Anda di halaman 1dari 22

BAB II

TEORI-TEORI TENTANG AKHLAK

A. Pengertian Akhlak Menurut Konsep Islam


Perkataan akhlak berasal dari bahasa Arab sebagai bentuk jamak dari

“khuluqun” (‫ق‬
ٌ ُ‫) ُخل‬. Menurut bahasa, ‫ ُخلُ ٌق‬diartikan sebagai budi pekerti, perangai,
tingkah laku atau tabi’at.1
Kalimat tersebut mengandung segi-segi persesuaian dengan perkataan
“khalqun” yang mempunyai arti kejadian, penciptaan, yang sudah pasti tidak
terpisahkan dengan “khaliq” yang berarti Pencipta, dan “makhluq” yang berarti
‘yang diciptakan’.
Perumusan pengertian akhlak seperti diatas timbul sebagai media yang
sangat memungkinkan adanya keterkaitan erat antara khaliq dan makhluq, juga
hubungan antara makhluq dan makhluq. Hal ini tergambar dalam al-Qur’an,
yakni:

‫َّك لَ َعلَى ُخلُ ٍق َع ِظي ٍم‬


َ ‫َوِإن‬
Artinya: “dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang
agung.” (Q.S. al-Qalam (68): 4).2

Dalam ayat di atas tercantum kata khuluqun yang diartikan akhlak,


kemudian disandingkan dengan kemuliaan yang tentu bermakna bahwa akhlak
merupakan suatu hal yang positif.

ِ ‫ات ُأِلويِل اَأْللْب‬ ِ ‫ض واختِاَل‬


ٍ ‫ف اللَّي ِل والنَّها ِر آَل ي‬ ِ َّ ‫ِإ َّن يِف خ ْل ِق‬
‫اب‬َ َ َ َ ْ ْ َ ِ ‫اَأْلر‬
ْ ‫الس َم َاوات َو‬ َ
Artinya : “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih
bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang
berakal,” (Q.S. Ali-Imran (3): 190).3

1
Ahmad Mustafa, Akhlak Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 1999). h. 11. Selanjutnya
ditulis Ahmad Mustafa, Akhlak Tasawuf......
2
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang: CV.
Toha Putra, 1989). h. 960. Selanjutnya ditulis Al-Qur’an dan Terjemahnya......
3
Al-Qur’an dan Terjemahnya. h. 109.

21
22

Perkataan khalqi pada ayat di atas mengandung arti kejadian, ciptaan,


dan juga bermaksud merujuk kepada kejadian yang indah dan baik. Jika kejadian
yang dimaksud adalah kejadian dalam bentuk manusia, kata khalqi tersebut berarti
struktur biologis tubuh manusia yang seimbang. Jika kejadian yang dimaksudkan
merujuk kepada kejadian alam semesta, maka khalqi berarti keindahan alam yang
tersusun rapi, keseimbangan siang-malam, dan juga keteraturan sistem perputaran
bumi.4
Kedua ayat di atas menunjukan bahwa hakikat akhlak dalam al-Qur’an
selalu merujuk kepada kebaikan, dari segi kata apapun kata akhlak itu diambil
karena akhlak merupakan jalan makhluq untuk mencapai khaliq.
Menurut pendekatan terminologi, beberapa tokoh mengemukakan
pengertian Akhlak sebagai berikut:
a. Ibnu Miskawaih
“Akhlak adalah keadaan jiwa seseorang yang mendorong untuk melakukan
perbuatan tanpa melalui pertimbangan pikiran terlebih dahulu”.
b. Imam Ghazali
“Akhlak ialah suatu sifat yang tertanam dalam jiwa yang dari padanya timbul
perbuatan-perbuatan dengan mudah dengan tidak memperlakukan
pertimbangan pemikiranterlebih dahulu”.
c. A. Amin
Menurut A. Amin, sebagaimana Daradjat Zakiah, “akhlak ialah kehendak
yang dibiasakan, artinya kehendak kita bila membiasakan suatu hal maka
kebiasaan itulah akhlak”.5
Akhlak dalam Islam terdiri dari empat pilar yang tidak dapat tegak
kecuali dengan empat pilar tersebut, yakni: sabar, menjaga kehormatan diri,
keberanian, dan adil. Empat sifat tersebut merupakan sumber bagi semua Akhlak

4
Asep Saepudin, “Faktor penyebab rendahnya disiplin siswa dalam program pembiasaan
shalat berjamaah dan hubungannya dengan pembinaan akhlak mulia”, Tesis Magister, (Cirebon:
Program Pascasarjana Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syekh Nurjati, 2012). Selanjutnya
ditulis Asep Saepudin, Tesis..........
5
Daradjat Zakiah, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1992).
23

utama, sedangkan sumber semua Akhlak buruk bangunannya didasarkan pada


empat sebab, yakni: kebodohan, kedzaliman, nafsu, dan amarah.6
Menurut al-Ghazali, sebagaimana dikutip Abuddin Nata, akhlak
bukanlah pengetahuan tentang baik-buruk ataupun kodrat untuk menjadi baik-
buruk, bukan pula pengalaman yang baik-buruk melainkan suatu keadaan jiwa
yang mantap. Akhlak menurutnya lebih kepada suatu kemantapan jiwa yang
kemudian ditranformasikan kedalam perbuatan yang indah tanpa harus dipikirkan
lagi. Dengan begitu Akhlak yang indah merupakan cerminan dari jiwa yang teguh.
Jika keadaan jiwa jauh dari ketenangan, maka tentu akan tercermin kedalam
perbuatan-perbuatan tercela, inilah yang kemudian tergambar sebagai Akhlak
yang buruk.7

B. Penanaman Nilai-nilai Akhlak


Akhlak bisa diartikan pula sebagai kebiasaan kehendak, yang mana
mengandung arti bahwa suatu kehendak bila dibiasakan maka kebiasaannya itu
adalah akhlak. Contoh ketika seorang anak oleh orang tuanya sejak kecil
dibiasakan untuk selalu memberi, maka si anak akan terbiasa memiliki sikap
dermawan.
Dengan begitu, seseorang dalam berahklak haruslah melalui proses-
proses pembiasaan sehingga bisa menjadi kebiasaan bagi dirinya sendiri. Proses
membiasakan diri tersebutlah yang oleh orang pendidikan sering disebut sebagai
pendidikan akhlak.
Jika ilmu akhlak atau pendidikan akhlak tersebut diperhatikan dengan
seksama, akan tampak bahwa ruang lingkup pembahasan ilmu akhlak adalah
membahas tentang perbuatan-perbuatan manusia, kemudian menetapkannya
apakah perbuatan tersebut tergolong perbuatan baik atau perbuatan yang buruk.
Namun yang lebih ditekankan adalah proses internalisasi nilai dari pendidik
kepada peserta didik tentang akhlak.

