuatan manusia yang beriman harus bernilai
ibadah dan menjadi amal saleh. Amal yang hanya dipersembahkan kepada Allah
Swt. dan penilaiannya diserahkan sepenuhnya hanya kepada-Nya.
Adapun kisi-kisi penilaian amal saleh sebenarnya sudah disampaiakan dalam
ajaran Islam yang dibawakan oleh Nabi Muhammad saw., yakni amal yang dibingkai
dengan iman; diawali rencana yang matang dan tawakkal, niat yang ikhlas,
dikerjakan dengan sabar dan/atau syukur, serta akhirnya dapat menerima (rida)
hasilnya sebagai bagian dari takdir Allah Swt.

1. Pengertian Amal Saleh


Menurut bahasa “Amal Saleh”, berarti perbutan yang baik, bermanfaat,
selamat, atau cocok. Sedang menurut istilah terdapat beberapa definisi.
Menurut Zamahsyari’ amal saleh diartikan sebagai semua perbuatan yang
sesuai dengan ajaran Al-Qur’an dan Sunnah Nabi saw. Amal saleh juga
disefinisikan sebagi perbuatan baik yang dilakukan seseorang karena Allah Swt.
dengan tujuan untuk mendapatkan rahmat dan rida-Nya, baik menjalankan
perintah maupun menjalankan perintah maupun menjauhi larangan-Nya.
sesuai dengan aturan- aturan ajaran Islam.
Dilihat dari hubungan antara manusia sebagai makhluk dan Allah Swt.
sebagai Khalik, maka amal saleh dapat didefinisikan dengan semua perbuatan
yang dilakukan hamba kepada Allah Swt. sebagai bentuk pengabdiannya yang
didasari dengan iman. Didasari dengan iman artinya disyaratkan dengan
keyakinan dan pengetahuan yang benar.
Siapapun yang amalnya ingin menjadi amal saleh, maka ia harus beriman
kepada Allah Swt. terlebih dahulu, lalu memiliki ilmu yang cukup sebelum
tawakkal. Ini sebagai syarat supaya pelaksanaannya dapat dikerjakan dengan
benar. Kemudian ia harus ikhlas hanya karena Allah, bersabar dan atau
bersyukur dalam pelaksanaannya. Dan terakhir rida terhadap semua keputusan
Allah Swt. dengan hasil dari ikhtiar dan amal kita.

17
2. Sabar dalam Beramal Saleh
Saudara, sebagai bagian dari amal saleh adalah sabar. Melaksanakan amal
saleh perlu dilakukan dengan sabar agar amal amal yang dilakukan dapat
bernilai.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia sabar berarti tahan menghadapi
cobaan, tidak lekas marah, putus asa atau patah hati. Sebenarnya kata sabar
berasal dari bahasa Arab, yaitu sabara-yashbiru-shabran yang artinya menahan.
Kata lainnya adalah alhabs yang artinya menahan atau memenjarakan.
Maksudnya adalah menahan hatinya dari keinginan atau nafsunya. Kata sabar
dengan aneka ragam derivasinya memiliki makna yang beragam antara lain:
sabara bih yang berarti “menjamin”. Shabîr yang berarti “pemuka masyarakat yang
melindungi kaumnya”. Dari akar kata tersebut terbentuk pula kata yang berarti
“gunung yang tegar dan kokoh”, “awan yang berada di atas awan lainnya
sehingga melindungi apa yang terdapat di bawahnya”, “batu-batu yang kokoh”,
“tanah yang gersang”, “sesuatu yang pahit atau menjadi pahit”.
Sedangkan menurut istilah sabar didefinisikan oleh para ulama, antara lain:
a) Sabar adalah sikap tegar dalam menghadapai ketentuan dari Allah. Orang
yang sabar menerima segala musibah dari Allah dengan lapang dada; b) Sabar
adalah keteguhan hati yang mendorong akal pikiran dan agama dalam
menghadapi dorongan-dorongan nafsu syahwat; c). Sabar adalah tabah hati
tanpa mengeluh dalam menghadapi godaan dan rintangan dalam jangka waktu
tertentu, dalam rangka mencapai tujuan.
Ada juga yang memahami bahwa sabar bermakna kemampuan
mengendalikan emosi, sehingga sabar memiliki padanan nama yang berbeda-
beda sesuai dengan objeknya: a) Sabar adalah ketabahan menghadapi musibah,
sehingga kebalikannya gelisah dan keluh kesah berarti tidak sabar; b) Sabar itu
dhobith an nafs disebabkan mampu menghadapi dan menahan diri dari godaan
hidup yang menyenangkan; c) Sabar dalam peperangan disebut pemberani,
kebalikannya disebut pengecut; d) Sabar dalam menahan marah disebut santun
(hilm), kebalikannya disebut pemarah (tazammur); e) Sabar dalam menghadapi
bencana yang mencekam disebut lapang dada (rida); f) Sabar dalam mendengar
gosip disebut mampu menyembunyikan rahasia; g) Sabar terhadap kemewahan
disebut zuhud; dan h) Sabar dalam menerima yang sedikit disebut kaya hati
(qana’ah), kebalikannya disebut tamak atau rakus.
Dari pengertian-pengertian di atas dapat dipahami bahwa sabar itu
merupakan kemampuan menahan atau mengatur diri, untuk dapat tetap taat
terhadap aturan-aturan yang benar berdasarkan syariat dalam menjalankan
perintah Allah Swt., menjauhi larangan-Nya dan menerima cobaan, pada waktu
tertentu mulai dari awal sampai selesai. Seperti sabar mengerjakan shalat
berarti mulai takbiratul ihram sampai salam. Seseorang dikatakan sabar dalam
shalat jika

