Anda di halaman 1dari 11

FITRAH DAN POTENSI MANUSIA DALAM

PENDIDIKAN ISLAM
By: jumiarti (407.690)
Tadris Bahasa Inggris
Fakultas Tarbiyah IAIN Imam Bonjol Padang
A. Pendahuluan
Sesungguhnya manusia diciptakan oleh Allah SWT tidak lain hanya untuk mengabdi d
an beribadah. Dan juga bertugas untuk mengemban amanah untuk mengelola dan memam
faatkan kekayaan yang terdapat di bumi agar manusia dapat hidup sejahtera dan ma
kmur lahir dan batin. Begitu spesialnya manusia diciptakan oleh allah SWT. Denga
n diberinya potensi, maka manusia dapat berpikir dan memngembangkan potensi yang
terdapat pada dirinya. Mengembangkan potensi tersebut salah satunya melalui dun
ia pendidikan.
Dalam pembahasan ini penulis akan berupaya mengupas dan menjelaskan beberapa hal
yang berhubungan dengan fitrah manusia dan potensi manusia itu sendiri dalam pe
ndidikan islam. Pertama penulis akan mencoba menjelaskan tentang manusia yang me
ncakup bagian-bagiannya, fitrah manusia, selanjutnya macam-macam fitrah, dan hub
ungan fitrah manusia itu sendiri dengan dunia pendidikan.
Semoga dengan adanya penjelasan tersebut kitta menjadi paham tentang fitrah dan
potensi manusia dalam pendidikan islam. Terutama bagi penulis sendiri agar menam
bah pemahaman dan cakrawala tentang manusia dalam pendidikan, berikut penjelasan
nya.
B. Manusia
a. Hakikat Manusia
Pengkajian tentang manusia dipandang dari berbagai aspek. Dari segi fisik disebu
t antropologi fisik. Dari sudut pandang budaya disebut antropologi budaya, sedan
gkan yang memandang manusia dari segi hakikatnya yaitu antropologi filsafat. Dar
i pandangan filsafat inilah yang menyebabkan pengkajian tentang hakikat manusia
itu tidak pernah berakhir. Sehingga ada 4 aliran yang berbicara apa itu manusia.
Aliran tersebut yaitu aliran serba zat yang mengatakan bahwa yang sungguh-suggu
h ada itu adalah zat dan materi. Kedua, aliran serba ruh yang mengatakan bahwa s
egala sesuatu hakikatnya adalah ruh, begitupun manusia. Sementara zat hanyalah m
anfestasi dari ruh.
Ketiga, aliran dualisme yang merupakan gabungan dari zat dan ruh yang mengatakan
bahwa manusia itu terdiri dari dua substansi yaitu jasmani dan rohani, badan da
n ruh. Keempat, aliran eeksistensialisme yang memandang manusia buakan dari zat
dan ruh akan tetapi dari segi eksistensi manusia itu sendiri, yaitu cara beradan
ya manusia itu sendiri di dunia ini.
Berdasarkan kenyataan bahwa manusia itu mempunyai jasmani dan roh, jiwa atau roh
ani. Maka ada empat macam pandangan tentang hal tersebut yaitu:
Pandangan idealistis tentang badan manusia
Pandangan materialistis tentang badan manusia
Pandangan bahwa badan adalah musuh dari roh
Pandangan bahwa badan manusia adalah jasmani yang di rohanikan ataupun sebal
iknya.[1]
Pengetahuan tentang hakikat manusia ini merupakan bagian yang sangat penting. De
ngan demikian kita dapat mengetahui hakikat manusia, kedudukan dan fungsinya di
alam semesta ini. karena manusia dalam pendidikan bukan saja sebagai objek namun
juga sebagai subjek. Sehingga pendekatan yang dilakukan dan aspek yang dilaksan
akan dapat direncanakan secara matang.
Sastraprateja mengatakan bahwa manusia adalah makhluk yang historis. Hakikat man
usia sendiri adalah sejarah yang hanya dapat dilihat dalam perjalanan sejarah ba
ngsa manusia. Pengamatan terhadap pengalaman manusia merupakan rangkaian Antropo
logical Constant yaitu dorongan-dorongan dan orientasi yang tetap dimiliki manus
ia. Ada enam Antropological Constant yang dapat ditarik dari pengalaman sejarah
umat manusia yaitu:
Relasi manusia dengan kejasmanian, alam dan lingkungan ekologis
Ketertiban dengan sesama
Keterikatan dengan struktur sosial dan institusional
Ketergantungan masyarakat dan kebudayaan pada waktu dan tempat
Hubungan timbal balik antara teori dan praktek
Kesadaran religius dan pemeluk agama[2]
Salah satu pemikir di abad modern yang mangkaji tentang hakikat manusia yaitu Al
axis Carrel yang mengatakan bahwa manusia adalah makhluk yang misterius, karena
derajat perpisahan manusia dari dirinya berbanding terbalik dengan perhatiannya
yang demikian tinggi terhadap dunia yang ada diluar dirinya.
