Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

PENGANTAR STUDI PEMIKIRAN ISLAM

Tentang

Filsafat Islam Pasca Ibnu Rusd dan Kotemporer. (Al Isyraqiyah, Al


Muta’aliyah, Muhammad Iqbal dan Sayyid Husein Nasr)

Disusun oleh Kelompok 9 :

Desy Muliyana As :2214050017

Ryzka Dwi Fajri :2214050032

Dosen Pengampu :

Prof. Dr. Duski Samad, M.Ag

PROGRAM STUDI TADRIS BAHASA INGGRIS (A)

FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

IMAM BONJOL PADANG

TP. 2023 M / 1444 H


KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat Rahmat dan
Hidayah-Nya sehingga makalah ilmiah dengan judul “Filsafat Islam Pasca Ibnu
Rusd dan Kotemporer. (Al Isyraqiyah, Al Muta‟aliyah, Muhammad Iqbal dan
Sayyid Husein Nasr)” dapat terselesaikan dengan baik, makalah ini disusun dalam
rangka memenuhi tugas pada mata kuliah Pengantar Studi Pemikiran Islam.

Selesainya makalah ini tak lepas dari bimbingan dan dukungan yang
sangat membantu dari banyak pihak khususnya dosen Pengampu dan teman-
teman yang selalu setia mendampingi tim Penyusun dalam mengerjakan makalah
ini. Untuk itulah tim Penyusun mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada seluruh pihak yang telah membantu dalam penyelesaian makalah
ini.
Penyusun berharap agar makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca pada
umumnya dan sebagai pembelajaran bagi penyusun. Semoga tulisan ini dapat
menjadi bahan acuan bagi karya tulis yang lain.

Padang, 13 Mei 2023

Penyusun

2
DAFTAR ISI

Halaman judul ..........................................................................................................1

Kata Pengantar .........................................................................................................2

Daftar Isi...................................................................................................................3

1. BAB I PENDAHULUAN ...........................................................................4

A. Latar Belakang .............................................................................................4

B. Rumusan Masalah ........................................................................................5

C. Tujuan……………………………………………………………………..5
2. BAB II PEMBAHASAN……………………………………...............….6
A. Filosofi dan Pemikiran Al Isyraqiyah ………………………………….....6
B. Filosofi dan Pemikiran Al Muta‟aliyah ……………….………………....10
C. Filosofi dan Pemikiran Muhammad Iqbal …………………………….…16
D. Filosofi dan Pemikiran Sayyid Husein Nasr ………………………..…...17
3. BAB III PENUTUP……………………………….…………………….21
A. Kesimpulan…………………………………………………………..21
B. Saran……………………………………………………………….…21

DAFTAR PUSTAKA………………………………………...…………22

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dominasi pengaruh filsafat Yunani kian menimbulkan masalah dan
tantangan tersendiri terhadap eksistensi filsafat Islam. Secara internal
munculnya kritisisme dan bahkan tuduhan negatif oleh kalangan ulama
orthodok terhadap pemikiran filsafat dalam Islam. Secara eksternal ada
sanggahan bahwa sebenarnya filsafat Islam tidak ada, yang ada hanyalah
umat Islam memfilsafatkan filsafat Yunani agar sesuai dengan ajaran
Islam. Persoalannya adalah apakah benar filsafat telah menyelewengkan
keyakinan Islam? Dengan demikian, benarkah para filosof Muslim adalah
ahli bid’ah dan kufr? Seperti terlihat dalam tuduhan-tuduhan kaum
orthodok. Karena itu persoalan ini diangkat dalam makalah ini dengan
tema sentralnya Ibnu Rusyd.
Berfilsafat adalah bagian dari peradaban manusia. Semua
peradaban yang pernah timbul didunia pasti memiliki filsafat masing-
masing. Kenyataan ini juga sekaligus membantah pandangan bahwa yang
berfilsafat hanya orang barat saja, khususnya orang yunani. Diantara
filsafat yang pernah berkembang, selain filsafat yunani adalah filsafat
Persia, cina, India, dan tentu saja filsafat islam.
Tokoh yang paling popular dan dianggap paling berjasa dalam
membuka mata barat adalah Ibn-Rusyd. Dalam dunia intelektual barat,
tokoh ini lebih dikenal dengan nama averros. Begitu populernya Ibnu
Rusyd dikalangan barat, sehingga pada tahun 1200-1650 terdapat sebuah
gerakan yang disebut viorrisme yang berusaha mengembangkan
pemikiranpemikiran Ibnu Rusyd. Dari Ibnu Rusydlah mereka mempelajari
Fisafat yunani Aristoteles (384-322 s.M), karena Ibnu Rusyd terkenal
sangat konsisten pada filsafat Aristoteles.
Persoalan ini sangat urgen untuk diselesaikan karena sudah
menyangkut persoalan sensitif keimanan dan karena ternyata ikhtilaf

4
dalam metode keilmuan untuk memahami ajaran agama sampai pada
klaim-klaim kebenaran tentang status agama seseorang.
Penyusunan makalah ini berawal dari tugas yang diberikan oleh
Bpk. Duski Samad, M. Ag selaku dosen pembimbing mata kuliah
Pengantar Studi Pemikiran Islam kepada kami. Dan makalah ini akan kami
jadikan sebagai bahan belajar kelompok atau diskusi. Jadikanlah makalah
ini sebagai penambah wawasan dalam peningakatan kegiatan belajar.

B. Rumusan Masalah
Masalah yang penulis tarik dari latar belakang di atas yaitu :
1. Bagaimana Filosofi dan Pemikiran Al Isyraqiyah?
2. Bagaimana Filosofi dan Pemikiran Al Muta‟aliyah?
3. Bagaimana Filosofi dan Pemikiran Muhammad Iqbal?
4. Bagaimana Filosofi dan Pemikiran Sayyid Husein Nasr?

