“khuluqun” (ق
ٌ ُ) ُخل. Menurut bahasa, ُخلُ ٌقdiartikan sebagai budi pekerti, perangai,
tingkah laku atau tabi’at.1
Kalimat tersebut mengandung segi-segi persesuaian dengan perkataan
“khalqun” yang mempunyai arti kejadian, penciptaan, yang sudah pasti tidak
terpisahkan dengan “khaliq” yang berarti Pencipta, dan “makhluq” yang berarti
‘yang diciptakan’.
Perumusan pengertian akhlak seperti diatas timbul sebagai media yang
sangat memungkinkan adanya keterkaitan erat antara khaliq dan makhluq, juga
hubungan antara makhluq dan makhluq. Hal ini tergambar dalam al-Qur’an,
yakni:
1
Ahmad Mustafa, Akhlak Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 1999). h. 11. Selanjutnya
ditulis Ahmad Mustafa, Akhlak Tasawuf......
2
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang: CV.
Toha Putra, 1989). h. 960. Selanjutnya ditulis Al-Qur’an dan Terjemahnya......
3
Al-Qur’an dan Terjemahnya. h. 109.
21
22
4
Asep Saepudin, “Faktor penyebab rendahnya disiplin siswa dalam program pembiasaan
shalat berjamaah dan hubungannya dengan pembinaan akhlak mulia”, Tesis Magister, (Cirebon:
Program Pascasarjana Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syekh Nurjati, 2012). Selanjutnya
ditulis Asep Saepudin, Tesis..........
5
Daradjat Zakiah, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1992).
23
6
Abdullah bin Qasim al-Wasily, 20 Prinsip Halal al-Bana, (Solo: Intermedia, 2001).
7
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Raja Grafindo, 2000).
24
8
Hambali, “Kajian Tematik Tentang Pendidikan Akhlak Dalam Perspektif al-Qur’an”,
Tesis Magister, (Cirebon: Program Pascasarjana Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN),
2009). Hal. 47. Selanjutnya ditulis Hambali, Tesis.......
9
Hambali, Tesis. h. 48.
25
kebaikan pada seseorang, terlebih lagi terhadap seorang anak. Hal ini
disebabkan bahwa naluriyah manusia cenderung melihat apa yang dilakukan,
bukan mendengar apa yang dikatakan.
b. Metode Pembiasaan
Pembiasaan merupakan suatu proses melakukan sesuatu yang
sengaja dilakukan secara terus menerus, atau bisa dikatakan bahwa
pembiasaan adalah proses penanaman kebiasaan. Sedangkan kebiasaan
adalah cara-cara bertindak yang secara refleks dan hampir tidak didasari
kesadaran dalam melakukannya.
Pembiasaan tersebut dapat dilakukan untuk membiasakan seseorang
melakukan hal yang jarang dilakukan. Pembiasaan juga bertujuan untuk
mempermudah seseorang melakukan sesuatu. Karena seseorang yang sudah
memiliki kebiasaan tertentu akan melakukannya dengan mudah dan dengan
senang hati. Bahkan sesuatu yang sudah dibiasakan sampai menjadi
kebiasaan dalam usia muda, hal tersebut akan sangat melekat dan sulit untuk
dihilangkan sampai usia tua.
Itulah alasan mengapa metode ini dirasa cocok untuk dipakai dalam
rangka penanaman nilai-nilai akhlak kepada seorang anak.
c. Metode Memberi Nasihat
Menurut Abdurrahman al-Nahlawi, nasihat adalah penjelasan
kebenaran dan kemaslahatan dengan tujuan menghindarkan orang yang
dinasihati dari bahaya serta menunjukkannya ke jalan yang mendatangkan
kebahagiaan dan manfaat.
