Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH

MANUSIA DAN HUBUNGANNYA DENGAN PENDIDIKAN

Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah


Filsafat Pendidikan Islam

Dosen Pengampu:
Prof. Dr. H. Masnur Alam, M.PdI

Oleh :
ALINUS

NIM : 211022028

PROGRAM PASCA SARJANA


INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI

KERINCI
2022

0
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Sejak lahir seorang manusia sudah langsung terlibat di dalam kegiatan
pendidikan dan pembelajaran.Dia dirawat, dilatih, dijaga, dan dididik oleh orang
tua, keluarga dan masyarakatnya menuju tingkat kematangan, sampai kemudian
terbentuk potensi kemandirian dalam mengelola kelangsungan hidupnya.
Karena hanya dengan melalui pendidikanlah manusia semakin menjadi diri
sendiri dan bisa lebih manusiawi. Di dalam konteks pendidikan, manusia adalah
makhluk yang selalu mencoba memerankan diri sebagai subjek dan objek
pendidikan, yang pada gilirannya nanti akan bisa melakukan perbaikan perilakunya
dalam menjalani hidup dan kehidupan ini.
Jelaslah bahwa pendidikan bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup
manusia, baik pendidikan yang berlangsung secara alami oleh orang tua atau
masyarakat terlebih pendidikan tersistem yang diselenggarakan oleh sekolah. Jadi
kesimpulannya adalah manusia memiliki beberapa potensi yang ada pada dirinya,
yaitu potensi intelektual, rasa, karsa, karya dan religi yang bisa dan akan ditumbuh
dan kembangkan melalui proses pendidikan yang baik dan terarah.
Tampaklah bahwa manusia itu sangat membutuhkan pendidikan. Karena
melalui pendidikan manusia dapat mempunyai kemampuan-kemampuan mengatur
dan mengontrol serta menentukan dirinya sendiri. Melalui pendidikan pula
perkembangan kepribadian manusia dapat diarahkan kepada yang lebih baik. Dan
melalui pendidikan kemampuan tingkah laku manusia dapat didekati dan dianalisis
secara murni. Dalam makalah ini akan dibahas mengenai manusia danhubungan
dengan pendidikan itu sendiri.
Hampir semua orang sudah merasakan dunia pendidikan dan melaksanakan
pendidikan. Anak-anak menerima pendidikan dari orang tuanya, dan manakala
anak-anak ini sudah dewasa dan berkeluarga mereka juga akan mendidik anak-
anaknya. Begitupula di sekolah dan perguruan tinggi, para siswa dan mahasiswa
dididik oleh dosen dan para guru. Pendidikan adalah khas milik dan alat manusia.

1
Tidak ada makhluk lain yang membutuhkan pendidikan.
Pendidikan sebagai usaha sadar yang sestematik yang selalu bertolak dari
sejumlah landasan serta berpedoman pada sejumlah landasan serta sejumlah asas-
asas tertentu. Landasan dan asas tersebut sangat penting, karena pendidikan
merupakan pilar utama terhadap pengembangan manusia dan masyarakat suatu
bangsa tertentu. Kajian berbagai landasan-landasan pendidikan itu akan
membentuk wawasan yang tepat tentang pendidikan. Dengan wawasan dan
pendidikan yang tepat, serta dengan menerapkan asas-asas pendidikan yang tepat
pula, akan dapat memberi peluang yang lebih besar dalam merancang dan
menyelenggarakan program pendidikan yang tepat wawasan. Sehingga akan
memberikan perspektif yang lebih luas terhadap pendidikan, baik dalam aspek
konseptual maupun operasional tentang landasan dan asas pendidikan tersebut
selalu diarahkan pula pada upaya dan permasalahan penerapannya.

B. Rumusan Masalah
1. Pandangan Islam tentang hakikat manusia
2. Asal-usul dan tujuan penciptaan manusia
3. Kedudukan manusia dan implikasinya terhadap pendidikan

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk memahami Pandangan Islam tentang hakikat manusia
2. Untuk memahami Asal-usul dan tujuan penciptaan manusia
3. Untuk memahami Kedudukan manusia dan implikasinya terhadap pendidikan

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pandangan Islam Tentang Hakikat Manusia

1. Pengertian Manusia

Manusia merupakan makhluk Allah yang paling sempurna dan sebaik-baik


ciptaan yang dilengkapi dengan akal pikiran.Dalam hal ini Ibn „Arabi misalnya
melukiskan hakikat manusia dengan mengatakan bahwa, “tak ada makhluk Allah
yang lebih bagus daripada manusia, yang memiliki daya hidup, mengetahui,
berkehendak, berbicara, melihat, mendengar, berfikir, dan memutuskan.Manusia
adalah makhluk kosmis yang sangat penting, karena dilengkapi dengan semua
pembawaan dan syarat-syarat yang diperlukan bagi mengemban tugas dan fungsinya
sebagai makhluk Allah di muka bumi.1

Manusia juga merupakan satu bagian dari alam semesta yang bersama-sama
dengan makhluk lainnya mengisi kehidupan di alam semesta ini.Dibandingkan dengan
binatang, manusia memiliki fungsi tubuh dan fisiologis yang tidak berbeda. Namun,
dengan hal yang lain manusia tidak dapat disamakan dengan binatang, terutama dengan
kelebihan yang dimilikinya, yakni akal, yang tidak dimiliki oleh hewan.

Para ahli ilmu pengetahuan tidak memiliki kesamaan pendapat mengenai hakikat
manusia.Perbedaan pendapat ini disebabkan oleh adanya kekuatan dan peran
multidimensional yang diperankan oleh manusia.Mereka melihat manusia hanya dari satu
aspek saja, padahal aspek yang ada cukup banyak.Karena itulah hasil pengamatan mereka
tentang manusia berbeda-beda antarsatu dengan lainnya.Perbedaan aspek itu pula yang
kemudian melahirkan berbagai disiplin ilmu yang terkait dengan manusia.

Al-Qur’an sebagai pedoman hidup umat manusia juga memuat dan menjelaskan
mengenai hakikat manusia. Kata yang digunakan untuk menunjuk makna manusia dalam
al-quran yaitu: al-bashar, al-insan, dan al-nas. Meskipun ketiga kata tersebut menunjuk
pada makna manusia, namun secara khusus memiliki penekanan yang berbeda.

1
Baharuddin, Aktualisasi Psikologi Islami (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), 20.

2
a. Al-Bashar

Secara etimologi al-bashar berarti kulit kepala, wajah, atau tubuh yang
menjadi tempat bertumbuhnya rambut.2 Menurut Abu Husain Ahmad Ibn Faris
Ibn Zakaria dalam Mu‟jam al-Muqayis fi Al-Lughah, menjelaskan bahwa kata
yang huruf-huruf asalnya terdiri dari huruf ba’ syin, dan ra’, berarti sesuatu yang
nampak jelas dan biasanya cantik dan indah.