Ibn Arabi melukiskan hakikat manusia bahwa tidak ada makhluk Allah yang lebih ba
gus dari pada manusia. Allah SWT membuatnya hidup, mengetahui, berkuasa, berkehe
ndak, berbicara, mendengar, melihat dan memutuskan, yang merupakan sifat rabbani
yah.
b. Manusia Dalam Al-Quran
Dalam Al-Quran banyak sekali gambaran yang membahas tentang manusia dan makna fil
osofis dari penciptaannya. Manusia merupakan makhluk yang sempurna dan sebaik-ba
ik ciptaan yang dilengkapi dengan akal dan pikiran.
Murthada Mutahhari melukiskan gambaran Al-Quran tentang manusia yaitu manusia seb
agai suatu makhluk pilihan Tuhan, sebagai khalifah-Nya di bumi, serta sebagai ma
khluk semi samawi dan semi duniawi yang didalam dirinya ditanamkan sifat mengaku
i Tuhan, bebas terpecaya, rasa tanggung jawab terhadap dirinya maupun alam semes
ta, langit dan bumi. Akan tetapi manusia sering melupakan hakikat kedudukannya s
ebagai hamba Allah.
Kesulitan para ahli dalam mendefinisikan hakikat manusia, akhirnya menyebabkan g
agalnya usah-usaha ilmiah, ideologi dan tatanan sosial untuk memberikan kebahagi
an kepada manusia di zaman modern ini. Itu semua disebabkan karena ketidak tahua
n manusia untuk mengenal dirinya.
Di dalam Al-Quran ada tiga istilah yang biasa digunakan untuk menunjuk pengertian
manusia. Ketiga kata tersebut yaitu: al-basyar, al-insan, al-nas. Meskipun keti
ga kata tersebut merujuk kepada manusia, akan tetapi secara khusus memiliki makn
a yang berbeda, hal demikian dapat dilihat dari pengertian dibawah ini yaitu:[3]
Al-Basyar
kata Al-Basyar ini dinyatakan dalam alquran sebanyak 36 kali yang tersebar dalam
26 surat. Secara etimologi al-basyar merupakan bentuk jamak dari al-basyarat (?
?????) yang berarti kulit kepala, wajah dan tubuh menjadi tempat tumbuhnya rambu
t. Pemaknaan manusia dengan al-basyar memberikan pengertian bahwa manusia adalah
makhluk biologis serta memiliki sifat-sifat yang ada di dalamnya, seperti makan
, minum, perlu hiburan, sexs dan lain sebagainya.
Kata Al-Basyar ditujukan pada seluruh umat manusia tampa terkecuali. Ini berarti
bahwa Rasul pun memiliki dimensi Al-Basyar. Hal ini mengisyaratkan bahwa manusi
a memiliki persamaan dengan ciri pokok dari makhluk Allah lainnya seperti hewan
dan tumbuh-tumbuhan. Ciri pokok tersebut diantaranya adalah persamaan dalam duni
a ini memerlukan ruang dan waktu seta tunduk terhadap sunatullah. Dengan demikia
n persamaan manusia dari aspek materi atau dimensi alamiah saja.[4]
2. Al-Insan
Kata ini dinyatakan dalam Al-Quran sebanyak 73 kali yang tersebar dalam 43 surat.
Penggunaan kata Al-Insan pada umumnya digunakan menggambarkan pada keisimewaan
manusia penyandang predikat khalifah di muka bumi, sekaligus dihubungkan dengan
proses penciptaannya. Ini dikarenakan manusia memiliki potensi dasar yaitu fitra
h akal dan kalbu. Menempatkan manusia sebagai makhluk yang mulia dan tertinggi d
ibanding makluk lainnya.
Kata Al-Insan juga menunjuk pada proses kejadian manusia, baik Adam amupun manus
ia setelah Adam di alam rahim yang berlangsung secara utuh dan berproses. Dalam
hal ini ada dua dimensi yang terkandung yaitu pertama dimensi tanah (dengan berb
agai unsurnya) yang mengisyaratkan bahwa manusia pada dasarnya tidak bisa lepas
dari pengaruh kekuatan alam dan kebutuhan-kebutuhan yang menyangkut dengannya da
n saling mempengaruhi antara yang satu dengan yang lainnya. Dimensi kedua yaitu
dimensi spiritual (ditiupkan-Nya ruh-Nya kepada manusia) yang mengisyaratkan bah
wa pada hakikatnya kehidupan manusia diarahkan kepada tujuan disamping material
dan non material, dengan kata lain kehidupan manusia hendaknya senantiasa diarah
kan kepada suatu realitas yang Maha Sempuna (Allah), tampa batas, tampa cacat, d
an tampa akhir.