18
ia tidak melanggar aturan-aturan shalat dari mulai takbiratul ihram sampai salam.
Dan shalatnya akan salah, batal atau rusak. Harus mengulang kembali dari awal
sampai akhir tanpa ada pelanggaran, jika mau shalatnya menjadi bagian amal
saleh.

3. Syukur atas Nikmat Allah


Saudara, selain bersabar dalam beramal saleh, perlu juga bersyukur atas
segala nikmat yang Allah berikan. Bersyukur ini juga menjadi bagian dari
proses mengamalkan amal saleh. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI),
syukur diartikan sebagai: a) rasa terima kasih kepada Allah, dan b) untunglah
(menyatakan lega, senang dan sebagainya). Sebenarnya kata syukur berasal
dari bahasa Arab yakni dalam bentuk mashdar dari kata kerja syakara–
yasykuru– syukran–wa syukuran–wa syukranan. Secara bahasa berarti pujian atas
kebaikan dan penuhnya sesuatu. Syukur juga berarti menampakkan sesuatu ke
permukaan. Dalam hal ini menampakkan sesuatu ke permukaan, yakni
menampakkan nikmat Allah.
Sedangkan menurut istilah syukur adalah pengakuan terhadap nikmat yang
dikaruniakan Allah yang disertai dengan kedudukan kepada-Nya dan
mempergunakan nikmat tersebut sesuai dengan tuntunan dan kehendak-Nya.
Dalam hal ini, hakikat syukur adalah “menampakkan nikmat,” dan sebaliknya
hakikat kekufuran adalah menyembunyikannya. Menampakkan nikmat antara
lain berarti menggunakannya pada tempat dan sesuai dengan yang dikehendaki
oleh pemberi-Nya, juga menyebut-nyebut nikmat dan pemberi-Nya dengan
lidah. M. Quraish Shihab menegaskan bahwa syukur mencakup tiga sisi.
Pertama, syukur dengan hati, yakni kepuasaan batin atas anugerah. Kedua,
syukur dengan lidah, yakni dengan mengakui anugerah dan memuji
pemberinya. Ketiga, syukur dengan perbuatan, yakni dengan memanfaatkan
anugerah yang diperoleh sesuai dengan tujuan penganugerahannya.
Kaitannya dengan amal saleh, syukur itu menjadi landasan tauhid seseorang
ketika diberikan fasilitas yang enak dalam menjalankan tugasnya sebagai seorang
hamba di dunia ini. Dengan kata lain dalam beramal ketika fasilitasnya terbatas
maka harus sabar, sementara kalau fasilitasnya cukup apalagi berlimpah maka
harus bersyukur. Dalam perspektif amal saleh keduanya (sabar dan syukur)
kedudukannya sama menjadi cara atau ukuran bagi orang yang beriman apakah
tindakannya akan menjadi amal ibadah atau bukan. Rasulullah saw. bersabda:

،‫خ ْي ˚ر‬
‫كل‬ ‫ ِإ َّن‬،‫وسل م ْن أَ ْم ِر ا ْل ُم ْؤ ِم ِن‬ ‫صل‬ ‫ َقال رسول‬:‫ب ال‬ َ ‫ع ْن‬
َ‫أَ ْم َر ا ْل ُم ْؤ ِم ِن ّهُ له‬ ّ ُ ‫ّى‬
‫ " ع ِج ْبت‬:‫هلال علَ ْي َم‬ ‫هلال‬ ‫ه‬
‫ِه‬ ‫ْي‬
‫ص‬
‫ و ِإ ْن أَ صاَبْتهُ ض َّرا ُء كا َن ك ل َ ُه‬،‫كا َن ذ خ ْي ًرا‬ ‫ش َك‬ ‫س َّرا‬ ‫ص‬ ‫ ْن أ ل ْل ُم‬،‫ِن‬
‫َذ ِل‬ ،‫َفص َب َر‬ ‫ِل ك ه‬ ،‫َر‬ ‫ُء‬ ‫ْؤ ِم َبتْه ا‬