Sejalan dengan itu, manusia disebut dengan al-bashar, menurut


M.Quraish Shihab adalah karena kulitnya nampak jelas yang berbeda dengan
kulit binatang yang ditutupi dengan bulu-bulu.3Secara lebih luas Ibn Mansur
menguraikan bahwa kata al-bashar dipakai untuk menyebut manusia baik laki-
laki maupun perempuan, baik satu maupun banyak. 4 Sebagaimana ditemukan
dalam Q.S Al-Kahfi ayat 110 sebagai berikut:

ْ ُ َ َ َ َ َ ٞ َ ٞ َٰ َ ُ ُ َٰ َ ٓ َ َّ َ َّ َ ٰٓ َ ُ ُ ُ ّ ٞ َ َ ۠ َ َ ٓ َ َّ ُ
ۡ‫ۡفٍََۡكنۡيرجوا‬ٞۖ‫حد‬ ِ َٰ ‫كوۡۡإِجٍاۡأُاۡبَشٌِۡثيكًۡيوَحۡإَِلۡأجٍاۡإِلهكًۡإِلّۡو‬
َ َ َ َّ َ َ ُ َ َ ‫َ ٓ َ َ ّ َ َ َ َ َ ا َ َٰ ا‬
َۢ
ۡ‫ ۡ ۡ[سورة‬١١٠ۡ ‫ۦ ۡأحدا‬ ٓ ۡ ِّۡ ِ ‫َشك ۡبِعِبادة ِۡرب‬
ِ ‫ۡرب ِ ِّۡۦ ۡفييعٍو ۡخٍٗل ۡصيِحا ۡوَل ۡي‬
ۡ ‫ى ِلاء‬
]٩٩٠-٩٠١,‫الههف‬

Artinya : Katakanlah: Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang
diwahyukan kepadaku: "Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah
Tuhan yang Esa". Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan
Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan
janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada
Tuhannya".(QS. Al-Kahfi: 110)5

Kata bashar menurut Quraish Shihab digunakan untuk menunjuk


manusia dalam kedudukannya sebagai makhluk yang memiliki persamaan
dengan sesamanya. Seperti Nabi Muhammad Saw adalah bashar seperti manusia
yang lain. Beliau juga memiliki pancaindra sebagaimana yang lain, perbedaan

2
Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam (Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis (Jakarta: Ciputat
Press, 2002), 2.
3
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an (Bandung: MIZAN, 2001), 279.
4
Baharuddin, Paradigma Islami Studi Tentang Elemen Psikologi dari al-Qur’an (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2004), 65.
5
Hamka, Tafsir Al-Azhar Juz xxx (Jakarta: Pustaka Panjimas, 2006), 273.

3
beliau dengan manusialain hanyalah pada kedudukan beliau sebagai Nabi dan
Rasul yang mendapat wahyu Illahi.6

b. Insan

Kata al-insan, menurut Ibn Manzur seperti yang dikutip oleh


Baharuddin, mempunyai tiga asal kata.Pertama berasal dari kata al-nasa yang
berarti absara yaitu melihat, ‘alima yang berarti mengetahui, dan isti’zan yang
berarti meminta izin.Kedua, berasal dari kata nasiya yang berarti lupa.Ketiga,
berasal dari kata al-nas yang berarti jinak, lawan dari kata al-wakhsyah yang
berarti buas.7

Selanjutnya dapat dijelaskan bahwa al-insandilihat dari asal katanya al-


nasa yang berarti melihat, mengetahui, dan meminta izin, maka ia memiliki
sifat-sifat potensial dan aktual untuk mampu berfikir dan bernalar. Di antaranya
disebutkan dalam surat al-Fajr ayat 15, sebagai berikut:

َ ّ َ ُ ُ َ َ ُ َ َّ َ َ ُ َ َ َ
ٓ ‫اٌۡاۡٱب َتيَى َٰ ُّۡۡ َر ُّب ُّۡۥۡ َفأك َرٌ ّۡۥۡوجعٍ ّۡۥۡفيلولۡر‬
{‫رجفلا ةروس‬,١٥}ۡۡ١٥َِۡ ٌَ ‫ّبۡأك َر‬ َ ‫َۡإ َذ‬
ِ ۡ َٰ َ ‫َفأ ٌَّاٱ ِۡل‬
ُ ‫نس‬
ِ

Artinya : Adapun manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu dia dimuliakan-


Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka dia akan berkata: "Tuhanku
telah memuliakanku ". (QS. Al-Fajr: 110)8

Kata al-Insan, bermakna bahwa sesungguhnya manusia merupakan


makhluk Allah yang memiliki sifat-sifat manusiawi yang bernilai positif dan
negatif.Agar manusia bisa selamat dan mampu memfungsikan tugas dan
kedudukannya di muka bumi dengan baik, maka manusia harus senantiasa
mengarahkan seluruh aktifitasnya, baik fisik maupun psikis sesuai dengan nilai-
nilai ajaran Islam.9

6
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah : Pesan, Kesan dan Keserasian al-Quran (Jakarta: Lentera Hati,
2006), 142
7
Baharuddin, Paradigma Psikologi Islami, 69.
8
Hamka, Tafsir Al-Azhar, 30.
9
Ramayulis dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam: Telaah Sistem Pendidikan dan Pemikiran
Para Tokoh (Jakarta: Kalam Mulia, 2011), 54.

4
c. Al-Nas

Kata al-nas menunjukkan pada eksistensi manusia sebagai makhluk


sosial secara keseluruhan tanpa melihat status keimanan atau
kekafirannya.Dalam menunjukkan makna manusia, kata al-nas lebih bersifat
umum bila dibandingkan dengan kata al-insan.Keumuman tersebut dapat dilihat
dari penekanan makna yang dikandungnya.10

Dalam al-Qur’an kata al-nas umumnya dihubungkan dengan fungsi


manusia sebagai makhluk sosial.Manusia diciptakan sebagai makhluk
bermasyarakat, yang berawal dari pasangan laki-laki dan wanita, kemudian
berkembang menjadi suku dan bangsa, untuk saling kenal mengenal.Manusia
merupakan makhluk sosial yang secara fitrah senang hidup berkelompok, sejak
dari bentuk satuan yang terkecil (keluarga) hingga ke yang paling besar dan
kompleks, yaitu bangsa dan umat manusia.11

Sejalan dengan konteks kehidupan sosial ini, maka peran manusia


dititikberatkan pada upaya untuk menciptakan keharmonisan hidup
bermasyarakat. Masyarakat dalam ruang lingkup yang paling sederhana yaitu
keluarga, hingga ke ruang lingkup yang lebih luas yaitu sebagai warga antar
bangsa, keluarga sebagai unit sosial yang paling kecil, terdiri atas ayah, ibu dan
anak-anaknya. Sedangkan dalam konteks bangsa dan umat, terdiri atas
kelompok komunitas, etnis, ras, maupun keluarga.1245

Al-nas menunjukkan pada semua manusia sebagai makhluk madani yang


secara kodrat memiliki ketergantungan pada orang lain untuk menyempurnakan
kekhasan yang dimilikinya.13Di antaranya disebutkan dalam surat az-Zumar ayat
27 sebagai berikut:

َ َّ َ َّ َّ َ َ ّ ُ ُ َ َ َ َ ۡۡ‫َوىَ َلد‬
َّ ‫َضب َِاۡل‬
{‫رمزلا ةروس‬,٢٧}ۡۡ٢٧ۡ‫ٌۡث ٖوۡى َعي ُهً َۡح َتذن ُرون‬‫َِۡك‬ ِۡ ‫ِۡفۡهَٰذاۡٱىلر َء‬
ِ ٌۡ‫ان‬ ِ ‫اس‬
ِ ِ‫ِي‬

10
Ibid., 12
11
Jalaluddin, Teologi Pendidikan (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), 23
12
Ibid., 24.
13
Rois Mahfud, Al-Islam: Pendidikan Agama Islam (Erlangga, tt), 131.

