Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

Tentang

FITRAH (POTENSI) MANUSIA DALAM PANDANGAN


FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

Disusun Oleh :

Kelompok 2
Salsabila (2214010011)
Annisa’ Fitri (2214010016)
Jumadil Hamid (2214010020)

Dosen Pengampu :

Prof. Dr. Zulmuqim, MA.

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI-A)

FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGRI

IMAM BONJOL PADANG


KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kepada Allah SWT yang telah menyertai kami dan
mencurahkan rahmat serta kasih-Nya, sehingga dapat menyelesaikan tugas makalah
Filsafat Pendidikan Islam yang berjudul "Fitrah (Potensi) Manusia Dalam
Pandangan Filsafat Pendidikan Islam”. Shalawat dan salam senantiasa kita
curahkan kepada Nabi Muhammad SAW. Tak akan kami lupakan pula untuk
mengucap terimakasih yang mendalam bagi orang tua kami yang telah memberi
fasilitas yang mendukung bagi pembuatan makalah ini. Kepada dosen pengampu
mata kuliah Filsafat Pendidikan Islam yakni, Prof. Dr. Zulmuqim, MA. yang
dengan sabar dan penuh telah membagikan ilmu yang berharga dalam pembuatan
tugas ini. Serta teman-teman dan semua pihak yang telah mendukung proses
pembuatan makalah ini.

Sebagai pemakalah kami menyadari masih banyak kesalahan dan kekurangan


yang membuat makalah ini kurang sempurna. Oleh karena itu, kami mengharapkan
saran dan kritik untuk menyempurnakan makalah ini. Kami berharap makalah ini
bermanfaat bagi pembaca dan kita semua dapat memahami tentang Fitrah (Potensi)
Dalam Pandangan Filsafat Pendidikan Islam. Kami meminta maaf atas kesalahan
kata.

Padang, 2 September 2023

Pemakalah

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..............................................................................................i

DAFTAR ISI .............................................................................................................ii

BAB 1 PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ........................................................................................1

B. Rumusan Masalah .................................................................................................1

C. Tujuan Penulisan ...................................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN

A. Landasan Al-Qur’an dan Hadis Tentang Fitrah ....................................................2

B. Makna Fitrah .........................................................................................................5

C. Macam-Macam Fitrah ...........................................................................................7

D. Perbandingan Teori Fitrah Dengan, Nativisme, Empirisme, dan Konvergensi ....9

E. Hubungannya Dengan Pendidikan ........................................................................13

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan ...........................................................................................................15

B. Saran ......................................................................................................................15

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia memiliki kesempurnaan dibanding makhluk yang lain. Selain


menyembah Allah SWT, tugas manusia adalah mengelola alam beserta isinya.
Dalam menjalankan peran dan fungsinya itu, manusia harus mampu menggunakan
potensi atau fitrah. Oleh karena itu agar pengelolaan bumi, alam, dan kekayaan
yang ada didalamnya dapat berjalan sesuai dengan iradat Allah SWT.

Bekal potensi yang dimiliki manusia berupa kelengkapan jasmaniyah


(fisiologis) dan bekal ruhaniah (psikologis). Secara fisik manusia adalah makhluk
Allah SWT yang diciptakan dengan bentuk sebaik-baiknya. Bekal akal dan budi
yang dimiliki manusia, merupakan potensi yang paling penting dalam kehidupan
manusia. Untuk itu manusia perlu mengembangkan potensi positif yang ada
dalam dirinya untuk bisa mencapai fitrah tersebut. Dalam pembahasan ini penulis
akan berupaya mengupas dan menjelaskan beberapa hal yang berhubungan
dengan fitrah (potensi) manusia dalam pandangan filsafat pendidikan islam.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana Landasan Al-Qur’an dan hadis tentang fitrah?

2. Apa makna fitrah?

3. Apa saja macam-macam fitrah?

4. Bagaimana perbandingan teori fitrah dengan teori nativisme, emperisme, dan


konvergensi?

5. Bagaimana hubungannya dengan pendidikan?

C. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui landasan Al-Qur’an dan hadis tentang fitrah.

2. Untuk mengetahui makna fitrah.

3. Untuk mengetahui macam-macam fitrah.

4. Untuk mengetahui perbandingan teori fitrah dengan teori nativisme,


emperisme, dan konvergensi

5. Untuk mengetahui hubungannya dengan pendidikan.


1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Landasan Al-Qur'an dan Hadis Tentang Fitrah

Manusia diciptakan Allah dalam strukur yang paling baik di antara


makhluk Allah yang lain. Struktur manusia terdiri atas unsur jasmaniah (fisiologis)
dan rohaniah (psikologis). Dalam kedua struktur itu, Allah memberikan
seperangkat kemampuan dasar yang memiliki kecenderungan berkembang, dalam
ilmu psikologi disebut potensialitas dan disposisi, yang menurut aliran psikologi
Behaviorisme disebut propetence reflexes atau kemampuan dasar yang secara
otomatis dapat berkembang.

