Anda di halaman 1dari 11

PENDALAMAN MATERI

(Lembar Kerja Resume Modul)

A. Judul Modul : AKIDAH aKHLAK


B. Kegiatan Belajar : Sumber Akhlak dan Implementasinya (KB 2)

C. Refleksi

N BUTIR
RESPON/JAWABAN
O REFLEKSI
1 Konsep
(Beberapa PETA KONSEP SUMBER AKHLAK DAN
istilah dan IMPLEMENTASINYA
definisi) di
KB si-A
T
k
w
ad
n
o
P
h
S
le
pg
b
ImK
rQ
tyu
G

KONSEP DASAR DAN PENGERTIAN


AKHLAKUL KARIMAH
a. Menurut bahasa kata Akhlak dalam bahasa Arab merupakan jama’
dari ‫( خلق‬khuluqun) yang berarti budi pekerti, perangai, tingkah
laku, sopan santun atau tabiat. Kata tersebut mengandung segi
persesuaian dengan perkataan ‫( خلق‬khalqun) berarti kejadian, yang
juga erat hubungannya dengan ‫( خالق‬khalik) yang berarti pencipta,
demikian pula ‫( مخلوق‬makhluqun) yang berarti yang diciptakan.
Perumusan pengertian akhlak timbul sebagai media yang
memungkinkan adanya hubungan baik antara khalik dengan
makhluk (Mushtofa, Akhlak Tasawuf, 2008: 11)
b. Akhlak adalah kondisi jiwa yang mendorong tindakan-tindakan
tanpa perlu berpikir dan pertimbangan lagi” (Ibn Miskawaih,
Thadzib al-Akhlaq, 1985; 25)
c. Akhlak ialah gambaran keadaan jiwa berupa sifat-sifat yang sudah
mendarah daging yang mendorong dilakukannya perbuatan-
perbuatan dengan mudah tanpa berfikir panjang” (Al-Ghazali, Ihya
Ulum ad- Din/Rubuu’ al-Muhlikat, 2005; 890)
d. akhlak adalah kehendak yang dibiasakan, bukan perbuatan yang
tidak ada kehendaknya. Seperti bernafas, denyut jantung, kedipan
mata dan lain-lain (Ahmad Amin, Kitab al- Akhlaq, 2012; 10)
e. Karimah berasal dari akar kata yang serupa dengan Karomah, dari
bahasa arab ‫ ك@@رم‬berarti kemuliaan, keluhuran, dan anugerah.
Pengertian karimah menurut kamus besar bahasa Indonesia
memiliki arti baik, dan terpuji. Dengan demikian pengertian
Akhlak al-Karimah adalah “Kemuliaan dan kebaikan yang
dilakukan secara sadar karena dorongan jiwa yang sudah terbiasa
tanpa harus dipertimbangkan”. Akhlak al-Karimah ini juga biasa
dikenal dengan Akhlak Mahmudah.
f. Dalil akhlakul karimah : untuk meyakini hati bahwa Akhlak al-
Karimah adalah sesuatu yang penting, perlu merujuk pada dalil
yang berkaitan. Salah satu tugas Rasulullah diutus ke dunia
adalah untuk memperbaiki akhlak dan mengajarkan akhlak yang
baik kepada seluruh manusia. Hal ini tertuang dalam hadis yang
diriwayatkan Imam Ahmad, dan (Q.S. al-Ahzab [33]: 21)

Ciri-ciri dan Contoh Akhlak al-Karimah


Ditinjau dari objeknya, penerapan akhlak berwujud sebagai
pengaturan sebuah hubungan. Dalam mengatur hubungan ini,
akhlak dibagi menjadi beberapa hubungan :
-Akhlak Manusia terhadap Dirinya
Akhlak ini mendorong seriap individu memelihara dirinya secara
fitrah, memenuhi hak, dan menjaga dari perbuatan dosa.
Seseorang yang membuat dirinya sendiri menderita apalagi
sampai bunuh diri adalah perbuatan dosa besar.
- Akhlak Manusia terhadap Allah
Sebagai makhluk, menghamba kepada pencipta adalah fitrah
yang pasti akan dilakukan. Beribadah kepada Allah adalah wujud
penghambaan dan akhlak kepada Allah.
- Akhlak Manusia terhadap Sesama Manusia
Sebagai makhluk sosial yang satu sama lain saling bergantung,
maka menjaga hati dan perasaan orang lain adalah bagian dari
akhlak terhadap sesama. Saling tolong-menolong dan berbagi
dalam kebaikan juga hal yang penting dilakukan.