Dengan metode ini, penanaman nilai-nilai akhlak dilakukan dengan
cara memberikan penjelasan mengenai pentingnya memiliki akhlak terpuji
serta manfaatnya, ataupun memberikan pemahaman tentang bahaya dari
akhlak-akhlak yang buruk. Penjelasan yang dimaksud bisa berupa sebuah kisa
di masa lampau sehingga seseorang bisa mengambil intisari dari kisah
tersebut.
d. Metode Persuasi
26
C. Macam-macam Akhlak
Akhlak berkaitan erat dengan sikap. Akhlak pun harus dapat
menempatkan diri dengan melihat objek yang akan dihadapinya. Ketika berada
dalam suatu kelompok masyarakat, maka peranan akhlak adalah mencerminkan
sikap bagaimana seharusnya berinteraksi dengan baik sehingga tercipta
keharmonisan.
Akhlak merupakan sebuah konsep yang tentu tak bisa terlepas dari nilai,
yang mana akhlak pun memiliki dualisme baik-buruk. Dalam konsep Islam,
dualisme tersebut sering kita kenal dengan adanya akhlak terpuji/mulia (akhlak
mahmudah) dan akhlak tercela (akhlak madzmumah).
a. Akhlak Terpuji
Akhlak terpuji merupakan terjemahan dari ungkapan bahasa Arab,
akhlak mahmudah. mahmudah merupakan bentuk maf’ul dari kata hamida
yang berarti “dipuji”. Akhlak terpuji disebut pula dengan akhlak al-karimah
(akhlak mulia), atau makarim al-akhlak (akhlaq mulia), atau akhlak al-
munjiyat (akhlak yang menyelamatkan pelakunya).10
10
Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2010). h. 87. Selanjutnya
ditulis Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf.........
27
14
Muhammad Hamzah, Skripsi. h. 35.
29
ِ س والثَّم ر
ات َوبَ ِّش ِر ِ ِ ٍ وع و َن ْق ِ ٍِ ِ
َ َ َ ِ اَأْلم َوال َواَأْلْن ُف
ْ ص م َن َ ِ َُولَنَْبلُ َونَّ ُك ْم ب َش ْيء م َن اخْلَ ْوف َواجْل
ِ َّ
َ الصاب ِر
ين
Terjemah : “dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan
sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. dan
berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.”(Q.S. al-Baqarah
(3): 155).15
Syukur merupakan sikap seseorang untuk tidak menggunakan
nikmat yang diberikan oleh Allah SWT dalam melakukan maksiat
kepada-Nya. Bentuk syukur terhadap nikmat Allah SWT adalah dengan
jalan mempergunakan nikmat tersebut dengan sebaik-baiknya. Apabila
kita sudah mensyukuri nikmat yang telah diberikan oleh Allah SWT
berarti kita telah berskukur kepada-Nya sebagai pencipta. Semakin
banyak kita bersyukur, maka semakin banyak pula nikmat yang akan
kita terima;
ْ ول َوخَتُونُوا ََأمانَاتِ ُك ْم َوَأْنتُم َت ْعلَ ُمو َن َّ ين َآمنُوا اَل خَتُونُوا اللَّهَ َو ِ َّ
َ الر ُس َ يَا َأيُّ َها الذ
15
Al-Qur’an dan Terjemahnya. h. 39.
16
Al-Qur’an dan Terjemahnya. h. 380.
31
17
Al-Qur’an dan Terjemahnya. h. 264.
32
b. Akhlak Tercela
Akhlak tercela berarti tingkah laku yang tercela atau akhlak yang
jahat (qabihah) yang menurut istilah al-Ghazali disebut ”muhlikat”, artinya
segala sesuatu yang membinasakan atau mencelakakan.19
Akhlak tercela merupakan lawan dari akhlak terpuji. Jika sikap yang
dicerminkan sesuai dengan perintah Allah dan Rasul-Nya maka tentu akan
melahirkan Akhlak yang terpuji. Sedangkan ketika perbuatan yang dilakukan
malah sesuai dengan larangan yang Allah pesankan lewat al-Qur’an, maka
18
M. Abdul Quesem, Etika al-Ghazali, (Bandung: Pustaka Setia, 1998). h. 99.
19
Hamzah Yaqub, Etika Islam, (Bandung: Diponegoro, 1996). h. 95.