Dengan demikian kata Al-Insan mengandung makna tentang keunikan manusia yaitu ag
ar manusia hidup dengan nilai illahiyah, agar manusia senantiasa menggunakan aka
l dan potensi yang dimilikinya secara optimal, dengan tetap berpedoman kepada aj
aran Ilahi. Dengan inilah manusia dapat mewujudkan dirinya sebagai makhluk Allah
yang mulia jika tidak maka masnusia akan terjerumus dan jatuh kejurang kenistaa
n dan kehancuran serta kehinaan.[5]
Al-Quran juga menjelaskan tentang sifat umum manusia, serta sisi kelebihan dan ke
lemahan manusia yaitu:
- Tidak semua yang di inginkan manusia berhasil dengan usahanya, bila A
llah tidak menginginkannya.
- Gembira bila ada nikmat, susah bila dapat cobaan
- Manusia sering bertindak bodoh dan zalim baik terhaap dirinya maupun
makhluk Allah lainnya
- Manusia seringkali ragu dalam memutuskan persoalan
- Apabila mendapat kenikmatan materi sering lupa diri dan kikir
- Manusia adalah makhluk yang lemah
- Kewajiban berbakti kepada kedua orang tua
- Peringatan Allah agar manusia waspada terhadap bujukan rayuan orang-o
rang munafik
3. Al-Nas
Kata Al-Nas dalam Al-Quran dinyatakan sebanyak 240 kali yang tersebar dalam 53 su
rat. Kata ini menunjukkan pada hakikat manusia sebagai makhluk sosial dan ditunj
ukkan kepada seluruh manusia secara umum tampa melihat statusnya apakah beriman
atau kafir. Kata ini juga menunjukkan kepada karakteristik manusia senantiasa be
rada dalam keadaan labil. Meskipun telah dianugerahkan Allah SWT dengan berbagai
potensi yang bisa digunakan untuk mengenal Tuhannya, namun hanya sebagian manus
ia yang mau memmpergunakannya sesuai dengan ajaran Tuhannya. Sedangkan sebagian
yang lain menggunakan potensi tersebut untuk menentang ke-Mahakuasaan Tuhan.
Kata Al-Nas juga dipergunakan Al-Quran yaitu untuk menunjukkan kepada makna lawan
dari binatang buas. Ia diasumsikan sebagai makhluk yang senantiasa tunduk pada
alam di mana ia berada.
Pendefinisian yang dinyatakan Allah SWT dalam Al-Quran dengan menyebut manusia de
ngan istilah Kata Al-Nas juga dipergunakan Al-Quran yaitu untuk Al-Basyar, Al-Ins
an, Al-Nas memberikan gambaran akan keunikan serta kesempurnaan manusia sebagai
makhluk ciptaan Allah SWT. Referensi ini menjelaskan bahwa manusia merupakan sat
u kesatuan yang utuh, antara aspek material (fisik) im materil (psikis) yang dip
andu oleh ruh illahiah. Antara aspek fisik dan aspek psikis saling berhubungan.
Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa manusia adalah makhluk yang mem
iliki kelengkapan fisik dan psikis. Dengan kelengkapan fisik, ia dapat melaksana
kan tugasnya yang memerlukan dukungan kekuatan fisik dan dengan kelengkapan psik
is ia dapat melaksanakan kegiatannya ynag memerlukan dukungan mental.[6]
c. Kedudukan Manusia
Manusia adalah makhluk Tuhan yang diciptakan dengan bentuk raga yang sebaik-baik
nya dan rupa yang seindah-indahnya dilengkapi dengan berbagai organ psiko fisik
yang istimewa seperti panca indra dan hati agar manusia bersyukur kepada Allah y
ang telah menganugerahi keistimewaan-keistimewaan itu.
Dalam Al-Quran dinyatakan bahwa Allah SWT. menciptakan manusia bukan secara main-
main melainkan dengan suatu tujuan dan fungsi. Kesatan wujud antara fisik dan ps
ikis serta didukung oleh potensi-potensi yang ada membuktikan bahwa manusia seba
gai ahsan al-taqwim dan menempatkan manusia pada posisi yang strategis yaitu:
1. Manusia sebagai hamba Allah (abd Allah)
Konsep abd mengacu pada tugas-tugas individual manusia sebagai hamba Allah. Dalam
bentuk pengabdian ritual kepada Allah SWT. Dengan penuh keikhlasan. Yang melip
uti seluruh aktivitas manusia dalam kehidupannya. Islam menggariskan bahwa selur
uh akifitas seorang hamba selama ia hidup di alam semesta ini dapat dinilai seba
gai ibadah manakalah aktivitas itu memang ditujukan kepada Allah SWT dalam rangk
a mendapatkan redho-Nya.[7]
Musa Asyarie mengatakan bahwa esensi abd adalah ketaatan, ketundukan, kepatuhan ya
ng kesemuanya itu hanya layak diberikan kepada Tuhan. Ketundukan dan ketaatan pa
da kodrat alamiah yang senantiasa belaku bagi-Nya. Ia terikat oleh hokum-hukum T
uhan yang menjadi kodrat pada setiap ciptaannya, manusia menjadi bagian dari set
iap ciptaa-Nya, ia tergantung pada sesamanya, hidup dan matinya menjadi bagian d
ari segala yang hidup dan mati. Sebagai hamba Allah manusia tidak bias terlepas
dari kekuasaan-Nya, karena manusia mempunyai fitrah (potensi) bergama. Yang meng
akui adanya kekuatan diluar dirinya.