C. Tujuan Masalah
Tujuan dari rumusan masalah tersebut yaitu:
1. Untuk mengetahui Filosofi dan Pemikiran Al Isyraqiyah
2. Untuk mengetahui Filosofi dan Pemikiran Al Muta‟aliyah
3. Untuk mengetahui Filosofi dan Pemikiran Iqbal
4. Untuk mengetahui Filosofi dan Pemikiran Sayyid Husein Nasr

5
BAB II

PEMBAHASAN

Perkembangan Pemikiran Filsafat Islam pasca Ibn-Rusyd

A. Filosofi dan Pemikiran Al Isyraqiyah(Al- Suhrawardi)


1. Biografi

Suhrawardi merupakan ilmuwan muslim yang ikut andil mengantarkan


kepada kejayaan ilmu pengetahuan Islam berbagai pemikiran telah beliau
cetuskan untuk kemaslahatan keilmuan Islam Nama lengkap Suhrawardi
adalah Syekh Syihab al Din Abu al Futuh Yahya bin Habsy bin Amiral al
Suhrawad, yang bergelar Syihabuddin. Beliau dilahirkan di daerah
Suhrawad Iran Barat Laut, dekat Zanjan pada tahun 548 H/1153 M.
Suhrawardi dikenal sebagai Syekh al Isyraq atau Master of
Muminasionist(bapak pencerahan). Al Hakim (sang bijak). Al-Syahid (sang
martir), dan A Magtul(yang tebunuh). Julukan Al-maqtul berkaitan dengan
kematiannya melalui eksekusi, juga sebagai pembeda dari dua tokoh yaitu
Abu al Dahir Al Najib al Suhrawardi (wafat 563 H/1168 M), dan Abu
Hafs Umar Syihab al Din al Suhrawardi al Baghdadi (1145-1234 M).

Dalam pengembaraannya, Suhrawardi banyak bergaul dengan


kalangan sufi dan menjalani kehidupan zahid sembari memperdalam
ajaran-ajaran tasawuf. Akhirnya beliau menetap di Aleppo atas undangan
Pangeran Al Malik al Zahir, Putra Sultan Shalah al Din yang tertarik
dengan pemikiran-pemikiran Suhrawardi dan membangun parsepektif
filosotis besar kadua dalam Islam yakni aliran illuminasionis yang menjadi
tandingan aliran Paripatetis pendahulunya.1

2. Pemikiran filsafat Al-Suhrawardi


a. Metafisika dan Cahaya

1
Hasyim Nasution, Filsafat Islam, (Gaya Media Pratama, 1999), hal..144

6
Sebagaimana halnya suatu bangunan ilmu tidak muncul sempurna
secara tiba-tiba di tangan seorang pemiks, demikian pula halnya dengan
illuminasionisme yang memiliki akar panjang.

Inti Illuminasions terletak pada sifat dan proses penyebaran cahaya.


Beberapa tokoh sufi menyebut Allah dengan cahaya berdasarkan OS. Al
Nur ayat 35: “ Allah nur al Samawat wa al Ardhi” Allah menyebut dirinya
sebagai cahaya langit dan bumi. Ketika Ibnu Sina ditanya makna ayat
tersebut, ibnu Sina menjawab: “cahaya mengandung dua makna, yang
esensial dan metaforikal”. Cahaya esensial berarti kesempurnaan
kebeningan, lantaran cahaya pada dirinya memang bersifat bening.
Sedangkan makna metaforikal harus difahami dalam dua cara yaitu:
cahaya sebagai suatu yang bersifat baik atau sebaga yang mengarahkan
kepada yang baik. Allah sebagai cahaya dimaksud bahwa pada diri Nya
kebaikan juga merupakan penyebab semua kebaikan.

Cahaya yang dimaksud Suhrawardi bersifat immaterial dan tidak


bisa didefinisikan. Cahaya adalah entitas baik yang bersifat fisik maupun
non fisik sebagai suatu komponen yang esensial. Karena itu, esensi cahaya
adalah sekaligus manifestasinya. Jika manifestasi adalah atribut yang
ditambahkan kepada cahaya maka esensi dirinya -cahaya Pertama- tidak
mempunyai penyebab lain di luar dirinya.2

b. Epistemologi

Suhrawardi mengkritik logika Aristoteles, menurut Aristoteles definisi


adalah genus plus differensia sedangkan menurut Suhrawardi atribut
khusus yang terdefinisikan yang dapat dipredikatkan dan mengakibatkan
tidak memiliki pengetahuan tentang hal itu. Sebagai contoh ketika
mendefinisikan “kuda” sebagai seekor binatang meringkik. Sekarang kita
mengerti hewan karena kita mengetahui banyak hewan yang didalamnya
atribut ini ada tetapi tidak mungkin untuk mengerti atribut “meringkik”,

2
Ibid, hal. 146

7
karena meringkik hanya dijumpai pada benda yang didefinisikan dengan
sifat meringkik itu. Definisi biasa tentang kuda jadi tidak bermakna bagi
orang yang tidak tahu sama sekali. Definisi Aristoteles sebegai suatu
prinsip ilmiah benar benar tidak berlaku. Suhrawardi bependapat bahwa
suatu prinsip definisi yang benar nyebutkan satu demi satu atribut esensial
yang kolektif terdapat pada benda yang didefinisikan.

