Anda di halaman 1dari 27

Bab1

ETIKA ISLAM

1. Pengertian Etika dan etika Islam

Etika adalah suatu cabang filsafat yang membicarakan tentang perilaku manusia. Atau
dengan kata lain, cabang filsafat yang mempelajari tentang baik dan buruk.
Untuk menyebut etika, biasanya ditemukan banyak istilah lain : moral, norma dan etiket.
Seperti halnya dengan banyak istilah yang menyangkut konteks ilmiah, istilah ―etika‖ pun
bersal dari Yunani kuno. Kata Yunani ethos merupakan bentuk tunggal yang bisa memiliki
banyak arti: tempat tinggal yang biasa; padang rumput, kandang; kebiasaan, adat; akhlak,
watak; perasaan, sikap dan cara berpikir. Bentuk jamaknya adalah ta etha yang berarti: adat
kebiasaan. Dan arti terakhir inilah menjadi latar belakang bagi terbentuknya istilah ―etika‖
dalam filsafat. Dalam sejarahnya, Aristoteles (384-322 SM) sudah menggunakan istilah ini
yang dirujuk kepada filsafat moral.

Istilah lainya yang memiliki konotasi makna dengan etika adalah moral. Kata moral dalam
bahasa Indonesia berasal dari kata bahasa Latin mores yang berarti adat kebiasaan. Kata
mores ini mempunyai sinonim; mos, moris, manner mores, atau manners, morals. Kata moral
berarti akhlak atau kesusilaan yang mengandung makna tata tertib batin atau tata tertib
hatinurani yang menjadi pembimbing tingkah laku batin dalam hidup. Kata moral ini dalam
bahasa Yunani sama dengan ethos yang menjadi etika.

Secara etimologis, etika adalah ajaran tentang baik buruk, yang diterima umum tentang
sikap, perbuatan, kewajiban dan sebagainya. Pada hakikatnya moral menunjuk pada ukuran-
ukuran yang telah diterima oleh suatu komunitas, sementara etika umumnya lebih dikaitkan
dengan prinsip-prinsip yang dikembangkan di pelbagai wacana etika. Akhir-akhir ini istilah
etika mulai digunakan secara bergantian dengan filsafat moral sebab dalam banyak hal,
filsafat moral juga mengkaji secara cermat prinsip-prinsip etika.
Ketika dihubungkan dengan Islam, selalu muncul pertanyaan mendasar, adakah
sesungguhnya yang disebut sebagai etika Islam itu?. Menurut abdul Haq Anshari dalam
Islamic Ethics: Concepts and Prospects meyakini bahwa sesungguhnya Etika Islam sebagai
sebuah disiplin ilmu atau subyek keilmuan yang mandiri tidak pernah ada pada hari ini.
Menurutnya kita tidak pernah menjumpai karya-karya yang mendefinisikan konsepnya,
menggambarkan isu-isunya dan mendiskusikan pemaslahannya. Apa yang kita temukan
justru diskusi yang dilakukan oleh berbagai kalangan penulis, dari kelompok filosof, teolog,
ahli hukum Islam, sufi dan teoretesi ekonomi dan politik dibidang mereka masing-masing
tentang berbagai isu, baik yang merupakan bagian dari keilmuan mereka atau relevan dengan
etika Islam. Toh Demikian Penulis bisa menyimpulkan bahwa Etika islam adalah cabang
ilmu filsafat yang membicarakan baik dan buruk prilaku manusia yang dinaungi cahaya
Islam artinya prilaku manusia tersebut di dasarkan atas rel dan aturan – aturan Agama Islam.
Di bawah ini disampaikan beberapa pendapat tokoh filsafat berkaitan dengan etika Islam,
diantaranya:

a. Al-Kindi

Dalam hal ini etika Al-Kindi berhubungan erat dengan definisi mengenai filsafat atau cita
filsafat. Filsafat adalah upaya meneladani perbuatan-perbuatan Tuhan sejauh dapat
dijangkau oleh kemampuan manusia . Yang dimaksud dengan definisi ini ialah agar
manusia memiliki keutamaan yang sempurna, juga diberi definisi yaitu sebagai latihan
untuk mati. Yang dimaksud ialah mematikan hawa nafsu, dengan jalan mematikan hawa
nafsu itu untuk memperoleh keutamaan. Kenikmatan hidup lahiriah adalah keburukan.
Bekerja untuk memperoleh kenikmatan lahiriah berarti meningggalkan penggunaan akal.

b. Al-Razi

Filsafat etika menurut al-Razi antara lain:

a). Al-Razi juga berkata bahwa manusia harus mengendalikan hawa nafsunya; ia
mengemukakan perbedaan-perbedaan yang dikemukakan perbedaan-perbedaan yang
dikemukakan oleh Plato tentang-tentang aspek jiwa :
b) Al-Razi juga berkata bahwa manusia harus mengendalikan hawa nafsunya; ia
mengemukakan perbedaan yang dikemukakan oleh tentang-tentang aspek jiwa :

1) Nalar
2) Lingkungan
3) Hasrat dan menunjukkan bagaimana keadilan mesti mengatasi semua itu.
c) Al-Razi mengenali dusta, dusta adalah hal yang buruk
d) Tamak adalah suatu keadaan yang sangat buruk yang dapat menimbulkan rasa saki
dan bencana. Mabuk menyebabkan malapetaka dan sakitnya jiwa dan raga dan
sebagainya. Dan keempat pendapat tersebut tercakup dalam Risalah etika Al-Razi
yang cukup terkenal, Obat Pencahar Rohani (Spiritual Phisic).

c. Al-Farabi
Al-Farabi menyebutkan bahwa kebahagiaan adalah pencapaian kesempurnaan akhir bagi
manusia, al-Farabi juga menekankan empat jenis sifat utama yang harus menjadi
perhatian untuk mencapai kebahagiaan didunia dan diahirat bagi bangsa-bangsa dan
setiap warga negara, yakni :
a) Keutamaan teoritis, yaitu prinsip-prinsip pengetahuan yang diperoleh sejak awal
tanpa diketahui cara dan asalnya, juga yang diperleh dengan kontemplasi,
penelitian dan melalui belajar.
b) Keutamaan pemikiran, adalah yang memungkinkan orang mengetahui hal-hal
yang bermanfaat dalam tujuan. Termasuk dalm hal ini, kemampuan membuat
aturan-aturan, karena itu disebut keutamaan pemikiran budaya (fadhail fikriyah
madaniyyah).
c) Keutamaan akhlak, bertujuan mencari kebaikan. Jenis keutamaan ini berada
dibawah dan menjadi syarat keutamaan pemikiran, kedua jenis keutamaan
tersebut, terjadi dengan tabiatnya dan bisa juga terjadi dengan kehendak sebagai
penyemprna tabiat atau watak manusia.
d) Keytamaan amalia, diperoleh dengan dua cara yaitu pernyataan-pernyataan yang
memuaskan dan merangsang.
d. Ikhwan al-Safa`

