Anda di halaman 1dari 14

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia adalah makhluk-Nya yang paling sempurna dan sebaik-baik ciptaan dibandingkan
makhluk-makhluk-Nya yang lain. Manusia dilengkapi akal untuk berfikir yang membedakannya
dengan binatang. Mengenai proses kejadian manusia, dalam Al-Qur‟an (QS. Al-Hijr (15) : 28-
29) diterangkan bahwa manusia diciptakan dari tanah dengan bentuk yang sebaik-baiknya
kemudian ditiupkan ruh kepadanya hingga menjadi hidup. Banyak ahli ilmu pengetahuan
mendukung teori evolusi yang mengatakan bahwa manusia berasal dari makhluk yang
mempunyai bentuk maupun kemampuan yang sederhana kemudian mengalami evolusi dan
kemudian menjadi manusia seperti sekarang ini. Di lain pihak banyak ahli agama yang
menentang adanya proses evolusi manusia tersebut. Khususnya agama Islam yang meyakini
bahwa manusia pertama adalah Nabi Adam a.s. disusul Siti Hawa dan kemudian keturunan-
keturunannya hingga menjadi banyak seperti sekarang ini. Hal ini didasarkan pada berita-berita
dan informasi-informasi yang terdapat pada kitab suci masing-masing agama yang mengatakan
bahwa Adam adalah manusia pertama. Untuk itu dalam makalah ini akan dijelaskan bagaimana
proses kejadian manusia menurut Al-Qur‟an, hadist, maupun iptek.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah di tulis sebagai berikut :


1. Apa arti dari manusia dalam perspektif Al-Qur’an ?
2. Apa perbedaan Manusia sebagai makhluk materi dan non materi ?
3. Apa Tujuan, Fungsi, dan Tugas, penciptaan manusia ?

C. Tujuan Penulisan

Berdasarkan rumusan masalah di atas,tujuan dari pembuatan makalah ini adalah:


1. Memahami arti dari manusia dalam perspektif Al-Qur’an.
2. Mengetahui perbedaan Manusia sebagai makhluk materi dan non materi.
3. Mengetahui Tujuan, Fungsi, dan Tugas dari penciptaan manusia.
2

BAB II
PEMBAHASAN

A. MANUSIA DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’AN

Berbicara tentang manusia berarti kita berbicara tentang diri kita sendiri makhluk yang paling
unik di bumi ini. Banyak di antara ciptaan Allah yang telah disampaikan lewat wahyu yaitu kitab
suci. Manusia merupakan makhluk yang paling istimewa dibandingkan dengan makhluk yang
lain. Manusia mempunyai kelebihan yang luar biasa. Kelebihan itu adalah dikaruniainya akal.
Dengan dikarunia akal, manusia dapat mengembangkan bakat dan potensi yang dimilikinya serta
mampu mengatur dan mengelola alam semesta ciptaan Allah adalah sebagai amanah. Selain itu
manusia juga dilengakapi unsur lain yaitu qolbu (hati). Dengan qolbu manusia dapat menjadikan
dirinya sebagai makhluk bermoral, merasakan keindahan, kenikmatan beriman dan kehadiran
Ilahi secara spiritual. Secara etimologi, menurut Raghib Ashfahaniy akal memiliki arti alImsak
(menahan), ar-Ribath(ikatan), al-Hajr (menahan), an-Nahi (malarang), dan alMan‟u (mencegah).
Sedangkan secara terminologi, akal adalah segala potensi yang ada pada diri manusia yang
disiapkan untuk menerima ilmu pengetahuan, mampu menahan dan mengikat hawa nafsu. Akal
memiliki dua makna yaitu : 1) Akal jasmani, salah satu oragan tubuh yang lazim disebut dengan
otak. 2) akal ruhani, cahaya nurani yang dipersiapkan oleh Allah SWT yang berpotensi untuk
memperoleh pengetahuan dan kognisi melalui proses membaca dan berfikir. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa akal merupakan daya pikir manusia untuk memperoleh pengetahuan yang
bersifat rasional dan dapat menentukan eksistensi manusia. Selain akal manusia juga dibekali
akan qalb (hati), secara bahasa qalb berarti bolakbalik, dan ini menjadi karakteristik dari hati itu
sendiri yang memiliki sifat tidak konsisten dan perlu adanya pengelolahan tersendiri dengan
bantuan nur ilahi. Al-Ghazali melihat pengertian qalb dari dua aspek, yaitu aspek jasmani dan
aspek ruhani. Qalb jasmani adalah organ tubuh yang berbentuk seperti jantung pisang yang
terletak di dalam dada sebelah kiri. Sedangkan qalb ruhani adalah sesuatu yang bersifat halus,
ruhaniah, dan ketuhanan juga memiliki potensi afektif, iman, dzikir, taqwa. Al-qur‟an
menggunakan term qalb dan fu‟ad untuk menyebut hati manusia ketika dalam keadaan
ketentraman dan keyakinan. Sedangkan penggunaan kata shadr yang berarti dada atau depan
untuk menyebutkan keadaan suasana hati dan jiwa sebagai satu kesatuan psikologis dalam
kondisi yang lapang dan tak terbebani maupun sempit dan sedih. Tetapi alQur‟an menggunakan
3