- Akhlak Manusia terhadap Makhluk Lain


Hubungan dengan makhluk lain yang Allah ciptakan diatur
sedemikian rupa agar saling memberikan kebaikan. Makhluk lain
yang dimaksud bisa hewan, tumbuhan, alam, bahkan makhluk tak
terindra seperti malaikat dan jin perlu menggunakan akhlak al-
Karimah.

Hikmah mempelajari akhlakul karimah


Di antara hikmahnya adalah seluruh manusia bisa belajar bahwa
hubungan baik perlu dibangun dan dijalin dengan kemuliaan agar
tercipta suasana masyarakat yang tentram dan saling menghargai.
Pelajaran penting ini bisa sebagai bahan memuliakan diri sendiri,
Allah, sesama manusia dan makhluk lain. Serta sebagai bahan
mengajak orang lain berakhlak yang mulia.
Quwwah al-Ilmi (Potensi Berpikir)
Ibnu Miskawaih menjelaskan bahwa di dalam jiwa seseorang itu
terdapat tiga kekuatan (al-quwwah) yang sangat penting dalam
membentuk akhlak manusia. Sementara Imam Al-Ghazali
menyebutkan sebagai Ummahat al-Akhlaq wa Ushuluha dengan
ditambahkan satu kekuatan (al-quwwah) sehingga genap menjadi
empat kekuatan (al-quwwah) (Al-Ghazali, Ihya Ulum ad-
Din/Rubuu’ al-Muhlikat, 2005; 936). Keempat kekuatan tersebut
adalah Quwwah al-Ilmi, Quwwah al-Ghadhab, Quwwah asy-
Syahwah, dan Quwwah al-‘Adl.
Pengertian Quwwah al-Ilmi
Quwwah al-Ilmi adalah kekuatan yang berasal dari akal. Dengan
akal inilah manusia dapat dengan mudah membedakan mana
yang jujur dan mana yang bohong dalam berbicara, mana yang
benar dan mana yang salah dalam mengambil keputusan, mana
yang baik dan mana yang buruk dalam bertindak. Kekuatan inilah
yang menjadi pembeda manusia dengan binatang. Dengan akal
manusia dapat mencipta dan mengembangakan budaya sehingga
terus berkembang ke arah yang lebih baik dan lebih maju dari
sebelumnya. Buahnya adalah hikmah, yakni pemahaman yang
mendalam tentang segala sesuatu sesuai dengan syariat Allah
Swt.
Dalil Quwwah al-Ilmi
Quwwah al-Ilmi ini memiliki buah berupa hikmah sebagaimana
dijelaskan dalam Al-Qur’an surah al-Baqarah [2] ayat 269: “Dia
berikan hikmah kepada yang Dia kehendaki dan Siapa yang
diberikan al-hikmah maka sesungguhnya dia telah diberikan
kebaikan yang sangat banyak. Dan hanya orang-orang memiliki
akal fikiranlah yang mampu memahaminya”. (Q.S. al-Baqarah
[2]: 269)
Al-Maraghi menjelaskan bahwa yang dimaksud hikmah adalah
ilmu yang bermanfaat, yakni ilmu yang dapat mempengaruhi
jiwa pemiliknya dan membimbing kehendaknya untuk
mendorong melakukan tindakan-tindakan yang dapat membawa
manfaat dan kebahagiaan dunia akhirat (Al-Maraghi Jilid III, h.
40)
Turunan Quwwah al-Ilmi
Hikmah sebagai konsep itu mencakup empat turunan, yakni:
husnu at- tadbir (baik pemikirannya), judat adz-dzihn (jernih
pemikirannya), tsiqabah ar-ra’yi (tajam pemikirannya) dan shawab
azh-zhann (tepat pemikirannya) (Al-Ghazali, Mizan al-‘Amal,
1964; h. 284)
a. Husnu at-Tadbir
Seseorang yang memiliki hikmah akan menjadi husnu at-tadbir
yakni cerdas dan lurus jalan pikirannya dalam meng-istimbat-kan
(mengambil kesimpulan). Ia akan bisa mengambil yang terbaik, dan
paling bermanfaat dalam berbagai urusan, sesulit apapun dan
segawat apapun
b. Jaudat adz-Dzihn
Seseorang yang memiliki hikmah akan menjadi jaudat adz-dzihn,
yakni memiliki kemampuan untuk dapat berpikir memperoleh
kebijaksanaan ketika dihadapkan pada pendapat yang mirip-mirip
dan mengandung pertentangan-pertentangan dalam implementasi
c. Tsiqabah ar-Ra’yi
Seseorang yang memiliki hikmah akan menjadi tsiqabah ar-ra’yi,
yakni mempunyai kecepatan kemampuan dalam menghubungkan
data-data yang dimilikinya dengan sebab akibat yang
mengasilkan kemaslahatan dalam kehidupan masyarakat.
d. Shawab azh-Zhann
Seseorang yang memiliki hikmah akan menjadi shawab azh-
zhann, yakni ia akan mendapatkan taufiq dari Allah Swt. dengan