Suhrawardi membahas dengan panjang lebar masalah pengetahuan


yang pada akhirnya mendasarkannya pada iluminasi dan mengusulkan satu
teori visi yang dalam beberapa hal mirip dengan psikologi Gestalt.
Suhrawardi menggabungkan cars nalar dengan cara intuisi, menganggap
keduanya saling melengkapi. Menurut Suhrawardi nalar tanpa intuisi
dalam iluminasi adalah kakanak-kanakan, rabun dan tidak pernah
mencapai sumber transaden dari segala kebenaran dan penalaran,
sedangkan intuisi tanpa penyiapan logika sarta latihan pengembangan
kemampuan rasional bisa tersesat dan tidak akan dapat mengungkapkan
dirinya secara ringkas dan metodis. Atas dasar itulah Suhrawardi
membangun aliran mendekati paham Paripatetik saperti ditafsirkan Ibnu
Sina, juga mendekati doktrin gnostik aliran Ibnu Arabi, Karena itu untuk
dapat mendalami secara lengkap sisi intelektual murni filsafat transedental
harus mengenal lebih mendalam filsafat Aristoteles, Logika, Matematika
dan Sufisme. Pikirannya harus sepenuhnya bebas dari prasangka dan dosa
sehingga bertahap dapat mengambangkan indra batinnya yang menguji
dan mngoreksi apa yang dimengerti oleh fikiran. Akal tanpa bantuan
Dzaug tidak dapat dipercaya. Dzaug berfungsi menyerap misteri segala
esensi dan membuang skeptisisme tetapi sisi spekulatif murni pengalaman
spritual perlu dirumuskan dan disistematiskan oleh pikiran logis
(discursive thought). Ciri demikian, nampak pada filsafat Isyraq yang
dibangun Suhraward, dengan grasis ditempatkan secara tegas dalam
puncak pengetahuan.

8
c. Kosmologi

Segala yang bukan cahaya disebut sebagai Kualitas Mutlak atau


Materi Mutlak. Fakta eksperimental transformasi unsur- unsur primer
menjadi suatu yang lain, menunjukkan adanya materi absolut yang dalam
berbagai tingkat besarnya, membentuk bermacam-macam lingkungan
materi. Landasan mutlak semua benda dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu
pertama yang berada di luar ruang atom-atom atau subtansi tidak terang
(esensi menurut kaum Asy'ari). Kedua yang mesti berada dalam ruang
bentuk-bentuk kegelapan, misalnya berat, bau rasa dan seterusnya.

Sedangkan yang bukan cahaya dibagi menjadi dua pertama kekal


abadi, seperti intelek, jiwa dari benda-benda angkasa langit, waktu dan
gerak. Kedua tergantung seperti senyawa senyawa dari berbagai unsur.
Terdapat tiga unsur dasar yaitu: tanah, air, dan angin. Menurut orang
isyraqi api hanyalah angin yang menyala, paduan unsur ini dipengaruhi
langit, mengambil berbagai bentuk bentuk cair, gas, dan padat. Perubahan
bentuk unsur orisinil membentuk proses “membuat dan merusak” yang
menembus seluruh lingkup, bukan cahaya yang menimbulkan bermacam-
macam bentuk eksistensi yang semakin meninggi dan mendekatkan
mereka pada kekuatan-kekuatan “penerangan”. Semua fenomena alam,
hujan, awan, halilintar, meteor, guntur, adalah berbagai kerja dari prinsip
imanen (berada dalam kesadaran atau ekal budi) gerak ini, dan diterangkan
oleh operasi langsung dan tidak langsung oleh Cahaya Pertama atas
sesuatu yang satu sama lainnya berbeda pada kapasitas penerimaan dan
sedikitnya penerangan. Alam semesta merupakan suatu hasrat yang
membantu suatu kristalisasi kerinduan terhadap cahaya.

Dengan demikian jelaslah bahwa pelimpahan dari sumber pertama


(Tuhan) itu bersifat abadi dan terus menerus sebab pelakunya tidak
berubah ubah dan terus ada. Sebagai konsekuensinya alam juga abadi
sebagai akibat dari pelimpahan Nya. Dengan kata lain ada dua yang abadi
yaitu Tuhan dan alam. Namun demikian, menurut Suhrawardi tetap

9
berbeda. Alam semesta adalah manifestasi (perwujudan) kekuatan
penerangan yang membentuk sebagaimana karakter esensial.

d. Psikologi

Suhrawardi mengutip pendapat Ibnu Sina dan menggunakan


argumentasi yang sama untuk menunjukkan bahwa jiwa individual tidak
dapat dilihat sebelum keberadaan fisiknya seperti banyak unit sinar.
Kategori material yang satu dengan yang banyak tidak dapat diterapkan
kepada jiwa dalam esensinya tidak satu dan tidak pula banyak walaupun
tampak sebagai yang banyak disebabkan oleh berbagai tingkat daya
tangkap pada penyertaan materialnya terhadap “penerangan”. Hubungan
antara penerangan abstrak atau antara jiwa dengan tubuh bukanlah
hubungan sebab akibat melainkan ikatan kesatuan cinta. Tubuh yang
merindukan penerangan menerima penerangan melalui jiwe, dikarenakan
sifatnya tidak mengizinkan suatu komunikasi langsung antara sumber
cahaya dengan dirinya sendiri. Namun jiwa tidak dapat menyampaikan
sinar yang diterima secara langsung kepada banda padat yang gelap,
karena memang antara jiwa dan tubuh itu berbeda. Oleh karena itu, jiwa
mempunya karakter tersendiri yang menyebabkan manusia eksis.
Keberadaan manusia bukanlah karena badannya masih utuh tetapi karena
jiwa masih menampakkan kehidupan.3