term qalb untuk menyebutkan akal ketika qalb fi shadr dalam keadaan buta yang tidak mampu
memahami realitas dan nilai kehidupan. Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa manusia
adalah makhluk yang paling mulia dibandingkan dengan makhluk yang lain, dengan memiliki
potensi akal, qolbu dan potensi-potensi lain untuk digunakan sebagai modal mengembangkan
kehidupan. Di dalam al-Quran terdapat tiga istilah kunci (key term) yang meskipun mengacu
pada makna pokok manusia, tetapi memiliki makna signifikan yang berbeda-beda. Ketiga istilah
kunci itu adalah Basyar, Insan, dan al-Nas.

1. Basyar

Kata basyar disebut dalam al-Quran 35 kali dikaitkan dengan manusia dan 25 kali
dihubungkan dengan nabi-rasul. Kata basyar pada keseluruhan ayat tersebut memberikan
referensi kepada manusia sebagai makhluk biologis. Salah satunya pada surah Yusuf ayat
31“Maka tatkala wanita-wanita itu melihatnya, mereka kagum kepadanya (keelokan rupanya) dan
mereka melukai (jari) tangannya dan berkata: Maha sempurna Allah, ini bukanlah manusia
(basyar). Sesungguhnya ini tidak lain hanyalah malaikat yang mulia”. (Q.S.Yusuf : 31) Ayat ini
menceritakan wanita-wanita pembesar Mesir yang diundang Zulaikha dalam suatu pertemuan
yang takjub ketika melihat ketampanan Yusuf as. Konteks ayat ini tidak memandang Yusuf as
dari segi moralitas atau intelektualitasnya, melainkan pada perawakannya yang tampan dan
penampilannya yang mempesona yang tidak lain adalah masalah biologis. Pada ayat lain juga
manusia disebut dengan kata basyar dalam konteks sebagai makhluk biologis yaitu pada ayat
yang menceritakan jawaban Maryam (perawan) kepada malaikat yang datang padanya membawa
pesan Tuhan bahwa ia akan dikaruniai seorang anak. Allah SWT berfirman dalam surat maryam
ali Imran ayat 47“Maryam berkata: Tuhanku, bagaimana mungkin aku mempunyai anak padahal
aku tidak pernah disentuh manusia (basyar)”. (Q.S.Ali Imran : 47) Maryam berkata demikian
sebab dia tahu bahwa yang dapat menyentuh (hubungan seksual) itu hanya manusia dalam arti
makhluk biologis, dan anak adalah buah dari hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan .
Nalar Maryam tidak menerima, bagaimana mungkin dia akan punya anak padahal dia tidak
pernah berhubungan dengan laki-laki. Penolakan orang-orang kafir untuk beriman, juga karena
pandangan mereka terhadap seorang rasul yang hanya pada sisi biologisnya saja. Yakni sebagai
manusia yang sama seperti mereka yang makan, minum, jalan-jalan di pasar, dan melakukan
aktifitas lainnya.Mereka tidak mempertimbangkan aspek lain dari seorang rasul seperti kapasitas,
moralitas, kredibilitas kepribadiannya, dan akseptabilitas di mata umatnya. Karena itu Allah
SWT menyuruh Rasulullah SAW untuk menegaskan bahwa secara biologis ia memang seperti
4

manusia biasa, tetapi memiliki perbedaan dari yang lain yaitu penunjukan langsung dari Tuhan
untuk menyampaikan risalah-Nya. Dan dari sisi inilah Rasulullah menjadi manusia luar biasa.
“Katakanlah (Muhammad kepada mereka bahwa) aku ini manusia biasa (basyar) seperti kamu.
Hanya saja aku diberi wahyu”. (Q.S.Al-Kahfi : 110) Beberapa ayat di atas dengan jelas
menegaskan bahwa konsep basyar selalu dihubungkan dengan sifat-sifat ketubuhan (biologis)
manusia yang mempunyai bentuk atau postur tubuh, mengalami pertumbuhan dan perkembangan
jasmani, makan, minum, melakukan hubungan seksual, bercinta, berjalan-jalan di pasar, dan lain-
lain. Dengan kata lain, basyar dipakai untuk menunjuk dimensi alamiah yang menjadi ciri pokok
manusia pada umumnya. Fitrah manusia memang bergerak dan dinamis untuk memenuhi aspek-
aspek kebutuhan biologis ini Allah SWT memberikan aturan syariah yang benar agar manusia
senantiasa mendapat ridha Allah dan menjadi manusia yang sempurna (insan kamil).