19
‫َّْل‬ ‫ٍد ألَ َح‬ ‫س َذ ِلك‬ ‫ولَ ْي‬
‫َخ ْي ًرا ("رواه احمد)‬

‫‪20‬‬
Dari Shuhaib berkata: Rasulullah Saw. bersabda: “Saya heran terhadap
urusan orang yang beriman, sesungguhnya semua urusannya akan menjadi
kebaikan, dan itu tidak dapat terjadi kecuali bagi orang yang beriman. Jika
ia memperoleh kesenangan lalu ia bersyukur, maka yang demikian itu akan
menjadikan kebaikan baginya. Dan jika ia ditimpa keburukan lalu ia bersabar,
maka yang demikian itu juga menjadi kebaikan (HR. Ahmad)

Pernyataan Rasulullah saw. tersebut di atas, yang dimaksud menjadi


kebaikan bagi orang yang beriman adalah menjadi amal yang bernilai ibadah.
Karena memang tugas manusia di dunia ini adalah untuk beribadah kepada-
Nya. Dan nilai ibadah itu bentuknya adalah amal saleh, ketakwaan kepada-Nya.
Selalu menjadi hamba yang saleh dalam kondisi apapun, baik sedang dalam
kesusahan maupun sedang dalam kelapangan. Kesusahan dan kesenangan di
dunia, bagi seorang yang beriman itu sama kedudukannya sebagai alat ujian
untuk mendapatkan amal saleh sebanyak-banyaknya.

4. Rida atas Ketetapan Allah


Menurut bahasa kata ‫( الرضا‬rida) berasal dari bahasa Arab yang berarti senang,
suka, rela. Ia merupakan lawan dari kata ‫( السخط‬al-sukht) yang berarti kemarahan,
kemurkaan, rasa tidak suka. Orang yang ‫( الرضا‬rida) berarti orang yang sanggup
melepaskan ketidaksenangan dari dalam hati, sehingga yang tinggal di dalam
hatinya hanyalah kesenangan.
Menurut istilah para ulama rida didefinisikan antara lain oleh: a) Dzunnun
Al-Miṣri, beliau mengatakan bahwa rida ialah kegembiraan hati dalam
menghadapi qadha tuhan; b) Ibnu Ujaibah mengatakan bahwa rida adalah
menerima kehancuran dengan wajah tersenyum, atau bahagianya hati ketika
ketetapan terjadi, atau tidak memilih-milih apa yang telah diatur dan
ditetapkan oleh Allah, atau lapang dada dan tidak mengingkari apa-apa yang
datang dari Allah; c) Al-Barkawi berpendapat bahwa rida adalah jiwa yang
bersih terhadap apa-apa yang menimpanya dan apa-apa yang hilang, tanpa
perubahan; d) Ibnu Aṭaillah as-Sakandari berkata, “rida adalah pandangan hati
terhadap pilihan Allah yang kekal untuk hamba-Nya, yaitu, menjauhkan diri
dari kemarahan.
Dari definisi-definisi di atas dapat dipahami bahwa rida itu merupakan
kondisi kejiwaan atau sikap mental yang senantiasa menerima dengan lapang
dada atas segala keputusan Allah Swt. yang terkait dengan diri seorang hamba,
baik berupa karunia yang baik berupa nikmat maupun yang buruk berupa bala’.
Ia akan senantiasa merasa senang dalam setiap situasi yang meliputinya. Sikap
seperti inilah yang dapat menjadikan amal seorang hamba dapat diterima di sisi
Allah Swt. dan merupakan akhlak yang mulia kepada Penciptanya.
Orang yang rida terhadap cobaan dan musibah yang menimpanya sebenarnya
merasakan apa yang dirasakan manusia pada umumnya. Akan tetapi dia rida
21
dengan akal dan imannya, karena dia meyakini besarnya pahala dan balasan
atas musibah dan cobaan tersebut. Oleh karena itu dia tidak menolaknya dan
tidak gelisah. Abu Ali Ad-Daqqaq berkata, “rida bukan berarti tidak merasakan
bencana. Akan tetapi, rida itu berarti tidak menolak qada dan takdir.
Orang yang jiwanya rela (puas) menerima apapun yang terjadi pada diri
mereka, tidak ada sedikitpun kekecewaan yang melanda dirinya. Orang-orang
seperti inilah yang disebut dengan orang yang rida. Orang yang rida sadar
bahwa penderitaan yang menimpanya juga menimpa orang lain, namun dalam
bentuk yang berbeda-beda. Sikap seperti itu muncul karena ia mengimani
sepenuhnya rencana dan kebijaksanaan Allah. Apa yang menimpanya diyakini
sebagai ketentuan yang telah ditentukan oleh Allah kepadanya. Ia menerima
dan menyikapi dengan senang hati sehingga ia dapat terhindar dari kebencian
terhadap manusia, karena seseorang yang berusaha mencari rida Allah tidak
peduli terhadap komentar apapun dari orang lain mengenai dirinya, dan hal itu
tidak membuatnya sakit hati, sehingga hatinya menjadi tenang dan jauh dari
gejolak dan gelisah.
Bagaimana hubungannya dengan amal saleh? Rida terhadap keputusan
Allah Swt. merupakan syarat diterimanya penghambaan seseorang. Siapa yang
tidak rida dengan keputusan dan takdir-Nya dia tidak berhak mengakui Allah
sebagai Tuhannya. Dan berarti amalnya akan didiskualifikasi, tidak akan
dihitung dalam perhitungan di yaum al-hisab kelak. Karena Allah Swt. tidak rida
dengan akhlaknya. Sebagaimana diriwayatkan dalam sebuah hadis Qudsi dari
Anas bin Malik sebagai berikut:

‫وقَ َد ِري‬ ‫ص لّٰ ُال علَ ْي‬


‫ض ضا‬ ‫ لَ ْم‬:‫هلال َت َعاَلى‬
ُ ‫ ل‬:‫سل ل‬ ‫ س ِم ْعت رسول‬:‫عن أَ نَ س ِب ْن ما ِلك َقال‬
‫ق ِئي‬ ‫" ْر م ْن‬ ‫ّ َم قَا‬ ‫ِه و‬ ‫ل َّى‬ ‫هلال‬
‫َيقُو‬
)‫َف ْل َي ْل َت ِمس ر ًّبا غ ْي ِري ("رواه البيهقي‬

Dari Anas bin Malik berkata, saya mendengar Rasulullah saw. bersabda,
Allah Swt. berfirman, “Siapa yang tidak rida dengan keputusan dan
takdirku, maka hendaknya mencari dan memohon doa kepada Tuhan selain
Aku” (HR. Baihaqi)

5. Hikmah Mempelajari Amal Saleh


Ketika Saudara menganalisis materi Amal Saleh ini, apa yang Saudara
rasakan? Apakah Saudara merasa sudah maksimal amal kebaikan yang
dilakukan? Apakah Saudara membayangkan apa jadinya jika Allah tidak
memberi hidayah pada kita, sehingga kita bisa beramal saleh? Di antara
hikmahnya adalah seluruh umat muslim dapat terus berbuat yang baik,
kebaikannya diniatkan sebagai amal saleh yang juga sebagai bekal di kehidupan
berikutnya. Sebagai pendidik perlu menjadikan materi ini sebagai modal, baik
22
untuk diri sendiri maupun untuk peserta didik. Pelajaran penting ini bisa
sebagai

23
bahan memuliakan diri sendiri, Allah, sesama manusia dan makhluk lain. Serta
sebagai bahan mengajak orang lain beramal saleh. Selain hikmah ini, hikmah
apa lagi yang bisa Saudara dapatkan dari materi ini? Silahkan analisis lebih
dalam!

24
E. Tawakkal
1. Pengertian Tawakkal
Menurut bahasa kata tawakkal diambil dari Bahasa Arab ُّ‫( كل َو ال َت‬tawakkul) dari
akar kata َ (wakala) yang berarti lemah. Adapun ُّ‫( كل َو ال َت‬tawakkul) berarti
‫كل‬
‫و‬
menyerahkan atau mewakilkan. Seperti seseorang mewakilkan urusan kepada
orang lain atau menggantikannya. Artinya, dia menyerahkan suatu perkara atau
urusannya dan dia menaruh kepercayaan kepada orang itu mengenai urusan tadi.
Secara istilah tawakal telah didefinisikan oleh ulama, antara lain Imam al-
Ghazali. Beliau menyebutkan dalam kitab Ihya’ Ulumuddin pada bab at-Tauhid
wa at-Tawakkal, bahwa tawakal itu adalah hakikat tauhid yang merupakan dasar
dari keimanan, dan seluruh bagian dari keimanan tidak akan terbentuk
melainkan dengan ilmu, keadaan, dan perbuatan. Begitu Pula dengan sikap
tawakal, ia terdiri dari suatu ilmu yang merupakan dasar, dan perbuatan yang
merupakan buah (hasil), serta keadaan yang merupakan maksud dari tawakal.
Tawakal adalah menyerahkan diri kepada Allah tatkala menghadapi suatu
kepentingan,
bersandar kepada-Nya dalam kesulitan di luar batas kemampuan manusia.