33
lakunya. Dengan kata lain, etika di sini diartikan sebagai sistem nilai
yang dianut oleh sekelompok masyarakat dan sangat mempengaruhi
tingkah lakunya. Oleh karena itu, etika selalu membicarakan hal-hal ideal,
bagaimana seharusnya sesuatu itu dilakukan dengan cara yang ideal.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), etika dijelaskan
dengan membedakan tiga arti, yakni: (1) ilmu tentang apa yang baik dan buruk
dan tentang hak-kewajiban moral (Akhlak), (2) kumpulan asas atau nilai yang
berkenaan dengan Akhlak, (3) nilai mengenai benar dan salah yang dianut
suatu golongan atau masyarakat.22
Etika dalam Islam merupakan buah dari keimanan, keislaman, dan
ketakwaan yang didasarkan pada keyakinan yang kuat atas kebenaran Allah
SWT. Dengan kata lain, Islam memandang etika sebagai ekspresi dari kuatnya
keyakinan seorang muslim terhadap kebesaran Allah sehingga ia senantiasa
merasa tidak bisa luput dari pengawasan-Nya. Alhasil ia pun tidak berani
melakukan hal-hal yang dilarang dan berusaha memperlihatkan perilaku yang
terpuji.
b. Moral
Secara etimologis, kata moral berasal dari kata mos dalam
bahasa Latin, bentuk jamaknya mores yang artinya adalah tata-cara atau
adat-istiadat. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, moral diartikan
sebagai akhlak, budi pekerti, atau susila.23
Secara terminologis, terdapat berbagai rumusan pengertian moral.
Menurut Widjaja, sebagaimana ditulis Frans-Magnis Suseno bahwa moral
adalah ajaran baik dan buruk tentang perbuatan dan kelakuan (akhlak).24
Al-Ghazali mengemukakan pengertian akhlak, sebagai padanan
kata moral, sebagai perangai (watak, tabiat) yang menetap kuat dalam
jiwa manusia dan merupakan sumber timbulnya perbuatan tertentu dari
22
Tim penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Bandung: Diponegoro, 1999).
Selanjutnya disebut Tim penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia......
23
Tim penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia
24
Frans-Magnis Suseno, 12 Tokoh Etika Abad Ke-20, (Yogyakarta: Kanisius, 2000).
Selanjutnya ditulis Frans-Magnis, 12 Tokoh Etika Abad Ke-20......
36
dirinya secara mudah dan ringan, tanpa perlu dipikirkan dan direncanakan
sebelumnya.25
Agar diperoleh pemahaman yang lebih jelas, al-Ghazali
memberikan ulasan bahwa substansi materiil dari ketiga bahasan tersebut
(moral, watak, dan tabiat) tidak berbeda, yaitu tentang tingkah laku. Akan
tetapi bentuk formal ketiga bahasan tersebut berbeda. Bahasan watak dan tabiat
hampir sama, yaitu seperangkat ide tentang tingkah laku dan ajaran tentang
tingkah laku. Sedangkan moral adalah tingkah laku itu sendiri.
Namun demikian semua bahasan tersebut tidak bertentangan, sebab
dalam pembicaraan sehari-hari, moral sering dimaksudkan masih sebagai
seperangkat ide, nilai, ajaran, prinsip, atau norma. Akan tetapi lebih kongkrit
dari itu , moral juga sering dimaksudkan sudah berupa tingkah laku, perbuatan,
sikap atau karakter yang didasarkan pada ajaran, nilai, prinsip, atau norma.
c. Nilai
Nilai adalah kualitas atau sifat yang membuat apa yang seharusnya
bernilai jadi benar-benar bernilai. Misalnya nilai ‘kejujuran’ adalah sikap
tindakan yang jujur. Jadi, nilai (value) tidak sama dengan apa yang bernilai.