2. Al-Insan

Kata al-insan disebut sebanyak 65 kali dalam al-Quran. Hampir semua ayat yang menyebut
manusia dengan kata insan, konteksnya selalu menampilkan manusia sebagai makhluk istimewa,
secara moral maupun spiritual. Keistimewaan itu tidak dimiliki oleh makhluk lain. Jalaludin
Rahmat memberi penjabaran al-insan secara luas pada tiga kategori. Pertama, al-insan
dihubungkan dengan keistimewaan manusia sebagai khalifah dan pemikul amanah. Kedua, al-
insan dikaitkan dengan predisposisi negatif yang inherendan laten pada diri manusia. Ketiga, al-
insan disebut dalam hubungannya dengan proses penciptaan manusia. Kecuali kategori ketiga,
semua konteks al-insan menunjuk pada sifat-sifat psikologis atau spiritual. Kategori pertama
dapat difahami melalui empat penjelasan sebagai berikut: 1) Manusia dipandang sebagai makhluk
unggulan atau puncak penciptaan Tuhan. Keunggulannya terletak pada wujud kejadiannya
sebagai makhluk yang diciptakan dengan sebaik-baik penciptaan. Manusia juga disebut sebagai
makhluk yang dipilih Tuhan untuk mengemban tugas kekhalifahan di muka bumi. 2) Manusia
adalah satu-satunya makhluk yang dipercaya Tuhan untuk mengemban amanah, suatu beban
sekaligus tanggung jawabnya sebagai makhluk yang dipercaya dan diberi mandat untuk
mengelola bumi. Menurut Fazlurrahman amanah yang dimaksud terkait dengan fungsi kreatif
manusia untuk menemukan hukum alam, menguasainya (dalam bahasa al-Quran mengetahui
nama-nama semua benda), dan kemudian menggunakannya dengan insiatif moral untuk
menciptakan tatanan dunia yang lebih baik. Sedangkan menurut Thabathaba‟i amanah dimaknai
sebagai predisposisi positif (isti‟dad) untuk beriman dan mentaati Allah. Dengan kata lain
manusia didisposisikan sebagai pemikul al-wilayah al-Ilahiyah. Amanah inilah yang dalam ayat-
5

ayat lain disebut sebagai perjanjian primordial atau perenial. Secara metaforisperjanjian itu
digambarkan dalam al-Qur‟an Surat Al-A‟raf ayat 172“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu
mengeluarkan dari sulbi (tulang belulang) anak cucu Adam keturunan mereka, dan Allah
mengambil kesaksian terhadap ruh mereka (seraya berfirman) : Bukankah Aku ini Tuhanmu?.
Kami bersaksi”. (Q.S.al-A‟raf : 172) 3) Merupakan konsekuensi dari tugas berat sebagai khalifah
dan pemikul amanah, manusia dibekali dengan akal kreatif yang melahirkan nalar kreatif
sehingga manusia memiliki kemampuan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan. Karena itu
berkali-kali kata alinsandihubungkan dengan perintah melakukan nadzar (pengamatan,
perenungan, pemikiran, analisa) dalam rangka menunjukkan kualitas pemikiran rasional dan
kesadaran khusus yang dimilikinya. Tugas kekhalifahan dan amanah juga membawa konsekuensi
bahwa al-insan dibebani atau dihubungkan dengan konsep tanggung jawab untuk melakukan
yang terbaik. Manusia diwasiatkan agar berbuat baik karena setiap amal perbuatannya dicatat
dengan cermat dan mendapat balasan setimpal. Dan dalam rangka ini, manusia diingatkan dengan
sejumlah tantangan karena insanlah yang dimusuhi syetan dan ditentukan nasibnya di hari
kiamat. 4) Dalam mengabdi kepada Allah manusia (al-insan) sangat dipengaruhi oleh lingkungan
dan kondisi psikologisnya. Jika ditimpa musibah ia selalu menyebut nama Allah. Sebaliknya jika
mendapat keberuntungan dan kesuksesan hidup cenderung sombong, takabbur, dan musyrik.
Kategori kedua al-insan dikaitkan dengan predisposisi negatif pada dirinya, dijelaskan dalam al-
Quran bahwa manusia itu cenderung berbuat zalim dan kufur, tergesa-gesa, bakhil, bodoh,
banyak membantah dan suka berdebat tentang hal-hal yang sepele sekalipun, resah gelisah dan
enggan membantu orang lain, ditakdirkan untuk bersusah payah dan menderita, ingkar dan
enggan berterima kasih kepada Tuhan, suka berbuat dosa dan meragukan hari akhirat. Sifat-sifat
manusia pada pada kategori kedua ini bila dihubungkan dengan sifat-sifat manusia pada kategori
pertama, memberi kesimpulan bahwa manusia adalah makhluk yang paradoksal, yang berjuang
mengatasi konflik dan kekuatan yang saling bertentangan ; tarik menarik antara mengikuti fitrah
(memikul amanah dan menjadi khalifah) dan mengikuti nafsu negatif dan merusak. Kedua
kekuatan itu digambarkan dalam asal usul kejadian manusia yang dalam bahasa Yusuf Qardawi
baina qabdhat al-tin wa nafkhat al-ruh.