Pengakuan manusia akan adanya Tuhan secara naluriah menurut Al- Quran disebabkan
karena telah terjadi dialog antara Allah dan roh manusia tak kala ia berada di a
lam arwah. Dengan demikian kepercayaan dan ketergantungan manusia dengan Tuhanny
a, tidak bisa dipisahan dari kehidupan manusia itu sendiri. Karena manusia telah
berikrar sejak alam mitsak bahwa Allah SWT. adalah Tuhanya .
2. Manusia sebagai khalifah Allah fi al-ardh
Kata khalifah berasal dari fiil madhi Khalafa yang berarti mengganti dan melanju
tkan. Jadi khalifah yaitu proses penggantian antara satu individu dengan individ
u yang lain. Sebagai seorang khalifah ia berfungsi menggantikan orang lain dan m
enempati tempat serta kedudukan-Nya. Ia menggantikan orang lain menggantikan ked
udukann kepemimpinannya atau kekuasaanya.[8]
Al-Quran menegaskan bahwa manusia diciptakan Allah sebagai pengemban amanat. Dian
tara amanat yang dibebankan kepada manusia memakmurkan kehidupan di bumi. Karena
amat mulianya manusia mengeban amanat Allah, maka manusia diberi kedudukan seba
gai khalifah-Nya di muka bumi.
Menurut Ahmad Musthafa Al Marghi, kata khalifah dalam ayat ini memiliki dua makn
a. Pertama, pengganti yaitu pengganti Allah SWT dalam menjalankan titahnya di mu
ka bumi. Kedua, manusia adalah pemimpin yang kepadanya diserahi tugas untuk memi
mpin diri dan mendayagunakan alam semesta bagi kepentingan manusia secara keselu
ruhan.
Salah satu aplikasi dari kekhalifahan manusia di muka bumi adalah pentingnya kem
ampuan untuk memahami alam semesta tempat ia hidup dan menjalankan tugasnya. Tan
ggung jawab moral manusia untuk mengelola dan memmfaatkan seluruh sumber yang te
rsedia di alam ini untuk memenuhi keperluan hidupnya. Manusia diharapkan mampu m
empertahankan martabatnya sebagai Khalifah Allah yang hanya tunduk kepada-Nya da
n tidak akan tunduk kepada alam semesta.[9]
C. Fitrah
a. Konsep Fitrah Manusia
Dalam dimensi pedidikan, keutamaan dan keunggulan manusia dibanding dengan makhl
uk alllah lainnya, terangkum dalam kata fitrah. Secra bahasa fitrah berasal dari
kata fathaha yang berarti menjadikan. Kata tersebut berasal dari akar kataal-fat
hr yang berarti belahan atau pecahan.
Dalam Al-Quran kata-kata yang mengacu pada pemaknaan kata fitrah muncul sebanyak
20 kali yang tersebar dalam 19 surat. Sehingga secara umum pemaknaan kata fitrah
dapat dikelompokkan kedalam empat yaitu:
Proses penciptaan langit dan bumi
Proses penciptaan manusia
Pengaturan alam semesta beserta isinya dengan serasi dan seimbang
Pemaknaan pada agama Allah sebagai acuan dasar dan pedoman bagi manusia dala
m menjalankan tugas dan fungsinya (marifat al-iman)
Para pemikir muslim cendrung memaknai kata fitrah berdasarkan QS:30:30 sebagai p
otensi manusia untuk beragama. Ada juga yang memaknai bahwa fitrah merupakan baw
aan yang telah diberikan Allah sejak manusia berada dalam alam rahim.
Hasan langgulung mengartikan fitrah tersebut sebagai potensi-potensi yang dimili
ki manusia. Potensi-potensi tersebut merupakan suatu keterpaduan yang tersimpul
dalam Asmaul Husna. Batasan tersebut memberikn arti, misalnya sifat Allah Al-Ilmu
maha mengetahui maka manusia pun memiliki potensi untuk bersifat mengetahui dan b
egitu juga semuanya. Akan tetapi kemampuan manusia tentu saja berbeda dengan All
ah. Hal ini disebabkan karena berbeda hakikat diantara keduanya. Allah memilki s
ifat kemaha sempurnaan sedangkan manusia memiliki sifat keterbatasan. Keterbatas
an itulah yang menyebabkan manusia membutuhkan pertolongan dan bantuan untuk mem
enuhi segala kebutuhan. Keadaan ini menyadarkan manusia tentang ke-Esaan Allah,
sehingga inilah letak fitrah beragama manusia sebagai manifestasi memenuhi kebut
uhan rohaniahnya.
Abdurrahman Shaleh Abdullah mengartikan kata fitrah sebagai bentuk potensi yang
diberikan Allah padanya disaat peciptaan manusia dialam rahim. Potensi tersebut
belum bersifat final, akan tetapi merupakan proses. Ia juga mengatakan bahwa ana
k yang lahir belum tentu muslim, meskipun ia berasal dari keluarga muslim. Akan
tetapi Allah SWT telah membekalinya dengan potensi-potensi yang memungkinkannya
menjadi seorang Muslim.