5
Artinya : Sesungguhnya telah Kami buatkan bagi manusia dalam Al Quran ini
setiap macam perumpamaan supaya mereka dapat pelajaran". (QS.
Az Zumar: 27)14

Kata al-nas dalam setiap akhir ayat yang terakhir dalam susunan al-Qur’an
114 surat ini, disebutkan ajaran bagaimana caranya manusia berlindung kepada
Allah dari sesamanya manusia. Selain dari hubungan kita dengan Allah, kitapun
selalu berhubungan dengan sesama manusia.Tidak ada diantara kita yang dapat
membebaskan diri daripada ikatan dengan sesama manusia. Manusia bisa
menguntungkan kita dan dapat membahayakan kita, maka diajarkanlah pada surat
yangterakhir ini bagaimana cara kita menghadapi dan hidup di tengahtengah
manusia.

Selain 3 istilah di atas, al-Qur’an sering menyebut manusia dengan


menggunakan istilah Bani Adam. Secara etimologi, kata Bani Adam menunjukkan
pada keturunan Nabi Adam a.s. Istilah Bani Adam menunjukkan bahwa seluruh
manusia adalah anak dari ciptaan Allah yang bernama Adam. Menurut al-
Tabattaba’i sebagaimana yang dikutip Samsul Nizar, penggunaan kata Bani Adam
menunjuk pada arti manusia secaraumum. Dalam hal ini setidaknya ada tiga aspek
yang dikaji yaitu: pertama, anjuran untuk berbudaya sesuai dengan ketentuan Allah,
diantaranya adalah dengan berpakaian guna menutup aurat. Kedua, mengingatkan
pada keturunan Adam agar jangan terjerumus pada bujuk rayu setan yang mengajak
pada keingkaran.Ketiga, memanfaatkan semua-semua yang ada di alam semesta
dalam rangka ibadah dan mentaukhidkan-Nya.15

2. Unsur-unsur Manusia

Apabila diteliti secara seksama, sesungguhnya manusia itu sebenarnya


mempunyai beberapa macam predikat yang masing-masing hakikat itu sendiri tidak
bisa dipisah-pisahkan menjadi sebuah bagian yang berdiri sendiri.Karena, jika salah
satu dari hakikat hakikat manusia itu tidak ada salah satunya maka tidak bisa
dikatakan sebagai manusia yang sempurna baik dimata Tuhan atau dimata manusia

14
Hamka, Tafsir Al-Azhar., 39: 27.
15
Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, 14

6
itu. Menurut Amir Daien Indrakusuma yang dikutip oleh Abdul Aziz bahwa
sebenarnya manusia hidup itu mempunyai beberapa macam hakikat, yaitu:

a. Manusia itu mempunyai hakikat sebagai makhluk dwi tunggal


b. Manusia itu mempunyai dua sifat hakiki yaitu sebagai makhluk individual dan
sebagai makhluk sosial
c. Manusia itu mempunyai hakikat sebagai makhluk susila atau sebagai makhluk
ber-Tuhan.

3. Hakikat Manusia sebagai Subjek Pendidikan

Membicarakan tentang pendidikan Islam, mengupas tentang manusia dengan


paradigma yang sangat luas, karena manusia merupakan subyek sekaligus obyek
pendidikan, dalam artian bahwa aktivitas pendidikan sangat berkaitan dengan proses
humanizing of human being, yaitu proses memanusiakan manusia atau upaya
membantu subyek didik untuk berkembang normatif lebih baik.16Pertumbuhan dan
perkembangan manusia berjalan secara evolusi (berjenjang dan bertahap). Melalui
perjenjangan dan pertahapan tersebut, manusia mengisi dirinya dengan pengalaman
dan pengetahuan.Dengan demikian manusia memperoleh pengetahuan secara
berproses, berasal dari pengembangan potensi dirinya, pengalaman dengan
lingkungannya serta dari Tuhan.Karena itu hubungan antara lingkungan, manusia
dengan Khaliq (pencipta) maupun antar sesama makhluk (ciptaan) tidak dapat
dipisahkan.17

a. Manusia dan Potensinya

1) Potensi Naluriah (Hidayat al-Gharizziyyat)


2) Potensi Inderawi (Hidayat al-Hassiyyat)
3) Potensi Akal (Hidayat al-Aqliyyat)
4) Potensi Keagamaan (Hidayat al-Diniyyat)

b. Pengembangan Potensi Manusia

1) Pendekatan Filosofis

16
Fatah Yasin, Dimensi Pendidikan Islam (Yogyakarta: Sukses Offset, 2008), 55.
17
Jalaluddin, Teologi Pendidikan, 33.

7
2) Pendekatan Kronologis
3) Pendekatan Fungsional
4) Pendekatan Sosial

c. Bentuk Pengembangan Potensi Manusia

1) Potensi Naluriah (Hidayat al-Gharizziyyat)


2) Potensi Akal (Hidayat al-Aqliyyat)
3) Potensi Inderawi (Hidayat al-Hassiyyat)
4) Potensi Keagamaan

B. Asal Usul dan Tujuan Penciptaan Manusia

1. Asal Usul Manusia

Manusia diciptakan Tuhan melalui sebuah proses alami yang berlangsung


secara bertahap.18 Sebagaimana yang tergambar dalam surah shad ayat 71-72:

َ َ َ ّ َ ٰٓ َ َ َ ُّ َ َ َ
‫ۡخَٰي ِ ُ َۢق ۡب َ َ ا‬
ۡ‫ ۡ ۡفإِذا ۡ َس َّوي ُت ُّۡۥ‬٧١ۡ ‫ني‬
ٖ ‫ط‬
ِ ۡ َِ
ٌّۡ ‫َشا‬ ‫إِذۡ ۡكال ۡربم ۡل ِيٍلئِهةِ ۡإ ِ ِّن‬
َ ‫سج ِد‬ َٰ َ ُ َ ْ ُ َ َ ِ ُّ ُ ‫َو َج َفخ‬
ۡۡۡ٧٢َۡ‫ي‬ ِ ۡ ‫ۥ‬ ۡ
‫ۡل‬ ‫وا‬ ‫ع‬ ‫ل‬ ‫ۡف‬ ‫وَح‬ ‫َِۡر‬ ٌ ِۡ ّ ‫ِي‬ ‫ف‬ ۡ ‫ت‬
Artinya : (Ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat:
"Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah(71). Maka
apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya
roh (ciptaan)Ku; maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud
kepadanya(72)". (QS. Shad: 27)19

Al-Qur’an menginformasikan bahwa proses penciptaan manusia secara


umum berbeda dengan penciptaan nabi Adam a.s. Bila nabi Adam diciptakan dari
tanah liat yang kering yang berasal dari lumpur hitam yang diberikan bentuk sesuai
dengan surah al-Hijr: 28. Maka manusia secara umum atau generasi Adam,
diciptakan dari yaitu setetes air mani.20

18
Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Ar-Ruzz Media,2011)., 81.
19
Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta: Sygma Examedia
Arkanleema,2009), 457.
20
Al Rasyidin,Falsafah Pendidikan Islami(Bandung: Cipta Pustaka Media Perintis,2012), 19-20

8
Menurut Musa Asy’ari sebagai mana dikutip oleh Toto Suharto, ada empat
tahap proses penciptaan manusia yaitu:

1. Tahap Jasad

Al-Qur’an menjelaskan permulaan penciptaan manusia adalah dari


thurab yaitu tanah yang berdebu. Terkadang dengan kata Tin, atau salsal.
Namun yang jelas makna yang dimaksud dengan tanah ini adalah saripatinya
atau sulalah. Penciptaan dari tanah ini tidak berarti manusia diciptakan dari
bahan tanah seperti pembuatan patung. Penciptaan ini bermakna simbolik, yaitu
saripati yang membentuk tumbuhan atau binatang yang kemudian menjadi
bahan makanan bagi manusia.21

2. Tahap Hayat

Awal mula kehidupan manusia dari air, sebagaimana kehidupan


tumbuhan dan binatang. Maksuk air kehidupan disini adalah air yang hina atau
sperma. Sperma kemudian membuahi sel telur dalam rahim seorang ibu. Sperma
inilah yang merupakan awal mula kehidupan seorang manusia.