Adapun tentang moral etika, ikhwan al-Safa‘ bersifat rasionalistis. Untuk itu suatu
tindakan harus berlangsung bebas merdeka. Dalam mencapai tingkat moral dimaksud,
seseorang harus melepaskan diri dari ketergantungan kepada materi. Harus memupuk
rasa cinta untuk bisa sampai pada eksatase. Percaya tanpa usaha, mengetahui tanpa
berbuat adalah sia-sia. Kesabaran dan ketabahan, kelembutan, kasih sayang dan keadilan.
Rasa syukur, mengutamakan kebajikan, gemar berkorban untuk orang lain kesemuanya
harus menjadi karakteristik pribadi. Sebaliknya, bahasa kasar, kemunafikan, penipuan,
kezaliman dan kepalsuan harus dikikis habis sehingga timbul kesucian perasaan,
kecintaan yangmembara sesama manusia, dan keramahan terhadap alam dan binatang liar
sekalipun.
Jiwa yang telah dibersihkan akan mampu menerima bentuk-bentuk cahaya spiritual dan
entitas-entitas yang bercahaya. Semakin suci jiwa dan tidak terbelenggu oleh ikatan
jasmani, semakin dapat memahami makna dasar yang tersembunyi dalam kitab suci dan
kessuainya dengan data pengetahuan rasional dalm filsafat. Sebaliknya, selama jiwa
terperosok dalam daya pikat tubuh dan oleh keinginan-keinginan dan kesenangan-
kesenanganya, ia tidak dapt mengetahui makna kitab suci dan ia tidak akan dapat
beranjak kepad bola-bolalangit dan secara langsungmerenungkan apa yang ada disana.

e. Ibnu Maskawaih

Akhlak, menurut Maskawaih, ialah suatu sikap mental atau keadaan jiwa yang
mendorongnya untuk berbuat tanpa piker dan pertimbangan. Sementara tingkah laku
manusia terbagi menjadi dua unsure, yakni unsure watak naluriah dan unsure lewat
kebiasaan dan latihan.
Berdasarkan ide diatas, secara tidak langsung Ibnu Maskawaih menolak pandangan
orang-orang Yunani yang mengatakan bahwa akhlak manusia tidak dapat berubah. Bagi
Ibnu Maskawaih akhlak yang tercela bisa berubah menjadi akhlak yang terpuji dengan
jalan pendidikan (Tarbiyah al-Akhlak) dan latihan-latihan. Pemikiran seperti ini jelas
sejalan dengan ajaran Islam karena kandungan ajaran Islam secara eksplisittelah
mengisyaratkan kearah ini dan pada hakikatnya syariat agama bertujuan untuk
mengokohkan dan memperbaiki akhlak manusia. Kebenaran ini jelas tidak dapat
dibantah, sedangkan akhlak atau sifat binatang saja bisa berubah dariliar menjadi jinak,
apalagi akhlak manusia.

Masalah pokok yang dibicarakan dalam kajian tentang akhlak adalah kebaikan (al-khair),
kebahagiaan (al-sa‘adah) dan keutamaan (al-fadhilah). Menurut Ibnu Maskawaih,
kebaikan adalah suatu keadaan dimana kita sampai kepada batas akhir dan kesempurnaan
wujud. Kebaikan adakalanya umum dan adakalanya khusus. Diatas semua kebaikan itu
terdapat kebaikan mutlak yang identik dengan wujud tertinggi.

f. Al-Ghozali

Al-Ghazali melihat sumber kebaikan manusia itu terletak pada kebersihan rohaninya dan
rasa akrabnya terhadap Tuhan. Sesuai dengan prinsip Islam, al-Ghazali menganggap
Tuhan sebagai pencipta yang aktif berkuasa, yang sangat memelihara dan menyebarkan
rahmat (kebaikan) bagi sekalian alam. Al-ghazali juga mengakui bahwa kebaikan
tersebur dimana-mana, juga dalam materi. Hanya pemakaiannya yang disedeeer hanakan,
yaitu kurangi nafsu dan jangan berlebihan.

Bagaimana cara bertaqarrub kepada Allh itu, al-Ghazali memberikan beberapa cara
latihan yang langsung mempengaruhi rohani. Diantaranya yang terpenting ialah
muraqabah, yakni merasa diawasi terus oleh Tuhan, dan al-mahasabah, yakni senantiasa
mengoreksi diri sendiri.

Menurut al-Ghazali, kesenangan itu ada dua tingkatan, yaitu kepuasan dan kebahagiaan.
Kepuasan adalah apabila kita mengetahui kebenaran sesuatu. Bertambah banyak
mengetahui kebenaran itu, bertambah banyak orang merasakan kebahagiaan.
Akhirnya, kebahagiaan yang tertinggi itu ialah bila mengetahui kebenaran dari sumber
segala kebahagiaan itu sendiri. Itulah yang dinamakan ma‘rifatullah, yaitu mengenal
adanya Allah tanpa syak sedikit juga dan dengan penyaksian hati yang sangat yakin.

g. Ibnu Bajjah

Ibnu Bajjah membagi perbuatan manusia menjadi perbuatan hewani dan manusiawi.
perbuatan hewani didasarkan atas dorongan naluri untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan
dan keinginan hawa nafsu. Sementara itu, perbuatan manusiawi adalah perbuatan yang
didasrkan atas petimbangan rasio dan kemauan yang bersih lagi luhur.
Secara ringkas Ibbnu Bajjah membagi tujuan perbuatan manusia menjadi tiga tingkat
sebagai berikut :
a) Tujuan jasmaniah, dilakukan atas dasar kepuasan rohaniah. Pada tujuan ini manusia
sama derajatnya dengan hewan.
b) Tujuanrohaniah husus, dilakukan atas dasar kepuasan rohaniah. Tujuan ini akan
melahirkan keutamaan akhlaqiyyah dan aqliyyah.
c) Tujuan rohaniah umum (rasio), dilakukan atas dasar kepuasan pemikiran untuk dapat
berhubungan dengan Allah. Inilah tingkat manusia yang sempurnadan taraf inilah
yang ingin dicapai manusia penyendiri Ibnu Bajjah.

h. Ibnu Thufail

Menurutnya, manusia merupkan suatu perpaduan tubuh, jiwa hewani dan esesnsi non-
bendawi, dan dengan demikian menggambarkan binatang, benda angkasa dan Tuhan.
Karena itu pendakian jiwanya terletak pada pemuasan ketiga aspek sifatnya, dengan cara
meniru tindakan-tindakan hewan, benda-benda angkasa dan Tuhan. Mengenai
peniruanya, pertamaterikat untuk memenuhi kebutuhan tubuhnya akan kebutuhan-
kebutuhan pokok serta menjaganya dari cuaca burukdan binatang buas, dengan satu
tujuan yaitu mempertahankan jiwa hewani. Peniruan yang kedua menuntut darinya
kebersihan pakaian dan tubuh, kebaikan terhadap obyek-obyek hidup dan tak hidup,
pereungan atas esensi Tuhan dan perputaran atas esesnsi Tuhan dan perputaran esensi
orang dalam ekstase.
i. Ibnu Rusyd

Mengenai etika Ibnu Rusyd membenarkan teori Plato yang mengatakan bahwa manusia
adalah makhluk social yang membutuhkan kerja sama untuk memenuhi keperluan hidup
dan mencapai kebahagiaan. Dalam merealisasikan kebahagiaan yang merupakan tujuan
ahir bagi manusia, diperlukan bantuan agama yang akan meletakkan dasar-
dasarkeuamaan akhlak secara praktis, juga bantuan filsafat yang mengajarkan keutamaan
teoritis, untuk itu diperlukan kemampuan perhubungan dengan akal aktif.

