Anda di halaman 1dari 19

SUMBER DAN INDUK AKHLAK

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas terstruktur mata kuliah


Akhlak, Jurusan Manajemen
Dosen Pembimbing: Dr. H. Abdul Kodir, M.Ag

Penyusun :
Husnul Khatimah 022 2015 0301
Fauziyah Rahmat 022 2017 0050

PROGRAM STUDI MANAJEMEN


FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2018
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahamatullahi Wabarakatuh…


Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Illahi Robbi karena berkat rahmat
dan hidayah-Nya kami bisa menyelesaikan makalah yang berjudul SUMBER DAN
INDUK AKHLAK”, makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata
kuliah Akhlak.

Kami menyadari bahwa selama penulisan banyak mendapat bantuan dari


berbagai pihak. Oleh sebab itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Dr. H. Abdul Kodir, M.Ag., selaku dosen mata kuliah yang telah
membantu penulis selama menyusun makalah ini;
2. Rekan-rekan seangkatan yang telah memotivasi kami untuk menyelesaikan
penyusunan makalah ini;
3. Semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.

Makalah ini bukanlah karya yang sempurna karena masih banyak


kekurangan, baik dalam hal ini maupun sistematika dan teknik penulisannya.Oleh
sebab itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun
dalam penyempurnaaan makalah ini.Semoga makalah ini memberikan manfaat bagi
kita semua.Amiin.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh…

Makassar, 28 September 2018

Penyususn
DAFTAR ISI

Kata Pengantar……………………………………………………………….i

Daftar Isi……………………………………………………………………...ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang………………………………………………...01

B. Rumusan Masalah……………………………………………..01

C. Tujuan…………………………………………………………01

D. Manfaat………………………………………………………..01

BAB II PEMBAHASAN

A. Sumber-Sumber Hukum Akhlak……………………………...02

B. Konsep Akhlak dalam Ajaran Islam………………….……….03

C. Tujuan Akhlak………………………………………………...03

D. Macam-Macam Induk Akhlak

a) Pengertian Hikmah………………………………….....04

b) Pengertian Syaja’ah……………………………………05

c) Pengertian Iffah………………………………………..06

d) Adil sebagai Induk Akhlak Islami……………………..06

BAB III PENUTUP…………………………………………………………..15

DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………...16
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Akhlak merupakan suatu perbuatan yang telah tertanam kuat dalam jiwa
seseorang, sehingga menjadi kepribadiannya. Karena sifatnya yang mendarah
daging, maka semua perbuatannya dilakukan dengan mudah dan tanpa pemikiran.
Dengan demikian, baik atau buruknya seseorang dilihat dari perbuatannya.
Induk akhlak islami yang akan dibahas pada makalah maksudnya adalah
sikap adil dalam melakukan suatu perbuatan. Dari sikap adil tersebut akan muncul
beberapa teori pertengahan, karena sebaik-baiknya perkara (perbuatan) itu terletak
pada pertengahannya, hal ini apa yang telah Nabi sabdakan,Artinya : “Sebaik-
baiknya urusan (perbuatan) adalah yang pertengahan”. (HR. Ahmad).
Oleh karena itu, agar lebih jelasnya lagi tentang induk akhlak, di dalam
makalah ini akan membahas apa yang dimaksud dengan induk akhlak, serta ketiga
macam induk akhlak yang muncul dari sikap adil, yaitu sikap pertengahan atau
seimbang dalam mempergunakan ketiga potensi sohaniah yang terdapat dalam diri
manusia : akal, amarah dan anfsu syahwat.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan sumber akhlak?
2. Apa yang dimaksud dengan induk akhlak?

C. Tujuan
1. Menjelaskan apa yang dimaksud dengan sumber akhlak.
2. Mendeskripsikan apa yang dimaksud dengan induk akhlak.