Dalam pandangan Islam kemampuan dasar atau pembawaan itu disebut


dengan fitrah, dalam pengertian etimologis mengandung arti kejadian. Kata fitrah
ini disebutkan dalam al-Qur'an (QS. Al- Ruum:30):

‫اس ََل‬ ِ ‫علَ ْي َها ََل ت َ ْبدِيلَ ِلخ َْل‬


ِ َّ‫ق هللا ذلك الدين القي ُم َولَك َِّن أ َ ْكث َ َر الن‬ َ َ‫فَأَقِ ْم َو ْج َهكَ للدِين َحنِيفا ً فطرة هللا التي ف‬
َ ‫ط َر ال َّن‬
َ ‫اس‬
َ‫يَ ْعلَ ُمون‬

Terjemahnya: “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah),


(tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu.
Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi
kebanyakan manusia tidak mengetahui.”

Di samping itu, terdapat beberapa sabda Nabi Muhammad SAW, dengan


beberapa riwayat dari para sahabat yang berbeda pula muatannya. Sebuah sabda
Nabi SAW. yang populer, yang banyak disitir oleh para ulama antara lain sebagai
berikut:1

َ ‫ص َرانِ ِه أ َ ْو يُن َّج‬


‫سانِه‬ ْ ‫علَى ْالف‬
َ ‫ِط َرةِ فَأَب َْواهُ يُ َه ْودَانِ ِه أ َ ْو يُن‬ َ ُ‫كل َم ْولُو ٍد يُولَه‬

Terjemahan: “Tiap-tiap anak dilahirkan dengan fitrah(nya), maka ibu -


bapaknyalah yang mendidiknya menjadi orang beragama yahudi, nasrani dan
majusi”

Fitrah dalam hadis yang disebutkan diatas adalah sebagai faktor


pembawaan sejak manusia lahir yang bisa dipengaruhi oleh lingkungan, bahkan ia
tak akan dapat berkembang sama sekali tanpa adanya pengaruh lingkungan.
Sedangkan lingkungan itu sendiri dapat diubah bila tidak favourable (tidak
1
Afifuddin Harisah, Filsafat Pendidikan Islam Prinsip dan Dasar Pengembangan, (Yogyakarta:
Deepublish, 2018), h. 45

2
menenangkan karena tidak sesuai dengan cita-cita manusia. Meskipun fitrah dapat
dipengaruhi oleh lingkungan, namun kondisi fitrah tersebut tidaklah netral
terhadap pengaruh dari luar. Potensi yang terkandung di dalamnya secara dinamis
mengadakan reaksi atau respon (jawaban) terhadap pengaruh tersebut. Dengan
kata lain bahwa dalam proses perkembangannya, terjadi interaksi antara fitrah dan
lingkungan sekitar.

Menurut M. Arifin (2006: 43-47), bila diinterpretasikan lebih lanjut dari


istilah fitrah sebagaimana tersebut dala m ayat dan hadis di atas, dapat diambil
pengertian secara etimologis sebagai berikut:

Fitrah yang disebutkan dalam ayat di atas mengandung implikasi


kependidikan yang berkonotasi kepada paham nativisme. Oleh karena kata fitrah
mengandung makna kejadian ya ng didalamnya berisi potensi dasar beragama
yang benar dan lurus (al-din al-qayyim) yaitu Islam. Potensi dasar ini tidak dapat
diubah oleh siapapun atau lingkungan apapun, karena fitrah itu merupakan ciptaan
Allah yang tidak akan mengalami perubahan baik isi maupun bentuknya dalam
tiap pribadi manusia

Dalil lain yang dapat diinterpretasikan untuk mengartikan fitrah yang


mengandung kecenderungan yang netral ialah firman Allah dalam QS. Al-Nahl:
78

َ‫ار َو ْاْل َ ْفئِدَة َ لَعَلَّكُ ْم ت َ ْشكُ ُرون‬


َ ‫ص‬ َ َ‫ون أ ُ َّم َهاتِكُ ْم ََل ت َ ْعلَ ُمون‬
َ ‫ش ْيئًا َو َجعَ َل لَكُمُ الشبع َو ْاْل َ ْب‬ ِ ُ‫َوهللا أ َ ْخ َر َجكُم مِن يُ ْعل‬
Terjemahnya: “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam
keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran,
penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur”

Dalam Q.S Al-Alaq ayat 3-4, Allah menyatakan bahwa manusia tanpa
melalui upaya belajar, niscaya tidak akan dapat mengetahui segala sesuatu yang ia
butuhkan bagi keberlangsungan hidupnya didunia dan akhirat. Pengetahuan
manusia akan berkembang jika diperoleh melalui proses belajar mengajar yang
diawali dengan kemampuan membaca dan menulis dalam arti luas.