Sementara menurut al-Thusi bahwa kebahagiaan utama adalah tujuan moral utama, yang
ditentukan oleh tempat dan kedudukan manusia didalam evolusi kosmik dan diwuudkan
lewat kesediannya untuk berdisiplin dan patuh. Al-Thusi juga menempatkan kebajikan
(tafadhol) diatas keadilan dan cinta (mahabbah) sebagai sumber alami kesatuan, diatas
kebajikan.
Bagi al-Thusi, penyakit moral bisa disebabkan oleh salah satu dari tiga sebab, yaitu (1)
keberlebihan, (2) keberkurangan dan (3) ketakwajaran akal, kemarahan atau hasrat. Bagi
al-Thusi masyarakat berperan. Bagi al-Thusi, masyarakat juga berperan menentukan
kehidupan moral, sebab pada dasarnya manusia adalah makhluk social, bahkan
kesmpurnaannya terletak pada tindakannya yang bersifat social kepad sesamanya.
Dengan kata lain, ia mendukung konsep cinta dan persahabatan.

2. Hakikat Baik dan Jahat

Apakah yang baik itu, apa ukurannya, dan apakah nilai nilai baik di satu tempat dengan
tempat yang lainnya berbeda atau sama ?

Sebagai contoh kasus adalah menghormati seorang tamu yang sudah dikenal baik dan
bermaksud baik, seperti orangtua, mantan guru atau teman dekatnya, maka semua orang,
apapun kebangsaan, agama, dan pekerjaannya, semua sepakat bahwa menghormati tamu itu
adalah baik. Akan tetapi bisa terjadi cara menghormati seorang tamu di satu tempat dengan
tempat lainnya itu berbeda. Bagi orang Arab barangkali memegang kepala adalah suatu
kehormatan, sementara memegang pantat adalah penghinaan, sebaliknya bagi orang jawa
memegang kepala bisa dianggap merendahkan.

Dilihat dari nilai-nilai etika, hakikat baik dan jahat itu bersifat universal dan absolute seperti
membunuh bayi adalah jahat dan menghormati ibu adalah baik, dan bagi siapa pun orangnya,
kebangsaannya, agamanya, di manapun dan kapan pun, semuanya sepakat terhadap nilai-
nilai baik dan jahat tersebut di atas. Akan tetapi, dilihat dari segi aplikasi nilai-nilai etika itu
dalam realitas kehidupan, bisa saja terjadi perbedaan-perbedaan, seperti bentuk-bentuk
penghormatan. bisa jadi antara satu daerah dengan daerah lainnya berbeda, demikian juga
pembunuhan bayi untuk menyelamatkan ibunya, dalam dilema medik untuk memilih salah
satunya ibu atau anaknya, jika kedua-duanya tidak bisa diselamatkan masih dapat dimengerti.
Persoalan etika pada dasarnya lebih berada pada dataran aplikatif, karena dalam realitas
kehidupan konkret, berbagai persoalan dilematik muncul dan nilai – nilai yang universal dan
absolut itu menghadapi tantangan yang kompleks, yang tidak sepenuhnya dapat dijalankan
dengan mulus. Seperti yang terjadi saat akibat krisis moneter yang berdampak pada krisis
ekonomi, telah menimbulkan kesulitan hidup dan rawan pangan, sementara pengangguran
merajalela. Dalam situasi yang demikian, apakah penjarahan makanan untuk menyambung
hidup tidak diperbolehkan, atau diperbolehkan tetapi hanya terbatas sampai tingkat kelaparan
bisa diatasi atau diperbolehkan sama sekali tanpa catatan. Itulah barangkali kontroversialnya
pernyataan Menpangan dan Holtikultura Kabinet Reformasi Dr Saifuddin yang
menghebohkan, yang memperbolehkan penjarahan di bawah 5%.

Dalam konsep filsafat Islam, yang baik itu disebut al mar‘ruf artinya semua orang secara
kodrat tahu dan menerimanya sebagai kebaikan, sedangkan yang jahat itu disebut al-munkar
yaitu semua orang secara kodrati menolak dan mengingkarinya . Nilai baik atau al-ma‘ruf
dan nilai jahat atau al munkar adalah bersifat universal, dan kita diperin tahkan untuk
melakukan yang baik dan menjauhi serta melarang tindakan yang jahat. Alquran 3:104
mengatakan :
             

 

Artinya : Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang mengajak kebaikan,
menyurah kepada al ma‘ruf dan mencegah dari yang almunkar dan merekalah 0rang 0rang
yang beruntung. [Surat Ali ‗Imran:104]

Akan tetapi dalam dataran aplikatif, terdapat kelonggaran hukum yang berlaku hanya dalam
keadaan darurat saja. Yaitu diperbolehkannya melanggar suatu larangan, adlaruratu
tubihulmahdlurat; bahkan jika satu-satunya jalan untuk dapat bertahan hidup adalah hanya
memakan barang yang dilarang agama, umpamanya memakan bangkai atau babi, maka
diperbolehkan memakannya, bahkan memakannya saat itu dapat berubah menjadi wajib
hukumnya. Alquran 2:173 mcngatakan:

                 

         

Artinya:

173. Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika
disembelih) disebut (nama) selain Allah[108]. tetapi Barangsiapa dalam Keadaan terpaksa (memakannya)
sedang Dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka tidak ada dosa baginya.
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

[108] Haram juga menurut ayat ini daging yang berasal dari sembelihan yang menyebut nama Allah tetapi
disebut pula nama selain Allah.

3. Etika Sosial

Dalam kehidupan sosial berlangsung proses komunikasi dan interaksi antara berbagai
individu dan kelompok, bahkan ( seringkali mengambil bentuk adanya konflik dan
ketegangan sosial. Konflik dan ketegangan sosial itu muncul oleh adanya pluralitas, baik
dalam pandangan hidup, ideologi politik, kesukuan, budaya dan keyakinan agama serta
kepentingan ekonomi. Di sampmg itu, pluralitas seringkali dipertegang oleh adanya
kesenjangan ekonomi, kesenjangan tingkat pendidikan ―(dan penguasaan birokrasi
pemerintahan antara kelompok yang satu dengan kelompok yang lainnya. ( Etika sosial di
perlukan dalam masy arakat sarat pluralitas, mempunyai mekanisme penyelesaian masalah
masalah yang dihadapi, berdasarkan nilai-nilai etika yang menjadi bagian fundamental dari
tata kehidupan sosialnya. Melalui proses pembudayaan dan pemberdayaan etika sosial, maka
pluralitas yang ada akan menjadi bagianl dari proses perekat dan memperkaya hubungan
emosional dari berbagai kelommpok sosial. Etika sosial itu dibangun dari akar agama dan
kebudayaan yang menjadi bagian fundamental kehidupan masyarakat turun-temurun dan
selalu diaktualisasikan secara kreatif dan kontekstual sesuai dengan perubahan masyarakat
dalam berbagai aspeknya. Dalam hubungan ini, maka etika sosial pada dasarnya dibangun
untuk memperkuat dan memperkaya pluralitas, yang lahir dari proses dialektik dengan
mencari bentuk-bentuk sintetik yang selalu mencair dengan perubahan, dan terus berdialektik
menuju bentuk-bentuk sintetik baru yang lebih baik sesuai dengan tantangan perubahan dan
kemajemukan. Etika sosial itu antara lain dibangun dari prinsip prinsip dasar kehidupan
bersama, yaitu:

a. Persamaan dan Kebersamaan

Prinsip persamaan dan kebersamaan artinya semua kelompok sosial pada dasarnya
mempunyai kedudukan yang sama, tanpa harus menghilangkan adanya stratifikasi sosial
yang telah menjadi realitas sosial, dan masing-masing kelompok sosial mempunyai hak dan
kewajiban yang sama.