Muhammad Bin Asyur sebagamana disitir M. Quraish Shihab mendefinisikan fitrah ma
nusia kepada pengertian fitrah (makhluk) adalah bentuk dan sistem yang diwujudkan
Allah pada setiap makhluk. Sedangkan fitrah yang berkaitan dengan manusia adala
h apa yang diciptakan Allah pada manusia yang berkaitan dengan kemampuan jasmani
dan akalnya. Dari pengertian tersebut dapat diartiakan bahwa fitrah merupakan po
tensi yang diberikan Allah kepada manusia sehingga manusia mampu melaksanakan am
anat yang diberiakan Allah kepadanya yang meliputi potensi seluruh dimensi manus
ia.
Sabda Nabi Muhammad SAW yang artinya setiap anak manusia itu terlahir dalam fitra
hnya, kedua orang tuanyalah yang akan mewarnai (anak) nya, apakah menjadikannya
seorang yahudi, nasrani, atau majusi (HR Aswad Bin Sari).
Dari makna hadis diatas memberikan pengertian secara teoritis bahwa semakin baik
penempatan fitrah yang dimiliki manusia, maka akan semakin baiklah kepribadiann
ya. Demikian pula sebaliknya, semakin buruk penempatan fitrah seseorang maka aka
n semakin buruk sifat dan tingkah lakunya. Namun demikian, pendekatan tersebut h
anya sebatas teoritis manusia, sedangkan dosa balik itu dalam islam ada kemungki
nan lain, yaitu hidayah dari Allah SWT sebagai penentu yang Maha final.[10]
b. Macam-Macam Fitrah Manusia
Dari sekian banyak pengertian tentang fitrah, maka dapat diambil kata kunci bahw
a fitrah adalah potensi manusia. Potensi tersebut bukan saja potensi agama saja.
Menurut Ibn Taimiyah sebagaimana disitir Juhaja S. Praja pada diri manusia juga
memiliki setidaknya tiga potensi fitrah yaitu:
Daya intelektual (quwwat al-al-aql) yaitu potensi dasar yang memungkinkan man
usia dapat membedakan nilai intelektualnya, manusia dapat mengetahui dan meng-Es
akan Tuhannya.
Daya ofensif (quwwat al-syahwat) yaitu potensi yang dimiliki manusia yang ma
mpu menginduksi objek-objek yang menyenangkan dan bermamfaat bagi kehidupannya,
baik secara jasmaniah maupun rohaniah secara serasi dan seimbang.
Daya defensif (quwwat al-ghaddab) yaitu potensi dasar yang dapat menghindark
an manusia dari perbuatan yang dapat membahayakan dirinya.
Diantara ketiga potensi tersebut, disamping potensi agama, potensi akal menduduk
i sentral sebagai alat kendali dua potensi lainnya. Ada juga pendapat Ibn Taimiy
ah yang dikutip Nurchalis Majdid yang membagi fitrah manusia kepada dua bentuk y
aitu:
Fitrat al-gharizat merupakan potensi dalam diri manusia yang dibawanya semen
jak ia lahir. Potensi tersebut antara lain nafsu, akal, hati nurani yang dapat d
ikembangkan melalui jalur pendididkan.
Fitrat al-munaazalat merupakan potensi luar manusia. Adapun wujud dari fitra
h ini yaitu wahyu Allah yang diturunkan untuk membimbing dan mengarahkan fitrat
al-gharizat berkembang sesuai dengan fitrahnya yang hanif.
Semakin tinggi tingkat interaksi antara keduanya maka akan semakin tinggi kualit
as manusia (insan kamil). Akan tetapi sebaiknya, semakin rendah tidak mengalami
keserasian, bahkan berebenturan antara satu dengan yang lainnya maka manusia aka
n semakin tergelincir dari fitrahnya yang hanif.
Muhammad Bin Asyur sebagamana disitir M. Quraish Shihab dalam mendefinisikan fit
rah manusia ada beberpa potensi yang dimiliki oleh manusia diantaranya yaitu:
Potensi jasadiah, yaitu contohnya potensi berjalan tegak dengan menggunakan
kedua kaki.
Potensi akliyahnya, yaitu contohnya kemampuan manusia untuk menarik sesuatu
kesimpulan dari sejumlah premis.
Potensi rohaniyah, yaitu contohnya kemampuan manusia untuk dapat merasakan s
enang, nikmat, sedih, bahagia, tenteram, dan sebagainya.