Konsep al-Qur'an yang menunjukkan tiap manusia diberi kecerdasan nafsu


untuk menjadikannya kafir bagi yang ingkar terhadap Tuhannya dan
kecenderungan untuk membawa sikap bertakwa, menaati-Nya, sebagaimana
dalam Q.S. Al-Syams ayat 7-10:

َ ‫ فَأ َ ْل َه َم َها فُ ُج‬. ‫ونفيس َو َما سَ َّواهَا‬


‫ قَدْ أ َ ْفلَ َح َمن زَ كَاهَا وقد خاب من دساها‬، ‫ورها َوتَقَ َواهَا‬

3
Terjemahan: “Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah
mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya,
sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya
merugilah orang yang mengotorinya”

Firman tersebut dapat dijadikan sumber pandangan bahwa usaha


mempengaruhi jiwa manusia melalui pendidikan dapat berperan positif untuk
mengarahkan perkembangan seseorang kepada jalan kebenaran, yaitu Islam.Tanpa
melalui usaha pendidikan, manusia akan terjerumus ke jalan yang salah atau sesat.

Firman Allah berikut ini menunjukkan bahwa manusia diberi kebebasan


untuk memilih antara dua jalan, yang benar atau yang sesat. Jalan yang benar
terbentang jelas dan begitupun sebaliknya. Dalam QS. Al-Balad :10 dinyatakan:

ِ َ‫َو َهدَ ْينَاهُ الت َ ْجد‬


‫ين‬

Terjemahnya: “Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan (jalan yang
benar dan jalan yang sesat).”

Berdasarkan ayat tersebut dapat dipahami bahwa manusia telah diberi


kemampuan untuk memilih jalan yang benar dari yang salah. Faktor kemampuan
memilih yang terdapat dalam fitrah (human nature) manusia berpusat pada
kemampuan berpikir sehat, karena akal sehat mampu membedakan hal-hal yang
benar dan yang salah. Sedangkan seseorang yang mampu menjatuhkan pilihan
yang benar secara tepat hanyalah orang yang berpendidikan baik. Dengan
demikian, berpikir benar dan sehat pada manusia biasa merupakan kemampuan
fitrah yang dapat dimunculkan dan dikembangkan hanya melalui pendidikan dan
latihan.

Dari berbagai pandangan dari para ilmuwan Islam, dapat disimpulkan


bahwa fitrah adalah suatu kemampuan dasar perkembangan manusia yang
dianugerahkan Allah kepadanya. Di dalamnya terkandung berbagai komponen
psikologis yang satu sama lain saling berkaitan dan saling menyempurnakan bagi
hidup manusia. Komponen-komponen potensial fitrah tersebut adalah:

a. Kemampuan dasar untuk beragama Islam (al-din al-qayyim), di mana


faktor iman merupakan inti beragama manusia.

b. Mawahib (bakat) dan qabiliyyat (tendensi atau kecenderungan) yang


mengacu kepada keimanan kepada Allah.

c. Naluri dan kewahyuan (revilasi) bagaikan dua sisi dari mata uang logam,
keduanya saling terpadu dalam perkembangan manusia. Menurut Hasan

4
Langgulung, fitrah dapat dilihat dari dua segi, yakni: Pertama, segi naluri
pembawaan manusia atau sifat-sifat Tuhan yang menjadi potensi manusia
sejak lahir. Kedua, dapat dilihat dari segi wahyu Tuhan yang diturunkan
kepada nabi-nabi-Nya.

d. Kemampuan dasar untuk beragama secara umum, tidak hanya terbatas


pada agama Islam. Dengan kemampuan ini manusia dapat dididik menjadi
beragama Yahudi, Nasrani, atau Majusi, namun tidak dapat dididik
menjadi atheis (anti Tuhan).

e. Dalam fitrah, tidak terdapat komponen psikologis apapun, karena fitrah


diartikan sebagai kondisi jiwa yang suci, bersih yang reseptif terbuka
kepada pengaruh eksternal, termasuk pendidikan. 2

B. Makna Fitrah

Secara bahasa kata fitrah mengandung beberapa pengertian meliputi; sifat


asal, kesucian, bakat dan pembawaan. Merujuk pada makna ini maka fitrah
manusia dapat dimaknai sebagai sifat asal manusia, kesucian manusia, bakat
manusia dan pembawaan manusia.

Samsul Nizar tentang makna kebahasaan kata fitrah mengemukakan


bahwa, kata fitrah itu berasal dari kata “fathara” yang berarti menjadikan. Kata
tersebut berasal dari akar kata “al-faathir” yang berarti belahan atau pecahan.
Dalam al-Qur'an kata-kata yang mengacu pada pemaknaan kata fitrah muncul
sebanyak 20 kali yang tersebar di 19 surat. Secara umum pemaknaan kata fitrah
dalam al-Qur'an dapat dikelompokkan pada setidaknya empat makna, yaitu: (1)
proses penciptaan langit dan bumi, (2) proses penciptaan manusia, (3) pengaturan
alam semesta beserta isinya dengan serasi dan seimbang, (4) pemaknaan pada
agama Allah sebagai acuan dasar dan pedoman bagi manusia dalam menjalankan
tugas dan fungsinya.3