3. An-Nas
6

Konsep an-Nas mengacu pada manusia sebagi makhluk sosial. Manusia dalam arti alnas
paling banyak disebut al-Quran yaitu sebanyak 240 kali. Salah satunya adalah : َ “Wahai manusia
sesungguhnya Kami ciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan
menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal”.
(Q.S.al-Hujurat : 13) Menariknya dalam mengungkapkan manusia sebagai makhluk sosial, al-
Quran tidak pernah melakukan generalisasi, melainkan ditunjukkan dengan dua model
pengungkapan : 1) Dengan menunjukkan kelompok-kelompok sosial dengan disertai karakteristik
masing-masing yang berbeda satu sama lain. Ayat-ayatnya biasanya menggunakan ungkapan wa
min al-nas (dan diantara manusia). Jika diperhatikan ayat-ayat yang menggunakan ungkapan ini
ditemukan petunjuk bahwa ada kelompok manusia (tidak seluruhnya) yang mengaku beriman
padahal sesungguhnya tidak beriman, ada sebagian manusia mengambil sesembahan selain Allah.
Juga didapat informasi bahwa manusia secara sosial cenderung memikirkan kehidupan dunia,
berdebat dengan Allah tanpa ilmu, petunjuk dan kitab Allah, yang menyembah Allah dengan
iman yang lemah. 2) Dengan mengelompokkan manusia berdasarkan mayoritas yang umumnya
menggunakan ungkapan aktsaran-nas (sebagian besar manusia). Memperhatikan ungkapan ini
ditemukan petunjuk dari al-Quran bahwa sebagian besar (mayoritas) manusia mempunyai
kualitas rendah, dari sisi ilmu maupun iman. Hal ini dapat dilihat dari ayat-ayatnya yang
menyatakan bahwa kebanyakan manusia tidak berilmu, tidak bersyukur, tidak beriman, fasiq,
melalaikan ayat-ayat Allah, kufur, dan harus menanggung azab. Kesimpulan itu dipertegas
dengan ayat-ayat lain yang menunjukkan bahwa sangat sedikit kelompok manusia yang beriman,
yang berilmu dan dapat mengambil pelajaran, yang mau bersyukur atas nikmat Allah. Demikian
banyaknya penyebutan kata al-nas dalam al-Quran – jika dikaitkan dengan al-Quran sebagai
petunjuk – menunjukkan bahwa sebagian besar bimbingan Tuhan diperuntukkan bagi manusia
sebagai makhluk sosial. Sebagai contoh adalah masalah perkawinan. Dalam al-Quran Tuhan
tidak mengatur tata cara hubungan seksual, karena sebagai makhluk biologis semua manusia
betapapun primitifnya bisa melakukannya. Justru yang dipandang perlu untuk diatur Tuhan
adalah hubungan sosial pasca perkawinan meliputi hak, kewajiban, tanggung jawab suami istri
dalam rumah tangga dan hubungan yang terjadi setelah berkeluarga mencakup pendidikan anak,
kekerabatan, warisan dan masalah yang berkaitan dengan kekayaan. Perlunya pengaturan karena
pada aspek-aspek sosial manusia sering kelewat batas dan tak terkendali.
7

B. MANUSIA SEBAGAI MAKHLUK MATERI DAN NON MATERI

1. Makhluk Materi

Materi atau fisik manusia yang disebut dengan organ tubuh adalah kumpulan yang memiliki
peran khusus dan masing-masing memiliki tugasnya sendiri-sendiri yang saling berkaitan satu
sama lain. Organ tubuh manusia terdiri dari banyak jaringan, sel, dan jaringan ikat yang
membantu dalam mengatur berbagai sistem biologis pada tubuh. Dalam tubuh manusia juga
terdapat sistem organ yang melakukan fungsi berbeda-beda, diantaranya: sistem pencernaan,
sistem pernafasan (respirasi), sistem sirkulasi, sistem pengeluaran, sistem gerak, sistem
reproduksi, sistem saraf, sistem integumen, dan sistem hormone. Organ tubuh manusia dapat
dibagi menjadi kepala, badan, tangan, dan kaki. Kepala memainkan peran utama dalam
melindungi organ-organ penting yang ada di dalamnya. Untuk itu unsur materi pada manusia
merupakan unsur yang nampak, baik di luar tubuh maupun di dalam tubuh.