B. Filosofi dan Pemikiran Al- Muta’aliyah(Mulla Sadra)


1. Biografi

Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Ibrahim bin Yahya al-


Qawami al-Syirazy, yang bergelar „Shadr al-Din‟ dan lebih popular dengan
sebutan Mulla Shadra atau Shard al-Muta‟alihin, dan dikalangan murid- murid
serta pengikutnya disebut „Akhund‟. Dia dilahirkan di Syiraz sekitar tahun
979-80 H 1571-72 M dalam sebuah keluarga yang cukup berpengaruh dan
terkenal, yaitu keluarga Qawam. Ayahnya adalah Ibrahim bin Yahya al-

3
ibid, hal. 149

10
Qawami al-Syirazy salah seorang yang berilmu dan saleh, dan dikatakan
pernah menjabat sebagai Gubernur Propinsi Fars. Secara sosial- politik, ia
memiliki kekuasaan yang istimewa di kota asalnya, Syiraz.

Pendidikan formal Mulla Shadra tampaknya telah mempersiapkan


dirinya untuk mengemban tugas yang maha besar ini. Mengikuti
penjelasannya sendiri dalam Al-Asghar Al-Arba'ah, para sejarawan membagi
biografi Mulla Shadra ke dalam tiga periode: Periode pertama, pendidikan
formalnya berlangsung di bawah guru-guru terbaik pada zamannya. Tidak
sama seperti filosof lainnya, dia menerima pendidikan dari tradisi Syiah: fiqih
Ja‟fari, ilmu hadis, tafsir dan syarah Al-Qur'an di bawah bimbingan
Bahauddin al-„amali (w. 1031 H/1622 M), yang meletakkan dasar fiqih- baru
Syi‟ah. Selanjutnya ia belajar pada filosof peripatetik Mir Fenderski (w. 1050
H/1641 M) namun gurunya yang utama adalah teolog-filosof. Muhammad
yang dikenal sebagai Mir Damad (1041 H/1631 M). Damad nampaknya
merupakan pemikir papan atas yang mempunyai orisinilitas dan juga dijuluki
Sang Guru Ketiga (setelah Aristotles dan Al- Farabi). Tampaknya, ketika
Mulla Shadra ini muncul, filsafat yang ada, dan yang umumnya diajarkan,
adalah tradisi neoplatonik-peripatetik Ibn Sina dan para pengikutnya. Pada
abad ke 6 H/ke 12 M. Suhrawardi telah melakukan kritik terhadap beberapa
ajaran dasar parepatetisme. lalah yang meletakkan dasar-dasar bagai filsafat
Illuminasionis yang bersifat mistis (Hikmat al-Isyraq).

2. Pemikiran Filsafat Mulla Sadra


a. Kehakikian Eksistensi (al-ashalah al-wujud)

Sesudah Suhrawardi, sejarah tradisi filsafat berlanjut pada arah


yang sama, memunculkan prestasi lain yang juga bersifat fundamental
seperti prestasi sebelumnya. Seperti unculnya satu jenis filsafat
Eksistensialime Islam, yang secara resmi di sebut dengan ashalat al-
wujud. Pendiri mazhab filsafat ini adalah Shadr al- Dien Syirazi (Mulla
Sadra) yang menyebut metodologi pemikirannya metafilsafat (al- Hikmat
al-Muta'aliyah).

11
Maksud (al-ashalah al-wujud) dalam filsafat Mulla Shadra adalah
bahwa setiap wujud kontingen (mumkin al-wujud) terjadi atas dua modus
(pola perwujudan); eksistensi dan kuiditas (esensi). Dari kedua modus itu
yang benar-benar hakiki (real) secara mendasar adalah eksistensi,
sedangkan kuaditas (esensi) tidak lebih dari “penampakan” (apperiance)
belaka.

Para filosof muslim sebelum Mulla Shadra telah membahas


persoalan ini. Menurut Ibnu Sina, eksistensi mendahului esensi Eksistensi
bersifat primer dan merupakan satu-satunya hakikat atau realitas yang
dimiliki Tuhan, sedangkan esensi dan sifat-sifatnya bersifat skunder.
Namun bagi Ibnu Sina, eksistensi dan esensi ini, keduanya merupakan
sama-sama realitas yang nyata. Sejalan dengan itu, menurut Ibnu Arabi,
eksistensi mendahului esensi. Eksistensi adalah realitas yang
sesungguhnya dan realitas itu hanya satu yaitu Tuhan. Sedangkan esensi
tidak lain adalah bentuk-bentuk dalam pengetahuannya.

Sebaliknya, menurut Suhrawardi esensi lebih fundamental dari


esistensi, sebab eksistensi hanya ada dalam pikiran manusia. Yang
merupakan realitas yang sesungguhnya adalah esensi yang bagi
Subhrawardi tidak lain dari pada bentuk-bentuk cahaya dari maha cahaya,
Tuhan. Cahaya itu hanya satu sedangkan benda-benda yang
beranekaragam adalah gardasi intensitasnya atau kebenderangannya.