kesesuaian antara dugaan yang terdapat dalam alam pikirannya,
dengan kebenaran hakiki tanpa harus lama-lama memikirkannya.
Kebalikan dari Quwwah al-Ilmi adalah lemahnya ilmu atau
kebodohan, terbagi dalam dua konsep, yaitu radzilah al-khibb dan
radzilah al-balah. Radzilah al-khabb terdiri dari ad-dahaa (tertipu)
dan al-jarbazah (lemah berpikir). Logikanya kurang sehat atau
kurang lurus sehingga ketika mengambil kesimpulan sering kali
tidak benar, apa yang dikatakannya baik ternyata buruk atau
sebaliknya.
Hikmah mempelajarinya
Di antara hikmahnya adalah banyak orang beriman yang
bijaksana dan menentramkan, ini juga membuat kehidupan
menjadi saling memberi kebaikan. Pelajaran penting ini bisa
sebagai bahan memuliakan diri sendiri, Allah, sesama manusia
dan makhluk lain. Serta sebagai bahan mengajak orang lain
mempelajari sumber terbentuknya akhlak, yaitu Quwwah al-Ilmi.
Quwwah al-Ghadhab (Potensi Marah)
a. Quwwah al-Ghadhab merupakan dorongan manusia untuk menolak
yang tidak disenangi dan mendapatkan kenikmatan yang bersifat
abstrak dan batin. Dimana ia bisa menghasilkan sifat utama yang
dapat menjadi sumber akhlak yang mulia serta menumbuhkan
kebaikan-kebaikan yakni sifat saja’ah (keberanian) (Al- Ghazali,
Ihya Ulum ad-Din/Rubuu’ al-Muhlikat, 2005; 936).
b. Quwwah al-Ghadhab, juga dapat mendorong perbuatan yang
buruk bagi seseorang. Yakni at-Tahawwur dan al-Jubn. Dengan
adanya dorongan manusia dari dalam dirinya untuk mendapatkan
kenikmatan yang bersifat abstrak dan batin berupa kemuliaan atau
kekuasaan, manusia bisa Tahawwur (nekad) yakni berani
melakukan tindakan yang bukan pada tempatnya (Sultoni
Dalimunthe, Filsafat Pendidikan Akhlak, h. 149). Misalnya
berani maju ikut tawuran, padahal belum mengetahui mana yang
benar dan mana yang salah dan resikonya bisa mati konyol. Juga
karena di dalam diri manusia ada dorongan ingin tetap
mendapatkan kenikmatan yang bersifat abstrak dan batin berupa
kemuliaan atau kekuasaan, maka ia bisa bersifat Jubn (pengecut),
sifat takut yang berlebihan dalam mempertahankan diri dari
berbagai masalah kehidupan
Turunan Quwwah al-Ghadhab
Syaja’ah menurut al-Ghazali dalam kitab Mizan al-Amal meliputi
banyak sifat turunannya, di antaranya adalah:
a. Al-Karam (kebaikan budi), yaitu berani mengambil sikap
moderat untuk mengambil atau menerima keputusan penting
dalam berbagai masalah yang menyangkut kemaslahatan besar
dan urusan-urusan mulia.
b. An-Najdah (membantu, menolong), yaitu berani dalam
membantu atau menolong siapapun, apalagi menolong hal yang
benar, baginya merupakan jihad. Bukan penekad juga bukan
penakut, apabila sudah menyakini sebuah kebenaran maka harus
berani maju, meskipun harus mempertaruhkan jiwa demi
kemuliaan abadi.
c. Kibr an-Nafs (berjiwa besar), bukan sombong juga bukan rendah
diri (mider). Ia berani menjadikan dirinya sebagai ahli dalam hal
kemuliaan dengan penuh kerendahan hati dan menghindari
perdebatan pada urusan- urusan yang sedikit manfaatnya. Ia
sangat menghormati ulama.
d. Al-Ihtimal (ketahanan dalam bekerja), berani bertanggung jawab
menahan diri dalam menjalankan tugas, meski dirasa sangat
berat.
e. Al-Hilm (santun), ia dapat menahan emosi yang biasanya
meledak-ledak, tidak terpancing dalam keadaan apapun dan
marah. Sikapnya tetap santun dalam menghadapi semua orang,
ia sudah dapat lepas dari sikap buruk dalam menghadapi orang
lain atas gejolak jiwa, suka dan tidak suka.
f. Al-Wiqar (tenang), menahan diri dari berbicara secara berlebihan,
kesia- siaan, banyak menunjuk dan bergerak dalam perkara yang
tidak membutuhkan gerakan. Mengurangi amarah, tidak banyak
bertanya, menahan diri dari menjawab yang tidak perlu, menjaga
diri dari ketergesaan dalam beramal, dan bersegera dalam seluruh
perkara kebaikan.