2. Makhluk Non Materi

Unsur non-materi pada manusia disebut dengan psyche dalam bahasa Yunani atau jiwa dalam
bahasa Indonesia. Kamus Besar Bahasa Indonesia online mendefinikan jiwa sebagai berikut: “roh
manusia yang ada di dalam tubuh dan menyebabkan seseorang hidup.” Louis Leahy
mendefinisikan jiwa sebagai kesatuan substansial. Berikut penjelasan fungsi dan struktur
kesatuan substansial manusia: Pertama, kesatuan substansial memiliki kemampuan untuk
menyempurnakan dirinya sendiri (autoperfektif). Kedua, kesatuan substansial adalah kesatuan
yang dinamis dan yang menstrukturkan, sumber pertama dari aktivitas-aktivitas yang beraneka
ragam dan terkoordinir pada setiap manusia. Ketiga, kesatuan substansial merupakan sesuatu
yang interior dan natural. Keempat, kesatuan substansial memiliki kesadaran, yaitu sesuatu yang
menyebabkan, dalam arti tertentu, bahwa manusia dapat hadir pada dirinya sendiri. Kelima,
kesatuan substansial merupakan dinamisme yang mengakibatkan ia berbuat dan mencoba
merealisasikan idenya, adalah sesuatu yang menyangkut subyektifitas.Dengan demikian unsur
non-materi pada manusia merupakan unsur yang tidak nampak, namun sangat sentral. Unsur non-
materi memberikan keinginan (hasrat) yang menggerakkan manusia untuk melakukan sesuatu,
dan melalui apa yang ia (manusia) lakukan terbentuklah jati diri yang menjadikannya unik.
8

Perpaduan antara unsur materi dan non-materi pada manusia membuatnya dapat beradaptasi
dalam dunia materi sehingga dapat mencapai bentuk yang sempurna dalam unsur materi (tubuh
yang kuat) dan non-materi (jiwa yang sehat). Berbeda dengan hewan, manusia ketika baru saja
dilahirkan sangat lemah dan membutuhkan waktu untuk beradaptasi dengan dunia materi. Tubuh
dan jiwa manusia harus melewati suatu proses agar dapat bereksistensi sesuai dengan potensinya.
Perpaduan antara kedua unsur tersebut merupakan hakikat dari eksistensi manusia. Otak hanyalah
pusat dari saraf yang terdapat pada seluruh tubuh manusia, tetapi kesatuan substansial yang
menstrukturkan dan menggerakannya. Kesatuan substansial tidak dapat menjadi „sumber
pertama‟ dari aktivitas-aktivitas seperti bernafas, bergerak, berasimilasi, berpindah, menikmati
kesenangan atau menderita, mendengarkan, belajar, mengambil keputusan, jatuh cinta,
bergembira dan berputus asa tanpa tubuh yang menjadi alat untuk mewujudkan aktivitas-aktivitas
tersebut. Kesatuan substansial menjadikan manusia berkehendak dan menyadari secara utuh
(melibatkan unsur materi dan non-materi) bahwa ia sedang melakukan aktivitas tertentu.
Sehingga perpaduan antara unsur materi dan non-materi pada manusia tidak hanya menjadikan
manusia dapat beradaptasi dengan dunia materi dengan mengalami perkembangan menyeluruh
dari unsur materi dan non-materinya, tetapi juga menjadikannya sebagai individu yang
berkepribadian atau berkarakter melalui aktivitas-aktivitas yang ia lakukan. Dengan demikian
hakikat manusia menurut strukturnya, adalah sebagai berikut: manusia adalah materi yang
memiliki kemampuan beradaptasi dengan dunia disekitarnya dan memiliki kepribadian yang
menjadikannya unik atau berbeda dengan materi yang lain.