Ringkasnya, kebahagiaan spiritual dan intelektual akan bisa


dirasakan atau dialami secara sekaligus jika seseorang mampu
memberikan pembuktian-pembuktian yang bersifat rasional terhadap
pengalaman-pengalaman spiritual dan mistisnya. Semakin luas argumen-
argumen rasional yang diberikan, maka kualitas spiritualpun akan semakin
tinggi. Sebab apa yang diakui sebagai pengalaman spiritual, sesungguhnya
akan menjadi semakin tinggi kualitasnya jika intelek mengetahui secara
persis mengenai seluk-beluk semacam itu. Semua itu hanya bisa dialami
melalui keseluruhan diri manusia secara utuh, dan hanya manusia

12
seutuhnya yang bisa mengalaminya, yaitu ketika pikiran telah terintegrasi
ke dalam keseluruhan diri manusia, yang terpusat pada kalbu.

b. Gradasi Wujud (tasykik al-wujud)

Mulla Shadra berpendapat bahwa semesta ini bukan hanya ilusi


tetapi benar-benar mempunyai eksistensi sama seperti eksistensi Tuhan
Namun demikian Shadra tidak menyimpulkan sebagai wahdat al- wujud,
tetapi mengajukan tasykik al-wujud sebagai solusinya, yakni eksistensi itu
mempunyai gradasi yang kontinu. Jelasnya, menurut Sadra, dari ada
Mutlak hingga Tiada Mutlak terdapat gradasi “ada-ada nisbi” yang tidak
terhingga. Dengan kata lain, realitas ini terbentang dari kutub Tiada
Mutlak sampai kutub Ada Mutlak dengan perbedaan tingkat kualitas dan
intensitasya. Inilah pandangan kesatuan realitas versi Mulla Shadrayang
disebut “Hikmah al-Muta'aliyah”. Menurut Arhamedi Mazhar, pandangan
ini merupakan sintesa besar antara teologi, filsafat dan mistik.

Gradasi wujud dalam filsafat Mulla Shadra ditopang oleh dua


unsur, yakni kesatuan wujud dan kejamakan wujud. Sementara gradasi
cahaya dalam filsafat Suhrawardi hanya ditopang oleh satu unsur, yakni
kejamakan cahaya Cahaya tidaklah tunggal, melainkan jamak dan
bergradasi. Gradasi cahaya bersifat vertikal sebagaimana dalam gradasi
wujud.

c. Filsafat jiwa

Mulla Shadra sebagaimana Aristoteles mendefinisikan jiwa sebagai


Entelenchy badan. Oleh sebab itu tidak bersifat abadi dalam arti bermula,
jiwa itu tidak dapat dipisahkan dan bebas dari materi untuk menyatakan
bahwa itu terpisah dan bebas dari materi hanyalah dengan menyakini
adanya pracksistensi jiwa. Pada saat yang bersamaan Mulla shadra
menolak pandangan ibn Sina yang menyatakan bahwa jiwa adalah sebuah
konsep Realisional dan bukan merupakan sesuatu yang bersifat substantif.
Bila jiwa sejak lahir berada dalam satu materi, kejiwaannya tidak dapat

13
diartikan sebagai suatu relasi dimana seolah-olah jiwa memiliki eksistensi
bebas, maka tidak mungkin untuk meyatukan jiwa dengan badan.

Sedangkan menurut Shadra, jiwa itu bersandar pada prinsip dasar


yang disebut perubahan subtantif (istihala jauhariyyah). Pada umumnya,
jiwa itu bersifat jasmaniah tetapi akhirnya bersifat spiritual selamanya
(jismaniyat Al-hudus ruhaniyat al-baqa') artinya manakala jiwa muncul
atas landasan materi, bukanlah berarti jiwa itu bersifat materi secara
absolut. Dengan prinsip perubahan subtansif ini, dituntut adanya tingkatan
yang lebih tinggi dari landasan dimana jiwa berada.

d. Filsafat pengetahuan atau Epistimologi

Mulla Sadra menetapkan tiga jalan utama untuk mencapai


kebenaran atau pengetahuan jalan wahyu, jalan inteleksi (ta aaqul), dan
jalan musyahdah dan mukasyafah (jalan penyucian kalbu dan
penyingkaban mata hati) dengan menggunakan istilah lain. Mulla Sadra
menyebut jalan tersebut sebagai jalan al-Quran, jalan Al-Burhan, dan jalan
Al-irfan. Istilah husuli (konseptual)tersebut merupakan kunci penting
memahami teori pengetahuan Mulla Sadra dalam teori pengetahuannya,
Mulla Sadra membagi pengetahuan menjadi dua jenis pengetahuan husuli
atau konseptual dan pengetahuan atau ilmu huduri. Bentuk pengetahuan
ini menyatu dalam diri seseorang yang telah mencapai pengetahuan
berperingkat tinggi. Bangunan epistimologi mulla sadra berkaitan erat
dengan idenya tentang wahdah (unity), asalah (principality), tasykik
(gradation) dan ide perubahan substantif. Menurut sadra wujud atau
realitas itu hanyalah satu yang membentuk hierarki dari debu hingga
singgasana illahi.

Bagi sadra filsafat dapat dibedakan menjadi dua bagian utama: (1)
bersifat teoritis, yang mengacu pada pengetahuan tentang segala sesuatu
sebagaimana adanya. (2) bersifat praktis, yang mengacu pada pencapaian
kesempurnaan yang cocok bagi jiwa. Mullu Sadra memandang adanya

14
titik temu antara filsafat dan agama sebagai satu bangunan kebenaran ia
membuktikannya melalui pelacakan atas jejak-jejak kesejarahan manusia
dan membentangkan seluruh faktanya. Menurut sadra ditiap tempat dalam
kurun waktu tertentu selalu ada sosok yang bertanggung jawab dalam.
menyebarkan kebijakan (hikmah). Jika dikaitkan dengan teori
pengetahuannya tampak bahwa titik pusat flsafat mulla sadra ialah
pengalaman makrifat (al-irfan) tentang wujud sebagai hakikat atau
kenyataan tertinggi. Bagi Mulla Sadra bukan keberadaan benda itu yang
penting, melainkan penglihatan bathin subjek yang mengamati alam
keberadaan atau kewujudan.

e. Filsafat ketuhanan (metafisika)

Gagasan Mulla Sadra tentang tuhan berbeda dengan gagasan


ketuhanan yang dimiliki oleh Al-Farabi dan Ibu Sina. Mulla Sadra
berpendapat bahwa ketidakbutuhan dan kesempurnaan esensi Tuhan tak
cukup dengan menegaskan kekadiman dan kemanunggalan esensi Tuhan
dan wujud. Dalam pandangannya teori bahwa tuhan yang merupakan
wujud murni dan basit, bukan dalil atas keniscayaan dan ketidakbutuhan
mutlak tuhan. Teori ini tak lain menegaskan bahwa maujud yang terasumsi
merupakan maujud hakiki, bukan maujud majasi.

