Anda di halaman 1dari 16

FITRAH MANUSIA, FITRAH MANUSIA DALAM

FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah filsafat pendidikan islam pada

program studi pendidikan islam fakultas tarbiyah semseter 4

Oleh :

FANI RAHMASARI
NIM : 862082020047

RAHMAT NUR HIDAYAH


NIM : 862082020055

SRIWULANDARI
NIM : 862082020038

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) BONE

2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Allah swt. yang telah memberikan rahmat dan

hidayah-Nya sehingga penyusun dapat menyelesaikan tugas makalah ini tepat

pada waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan ini adalah untuk memnuhi tugas pada mata

kuliah Filsafat Pendidikan Islam. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk

menambah wawasan tentang Fitrah Manusia, Fitrah manusia dalam Filsafat


Pendidikan Islam. Penyusun juga mengucapkan terimakasih kepada semua pihak

yang telah membagi pengetahuannya sehingga makalah ini dapat terselasaikan.

Penyusun menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh

karena itu, kritik dan saran sangat penyusun perlukan demi terciptanya makalah

yang lebih baik.

Dengan demikian, penyusun mengharapkan semoga makalah ini dapat

diambil hikmah atas menfaatnya sehingga dapat memberikan inspirasi terhadap

pembacanya.

Watampone, 4 April 2022

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ii

DAFTAR ISI iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang 1

B. Rumusan Masalah 1

C. Tujuan Penulisan 2
BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Fitrah Manusia 3

B. Fiftar Manusia dalam Filsafat Pendidikan Islam 6

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan 12

B. Saran 12

DAFTAR RUJUKAN

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Allah swt. telah menciptakan manusia di duni kecuali bertugas pokok untuk

menyembah Khalik-Nya, juga di tugaskan untuk mengelola dan memanfaatkan

kekayaan yang terdapat di bumi agar mereka dapat hidup sejahtera dan makmur lahir

batin. Al-Quran yang merupakan sumber utama dalam Islam tak jarang berbicara
mengenai fitrah, yang secara normative sarat dengan nilai-nilai transendental-ilahiyah

dan insaniyah. Artinya, di satu sisi memusatkan perhatian pada fitrah manusia dengan

sumber daya manusianya, baik jasmaniah maupun ruhaniah sebagai potensi yang siap

dikembangkan dan ditingkatkan kualitasnya melalui proses humanisering sehingga

keberadaan manusia semakin bermakna.

Di sisi lain, pengembangan kualitas sumber daya manusia tersebut dilaksanakan

selaras dengan prinsip-prinsip ketauhidan, baik tauhid rububiyah maupun tauhid

uluhiyah.1 Pandangan Islam secara global menyatakan bahwa fitrah merupakan

kecenderungan alamiah bawaan sejak lahir. Penciptaan terhadap sesuatu ada untuk

pertama kalinya dan struktur alamiah manusia sejak awal kelahirannya telah memiliki
agama bawaan secara alamiah yakni agama tauhid. Islam sebagai agama fitrah tidak

hanya sesuai dengan naluri keberagamaan manusia tetapi juga dengan, bahkan

menunjang pertumbuhan dan perkembangan fitrahnya. Hal ini menjadikan

eksistensinya utuh dengan kepribadiannya yang sempurna.

B. Rumusan masalah

1. Bagaimana definisi dari fitrah manusia?

2. Bagaimana fitrah manusia dalam filsafat pendidikan islam?

1
2

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui definisi dari fitrah manusia.

2. Untuk mengetahui dan lebih memahami fitrah manusia dalam filsafat

pendidikan sialm.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Fitrah Manusia

Secara etimologi, fitrah berarti penciptaan atau terbukanya sesuatu dan

melahirkannya. Sedangkan menurut makna nasabi (pemahaman dari beberapa ayat dan

hadits nabi), fitrah adalah citra asli yang dinamis yang terdapat pada sistem-sistem

psikofisik manusia, dan dapat diaktualisasikan dalam bentuk tingkah laku. 1 Citra
adalah gambaran tentang diri manusia yang berhubungan dengan kualitas-kualitas asli

manusiawi yang merupakan sunnatullah yang dibawa sejak ia dilahirkan.