6
Abdullah bin Qasim al-Wasily, 20 Prinsip Halal al-Bana, (Solo: Intermedia, 2001).
7
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Raja Grafindo, 2000).
24

Selain lewat jalur pendidikan, akhlak juga dapat dibiasakan dengan


pembinaan. Namun ketika berbicara mengenai pembinaan akhlak, ada dua
pendapat yang memberikan tanggapan. Yang pertama mengatakan bahwa akhlak
tidak perlu dibina. Menurut aliran ini akhlak merupakan bawaan alamiah
seseorang sehingga tidak perlu dibina kembali. Sedangkan pendapat kedua
mengatakan bahwa akhlak adalah hasil dari pendidikan, latihan, pembinaan, dan
juga pembiasaan seseorang untuk memiliki perilaku yang baik.8
Namun untuk memperkuat nilai yang melekat pada seseorang, tentulah
harus diperlukan suatu proses pendidikan, pembinaan, dan pembiasaan, sekalipun
ada pendapat bahwa akhlak merupakan pembawaan alamiah seseorang. Lembaga-
lembaga pendidikan formal yang didirikan tentunya bertujuan untuk membentuk
pola pikir dan perilaku manusia yang baik.
Pembiasaan perilaku seseorang tentu berangkat dari ruang lingkup
terkecil yang disebut keluarga. Di sinilah peran orang tua sangat diperlukan untuk
membentuk karakter mendasar pada seorang anak. Pembiasaan-pembiasaan yang
baik harus diterapkan dan diawasi langsung oleh orang tua. Inilah proses pertama
yang paling epektif dan melekat terhadap psikologi anak ke depan ketika sudah
keluar dari lingkungan keluarga dan mulai berbaur dengan lingkungan sekitar.
Menurut Hambali dalam tesisnya, ada beberapa metode yang bisa dipakai
untuk menanamkan nilai-nilai akhlak terhadap seorang anak:9
a. Metode Keteladanan
Metode keteledanan adalah suatu metode pendidikan dengan cara
memberikan contoh yang baik sehingga si anak bisa meniru atau meneladani
sikap-sikap seperti yang dicontohkan.
Keteladanan merupakan salah satu metode pendidikan yang
diterapkan Rasulullah SAW dan paling banyak pengaruhnya terhadap
keberhasilan misi dakwahnya. Metode ini oleh para ahli pendidikan
digadang-gadang sebagai metode paling jitu untuk menanamkan nilai-nilai

8
Hambali, “Kajian Tematik Tentang Pendidikan Akhlak Dalam Perspektif al-Qur’an”,
Tesis Magister, (Cirebon: Program Pascasarjana Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN),
2009). Hal. 47. Selanjutnya ditulis Hambali, Tesis.......
9
Hambali, Tesis. h. 48.
25

kebaikan pada seseorang, terlebih lagi terhadap seorang anak. Hal ini
disebabkan bahwa naluriyah manusia cenderung melihat apa yang dilakukan,
bukan mendengar apa yang dikatakan.
b. Metode Pembiasaan
Pembiasaan merupakan suatu proses melakukan sesuatu yang
sengaja dilakukan secara terus menerus, atau bisa dikatakan bahwa
pembiasaan adalah proses penanaman kebiasaan. Sedangkan kebiasaan
adalah cara-cara bertindak yang secara refleks dan hampir tidak didasari
kesadaran dalam melakukannya.
Pembiasaan tersebut dapat dilakukan untuk membiasakan seseorang
melakukan hal yang jarang dilakukan. Pembiasaan juga bertujuan untuk
mempermudah seseorang melakukan sesuatu. Karena seseorang yang sudah
memiliki kebiasaan tertentu akan melakukannya dengan mudah dan dengan
senang hati. Bahkan sesuatu yang sudah dibiasakan sampai menjadi
kebiasaan dalam usia muda, hal tersebut akan sangat melekat dan sulit untuk
dihilangkan sampai usia tua.
Itulah alasan mengapa metode ini dirasa cocok untuk dipakai dalam
rangka penanaman nilai-nilai akhlak kepada seorang anak.
c. Metode Memberi Nasihat
Menurut Abdurrahman al-Nahlawi, nasihat adalah penjelasan
kebenaran dan kemaslahatan dengan tujuan menghindarkan orang yang
dinasihati dari bahaya serta menunjukkannya ke jalan yang mendatangkan
kebahagiaan dan manfaat.
Dengan metode ini, penanaman nilai-nilai akhlak dilakukan dengan
cara memberikan penjelasan mengenai pentingnya memiliki akhlak terpuji
serta manfaatnya, ataupun memberikan pemahaman tentang bahaya dari
akhlak-akhlak yang buruk. Penjelasan yang dimaksud bisa berupa sebuah kisa
di masa lampau sehingga seseorang bisa mengambil intisari dari kisah
tersebut.
d. Metode Persuasi
26

Metode persuasi adalah proses meyakinkan seseorang tentang suatu


hal dengan kekuatan akal atau berdasarkan logika. Penggunaan metode ini
didasarkan pada pandangan bahwa manusia adalah makhluk yang berakal dan
dituntut untuk berpikir menggunakan akalnya.
Dengan metode persuasi ini, seseorang diberi penjelasan mengenai
konsep-konsep akhlak secara global, rasional, dan logis. Sehingga dengan
begitu ia akan bisa menimbang perilaku mana yang seharusnya ia biasakan,
dan itu berdasarkan hasil pemikirannya sendiri tanpa paksaan orang lain.
Sekali lagi ditegaskan bahwa inti dari metode ini adalah proses ‘meyakinkan’.