Dalam sistem metafisika hikmah Muta‟aliyyah dengan berpijak


pada teori kehakikian wujud, wujud Tuhan ditegaskan sebagai wujud
berintensitas tinggi yang tak terbatas, sedangkan makhluk merupakan
suatu wujud yang berintensitas rendah, membutuhkan dan mustahil
menjadi sebab kehadiran bagi dirinya sendiri, karen itu dia harus
bergantung pada wujud mutlak. Mulla sadra beranggapan bahwa Tuhan
secara mutlak memiliki kesempurnaan dan zat Nya menyatu secara hakiki
dengan sifatNya.4

4
Sayyed Hossein Nasr, Theology, Philosophy, and Spirituality, dalam Sayyed Hossein Nasr, (ed.), Islamic Spirituality:
Manifestation, Jilid II (London: SCM Press,1991), hal. 435.

15
C. Filosofi dan Pemikiran Muhammad Iqbal
1. Biografi
Muhammad Iqbal dilahirkan di Sialkot, Punjab Barat Laut (yang
sekarang bernama wilayah Pakistan). Mengenai waktu kelahiran secara. tepat,
terdapat perselisihan, seperti dikemukakan oleh A. Schinmel dalam. The Date
of M. Iqball's Birth, bahwa kelahiran Iqbal tanggal 22 februari 1873, tetapi
dalam tesisnya, penyair (Iqbal) itu sendiri menuliskan tanggal kelahiran 2
Dzul al-qaidah 1294 H/1876 M. mengingat tahun 1294 Hijriah dimulai
bersamaan dengan Januari 1877 M. bersesuaian dengan 2 Dzul al-qaidah 1294
M, maka tanggal 9 November 1872. bersesuaian dengan perbedaan fase
kehidupan Iqbal di callege dan. Universitas dibandingkan tahun 1973.
Mengenai kekeliruan tanggal kelahiran Muhammad Iqbal yang menyamakan
tahun 1294 dengan 1876 dapat terjadi karena kemungkinan reformasi yang ia
terima dari bapaknya memang telah keliru, kekeliruan bapaknya itu
tampaknya karena itu lebih memperhatikan tanggal Hijriah dibandingkan
dengan tanggal Masehi, sehingga penulisan tanggal hijriah lengkap sedangkan
untuk masehinya hanya tahun saja yang tertulis. Ia adalah seorang penyiar,
filsuf, danpolitisi yang menguasai bahasa Urdu, Arab, dan Persia. Muhammad
Iqbal juga seorang inspirator kemerdekaan bangsa India menjadi Pakistan.5
Iqbal merupakan sosok yang memiliki aspek spritualitas yang tinggi.
Muhammad Iqbal merupakan filsuf dan pemikir islam, pemikiran yang
berkontributif bagi agama dan filsafat.6
2. Pemikiran Filsafat Muhammad Iqbal
a. Ego dalam pemikiran Muhammad Iqbal

Di dalam mengkaji persoalan ego, terutama ketika dihubungkan


dengan ego sebagai epistemologi dalam memahami tuhan, atau bahkan
lebih radikal lagi, ego, diyakini sebagai pembuktian kehadiran tuhan dalam
diri manusia, melainkan juga dalam pemikiran yang lebih liberal lagi, ego

5
Supriyadi Dedi, Pengantar Filsafat Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2009), hal. 260
6
Khairul Walid and Mohamad Salik, Rekonstruksi Pemikiran Agama Dalam Mencegah
Kemunduran Moralitas Pemuda (Telaah Pemikiran Sir Muhammad Iqbal), (Filsafat Indonesia 5, no. 1
(2022).

16
adalah Tuhan. Berdasarkan asumsi tersebut, pertanyaan secara filosofis
adalah tidakkah invdividu atau diri manusia itu memiliki keterbatasan ?
Jika tuhan merupakan suatu ego dan dengan demikian suatu individu,
dapatkah kita menganggapnya sebagai sesuatu yang terbatas? Jawabnya,
adalah bahwa tuhan dapat dianggap tak terbatas, dalam arti tak terbatas
secara ruang. Dalam persoalan penilaiaan ruhaniah, besar bentuk saja tak
ada artinya.7

b. Konsepsi Ketuhanan Menurut Muhammad Iqbal

Persoalan ketuhanan selalu menjadi suatu teka-teki bagi umat


manusia yang beriman. Mencari “Tuhan yang Ideal” bukanlah hal yang
mudah. Pada saat sebagian orang terutama yang ateis, menafikan
keberadaan Tuhan dan sebagian yang beriman masih mempercayai
filosofis sekaligus kegelisahan bagi kaum beriman.Tuhan itu dicari oleh
umat manusia. Pencarian Tuhan selama 4.000 tahun itu menunjukkan
bahwa pencarian eksistensi itu menegaskan sulitnya untuk mencari “Tuhan
Yang Ideal” yang cocok bagi umat manusia.8