Dengan persamaan itu diharapkan muncul kebersamaan hidup yang kuat, kebersamaan dalam
suka dan duka serta kebersamaan dalam, menghadapi tantangan masa depan kehidupan.
Dalam filsafat Islam, realitas plurals itu merupakan kodrat kehidupan itu sendiri, tidak bisa
ditolak dan apalagi diingkari, bahkan merupakan kehendak Tuhan sendiri, karena jika Tuhan
tidak menghendaki adanya pluralitas, tentu sangat mudah bagi-Nya untuk membuat realitas
hanya tunggal, tetapi kenyataannya yang ada adalah pluralitasi dalam berbagai aspek
kehidupan manusia di dunia. Alquran 5:48 mengatakan:
             

                 

                 

       

48. dan Kami telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang
sebelumnya, Yaitu Kitab-Kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian[421] terhadap Kitab-Kitab yang
lain itu; Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti
hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. untuk tiap-tiap umat diantara
kamu[422], Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-
Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, Maka berlomba-
lombalah berbuat kebajikan. hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya
kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu,

[421] Maksudnya: Al Quran adalah ukuran untuk menentukan benar tidaknya ayat-ayat yang diturunkan dalam
Kitab-Kitab sebelumnya.

[422] Maksudnya: umat Nabi Muhammad s.a.w. dan umat-umat yang sebelumnya.

b. Keadilan Sosial

Prinsip ditegakkannya keadilan sosial, untuk memperkecil kesenjangan sosial dan


mencairkan ketegangan sosial akibat perasaan diperlakukan secara tidak adil dan pada
gilirannya akan dapat meningkatkan partisipasi pada perbaikan dan peningkatan taraf hidup
masyarakat dalam berbagai aspeknya. Dalam berbagai kasus kekerasan sosial terjadi karena
disebabkan antara lain adanya sekelompok orang (pendatang atau etnis tertentu) yang
menguasai kegiatan ekonomi dan sumber kegiatan ekonomi masyarakat serta hidupnya lebih
berkecukup an dan makmur dengan perlindungan dan perlakuan hukum yang lebih berpihak
pada kelompok ini.

Dalam situasi normal, mungkin kesenjangan itu masih dapat dikendalikan, akan tetapi dalam
keadaan krisis yang melanda berbagai aspek keh1dupan krisis social, politik, ekonomi,
budaya, hukum dan agama, maka realitas kesenjangan itu seperti rumput kering yang mudah
terbakar oleh adanya isu – isu yang memecah belah kelompok masyarakat, dan ditingkat
kekerasan massal, amat sulit mengatasinya, seperti kasus Ambon dan Sambas. Hal ini bisa
terjadi karena masyarakat sudah lama memendam perasaan kecewa, cemburu, curiga dan
tidak senang. Sehingga etika sosial seperti pela gandong yang selama ini tumbuh dan
dipelihara oleh masyarakat Ambon, tiba-tiba tidak berdaya dan rapuh menghadapi isu
keagamaan yang sudah bercampur dengan berbagai krisis sosial politik yang kompleks.
Dalam konsep filsafat Islam, keadilan bagian dari taqwa dan kemuliaan manusia ditentukan
taqwanya yang berarti juga ditentukan oleh tingkat keadilannya. Alquran 5:8 mengatakan:

             

                

8. Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu Jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran)
karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum,
mendorong kamu untuk Berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan
bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.

Perintah berbuat adil juga berlaku bagi para pedagang untuk menimbang dan menakar barang
dagangannya dengan benar, juga bagi penguasa atau tokoh politik untuk tidak memaksakan
kehendak dan tidak bertindak nepotis dengan memberikan hak istimewa kepada keluarganya.

c. Keterbukaan dan Musyawaroh

Dalam kehidupan masyarakat yang pluralis, yang terdiri dari multi etnik, multi agama dan
berbagai aliran politik, (maka diperlukan adanya kepemimpinan yang terbuka dan
(mengembangkan semangat musyawarah, terutama yang berkaitan dengan hak-hak publik,
dan menjaga agar ruang publik tetap diperuntukkan untuk kepentingan publik, dengan
manajemen yang terbuka. Tanpa keterbukaan akan menimbulkan kecurigaan, yang pada
gilirannya akan memicul adanya konflik. Agar kebijakan publik dapat berjalan efektif, maka
semua kebijakan publik harus dilahirkan melalui proses musyawarah, melalui insitusi sosial
dan didirikan dan diakui oleh semua warga dan kelompok masyarakat. Masyarakat makin
hari makin pintar dan dapat memperoleh informasi melalui bcrbagai saluran komunikasi
yang modern dan dapat membandingkannya dengan masyarakat lain di seluruh dunia. Oleh
karena itu, lembaga musyawarah yang terbuka, yang tidak didominasi oleh satu kelompok
dan satu kepentingan tertentu, menjadi sangat panting untuk mengantisipasi adanya
ketegangan dan keresahan masyarakat. `

Dalam konsep filsafat Islam, etika sosial merupakan jiwa dari denyut nadi kehidupan
lembaga musyawarah yang dikembangkan secara terbuka. Alquran 3:159 mcngatakan :

                 

                

159. Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu
bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu ma'afkanlah
mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu[246].
kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya. [Ali ‗Imran:159]

[246] Maksudnya: urusan peperangan dan hal-hal duniawiyah lainnya, seperti urusan politik, ekonomi,
kemasyarakatan dan lain-lainnya.

Bermusyawarah adalah etika sosial yang fundamental, karena kodrat kehidupan masyarakat
adalah perbedaan dan pertentangan pendapat Alquran 51: 8 mengatakan:

    


8. Sesungguhnya kamu benar-benar dalam Keadaan berbeda pendapat[1416],

[1416] Maksudnya berbeda Pendapat antara kaum musyrikin tentang Muhammad SAW dan Al-Quran.

Sehingga musyawarah menjadi panting untuk mencari pendapat yang unggul dan lebih baik,
untuk menjadi acuan kebijakan publik. Dengan musyawarah yang terbuka, untuk dapat
mengikuti pendapat yang lebih baik, artinya juga tidak membiarkan masyarakat berada dalam
persangkaan, yang seringkali berkembang menjadi isu yang meresahkan, karna kecurigaan
bukanlah suatu kebenaran. Oleh karena itu masyarakat hendaknya dijauhkan dari prasangka-
prasangka dan itu hanya dapat dipecahkan melalui musyawarah yang terbuka.