3. TUJUAN, FUNGSI, DAN TUGAS PENCIPTAAN MANUSIA

Sesungguhnya pandangan Al-Qur‟an tentang manusia adalah pandangan yang universal,


manunggal, seimbang dan adil. Manusia adalah bukan jasad yang terdiri dari unsur fisika dan
kimia serta bukan robot yang dikendalikan oleh mekanik, seperti pandangan ahli filsafat
materialistik. Dan manusia juga bukan ruh yang lepas dari jasadnya, sebagaimana pendapat
sebagian kelompok sufi. Tapi, manusia menurut Al-Qur‟an adalah makhluk yang terdiri dari ruh
dan jasad, dimana keduanya saling interaksi aktif antara satu dengan lainnya. Dan manusia bukan
hewan yang hina, dimana hidupnya habis begitu saja setelah matinya, serta bukan sebagai
makhluk yang wujudnya berbeda dengan hewan lainnya. Manusia juga bukan sebagai makhluk
tertinggi, dan tiada sesuatu pun yang dapat mengunggulinya. Manusia menurut Al-Qur‟an itu
9

mempunyai kelebihan dan kedudukan yang mulia. Jika manusia mengerti siapa dirinya dan
mempunyai ilmu dan mampu menggunakan akalnya. Jika manusia itu merosot ketingkat
binatang, maka manusia akan kehilangan karakter dan jati dirinya sebagai manusia. Inilah
pandangan Al-Qur‟an tentang manusia, yang mengakui posisi manusia dan memberikan beban
dan tanggung jawab kepadanya secara personal. Adapun masyarakat menurut Al-Qur‟an, itu
harus terdiri dari individu-individu yang mempunyai tanggung jawab dalam bermasyarakat. Jadi,
Al-Qur‟an itu tidak meremehkan manusia dan tidak melecehkan exsistensitasnya secara personal,
sebagai mana Al-Qur‟an tidak menilai manusia secara berlebihan di mata masyarakat. Sebab
manusia menurut Al-Qur‟an adalah makhluk sosial, dan masyarakat itu harus terdiri individu-
indivudu yang berkepribadian sosial masyarakat.

1. Manusia adalah terdiri dari ruh dan jasad

“Ingatlah, ketika Tuhanmu berkata kepada malaikat „Sesungguhnya Aku akan menciptakan
manusia dari tanah liat. Maka ketika Aku telah menyempurnakan titahnya dan Aku tiupkan ruh-
Ku kepadanya, maka bersujudlah kamu kepadanya‟.” (Shaad: 71-72).

2. Manusia sebagai khalifatullah di bumi

“Dan, ingatlah ketika Tuhanmu berkata kepada malaikat: „Sesungguhnya Aku akan menjadikan
di bumi seorang khalifah.‟ Mereka berkata: „Apakah Engkau akan menjadikan orang yang akan
membuat kerusakan di bumi? Sedangkan kami selalu bertasbih dengan memuji-Mu dan kami
selalu mensucikan kepada-Mu!‟ Allah berfirman: „Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang
tidak kamu ketahui.‟ Dan, Dia mengajarkan kepada Adam semua nama-nama. Kemudian Dia
menunjukkan kepada malaikat, lalu Allah berfirman: „Sebutkanlah kepada-Ku nama-nama itu,
jika kamu benar!‟ Mereka menjawab: „Maha Suci Engkau. Tiada ilmu bagi kami kecuali apa
yang telah Engkau ajarkan kepada kami. Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui lagi Maha
Bijaksana.‟ Dia berfirman: „Wahai Adam. Sebutkanlah nama-nama itu!‟ Maka ketika Adam
menyebutkan nama-nama itu, Allah berfirman: „Bukankah Aku telah mengatakan, bahwa Aku
mengetahui gaibnya langit dan bumi dan aku mengetahui apa yang kamu tampakkan dan apa
yang kamu sembunyikan‟.” (Al-Baqarah: 30-32).

3. Manusia sebagai makhluk yang mulia


10

“Dan, sesungguhnya telah kami muliakan anak-anak Adam dan angkut mereka di lautan dan
daratan dan Kami beri rizki kepada mereka dari hal-hal yang bagus dan Kami utamakan dengan
keutamaan yang sebesar-besarnya.” (Al-Isra‟: 70).

4. Peranan manusia secara individu

“Tidak seorang pun yang di langit dan di bumi pasti, kecuali akan datang kepada Ar Rahman
selaku seorang hamba. Sesungguhnya Allah telah menentukan jumlah mereka dengan
perhitungan yang teliti. Dan, tiap-tiap mereka akan datang kepada Allah pada hari kiamat sendiri-
sendiri.” (Maryam: 93-95).