Manusia adalah Makluk hidup pilihan Allah yang mengemban tugas ganda,

yaitu sebagai khalifah Allah dan Abdullah. Dengan mengaktualisasikan tugas tersebut,

maka Allah telah melengkapi manusia dengan sejumlah potensi dalam dirinya. Hasan

Langgulung mengatakan bahwa potensi-potensi itu ialah ruh, nafs, akal, qalb, dan

fitrah.2

Manusia diistilakan dalam Al-Qur’an di tiga hal, yakni al-Basyir, al-Insan, an-

Nas, adapun yang dimaksud dengan ketiga tersebut sebagai berikut :

1. Al-basyar dapat dipahami bahwa manusia merupakan makhluk biologis yang


memiliki segala sifat kemanusiaan dan keterbatasan, seperti makan, minum, seks,

kebahagiaan, dan lainnya.

2. Adapun dari kata al-Insan dapat diartikan harmonis, lemah lembut, tampak, atau

pelupa. Secara istilah al-Insan berarti adanya totalitas manusia sebagai makhluk

jasmani dan rohani. Harmonisasi kedua aspek tersebut mengantarkan manusia

1
M.Ishom El Saha, MA, Sketsa Al – Qur’an, (Jakarta, PT. LISTA FARISKA PUTRA) jilid 1,
hlm. 175
2
DR. Baharuddin. Aktualisasi Psikologi Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 13.

3
4

sebagai makhluk Allah swt. yang unik dan istimewa, karena hal ini akan

terintegrasi dalam iman dan amalnya.

3. Kemudian an-Nash menunjukkan pada eksistensi manusia sebagai makhluk

sosial secara keseluruhan. Allah swt telah menciptakan manusia dalam bentuk

struktur yang sempurna.

Dalam pandangan islam, kemampuan dasar dan keunggulan manusia

dibandingkan dengan makhluk hidup lainnya atau pembawaan disebut dengan fitrah,
yang berasal dari kata ‫ فطر‬yang dalam pengertian etimologi mengandung etimologi
ْ ‫ ْالف‬yang berarti pecahan atau belahan. Secara
kejadian. Kata tersebut berasal dari kata ‫ِط ِر‬

umum, pemaknaan fitrah dalam Al-Qur-an dapat dikelompokkan setidaknya dalam

empat makna, yakni :

1. Proses penciptaan langit dan bumi

2. Proses penciptaan manusia

3. Pengaturan alam semesta dan isinya secara serasi dan seimbang

4. Pemaknaan pada agama Allah sebagai acuan dasar dan pedoman bagi manusia

dalam menjalankan tugas dan fungsinya.

Apabila makna fitrah dirujuk pada manusia, maka makna fitrah memiliki
berbagai pengertian, seperti pada surah ar-Rum ayat 30 yang bermakna bahwa fitrah

manusia yaitu potensi manusia untuk beragama atau bertauhid kepada Allah. Bahkan,

iman bawaan telah diberikan kepada manusia sejak lahir.

ِ َّ‫الديْن ْالقَيِم َو ٰل ِكنَّ اَ ْكثَ َر الن‬


‫اس َل‬ ِ َ‫ّللا ٰۗذلِك‬
ِٰ ‫ق‬ ِ ‫علَ ْي َه ۗا َل تَ ْب ِد ْي َل ِلخ َْل‬
َ ‫اس‬ ْ ِ‫ّللا الَّت‬
َ َ‫ي ف‬
َ َّ‫ط َر الن‬ ْ ‫فَاَقِ ْم َوجْ َهكَ ل ِِلدي ِْن َحنِ ْيفً ۗا ف‬
ِ ٰ َ‫ِط َرت‬
3
َ‫يَ ْعلَم ْون‬