Dari beberapa pendapat para ahli tentang macam-macam potensi manusia, maka dapat
diambil kesimpualan bahwa potensi manusia yang dibawa sejak lahir terdiri dari:
Potensi agama
Potensi akal yang mencangkup spiritual
Potensi fisik atau jasadiah
Potensi rohaniah mencangkup hati nurani dan nafsu.[11]
D. Hubungan Fitrah Manusia Dengan Dunia Pendidikan
Dalam perspektif pendidikan Islam, fitrah manusia dimaknai dengan sejumlah poten
si yang menyangkut kekuatan-kekuatan manusia. Kekuatan tersebut meliputi kekuata
n hidup, upaya mempertahankan dan melestarikan kehidupannya, kekuatan rasional (
akal), dan kekutan spiritual (agama). Ketiga kekuatan ini bersifat dinamis dan t
erkait secara integral. Potensialitas manusia inilah yang kemudian dikembangkan,
diperkaya, dan diaktualisasikan secara nyata dalam perbuatan amaliah manusia se
hari-hari, baik secara vertikal maupun horizontal. Perpaduan ketiganya merupakan
kesatuan yang utuh.
Dalam pendidikan Islam harus mampu mengintegrasikan seluruh potensi yang dimilik
i peserta didiknya pada pola pendidikan yang ditawarkan, baik potensi yang ada p
ada aspek jasmani maupun rohani, intelektual, emosional, serta moral etis religi
us dalam diri peserta didiknya. Dengan ini, pendidikan Islam akan mampu membantu
peserta didiknya untuk mewujudkan sosok insan paripurna yang mampu melakukan di
alektika aktif pada semua potensi yang dimiliknya. Mampu teraktualisasikannya po
tensi yang dimiliki manusia sesuai dengan nilai-nilai Ilahiyah, pada dasarnya pe
didikan berfungsi sebagai media yang menstimuli bagi perkembangan dan pertumbuha
n potensi manusia seoptimal mungkin ke arah penyempurnaan dirinya, baik sebagai a
bdillah maupun khalifah.
Fitrah yang dimiliki oleh setiap manusia memiliki kebutuhan. Menurut Zakiyah Dra
jat ada dua kebutuhan pesertadidik yaitu:
Kebutuhan psikis yaitu kebutuhan akan kasih sayang, rasa aman, rasa harga di
ri, bebas, mengenal, dan rasa sukses
Kebutuhan fisik yaitu pemenuhan sandang, pangan, papan, dan pangan
Dalam pendidikan berupaya mengembangkan dan memenuhi kebutuahn tersebut secara i
ntegral agar berkembang.[12]
Dalam perkembngannya manusia ingin selalu dipenuhi kebutuhan hidupnya, secara la
yak dan dapat hidup sejahtera. Tetapi kehidupan sejahtera sifatnya relatif, kare
na selalu brubah dan berkembang sesuia dengan perkembangan sosial budaya. Semaki
n maju suatu masyarakat, maka akan semakin beraneka ragam kebutuhannya.[13]
Kebutuhan pokok manusia antara lain yaitu:
1. Kebutuhan biologis
Kebutuhan biologis atau kebutuhan jasmaniah, yang merupakan kebutuhan hidup manu
sia yang primer, seperti makan, tempat tinggal, pakaian, dan kebutuhan sexsual.
Setiap orang tentu akan memenuhi kebutuhan biologis tersebut, namun cara pemenuh
an kebutuhan tersebut berbeda satu dengan yang lain, tergantung kemampuan dan ke
butuhan masing-masing.
2. Kebutuhan Psikis
Kebutuhan Psikis yaitu kebutuhan rohaniah. Manusia membutuhkan rasa aman, dicint
ai dan mencintai, bebas, dihargai, dan lainnya. Manusia adalah makhluk yang dise
but psycho-physik netral yaitu sebagai makhluk yang memiliki kemandirian jasmaniah
dan rohaniah. Dalam kemandirian itu manusia memiliki potensi untuk berkembang d
an tumbuh, untuk itu diperlukan adanya pendidikan, agar kebutuhan psikis dapat t
erpenuhi dengan seimbang.
3. Kebutuhan Sosial
Kebutuhan Sosial, yaitu kebutuhan manusia bergaul dan berinteraksi dengan manusi
a lain. Karna manusia merupakan makhluk sosial yang memiliki keinginan untuk hid
up bermasyarakat. Sebagai makhluk sosial maka manusia memiliki rasa tanggung jaw
ab untuk mengembangkan interaksi antara masyarakat.
4. Kebutuhan Agama (spiritual)
Kebutuhan Agama (spiritual) yaitu kebutuhan manusia terhadap pedoman hidup yang
dapat menunjukkan jalan kearah kebahagiaan duniawi dan ukhrawi. Semenjak lahir m
anusia sudah membawa fitrah beragama dan akan berkembang degan adanya pendidikan
. Dengan demikian manusia disebut dengan makhluk berketuhanan atau disebut juga
dengan makhluk beragama, karena dengan adanya agama manusia akan dapat ketenanga
n lahir dan batin.
5. Kebutuhan Paedagogis (intelek)
Kebutuhan Paedagogis (intelek) yaitu kebutuhan manusia terhadap pendidikan. Manu
sia disebut homo-educandum, yaitu akhluk yang harus dididik, oleh karena manusia
itu dikategorikan sebagai animal educable, yakni sebagai makhuk sebangsa binata
ng yang dapat dididik. Karena manusia mempunyai akal, mempunyai kemampuan untuk
berilmu pengeahuan, di samping manusia juga memiliki kemampuan untuk berkembang
dan membentuk dirinya sendiri (self-formig).