D. Manfaat
1. Mahasiswa diharapkan mampu menjelaskan pengertian sumber akhlak.
2. Mahasiswa diharapkan mampu mendeskripsikan mengenai induk akhlak.
01
BAB II

PEMBAHASAN

A. Sumber-Sumber Akhlak

Sumber akhlak adalah wahyu (al-Qur’an dan al-Hadits). Sebagai sumber


akhlak, wahyu menjelaskan bagaimana berbuat baik. al-Qur’an bukanlah hasil
renungan manusia, melainkan firman Allah s.w.t. yang Maha Pandai dan Maha
Bijaksana. Oleh sebab itu, setiap muslim berkeyakinan bahwa isi al-Qur’an tidak
dapat dibuat dan ditandingi oleh buatan manusia. Sumber akhlak yang kedua yaitu
al-Hadits meliputi perkataan, ketetapan dan tingkah laku Rasulullah s.a.w.

Dasar akhlak yang dijelaskan dalam al-Qur’an yaitu:

َ ‫س ْو ِل هللاِ أُس َْوة ٌ َح‬


‫سنَةٌ ِل َم ْن َكانَ يَ ْر ُجوا هللاَ َو ْاليَ ْو َم ْاْل ِخ َر َوذَك ََر هللاَ َكثِي ًْرا‬ ُ ‫لَقَدْ َكانَ لَ ُك ْم فِ ْي َر‬
Artinya :”Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan
yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan
(kedatangan) hari kiamat dan yang banyak mengingat Allah”. (Q.S.al-Ahzab : 21)

Dasar akhlak dari al-Hadits yang secara eksplisit menyinggung akhlak


tersebut yaitu sabda Nabi:

ِ ‫اِنَّ َما ب ُِعثْتُ ِِلُت َِم َم َمك‬


َ‫َار َم ْاِل َ ْخ ََلق‬
Artinya : “Bahwasanya aku (Rasulullah) diutus untuk menyempurnakan
keluhuran akhlak”.

Jika telah jelas bahwa al-Qur’an dan al-Hadits rasul adalah pedoman hidup
yang menjadi asas bagi setiap muslim, maka teranglah keduanya merupakan
sumber akhlaqul karimah.

02
B. Konsep Akhlak Dalam Ajaran Islam

Konsep Akhlak Islami merupakan akhlak yang menggunakan konsep dasar


ketentuan Allah s.w.t. Rumusan akhlak islami yang demikian adalah rumusan yang
diberikan oleh mayoritas ulama’.

Konsep kesusilaan yang nyata secara Islami dapat ditegaskan sebagai


berikut :
o Konsep kebajikan yang mutlak. Islam telah mengarahkan akhlakul
karimah, baik perorangan atau masyarakat pada setiap keadaan, oleh karena itu
wajib bagi pemeluknya melaksanakan secara terus-menerus dan
berkesinambungan.
o Kebaikan yang menyeluruh. Akhlak Islami menjamin kebaikan untuk
seluruh umat manusia, bahkan seluruh alam ini (rahmatan lil ‘alamin).
o Kemampuan. Akhlak Islami menjamin kebaikan yang mutlak dan sesuai
pada ilmu dan kemampuan yang dimiliki manusia itu.
o Kewajiban yang dipenuhi. Akhlak yang bersumber dari agama Islam
wajib ditaati setiap muslim, karena mencapai seluruh aspek kehidupan.

C. Tujuan Akhlak

Tujuan akhir setiap ibadah adalah pembinaan taqwa. Bertaqwa mengandung


arti melaksanakan segala perintah agama dan meninggalkan segala larangan agama.
Ini berarti menjauhi perbuatan-perbuatan jahat (akhlaqul madzmumah) dan
melakukan perbuatan-perbuatan baik (akhlaqul karimah).

Orang yang bertaqwa berarti orang yang berakhlak mulia, berbuat baik dan
berbudi luhur. Oleh karena itu, ibadah disamping latihan spiritual juga merupakan
latihan sikap dan meluruskan akhlak.