3. Tahap Ruh

Yang dimaksud dengan ruh disini adalah sesuatu yang dihembuskan


Tuhan dalam diri manusia. Pada saat yang sama Tuhan juga menjadikan
pendengaran, pengelihatan dan hati pada manusia barulah manusai itu hidup.
Maka hal ini menandakan bahwa ruhlah yang menjadi pinpinan dalam jasad
manusia, dari itu ruh kiranya dapat menjadi pembimbing pendengaran,
pengelihatan dan hati manusia dalam memahami kebenaran.

4. Tahap Nafs

Kata nafs dalam al-Qur’an mempunyai empat pengertian yaitu nafsu,


napas, jiwa dan diri atau keakuan. Maka dari keempat kata ini alQur’an lebih
sering menggunakan kata Nafs untuk pengertian diri. Diri maksudnya adalah
kesatuan dari jasad, hayat, dan ruh. Dinamikanya terletak pada aksi kegiatannya.

21
Toto Suharto, Filsafat., 81

9
Kesatuannya bersifat spiritual yang tercermin dalam aktifitas kehidupan
manusia. Islam berpandangan bahwa hakikat manusia ialah merupakan perkaitan
antara badan dan ruh. Badan dan ruh merupakan masing-masing merupakan
substansi yang berdiri sendiri yang tidak tergantung oleh adanya yang lain.
Namun dengan menyatunyalah yang kedua substansi ini barulah manusia bisa
hidup dan menjalani kehidupannya. Maka keduanya diciptakan oleh Allah
Swt.22 sebagaimana yang tergambar dalam al-Qur’an:

َّ َ َ ‫ۡجط َف اة‬
ُ ُ َٰ َ َ َ َّ ُ ّ َ َ ُ َٰ َ ‫َوىَ َلدۡۡ َخيَل َِاۡٱ ِۡل‬
َۡ ‫نس‬
ۡ١٣ۡ‫ِني‬
ٖ ‫ِۡفۡكرارٌٖۡه‬
ِ ّ‫ۡثًۡجعين‬١٢ۡ‫ِني‬ ٖ ‫ٌََِۡۡسلَٰي ٖةٌَِۡۡط‬
ُ َ َ َ َ َ َ ََ َ َ َ ‫َا‬ َ ََ َ َ َ ‫َ َ ََا‬ َ َ ُ
ًَّۡ ‫ث ًَّۡۡخيل َِاۡٱنلُّطف ۡةۡ َعيلةۡفخيل َِاۡٱى َعيل ۡةۡ ُمضغةۡفخيل َِاۡٱل ٍُضغ ۡةۡعِظَٰ اٍاۡفه َسوُاۡٱىعِظَٰ ًََۡۡل اٍاۡث‬
َ ُ َّ َ َ َ َ َ َ َ ُ َٰ َ َ َ
ۡۡ١٤ۡ‫ني‬
َ
َۡ ‫ّللۡأح َس َُۡٱىخَٰي ِ ِل‬ َ ‫ۡخي ًل‬
ۡ ‫اۡءاخ َرَۚۡفتباركۡٱ‬ ّ‫أنشأن‬

Artinya : Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu


saripati (berasal) dari tanah (12). Kemudian Kami jadikan saripati itu
air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim) (13)
Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal
darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu
Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus
dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang
(berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta Yang Paling
Baik (14) ". (QS. Al-mukminun: 12-14) 23

Menurut Atang Abdul Hakim sebagaimana yang dikutip oleh Hasan


Basri, manusia hidup selama darahnya mengalir dan jantungnya bekerja yang
disebabkan pengaruh mekanis dari hawa admosfir. Dengan demikian manusia
yang hidup adalah manusia yang hidup tiada lain adalah manusia yang anggota
tubuhnya bergerak. Dalam Islam, walaupun manusia secara fisik (mekanis) telah
mati tapi jiwanya tetap hidup. Bahkan bagi seorang mukmin, kematian adalah
lanjutan kehidupan yang kekal dan abadi.24 Menurut Harun Nasution
sebagaimana dikutip oleh Al Rasidin, baik dimensi material dan non material
atau yang diistilahkan dengan alJism wa al-Ruh keduanya memiliki daya (al-
Quwwah). Dimensi material manusia memiliki dua daya yaitu:

22
Zuhairi, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2009), 75
23
Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta: Sygma Examedia
Arkanleema,2009), 457.
24
Hasan Basri, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: Setia Pustaka,2009)., 25.

10
a) Daya fisik atau jasmani, seperti mendengar, melihat, merasa, meraba, dan
mencium
b) Daya gerak, seperti kemampuan menggerakkan panca indra dan berpindah
tempat

Sedangkan dimensi non material manusia juga memiliki dua daya, yaitu:

a) Daya berfikir yang disebut ‘aql yang berpusat di kepala


b) Daya rasa yang disebut qalb yang berpusat di dada.

Manusia pada dasarnya adalah jinak, dapat menyesuaikan dengan realitas


hidup dan lingkungan yang ada. Manusia mempunya kemampuan adaptasi yang
cukup tinggi. Manusia menghargai tata aturan etik, sopan santun, dan sebagai
makhluk yang berbudaya dan tidak liar, baik secara social maupun alamiah.

Kata insan dan serumpunannya, dipakai al-quran untu menyatakan


manusia dalam lapangan kegiatan yang amat luas. Kata insan antara lain
digunakan untuk menyatakan:

a) Manusia menerima pelajaran dari tuhan tentang apa yang tidak diketahuinya.
b) Manusia memikul amanat dari tuhan.
c) Manusia mempunyai musuh yang nyata yaitu setan.
d) Tentang waktu bagi manusia, yang harus digunakan agar tidak merugi.
e) Manusia hanya akan mendapatkan bagian dari apa yang telah dikerjakannya.

Sementara itu, kata al-nas dipakai al-quran untuk menyatakan adanya


sekelompok orang atau masyarakat yang mempunyai berbagai kegiatan untuk
mengembangkan kehidupan. Antara lain:

a) Tentang menghadapkan wajah pada yang maha kuasa.


b) Tentang peternakan.
c) Tentang ibadah.

Al-basyar diambil dari kata yang bermakna mengupas atau bergembira,


senang, atau panggilan untuk Nabi Adam, abu al-basyar. Kata basyar dipakai

11
untuk menyebut semua manusia, baik laki-laki ataupun perempuan, baik satu
ataupun banyak. Kata basyar adalah jamak dari kata basyarah, yang artinya
permukaan kulit kepala, wajah dan tubuh, yang menjadi tempat tumbuhnya
rambut. Oleh karena itu, kata mubasyarah diartikan mulamasyah yang artinya
persentihan antara kulit laki-laki dengan kulit perempuan

Disamping itu, kata mubasyarah juga diartikan sebagai al-wath atau al-
jima‟ yang artinya persetubuhan. Digunakan kata basyar oleh Allah disebabkan
manusia memiliki sifat alamiah, yakni suka dengan kesenangan dan
kegembiraan.