C. Macam-macam Akhlak
Akhlak berkaitan erat dengan sikap. Akhlak pun harus dapat
menempatkan diri dengan melihat objek yang akan dihadapinya. Ketika berada
dalam suatu kelompok masyarakat, maka peranan akhlak adalah mencerminkan
sikap bagaimana seharusnya berinteraksi dengan baik sehingga tercipta
keharmonisan.
Akhlak merupakan sebuah konsep yang tentu tak bisa terlepas dari nilai,
yang mana akhlak pun memiliki dualisme baik-buruk. Dalam konsep Islam,
dualisme tersebut sering kita kenal dengan adanya akhlak terpuji/mulia (akhlak
mahmudah) dan akhlak tercela (akhlak madzmumah).

a. Akhlak Terpuji
Akhlak terpuji merupakan terjemahan dari ungkapan bahasa Arab,
akhlak mahmudah. mahmudah merupakan bentuk maf’ul dari kata hamida
yang berarti “dipuji”. Akhlak terpuji disebut pula dengan akhlak al-karimah
(akhlak mulia), atau makarim al-akhlak (akhlaq mulia), atau akhlak al-
munjiyat (akhlak yang menyelamatkan pelakunya).10

10
Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2010). h. 87. Selanjutnya
ditulis Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf.........
27

Akhlak yang baik umpamanya: benar, amanah, menepati janji, sabar


(tabah), pemaaf, pemurah, dan lain-lain sifat dan sikap yang baik. Akhlak
terpuji menurut beberapa ulama adalah sebagai berikut :
1) Menurut Al-Ghazali, akhlak terpuji merupakan sumber ketaatan dan
kedekatan kepada Allah SWT. Sehingga mempelajari dan
mengamalkannya merupakan kewajiban setiap muslim.11
2) Menurut Ibnu Qayyim, pangkal akhlak terpuji adalah ketundukan dan
keinginan yang tinggi. Sifat-sifat terpuji, menurutnya berpangkal dari
kedua hal itu. Ia memberikan gambaran tentang bumi yang tunduk pada
ketentuan Allah SWT. Ketika air turun menimpanya, bumi merespons
dengan kesuburan dan menumbuhkan tanam-tanaman yang indah.
Demikian pula manusia tatkala diliputi rasa ketundukan kepada Allah
SWT. ia akan meresponsnya dengan sifat-sifat terpuji.12
Akhlak terpuji menurut Rosyid Anwar, sebagaimana dikutip
Muhammad Hamzah dapat dikelompokkan menjadi beberapa bagian sebagai
berikut:13
1. Akhlak Terhadap Allah SWT
Akhlak terhadap Allah SWT dapat diartikan sebagai suatu sikap
penghambaan yang harusnya dilakukan manusia selaku Makhluq kepada
Khaliq-nya.
Setidaknya ada empat alasan mengapa manusia harus berakhlak
baik kepada Allah SWT. Pertama, karena Allah SWT adalah Sang Maha
Pencipta yang telah menciptakan manusia. Kedua, karena Allah SWT
adalah Sang Maha Pemberi yang telah memberikan kehidupan kepada
manusia dengan memberikan modal kepada manusia untuk berkelana di
dunia fana dengan bekal panca indera berupa pendengaran, penglihatan,
perasa, pencium dan peraba. Ketiga, karena Allah-lah yang menyediakan
11
Abu Hamid al-Ghazali, Rahasia Dzikir dan Do’a, (Bandung: Karisma, 1994).
Selanjutnya ditulis al-Ghazali, Rahasia Dzikir dan Do’a.......
12
Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf. h. 88.
13
Muhammad Hamzah, “Hubungan Pendidikan Agama Islam Dengan Akhlak Siswa di
Sekolah Menengah Kejuruan Teladan Kecamatan Kertasmaya Kabupaten Indramayu”, Skripsi,
(Cirebon: Program Strata 1 Institut Agama Islam Negeri (IAIN), 2010). Selanjutnya ditulis
Muhammad Hamzah, Skripsi.........
28

segala keperluan hidup manusia sehingga kehidupan di dunia terus


berlangsung, Keempat, karena Allah-lah yang memberikan kemuliaan
kepada manusia dengan diberikannya akal pikiran, yang mana tidak
diberikan kepada mahluk lain kecuali manusia.
Sudah sewajarnya manusia menunjukkan akhlak terpuji di
hadapan Tuhannya. Hal tersebut tercermin dari perilaku penghambaan
total seorang manusia dengan melaksanakan segala perintah-Nya, juga
menjauhi segala larangan-Nya. Di antaranya adalah dengan Mentauhidkan
Allah, berbaik sangka, dzikrullah, dan tawakkal.14
Mentauhidkan Allah, yaitu ikrar diri bahwa Allah SWT satu-
satunya dzat yang memiliki sifat rubbubiyah (Allah-lah yang mencipta,
memiliki, mengatur, memberi, mengkehendaki dll) dan uluhiyyah
(mengimani Allah SWT sebagai satu-satunya yang disembah), serta
kesempurnaan nama dan sifat-Nya.
Berbaik sangka terhadap keputusan Allah SWT merupakan salah
satu akhlak terpuji kepada-Nya. Di antara ciri akhlak terpuji ini adalah
ketaatan yang sungguh-sungguh kepadanya dan tidak pernah berprasangka
buruk kepada-Nya.
Meningat Allah atau dzikrullah adalah asas dari setiap ibadah
kepada Allah SWT., karena pertanda hubungan antara hamba dan pencipta
pada setiap saat dan tempat, dimanapun dan kapanpun.
Hakikat tawakal adalah menyerahkan secara total segala urusan
kepada Allah SWT. membersihkannya dari segala macam bentuk ikhtiar
yang keliru, serta tetap menapaki kawasan-kawasan hukum dan ketentuan-
ketentuan-Nya. Tawakal merupakan gambaran keteguhan hati dalam
menggantungkan diri hanya kepada Allah SWT.
2. Akhlak Terhadap Sesama Manusia
Al-Qur’an telah banyak menceritakan tentang aturan-aturan
hubungan manusia dengan manusia. Ayat-ayat tentang ekonomi, ayat-ayat
tentang pernikahan, ayat-ayat tentang kepemimpinan, bukankah semua itu