03
D. Macam-macam Induk Akhlak
Secara teoritis macam-macam akhlak tersebut berinduk kepada tiga
perbuatan utama, yaitu hikmah (bijaksana), syaja’ah (perwira atau ksatria), dan
iffah (menjaga diri dari perbuatan dosa dan maksiat). Ketiga macam induk akhlak
ini muncul dari sikap adil yang terdapat dalam diri manusia, yaitu ‘aql (pemikiran),
ghadab (amarah), dan nafsu syahwat (dorongan seksual).

A. Pengertian Hikmah, Syaja’ah, dan Iffah


a. Pengertian Hikmah
Hikmah menurut Al-Maraghi dalam kitab Tafsirnya, sebagaimana yang
dikutip oleh Masyhur Amin, yaitu perkataan yang tepat lagi tegas yang
diikuti dengan dalil-dalil yang dapat menyingkap kebenaran dan
melenyapkan keserupaan.
Sedangkan menurut Toha Jahja Omar seperti yang dikutip oleh
Hasanuddin, hikmah adalah bijaksana, artinya meletakkan sesuatu pada
tempatnya, dan kitalah yang harus berpikir, berusaha, menyusun,
mengatur cara-cara dengan menyesuaikan kepada keadaan dan zaman,
asal tidak bertentangan dengan hal-hal yang dilarang oleh Tuhan.

Kata hikmah mengandung tiga unsur, yaitu:

1. Unsur ilmu, yaitu adanya ilmu yang shahih yang dapat memisahkanantara
yang hak dan yang bathil, berikut tentang rahasia, faedah danseluk-beluk
sesuatu.
2. Unsur jiwa, yaitu terhujamnya ilmu tersebut kedalam jiwa yang ahlihikmah,
sehingga ilmu tersebut mendarah daging dengan sendirinya.
3. Unsur amal perbuatan, yaitu ilmu pengetahuannya yang terhujam kedalam
jiwanya itu mampu memotivasi dirinya untuk berbuat.Dengan perkataan
lain, perbuatanya itu dimotori oleh ilmunya yangterhujam kedalam jiwanya
itu.

04
b. Pengertian Syaja’ah
Syaja’ah dalam bahasa Arab artinya keberanian atau keperwiraan,
syaja’ah atau berani yaitu seseorang yang dapat bersabar terhadap
sesuatu jika dalam jiwanya ada keberanian menerima musibah atau
keberanian dalam mengerjakan sesuatu. Seorang pengecut sukar
didapatkan sikap sabar dan berani.
Selain itu syaja’ah (berani) bukanlah semata-mata berani berkelahi
dimedan laga, melainkan suatu sikap mental seseorang, dapat
menguasai jiwanya dan berbuat menurut semestinya.

Syaja’ah dapat dibagi menjadi dua macam, diantaranya:

1. Asy Syaja’ah harbiyah


Yaitu keberanian yang kelihatan atau tampak, misalnya keberanian dalam
medan tempur di waktu perang.
2. Asy Syaja’ah nafsiyah
Yaitu keberanian menghadapi bahaya atau penderitaan di luar medan
peperangan, seperti menegakkan kebenaran.

Hakikat Asy Syaja’ah


Hakikat dari keberanian itu tidak terlepas dari keadaan-keadaansebagi berikut:
1) Berani membenarkan yang benar dan berani menyalahkanyang salah.
2) Berani membela hak milik, jiwa dan raga.
3) Berani membela kesucian agama dan kehormatan bangsa

05
c. Pengertian Iffah (Al-iffah)
Memelihara kesucian diri (al-iffah) adalah menjaga diri dari
segalatuduhan, fitnah, dan memelihara kehormatan hendaklah
dilakukan setiapwaktu agar diri tetap berada dalam keadaan kesucian.
Hal ini dapatdilakukan muali memelihara hati (qalbu) untuk tidak
membuat rencanadan angan-angan yang buruk.

Kesucian diri terbagi ke dalam beberapa bagian:


1) Kesucian panca indra; (Q.S. An-Nur [24]: 33).
2) Kesucian jasad; (Q.S Al-Ahzab [33]: 59).
3) Kesucian dari memakan harta orang lain; (Q.S An-Nisa [4]: 6).
4) Kesucian lisan (Q.S. Al Baqarah [2]: 273).