2. Dalil tentang Tawakal


Allah Swt. berfirman:

‫ه ْم ي‬
‫ِو‬ ‫ُه واس َت ْغ ِف ْر‬ ‫ك‬ ْ ْ ‫ا ْلقَ ْلب ض‬ ‫ظا‬ ‫لّٰ ِال ل ْنت ل ولَ ك‬ ‫ِب َما رح َم ٍة م‬
‫ْر‬ ‫َل ُه ْم‬ ‫ْم‬ ‫اع‬ ‫ْل ْنف وا ن و‬ ‫غ ِل ي‬ ‫ُه ْم ْو ْنت‬ ‫َن‬
‫وشا‬ ‫ع‬ ‫ِل‬
‫ْن‬ ‫م ح‬
‫ِ ح ب ا ْل ُم َت َو ِ’ ك ِلي َن‬ ‫لّٰ ِال‬ ‫عل‬ ‫َو‬ َ ‫ا ْألَ ْم ِر َفإِذَا‬
ّٰ ‫َّن ل‬ ‫ى‬ ‫ز‬
‫َا ُي‬ ‫ْ م ك ْل‬
ّ
‫ع ت ت‬

Maka sebab rahmat dari Allah, Engkau bersikap lemah lembut kepada
mereka. Seandainya Engkau bersikap kasar lagi keras hati, niscaya mereka
akan pergi dari sekelilingmu. Sebab itu maafkan mereka, mintakan
ampunan baginya dan ajaklah bermusyawarah mereka dalam urusan itu
(menentukan strategi perang). Lalu apabila Engkau telah memiliki tekad
yang bulat, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah
mencintai orang-orang yang bertawakkal (Q.S. Ali Imran [3]: 159).

Ayat di atas menempatkan tawakkal pada posisi penyusunan rencana tahap


akhir setelah mempunyai keputusan dan tekad yang bulat. Hal ini menunjukkan
bahwa sebelum tawakal manusia harus terlebih dahulu berikhtiar secara
25
zhahir, selanjutnya jangan lupa ikhtiar batin, yakni ikhtiar dan doa.
Sebagaimana

26
dicontohkan oleh Nabi kita Muhammad saw., beliau melakukan perundingan
dahulu dengan para sahabat dengan meminta pendapat atau buah pikiran
mereka mengenai urusan peperangan dan lain-lain demi mengambil hati
mereka dengan sikap lemah lembut, kemudian setelah keputusan diambil dan
telah menetapkan hati, lalu bertawakal kepada Allah dengan berserah kepada-
Nya.
Dalam sebuah hadis Rasulullah saw. diriwayatkan sebagai berikut:

،ِ‫ّٰ لال‬
‫ْي قَال ِ لّٰ ِال َت َو َّك‬
‫عل‬ ‫ج ال‬ ‫ " ِإذَا خ‬:‫ال‬ ‫وسل‬ ُ ‫صلَّى‬
‫هلال عل‬ ‫ أَ َّن‬،‫ع ْن أَ َن ِس ب ِن ما ِلك‬
‫ْل ت‬
‫ى‬ ‫م‬ ‫ِ ت ِه‬ ‫َّرجل‬ ‫َر‬ ،‫ّ َم‬ ‫ْي ِه‬ ‫الَّن ِبي‬
‫س‬ ‫م ْن‬
:‫ُه الش َيا طي َيق ل ل َهُ طا خ ُر‬ ،‫ت‬ ‫ و‬،‫ ت‬،‫ ه ِدي ت‬:‫حي َن ِئ ٍذ‬ ‫و َْل قُ َّو َة ِإ َّْل بِا‬ ‫ْ ل ح ْول‬
‫ و ش ْي ن آ‬،‫ن‬ ‫ف َتت نَ َحى‬ ‫ُو قِ ي‬ ‫و ُك ِ ف ي‬ ‫ِّ َّل‬
‫ ُيَقال‬:‫ ال‬،‫ِل‬
)‫ك ِب َرجل ْد ه ِدي و ُك ي؟ "رواه ابو داود‬ ‫ك ْي‬
‫ِ ف ي و ُ و ِق‬

Dari Anas bin Malik berkata, bahwasannya Nabi Saw. bersabda, “Apabila
membaca lalu rumahnya, dari keluar laki-laki seorang ‘ ‫ ْل‬،ِّٰ‫ َت َو َّك ْلت عَلى لال‬،ِّٰ‫س ِم لال‬
َّ ‫ح ْول و َْل قُ َّو َة ِإ َّْل ِبا‬,’ diberi telah engkau kepadanya: dikatakan itu saat pada maka
‫ِّ ِل‬
‫ل‬
hidayah, engkau telah dicukupkan, engkau telah dijaga dan ditinggalkan
syaitan. Dan syaitan yang lain berkata kepadanya, Bagaimana bisa
menggoda dengan laki-laki ini yang sudah diberi jaminan hidayahnya,
kecukupannya dan penjagaannya” (H.R. Abu Dawud)