14
Muhammad Hamzah, Skripsi. h. 35.
29

merupakan pedoman bagi manusia melakukan interaksi dengan manusia


lain dalam sudut pandang tertentu.
Ayat ekonomi tentu mengatur bagaimana seharusnya bersikap
terhadap sesama manusia dalam bidang ekonomi, perdagangan dan
sebagainya. Begitu pula dengan ayat tentang pernikahan yang sudah tentu
menjelaskan tata cara menjalin tali silaturahmi yang dibalut dengan akad
perkawinan yang sah. Ayat-ayat kepemimpinan yang memberikan
pandangan bagaimana sikap seorang pemimpin terhadap orang-orang yang
dipimpinnya. Semuanya berkaitan dengan sikap dan ketika sudah
membicarakan mengenai sikap, secara langsung akhlak mendapat ruang
untuk diaplikasikan.
Melihat bahwa manusia merupakan mahluk yang tidak bisa hidup
sendiri tanpa manusia lainnya, tentu memperlihatkan akhlak terpuji
menjadi sebuah tuntutan agar tercipta kerukunan dan keharmonisan dalam
bermasyarakat.
a. Berakhlak Terhadap Diri Sendiri
Sebelum berakhlak terhadap orang lain, kita harus terlebih
dahulu bisa bijaksana kepada diri sendiri. Bijaksana terhadap diri
sendiri seperti bersikap sabar, senantiasa bersyukur, amanah, jujur, dan
memelihara kesucian diri.
Sabar adalah menahan diri dari dorongan hawa nafsu demi
menggapai keridhoan Tuhan dan menggantinya dengan bersungguh-
sungguh menjalani cobaan-cobaan Allah SWT. terhadapnya. Sabar
terbagi menjadi tiga, yakni sabar dari maksiat (bersabar diri untuk tidak
melakukan hal yang dilarang agama), sabar karena taat kepada Allah
SWT (sabar untuk tetap melaksanakan perintah Allah dan menjauhi
larangannya) dan sabar karena musibah yakni ketika ditimpa
kemalangan, ujian serta cobaan dari Allah;
30

ِ ‫س والثَّم ر‬
‫ات َوبَ ِّش ِر‬ ِ ِ ٍ ‫وع و َن ْق‬ ِ ٍِ ِ
َ َ َ ِ ‫اَأْلم َوال َواَأْلْن ُف‬
ْ ‫ص م َن‬ َ ِ ُ‫َولَنَْبلُ َونَّ ُك ْم ب َش ْيء م َن اخْلَ ْوف َواجْل‬
ِ َّ
َ ‫الصاب ِر‬
‫ين‬
Terjemah : “dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan
sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. dan
berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.”(Q.S. al-Baqarah
(3): 155).15
Syukur merupakan sikap seseorang untuk tidak menggunakan
nikmat yang diberikan oleh Allah SWT dalam melakukan maksiat
kepada-Nya. Bentuk syukur terhadap nikmat Allah SWT adalah dengan
jalan mempergunakan nikmat tersebut dengan sebaik-baiknya. Apabila
kita sudah mensyukuri nikmat yang telah diberikan oleh Allah SWT
berarti kita telah berskukur kepada-Nya sebagai pencipta. Semakin
banyak kita bersyukur, maka semakin banyak pula nikmat yang akan
kita terima;

‫يدنَّ ُك ْم َولَِئ ْن َك َف ْرمُتْ ِإ َّن َع َذايِب لَ َش ِدي ٌد‬


َ ‫َوِإ ْذ تََأذَّ َن َربُّ ُك ْم لَِئ ْن َش َك ْرمُتْ َأَل ِز‬
Terjemah: “dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan;
sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat)
kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), Maka Sesungguhnya
azab-Ku sangat pedih".(Q.S. Ibrahim(14): 7).16

Amanah secara bahasa adalah kesetiaan, ketulusan hati,


kepercayaan atau kejujuran. Amanah adalah suatu sifat dan sikap
pribadi yang setia, tulus hati dan jujur dalam melaksanakan sesuatu
yang dipercayakan kepadanya, baik berupa harta benda, rahasia
ataupun tugas kewajiban;

ْ ‫ول َوخَتُونُوا ََأمانَاتِ ُك ْم َوَأْنتُم َت ْعلَ ُمو َن‬ َّ ‫ين َآمنُوا اَل خَتُونُوا اللَّهَ َو‬ ِ َّ
َ ‫الر ُس‬ َ ‫يَا َأيُّ َها الذ‬

Terjemah: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati


Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati

15
Al-Qur’an dan Terjemahnya. h. 39.
16
Al-Qur’an dan Terjemahnya. h. 380.
31

amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui”.


(Q.S. al-Anfal (8): 27).17

Benar dan Jujur, baik dalam perkataan maupun perbuatan.


Benar dalam perkataan adalah mengatakan yang sebenarnya, tidak
mengada-ada dan tidak pula menyembunyikan. Benar dalam perbuatan
adalah mengerjakan sesuatu sesuai dengan perintah agama.
Memelihara Kesucian Diri, yaitu menjaga diri dari segala
tuduhan, fitnah dan memelihara kehormatan. Upaya memelihara
kesucian diri hendaknya dilakukan setiap hari agar diri tetap berada
dalam status kesucian. Begitupun kita harus senantiasa menjauhkan diri
dari segala hal yang dapat menodai kesucian diri kita.
b. Berakhlak Terhadap Keluarga
Bentuk berakhlak yang baik terhadap keluarga adalah dengan
berbakti kepada orang tua dan bersikap baik kepada saudara.
Berbakti kepada orang tua merupakan faktor utama
diterimanya doa seorang anak, juga merupakan amal shalih yang paling
utama yang dilakukan oleh seorang muslim. Salah satu keutamaan
berbuat baik terhadap orang tua selain melaksanakan ketaatan atas
perintah Allah SWT adalah menghapus dosa-dosa besar.
Bersikap baik kepada saudara pun diharuskan karena masih
terikat bahasa keluarga. Agama Islam memerintahkan untuk berbuat
baik kepada sanak saudara atau kaum kerabat sesudah menunaikan
kewajiban kepada Allah SWT. dan Ibu Bapak.
c. Berakhlak Terhadap Masyarakat
Dalam bermasyarakat, kita pun sudah semestinya
memperlihatkan perangai yang baik untuk menjaga agar interaksi sosial
yang terjalin berjalan dengan harmonis. Hindari semua hal yang dapat
menggangu stabilitas kerukunan sehingga kelompok sosial bisa
bersama-sama membangun kerukunan yang kokoh.