Isyarat ini ditemukan dari tugas rasul yang tergambar dalam Al-Qur’an,
yakni sebagai pemberi kabar gembira dan kabar takut kepada manusia, yang
ingin selalu senang dan bahagia (QS Al-Hajj [22]: 34), memang manusia ingin
selalu dalam kebahagiaan dan kesejahteraan. Sebab itulah, Allah kadang
menyebut bani adam dalam Al-Qur’an dengan al-basyar.25

Dalam proses penciptaan manusia digambarkan dalam Al-Qur’an, bahwa


proses penciptaan nabi Adam berbeda dengan manusia secara umum. Nabi Adam
diciptakan dari tanah atau lumpur hitam yang dibentuk sedangkan manusia secara
umum diciptakan dari setetes air yang hina (air mani).Manusia tersusun dari unsur
Jismiyah dan Ruhaniyah atau materi dan non materi. Materi adalah apa yang tampak
oleh mata dan dapat digapai oleh tangan. Sedangakan non materi adalah hal yang
abstrak dari diri manusia dan tidak dapat digapai panca indra.

Dalam penciptaan manusia mempunyai tujuan dan fungsi tertentu. Tujuan


penciptaan manusia adalah untuk menyaksikan keberadaan Allah dan untuk
keribadah kepada-Nya (‘abd Allah), sedangkan fungsi diciptakan-Nya manusia
adalah sebagai khalifah fi al-ardh. Dengan mengetahui esensi manusi maka
Pendidikan islami harus dirancang untuk menumbuh kembangkan potensi manusia
baik dari sisi materi dan non materinya. Sebab bila hal ini tidak terpenuhi maka
manusia yang dididik akan mengelami kepribadian yang terpecah artinya tidak

25
Dwi Suwiknyo, Kompilasi Tafsir Ayat-Ayat Ekonomi Islam, ( Yogyakarta: pustaka pelajar,
2010)., 81-91

12
seimbang antara aspek jismiyah dan ruhaniyahnya.Pendidikan Islam dikatakan
berhasil apa bila telah mampu melahirkan peserta didik yang mempunyai ilmu
pengetahuan, keterampilan dan akhlak yang mulia.

2. Tujuan Penciptaan Manusia

Al-Qur’an diperuntukan bagi penentu jalannya kehidupan manusia dan alam


semesta. Di dalamnya terkandung makna dan petunjuk kehidupan menembus dimensi
ruang dan waktu, atau dengan kata lain al-Qur’an merupakan ensiklopedia kehidupan
dalam rangka menunjukan kebahagian dan kesejahteraan hakiki. Karena al-Qur’an
memiliki lintas dimensi ruang dan waktu, maka wajar jika al –Qur’an memuat pesan-
pesan Ilahi dalam bentuk global. Oleh karena itu diperlukan penjelasan lebih rinci
mengenai maksud yang terkandung di dalam pesan Ilahiyah tersebut.

Dalam proses perjalanan manusia tidak terlepas dengan dimensi-dimensi non


material. Pengalaman spiritual dan kondisi psikologis adalah bentuk dimensi lain
dalam diri kita yang tidak bisa kita lepaskan. Semuanya mengalami proses
pertumbuhan dengan tujuan yang jelas.26

Manusia juga mendapatkan predikat sebagai makhluk yang diciptakan


dengan bentuk yang sebaik-baiknya secara individual, manusia memiliki unsur
jasamani dan rohani, unsur fisik dan psikis, raga dan jiwa. Sebagai ciptaan Allah,
manusia perlu mentaati apa yang telah dititahkan-Nya dalam kitab-Nya, tingkah
laku dan segala yang dilakukan oleh manusia semestinya harus sesuai dengan segala
yang diperintahkan oleh Allah. Karena pada hakikatnya, segala yang dilakukan oleh
manusia adalah karena digerakan oleh-Nya.27

Manusia merupakan mahluk yang diciptakan oleh Allah SWT di muka bumi
ini dengan sebaik-baiknya mahluk, sebaik-baiknya bentuk dan sebaik-baiknya umat,

26
M. Ridwan Nasir, prespektif Baru Metode Tafsir Dalam Memahami Al-Quran (Surabaya:
Imtiyas,2011), 13-15
27
M.Quraish Shihab, Wawasan Al Qur’an, (Bandung: Mizan), 282

13
untuk mengemban sebuah tugas yang mulia yaitu beribadah kepada Allah SWT.28
Yang mana hal itu tertera dalam QS. ad-Dzariyat ayat 56:

Artinya : Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka
beribadah kepada-Ku". (QS. ad-Dzariyat: 56) 29

Dalam al-Qur’an, manusia berulang-kali diangkat derajatnya, dan berulang-ulang


pula direndahkan. Mereka dinobatkan jauh mengungguli alam surga, bumi, dan bahkan
para malaikat. Tetapi, pada saat yang sama, mereka bisa tak lebih berarti dibandingkan
dengan setan terkutuk dan binatang jahanam sekalipun. Manusia dihargai sebagai
makhluk yang mampu menaklukan alam, namun bisa juga mereka merosot menjadi
rendah di antara yang paling rendah. Oleh karena itu, makhluk manusia sendirilah yang
harus menetapkan sikap dan menentukan nasib akhir mereka sendiri.30

Dan al-Qur’an pula menggambarkan manusia sebagai suatu makhluk pilihan


tuhan yaitu ditunjuk sebagai kholifah di muka bumi, yang mana tujuannya yaitu
supaya ada rasa tanggung jawab di dalam manusia itu sendiri.31

Sebagai makhluk yang memiliki bentuk dan rupa yang sempurna


dibandingkan dengan makhluk lain, manusia harus selalu berfikir tentang asal
kejadiannya. Manusia yang berfikir adalah mereka yang selalu mengingat kepada
kekuasaan Allah dan iradah-Nya. Dan manusia yang tidak berfikir yang selalu sibuk
dengan kehidupan dunia, adalah mereka yang lupa asal kejadiannya, sihingga sifat-
sifat sombong dan yang lainnya menjadi-jadi, baik di hadapan Allah maupun di
hadapan makhluk Allah.32

Al-Qur’an adalah merupakan kitab suci kaum muslim dan menjadi sumber
ajaran islam yang pertama dan utama, yang mana isi dari kitab al-Qur’an tersebut
harus mereka Imani dan aplikasikan dalam kehidupan mereka sehari-hari yang

28
Khozin Abu Faqih, Managemen Kematian, (Bandung: Syamil, 2005), 2
29
Hamka, Tafsir Al-Azhar., 862: 56.
30
Murtadha Mutahari, Perspektif Al-Qur’an Tentang Manusia Dan Agama, (Bandung, Mizzan,
1998), 117
31
Ibid., 121
32
Hakim Muda Harahap, Rahasia Al-Quran; Menguak Alam, Manusia, Malaikat, Dan Keruntuhan
Alam, (Yogyakarta: Darul Hikmah, 2013)., 128

14
tujuannya tidak lain yaitu agar mereka memperoleh kebaikan di dunia dan di
akhirat.33

Jika manusia telah menyadari akan tujuan diciptakanya dia untuk apa yang
ada dalam al-Qur’an. Dan menjalankan tugasnya tersebut maka manusia itu berhak
mendapatkan fasilitas yang diberikan oleh Allah yaitu mendapatkan kesejahteraan
dalam hidupnya, akan tetapi jika ia tidak mau menyadarinya pasti dalam
kehidupannya ia akan sering melakukan kemungkaran dan mendapatkan
kemadaratan.34