B. Adil sebagai Induk Akhlak Islami

Dalam berbagai literatur tentang Ilmu Akhlak Islami, dijumpai uraian


tentang akhlak yang secara garis besar dapat dibagi dua bagian, yaitu akhlak yang
baik (al-akhlaq al-karimah), dan akhlak yang buruk (al-akhlaq al-mazmumah).
Berbuat adil, jujur, sabar, pemaaf, dermawan dan amanah misalnya termasuk ke
dalam akhlak yang baik. Sedangkan berbuat zalim, berdusta, pemarah, pendendam,
kikir dan curang termasuk ke dalam akhlak yang buruk. Bagaimanakah terjadinya
berbagai akhlak yang mulia dan tercela ini? Uraian berikut ini akan mencoba
menjawabnya

Secara teoritis macam-macam akhlak tersebut berinduk kepada tiga perbuatan


yang utama, yaitu hikmah (bijaksana), syaja’ah (pewira atau kesatria), dan iffah
(menjaga diri dari perbutan dosa dan maksiat).

06
Ketiga macam induk akhlak ini muncul dari sikap adil, yaitu sikap pertengahan
atau seimbang dalam mempergunakan ketiga potensi rohaniah yang terdapat dalam
diri manusia, yaitu ‘aql (pemikiran) yang berpusat di kepala, ghadab (amarah) yang
berpusat di dada, dan nafsu syahwat (dorongan seksual) yang berpusat di perut.

Akal yang digunakan secara adil akan menimbulkan hikmah, sedangkan amarah
yang digunakan secara adil akan menimbulkan sikap perwira, dan nafsu syahwat
yang digunakan secara adil akan menimbulkan iffah yaitu dapat memelihara diri
dari perbuatan maksiat. Dengan demikian inti akhlak pada akhirnya bermuara pada
sikap adil dalam mempergunakan potensi rohaniah yang dimiliki manusia.
Demikian pentingnya bersikap adil ini di dalam al-Qur’an kita jumpai berbagai ayat
yang menyuruh manusia agar mampu bersikap adil. Untuk itu perhatikanlah ayat-
ayat di bawah ini

Artinya :“Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa”. (QS. Al-
Maidah : 8).

Artinya : “Dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia hendaknya


kamu menetapkannya dengan adil”. (QS. an-Nisa : 58).

Artinya : “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat


kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji,
kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu
dapat mengambil pelajaran”. (QS. an-Nahl : 90).

07
Ayat-ayat tersebut secara keseluruhan bertemakan perintah berbuat adil yang
dihubungkan dengan perbuatan-perbuatan yang baik, seperti bertakwa kepada
Allah, menetapkan keputusan yang bijaksana, berbuat kebajikan, memberi makan
kepada kaum kerabat, menjauhi perbuatan keji dan munkar serta perbuatan yang
menimbulkan permusuhan.

Dengan demikian ayat tersebut dapat dipahami bahwa keadilan erat kaitannya
dengan timbulnya berbagai perbuatan terpuji lainnya. Berikut ini akan dijelaskan
ketiga macam induk akhlak yang muncul dari sikap adil, yaitu sikap pertengahan
atau seimbang dalam mempergunakan ketiga potensi rohaniah yang terdapat dalam
diri manusia :

1. Akal

Akal yang digunakan secara adil akan menimbulkan hikmah. Pemahaman


tersebut pada akhirnya akan membawa kepada timbulnya teori pertengahan, yaitu
bahwa sikap pertengahan sebagai pangkal timbulnya kebajikan. Pemahaman ini
sejalan pula dengan isyarat yang terdapat dalam hadits nabi yang artinya : “Sebaik-
baiknya urusan (perbuatan) adalah yang pertengahan”. (HR. Ahmad).

Sebaliknya akhlak yang buruk atau tercela pada dasarnya timbul disebabkan
oleh penggunaan dari ketiga potensi rohaniah yang tidak adil. Akal yang digunakan
secara berlebihan akan menimbulkan sikap pintar busuk atau penipu; dan akal yang
digunakan terlalu lemah akan menimbulkan sikap dungu atau ediot. Dengan
demikian akal yang digunakan secara berlebihan atau terlalu lemah merupakan
pangkal timbulnya akhlak yang tercela.