17
Al-Qur’an dan Terjemahnya. h. 264.
32

Keadaan masyarakat yang berbeda membuat kondisi saat


berinteraksi harus benar-benar kita jaga. Suku, bahasa, dan juga budaya
yang berbeda bukan tidak mungkin akan menjadi hal yang
mendominasi ketika berinteraksi. Kemungkinan timbul fanatisme
golongan sangat besar. Disitulah tugas kita untuk tetap dewasa
menghadapi perbedaan dengan menonjolkan prilaku yang bisa diterima
semua golongan sehingga terhindar dari bahaya perpecahan. Sama-
sama mengedepankan kebersamaan, itulah pentingnya akhlak dalam
bermasyarakat.
3. Akhlak Terhadap Lingkungan
Yang dimaksud dengan lingkungan disini adalah segala sesuatu
yang berada disekeliling manusia, baik berupa binatang, tumbuh-
tumbuhan, benda-benda yang tidak bernyawa maupun keseimbangan alam.
Bukankah lingkungan seperti yang dimaksudkan diatas telah
Allah serahkan kepada manusia selaku khalifah untuk diolah dan
dimanfaatkan. Tinggal sekarang bagaimana sikap manusia terhadap semua
itu, menjadikan semua memberi manfaat atau malah memadharatkan.
Disinilah perlunya berakhlak terhadap lingkungan supasa manusia bisa
bersikap bijaksana dalam mengolah lingkungan.18

b. Akhlak Tercela
Akhlak tercela berarti tingkah laku yang tercela atau akhlak yang
jahat (qabihah) yang menurut istilah al-Ghazali disebut ”muhlikat”, artinya
segala sesuatu yang membinasakan atau mencelakakan.19
Akhlak tercela merupakan lawan dari akhlak terpuji. Jika sikap yang
dicerminkan sesuai dengan perintah Allah dan Rasul-Nya maka tentu akan
melahirkan Akhlak yang terpuji. Sedangkan ketika perbuatan yang dilakukan
malah sesuai dengan larangan yang Allah pesankan lewat al-Qur’an, maka

18
M. Abdul Quesem, Etika al-Ghazali, (Bandung: Pustaka Setia, 1998). h. 99.
19
Hamzah Yaqub, Etika Islam, (Bandung: Diponegoro, 1996). h. 95.
33

tentu cerminannya akan memperlihatkan akhlak yang tercela. Beberapa


contoh akhlak tercela adalah sebagai berikut:
1. Al-Nani’ah, yaitu sifat egois, tidak memperhatikan kepentingan orang
lain. Manusia sebagai makhluk pribadi dan sekaligus makhluk sosial.
Oleh karenanya, dalam mengejar kepentingan pribadi, hendaknya
memperhatikan kepentingan orang lain janganlah boros dan juga kikir,
namun hendaknya berada di antaranya yaitu pemurah.
2. Al-Bukhlu atau kikir. Orang yang kikir tidak mau membelanjakan
hartanya baik untuk dirinya, untuk kepentingan keluarganya, maupun
untuk kepentingan orang banyak yang merupakan zakat, infaq atau
sadakah. Bagi orang yang kikir, mendengar istilah-istilah tersebut
bagaikan petir di siang hari. Sifat kikir ini dapat mempersempit
pergaulan, sering menuduh orang tama’ (ingin diberi). Kemudian orang
yang kikir apabila hartanya telah berkumpul, ia akan merasa kaya dan
tidak lagi memerlukan bantuan orang lain yang juga kemudian akan lupa
kepada pemberi kekayaannya.
3. Al-Butan, yaitu suka berdusta. Berdusta adalah mengada-adakan sesuatu
yang tiada, baik dengan ucapan, tulisan, maupun dengan isyarat. Untuk
kepentingan dirinya ataupun membela orang lain, atau bahkan sengaja
untuk menjatuhkan nama orang lain.
4. Khianat, yaitu tidak menempati janji. Khianat ini merupakan lawan dari
amanah, apabila amanah dapat melapangkan rezeki, maka khianat justru
akan menimbulkan kefakiran. Sifat khianat ini tersirat dan seringkali
tidak nampak, sehingga kadang-kadang ada orang yang membela orang
yang khianat karena ia tidak mengetahuinya.
5. Al-Jubn, yaitu pengecut. Orang pengecut selalu dihantui rasa takut, yang
kemudian menyebabkan dirinya menjadi hina, sebab selalu akan kalah
sebelum bertanding. Tidak berani berjalan untuk mendapatkan
kemenangan.
6. Al-Gibah, yaitu menggunjing atau mengumpat. Menggunjing adalah
mengatakan keadaan orang lain dibelakangnya dengan celaan kepada
34

orang-orang yang ada di mukanya, dengan tujuan untuk menjatuhkan


nama orang tersebut atau tujuan lain, meskipun memang sebenarnya
keburukan itu ada pada orang yang digunjingnya. Bila tidak ada, hal itu
merupakan fitnah.
7. Al-Hasad , Dengki atau hasud merupakan suatu perbuatan merusak
terhadap orang lain, kemungkinan timbul disebabkan nikmat Tuhan yang
dianugerahkan kepada orang lain dengan keinginan agar nikmat orang
lain itu terhapus. Dengki juga karena benci dan dendam atas kegagalan
usaha dirinya, kemudian membuat cara-cara yang tidak diridlai Allah
SWT.
8. Al-Ifsad, yaitu berbuat kerusakan. Seringkali sifat perusak mendorong
manusia dalam usaha mencapai kepentingan pribadinya dengan tidak
memperhatikan akibatnya, misalnya merusak lingkungan baik sendiri-
sendiri, maupun bersama-sama dengan orang lain.20