Menurut Muhaimin mengemukakan bahwa secara bahasa fitrah berarti;


ciptaan, sifat tertentu, sifat pembawaan manusia (yang ada sejak lahir), agama dan
as-Sunnah. Lebih lanjut Muhaimin dkk juga mengutip pendapat al-Ragib al-
Asfahani ketika menjelaskan makna fitrah dari segi bahasa, dia mengungkapkan
kalimat fathara Allah al-khalq, yang maksudnya Allah mewujudkan sesuatu dan
menciptakan bentuk/keadaan kemampuan untuk melakukan perbuatan-perbuatan.
Sedangkan maksud fitrah Allah sebagaimana dalam QS. Al-Rum ayat 30 adalah
2
Ibid, h. 50
3
Halid Hanafi, dkk, Ilmu Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Deepublish, 2018), h. 68

5
sesuatu kekuatan/ daya untuk mengenal/ mengakui Allah (keimanan kepadanya-
Nya) yang menetap/ menancap dalam diri manusia.4

Dapat dipahami bahwa fitrah manusia adalah kemampuan dasar atau


pembawaan yang dibawa oleh manusia yang memiliki kecenderungan untuk
berkembang dalam kehidupan dimana potensi dasar itu merupakan pemberian dari
Allah kepada manusia.

Bukhari Umar juga mengemukakan bahwa dalam studi Qur'ani, fitrah


ketika dikorelasikan dengan kalimat lain mempuyai banyak makna antara lain:

1. Fitrah berarti suci yaitu kesucian psikis yang terbebas dari dosa dan warisan
dari penyakit rokhaniah

2. Fitrah berarti potensi berislam. Abu Hurairah mengatakan bahwa fitrah itu
beragama Islam

3. Fitrah berarti mengakui keesaan Allah. Manusia lahir membawa potensi


tauhid yang cenderung berfokus pada Tuhan dan terus berupaya menemukan
dan mencapai tauhid

4. Fitrah berarti kondisi selamat dan kontinuitas

5. Fitrah berarti perasaan yang tulus. Manusia lahir dengan membawa sifat baik.
Diantara sifat itu adalah ketulusan dan kemurnian dalam melakukan aktivitas

6. Fitrah berarti kesanggupan untuk melakukan kebenaran

7. Fitrah berarti potensi dasar manusia atau perasaan untuk beribadah kepada
Allah

8. Fitrah berarti ketetapan atau takdir asal manusia mengenai kebahagiaan dan
kesengsaraan hidup

9. Fitrah berarti tabiat atau watak asli manusia

10. Fitrah berarti sifat-sifat Allah swt yang ditiupkan pada setiap manusia
sebelum dilahirkan. Bentuk-bentuknya adalah asma' al-Husnah yang dalam
al-Qur'an berjumlah 99 nama

11. Fitrah dalam beberapa hadits memiliki arti takdir. 5

4
Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam, Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di
Sekolah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h. 41

6
Jadi dapat dipahami bahwa fitrah adalah segala potensi yang diberikan
Allah kepada manusia sejak kelahirannya agar bisa menjalankan aktivitas dalam
kehidupan dimana potensi tersebut bisa berpengaruh pada aktivitas kehidupannya.

C. Macam-Macam Fitrah

Para pemerhati pendidikan Islam membagi fitrah ke dalam beberapa


macam. Jalaluddin (2001, hlm. 32-36) berpendapat bahwa semenjak pertama
manusia lahir, setidaknya manusia membawa empat fitrah (potensi) alamiah yang
dimiliki.

1. Fitrah Naluriah (hidayat al- gharizziyat)

Fitrah naluriah yaitu dorongan untuk memelihara diri, mempertahankan


diri dan dorongan untuk mengembangkan jenis, semua dorongan (drive) ini telah
melekat pada setiap manusia secara fitrah. Manusia dengan sendirinya akan
berusaha mempertahankan diri dari berbagai ganguan dan ancaman yang datang,
manusia yang bersalah pun akan melindungi dirinya. Manusia juga berusaha
memelihara, mengembangkan dan melestarikan keturunannya melalui pernikahan.
Karena yang demikian sudah merupakan fitrah setiap manusia.

2. Fitrah Inderawi (hidayat al-hassiyat)

Fitrah inderawi yaitu potensi inderawi yang berfungsi sebagai penghubung


manusia dengan dunia luar. Setiap manusia yang normal dilengkapi oleh Tuhan
dengan pancaindera, masing-masing pancaindera ini mempunyai fungsi yang
berbeda antara satu dengan yang lainnya. Potensi mata adalah untuk melihat,
selamanya mata akan tetap berfungsi untuk melihat, karena memang fitrah mata
adalah untuk melihat. Demikian juga hal dengan alat inderawi lainnya, mereka
bekerja sesuai dengan fitrahnya masing- masing.