5. Tanggung jawab pribadi

“Dan tidaklah setiap orang berbuat dosa, melainkan bahayanya atas dirinya sendiri. Dan seorang
yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Kemudia kepada Tuhanmulah kamu kembali,
dan akan diberitakan-Nya kepadamu apa yang kamu perselisihkan.” (AlAn‟am: 164). “Dan,
setiap manusia-manusia itu telah Kami tetapkan amal perbuatannya (sebagaimana tetapnya)
kalung pada lehernya. Dan Kami keluarkan baginya pada hari kiamat sebuah kitab yang
dijumpainya terbuka. Bacalah kitabmu, cukuplah dirimu sendiri pada waktu ini sebagai
penghisap dirimu.” (Al-Isra: 13-14). Penciptaan manusia di muka bumi ini mempunyai misi yang
jelas dan pasti. Ada tiga misi yang bersifat given yang diemban manusia, yaitu misi yang pertama
untuk beribadah (QS. Adz-Dzariyat: 56), misi fungsional sebagai khalifah ( QS. Al-Baqarah: 30),
dan misi operasional untuk memakmurkan bumi ( QS. Hud: 61). Secara harfiah, kata khalifah
berarti wakil atau pengganti, dengan demikian misi utama manusia di muka bumi ini adalah
sebagai wakil Allah SWT. Jika Allah adalah sang pencipta seluruh jagat raya ini maka manusia
sebagai khalifah-Nya berkewajiban untuk memakmurkan jagat raya itu, utamanya bumi dan
seluruh isinya, serta menjaganya dari kerusakan. Allah berfirman: َMَّ “Dan aku tidak menciptakan
jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepadaKu.” ( QS. Adz-Zariyat: 56) Langit,
bumi, dan seluruh isinya adalah suatu sistem yang bersatu di bawah naungan perintah Allah.
Semua yang ada di dalam sistem ini diciptakan untuk kepentingan manusia, suatu anugerah yang
selalu dibarengi dengan peringatan spiritual agar manusia tidak menyekutukan-Nya dengan yang
lain (QS. Al-Baqarah: 22). Dalam ayat ini ditegaskan bahwa Allah menawarkan tugas
11

kekhalifahan di bumi, dan gunung. Tugas utama menjadi khalifah tentunya terkait dengan
penggalan akhir ayat di atas. Ketika itu, baik langit, bumi, maupun gunung menolak tawaran itu
karena khawatir tidak mampu memikulnya. Namun, manusia menyatakan sanggup untuk
memikul tugas dan amanah itu. Karena kesanggupan ini, Tuhan menetapkan manusia sebagai
khalifah yang bertanggung jawab atas kelangsungan kehidupan di dunia. Namun alih-alih
bersyukur, manusia malah menjadi makhluk yang paling banyak merusak keseimbangan alam.
Manusia sengaja ataupun tidak merusak ekosistem bumi dengan merubah keseimbangan
keteraturan alam ciptaan Allah ini, hingga murka alam seperti kebakaran hutan dan banjir pun tak
terhindarkan. Peruntukan bumi bagi manusia mengandung arti bahwa bumi ini tidak hanya
disediakan untuk satu generasi belaka, melainkan untuk semua generasi yang ada di bumi.
Meskipun manusia sering berlaku tidak adil terhadap alam, tetapi Allah selalu membimbing
manusia bertanggungjawab terhadap alam. Kecuali itu, Allah juga memberi wewenang manusia
untuk mengatur bumi ini. Tuhan telah meninggikan derajat manusia diatas ciptaan-Nya yang lain.
Manusia dianugerahi akal oleh Allah yang mana fungsinya yaitu untuk berfikir. Manusia sangat
mempunyai istimewa dihadapan Allah. Dari pernyataan tersebut, maka manusialah mempunyai
peranan penting dan bertanggung jawab tentang alam semesta ini. Sebagaimana firman Allah
SWT: َ “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya aku hendak
menjadikan seorang khalifah di muka bumi, mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak
menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan
menumpahkan darah, Padahal Kami Senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan
mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu
ketahui." (Al-Baqaroh: 30) Jelaslah bahwa tujuan penciptaan manusia yang kedua adalah
beribadah kepada Tuhan suatu bentuk perilaku yang tulus untuk menghormati ketuhanan. Dalam
memuja Tuhan, manusia harus berusaha untuk hidup dalam harmoni dan keselarasan dalam
semua ciptaan Tuhan yang secara alami juga melakukan penyembahan kepada-Nya. Fenomena
pemujaan tentang Tuhan salah satu contohnya yaitu yang mana terdapat dalam QS. AlAnbiya‟
ayat 20 “ Mereka selalu bertasbih malam dan siang tiada henti-hentinya.” (Al-Anbiya‟: 20)
Semua bentuk pemujaan kepada Allah diadakan untuk membantu manusia dalam mengingat
Tuhan. Tetapi banyak manusia yang diberi rizki dari Allah, tetapi mereka tidak bersyukur, justru
malah melupakan-Nya. Dalam Islam, setiap gerak manusia dapat dinilai sebagaibentuk ibadah.
Dalam rangka ikhtiar memakmurkan bumi manusia telah diberi modal dasar yang telah melekat
pada diri manusia di awal penciptaan nya.Yakni berupa akal dan pikiran.Maka dengan ada nya
12

akal dan pikiran maka manusia dapat melakukan penelitian dan mencari pengetahuan bagaimana
mengelola semua amanah yang di berikan Allah SWT. Memelihara di sini tidak hanya secara
fisik saja. Tetapi segala yang ada di alam harus di pelihara karena manusia sejatinya bergantung
pada alam atau mahluk lain.Termasuk juga dalam memelihara akidah dan akhlak manusia itu
sendiri sebagai sumber daya manusia yang akan memanfaatkan alam, dan merupakan tugas
manusia menciptakan keseimbangan alam ini. Karena dunia ini diciptakan untuk memenuhi
kebutuhan.