3
Departemen Agama RI, Al-Quran dan terjemahnya, (Jakarta: PT. Sinergi Pustaka Indonesia,
2012), h. 407.
5

Terjemahnya :
Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah, (tetaplah
atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak
ada perubahan pada fitrah Allah. (itulah) agama yang lurus, tetapi
kebanyakan manusia tidak mengetahui.” Selain itu jga ada sabdah
Rasulullah saw yang artinya “ tiap-tiap dilahirkan di atas fitrah, maka
kedua orang tuanyalah yang menjadikan Yahudi, Nasrani, Majusi”.
Makna fitrah harus mencakup tentang manusia yang membutuhkan interksi

terhapat lingkungannya. Hal ini dikarenakan adanya tugas pokok manusia sebagai
khalifah di muka bumi ini, yang pelaksanaan kekhalifahannya manusia senantiasa

memerlukan interaksi dengan orang lain atau makhluk hidup. Untuk itu, menurut

Hasan Langgulung fitrah berarti potensi-potensi yang dimiliki manusia. Potensi-

potensi tersebut merupakan keterpaduan yang tersimpul dalam Al-Asma’ul Husna

(sifat-sifat Allah yang baik).

Ahmad Tafsir menjelaskan bahwa fitrah (potensi) yang dijelaskan oleh Al-

Qur’an antara lain:

1. Manusia sebagai makhluk sosial, artinya manusia itu membawa sifat ingin

bermasyarakat. (QS. Al-Hujurât ayat 13).

2. Manusia sebagai makhluk yang ingin beragama, oleh karena itu pendidikan agama
dan lingkungan beragama perlu disediakan bagi manusia. (QS. Al-Mâidah ayat 3

dan QS. Al-A’râf ayat 172)

3. Manusia itu mencintai wanita dan anak-anak, harta benda yang banyak, emas dan

perak, kuda-kuda pilihan (kendaraan sekarang), ternak dan sawah ladang. (QS. Ali-

‘Imrân ayat 14)

Fitrah yang disebut dalam hadits di atas adalah potensi. Potensi adalah

kemampuan. Jadi fitrah yang dimaksud di sini adalah pembawaan. Ayah dan ibu dalam
6

hadits ini adalah lingkungan sebagaimana yang dimaksud oleh para ahli pendidikan.

Kedua-duanya (pembawaan dan lingkungan) itulah, menurut hadits tersebut yang

menentukan perkembangan seseorang.

Pengaruh itu terjadi baik pada aspek jasmani, akal maupun aspek rohani. Aspek

jasmani banyak dipengaruhi oleh alam fisik (selain oleh pembawaan), aspek akal

banyak dipengaruhi oleh lingkungan budaya (selain oleh pembawaan), dan aspek

rohani dipengaruhi oleh kedua lingkungan itu (selain oleh pembawaan). Pengaruh-
pengaruh itu berbeda tingkat dan kadar pengaruhnya antara seseorang dengan orang

lain.

Jadi fitrah manusia adalah kejadiannya sejak semula atau bawaan sejak lahir.

Merujuk kepada fitrah yang di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa manusia sejak asal

kejadiaannya membawa potensi beragama yang lurus, dan dipahami oleh para ulama

sebagai tauhid.

B. Fitrah Manusia Dalam Filsafat Pendidikan Islam

Fitrah dapat dimaknai inti dari sifat alamiah manusia yang secara alami pula

ingin mengetahui dan mengenal Allah swt., yang tidak terbawa oleh pengaruh-

pengaruh yang menyimpang dari kebenaran dan dituntun oleh kebenaran itu. 4 Hal ini
senada dengan ayat al-Qur’an yang mempunyai makna “tidak ada perubahan dalam

penciptaan Allah”. Kepercayaan (keimanan) kepada Allah swt. merupakan fitrah (sifat

yang ditanamkan Allah ke dalam diri manusia sewaktu menciptakannya), dan tak ada

seorang pun yang bisa menghindari dorongan ‘fitrahnya’ untuk mencari pengetahuan

mengenai Allah swt. atau rasa ingin tahu mengenai eksistensi-Nya.