Dengan demikian jelaslah bahwa manusia dalam hidunya memerlukan pendidikan. Namu
n pendidikan yang bagaimanakah yang dapat mengembangkan potensi yang ada pada di
ri manusia yang telah ia bawa semenjak lahir. Karena fitrah manusia pada umumnya
sama, hanya saja yang membedakan mereka adalah pendidikan yang mereka dapatkan,
sehingga terjadilah beragam agama dan kecerdasan setiap individu.
Ada tiga alasan penyebab awal kenapa manusia emerlukan pendidikan, yaitu: pertam
a, dalam tatanan kehidupan masyarakat, ada upaya pewarisan nilai kebudayaan anta
ra generasi tua kepada generasi muda, dengan tujuan agar nilai hidup masyarakat
tetap berlanjut dan terpelihara. Nilai-nilai tersebut meliputi nilai intelektual
, seni, politik, ekonomi, dan sebagainya. Kedua, alam kehidupan manusia sebagai
individu, memiliki kecendrungan untuk dapat mengembnagkan potensi-potensi yang a
da dalamdirinyaseoptimal mungkin. Untuk maksud tersebut, manusia perlu suatu sar
ana. Saran itu adalah pendidikan. Ketiga, konvergensi dari kedua tuntutan di ata
s yang pengaplikasiannya adalah lewat pendidikan.[14]
Para ahli pendidikan Muslim pada umumnya sependapat bahwa teori dan praktek kepe
ndidikan Islam harus didasarkan pada konsepsi dasar tentang manusia. Ada dua imp
likasi penting dalam hubungannya dengan pendidikan Islam, yaitu:[15]
Karena manusia adalah makhluk yang merupakan resultan dari dua komponen (mat
eri dan immateri), maka konsepsi itu menghendaki proses pembinaan yang mengacu k
earah realisasi dan pengembangan komponen-komponen tersebut. Sistim pendidikan I
slam harus dibangun diatas konsep kesatuan (integrasi) antara pendidikan qalbiya
h dan qaliyah sehingga mampu menghasilkan manusia Muslim yang pintar secara inte
lektual dan terpuji secara moral.
Al-quran menjelakan bahwa fungsi penciptaan manusia di alam ini adalah sebag
ai khalifah dan abd. Untuk melaksanakan tugas ini Allah membekali dengan seperagk
at potensi. Dalam konteks ini, maka pendidikan harus merupakan upaya yang dituju
kan ke arah pengembangan potensi yang dimiliki manusia secara maksimal sehingga
dapat diwujudkan dalam bentuk konkrit, dalam arti berkemampuan menciptakan sesua
tu yang bermamfaat bagi diri, masyarakat dan lingkungannya sebagai realisasi fun
gsi dan tujuan penciptaannya, baik sebagai khalifah maupun abd.
Kedua hal di atas harus menjadi acuan dasar dalam menciptakan dan mengembangkan
sistem pedidikan Islam masa kini dan masa depan. Fungsionalisasi pendidikan Isla
m dalam mencapai tujuannya sangat bergantung pada sejauh mana kemampuan umat Isl
am menterjemahkan dan merealisasikan konsep filsafat penciptaan manusia dan fung
sivpenciptaannya dalam alam semesta ini. Untuk menjawab hal itu, maka pendidikan
Islam dijadikan sebagai sarana yang kondusif bagi proses transformasi ilmu peng
etahuan dan budaya Islami dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dalam konte
ks ini dipahami bahwa posisi manusia sebagai khalifah dan abd menghendaki program
pendidikan yang menawarkan sepenuhnya penguasaan ilmu pengetahuan secara totali
tas, agar manusia tegar sebagai khalifah dan taqwa sebagai substansi dan aspek ab
d.
Agar pendidikan umat berhasil dalam prosesnya, maka konsep penciptaan manusia da
n fungsi penciptaannya dalam alam semesta harus sepenuhnya diakomodasikan dalam
perumusan teori-teori pendidikan Islam melalui pendekatan kewahyuan, empirik kei
lmuwan dan rasional filosofis. Yang harus dipahami bahwa pendekatan keilmuwan da
n filosofis hanyalah sebuah media untuk menalar pesan-pesan Tuhan, baik melalui
ayat-ayat-Nya yang bersifat tekstual (Quraniyah), maupun ayat-ayat-Nya yang bersi
fat kontekstual (kauniyah) yang telah dijabarkan-Nya melalui sunnatullah.