D. Istilah Lain yang Merujuk Pengertian Akhlak


a. Etika
Etika berasal dari bahasa Yunani Kuno yaitu “Ethos”, yang dalam
bentuk tunggal mempunyai banyak arti seperti: tempat tinggal yang biasa,
padang rumput, kandang, kebiasaan, adat, watak, dan cara berfikir. Sedangkan
dalam bentuk jamak artinya adalah adat kebiasaan.
Istilah etika sudah dipakai oleh Aristoteles, filsuf besar Yunani untuk
menunjuk filsafat moral tentang tindak tanduk manusia. Dengan begitu, etika
berarti ilmu tentang apa yang bisa dilakukan atau ilmu tentang kebiasaan
manusia. Etika adalah norma-norma yang dianut oleh kelompok, golongan atau
masyarakat tertentu mengenai perbuatan yang baik dan buruk. Etika adalah
studi tentang prinsip-prinsip prilaku baik-buruk manusia.21
Etika diartikan sebagai nilai-nilai dan norma-norma moral yang
menjadi pegangan bagi seseorang atau sekelompok dalam mengatur tingkah
20
Hendi Murtadoilah, “Pengaruh Majlis Ta’lim terhadap Akhlak Ibu Rumah Tangga”,
Skripsi, (Cirebon: Program Strata 1 Institut Agama Islam Negeri (IAIN), 2015).
21
Asep Saepudin, Tesis. h. 37.
35

lakunya. Dengan kata lain, etika di sini diartikan sebagai sistem nilai
yang dianut oleh sekelompok masyarakat dan sangat mempengaruhi
tingkah lakunya. Oleh karena itu, etika selalu membicarakan hal-hal ideal,
bagaimana seharusnya sesuatu itu dilakukan dengan cara yang ideal.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), etika dijelaskan
dengan membedakan tiga arti, yakni: (1) ilmu tentang apa yang baik dan buruk
dan tentang hak-kewajiban moral (Akhlak), (2) kumpulan asas atau nilai yang
berkenaan dengan Akhlak, (3) nilai mengenai benar dan salah yang dianut
suatu golongan atau masyarakat.22
Etika dalam Islam merupakan buah dari keimanan, keislaman, dan
ketakwaan yang didasarkan pada keyakinan yang kuat atas kebenaran Allah
SWT. Dengan kata lain, Islam memandang etika sebagai ekspresi dari kuatnya
keyakinan seorang muslim terhadap kebesaran Allah sehingga ia senantiasa
merasa tidak bisa luput dari pengawasan-Nya. Alhasil ia pun tidak berani
melakukan hal-hal yang dilarang dan berusaha memperlihatkan perilaku yang
terpuji.

b. Moral
Secara etimologis, kata moral berasal dari kata mos dalam
bahasa Latin, bentuk jamaknya mores yang artinya adalah tata-cara atau
adat-istiadat. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, moral diartikan
sebagai akhlak, budi pekerti, atau susila.23
Secara terminologis, terdapat berbagai rumusan pengertian moral.
Menurut Widjaja, sebagaimana ditulis Frans-Magnis Suseno bahwa moral
adalah ajaran baik dan buruk tentang perbuatan dan kelakuan (akhlak).24
Al-Ghazali mengemukakan pengertian akhlak, sebagai padanan
kata moral, sebagai perangai (watak, tabiat) yang menetap kuat dalam
jiwa manusia dan merupakan sumber timbulnya perbuatan tertentu dari
22
Tim penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Bandung: Diponegoro, 1999).
Selanjutnya disebut Tim penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia......
23
Tim penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia
24
Frans-Magnis Suseno, 12 Tokoh Etika Abad Ke-20, (Yogyakarta: Kanisius, 2000).
Selanjutnya ditulis Frans-Magnis, 12 Tokoh Etika Abad Ke-20......
36

dirinya secara mudah dan ringan, tanpa perlu dipikirkan dan direncanakan
sebelumnya.25
Agar diperoleh pemahaman yang lebih jelas, al-Ghazali
memberikan ulasan bahwa substansi materiil dari ketiga bahasan tersebut
(moral, watak, dan tabiat) tidak berbeda, yaitu tentang tingkah laku. Akan
tetapi bentuk formal ketiga bahasan tersebut berbeda. Bahasan watak dan tabiat
hampir sama, yaitu seperangkat ide tentang tingkah laku dan ajaran tentang
tingkah laku. Sedangkan moral adalah tingkah laku itu sendiri.
Namun demikian semua bahasan tersebut tidak bertentangan, sebab
dalam pembicaraan sehari-hari, moral sering dimaksudkan masih sebagai
seperangkat ide, nilai, ajaran, prinsip, atau norma. Akan tetapi lebih kongkrit
dari itu , moral juga sering dimaksudkan sudah berupa tingkah laku, perbuatan,
sikap atau karakter yang didasarkan pada ajaran, nilai, prinsip, atau norma.

c. Nilai
Nilai adalah kualitas atau sifat yang membuat apa yang seharusnya
bernilai jadi benar-benar bernilai. Misalnya nilai ‘kejujuran’ adalah sikap
tindakan yang jujur. Jadi, nilai (value) tidak sama dengan apa yang bernilai.
Apa yang bernilai hanya menjadi pembawa atau wahana nilai. Apa yang
bernilai adalah tindakan atau hubungan pokok sebuah kenyataan di dunia ini.26
Nilai selalu merupakan dua sisi mata uang yang tidak dapat
dipisahkan. Nilai selalu tentang baik-buruk sesuatu. Sepadan dengan makna
akhlak, nilai selalu membatasi ruang gerak manusia dalam bersikap. Yang
mana perilaku manusia selalu dituntut sejalan dengan nilai-nilai kemanusiaan,
misalnya.

d. Norma
Secara etimologi, kata ‘norma’ berasal dari bahasa latin ‘norma’, kata
ini memiliki arti penyiku, suatu perkakas yang digunakan antara lain oleh