4. Etika Ekonomi

Ekonomi adalah kegiatan yang langsung berkaitan dengan usaha memenuhi kebutuhan dasar
hidup manusia, yang berkaitan dengan kebutuhan pokok sehari-hari, sehingga sangat besar
pengaruhnya dalam pembentukan pola perilaku masyarakat dalam berbagai aspek kehidupan.
Krisis ekonomi akan berdampak pada muncumya krisis di bidang politik, sosial, hukum,
budaya dan agama, bahkan kemiskinan ditengarai menjadi ancaman yang serius bagi iman
dan keyakinan agama. Nabi Muhammad saw., pernah bersabda, kadal faqru an-yakuna
kufran, hampir dipastikan kemiskinan membawa akibat kekufuran.Oleh karena kesenjangan
ekonomi yang sangat mencolok dalam kehidupan masyarakat, akan menimbulkan keresahan
dan ketegangan sosial, apalagi yang kaya makin kaya dan yang miskin makin miskin dan
makin sulit hidupnya. Ada seorang penjarah yang ditanyakan kepadanya, apakah tidak takut
mati, baik terbakar atau di tembak polisi, ia menjawab, apa yang mesti ditakuti dengan mati,
dan apa bedanya mati sekarang dengan esok, karena keadaan esokbaginya tidak akan lebih
baik dari sekarang bahkan mungkin akan mejadi makin buruk, mengingat usianya yang tua,
sementara besar dan sulit mendapatkan pekerjaan yang layak. Padahal dalam setiap kegiatan
ekcnomi, penghasilan dan kekayaan yang diperoleh perusahaan atau seorang pengusaha pada
hakikatnya tidak bias dicapai dengan bekerja karena di dalamnya selalu melihat tenaga dan
orang, bahkan jerih payah dan keringat dari pada karyawan dan para pembantunya.
Sementara mereka menyaksikan betapa jauhnya kesenjangan pendapatan serta fasilitas yang
diterima antara yang diatas dengan bawahan. Nabi Muhammad saw mengingatkan bayarlah
upah karyawan sebelum kering keringatnya
Dalam Konsep Filsafat Islam kepemilikan kekayaan oleh individu atau pun
masyarakat,tidaklah mutlak karena kekayaan sesungguhnya diperoleh hanya dengan
memanfaatkan kekayaan alam dan kerjasama dengan sesame manusia yang 1ainnya. Dan
pemilik mutlak yang menguasai langit dan bumi adalah hanya Allah sendiri, bukan manusia,
baik oleh pribadi mapun masyarakat . AlQuran 31 :25-26 mengatakan:

                

            

25. dan Sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka: "Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?"
tentu mereka akan menjawab: "Allah". Katakanlah : "Segala puji bagi Allah"; tetapi kebanyakan mereka tidak
mengetahui.

26. kepunyaan Allah-lah apa yang di langit dan yang di bumi. Sesungguhnya Allah Dia-lah yang Maha Kaya
lagi Maha Terpuji.

Oleh karena alam, rezeki dari langit dan bumi diberikan Allah kepada manusia sebagai
pemilik mutlak segala sesuatu, maka pemilikan kekayaan oleh seseorang tidak bersifat
mutlak dan dalam setiap kekayaannya terdapat hak orang lain, yang harus diberikan baik
melalui zakat atau infaq dan shadaqah yang lainnya. Alquran 51:19 mengatakan:

     

19. dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak
mendapat bagian[1417].

[1417] Orang miskin yang tidak mendapat bagian Maksudnya ialah orang miskin yang tidak meminta-minta.
Selanjutnya pada Alqurang 9:103 mengatakan :

                

 

103. ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan[658] dan
mensucikan[659] mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman
jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.

[658] Maksudnya: zakat itu membersihkan mereka dari kekikiran dan cinta yang berlebih-lebihan kepada harta
benda

[659] Maksudnya: zakat itu menyuburkan sifat-sifat kebaikan dalam hati mereka dan memperkembangkan harta
benda mereka.

Jika hak orang lain yang ada dalam kekayaan dan harta benda seseorang tidak dikeluarkan
untuk orang-orang yang berhak yaitu fakir miskin dan yang membutuhkan lainnya maka
kekayaan itu tidak ada manfaatnya bagi lingkungan di sekitarnya dan seringkali akan menjadi
sumber fitnah, dan kecemburuan sosial yang makin lama akan menjadi kebencian dan
ketidaksenangan pada pemiliknya, dan karena seseorang itu hidup bersama dan
membutuhkan orang lain, maka keadaan yang demikian pada akhirnya akan merugikan
dirinya sendiri.

5. Etika Politik

Kegiatan politik adalah kegiatan yang bertujuan untuk merebut dan memperoleh kekuasaan,
karena dengan kekuasaan dianggap seseorang atau kelompok masyarakat akan mempunyai
akses yang besar untuk ikut merumuskan dan menetapkan kebijakan publik yang
menguntungkan dirinya atau kelompoknya. Bahkan kekuasaan politik dianggap sebagai
kekuatan nyata untuk mengatur kehidupan masyarakat dalam berbagai aspeknya, karena
tanpa kekuasaan politik, pengaruh seseorang atau kelompok tidak akan efektif dalam
kehidupan masyarakat. Dalam kehidupan politik, seringkali muncul fenomena politik
kekuasaan bukan politik moral, yaitu tindakan politik yang semata-mata untuk merebut dan
memperoleh kekuasaan, karena dengan kekuasaan politlk ang dimilikinya,seseorang atau
kelompok masyarakat akan memperoleh keuntungan materi, popularitas dan fasilitas yang
membuat . hidupnya berkecukupan dan terhormat. Dalam format politik yang demikian, tidak
mustahil seseorang akan mengorbankan apa saja untuk mcncapai tujuan politiknya,
meskipun. harus menyudutkan dan menjatuhkan orang lain, sehingga lawan dan kawan
ditentukan sepenuhnya oleh kepentingan kepentingan politik yang sama, yang setiap saat bisa
saja berubah dengan cepat, karena itu dalam politik dikenal tidak ada kawan abadi, dan tidak
ada lawan abadi, yang ada adalah kepentingan abadi, yaitu kepentingan kekuasaan. Dalam
politik kekuasaan sudah barang tentu yang menjadi ukuran dan tujuan adalah kekuasaan,
kekuasaan adalah segala-galanya, seperti ungkapan bahwa kekuasaan adalah panglima.
Sedangkan dalam politik moral, maka kekuasaan politik bukan tujuan akhir, tetapi alat
perjuangan dari cita cita moral dan kemanusiaan. Tujuan kekuasaan yang hendak dicapainya
tidak menghalalkan segala cara, tetapi ditentukan oleh cara-cara yang bijak, yang dibenarkan
oleh moralitas kemanusiaan dan kepatutan sosial. Politik moral pada dasarnya merupakan
keharusan, yang mesti dicapai oleh seorang politisi sejati, karena melalui politik moral,
diharapkan jalannya pemerintahan dan negara lebih sehat, kuat, terkontrol dan berlangsung
untuk kepentingan memajukan kehidupan rakyat yang lebih baik, baik dalam kehidupan
jasmani maupun kehidupan rohani dan intelek. Dalam konsep filsafat Islam bentuk negara
danpemerintahan tidak mutlak yang mutlak adalah moralitas kemanusiaan atau
akhlakulkarimah yang harus menjadi basis penyelenggaraan kekuasaan negara, di mana
musyawarah, keadilan, persamaan dan kebebasan berpikir menjadi tiang kekuasaan
pemerintahan dan negara. Membangun negara adalah membangun sistem politik di mana
musyawarah keadilan, persamaan dan kebebasan berpikir dapat hidup dan berkembang
dalam masyarakat (lihat etika sosial). Mungkin saja bentuk akan berpengaruh pada
penyelenggaraan kekuasaan, sehingga bentuk pemerintahan republik dipandang lebih baik
daripada bentuk pemerintahan monarkhi. Akan tetapi pada kenyataannya sistem
penyelenggaraan pemerintahan ditentukan oleh moralitas para pemimpin pemerintahannya,
baik yang berada di lembaga eksekutif, yudikatif, legislatif, militer dan dunia pers, seperti
dalam kasus politik Ind0nesia di bawah rezim Soeharto, semua pilar kelembagaan negara
demokrasi ada, bahkan pemilu bisa diselcnggarakan tiap lima tahun, tidak bisa berfungsi
secara benar dan ideal, semua lembaga sudah terkooptasi oleh Kolusi, Korupsi dan
Nepotisme (KKN) ang berjalan secara sistematik dalam kekuasaan tunggal Soeharto dan
kroninya.