Dalam buku lain ditemukan bahwa pendidikan merupakan gejala dan kebutuhan manusi
a. Dalam artian bahwa bilamana anak tidak mendapatkan pendidikan, maka mereka ti
dak akan menjadi manusia sesungguhnya, dalam artian tidak sempurna hidupnya dan
tidak akan dapat memenuhi fungsinya sebagai manusia yang berguna dalam hidup dan
kehidupannya. Hanya pendidikanlah yang dapat memnusiakan dan membudayakan manus
ia.[16]
Untuk mengembangkan potensi/kemampuan dasar, maka manusia membutuhkan adanya ban
tuan dari orang lain untuk membimbing, mendorong, dan mengarahkan agar berbagai
potensi tersebut dapat bertumbuh dan berkembang secara wajar dan secara optimal,
sehingga kehidupannya kelak dapat berdaya guna dan berhasil guna. Dengan begitu
mereka akan dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dan dapat menyesuaikan diri denga
n lingkungannya, baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosial.
Lingkungan fisik yaitu lingkungan alam, seperti keadaan geografis, iklim dan lai
nnya. Sedangkan lingkunagan sosial ialah lingkungan yang berupa manusia-manusia
yang ada disekitar anak, yang berinteraksi dengan mereka, seperti orang tua, sau
dara, tetangga dan lainnya.
Dari beberapa penjelasan diatas, maka dapat disimpulkan, bahwa fitrah yang dibaw
a oleh setiap manusia semenjak ia lahir harus dikembangkan dengan pendidikan. Ka
rena sifata manusia yang yang selalu membutuhkan orang lain untuk perubahan dan
perbaikan dirinya. Dan juga perkembangan fitrah manusia itu akan di pengaruhi ol
eh lingkungan. Di dalamfitrah manusia terdapatnya suatu kebutuhan-kebutuhan. Unt
uk memenuhi kebutuhan tersebut maka perlu adanya bantuan dari orang laian terseb
ut. Sehingga kebutuhan-kebutuhan tersebut terpenuhi.
Dari penjelasan yang panjang lebar tentang fitrah dan potensi manusia dalam pend
idikan islam, ada beberpa poin pokok yang sangat penting, yaitu manusia (hakikat
manusia, manusia dalam al-quran, dan kedudukan manusia), fitrah (konsep fitrah
manusia, macam-macam fitrah manusia), dan hubungan manusia dengan pendidikan isl
am.
Akhirnya, dari beberapa penjelasan yang telah penulis coba paparkan tentang fitr
ah dan dan potensi manusia dalam pendidikan islam semoga dapat dipahami dan dime
ngerti. Penulis menyadari bahwa masih banyaknya kekurangan dan kelemahan, untuk
itu penulis berharap kritik dan saran yang membnagun untuk pembuatan artikel ked
epannya. Semoga artikel yang penulis buat ini dapat diajukan sebagai salah satu
tugas akhir dari filsafat pendidikan dalam hal pengganti ujian semester.
E. Reference
Samsul Nizar, 1999, Peseta Didik Dalam Perspektif Pendidikan Islam: Penganta
r Filsafat Pendidikan Islam, IAIN Imam Bonjol Press: Padang
Prof. H.M. Arifin, M.Ed., 1996, Filsafat Pendidikan Islam, Bumi Aksara: Jaka
rta
Prof. DR. H. Ramayulis, 2008, Ilmu Pendidikan Islam, Kalam Mulia: Jakarta
Dr. Al-Rasyidin & Dr. H. Samsul Nizar, M.A., 2005, Filsafat Pendidikan Islam
: Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis, Ciputat Press: Jakarta
Dra. Zuhairini, dkk., 1995, Filsafat Pendidikan Islam, Bumi Aksara : Jakarta
Samsul Nizar, 2001, Pengantar Dasar-Dasar Pemikiran Pendidikan Islam, Gaya
Media Pratama: Jakarta
[1] Zuhairini, dkk., 1995, Filsafat Pendidikan Islam, Bumi Aksara : Jakarta. Hal
:74
[2] Ramayulis, 2008, Ilmu Pendidikan Islam, Kalam Mulia: Jakarta, hal: 1-2
[3] Samsul Nizar, 1999, Peseta Didik Dalam Perspektif Pendidikan Islam: Penganta
r Filsafat Pendidikan Islam, IAIN Imam Bonjol Press: Padang, hal: 13
[4] Ramayulis, opcit, hal: 4-5
[5] Samsul Nizar, opcit, hal:16-17
[6] Ramayulis, opcit, hal: 5-6
[7] Dr. Al-Rasyidin & Dr. H. Samsul Nizar, M.A., 2005, Filsafat Pendidikan Islam
: Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis, Ciputat Press: Jakarta, hal: 19
[8] Ramayulis, opcit, hal: 9
[9] Dr. Al-Rasyidin & Dr. H. Samsul Nizar, M.A., opcit, hal: 17-18
[10] Samsul Nizar, opcit, hal: 36-45
[11] Ibid, hal:42-44
[12] Samsul Nizar, 2001, Pengantar Dasar-Dasar Pemikiran Pendidikan Islam, Gaya
Media Pratama: Jakarta, hal: 135-138
[13] Dra. Zuhairini, dkk., opcit, hal: 95-97
[14] Samsul Nizar, hal: 85
[15] Dr. Al-Rasyidin & Dr. H. Samsul Nizar, M.A., opcit, hal: 21-23
[16] Dra. Zuhairini, dkk., opcit, hal: 92-95

Anda mungkin juga menyukai