25
Al-Ghazali, Rahasia Dzikir dan Do’a. h. 31.
26
Frans-Magnis, 12 Tokoh Etika Abad Ke-20. h. 34.
37

tukang kayu. Dari sini ditemukan arti lain sebagai pedoman, ukuran, aturan,
dan kebiasaan. Jadi, norma secara etimologi adalah sesuatu yang dipakai untuk
mengukur sesuatu yang lain.27
Tujuan sebuah penyiku dipasang adalah untuk mengetahui apakah
sebuah sudut sudah benar-benar siku-siku. Seorang tukang kayu tidak akan
sembarangan menggergaji sebilah papan sebelum ia menentukan ukuran siku-
siku pada papan tersebut. Ini berarti bahwa norma tidak hanya merupakan
ukuran untuk mempertimbangkan, melainkan juga haluan untuk membuat atau
mengerjakan sesuatu.
Dengan demikian, norma mempunyai fungsi rangkap, sebelum
sesuatu dilakukan maka norma dipakai sebagai haluan, pembatas, atau
pedoman untuk melakukan sesuatu sesuai koridor atau aturan yang berlaku.
Dan ketika sesuatu sudah terjadi, maka norma dipakai sebagai ukuran untuk
mempertimbangkan apakah sesuatu itu terjadi seperti seharusnya atau keluar
dari batas-batas.
Meskipun dalam pengertian norma kedua fungsi tersebut saling
berkaitan, yakni sebagai pedoman dan sebagai ukuran. Namun dapat saja salah
satu fungsinya lebih menonjol. Contoh ketika seseorang akan bertamu, maka
norma yang berlaku adalah memberikan salam, selanjutnya masuk dan duduk
setelah dipersilahkan tuan rumah. Contoh lain, norma harus menjadi ukuran
apakah interaksi pada suatu komunitas berjalan secara ideal atau tidak ketika
dua suku saling berinteraksi dan keduanya membawa fanatisme suku dalam
komunikasinya. Fungsi norma pada contoh ini adalah menghindarkan
masyarakat dari perpecahan karena salah ditakar. Di sini peran norma sebagai
pedoman lebih menonjol karena aturan-aturan ketika bertamu sudah lumrah
diketahui.
Beda hal ketika ada kasus remaja hamil di luar nikah, maka norma
dipakai sebagai ukuran apakah hal tersebut sesuatu yang keluar dari norma-
norma sosial atau tidak. Sehingga ketika hal tersebut keluar dari jalur norma
maka hukuman sosial pun tak dapat dielakkan lagi.

27
De Vos, Pengantar Etika, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1987).
38

E. Faktor-faktor yang Mempengaruhi akhlak


Akhlak merupakan cerminan dari keadaan hati. Tentu ada beberapa hal
yang mempengaruhi pembentukan perilaku atau akhlak. Ada beberapa faktor yang
dapat memberikan pengaruh terhadap perilaku atau akhlak seseorang:
a. Faktor Pembawaan Naluriah
Sebagai mahluk boilogis, setiap manusia pasti memiliki faktor
bawaan sejak ia terlahir. Itulah yang disebut dengan naluriah atau yang lebih
dikenal dengan tabiat. Tabiat inilah yang dianggap menjadi landasan paling
kuat dalam menentukan perilaku manusia. Tabiat inilah yang sering
menyertai seseorang dalam bersikap sampai ia tumbuh menjadi dewasa.
b. Faktor Sifat Keturunan
Sebagai mahluk yang terlahir dari rahim seorang ibu, manusia pun
tentu mewarisi beberapa hal dari orang tuanya. Dari segi biologi misalnya,
pastilah ada beberapa kesamaan antara seorang anak dengan orang tuanya.
Selain hal yang bersifat biologis, ada hal lain yang dapat diwariskan oleh
orang tua kepada anaknya. Dalam bersikap pun seseorang dapa memiliki
kesamaan dengan orang tuanya. Ini tentu menjadi salah satu faktor yang ikut
mempengaruhi akhlak seseorang.
c. Faktor Lingkungan
Manusia sebagai mahluk sosial. Hal itu memang sesuatu yang tak
dapat dipungkiri. Manusia tidak bisa lepas dari lingkungan kelompok,
membutuhkan satu sama lain dan saling mempengaruhi dalam segala hal,
termasuk dalam bersikap. Lingkungan sangat penting untuk pembentukan
karakter seseorang. Lingkungan yang keras akan menghasilkan seorang anak
yang selalu bersikap keras pula. Bisa saja ia menjadi susah diatur dan selalu
mau menang sendiri. Hal itu disebabkan keseharian yang dijalani adalah
membiasakan diri dengan hal-hal yang selalu mengedepankan egoisme.
d. Faktor Agama
Selain sebagai sebuah sistem kepercayaan. Agama juga harus
menjadi batasan yang membatasi perilaku manusia. Setiap sistem
39

kepercayaan pastilah mengajarkan suatu keindahan, menghidari hal-hal yang


mengakibatkan saling merugikan. Di sinilah fungsi agama, agama harus
menjadi rem sekaligus rel bagi setiap manusia. Agama apapun tentu
mempunyai konsep-konsep tersendiri sebagai landasan bagi setiap
penganutnya. Itulah sebabnya mengapa agama turut mempengaruhi
pembentukan perilaku seseorang.28

F. Indikator Manusia yang Berakhlak Mulia


Indikator manusia yang berakhlak mulia dapat dilihat dari sikap-sikap
yang ia ekspresikan dalam kehidupannya sehari-hari. Sikap sendiri dalam arti
sempit dapat diartikan sebagai pandangan atau kecenderungan mental. Sikap
(Attitude) adalah kecenderungan yang relatif menetap dengan cara yang baik atau
buruk terhadap orang lain atau terhadap barang tertentu, yang pada prinsipnya
dapat dianggap suatu kecenderungan seseorang untuk bertindak dengan cara
tertentu.29
Sedangkan menurut Zikri Neni, sebagaimana ditulis oleh Hambali dalam
tesisnya mengatakan bahwa sikap adalah kesiapan seseorang untuk bertindak
secara tertentu terhadap hal-hal tertentu. Adapun menurut ilmu jiwa sosial, sikap
merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap objek di lingkungan tertentu sebagai
suatu penghayatan terhadap objek tertentu. 30 Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa sikap merupakan perilaku atau kecenderungan seseorang yang dilakukan
terhadap suatu objek yang objeknya itu bisa orang atau benda dengan cara
tertentu.
Sikap itu bisa bersifat positif, namun bisa pula bersifat negatif. Dalam
sikap positif kecenderungan tindakan adalah mendekati, menyenangi, dan
mengharap objek tertentu. Sedangkan dalam sikap yang bersifat negatif,
kecenderungannya adalah untuk menjauhi, menghindari, membenci, dan tidak
menyukai suatu objek tertentu.