4
Ali Isa Othman, Manusia Menurut Al-Ghazaly, Bandung, PUSTAKA-Perpustakaan Salman
ITB, 1981, hlm. 28
7

Para mufassir dan filosof memaknai fitrah (potensi) dengan interpretasi yang

cukup beragam, hal ini tidak mengherankan bahkan wajar saja jika mereka memiliki

perbedaan argumen, karena pada dasarnya makna fitrah (potensi) dalam al-Qur’an

(perspektif Islam) dengan fitrah menurut para filosof (umum) sampai saat inipun masih

merupakan polemik. Dalam artian bahwa pemaknaan fitrah atau potensi baik dari sisi

Islam maupun filsafat umum, penulis kira hampir mengarah kepada suatu titik temu

(sinergitas), yaitu fitrah atau potensi adalah sifat alami manusia (man’s natural powers)
yang telah ada ketika manusia itu dilahirkan.

Ibnu Katsir, dalam kitab tafsirnya memaknai fitrah sebagai apa-apa yang

mendasari dan menjiwai agama Islam yang lurus. 5 Sedangkan Buya Hamka dalam

tafsir Al-Azhar-nya mengartikan fitrah sebagai kesaksian manusia atas ke-tauhidan

Allah swt. jauh ketika manusia (roh manusia lebih tepatnya) masih berada dalam wujud

ilmi. Fitrah juga menurut Hamka bisa bermakna al-Fithrat al-Islam.6 Begitu pula

dalam tafsir Al-Maraghi, Al-Maraghi sepertinya lebih cenderung memaknai fitrah

sebagai Al-Islam (agama Islam). 7

Itulah beberapa pengertian fitrah sebagai potensi manusia untuk mengenal,

mengimani, dan meyakini eksistensi Allah swt. sebagai Tuhan dan Islam sebagai satu-
satunya agama yang benar-benar diridloi keberadaannya oleh Allah swt., sebagaimana

yang dijelaskan dalam QS. Al-Maidah ayat 3.

Pandangan para filosof makna fitrah (potensi) diinterpretasikan dengan cukup

beragam pula. Hal ini menyebkan lahirnya berbagai aliran dalam ilmu fisafat maupun

5
Ibnu Katsir, Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsir, Surabaya, PT. Bina Ilmu, 1990, hlm. 237.
6
Hamka, Tafsir Al-Azhar, Singapura, Pustaka Nasuonal PTE LTD, 2003, hlm. 5516- 5517.
7
Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Terjemah Tafsir Al-Maraghi, Semarang, PT. Karya Toha Putra,
1992, hlm. 84
8

psikologi, mulai dari yang halus sampai dengan yang ekstrem sekalipun, untuk

memberikan makna potensi (fitrah).

John Locke (1632-1704 M) salah seorang tokoh filsafat Empirisme ini

berpendapat bahwa struktur kepribadian seseorang itu sangat ditentukan oleh faktor-

faktor lingkungan (eksternal), oleh sebab itu ia lebih menekankan bahwa pengalaman

manusia (melalui jalur formal seperti pendidikan yang baik misalnya) mempunyai

pengaruh yang signifikan terhadap perkembangan kepribadian seseorang. Teori ini


bersifat optimistis.

Arthur Schoupenhauer (1788-1860 M) seorang tokoh filsafat spiritualisme

berpendapat bahwa perkembangan kepribadian seseorang hanya ditentukan oleh

faktor-faktor hereditas (pembawaan). 8 Karena teorinya yang cenderung mementingkan

faktor hereditas inilah, maka teorinya disebut juga teori Nativisme. Teori ini bersifat

pesimistis.

Secara kasat mata kedua teori di atas begitu ekstrem dalam menginterpretasikan

kepribadian dan fitrah (potensi) yang ada pada setiap individu manusia. Di latar

belakangi oleh kedua teori ini pulalah, yang akhirnya melahirkan teori Convergensi

dengan tokohnya William Stern (1871-1938 M). Ia menganggap kedua teori tersebut
kurang realistis, menurutnya pada dasarnya setiap individu yang dilahirkan telah

membawa sifat-sifat dan potensi-potensi tertentu. Akan tetapi, segala potensi yang

dimiliki setiap individu itu baru dapat berkembang secara maksimal dan direalisasikan

secara optimal apabila apabila telah melalui pengalaman yang sarat dipengaruhi oleh

lingkungan (environment).