Selain itu banyak manusia yang sudah mengetahui akan tujuan ia diciptakan
ke bumi tapi tidak tau makna secara hakikatnya itu apa. Dalam dunia penafsiran al-
Qur’an ada sebuah corak yang bernama corak sufi yaitu penafsiran al-Qur’an
dengan menggunakan pemahaman atau pemberian pengertian atas fakta-fakta
tekstual dari sumber-sumber al-Qur’an dan al-Hadits sedemikian rupa sehingga
yang diperlihatkan bukanlah makna secara lahiriyah dari kata-kata pada teks sumber
suci itu melainkan pada makna dalam (bathin) yang dikandungnya. 35

C. Kedudukan Manusia dan Implikasinya Terhadap Pendidikan

1. Kedudukan Manusia

Kesatuan wujud manusia antara fisik dan psikis serta didukung oleh potensi-
potensi yang ada membuktikan bahwa manusia sebagai ahsan at-taqwim dan
menempatkan manusia pada posisi yang strategis, yaitu : sebagai Hamba Allah
(abdullah) dan Khalifah Allah (khalifah fi al-ardh).

a) Manusia Sebagai Hamba Allah (‘abdullah).

Esensi dari ‘abd adalah ketaatan, ketundukan dan kepatuhan yang


kesemuanya itu hanya layak diberikan manusia kepada Allah SWT. Ketundukan

33
Athaillah, Sejarah Alquran:Verifikasi Tentang Otentitas Al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2010), 1
34
Hakim Muda Harahap, Rahasia Al-Quran; Menguak Alam, Manusia, Malaikat, Dan Keruntuhan
Alam, 131
35
Badrudin, pradigma metodologis penafsiran al-qur’an, (serang, pustaka nurul hikmah, 2018), 190

15
dan ketaatan pada kodrat alamiah senantiasa berlaku bagi manusia. Ia terikat
oleh hukum-hukum Allah yang menjadi kodrat pada setiap ciptaannya, manusia
menjadi bagian dari setiap ciptaannya, dan ia bergantung pada sesamanya.
Sebagai hamba Allah, manusia tidak bisa terlepas dari kekuasaan-Nya. Sebab
manusia mempunyai fitrah (potensi) untuk beragama. Mulai dari manusia purba
sampai kepada manusia modern sekarang yang mengakui bahwa diluar dirinya
ada kekuasaan transcendental.36 Hal ini disebabkan karena manusia adalah
makhluk yang memiliki potensi untuk beragama sesuai dengan fitrahnya. Firman
Allah SWT menyebutkan dalam surat Ar-Ruum: 30;

َ َ َ َ َ َ َ َّ َ َ َ َّ َّ َ َ ‫َ ا‬ ّ َ َ َ ََ
ۡ‫اسۡعييها ََۚۡلۡتب ِديو‬
ۡ ‫تۡفطرۡٱنل‬
ۡ ِ ‫ّللِۡٱى‬
ۡ ‫ِيَۡحِِيفا َۚۡف ِطرتۡٱ‬
ِ ‫فأك ًِۡۡوجهمۡل ِل‬
َ َُ َ َ َّ َ َ َ َّ َٰ َ َ ُ ّ َ ُ ّ َ َٰ َ َّ َِ
ۡ ِ ‫كَۡأكَثۡٱنل‬
ۡۡۡ٣٠ۡ‫اسَۡلۡحعيٍون‬ ِ ‫ِيَۡٱىلي ِ ًۡۡول‬
ۡ ‫ّللَِۚۡذل ِمۡٱل‬
ۡ ‫ِلي ِقۡٱ‬

Artinya : Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah;


(tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia
menurut fitrah itu. Tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah)
agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui".
(QS. Ar Rum; 30) 37

Berdasarkan ayat di atas, semua suku bangsa manusia kapanpun


dimanapun mengakui adanya Dzat Yang Maha Kuasa di luar dirinya. Allah
SWT juga berfirman :

Artinya : Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar
mereka beribadah kepada-Ku". (QS. ad-Dzariyat: 56) 38

Berdasarkan ayat tersebut tergambarkan bahwa seluruh tugas manusia


dalam hidup ini berakumulasi pada tanggung jawab mengabdi (beribadah)
kepada Allah SWT. Pengakuan manusia akan adanya Allah secara naluriah

36
Ramayulis dan Samsul Nizar. Filsafat Pendidikan Islam: Telaah Sistem Pendidikan Islam dan
Pemikiran Para Tokohnya, (Jakarta: Kalam Mulia, 2011)., 55
37
Hamka, Tafsir Al-Azhar., 862: 56.
38
Hamka, Tafsir Al-Azhar., 862: 56.

16
menurut informasi AlQuran disebabkan telah terjadinya dialog antara Allah dan
roh manusia tatkala berada di alam arwah.

Dengan demikian, kepercayaan dan ketergantungan manusia dengan


Tuhannya, tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia. Karena manusia telah
berikrar sejak di alam arwah bahwa Allah SWT adalah Tuhannya. Kepercayaan
manusia kepada Dzat Yang Maha Agung yang ada di luar dirinya juga diiringi
oleh kecenderungan yang tunduk dan patuh kepada-Nya. Kepatuhan tersebut
kemudian dimanifestasikannya lewat peribadatan-peribadatan ritual sehingga
manusia memiliki beban dan tugas sebagai makhluk pengabdi kepada
Tuhannya.39 Manusia sebagai hamba Allah (‘abdullah) adalah makhuk yang
dimuliakan oleh Allah SWT. Kemuliaan manusia dibanding dengan makhluk
lainnya adalah karena manusia dikaruniai akal untuk berfikir dan menimbang
baikburuk, benar-salah, terpuji-tercela; sedangkan makhluklain semisal
binatang, dan tumbuhan, tidaklah memperoleh kelebihan seperti halnya manusia.
Selain itu, bentuk kejadian manusia adalah yang paling baik.

Kesadaran manusia bahwa ia hidup di dunia sebagai hamba Allah,


menumbuhkan sikap mawas diri bahwa dirinya bukan Tuhan, oleh sebab itu
melihat sesama manusiaa sebagai sesama makhluk, tidak ada perhambaan antar
sesama manusia.

b) Manusia Sebagai Khalifah Allah (khalifah fi al-ardh)

Kata khalifah berasal dari kata khalafa, yang berarti mengganti atau
melanjutkan. Menurut Quraish Shihab, istilah khalifah dalam bentuk mufrad
(tunggal) berarti penguasa politik dan religius. Istilah ini digunakan untuk
nabinabi dan tidak digunakan untuk manusia pada umumnya. Sedangkan
untuk manusia biasa digunakan khala’if yang di dalamnya mengandung
makna yang lebih luas, yaitu bukan hanya sebagai penguasa dalam berbagai
bidang kehidupan.40 Untuk mendapatkan gambaran yang lebih dalam tentang

39
Ramayulis dan Samsul Nizar. Op.Cit., 58-59
40
M. Quraish Shihab, Membumikan AlQuran, (Bandung: Mizan, 1994)., 69-70

17
fungsi kekhalifahan di alam ini dapat dilihat dalam Qur’an: Surat Al-An’am :
165, Al-A’raf : 69.