3. Fitrah akal (hidayat al-aqliyyat)

Fitrah akal yaitu potensi akal mempunyai kemampuan untuk


menterjemahkan simbol, hal abstrak dan menganalisa suatu persoalan. Hasil
terjemahan dan analisa akal terhadap suatu fenomena, kemudian direalisasikan ke
dalam bentuk aktivitas manusia. Selamanya akal tetap berpotensi untuk berfikir,
karena fitrahnya akal adalah untuk memikirkan sesuatu yang dipikirkannya. 6

5
Op. Cit, hlm. 78-79
6
Abdul Rahman, Deri Wanto, Memantik Konsep Fitrah, Kecerdasan Spritual Anak Usia Dini
(Bengkulu, Andhra Grafika, 2021), h. 34 35

7
4. Fitrah Keagamaan (hidayat al-diniyyat)

Fitrah keagamaan yaitu potensi untuk mengabdikan diri kepada sesuatu


yang lebih tinggi. Setiap manusia mempunyai potensi untuk mengakui bahwa ada
kekuatan lain di luar kekuatan manusia. Sebagai wujud pengakuan terhadap
kekuatan tersebut manusia menganut kepercayaan yang terangkum dalam satu
agama atau bentuk lainnya. Melalui agama dan keyakinan yang diikuti inilah
manusia memenuhi kebutuhan rohaniah/spritualnya. Hal ini dilakukan karena
setiap manusia mempunyai potensi untuk beragama.

Keempat potensi ini, menurut Jalaluddin, merupakan potensi dasar


manusia yang terhimpun dalam jasmaniah, akal, nafs dan ruh. Potensi hidayat al-
gharizziyat dan bissiyat terdapat pada diri manusia sebagai mahkluk biologis.
Sementara itu potensi hidayat al-diniyyah dan bidayat al-aqliyah terdapat dalam
ruh. Dengan demikian semua potensi manusia tersebut terkumpul pada manusia
secara utuh dan menyeluruh. 7

Sementara itu, menurut Zaini dan Muhaimin (1991: 73) fitrah manusia
mencakup segala aspek kemanusian dan kehidupan manusia. Fitrah melingkupi
semua itu. Sehingga, menurut mereka fitrah itu banyak macamnya, diantaranya
fitrah agama, fitrah suci, fitrah moral/ahklak, fitrah kebenaran, fitrah kemerdekaan,
fitrah keadilan, fitrah persamaan, fitrah persatuan, fitrah individu, fitrah sosial,
fitrah seni, fitrah intelek, fitrah harga diri, fitrah musyawarah, fitrah selamat, fitrah
busana, fitrah kasih sayang, fitrah perjuangan, fitrah tanggung jawab dan fitrah
penghormatan. Tampaknya mereka ingin menjabarkan lebih jauh macam-macam
fitrah yang dimiliki oleh manusia. Macam- macam pembagian fitrah ini pada
dasarnya sudah terangkum juga dalam beberapa pendapat tokoh sebagaimana
yang disebutkan di atas.8

Sementara itu B. Suparna melihat fitrah sebagai potensi dasar yang


dimiliki oleh setiap manusia (1988: 92). Menurutnya adat empat potensi dasar
yang dimiliki manusia dalam lingkup yang lebih universal, artinya bahwa setiap
manusia yang lahir pasti memiliki potensi dasar universal. Keempat potensi dasar
universal tersebut adalah: Pertama, potensi untuk membedakan mana yang baik
dan mana yang buruk (moral identity), yang menurut Jalaluddin potensi ini
dinamakan dengan potensi akal. Kedua, potensi berupa kemampuan untuk tumbuh
dan berkembang sesuai dengan bakat dan cita-citanya (individual indentity),
potensi ini termasuk potensi naluriah. Ketiga, potensi berupa kemampuan

7
Ibid, h.36
8
Ibid, h.37

8
bekerjasama dan berhubungan dengan orang lain (social endentity). Keempat,
potensi berupa ciri khas yang membedakan manusia yang satu dengan manusia
yang lainnya (individual differents). Nampaknya B. Suparna membagi potensi
yang dimiliki manusia tersebut melalui pendekatan sosial (social approach).

Sementara itu Abdul Mujid (2002: 5-6) lebih melihat pembagian pada
struktur yang dimiliki oleh manusia. Manusia pada dasarnya bukan hanya terdiri
dari unsur rohani, tetapi juga memiliku unsur rohani. Ruh dalam pandangan
psikologi Islam bukan hanya sekedar spirit yang bersifat aradh (accident), tetapi
ruh merupakan satu jauhar (subtance) yang memiliki esksistensi sendiri di dalam
ruhani. Kombinasi antara jasmani dan rohani akan menjadikan nafsani, yang
tumbuh sejak manusia berumur empat bulan dalam kandungan. Struktur nafsani
manusia terbagi kepada tiga bagian, yaitu kalbu, akal, dan nafsu. Integrasi ketiga
unsur ini melahirkan apa yang disebut dengan kepribadian. Masing-masing unsur
ini memiliki fitrahnya sendiri. 9