8
F. Patty, dkk., Pengantar Psikologi Umum, (Surabaya, Usaha Nasional, 1982), hlm. 180.
9

Dengan demikian, William Stern mencoba memformulasikan antara teori

empirisme dan teori nativisme ke dalam sebuah wadah yaitu Convergensi. 9 Filsafat

anthropo-centris dibangun di atas prinsip bahwa manusia berada dalam posisi sentral

di alam realitas.10

Fitrah bisa juga diartikan kemampuan dasar untuk berkembang dalam pola

dasar keislaman (fitrah Islamiyah), karena pada dasarnya manusia memiliki faktor

kelemahan yang ada pada dirinya sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang
berkecenderungan untuk berserah diri kepada kekuasaan-Nya.11

Perkembangangan fitrah (potensi) manusia tidak akan pernah lepas dari

pengaruh faktor-faktor yang yang lain, baik yang sifatnya internal (dari dalam diri

manusia itu sendiri) maupun yang sifatnya eksternal (lingkungan). Menurut M.J.

Lengeveld suatu pola perkembangan dalam diri manusia dipengaruhi oleh empat hal,

yaitu faktor pengaruh dari pembawaan, faktor pengaruh dari lingkungan sekitar, faktor

emansipasi (berupa kehendak bebas dari orang lain), dan faktor pengaruh dari usaha

ekplorasi (penjelajahan terhdap kondisi dunia sekitar).12

Lebih lanjut Lengeveld menjelaskan, kesemua faktor di atas sangat

mempengaruhi terhadap terbentuknya pola kepribadian seorang individu terutama pada


saat ia menginjak dewasa. Sedikit berbeda dengan pendapat Lengeveld, A. Sigit

merumuskan perkembangan manusia melalui proses, yang terdiri dari tiga faktor,

ketiga faktor tersebut saling mempengaruhi antara satu dengan yang lainnya. Ketiga

9
Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, (Jakarta, INIS, 1994), hlm. 16.
10
H. Jono & Cecep Sumarna, Melacak Jejak Filsafat, (Bandung, Sangga Buana, 2006), hlm. 87.
11
H.M. Arifin, Filasafat Pendidikan Islam, (Jakarta, Bumi Aksara, 1996), hlm. 160.
12
H.M. Arifin, Filasafat Pendidikan Islam, (Jakarta, Bumi Aksara, 1996), hlm. 63.
10

faktor tersebut yaitu faktor pembawaan, faktor lingkungan sekitar, dan faktor dialektis

(terjadinya saling mempengaruhi antara faktor bawaan dengan faktor lingkungan).

Esensi dari perkembangan itu sendiri adalah terjadinya suatu perubahan,

perubahan ke arah yang lebih maju (progress) dan lebih dewasa.13 Adapun secara teknis

perubahan lazim juga disebut proses. Al-Ghazaly seorang ulama, pemikir dan ahli

tasawuf islam terkemuka, beliau lebih menekankan potensi rasio daripada potensi

kejiiwaan yang lainnya, menurutnya meskipun potensi rasio manusia dipandang berada
di dalam kekuasaan Tuhan, tetapi kekuasaan Tuhan adalah yang pertama sedangkan

rasio manusia adalah yang kedua.