08
2. Amarah

Amarah yang digunakan secara adil akan menimbulkan sikap perwira,


demikian pula amarah yang digunakan terlalu berlebihan akan menimbulkan sikap
membabi buta atau hantam kromo, yaitu berani tanpa memperhitungkan kebaikan
dan keburukannya. Sebaliknya jika amarah digunakan terlalu lemah akan
menibulkan sikap pengecut. Dengan demikian penggunaan amarah secara
berlebihan atau berkurang sama-sama akan menimbulkan akhlak yang buruk.
Berkenaan dengan ini di dalam al-Qur’an dijumpai ayat yang menunjukkan akhlak
yang baik yang dihubungkan dengan sikap yang mampu menahan amarah.

Allah berfirman yang artinya : “(Orang-orang yang bertakwa yaitu)


“Orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun
sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema'afkan (kesalahan)
orang lain”. (QS. Ali ‘Imran : 134).

Pada ayat tersebut kemampuan menahan amarah dijadikan salah-satu sifat


orang yang bertakwa dan disebut bersamaan dengan akhlak yang terpuji lainnya,
yaitu menafkahkan sebagian hartanya, baik dalam keadaan lapang maupun dalam
keadaan sempit serta mau memaafkan kesalahan orang lain.

Penggunaan amarah secara pertengahan itu sejalan pula dengan hadits nabi
yang artinya : “Orang yang gagah perkasa itu bukanlah orang yang kuat
tenaganya, tetapi orang yang gagah itu adalah orang yang dapat menahan
amarahnya jika marah”. (HR. Ahmad).

09
3. Nafsu syahwat

Nafsu syahwat yang digunakan secara pertengahanlah yang akan


menimbulkan sikap iffah, yaitu orang yang dapat menahan syahwat dan farjinya
dari berbuat lacur. Allah Swt. berfirman yang artinya : “Sesungguhnya
beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu' dalam
sembahyangnya, dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan
perkataan) yang tiada berguna, dan orang-orang yang menunaikan zakat, dan
orang-orang yang menjaga kemaluannya”. (QS. Al-Mu’minun : 1-5).

Di dalam juga dijumpai keterangan tentang orang yang akan mendapatkan


perlindungan di hari kiamat, di antaranya adalah seorang yang diajak berbuat
serong, namun ia dapat menjaga dirinya. Teks hadits yang artinya : “Seseorang
yang diajak berbuat serong oleh seorang wanita yang mempunyai kecantikan dan
martabat, lalu ia mengatakan bahwa aku takut kepada Allah yang menguasai
sekalian alam”. (HR. Bukhari).

Demikian pula nafsu syahwat yang digunakan secara berlebihan akan


menimbulkan sikap melacur, dan jika nafsu syahwat tersebut digunakan secara
lemah akan menimbulkan sikap tercela, yaitu tidak ada semangat untuk hidup.

Dengan demikian dari sikap pertengahan dalam menggunakan akal, amarah,


dan nafsu syahwat menimbulkan sikap bijaksana, perwira, dan dapat memelihara
diri. Dan dari tiga sikap inilah menimbulkan akhlak yang mulia.

Dalam perkembangan selanjutnya teori pertengahan (adil) ini digunakan pula


untuk menjelaskan berbagai sifat Tuhan yang terkesan berlawanan. Diketahui
bahwa sifat-sifat Tuhan di samping ada yang menunjukkan kelembutan, juga ada
yang menunjukkan kekerasan. Sifat rahman (Maha Pengasih) dan sifat rahim (Maha
Penyayang) misalnya menunjukkan pada kelembutan Tuhan.