Dalil Quwwah al-Ghadhab


Quwwah al-Ghadhab yang diturunkan dalam bentuk saja’ah akan
membentuk jiwa seseorang menjadi berani dan kuat, tentu ini
akan membuatnya tidak lemah dan tidak mudah bersedih. Hal ini
adalah yang seharusnya dimiliki seorang muslim sebagaimana
surah Ali Imran [3] ayat 139 sebagai berikut Dan janganlah kamu
(merasa) lemah, dan jangan (pula) bersedih hati, sebab kamu paling
tinggi (derajatnya), jika kamu orang beriman. (Q.S. Ali Imran [3]:
139)

Hikmah Mempelajari Quwwah al-Ghadhab


Di antara hikmahnya adalah Islam bisa sampai pada kita melalui
keberanian umat Islam terdahulu mendakwahkan Agama Islam.
Pelajaran penting ini bisa sebagai bahan memuliakan diri sendiri,
Allah, sesama manusia dan makhluk lain. Serta sebagai bahan
mengajak orang lain mempelajari sumber terbentuknya akhlak,
yaitu Quwwah al-Ghadhab
Quwwah asy-Syahwah (Potensi Syahwat)
- Al-Quwwah asy-Syahwah yaitu kekuatan yang ada dalam diri
manusia yang mendorong perbuatan-perbuatan untuk
memperoleh kenikmatan-kenikmatan yang bersifat zhahir, yang
diinspirasi oleh panca indranya seperti: mencari makanan dan
minuman, mencintai lawan jenis dan lain-lainnya. Dengan
kekuatan ini manusia menjadi lebih bergairah dalam
melaksanakan tugas-tugas kehidupan. Quwwah asy-Syahwah
yang baik disebut al-iffah.
-Seorang dikatakan sebagai orang yang ‘affih apabila yang mampu
menahan diri dari perkara-perkara yang diharamkan oleh Allah
Swt. Dengan demikian seorang yang 'afif adalah orang yang
bersabar yakni taat mutlak kepada Allah Swt. baik dalam
menjalankan perintah-perintah-Nya, maupun meninggalkan
lawangan-Nya walaupun jiwanya (syahwatnya) sangat
menginginkan untuk melanggarnya.
Dari sifat 'iffah inilah akan lahir sifat-sifat mulia. Diantara sifat-
sifat terpuji turunan dari sifat 'Iffah adalah sebagai berikut:
1. ‫ الحياء‬/haya’, adalah sifat malu untuk meninggalkan perbuatan yang
diperintahkan oleh Allah Swt. dan sebaliknya malu melakukan
perbuatan yang dilarang oleh-Nya. Apabila jiwa manusia semua
sudah memiliki sifat malu seperti ini, niscaya tidak ada lagi tindak
kejahatan dimuka bumi ini. Sehingga bumi akan aman, tentram dan
damai. Karena malu akan menjadi benteng terakhir bagi diri
seseorang dalam melakukan kemaksiatan
2. ‫القناعة‬/qana'ah, adalah sifat menerima atau merasa cukup atas
karunia Allah Saw., sekaligus menjauhkan diri dari sifat tidak
puas dan merasa kekurangan yang berlebih-lebihan. Qanaah
muncul dalam kehidupan seseorang berupa sikap rela menerima
keputusan Allah Swt. yang berlaku bagi dirinya. Bagi siapa yang
dapat menjadikan dirinya qana'ah, maka ia akan dijamin akan
mendapatkan hakikat dunia, menjadi orang yang beruntung,
mudah bersyukur, terhindar dari sifat hasud dan terhindar dari
problema kehidupan dunia.
3. ‫السخاء‬/sakha’, yaitu sifat dermawan senanga memberikan harta
dalam kondisi memang wajib memberi, sesuai kepantasannya
dengan tanpa mengharap imbalan dari yang diberi dalam bentuk
apapun seperti pujian, balasan, kedudukan, ataupun sekedar
ucapan terima kasih (QS. Al-Insan/76:9). Jadi seseorang disebut
dermawan jika dapat memberi secara tulus ikhlas. Orang yang
memberi karenan ingin balasan dari pihak yang diberi bukanlah
dermawan tapi disebut berdagang. Sebab ia seolah-olah membeli