Kedudukan manusia di alam raya sebagai khalifah dalam arti yang luas,
juga memberi isyarat tentang perlunya sikap moral atau etika yang harus
ditegakkan dalam melaksanakan fungsi kekhalifahannya. Qurais Shihab
mengatakan bahwa hubungan antara manusia dengan alam atu hubungan
manusia dengan sesamanya, bukan merupakan hubungan antara penakluk
dengan yang ditaklukkan, atau antara tuan dengan hamba, akan tetapi hubungan
kebersamaan dalam ketundukan kepada Allah SWT. Sebab meskipun manusia
mampu mengelola, namun hal tersebut bukan akibat kekuatan yang dimilikinya,
tetapi akibat Allah menundukkannya untuk manusia.

Oleh karena itu, manusia dalam visi kekhalifahannya, bukan saja sekedar
menggantikan, namun dengan arti yang luas ia harus senantiasa mengikuti
perintah yang digantikannya yaitu Allah SWT. Dalam melaksanakan tugasnya
sebagai khalifah, Allah SWT telah memberikan kepada manusia seperangkat
potensi (fitrah) berupa Aql, qalb, dan nafs. Namun demikian aktualisasi fitrah
tersebut tidak otomatis berkembang, melainkan tergantung pada manusia itu
sendiri mengembangkannya. Untuk itu, Allah SWT menurunkan wahyu-Nya
kepada para Nabi, agar menjadipedoman bagi manusia dalam
mengaktualisasikan fitrahnya secara utuh dan selaras dengan tujuan
penciptaannya. Dengan pedoman ini manusia akan dapat tampil sebagai
mahkluk Allah yang tinggi martabatnya, dan sebaliknya jika tidak, ia akan
rendah martabatnya yang sama esensinya dengan hewan. Ahmad Hasan Firhat
sebagaimana dikutip oleh Ramayulis membedakan kedudukan kekhalifahan
manusia pada dua bentuk, yaitu : Pertama, khalifah kauniyah. Dimensi ini
mencakup wewenang manusia secara umum yang telah dianugerahkan Allah
SWT untuk mengatur dan memanfaatkan alam semesta beserta isinya bagi
kelangsungan kehidupan umat manusia di muka bumi. Pemberian wewenang
Allah SWT kepada manusia dalam konteks ini, meliputi pemaknaan yang
bersifat umum, tanpa dibatasi oleh agama apa yang mereka yakini. Artinya, label

18
kekhalifahan yang dimaksud diberikan kepada semua manusia sebagai penguasa
alam semesta. Kedua, khalifah syar’iyah.

Dimensi ini merupakan wewenang Allah SWT yang diberikan kepada


manusia untuk memakmurkan alam semesta. Hanya saja, untuk melaksanakan
tugas dan tanggung jawab ini, predikat khalifah secara khusus ditujukan kepada
orang-orang mukmin. Hal ini dimaksudkan, agar dengan keimanan yang
dimilikinya, mampu menjadi pilar dan kontrol dalam mengatur mekanisme alam
semesta, sesuai dengan nilai-nilai ilahiyah yang telah digariskan Allah lewat
ajaran-Nya. Dengan prinsip ini, manusia akan senantiasa berbuat kebaikan dan
memanfaatkan alam semesta demi kemaslahatan umat manusia. Sebagai
khalifah, manusia muslim dimaksudkan tampil di bumi ini dengan wajahnya
yang ramah dan anggun untuk memimpin, mengelolan dan memakmurkan bumi,
bukan sebaliknya sebagai orang yang tertindas, dan terbelakang dari berbagai
kemajuan. Untuk mencapai yang demikian itu, pendidikan Islam diharapkan
mampu memberdayakan funsi khalifah dalam langkah-langkah yang kongkret.
Bila hal tersebut tidak dilakukan, maka fungsi khalifah tadi dapat diambilalih
oleh manusia dan golongan yang lain.

2. Implikasinya Terhadap Pendidikan

Para ahli pendidikan muslim pada umumnya sependapat bahwa teori dan
praktek kependidikan Islam harus didasarkan pada konsepsi dasar tentang
manusia. Pembicaraan diseputar persoalan ini adalah merupakan sesuatu yang
sangat vital dalam pendidikan. Tanpa kejelasan tentang konsep ini, pendidikan
akan meraba-raba, dan bahkan bisa jadi pendidikan Islam tidak akan dapat
dipahami secara jelas tanpa terlebih dahulu memahami konsep Islam yang
berkaitan dengan pengembangan individu seutuhnya. Identitas manusia muslim
secara sempurna dapat diperoleh setelah fungsinya sebagai makhluk, pendidik
dan si terdidik, hamba Allah (‘abd) dan khalifah Allah, serta potensi lainnya
benar-benar telah dilakukan integrasi secara seimbang dalam kesatuan yang
utuh.

19
Penekanan pada salah satunya sembari meninggalkan yang lain berakibat
tidak sempurnanya identitas manusia sebagai insan kamil atau muslim kaffah 41.
Bila pendidikan Islam semata-mata menekankan pembentukan pribadi muslim
yang sanggup mengabdi, beribadah, dan berakhlak karimah, akibatnya pribadi
yang terbentuk adalah kesalehan individual yang mengabaikan penguasaan ilmu
pengetahuan dan teknologi, dan bisa dipastikan kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi akan diambil oleh umat yang lain. Begitu juga sebaliknya, bila
pendidikan Islam hanya memfokuskan perannya sebagai pembentuk khalifah di
muka bumi yang sanggup menguasai ilmu dan teknologi dan menguak rahasia
alam untuk dikelola demi kemakmuran hidup di dunia, tanpa memberi
keseimbangan terhadap fungsinya sebagai hamba Allah SWT, maka manusia
bisa pandai, tetapi jiwa dan hatinya kosong dari cahaya ilahi.

Dari uraian terdahulu tentang hakekat manusia dalam konsep Islam,


dapat dilihat implikasi penting konsep terbsebut dalam hubunganya dengan
pendidikan Islam, yaitu:

Pertama, sudah diketahui bahwa manusia adalah makhluk yang memiliki


dua komponen materi dan immateri (jasmani dan rohani), maka konsepsi itu
menghendaki proses pembinaan yang mengacu ke arah realisasi dan
pengembangan komponen-komponen tersebut. Hal ini berarti bahwa sistem
pendidikan Islam harus dibangun di atas konsep kesatuan (integrasi) antara
pendidikan qalbiyah dan aqliyah sehingga mampu menghasilkan manusia
muslim yang pintar secara intelektual dan terpuji secara moral. Jika kedua
komponen itu terpisah atau dipisahkan dalam proses kependidikan Islam, maka
manusia akan kehilangan keseimbangannya dan tidak akan pernah menjadi
pribadi-pribadi yang sempurna (insan kamil).

Kedua, Al-quran menjelaskan bahwa fungsi penciptaan manusia di alam


ini adalah sebagai khalifah dan ‘abd. Untuk melaksanakan fungsi ini Allah SWT
membekali manusia dengan seperangkat potensi. Dalam konteks ini, maka
pendidikan Islam harus merupakan upaya yang ditujukan ke arah pengembangan

41
Abd Rahman Assegaf,. Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011)., 163

20
potensi yang dimiliki manusia secara maksimal, sehingga dapat diwujudkan
dalam bentuk kongkrit, dalam kompetensi-kompetensi yang bermuatan hard
skill dan soft skill.