Konsep khalifah dalam kontek politik, harus dipahami sebagai konsep kekuasaan politik
yang berlandaskan pada hukum-hukum Allah, baik yang tersurat dalam firman-firman-Nya
maupun yang terkandung dalam diri manusia dan alam semesta, yaitu hukum agama dan
moralitas, hokum akal sehat dan hukum alam. Kata khalifah‖ artinya adalah pengganti atau
wakil, sehingga khaliafullah fil ardli, artinya pengganti atau wakil Allah di muka bumi,
sebagai wakil atau pengganti maka tugas, wewenang dan waktunya terbatas, dan ini berarti ia
tidak mempunyai otoritas seperti otoritas Tuhan yang mutlak kekuasaannya di muka bumi,
karena Tuhan telah menggariskan batas-batas yang mangatur kekuasaannya dan
pertanggungjawaban atas penggunaan kekuasaannya itu. Kata khalifah pertama kali dipakai
Alquran untuk Nabi Adam as., yang diangkat Allah sebagai wakil-Nya di bumi. Untuk bekal
tugasnya itu, Adam as., diajari Allah dengan nama-nama benda di sekitarnya, meskipun
malaikat merasa keberatan akan kemungkinan terjadinya kerusakan dan pertumpahan darah
antara sesamanya. Untuk menghindari ke- iV rusakan dan pertumpahan darah sebaiknya
mereka (para malaikat) saja yang menjadi khalifah, karena siang malam pekerjaannya hanya
bertasbih dan bertahmid kepada Allah. Rupanya tugas khalifah tidak cukup hanya dengan
bertasbih dan bertahmid saja, tugas khalifah untuk memakmurkan bumi hanya rnungkin
dicapai, dengan konsep nama-nama benda, atau pengetahuan konseptual Tanpa pengetahuan
konseptual kemungkinan besar hutan akan meranggas tanpa memberi makna bagi kehidupan
manusia, lautan sepi tanpa1 kapal yang rnengarunginya untuk keperluan hidup manusia,
sepanjang malam gelap gulita tanpa lampu penerang. Alquran 2:30-31 mengatakan:

                
                

            

30. ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang
khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang
yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami Senantiasa bertasbih dengan
memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak
kamu ketahui."

31. dan Dia mengajarkan kepada Adam Nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya
kepada Para Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar
orang-orang yang benar!"

Oleh karcna itu, scorang khalifah pada dasarnya harus mampu menundukkan dan
mengendalikan hawa nafsunya dengan pengetahuan konseptualnya yang dibangun dari ke
kuatan suci aqalnya, dengan berhukum pada kebenaran yang pada dasarnya merupakan
pcnjelmaan ayat-ayat Tuhan; kitab suci, diri rnanusia sendiri dan alam semesta yang
diturunkan dalam hukum agama, hukum akal sehat dan hukum alam. Alquran 38:26
mengatakan :

              

                

26. Hai Daud, Sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, Maka berilah
keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan
menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat darin jalan Allah akan mendapat
azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.
Dilihat dari penegasan Alquran mengenai konsep khalifah, dapatlah ditarik kesimpulan
bahwa tugas khalifah untuk memakmurkan bumi hanya dimungkinkan dengan pengetahuan
konseptual yang berdimensi transendental, sebagai perpanjangan dari ayat-ayat Tuhan yang
ada dalam kitab suci, diri manusia dan alam semesta, yang memadukan , hukum agama dan
moralitas, hukum akal sehat dan hukum alam. Dengan pengetahuan konseptual yang
bcrdimensi transendental itu, maka diharapkan tidak membuat kerusakan dan pertumpahan
darah, karena hawa nafsu tidak dibiarkan merajalela, dibatasi dan dikendalikan olch
kebenaran. Jika kerusakan dan pertumpahan darah tcrjadi, maka manusia sendiri yang akan
menanggung segala akibatnya. Dalam konsep filsafat Islam, etika politik didasarkan pada
politik moral, bukan politik kekuasaan. Kekuasaan sifatnya relatif dan tidak mutlak, yang
dijalankan dengan pengetahuan konseptual yang berdimensi transendental. Kepemimpinan
politik Islam tidak terletak pada Islam yang formalistik, tetapi pada Islam yang substansinya
pada aktualitas prinsip musyawarah kcadilan, kebenaran, pcrsamaan dan kebebasan bcrpikir.
Oleh karcna itu, pilar penyangga dari lembaga kepemimpinan politlk Islam, tidak hanya pada
adanya lembaga cksekutif, yudikatif, legislatif, tetapi juga berfungsinya lembaga pers dan
organisasi non pemerintah atau lembaga swadaya masyarakat (LSM).

6. Etika Kebudayaan

Kcbudayaan dalam konteks etika adalah kcbudayaan dalam artian sebagai kata kerja atau
kebudayaan sebagai proses, bukan sebagai kata benda atau produk, karena kebudayaan
sebagai kata benda atau produk dapat dimengerti sebagai sesuatu yang bebas nilai, mcskipun
kehadirannya seringkali memaksa seseorang untuk menyesuaikan diri dengannya, seperti
contoh kehadiran industri dalam sebuah kawasan, telah memaksa penduduk sekitarnya untuk
menyesuaikan diri dcngan ritme industrialisasi Bahkan seringkali menggusur tata kehidupan
lama yang lebih berorientasi kebudayaan agraris atau kebudayaan pedcsaan, dan secara
fundamental tcrjadi proses perubahan dan pergeeseran nilai-nilai budaya, yang Secara
bersamaan juga terjadi proses perubahan dan pergeseran struktur sosial yang menopang
kehidupan masyatakat di sekitarnya, untuk encari bentuk-bentuk sintetik masyarakat industri
baru. Kebudayaan sebagai proses berpusat pada pikiran dan hati manusia. Kebudayaan dapat
pula disebut sebagai aktivitas pemikiran. Pada tahap ini, kebudayaan adalah usaha dan upaya
manusia menjawab tantangan yang dihadapkan kepadanya. Tantangan yang dihadapi
manusia makin hari makin kompleks, sehingga kebudayaan juga menampakkan wajahnya
yang penuh kompleksitas. jika pada dataran ontologis kebudayaan ada karena adanya
manusia, yang berpusat pada pikiran, perasaan dan hati manusia, yang merajut jaring-jaring
kehidupan manusia dalam berbagai aspeknya, maka dalam dataran fungsional, menjadikan
manusia itu sendiri justru terjaring oleh dan dalam rajutan jaring yang dibuatnya sendiri,
bahkan manusia hidup ditentukan oleh kebudayaannya. Dalam zaman yang makin modern ini
manusia tidak bisa lagi hidup tanpa baju dan aksesorinya, bahkan mencari baju dan aksesori
yang lebih baik lagi, untuk menggambarkan suatu kelas sosial tertentu, kebudayaan
merefleksikan suatu kelas dan simbol tertentu. Kebudayaan seeara fungsional membentuk
dan mengarahkan manusia pada situasi yang memaksanya untuk mengikuti pola dan sistem
kebudayaan yang ada, ia tidak berdaya untuk melepaskan dirinya, bahkan kebudayaan
seakan-akan mempunyai kekuatan memaksa kebebasan manusia, seperti dalam kebudayaan
industrial, manusia sepenuhnya tidak punya pilihan untuk menolaknya, bahkan seringkali
memunculkan fenomena dimana manusia mengalami alienasi diri; terasing, kesepian dan
gelisah. Dalam konsep fllsafat Islam, sesungguhnya proses kebudayaan sejak awal tidak
boleh dilepaskan dari nilai-nilai etika . Karena kebudayaan adalah eksistensi hidup manusia
sendiri yang terbingkai dalam nilai-nilai etika. Sejak dari berpikir, berimajinasi. dan
beraktualisasi diri dalam pilihan-pilihan serta percobaan-percobaan kreatif dalam realitas
kehidupan, seharusnya didasarkan pada nilai-nilai yang baik, untuk menciptakan kehidupan
yang lebih manusiawi, penuh warna, dinamik dan memperkaya rohani, bukan untuk
aktualisasi dirinya dan hatinya tertutup, sehingga membuatnya cenderung mendorong
manusia melakukan kejahatan dengan ilmunya. Alquran 45:23