balasan berupa pujian, kedudukan, ucapan terima kasih dan
lainnya dengan hartanya.
4. ‫الورع‬/wara’, yaitu meninggalkan hal-hal yang syubhat karena
khawatir membahayakan nasibnya di akhirat kurang baik.
Meninggalkan yang syubhat, yakni sesuatu yang hukumnya belum
jelas halal atau haram yang berlaku dalam semua aktivitas manusia,
baik yang berupa benda maupun perilaku. Dan lebih dari itu
meninggalkan segala hal yang kurang atau tidak bermanfaat
Quwwah al-‘Adalah
Menurut al-Ghazali, terbentuknya akhlak yang mulia pada diri
seseorang diperlukan lagi satu kekuatan, yaitu Al-Quwwah
al-‘Adalah, sebuah kekuatan penyeimbang dari ketiga kekuatan jiwa
sebelumnya (Al-Ghazali, Ihya Ulum ad- Din/Rubuu’ al-Muhlikat,
2005; 935). Tiga kekutan jiwa manusia yang menjadi dorongan
tingkah lakunya akan menjadi baik kalau bersinergi secara adil
(keseimbang). Singkatnya siapa yang dapat memposisikan diri di
tengah dengan lurus (‘itidal) dalam empat dasar akhlak di atas,
maka akhlaknya akan menjadi baik semuanya. Keempat akhlak ini,
yakni hikmah, syaja’ah, ‘iffah dan adl adalah sumber pokok
keutamaan dan akhlak yang lainnya adalah berupa cabang-
cabangnya.
Iman sebagai Pondasi Amal Saleh dan Implementasinya
Pengertian Amal Saleh
Menurut bahasa “Amal Saleh”, berarti perbutan yang baik,
bermanfaat, selamat, atau cocok. Sedang menurut istilah terdapat
beberapa definisi. Menurut Zamahsyari’ amal saleh diartikan
sebagai semua perbuatan yang sesuai dengan ajaran Al-Qur’an
dan Sunnah Nabi saw. Amal saleh juga disefinisikan sebagi
perbuatan baik yang dilakukan seseorang karena Allah Swt.
dengan tujuan untuk mendapatkan rahmat dan rida-Nya, baik
menjalankan perintah maupun menjalankan perintah maupun
menjauhi larangan-Nya. sesuai dengan aturan- aturan ajaran
Islam.
Sabar dalam Beramal Saleh
- sebagai bagian dari amal saleh adalah sabar. Melaksanakan amal
saleh perlu dilakukan dengan sabar agar amal amal yang
dilakukan dapat bernilai.
- Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia sabar berarti tahan
menghadapi cobaan, tidak lekas marah, putus asa atau patah hati.
Sebenarnya kata sabar berasal dari bahasa Arab, yaitu sabara-
yashbiru-shabran yang artinya menahan. Kata lainnya adalah
alhabs yang artinya menahan atau memenjarakan. Maksudnya
adalah menahan hatinya dari keinginan atau nafsunya. Kata sabar
dengan aneka ragam derivasinya memiliki makna yang beragam
antara lain: sabara bih yang berarti “menjamin”. Shabîr yang berarti
“pemuka masyarakat yang melindungi kaumnya”. Dari akar kata
tersebut terbentuk pula kata yang berarti “gunung yang tegar dan
kokoh”, “awan yang berada di atas awan lainnya sehingga
melindungi apa yang terdapat di bawahnya”, “batu-batu yang
kokoh”, “tanah yang gersang”, “sesuatu yang pahit atau menjadi
pahit”.
- Sedangkan menurut istilah sabar didefinisikan oleh para ulama,
antara lain: a) Sabar adalah sikap tegar dalam menghadapai
ketentuan dari Allah. Orang yang sabar menerima segala musibah
dari Allah dengan lapang dada; b) Sabar adalah keteguhan hati
yang mendorong akal pikiran dan agama dalam menghadapi
dorongan-dorongan nafsu syahwat; c). Sabar adalah tabah hati
tanpa mengeluh dalam menghadapi godaan dan rintangan dalam
jangka waktu tertentu, dalam rangka mencapai tujuan.