Apa yang bernilai hanya menjadi pembawa atau wahana nilai. Apa yang
bernilai adalah tindakan atau hubungan pokok sebuah kenyataan di dunia ini.26
Nilai selalu merupakan dua sisi mata uang yang tidak dapat
dipisahkan. Nilai selalu tentang baik-buruk sesuatu. Sepadan dengan makna
akhlak, nilai selalu membatasi ruang gerak manusia dalam bersikap. Yang
mana perilaku manusia selalu dituntut sejalan dengan nilai-nilai kemanusiaan,
misalnya.
d. Norma
Secara etimologi, kata ‘norma’ berasal dari bahasa latin ‘norma’, kata
ini memiliki arti penyiku, suatu perkakas yang digunakan antara lain oleh
25
Al-Ghazali, Rahasia Dzikir dan Do’a. h. 31.
26
Frans-Magnis, 12 Tokoh Etika Abad Ke-20. h. 34.
37
tukang kayu. Dari sini ditemukan arti lain sebagai pedoman, ukuran, aturan,
dan kebiasaan. Jadi, norma secara etimologi adalah sesuatu yang dipakai untuk
mengukur sesuatu yang lain.27
Tujuan sebuah penyiku dipasang adalah untuk mengetahui apakah
sebuah sudut sudah benar-benar siku-siku. Seorang tukang kayu tidak akan
sembarangan menggergaji sebilah papan sebelum ia menentukan ukuran siku-
siku pada papan tersebut. Ini berarti bahwa norma tidak hanya merupakan
ukuran untuk mempertimbangkan, melainkan juga haluan untuk membuat atau
mengerjakan sesuatu.
Dengan demikian, norma mempunyai fungsi rangkap, sebelum
sesuatu dilakukan maka norma dipakai sebagai haluan, pembatas, atau
pedoman untuk melakukan sesuatu sesuai koridor atau aturan yang berlaku.
Dan ketika sesuatu sudah terjadi, maka norma dipakai sebagai ukuran untuk
mempertimbangkan apakah sesuatu itu terjadi seperti seharusnya atau keluar
dari batas-batas.
Meskipun dalam pengertian norma kedua fungsi tersebut saling
berkaitan, yakni sebagai pedoman dan sebagai ukuran. Namun dapat saja salah
satu fungsinya lebih menonjol. Contoh ketika seseorang akan bertamu, maka
norma yang berlaku adalah memberikan salam, selanjutnya masuk dan duduk
setelah dipersilahkan tuan rumah. Contoh lain, norma harus menjadi ukuran
apakah interaksi pada suatu komunitas berjalan secara ideal atau tidak ketika
dua suku saling berinteraksi dan keduanya membawa fanatisme suku dalam
komunikasinya. Fungsi norma pada contoh ini adalah menghindarkan
masyarakat dari perpecahan karena salah ditakar. Di sini peran norma sebagai
pedoman lebih menonjol karena aturan-aturan ketika bertamu sudah lumrah
diketahui.
Beda hal ketika ada kasus remaja hamil di luar nikah, maka norma
dipakai sebagai ukuran apakah hal tersebut sesuatu yang keluar dari norma-
norma sosial atau tidak. Sehingga ketika hal tersebut keluar dari jalur norma
maka hukuman sosial pun tak dapat dielakkan lagi.
27
De Vos, Pengantar Etika, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1987).
38
28
Muhammad Hamzah, Skripsi. h. 39.
29
Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan Dengan Pendekatan Baru, (Bandung: Rosda
Karya, 1997).
30
Hambali, Tesis. h. 53.
40
31
Sarlito Wirawan Sarwono, Pengantar Umum Psikologi, (Jakarta: Bulan Bintang, 2003).
Selanjutnya ditulis Sarlito Wirawan, Pengantar Umum Psikologi......
41
32
Sarlito Wirawan, Pengantar Umum Psikologi. h. 102.
33
Ahmad Mustafa, Akhlak Tasawuf. h. 149.
42
34
Ali Anwar Yusuf, Studi Agama Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2003).