               

         

23. Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya dan Allah
membiarkannya berdasarkan ilmu-Nya[1384] dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan
meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah
(membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?

[1384] Maksudnya Tuhan membiarkan orang itu sesat, karena Allah telah mengetahui bahwa Dia tidak
menerima petunjuk-petunjuk yang diberikan kepadanya.

Dalam tahapan ini, proses kébudayaam merupakan proses turunan dan tiruan dari kekuatan
gaib dalam proses penciptaan alam semesta, sehingga terjadi keseimbangan antara alam
semesta ciptaan Tuhan dengan alam budaya penciptaan manusia. Kebudayaan menjadi
bentuk kreatif dari kerja sama manusia dengam Tuhannya. Tuhan menciptakan lautan,
manusia membuat kapal untuk mengarunginya, jika Tuhan menciptakam malam, manusia
meneranginya dengan lampu lampu temaram yang romantik. Pada tahapan itu, proses
kebudayaan merupakan amal saleh dan menjadi bentuk perjumpaan kreatif antara manusia
dengan Tuhan.

7. Etika Agama

Agama adalah sumber nilai-nilai etika yang tak pernh kering, karena agama melihat hakikat
manusia pada perbuatan baiknya. Dalam agama, tinggi rendah seseorang tidak ditentukan oleh
harta, ilmu ataupun kekuasaan, tetapi ditentukan sepenuhnya oleh perbuatan baik atau
taqwanya dan seberapa jauh nilai-nilai etika menjiwai dan mewarnai segala tindakannya. Oleh
karena agama untuk manusia, dengan sendirinya etika atau moralitas menjadi salah satu ajaran
yang amat penting dalam agama apapun, dan dari sudut pandangan etika atau moralitas,
rasanya semua agama sepakat mempunyai pandangan yang sama, semua agama
memerintahkan pemeluknya berbuat baik dan melarang berbuat jahat. Dalam konsep filsafat
Islam, ada empat hal pokok yang •dibicarakan agama, yaitu Tuhan, manusia, alam dan
kebudayaan. Etika agama pada dasarnya mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya,
manusia dengan sesamanya dan dengan dirinya, hubungan manusia dengan alam di sekitarnya
serta hubungan manusia dengan kebudayaan.

a) Etika Hubungan Manusia déngan Tuhan


Etika agama menegaskan bahwa hubungan manusia dengan Tuhan-nya adalah hubungan
antara ciptaan dengan Penciptanya, hubungan antara makhluq dengan al-Khaliq. Pada dataran
ini, manusia pada hakikatnya tidak mempunyai otoritas kekuasaan dan wewenang sedikit pun
terhadapTuhan. Sekuat kuatnya manusia untuk menentang Tuhan hanyalah akan melahirkan
kesia-siaan, bahkan kerugian besar, karena pada akhirya manusia tetap tunduk dan patuh pada
hukum-hukum Allah yang menghidupkan dan mamatikannya. Manusia tidak pernah bisa
menolak, menentang dan melepaskan hukum-hukum itu. Secara individual manusia tidak
pernah berkuasa untuk menolak kelahirannya, bahkan untuk memilih jenis kelamin, jalan
rahim, tempat dan waktu kelahirannya, ia pun tidak sanggup, ia lahir tanpa ada dan dimintai
persetujuannya terlebih dahulu, mau atau tidak. Demikian pula halnya dengan kematiannya, ia
tidak pernah mampu merancangnya dengan tepat, kecuali Allah memang sudah
menghendakinya untuk mati sesuai dengan jalan hidupnya, banyak orang yang bunuh diri
gagal ada pula yang selamat dari kecelakaan yang sulit dibayangkan bisa selamat. Posisi
manusia terhadap Allah adalah lemah, fakir, tidak berkuasa, tidak bisa menolak atau
meniadakan Allah, mungkin saja ia tidak mangakui, dan tidak mempercayai menolak bahkan
mengingkari, tetapi bukan Allah sebenarnya yang ia tolak dan ia ingkari, tetapi ilah atau tuhan
yang ada dalam gambaran dan bayangan pikiran dan porasaannya, yaitu persepsi dan
penghayatannya terhadap tuhan yang salah, karena tuhan yang ia tolak itu adalah tuhan
ciptaannya sendiri, bukanTuhan Yang Maha menciptakan termasuk menciptakan dirinya
melalui mekanisme hukum-hukum-Nya. Karena Allah sama sekali tidak tergantung dan tidak
membutuhkan pengakuan dan persembahan dari manusia. Jika Allah menurunkan wahyu
melalui para Nabi-Nya, dan menjelaskan hukum-hukum kehidupan semuanya, itu semata-
mata untuk kepentingan manusia sendiri, dan merupakan wujud dan kasih sayang atau
Rahman RahimNya kepada manusia, agar manusia memperoleh keselamatan dan
kebahagiaan. Pabrik mobil saja memberikan petunjuk teknik dan pedoman perawatan bagi
mobil yang diproduksinya, apalagi Allah Yang Maha Bertanggung Jawab. Oleh karena itu,
etika agama menetapkan keharusan manusia untuk tunduk dan patuh kepada Tuhannya,
karena
manusia diciptakan Tuhan mémang untuk berbakti dan mengabdi kepada-Nya, melalui karya
kreatifnya untuk kemanusiaan. Alquran 51 :56 mengatakan:

      

56. dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.
Jalan tunduk dan taat kepada Allah sebagai al-Khaliq pada hakikatnya adalah jalan kodrat
bagi semua ciptaanNya, suka atau tidak suka semua makhluk tunduk pada hukum-hukum
Tuhan.