Hadis di atas mengisyaratkan kepada kita bahwa tawakal itu dilakukan


sebelum melakukan aktivitas. Kita harus menyadari sematang apapun rencana
yang kita buat, tetaplah rencana yang dibuat oleh manusia yang serba lemah,
dan tidak dapat mengetahui semua unsur yang menentukan dan
mempengaruhi keberhasilannya. Manusia hanya bisa berencana Allah yang
menentukan segalanya. Sebab itu sebelum kita menjalankan rencana, sudah
semestinya kita serahkan sepenuhnya kepada Dzat yang Maha Mengatur dan
Menentukan, Allah Swt.

3. Ciri-ciri Tawakal
Tawakal bukan berarti tinggal diam, tanpa kerja dan usaha, bukan
menyerahkan semata-mata kepada keadaan dan nasib dengan tegak berpangku
tangan duduk memekuk lutut, menanti apa-apa yang akan terjadi. Memohon
pertolongan dan Bertawakal tidaklah berarti meninggalkan upaya, bertawakal
mengharuskan seseorang meyakini bahwa Allah yang mewujudkan segala
sesuatu, sebagaimana ia harus menjadikan kehendak dan tindakannya sejalan
27
dengan kehendak dan ketentuan Allah Swt. Seorang muslim dituntut untuk
berusaha tetapi di saat yang sama ia dituntut pula berserah diri kepada Allah
Swt., ia dituntut melaksanakan kewajibannya, kemudian menanti hasilnya
sebagaimana kehendak dan ketentuan Allah.
Seorang muslim berkewajiban menimbang dan memperhitungkan segala segi
sebelum dia melangkahkan kaki dan mengerjakan sesuatu. Tetapi bila
pertimbangannya keliru atau perhitungannya meleset, maka ketika itu akan

28
tampil dihadapannya Allah Swt., Tuhan yang kepada-Nya yakni dengan
bertawakal dan berserah diri.

4. Contoh Tawakal dalam Kehidupan Sehari-hari


Sebagai seorang guru yang berupaya memperbaiki kemampuan diri dengan
terus belajar dan mengikuti program keprofesian, adalah bentuk dari ikhtiar yang
dilakukan. Ikhtiar mengikuti kegiatan PPG ini adalah bagian dari upaya
meningkatkan kualitas diri dan memantaskan diri di hadapan Allah sebagai
orang yang layak disebut guru profesional. Seluruh agenda yang disajikan
diikuti dengan baik dan bahkan dengan hasil yang maksimal. Contoh tawakal
dari kondisi ini adalah selalu menyerahkan hasilnya kepada Allah. Soal
dikerjakan dengan jujur dan maksimal, lalu hasilnya diserahkan pada Allah.
Begitu pula pada saat ujian akhir kegiatan ini, setelah semua rangkaian dilalui
dengan baik, maka bentuk tawakalnya adalah menyerahkan dan memasrahkan
hasil kelulusannya kepada Allah. Lulus atau tidak adalah ketetapan Allah. Jika
lulus, maka perlu bersyukur, jika tidak lulus maka perlu bersabar. Ini adalah
salah satu contoh tawakal dalam kehidupan yang sangat dekat dengan kita.
Selain contoh ini, Saudara bisa mengeksplor lagi sebanyak-banyaknya contoh
tawakal yang terjadi di masyarakat untuk menambah wawasan.

5. Hikmah Mempelajari Tawakal


Ketika Saudara menganalisis materi Tawakal ini, apa yang Saudara rasakan?
Apakah Saudara merasa sudah maksimal dalam menjalankan perintah Allah
dan memasrahkan segala hasilnya? Apakah Saudara membayangkan apa
jadinya jika Allah tidak menolong dalam setiap ikhtiar kita? Di antara hikmah
adanya tawakal ini adalah orang beriman akan lebih ringan dalam menjalankan
aktivitas kehidupan, karena sudah meyakini bahwa hasilnya adalah segala
kebaikan dari Allah. Sebagai pendidik perlu menjadikan materi ini sebagai
modal, baik untuk diri sendiri maupun untuk peserta didik. Pelajaran penting
ini bisa sebagai bahan memuliakan diri sendiri, Allah, sesama manusia dan
makhluk lain. Serta sebagai bahan mengajak orang lain mempasrahkan segala
urusannya kepada Allah. Selain hikmah ini, hikmah apa lagi yang bisa Saudara
dapatkan dari materi ini? Silahkan analisis lebih dalam!