Berdasarkan beberapa pandangan para ahli tersebut, ternyata pembagian


fitrah pun tidak sama. Pembagian fitrah yang berbeda-beda menurut beberapa ahli
yang telah disebutkan di atas, merupakan suatu hal yang biasa dan wajar terjadi.
Karena masing-masing mereka melihat fitrah melalui sisi yang berbeda dan
dipengaruhi oleh latar belakang disiplin ilmu yang dimiliki, malahan pada
dasarnya perbedaan tersebut saling melengkapi, memperluas pengetahuan dan
wacana tentang fitrah. 10

D. Perbandingan Teori Fitrah dengan Teori Nativisme, Emperisme, Dan


Konvergensi

Fitrah secara istilahi adalah tauhid (Islam) berupa agama yang lurus, baik,
dan tidak berubah, dimana Allah telah menganugerakan potensi tauhid ini kepada
seluruh manusia sejak lahirnya. Yang membedakan konsep fitrah dengan
Nativisme, yaitu peniadaan faktor eksternal (lingkungan) sebagai salah satu faktor
yang mempengaruhi perkembangan individu.

Sedangkan yang membedakan konsep fitrah dari empirisme adalah pada


masalah dasar yang dibawa manusia sejak lahir, dalam Empirisme manusia lahir
sebagai tabularasa sedangkan pada konsep fitrah, manusia dilahirkan dengan
membawa sejumlah bawaan atau kecenderungan diantaranya adalah potensi

9
Ibid, h. 38-39
10
Ibid, h. 41

9
tauhid. Adapun yang membedakan konvergensi dengan fitrah adalah pada dasar
yang dibawa manusia sejak lahir. Jika dasar atau potensi pada konvergensi adalah
kosong dari tauhid maka dalam konsep fitrah manusia dilahirkan dengan
membawa potensi tauhid.11

Perkembangan itu adalah suatu perubahan, yaitu perubahan ke arah yang


lebih maju, lebih dewasa Secara teknis, perubahan tersebut biasanya disebut oses
Jadi pada garis besarnya perkembangan adalah suatu proses (Sumadi,1993,178)
Perkembangan tidaklah berjalan dengan sendirinya, tetapi dipengaruhi oleh
faktor-faktor yang mempengaruhinya. Dalam psikologi Barat tendapat tiga aliran
yang membahasnya, yaitu:

1. Nativisme
Tokoh utama aliran ini adalah Schopenhauer (1788-1860) Para ahli yang
mengikuti aliran ini berpendapat, bahwa perkembangan individu scmata-mata
ditentukan oleh faktor-faktor yang dibawa sejak lahir (natus artinya lahir), jadi
perkembangan individu semata-mata tergantung kepada dasar. Para ahli yang
mengrkuti pendirian ini biasanya mempertahankan konsepsi ini dengan
menunjukan berbagai kesamaan atau kemiripan antara orang tua dengan anak-
anaknya. Misalnya jika ayahnya seorang pelukis, maka anaknya juga akan
menjadi pelukis.
Pokoknya keistimewaan-keistimewaan yang dimiliki orang tua juga
dimiliki anaknya Memang benar kenyataan menunujukkan adanya kesamaan atau
kemiripan yang besar antara orang tua dengan anak-anaknya itu. Akan tetapi
pantaslah diragukan pula, apakah kesamaan yang ada antara oran tua dengan
anaknya itu benar-benar dasar yang dibawa sejak lahir.
Sebab jika sekiranya anak seorang pelukis juga menjadi seorang pelukis,
apakah hal itu benar-benar berakar pada keturunan atau dasar? Apakah tidak
mungkin adanya fasilitas-fasilitas untuk dapat maju dalam bidang lukis ini maka
dia lalu menjadi seorang pelukis. Aliran ini tidak bisa dibenarkan, sebagaimana

11
Siti Fauziyah, "Konsep Fitrah Dan Bedanya Dari Nativisme, Emperisme, Dan Konvergensi”,
Jurnal Aqlania, Vol. 08, No. 01, 2017, h.81