Syukur atas Nikmat Allah


- Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), syukur diartikan
sebagai: a) rasa terima kasih kepada Allah, dan b) untunglah
(menyatakan lega, senang dan sebagainya). Sebenarnya kata
syukur berasal dari bahasa Arab yakni dalam bentuk mashdar
dari kata kerja syakara–yasykuru– syukran–wa syukuran–wa
syukranan. Secara bahasa berarti pujian atas kebaikan dan penuhnya
sesuatu. Syukur juga berarti menampakkan sesuatu ke
permukaan. Dalam hal ini menampakkan sesuatu ke permukaan,
yakni menampakkan nikmat Allah.
- menurut istilah syukur adalah pengakuan terhadap nikmat yang
dikaruniakan Allah yang disertai dengan kedudukan kepada-Nya
dan mempergunakan nikmat tersebut sesuai dengan tuntunan dan
kehendak-Nya. Dalam hal ini, hakikat syukur adalah
“menampakkan nikmat,” dan sebaliknya hakikat kekufuran
adalah menyembunyikannya.
- Kaitannya dengan amal saleh, syukur itu menjadi landasan tauhid
seseorang ketika diberikan fasilitas yang enak dalam menjalankan
tugasnya sebagai seorang hamba di dunia ini. Dengan kata lain
dalam beramal ketika fasilitasnya terbatas maka harus sabar,
sementara kalau fasilitasnya cukup apalagi berlimpah maka harus
bersyukur. Dalam perspektif amal saleh keduanya (sabar dan
syukur) kedudukannya sama menjadi cara atau ukuran bagi orang
yang beriman apakah tindakannya akan menjadi amal ibadah atau
bukan.
Rida atas Ketetapan Allah
- Menurut bahasa kata ‫( الرضا‬rida) berasal dari bahasa Arab yang berarti
senang, suka, rela. Ia merupakan lawan dari kata ‫( الس@خط‬al-sukht)
yang berarti kemarahan, kemurkaan, rasa tidak suka. Orang yang
‫( الرضا‬rida) berarti orang yang sanggup melepaskan
ketidaksenangan dari dalam hati, sehingga yang tinggal di dalam
hatinya hanyalah kesenangan.
-Menurut istilah para ulama rida didefinisikan antara lain oleh: a)
Dzunnun Al-Miṣri, beliau mengatakan bahwa rida ialah
kegembiraan hati dalam menghadapi qadha tuhan; b) Ibnu
Ujaibah mengatakan bahwa rida adalah menerima kehancuran
dengan wajah tersenyum, atau bahagianya hati ketika ketetapan
terjadi, atau tidak memilih-milih apa yang telah diatur dan
ditetapkan oleh Allah, atau lapang dada dan tidak mengingkari
apa-apa yang datang dari Allah; c) Al-Barkawi berpendapat
bahwa rida adalah jiwa yang bersih terhadap apa-apa yang
menimpanya dan apa-apa yang hilang, tanpa perubahan; d) Ibnu
Aṭaillah as-Sakandari berkata, “rida adalah pandangan hati
terhadap pilihan Allah yang kekal untuk hamba-Nya, yaitu,
menjauhkan diri dari kemarahan.
Tawakkal
- Menurut bahasa kata tawakkal diambil dari Bahasa Arab tawakkul)
dari akar kata (wakala) yang berarti lemah. Adapun (tawakkul)
berarti menyerahkan atau mewakilkan. Seperti seseorang
mewakilkan urusan kepada orang lain atau menggantikannya.
- Secara istilah tawakal telah didefinisikan oleh ulama, antara lain
Imam al- Ghazali. Beliau menyebutkan dalam kitab Ihya’
Ulumuddin pada bab at-Tauhid wa at-Tawakkal, bahwa tawakal
itu adalah hakikat tauhid yang merupakan dasar dari keimanan,
dan seluruh bagian dari keimanan tidak akan terbentuk
melainkan dengan ilmu, keadaan, dan perbuatan.
- Begitu Pula dengan sikap tawakal, ia terdiri dari suatu ilmu yang
merupakan dasar, dan perbuatan yang merupakan buah (hasil),
serta keadaan yang merupakan maksud dari tawakal. Tawakal
adalah menyerahkan diri kepada Allah tatkala menghadapi suatu
kepentingan, bersandar kepada-Nya dalam kesulitan di luar batas
kemampuan manusia. Berikutnya Ibnu Qayyim al-Jauziyyah,
dalam kitabnya Madarij as-Salikin menjelaskan bahwa tawakal
merupakan amalan dan penghambaan hati dengan menyandarkan
segala sesuatunya hanya kepada Allah Swt. semata, percaya
terhadap-Nya, berlindung hanya kepada-Nya dan rida atas
sesuatu yang menimpa dirinya, berdasarkan keyakinan bahwa
Allah akan memberikan segala ‘kecukupan’ bagi dirinya, dengan
tetap berikhtiar semaksimal mungkin untuk dapat
memperolehnya.