29
CONTOH SOAL
Setelah menganalisis uraian materi, apakah Saudara sudah menguasai capaian
pembelajaran pada kegiatan belajar ini? Agar dapat mengukur penguasaan Saudara,
dapat mengisi soal yang berkaitan dengan kegiatan belajar ini. Berikut sajian
contoh soal pada modul ini sebagai bahan latihan Saudara dalam menganalisis
pertanyaan dan jawaban, serta sebagai contoh pembuatan soal tes formatif yang
akan dibuat oleh dosen pengampu.

1. Berikut adalah turunan dari Quwwah al-Ilmi:


1) Husnu at-Tadbir
2) Jaudat adz-Dzihn
3) Tsiqabah ar-Ra’yi
4) Shawab azh-Zhann
Sebagai seorang muslim, memperhatikan kekuatan dalam jiwa adalah bagian dari
menumbuhkan akhlak al-Karimah. Quwwah al-Ilmi akan membentuk Hikmah
sebagaimana ayat berikut.

‫قَدْ أُ و ِتي ْي ًرا َ َذّ َّك ُر ِإ َّْل ُأ وُلو ا ْأل‬ ‫ِح‬ ‫ْن‬ ‫ُي ْؤ ِتي ا ْل ِح ْك َمة َ شا‬
‫ْل َباب‬ ‫ك م‬ ‫ًرا‬ َ َ ‫ْك‬
‫مة‬ ‫يُ ْؤ‬ ‫ي ُء‬
‫خ ِثي ا‬ ‫ت ا‬ ‫و َم‬ ‫م‬
‫و‬ ‫ْن‬
‫ْل‬

“Dia berikan hikmah kepada yang Dia kehendaki dan Siapa yang diberikan
al-hikmah maka sesungguhnya dia telah diberikan kebaikan yang sangat
banyak. Dan hanya orang-orang memiliki akal pikiranlah yang mampu
memahaminya”. (Q.S. al-Baqarah [2]: 169)

Ayat di atas, menguatkan bahwa seseorang yang dikehendaki mendapatkan


hikmah akan mendapat kebaikan yang banyak. Turunan Quwwah al-Ilmi yang
bermakna kebijaksanaan seseorang yang sudah mendapatkan Hikmah,
tergambar pada ...
a. 1) dan 2)
b. 1) dan 3)
c. 2) dan 4)
d. 2) dan 3)
e. 3) dan

4) Jawaban:

30
TINDAK LANJUT BELAJAR
Untuk meningkatkan kemampuan analisis, Saudara dapat melakukan
beberapa aktivitas tindak lanjut dari kegiatan belajar ini, di antaranya sebagai berikut:
1. Simaklah sumber belajar dalam bentuk video/artikel pada LMS Program
PPG. Kemudian lakukan analisis berdasarka konten!
2. Kaitkan konten video/artikel dengan nilai-nilai moderasi dalam proses
pembelajarannya di sekolah/madrasah!
3. Ikuti tes akhir modul dan cermati hasil tesnya. Bila hasil tes akhir modul di
bawah standar minimum ketuntasan (70), maka Saudara melakukan
pembelajaran remedial dengan memperhatikan petunjuk dalam LMS
program PPG.
4. Aktifitas tindak lanjut lebih detail, silahkan mengikuti tagihan tugas yang ada
di LMS.

31
GLOSARIUM

Akhlak al-Karimah : Kemuliaan dan kebaikan yang dilakukan secara sadar karena
dorongan jiwa yang sudah terbiasa tanpa harus
dipertimbangkan.
Quwwah al-Ilmi : Kekuatan yang berasal dari akal.
Hikmah : Ilmu yang bermanfaat, yakni ilmu yang dapat mempengaruhi
jiwa pemiliknya dan membimbing kehendaknya untuk
mendorong melakukan tindakan-tindakan yang dapat
membawa manfaat dan kebahagiaan dunia akhirat.
Quwwah al-Ghadhab : Dorongan manusia untuk menolak yang tidak disenangi dan
mendapatkan kenikmatan yang bersifat abstrak dan batin.
Saja’ah : Sifat keberanian.
Amal Saleh : Perbuatan baik yang dilakukan seseorang karena Allah Swt.
dengan tujuan untuk mendapatkan rahmat dan rida-Nya, baik
menjalankan perintah maupun menjalankan perintah maupun
menjauhi larangan-Nya. sesuai dengan aturan-aturan ajaran
Islam.
Sabar : Kemampuan menahan atau mengatur diri, untuk dapat tetap
taat terhadap aturan-aturan yang benar berdasarkan syariat
dalam menjalankan perintah Allah Swt., menjauhi larangan-
Nya dan menerima cobaan, pada waktu tertentu mulai dari
awal sampai selesai.
Syukur : Pengakuan terhadap nikmat yang dikaruniakan Allah yang
disertai dengan kedudukan kepada-Nya dan mempergunakan
nikmat tersebut sesuai dengan tuntunan dan kehendak-Nya.
Rida : Kondisi kejiwaan atau sikap mental yang senantiasa menerima
dengan lapang dada atas segala keputusan Allah Swt. yang
terkait dengan diri seorang hamba, baik berupa karunia yang
baik berupa nikmat maupun yang buruk berupa bala’.
Tawakkal : Hakikat tauhid yang merupakan dasar dari keimanan, dan
seluruh bagian dari keimanan tidak akan terbentuk melainkan
dengan ilmu, keadaan, dan perbuatan.