6. Implikasi terhadap Pendidikan

Islam Manusia adalah makhluk yang ada (being) dan keberadaannya (resistance) terus mengalami
serangkaian proses menjadi (to be). Dalam proses itu, manusia bergerak atau menuju kearah
kesempurnaan atau sesuatu yang dianggap sempurna. Dari dimensi fisik, manusia bermula dari
bayi kemudian tumbuh berkembang menjadi remaja, dewasa, dan akhirnya tua serta manula.
Untuk mengembangkan potensi fisik dan psikhis manusia ke arah kesempurnaan, maka
pendidikan islami harus merupakan upaya penciptaan situasi dan kondisi yang benar-benar
kondusif bagi pengembangan dimensi material dan non material manusia (al-jismwa al-ruh)
secara utuh, integral, dan seimbang. Karena itu diperlukan keterpaduan yang utuh, integral, dan
seimbang antara Tarbiyah al-Jismiyah wa al-Ruhiyah ('aqliyah, nafsiah, wa qalbiyah).
Keterpecahan dan ketidak seimbangan antara dua dimensi tersebut hanya akan menghasilkan
mamusia-manusia yang terpecah diri dan kepribadiannya (split personality). Ketika diri dan
kepribadian terpecah, maka manusia tidak akan mampu merealisasikan tujuan fungsi, dan tugas
penciptaannya secara baik dan sempurna. Dari dimensi tujuan, maka matlamat tertinggi yang
harus dicapai melalui pelaksanaan pendidikan islami adalah upaya merealisasikan tujuan
penciptaan manusia, yakni mengenali kembali dan meneguhkan syahadah primordialnya terhadap
Allah Swt. Bukti pengenalan dan peneguhan syahadah tersebut adalah penunaian fungsi sebagai
'abd Allah dan pelaksanaan tugas-tugas sebagai khalifah Allah fi al-ardh. Agar mampu
menunaikan fungsi dan melaksanakan tugas-tugas tersebut, manusia perlu dibekali dengan ilmu
pengetahuan (al- 'ilm), keterampilan aplikatif (syakilah), dan nilai-nilai atau sikap mental yang
mulia (alakhlaq al-karimah).
13

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Manusia diciptakan Allah SWT sebagai khalifah, seorang pemimpin, dan makhluk yang
paling sempurna dimuka bumi yang tentunya juga mempunyai tanggung jawab serta peran
selama berada dibumi ini. Sebagai seorang khalifah manusia hendaknya berperilaku, antara lain :
1. Mengeksplorasi dan mengelola sumber daya alam yang ada dibumi.
2. Tidak memunculkan kerusakan pada bumi.
3. Selalu beribadah kepada Allah SWT.
Manusia adalah satu-satunya makhluk yang diberi akal pikiran oleh Allah SWT, karena
Allah percaya kepada manusia sehingga menjadikannya khalifah untuk tetap menjaga dan
mengelola segala macam sumber daya yang ada dibumi.

B. Saran

Sebagaimana kita harus berguna sesama untuk agama dan juga nusa dan bangsa
14

DAFTAR PUSTAKA

Prof Ali, Mohammad Daud, SH : Pendidikan Agama Islam, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada,
2005.

Miftah Faridl, As-Sunnah Sumber Hukum Islam, Bandung: Pustaka, 2001

Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jakarta: UI Press, 2002

Mujib Abdul. 2006.Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta. Kencana Prenada Media.


Dr.Marzuki, M.Ag. Buku PAI UNY
Ali,Mukti, 1991. Metode Memahami Agama Islam, Jakarta : Bulan Bintang
_______, 1991. Memahami Beberapa Aspek Ajaran islam, Jakarta : Bulan Bintang
Fadloli,1995. Buku ajar agama islam untuk Mahasiwa Politeknik, Bandung : PDC

https://www.academia.edu/28953068/TUJUAN_PENDIDIKAN_DAN_AJARAN_AGAMA_ISL
AM di akses tgl ;5 oktober 2019

https://www.academia.edu/9713275/Contoh_Makalah_Sumber-Sumber_Ajaran_Islam?
auto=download diakses tgl ; 5 oktober 2019

Anda mungkin juga menyukai