10
yang terjadi pada kasus Qanaan, anak Nabi Nuh Seperti yang diambarkan Alquran
dalam surah Hud:42-43.
Jadi, seorang ayah yang beriman belum tentu anaknya juga akan menjadi
orang beriman. Begitu juga seorang musyrik belum tentu anaknya menjadi
musyrik, jika dia dididik menjadi mukmin kemungkinan besar dia pun akan
menjadi mukmin.
2. Empirisme
Tokoh utama aliran ini adalah John Locke (1632-1704) Para ahli yang
mengikuti pendirian aliran ini mempunyai pendapat yang langsung bertentangan
dengan pendapat aliran Nativisme, yaitu bahwasannya perkembangan itu semata-
mata pada faktor lingkungan, sedangkan dasar tidak memainkan peran sama
sekali.
Banyak para ahli yang walaupun tidak secara eksplisit menolak peranan
dasar itu, namun karena dasar itu sukar ditentukan, maka praktis yang dibicarakar
hanyalah lingkungan, dan sebagai konsekuensinya juga hanya lingkunganlah yang
masuk percaturan. Aliran ini juga tidak bisa dibenarkan karena sejumlah potensi
yang bisa berkembang karena pengaruh lingkungan.
Sebagaimana yang terjadi pada Asiah binti Muzahim seorang wanita
beriman yang diperisri Firaun. Meskipun ia hidup di lingkungan kerajaan Firaun
yang zalim dan kafir, tetapi dia tetap beriman kepada Allah. la tidak terpedaya
oleh kemewahan dan kekejaman Firaun. Seperti dalam firman Allah: "Allah
membuat istri Firaun perumpaan bagi orang-orang yang beriman, ketika ia
berkata:"Ya Tuhanku bangunlah untukku sebuah rumah di sisiMu dalam surga
dan selamatkanlah aku dari kaum yang zalim." Dengan demkian lingkungan
bukanlah satu-satunya faktor yang mempengaruhi manusia.
3. Konvergensi
Tokoh utama aliran ini adalah Louis William Stern (1871-1938). Aliran
Konvergensi berpendapat bahwa di dalam perkembangan individu baik dasar atau
pembawaan maupun lingkungan inemainkan peranan penting. Bakat sebagai
kemungkinan telah ada pada masing-masing individu, akan tetapi bakat yang yang

11
sudah tersedia itu perlu menemukan lingkungan yang sesuai supaya dapat
berkembang.
Sebagai contoh, tiap anak manusia yang normal mempunyai bakat untuk
berdiri tegak di atas kedua kaki, akan tetapi bakat ini tidak akan menjadi aktual
(kenyataan) jika sekiranya anak manusia itu tidak hidup dalam lingkungan
manusia.
Pandangan ini bisa dibenarkan pula, karena konvergensi berangkat dari
skulerisme yang mengangeap agama tidak punya peran penting dalam totalitas
kehidupan manusia. Bakat atau potensi dalm konvergensi adalah potensi yang
kosong dari nilai-nilai agama (tauhid). .Seperti yang terjadi pada kisah Nabi
Ibrahim, walaupun bapaknya adalah seorang kafir produsen berhala dan
lingkungan sekitarnya dipenuhi dengan kemusyrikan, tetapi dia adalah seorang
mukmin dan menjadi Nabi bagi umatnya pada masa itu karena memang pada
setiap diri manusia telah terdapat potensi tauhid yang akan berkembang jika
manusia berusaha merealisasikannya dengan usaha yang sungguh-sungguh.
Dengan bimbingan wahyu Ilahi (hidayah din) itulah ia dapat
mengembangkan potensi tauhidnya sehingga ia dapat menemukan kebenaran yang
hakiki Di salah satu khotbahnya yang dimuat dalam Nahj al-Balagah, dan sesudah
menyinggung penciptaan langgit dan bumi, Ali bin Abi Talib berkata: ".. .
Kemudian Allah mengutus rasul-rasul-Nya di tanah mereka, dan berturut-turut
mengirimkan nabi-nabi-Nya agar mereka merealisasikan perjanjian fitrah mereka,
mengingatkan mereka akan nikmat-nikmat-Nya yang telah mereka lupakan, agar
mereka dapat menyampaikan risalah, membangkitkan pendaman-pendaman akal
mereka, dan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda kekuasaan-
Nya."(Murtadha Mutahhari, 1998:189).
Dengan demikian Nabi-nabi bertugas mengingatkan manusia akan
perjanjiannya dengan Tuhan, yaitu mengakui eksistensi dan keesaan Tuhan
(QS.al-A'raf. 172) sekaligus membimbing dan membantu umat manusia dalam
merealisasikan potensi yang terpendam (fitrah) agar manusia memperoleh

12
kebaikan hidup di dunia dan akhirat dan tidak terjerumus dalam jurang kesesatan
dan kehancuran. 12
E. Hubungan Fitrah Dengan Pendidikan

Konsep fitrah menuntut agar pendidikan Islam diarahkan agar senantiasa


bertumpu pada tauhid. Hal ini dimaksudkan untuk memperkuat hubungan yang
mengikat manusia dengan Allah SWT. Apa pun yang dipelajari peserta didik
semestinya tidak bertentangan dengan prinsip tauhid. Konsep tauhid inilah yang
menekankan keagungan Allah dan harus dipatuhi dan diperhatikan dalam
kurikulum pendidikan Islam. Dengan demikian prinsip fitrah dalam Islam akan
menimbulkan banyak karakter ideal, antara lain:

1. Karakter atau kepribadian Rabbani, yaitu kepribadian seorang muslim yang


mampu mentrans-internalisasikan (mengamalkan) sifat-sifat asma Allah ke dalam
tingkah laku nyata. Proses pembentukan kepribadian ini dapat dilakukan tiga
tahap:

a.Proses ta‟alluq adalah menggantungkan kesadaran diri dan pikiran


kepada Allah dengan cara berpikir dan berzikir kepada-Nya.

b. Proses takhalluq yaitu adanya kesadaran diri untuk mengamalkan sifat-


sifat dan asma Allah sebatas kemampuan manusiawi.

c. Proses tahaqquq yaitu kesadaran diri akan adanya kebenaran, kemuliaan


dan keagungan Allah SWT sehingga tingkah lakunya didominasi oleh-
Nya.