32
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Husnan, Meluruskan Pemikiran Pakar Muslim (Surakarta: Al Husna, 2005).


Ahmad Mushthofa al-Marā ghi, Tafsīr al-Marāghi, (Beirut: Dā r al-Fikr, t.t) Jilid 1.
Al-Ghazali, Bidayah al-Hidayah, Bairut: Dar ash-Shadir, 1963
Al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din, Beirut: Dar al-Kutub, 2011
Al-Ghazali, Ma’arij al-Quds Fi Madariji Ma’rifat al-nafsi, Bairut: Libanon, Dar al-Kutub,
1988
Al-Ghazali, Mizan al-Amal, Mesir: Dar al-Ma’arif, 1964
Amin, Ahmad, Kitab al-Akhlak, Kairo: Muassasah Handawiy li at-Ta’lim wa ats-
Tsaqafah, 2012
Atabik Ali dan A. Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab Indonesia, (Multi Karya:
Grafika, Yogyakarta, 2007).
Azyumardi Azra Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan
XVIII (Bandung: Penerbit Mizan, 1994).
, Ensiklopedi Tasawuf, Jilid. 2 (Bandung: Angkasa, 1998).
al-Bukhā ri, al-Jāmi al-Sahīh al-Bukhāri, tahqiq al-Mustafā Dīb, (Beirū t; Dā r Ibnu Kathīr,
1987).
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Depdiknas,
2003).
Djatmika, Rahmat, Sistem Etika Islam (Akhlak Mulia), Jakarta: Pustaka Panjimas, 1996
Harun Nasution Islam ditinjau dari Berbagai Aspeknya (Jakarta: UPI. 2002).
Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir Terj. M. Abdul Ghoffar, (Bogor: Pustaka Imam Asy-
Syafi‟i 2004).
Ibnu Manzū r, Lisān Al-‘Arab (Beirut: Darul Fikri, 1386 H).
Ibn. Miskawaih, Tahdzib al-Akhlak fi at-Tarbiyah, Bairut - Libanon: Dar al-Kutub al-
Ilmiyyah, 1985
M. Quraish Shihab. Mukjizat Al-Qur’an: Ditinjau dari Aspek Kebahasaan, Isyarat Ilmiah,
dan Pemberitaan Ghaib, (Bandung: Mizan, 2014).
. Rasionalitas Al-Qur’an; Studi Kritis terhadap Tafsir al-Manar (Jakarta: Lentera
Hati. 2007).
. Tafsi>r al Mishba>h}; Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an (Jakarta: Lentera
Hati, 2006).
, Logika Agama (Jakarta: Lentera Hati, 2006).
, Ensiklopedia Al-Qur’an: Kajian Kosakata (Jakarta: Lentera Hati, 2007).
, Menyingkap Tabir Ilahi: Asmaul Husna dalam Perspektif Al-Qur’an, (Lentera Hati,
Jakarta, 1999).

33
Muhammad Ismail Ibrahim, Mu’jam al-Alfāzh wa al-A’lām al-Qur’āniyyah (Qahira: Dā r
al-Fikr, 1968).
Mujib, Abdul, Fitrah dan Kepribadian Islam: Sebuah Pendekatan Psikologis, Jakarta: Dar al-
Falah, 1999
M Said Ramadhan Al-Buthi, Al-Hikam Al-Athaiyyah, Syarhun wa Tahlilun, (Beirut,
Darul Fikr Al-Muashir, 2003 M/1424 H).
Said Aqil Husin Munawar. Al-Qur’an Membangun Kesalehan Hakiki (Jakarta: Ciputat
Press, 2002).
Ya’qub, Hamzah, Etika Islam Pembinaan Akhlakul Karimah (Suatu Pengantar), Bandung:
CV. Dipongoro, 1988
Zarruq, Syarhul Hikam, (Surabaya: As-Syirkatul Qaumiyyah, 2010 M/1431 H).

34

Anda mungkin juga menyukai