b) Etika Hubungan Manusia dengan Sesamanya


Pada hakikatnya posisi manusia terhadap sesamanya adalah sama dan sederajat, sama-
sama sebagai ciptaan(makhluq) Allah, dan karenanya di hadapan Allah semuanya sama,
yang membedakannya hanyalah amal perbuatannya atau taqwanya saja. Oleh karena itu,
secara individual hubungan manusia dengan manusia lainnya, masing – masing
mempunyai kekuasaan yang sama, setiap individu dengan individu lainnya tidak boleh
saling memaksa apalagi merampas hak-haknya. Hak individu untuk mempertahankan
miliknya dilindungi oleh hukum apa pun, karena hak itu adalah bagian dari hak-hak azasi
manusia yang wajib dilindungi. Perbedaan hak dan kewajiban seorang individu dalam
kehidupan sosial, lebih disebabkan karena perbedaan tugas dan pekerjaan atau profesinya,
sehingga hak dan kewajiban seorang dokter tentu berbeda dengan hak dan kewajiban
_pasiennya, demikian juga halnya guru dan murid, orangtua dan anak. Perbedaan
perbedaan itu sifatnya fungsinal dan profesional, tidak abadi dan tidak mutlak, artinya
akan berubah dengan adanya perubahan fungsi atau terjadinya alih profesi. Dalam kaitan
ini, kebebasan seseorang dibatasi oleh kebebasan orang lain, hurriyatuka mahdudatun
bihurriyati siwaku, dan etika untuk saling menghargai dan menghormati hak-hak orang
lain menjadi dasar dan landasan bagi berlangsungnya hubungan dan komunikasi sosial
yang sehat, dimana tidak ada pemaksaan dan diskriminasi berdasarkann kemestian-
kemestian hidup yang ménjadi bawaan kodrati, seperti ras, suku, agama dan pandangan
hidup seseorang. Oleh karena itu, tidak ada paksaan dalam agama, masing-masing agama
punya hak untuk hidup dan masing masing pemeluk agama, seharusnya memaklumi
perbedaan agamanya masing-masing. Alquran 2:256 mengatakan:

                

          


256. tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar
daripada jalan yang sesat. karena itu Barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut[162] dan beriman kepada
Allah, Maka Sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang Amat kuat yang tidak akan putus. dan
Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.

[162] Thaghut ialah syaitan dan apa saja yang disembah selain dari Allah s.w.t.

Pada hakikat imam itu tidak bisa dipaksakan, setiap orang mempunym jalan sendiri sendiri,
Iman sendiri tidak sama, dan iman dalam diri seseorang bisa bertambah dan juga bisa
berkurang. Jika Tuhan menghendaki manusia semuanya beriman (dalam sam versi iman)
tentu mudah, tetapi kenyataanya lain, dan karenanya beriman atau tidaknya seseorang
adalah urusan Tuhan, bukan urusan manusia.

Di samping menghargai adanya perbedaan suku, ras dan agama, etika agama juga melarang
masing—masing, baik individu maupun kelompok untuk menghina dan merendahkan satu
dengan yang lainnya, karena pada dasarnya manusia itu tidak ada yang sempurna, manusia
terdiri dari darah dan daging yang cenderung mudah tergelincir pada dorongan-dorongan
tubuhnya, manusia bukan malaikat dan juga bukan setan (syaithan), manusia di dalamnya
ada dorongan-dorongan baik dan buruk, tinggal bagaimana kepemimpinan ruh di dalam
dirinya.

c. Etika Hubungan Manusia dengan Alam

Di lihat posisinya sebagai makhluq (ciptaan) Tuhan, manusia dan alam pada hakikatnya
mempunyai kedudukan yang sama, bahkan bagian dari manusia terbentuk dari unsur-unsur
alam, sehingga manusia sering disebut sebagai micro-cositios, alam kecil yang mewakili
semua unsur alam besar. Alam diciptakan Tuhan untuk manusia,
Sebagai salah satu unsur yang membentuk dirinya,maka alam semesta menjadi bagian dari
diri manusia sendiri, dan manusia diharapkan dapat menciptakan kemakmuran di bumi
milik Allah ini, dan Alquran 11:61 menegaskan:
                  

            

61. dan kepada Tsamud (kami utus) saudara mereka shaleh. Shaleh berkata: "Hai kaumku, sembahlah Allah,
sekali-kali tidak ada bagimu Tuhan selain Dia. Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan
menjadikan kamu pemakmurnya[726], karena itu mohonlah ampunan-Nya, kemudian bertobatlah kepada-
Nya, Sesungguhnya Tuhanku Amat dekat (rahmat-Nya) lagi memperkenankan (doa hamba-Nya)."

[726] Maksudnya: manusia dijadikan penghuni dunia untuk menguasai dan memakmurkan dunia.

Oleh karena itu, manusia dilarang Tuhan untuk membuat kerusakan di muka bumi, di
samping bumi seisinya milik Allah, maka kerusakan itu pun akan berakibat kerusakan bagi
sumber kehidupannya sendiri.

d. Etika Hubungan Manusia dengan Ciptaanya

Berhadapan dengan ciptaanya atau kebudayaan, manusia pada dasarnya memegang otoritas
dan kekuasaan yang penuh, artinya manusia sepenuhnya bertanggung jawab untuk apa
semua ciptaannya itu akan diperbuat, dan ciptaannya itu sepenuhnya bergantung pada
manusia. Dalam setiap ciptaan manusia, di dalamnya tidak ada mekanisme yang bekerja
otomatis untuk mengontrol, memperbaiki serta mengarahkan tujuannya, semuanya
bergantung dan tergantung pada manusianya. Pada dataran ontologis ini, maka etika agama
memandang semua ciptaan manusia adalah sebagai alat untuk mempermudah dan membuat
kehidupanya lebih nyaman, serta untuk mempercepat pencapaian tujuan hidupnya, sebagai
alat maka tidak selayaknya berubah menjadi tujuan.

Pada zaman modern ini, muneul fenomena baru dimana manusia tidak berdaya menghadapi
ciptaannya sendiri, dan bahkan cenderung menjadikannya tujuan, kalau tidak
mempertuhankannya. Seperti peranan uang, semula uang dibuat untuk alat tukar membeli
barang yang diperlukan oleh kebutuhan hidupnya, kalau pada zaman primitif melalui barter
barang, maka pada zaman modern diciptakan uang, untuk alat pembelian, bahkan
bentuknya sudah semakin canggih lagi, simple dan praktis, melalui uang plastik, credit card
dan yang lainnya lagi. Dalam perkembangannya, uang dalam sistem ekonomi yang
kapitalistik, seakanakan mempunyai nyawa yang dapat beranak pinak dengan sendirinya,
bahkan keeepatan pertumbuhan jumlahnya dapat melebihi kecepatan pertumbuhan jumlah
penduduk, karena jika uang itu dibiarkan saja didepositokan di bank, maka dengan
sendirinya akan berkembang biak, dan pada saat krisis moneter, setahun bisa meneapai
60% anak bunganya. Akibatnya, jika semula uang adalah alat, sekarang ber posisinya
menjadi tujuan hidup manusia.

Tanpa disadari, kitapun boleh jadi telah mengubur tuhan dalam keyakinan mistis, doktrin
akhlak atau moral yang secara kefilsafatan dalam kajian tentang etika hanyalah sebuah
kalimat suci tanpa kaki sehingga gagal membuat seseorang begerak melakukan suci.
Imanuel kant max Weber dan para pemimpin agama – agama bagaikan berkhotbah diatas
bukit, pita suaranya boleh jadi telah retak hingga gentanya hanya bergumam dalam diri
sendiri. Bahwa berbuat baik kepada sesame mendahulukan kepentingan umum, dan
memendam kepentingan sendiri sebelum orang lain terpenuhi, berikan yang terbaik darimu
pada orang lain, semua orang sepakat. Namun, orang yang sama bias berbuat kejam dan
penindas melalui sitem ekonomi social, dan politik tanpa merasa berdosa dan bersalah
klarena dilindungi system – system yang disusun oleh para tiran sendiri

Anda mungkin juga menyukai