Ketiga, fungsionalisasi pendidikan Islam dalam mencapai tujuannya


sangat bergantung kepada sejauh mana kemampuan umat Islam menterjemahkan
dan merealisasikan konsep tentang hakekat manusia dan fungsi penciptaanya
dalam alam semesta ini. Dalam hal ini, pendidikan Islam harus dijadikan sarana
yang kondusif bagi proses transformasi ilmu pengetahuan dan budaya Islami
dari satu generasi kepada generasi berikutnya. Posisi manusia sebagai khalifah
dan ‘abd menghendaki program pendidikan yang menawarkan sepenuhnya
penguasaan ilmu pengetahuan secara totalitas, agar manusia tegar sebagai
khalifah dan taqwa sebagai dari aspek ‘abd.

Keempat, agar pendidikan Islam berhasil dalam prosesnya, maka konsep


hakekat manusia dan fungsi penciptaannya dalam alam semesta harus
sepenuhnya diakomodasikan dalam perumusan teori-teori pendidikan Islam
melalui pendekatan kewahyuan, empirik keilmuan dan rasional filosofis. Dalam
hal ini harus difahami pula bahwa pendekatan keilmuan dan filosofis hanya
merupakan media untuk menalar pesan-pesan Allah yang absolut, baik melalui
ayat-ayat-Nya yang bersifat tekstual (quraniyah), maupun ayat-ayat-Nya yang
bersifat kontekstual (kauniyah), yang telah dijabarkan-Nya melalui sunnatullah.

Kelima, proses internalisasi nilai-nilai Islam kedalam invividu atau


pribadi seseorang harus dapat dipadukan melalui peran individu maupun
orang lain (guru), sehingga dapat meperkuat terwujudnya kesatuan pola dan
kesatuan tujuan menuju terbentuknya mentalitas yang sanggup mengamalkn
nilai dan norma Islam dalam diri insan kamil.

21
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Hakekat manusia dalam konsep Islam adalah makhluk yang diciptakan oleh
Allah SWT, memiliki berbagai potensi untuk tumbuh dan berkembang menuju
kesempurnaan ciptaan sesuai dengan yang dikehendaki oleh Sang Pencipta. Dalam
Al-Quran menyebutkan manusia dengan berbagai kata yaitu : al-Basyar, Al-Insan,
Al-Nas, dan Bani Adam atau Durriyat Adam. Sebagai makhluk yang diciptakan
Allah SWT, manusia mempunyai tugas dan fungsi sebagai hamba Allah (abdullah)
dan khalifah Allah di muka bumi. Sebagai hamba Allah (abdullah) setiap manusia
dituntut untuk menjadikan seluruh aktifitas hidupnya sebagai manifestasi dari
ketundukan dan pengabdian kepada Allah SWT.

Sebagai khalifah Allah (khalifah fil ardh), setiap manusia diberikan Allah
segala kemampuan untuk mengolah dan memakmurkan bumi serta isinya, guna
memenuhi segala kebutuhan hidupnya, yang dilakukan dengan senantiasa menjaga
keseimbangan alam semesta dan menjaga kelestarian alam serta makhluk hidup
lainya yang akhirnya diorientasikannyauntuk beribadah.

Implikasi penting konsep Islam tentang hakekat manusia dalam hubunganya


dengan pendidikan Islam, adalah : pertama : sistem pendidikan Islam harus
dibangun di atas konsep kesatuan (integrasi) antara pendidikan qalbiyah dan aqliyah
sehingga mampu menghasilkan manusia muslim yang pintar secara intelektual
danterpuji secara moral. Kedua : pendidikan Islam harus merupakan upaya yang
ditujukan ke arah pengembangan potensi yang dimiliki manusia secara maksimal,
sehingga dapat diwujudkan dalam bentuk kongkrit, dalam kompetensi-kompetensi
yang bermuatan hard skill dan soft skill. Ketiga : pendidikan Islam harus dijadikan
sarana yang kondusif bagi proses transformasi ilmu pengetahuan dan budaya Islami
dari satu generasi kepada generasi berikutnya. Keempat : konsep hakekat manusia
dan fungsi penciptaannya dalam alam semesta harus sepenuhnya diakomodasikan
dalam perumusan teori-teori pendidikan Islam melalui pendekatan kewahyuan,
empirik keilmuan dan rasional filosofis. Kelima : proses internalisasi nilai-nilai

22
Islam kedalam invividu atau pribadi seseorang harus dapat dipadukan melalui peran
individu maupun orang lain (guru), sehingga dapat meperkuat terwujudnya kesatuan
pola dan kesatuan tujuan menuju terbentuknya mentalitas yang sanggup
mengamalkn nilai dan norma Islam dalam diri insan kamil.

B. Kritik dan Saran

Dalam Makalah ini, penulis menyadari sangat banyak terdapat kesalahan


dan kekurangan, oleh karena nya, penulis sangat terbuka untuk menerima
masukan, kritik dan saran untuk kebaikan dan kesempurnaannya.

23
DAFTAR PUSTAKA

1. Abd Rahman Assegaf,. Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2011.
2. Al Rasyidin, Falsafah Pendidikan Islami, Bandung: Cipta Pustaka Media
Perintis,2012.
3. Athaillah, Sejarah Alquran:Verifikasi Tentang Otentitas Al-Qur’an, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2010.
4. Badrudin, pradigma metodologis penafsiran al-qur’an, serang, pustaka nurul
hikmah, 2018.
5. Baharuddin, Aktualisasi Psikologi Islami, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005
6. Baharuddin, Paradigma Islami Studi Tentang Elemen Psikologi dari al-
Qur’an,Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004
7. Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta: Sygma Examedia
Arkanleema, 2009.
8. Dwi Suwiknyo, Kompilasi Tafsir Ayat-Ayat Ekonomi Islam, Yogyakarta: pustaka
pelajar, 2010.
9. Fatah Yasin, Dimensi Pendidikan Islam, Yogyakarta: Sukses Offset, 2008.
10. Hakim Muda Harahap, Rahasia Al-Quran; Menguak Alam, Manusia, Malaikat, Dan
Keruntuhan Alam,
Yogyakarta: Darul Hikmah, 2013.
11. Hamka, Tafsir Al-Azhar Juz xxx, Jakarta: Pustaka Panjimas, 2006.
12. Hasan Basri, Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: Setia Pustaka,2009.
13. https://eprints.umm.ac.id/44442/2/jiptummpp-gdl-muhamadfah-47369-2-babi.pdf
14. Jalaluddin, Teologi Pendidikan, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003.
15. Khozin Abu Faqih, Managemen Kematian, Bandung: Syamil, 2005.
16. M. Quraish Shihab, Membumikan AlQuran, Bandung: Mizan, 1994.
17. M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah : Pesan, Kesan dan Keserasian al-Quran,
Jakarta: Lentera Hati, 2006
18. M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, Bandung: MIZAN, 2001
19. M. Ridwan Nasir, prespektif Baru Metode Tafsir Dalam Memahami Al-Quran,
Surabaya: Imtiyas,2011.
20. M.Quraish Shihab, Wawasan Al Qur’an, Bandung: Mizan.
21. Murtadha Mutahari, Perspektif Al-Qur’an Tentang Manusia Dan Agama, Bandung,
Mizzan, 1998.
22. Ramayulis dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam: Telaah Sistem Pendidikan
dan Pemikiran Para Tokoh, Jakarta: Kalam Mulia, 2011.
23. Rois Mahfud, Al-Islam: Pendidikan Agama Islam, Erlangga, tt.
24. Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis,
Jakarta: Ciputat Press, 2002.
25. Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Ar-Ruzz Media,2011..
26. Zuhairi, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2009.

24

Anda mungkin juga menyukai