10
Namun sifat jabbar (Maha Memaksa), kohhar (Maha Mengalahkan) misalnya
menunjukkan pada kekerasan Tuhan. Sifat-sifat yang tampak saling kontradiktif ini
dapat dipertemukan melalui sikap pertengahan. Dengan demikian secara struktural
sifat-sifat Tuhan yang lainnya berada di bawah koordinasi sifat adil. Sifat jabbar
dan kohhar akan tetap positif apabila digunakan secara seimbang atau digunakan
sesuai dengan kadar dan tempatnya. Dengan demikian sifat adil atau seimbang
menjadi koordinator dari sifat-sifat lainnya.

Dalam hubungan ini orang misalnya dapat menerapkan sifat kohhar dan jabbar
pada anaknya, tetapi hal itu dilakukan dengan cukup perhitungan dan dalam
semangat kasih sayang. Demikian juga halnya Tuhan terhadap manusia.

Penerapan sifat adil (pertengahan) Tuhan dalam hubungannya dengan akhlak


lebih lanjut dapat dijumpai dalam ajaran Muktazilah. Aliran teologi ini sebagai
dijelaskan Mahmud Shubhi lebih lanjut mengatakan: “Muktazilah telah
memberikan petunjuk dengan jelas, bahwa seluruh perbuatan yang dilakukan
Tuhan terhadap makhluk-Nya adalah dalam rangka keadilan-Nya. Demikian pula
manusia berhubungan dengan Tuhan melalui pengrmbangan sikap adil yang
dilakukannya. Manusia yang berbuat adil adalah manusia yang meniru sifat Tuhan
dan selalu dengan kepada-Nya”.

Teori pertengahan sebagai dikembangkan di atas memang tidak luput pula dari
kritik. Para peneliti bidang akhlak dalam hubungan ini mengatakan bahwa teori
tengah-tengah sebagaimana dikemukakan Aristoteles dan diikuti oleh Ibnu
Miskawaih dan para filosof akhlak lainnya tidak sepenuhnya dapat diterima.
Menurut para pengritik, bahwa keutamaan tidak selalu berada pada titik tengah.
Keutamaan sebenarnya berada pada titik yang jauhnya tidak sama dari dua sisi
keburukan.

11
Para pengritik lebih lanjut memberi contoh, bahwa sikap dermawan misalnya
adalah lebih dekat kepada sikap boros dibandingkan pada sifat kikir. Demikian pula
sifat berani lebih dekat kepada sifat membabi buta dibandingkan dengan sifat
pengecut. Demikian seterusnya dengan sifat-sifat lainnya.

Teori pertengahan hanya terbatas pada akhlak yang dasarnya adalah bersumber
pada penggunaan potensi rohaniah: akal, amarah dan nafsu syahwat yang
digunakan secara pertengahan. Jika teori pertengahan yang merupakan sumber
akhlak tersebut dihubungkan dengan Al-Qur’an, tampak kata-kata adil dalam al-
Qur’an digunakan untuk berbagai peristiwa dan aktivitas kehidupan. Ini
menunjukkan bahwa teori pertengahan sebagai timbulnya akhlak yang mulia tidak
bertentangan dengan ajaran Al-Qur’an. Namun demikian untuk menunjukkan
contoh-contoh bentuk perbuatan dalam hubungannya dengan teori pertengahan, Al-
Qur’an tidak selamanya menggunakan kata adil, misalnya:

 Sikap pertengahan antara kikir dan boros misalnya, Al-Qur’an


menggunakan kata qawwama.
 Sikap pertengahan (adil) dalam hal menimbang, Al-Qur’an
menggunakan kata al-Qisth.
 Dalam hal pengaturan volume suara yang pertengahan dalam berdoa,
Al-Qur’an menempatkannya antara tadarru’,khifah dengan al-jahr.
 Untuk menggambarkan sikap pertengahan dalam mencintai atau
membenci seseorang, Al-Qur’an menggunakan kata haunamma.
 Untuk menunjukkan sikap pertengahan (adil) dalam memutuskan
perkara, Al-Qur’an menggunakan kata al-Adl.
 Menggambarkan keadaan pertengahan atau yang ideal terhadap binatan
semacam sapi, Al-Qur’an menggunakan kata awwanun.
 Menggambarkan sikap antara menyalurkan emosi dan menahannya, Al-
Qur’an menggunakan kata al-Kadzimin.