2. Karakter atau kepribadian malaki: kepribadian muslim yang mampu mentrans-


internalisasikan sifat-sifat malaikat yang agung dan mulia, yaitu dengan cara
menjalankan perintah Allah (tidak melakukan perbuatan maksiat) serta selalu
bertasbih kepada-Nya.

12
Ibid, h.95-99

13
3. Karakter atau kepribadian Qur‘ani: kepribadian muslim yang mampu mentrans-
internalisasikan ajaran al-Qur‘an, sehingga segala ucapan dan perbuatannya
menjadi petunjuk (hudan) dan paternalisasi (uswah hasanah) padanya.

4. Karakter atau kepribadian rasuli; kepribadian muslim yang mampu mentrans-


internalisasikan sifat-sifat rasul yang mulia, antara lain jujur (shidq), dapat
dipercaya (amanah), menyampaikan informasi ayau wahyu (tabligh) dan cerdas
(fathonah).

5. Karakter atau kepribadian yang berwawasan masa depan (Akhirat).


Kepribadian ini menghendaki adanya karakter yang mementingkan masa depan
dari pada masa kini, bertanggung jawab, dan memiliki konsistensi yang tinggi
dalam melaksanakan ibadah kepada Allah. 6. Karakter atau kepribadian taqdiri,
suatu kepribadian yang menghendaki adanya penyerahan dan kepatuhan pada
hukum-hukum Allah (termasuk sunnatullah) dan aturan-aturan-Nya. 13

13
Afifuddin Harisah, Filsafat Pendidikan Islam Prinsip dan Dasar Pengembangan, Deepublish,
Yogyakarta, 2018, h.54-56

14
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dalam pandangan Islam kemampuan dasar atau pembawaan itu disebut


dengan fitrah, dalam pengertian etimologis mengandung arti kejadian. Kata fitrah
ini disebutkan dalam al-Qur'an (QS. Al- Ruum:30): “Maka hadapkanlah wajahmu
dengan lurus kepada agama (Allah), (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah
menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah.
(Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.”

fitrah manusia adalah kemampuan dasar atau pembawaan yang dibawa


oleh manusia yang memiliki kecenderungan untuk berkembang dalam kehidupan
dimana potensi dasar itu merupakan pemberian dari Allah kepada manusia.

Sementara itu, menurut Zaini dan Muhaimin (1991: 73) fitrah manusia
mencakup segala aspek kemanusian dan kehidupan manusia. Fitrah melingkupi
semua itu. Sehingga, menurut mereka fitrah itu banyak macamnya, diantaranya
fitrah agama, fitrah suci, fitrah moral/ahklak, fitrah kebenaran, fitrah kemerdekaan,
fitrah keadilan, fitrah persamaan, fitrah persatuan, fitrah individu, fitrah sosial,
fitrah seni, fitrah intelek, fitrah harga diri, fitrah musyawarah, fitrah selamat, fitrah
busana, fitrah kasih sayang, fitrah perjuangan, fitrah tanggung jawab dan fitrah
penghormatan.

Yang membedakan konsep fitrah dari empirisme adalah pada masalah


dasar yang dibawa manusia sejak lahir, Adapun yang membedakan konvergensi
dengan fitrah adalah pada dasar yang dibawa manusia sejak lahir. Jika dasar atau
potensi pada konvergensi adalah kosong dari tauhid maka dalam konsep fitrah
manusia dilahirkan dengan membawa potensi tauhid. Konsep fitrah menuntut agar
pendidikan Islam diarahkan agar senantiasa bertumpu pada tauhid. Konsep tauhid
inilah yang menekankan keagungan Allah dan harus dipatuhi dan diperhatikan
dalam kurikulum pendidikan Islam.

B. Saran

Dalam pembuatan makalah ini penulis merasa banyak sekali kekurangan


dan keterbatasan sehingga perlu penyempurnaan serta kritik dan saran yang
membangun dari berbagai pihak untuk perbaikan makalah ini dimasa yang akan
datang.

15
DAFTAR PUSTAKA

Fauziyah, Siti. 2017, Konsep Fitrah Dan Bedanya Dari Nativisme, Emperisme,
Dan Konvergensi , Jurnal Aqlania : Vol. 08, No. 01.

Harisah, Afifuddin. 2018, Filsafat Pendidikan Islam Prinsip dan Dasar


Pengembangan, Yogyakarta : Deepublish.

Hanafi, Halid. dkk, 2018, Ilmu Pendidikan Islam, Yogyakarta : Deepublish.

Muhaimin. 2005, Paradigma Pendidikan Islam, Upaya Mengefektifkan


Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Rahman, Abdul dan Deri Wanto. 2021, Memantik Konsep Fitrah, Bengkulu :
Andhra Grafika.

16

Anda mungkin juga menyukai