Pemikiran ketuhanan Muhammad Iqbal, bisa dikatakan sebagai filsafat


khudi(diri), konsep ketuhanan. Menurut Muhammad Iqbal mengalami
beberapa fase-fase, yang pertama, God as good, yang kedua, God as Will dan
yang ketiga adalah God as the whole dan pada tahap terakhir metafisika
ketuhanan Iqbal disebut Panenteisme. Panenteisme dipahami sebagai tuhan
ada di dalam sebagaimana jiwa berada di dalam tubuh.9

D. Filosofi dan Pemikiran Sayyid Hussein Nasr


1. Biografi

Sayyed Hussein Nasr lahir lahir pada tanggal 17 April 1933 di kota
Teheran Republik Islam Iran. Ayahnya bernama Sayyed Waliullah Nasr

7
Muhammad Iqbal, Rekonstruksi Pemikiran Agama Dalam Islam,ed. (Yogyakarta: Penerbit Qalam, 2002).
8
Karen Amstrong, “A History of God : The 4,000 Tahun-Year Quest of Judaisme and Islam”
(New York: Ballatine, 1993).
9
Suhermanto Ja‟far, “Panenteisme Dalam Pemikiran Teologi Metafisik Moh.Iqbal,” Jurnal
Kalam; Studi Agama dan Pemikiran Islam, 6, no. 2 Desember (2012).

17
berprofesi sebagai ulama, dokter dan pendidik. Seyyed Hossein Nasr
mengecap pendidikan dasar di kota kelahirannya Teheran. Kemudian beliau
dikirim ke kota Qum oleh ayahnya untuk belajar pada sejumlah ulama besar
dalam berbagai bidang pengetahuan seperti filsafat, ilmu kalam, tasawuf dan
menghafal Al-Quran dan syait-syair klasik.10

Nama “Nasr” yang berarti “kejayaan” adalah nama yang diambl dari
gelar “Nasr Al Thibb” (kejayaan para dokter) yang merupakan gelar yang
diberikan oleh raja persia kepada kakeknya”.11

Pendidikan dasarnya ia peroleh dari keluarga dan lembaga pendidika


tradisional di teheran. Pada lembaga tersebut ia mendapatkan pelajaran
menghafal Al Qur‟an, syair-syair serta budaya Persia. Nasr belajar di luar
negeri sejak usia 12 tahun, tepatnya pada tahun 1945 setelah Perang Dunia ke-
II. Ia mengawali pendidikannya di Peddie Schooldi Highstown, New Jersey
pada tahun 1946. Hossein Nasr melanjutkan pendidikan tingginya di
Massachusetts Institute of Technology (MIT) di Amerika Serikat dan meraih
gelar B.Sc. (Bachelor of Science) dalam bidang fisika dan matematika teoritis.
Pada tahun 1958, Nasr kembali ke negaranya dan mendalami filsafat Timur
dan filsafat tradisional dengan banyak diskusi bersama tokoh-tokoh agama
terkemuka di Iran. Dalam bidang akademik Ia mengajar di Universitas
Teheran dan menjadi dekan fakultas sastra pada tahun 1968-1972.Nasr
bersama Ayatullah Murtadho Muthahari (1919-1979) dan Ali Syariati (1933-
1977) dan beberapa tokoh lain pada akhir 1965 mendirikan sebuah lembaga
yng bertujuan untuk mengembangkan ideologi Islam untuk generasi muda
berdasarkan perspektif syiah dan menjadi pusat pemeuda militan revolusioner.
Pada saat terjadi revolusi Iran tahun 1979, situasi politik memaksa Nasr untuk
kembali ke Amerika. Meskipun demikian, hal tersebut tidak mempengaruhi
kredibilitasnya dalam bidang keilmuan. sekembalinya ke Amerika, ia ditunjuk

10
Lihat Mun‟im A. Siry (ed), Fiqh Lintas Agama,(Jakarta: Paramadina, 2004), hal. 26 - 30
11
Abu Muhammad Iqbal, Pemikiran Pendidikan Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015), hal. 81–82

18
sebagai Professor Islamic Studies di Temple University, Philadelphia dan
bekerja sampai tahun 1984.12

2. Pemikiran Filsafat Sayyid Hussein Nasr


a. Filsafat Perenial serta Sains Sakral Menurut Sayyed Hossein Nasr

Secara epistemologi, filsafat perenial membahas tentang makna,


substansi serta sumber kebenaran agama dan bagaimana kebenaran itu
berproses mengalir dari Tuhan yang absolut dan dalam gilirannya
tampil dalam kesadaran akal budi manusia, serta mengambil bentuk
dalam tradisi keagamaan dan menjadi sejarah. Sedangkan secara
ontologis, filsafat perenial berusaha menjelaskan adanya sumber dari
segala sesuatu yang ada (Being Qua Being), bahwa wujud ini
sungguhlah bersifat relatif, ia tidak lebih sebagai jejak, kreasi
ataupun cerminan dari dia yang Esensi dan substansinya ada pada di luar
jangkauan nalar manusia.

Filsafat perenial juga merupakan kearifan tradisional dalam


Islam, peradaban modern ditumbuh kembangkan di dunia Islam. Berpijak
pada gagasan perenial, maka kearifan tradisional terkandung
dalam setiap Agama harus diadopsi ke dalam sains modern,
sehingga sains modern dan manusia sebagai agennya mampu
mengatasi krisis peradaban, karena selama ini peradaban modern
telah telah gagal mencapai tujuannya. Akibatnya, manusia modern
lupa siapa dirinya yang sesungguhnya karena hidup di pinggir
lingkaran eksistensinya, manusia modern hanya memperoleh
pengetahuan tentang dunianya, yang secara kualitatif bersifat dangkal
dan secara kuantitatif berubah-ubah. Berawal dari pengetahuan ini
pula manusia modern merekonstruksi citra diri. Akhirnya mereka
semakin jauh dari pusat eksistensi dan terperosokdalam jeratan
pinggiran eksistensinya .