Al-Ghazali mengatakan bahwa :


Secara potensial, pengetahuan itu ada pada di dalam jiwa manusia bagaikan
benih di dalam tanah, dengan melalui belajar potensi itu baru menjadi
aktual.14
Dengan pernyataan Al-Ghazaly seolah ingin menyatakan bahwa secara alamiah

setiap jiwa manusia telah dianugrahkan pengetahuan dan kemampuan (diposisi),

pengetahuan baru akan bisa diberdayakan dengan maksimal harus terlebih dahulu

dibuka dengan proses belajar. Tuhan menciptakan potensi atau daya-daya dalam diri

manusia, adapun proses perkembangan potensi atau daya-daya tersebut, manusia


memiliki kemerdekaan (tersearah pada manusia itu sendiri). 15

Manusia kehendak bebas (free act) dan mempunyai peluang (chances) menjadi

orang yang jahat bagaikan syetan, dan manusia pun berpeluang untuk menjadi seorang

yang shaleh dekat dengan Tuhan bagaikan Malaikat, sebagaimana yang disebutkan

13
Sumadi Suryabrata, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: Rajawali Pers, 1991), h. 178.
14
H.M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), h. 102.
15
Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, (Jakarta: INIS, 1994), h. 1.
11

dalam al-Qur’an Surat Al-An’am ayat 164. Dalam filsafat pendidikan theo-centris

memandang bahwa segala yang diciptakan Allah swt. berjalan sesuai dengan ketentuan

hukum yang telah ditetapkan-Nya dan kembali kepada kepbenaran-Nya. Setiap

manusia yang terlahir ke dunia ini terlebih dahulu telah disesuaikan fitrahnya dan

perkembangan segala daya atau potensi yang dimilikinya tergantung kepada

lingkungan (millieu) serta pendidikan yang diperolehnya.


BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Manusia adalah ciptaan Allah SWT yang hakikat perkembangannya

dipengaruhi oleh faktor pembawaan dan faktor lingkungan. Fitrah manusia adalah

semua bentuk potensi yang telah dianugerahkan oleh Allah SWT kepada manusia

semenjak proses penciptaannya di alam rahim untuk kelangsungan hidupnya di dunia


serta menjalankan tugas dan fungsinya sebagai makhluk terbaik yang diciptakan oleh

Allah SWT. Fitrah manusia terdiri dari empat macam, yaitu Potensi Fisik

(Psychomotoric), Potensi Mental Intelektual (IQ), Potensi Mental Spritual Question

(SP), Potensi Sosial Emosional (EQ). Konsep fitrah mempercayai bahwa secara

alamiah manusia itu positif (fitrah), baik secara jasmani dan ruhani (spiritual) dan

mengakui bahwa komponen terpenting manusia adalah qalbu (aqidah). Sedangkan

perkembangan fitrah manusia ditentukan oleh faktor usaha manusia itu sendiri dan

hidayah (petunjuk) dari Allah SWT.

B. Saran

Demikianlah isi dari makalah kami, namun kritik dan saran yang bersifat
membangun sangat kami butuhkan guna memperbaiki kesalahan yang baik disengaja

ataupun tidak disengaja dalam penulisan makalah kami yang akan datang.

12
DAFTAR RUJUKAN

Al-Maraghi, Ahmad Musthafa. Terjemah Tafsir Al-Maraghi, (Semarang: PT. Karya

Toha Putra, 1992).

Arifin, H. M. Filasafat Pendidikan Islam, (Jakarta, Bumi Aksara, 1996).

Baharuddin. Aktualisasi Psikologi Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005).

Departemen Agama RI, Al-Quran dan terjemahnya, (Jakarta: PT. Sinergi Pustaka

Indonesia, 2012).
F. Patty, dkk., Pengantar Psikologi Umum, (Surabaya, Usaha Nasional, 1982).

Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Singapura, Pustaka Nasuonal PTE LTD, 2003).

Jono, H. & Cecep Sumarna, Melacak Jejak Filsafat, (Bandung, Sangga Buana, 2006).

Katsir, Ibnu. Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsir, (Surabaya, PT. Bina Ilmu, 1990).

Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, (Jakarta, INIS, 1994).

Othman, Ali Isa. Manusia Menurut Al-Ghazaly, (Bandung, PUSTAKA-Perpustakaan

Salman ITB, 1981).

Saha, M.Ishom El. MA, Sketsa Al – Qur’an, (Jakarta, PT. LISTA FARISKA PUTRA).

Suryabrata, Sumadi. Psikologi Pendidikan, (Jakarta: Rajawali Pers, 1991).

13

Anda mungkin juga menyukai