28
Muhammad Hamzah, Skripsi. h. 39.
29
Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan Dengan Pendekatan Baru, (Bandung: Rosda
Karya, 1997).
30
Hambali, Tesis. h. 53.
40

Adapun ciri-ciri sikap yang dikemukakan oleh Sarlito Wirawan adalah


sebagai berikut:
a. Dalam sikap terdapat hubungan subjek-objek. Tidak ada sikap yang tanpa
objek. Objek ini bisa berupa benda, orang, kelompok orang, nilai-nilai sosial,
pandangan hidup, hukum lembaga masyarakat, dan lain sebagainya.
b. Sikap tidak dibawa sejak lahir, melainkan dipelajari dan dibentuk melalui
pengalaman-pengalaman.
c. Karena sikap dipelajari, maka sikap dapat berubah-ubah sesuai dengan
keadaan lingkungan di sekitar individu yang bersangkutan pada saat-saat
yang berbeda. Adapun perubahan-perubahan tersebut disebabkan oleh
beberapa faktor, yaitu:
- Faktor internal, yaitu selektifitasnya sendiri, daya pilihnya sendiri atau
minat perhatiannya untuk menerima dan mengolah pengaruh-pengaruh
yang datang dari luar dirinya, dan faktor intern itu turut ditentukan pula
oleh motif-motif dan sikap lainnya yang sudah terdapat dalam diri
pribadi.
- Faktor eksternal, misalnya interaksi dengan lingkungannya. Interaksi
sosial di dalam kelompok maupun di luar kelompok dapat menambah
sikap yang baru. Yang dimaksud interaksi di luar kelompok seperti
kebudayaan, media masa, radio, televisi, dan buku-buku.
d. Dalam bersikap, tentu sangat berkaitan dengan faktor motivasi dan perasaan.
e. Sikap tidak menghilang walaupun kebutuhan seseorang sudah terpenuhi.
f. Sikap tidak hanya satu macam saja, melainkan sangat bermacam-macam
sesuai dengan banyaknya objek yang menjadi perhatian orang yang
bersangkutan.31
Adapun proses pembentukan dan perubahan sikap itu sendiri melalui
empat macam cara, antara lain:
a. Adopsi, yaitu kejadian-kejadian dan peristiwa-peristiwa yang terjadi
berulang-ulang dan terus-menerus. Lama kelamaan secara bertahap kejadian

31
Sarlito Wirawan Sarwono, Pengantar Umum Psikologi, (Jakarta: Bulan Bintang, 2003).
Selanjutnya ditulis Sarlito Wirawan, Pengantar Umum Psikologi......
41

tersebut akan diserap kedalam diri individu dan mempengaruhi terbentuknya


suatu sikap.
b. Diferensiasi, yaitu dengan berkembangnya inteligensia, bertambahnya
pengalaman. Sejalan dengan bertambahnya usia, maka ada hal-hal yang
tadinya dianggap sejenis yang kemudian dipandang tersendiri lepas dari jenis
asalnya. Terhadap objek tersebut, dapat terbentuk sikap tersendiri pula.
c. Integrasi, yaitu pembentukan sikap yang terjadi secara bertahap, dimulai
dengan berbagai pengalaman yang berhubungan dengan suatu hal tertentu
sehingga akhirnya terbentuk sikap mengenai hal tersebut.
d. Trauma, yaitu merupakan cara mendapat pengalaman yang tiba-tiba,
mengejutkan, meninggalkan kesan yang mendalam pada jiwa orang yang
bersangkutan.32
Pada dasarnya ruang lingkup akhlak mulia menurut pandangan Islam
adalah sama dengan ruang ajaran islam itu sendiri, baik yang berkaitan dengan
pola hubungan manusia dengan tuhan maupun manusia dengan manusia.
Indikator manusia yang berakhlak mulia dapat terlihat dari sikap yang ia
perankan dalam kehidupannya sehari-hari. Sikap tersebut mencakup berbagai
aspek, mulai dari caranya berakhlak terhadap Allah, hingga bagaimana ia bersikap
terhadap sesama mahluk (manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan, maupun benda-
benda yang tak bernyawa).33
Indikator-indikator yang melekat pada orang tersebut dapat dipaparkan
sebagai berikut:
1. Memiliki akhlak terhadap Allah, seperti: bertaqwa kepada-Nya, sabar dalam
menghadapi setiap cobaan, bersyukur setiap mendapatkan nikmat, dan
senantiasa menjalankan ibadah sebagai bentuk penghambaan kepada-Nya.
2. Akhlak terhadap sesama manusia, yaitu: berakhlak terhadap diri sendiri,
seperti: jujur, optimis, hemat, rendah hati, dan lain sebagainya. Berakhlak
terhadap orang lain, seperti: tidak menggunjing, berkata jujur pada orang lain,

32
Sarlito Wirawan, Pengantar Umum Psikologi. h. 102.
33
Ahmad Mustafa, Akhlak Tasawuf. h. 149.
42

menghargai orang lain, tidak memfitnah, senantiasa memaafkan kesalahan


orang lain, dan sebagainya.
3. Berakhlak terhadap lingkungan, seperti: menjaga kebersihan, melestarikan
lingkungan, dan menjaga keseimbangan alam dengan bijaksana.34

34
Ali Anwar Yusuf, Studi Agama Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2003).

Anda mungkin juga menyukai