12
Sehingga dapat dikatakan bahwa dalam menggambarkan keadaan yang adil atau
pertengahan, Al-Qur’an jauh lebih lengkap, mendetail dan komprehensif
dibandingkan yang diberikan para folosof lainnya.

Allah berfirman dalam Al-quran: "Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu)


berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah
melarang perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran
kepadamu agar kamu dapat mengambil pengajaran". (QS An-Nahl{16}: 90).

Dr. Hamzah Yakub membagi keadilan-keadilan menjadi dua bagian. Adil yang
berhubungan dengan perseorangan dan adil yang berhubungan dengan
kemasyarakatan.

1. Adil perseorangan adalah tindakan memihak kepada yang mempunyai hak,


bila seseorang mengambil haknya tanpa melewati batas, atau memberikan
hak orang lain tanpa menguranginya itulah yang dinamakan tidak adil.
2. Adil dalam segi kemasyarakatan dan pemerintahan misalnya tindakan
hakim yang menghukum orang-orang jahat atau orang-orang yang
bersengketa sepanjang neraca keadilan. Jika hakim menegakan neraca
keadilanya dengan lurus dikatakanlah dia hakim yang adil dan jika dia berat
sebelah maka dipandanglah dia zalim. Pemerintah dipandang adil jika dia
mengusahakan kemakmuran rakyat secara merata, baik di kota-kota
maupun di desa-desa.

13
Allah berfirman dalam Al-Quran: "Hai orang-orang yang beriman hendaklah
kamu jadi orang-orang yang menegakan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi
dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap satu kaum,
mendorong untuk kamu berbuat tidak adil. Berlaku adillah karena adil itu lebih
dekat kepada takwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah
mengetahui apa yang kamu kerjakan". (Al-Maidah [5] : 8)

Keadilan adalah ketetapan Allah bagi kosmos atau alam raya ciptaan-Nya,
karena menurut ajaran Islam keadilan adalah prinsip yang merupakan hukum
seluruh hajat raya. Oleh karenanya melanggar keadilan adalah melanggar hukum
kosmos dan dosa ketidak adilan akan mempunyai dampak kehancuran tatanan
masyarakat manusia. (Nurcholish Majid).

14
BAB III

PENUTUP

A. Simpulan
1. Sumber akhlak adalah wahyu (al-Qur’an dan al-Hadits). Sebagai sumber
akhlak, wahyu menjelaskan bagaimana berbuat baik.
2. Akhlak secara garis besar dapat dibagi dua bagian, yaitu akhlak yang
baik (al-akhlak al karimah) dan akhlak yang buruk (al-akhlak al-
mazmumah).Secara teoritis macam-macam akhlak tersebut berinduk
kepada tiga perbuatan yang utama, yaitu hikmah (bijaksana), syaja’ah
(perwira atau ksatria), dan iffah (menjaga diri dari perbuatan dosa dan
maksiat).
Ketiga macam induk akhlak ini muncul dari sikap adil, yaitu sikap
pertengahan atau seimbang dalam mempergunakan ketiga potensi
rohaniah yang terdapat dalam diri manusia, yaitu ‘aql (pemikitan) yang
berpusat di kepala, ghadab (amarah) yang berpusat di dada, dan nafsu
syahwat (dorongan seksual) yang berpusat di perut.

15
DAFTAR PUSTAKA

Djatmika, Rachmat. 1996. Sistem Etika Islam. Jakarta: Pustaka Panji Mas

Nata, Abudin. 2012. Akhlak Tasawuf. Jakarta: Rajawali Pers.

Yasyin, Sulchan. 1997. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Surabaya: Amanah.

http://aprianiika.blogspot.com/2014/11/induk-akhlak-islami-makalah.html
http://fouriainsyekhnurjati.blogspot.com/
https://andyyjr20.blogspot.com/2017/03/makalah-sumber-akhlak.html

16

Anda mungkin juga menyukai