Ciri-ciri Tawakal
-Tawakal bukan berarti tinggal diam, tanpa kerja dan usaha, bukan
menyerahkan semata-mata kepada keadaan dan nasib dengan
tegak berpangku tangan duduk memekuk lutut, menanti apa-apa
yang akan terjadi.
-Memohon pertolongan dan Bertawakal tidaklah berarti
meninggalkan upaya, bertawakal mengharuskan seseorang
meyakini bahwa Allah yang mewujudkan segala sesuatu,
sebagaimana ia harus menjadikan kehendak dan tindakannya
sejalan dengan kehendak dan ketentuan Allah Swt.
-Seorang muslim dituntut untuk berusaha tetapi di saat yang sama ia
dituntut pula berserah diri kepada Allah Swt., ia dituntut
melaksanakan kewajibannya, kemudian menanti hasilnya
sebagaimana kehendak dan ketentuan Allah.
Hikmah Mempelajari Tawakal
Di antara hikmah adanya tawakal ini adalah orang beriman akan
lebih ringan dalam menjalankan aktivitas kehidupan, karena sudah
meyakini bahwa hasilnya adalah segala kebaikan dari Allah. Sebagai
pendidik perlu menjadikan materi ini sebagai modal, baik untuk diri
sendiri maupun untuk peserta didik.
Dalam konsep Quwwah al-Ghadhab dijelaskan bahwa quwwah al
godob dapat mendorong manusia untuk menolak yang tidak
disenangi dan mendapatkan kenikmatan yang bersifat abstrak dan
batin, Dimana ia bisa menghasilkan sifat utama yang dapat
Daftar materi
menjadi sumber akhlak yang mulia serta menumbuhkan kebaikan-
pada KB
2 kebaikan yakni sifat saja’ah. namun disisi lain Quwwah al-
yang sulit
Ghadhab juga dapat mendorong perbuatan yang buruk bagi
dipahami
seseorang. Yakni at-Tahawwur dan al-Jubn. Perlu penjelasan
lebih lanjut agar Quwwah al-Ghadhab hanya dapat dimaksimalkan
mampu menghasilkan perbuatan yang baik saja yakni saja’ah dan
meminimalisir hadirnya Tahawwur dan al-Jubn

Daftar materi Sesuai yang disampaikan oleh al-Ghazali,yang menyatakan bahwa


yang sering terbentuknya akhlak yang mulia pada diri seseorang diperlukan lagi
mengalami satu kekuatan, yaitu Al-Quwwah al-‘Adalah, sebuah kekuatan
3
miskonsepsi penyeimbang dari ketiga kekuatan jiwa sebelumnya. Dalam hal ini
dalam perlu dijelaskan secara mendalam gambaran keseimbangan dari peran
pembelajaran quwwatul adalah seperti apa agar tidak terjadi miskonsepsi

Anda mungkin juga menyukai