12
Sudibyo, P. Pemikiran Pendidikan IslamSeyyed Hossein Nasr, hal. 12

19
Kritikan Seyyed Hossein Nasr terhadap Sains
ModernBeberapa pemikir yang beraliran perenial dan pengacu pada
shopia perennis, yaitu Guenon, Burckhardt, Schuon dan Nasr.
Mereka mengkritisi fondasiepistemologis dan ontologis Barat yang
terkait dengan sains modern, dan juga mempertanyakan kembali
bahwa yang mereduksikan realitas hanya pada materi inderawi atau
fisik. Nasr mulai mengkritisi pemikiran modern, dimana menurut
modern, yang menjadi sumberpengetahuan modern secara
epistemologis terbatas hanya pada pancaindera dan rasio (akal).
Pengetahuan yang seperti ini yang membuat Nasr mengkritisinya,
menurut Nasr, senantiasa memiliki akses kepada yang suci dan
pengetahuan suci tersebut menandakan sebagai jalan yang tertinggi
penyatuan dengan realitas, dimana pengetahuan, wujud dan juga
kebahagiaan disatukan.
Nasr mengingatkan kita sebagai kaum sarjana dan manusia
modern ini betapa perlunya menghadirkan kembali dimensi spiritulitas
ke dalam kehidupan global apabila kita sudah berkomitmen untuk
mencintai bumi ini dengan penuh tangggung jawab. Menurut
pandangan Nasr, krisis ekologi dan pelbagai jenis kerusakan bumi
yang berakar dari krisis spiritualdan eksistensi manusia modern pada
umumnya. Melalui pelbagai karyanya, salah satunya yaitu Man and
Nature(1976) dan Religion and the Order of Nature (1996), dimana
Nasr mendedahkan sebab-sebab utama serta mandasar munculnya
krisis lingkungan pada beradaban modern seraya menekankan
pentingnya perumusan kembali hubungan manusia, alam dan Tuhan
dengan harmonis berdasarkan wawasan spiritualitas serta kearifan
perenial.13

13
Supriatna, F. S., & Husain, S. Kontribusi Filsafat Perenial Sayyed Hossein Nasr Terhadap Sains Modern. Prosiding
Konferensi Integrasi Interkoneksi Islam dan Sains, 2, 2020, hal. 177-183.

20
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Istilah Filsafat Islam Pasca - Ibn Rusyd ialah tradisi ke filsafatan
yang berkembang di daerah teritorial Islam di masa setelah wafatnya Ibn
Rusyd. Dan filsafat Islam pasca Ibnu Rusyd telah melahirkan tokoh-tokoh
yang hebat dan cerdas dalam segala bidang khususnya dalam bidang
keagamaan.
Dari keempat tokoh yang hidup dan mengembangkan filsafat Islam
pasca Ibnu Rusyd telah berhasil membantahkan anggapan bahwa filsafat
hilang karena Ibnu Rusyd wafat. Mereka berempat yakni: Al-Isyraqiyah,
Mulla Sadra, Muhammad Iqbal dan Sayyid Hussein Nasr membuktikan
bahwa filsafat Islam pasca wafatnya Ibnu Rusyd masih ada dan selalu
berkembang dengan hadirnya para tokoh-tokoh setelahnya, keempata
tokoh ini telah memiliki banyak karya yang asih di manfaatkan sampai
hari ini oleh umat muslim di seluruh dunia.
B. Saran
Demikian makalah yang dapat kami buat dan kami menyadari
bahwa makalah ini sangatlah jauh dari kata sempurna sebagai bahan acuan
dalam pembenahan kami harap kritik dan saran dari para pembaca.

21
DAFTAR PUSTAKA

Abu Muhammad Iqbal. 2015. Pemikiran Pendidikan Islam, Yogyakarta: Pustaka


Pelajar.
Hasyim Nasution. 1999. Filsafat Islam, Gaya Media Pratama.

Karen Amstrong. 1993. A History of God : The 4,000 Tahun-Year Quest of


Judaisme and Islam New York: Ballatine.

Khairul Walid and Mohamad Salik. 2022. Rekonstruksi Pemikiran Agama Dalam
Mencegah Kemunduran Moralitas Pemuda (Telaah Pemikiran Sir
Muhammad Iqbal), Filsafat Indonesia 5, no. 1.

Lihat Mun‟im A. Siry (ed). 2004. Fiqh Lintas Agama, Jakarta: Paramadina.

Muhammad Iqbal. 2002. Rekonstruksi Pemikiran Agama Dalam Islam,ed.


Yogyakarta: Penerbit Qalam.

Sayyed Hossein Nasr. 1991. Theology, Philosophy, and Spirituality, dalam


Sayyed Hossein Nasr, (ed.), Islamic Spirituality: Manifestation, Jilid II
London: SCM Press.

Sudibyo, P. Pemikiran Pendidikan IslamSeyyed Hossein Nasr.

Suhermanto Ja‟far. 2012. “Panenteisme Dalam Pemikiran Teologi Metafisik


Moh.Iqbal,” Jurnal Kalam; Studi Agama dan Pemikiran Islam, 6, no. 2.

Supriyadi Dedi. 2009. Pengantar Filsafat Islam, Bandung: Pustaka Setia.

Supriatna, F. S., & Husain, S. 2020. Kontribusi Filsafat Perenial Sayyed Hossein
Nasr Terhadap Sains Modern. Prosiding Konferensi Integrasi Interkoneksi
Islam dan Sains, 2.

22
23

Anda mungkin juga menyukai