Anda di halaman 1dari 6

MAKALAH PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FITRAH MANUSIA DALAM PERSPEKTIF ISLAM

Dosen : Shoni Rahmatullah Amrozi, MPd.I

Oleh :

1. Herlinda Puji Lestari 142010101009


2. Systriana Esi 142010101031
3. Khana Nurfadhila 142010101034
4. Graita Yuli Ambarwati 142010101054

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS JEMBER

2014
Pendahuluan

Manusia insan secara kodrati, sebagai ciptaan Allah SWT yang sempurna
bentuknya dibandingkan dengan ciptaan Allah lainnya. Manusia juga sudah
dilengkapi dengan kemampuan mengenal dan memahami kebenaran dan
kebaikan yang terpancar dari ciptaan-Nya. Kemampuan lebih yang dimiliki
manusia itu adalah kemampuan akalnya Manusia, di samping sebagai pelaku
atau subjek, juga merupakan objek atau sasaran dari pendidikan. Manusialah
yang menjadi bahan baku yang akan dibentuk sesuai dengan keinginan
pendidiknya. Para pendidik sebagai subjek yang bertugas mengarahkan dan
membimbing anak didiknya dituntut agar memahami dan memiliki konsep
yang jelas dan benar tentang hakikat dan karakteristik manusia, baik hakikat
dan karakteristik manusia yang akan dididik maupun hakikat dan karakteristik
manusia ideal yang dicita-citakan. Hal ini tak ubahnya seperti pandai besi yang
harus mengetahui hakikat dan karakteristik besi yang akan ditempa dan
dibentuk serta produk yang akan dihasilkannya. Praktek pendidikan akan gagal
atau berlangsung tanpa arah yang terkendali bila diselenggarakan tanpa
memperhatikan dan berdasarkan konsep yang jelas dan benar mengenai
manusia. Pelaksanaan pendidikan sangat ditentukan oleh pandangan pelakunya
tentang manusia itu sendiri.

Pengertian Fitrah

Dari segi bahasa, kata fitra berasal dari kata al-fathr, fatara, yafturu,
fatran yang berarti belahan, dan dari makna ini lahir makna-makna lain
antara lain penciptaan atau kejadian. Jadi fitrah manusia adalah
kejadiannya sejak semula atau bawaan sejak lahir.
Ungkapan fitrah belum memberikan gambaran yang definitif tentang
keadaan dan sifat manusia ketika ia dilahirkan ibunya. Fitrah bukan kata
sifat yang dapat menjelaskan secara langsung hakikat dan karakteristik
manusia pada saat ia dilahirkan.
Ungkapan manusia dilahirkan dalam keadaan suci sebagai terjemahan
kata fitrah kurang tepat. Agaknya, ungkapan itu lebih tepat diterjemahkan
dengan pernyataan bahwa setiap anak dilahirkan dalam suatu kondisi
tertentu sesuai dengan program Allah. Hal itu tak ubahnya seperti kertas
yang dibuat sebagai alat tulis. Penggunaan kertas untuk tujuan lain adalah
penyimpangan, tidak sesuai dengan tujuan dan rencana pembuatnya.
Melalui sabdanya ini, sesungguhnya, Nabi mengingatkan bahwa orang tua
mempunyai tanggung jawab bila anak-anak yang mereka lahirkan
kemudian menyimpang dari program yang telah dicanangkan Allah. Tentu
saja sebaliknya, keberhasilan orang tua untuk membina anaknya sesuai
dengan rancangan Allah merupakan amal saleh yang layak mendatangkan
pahala bagi mereka. Hal ini erat kaitannya dengan hadis yang menyatakan
bahwa anak yang saleh merupakan salah satu investasi orang tua yang
keuntungannya masih akan didapatkannya meskipun mereka telah wafat.
Pembicaraan tentang fitrah manusia melibatkan pembahasan tentang
berbagai aspek yang terkait dengan manusia itu sendiri ketika ia
diciptakan, baik aspek yang terkait dengan fisik maupun dengan psikisnya.
Pembahasan tersebut mencakup keseluruhan hakikat, karakter, dan makna
eksistensial manusia. Kesucian boleh jadi merupakan salah satu aspek
penting berkenaan dengan konsepsi Islam tentang fitrah manusia. Namun,
masih banyak aspek lain yang perlu dijelaskan untuk menggambarkan
keadaan manusia ketika diciptakan.

Fitrah manusia dalam perspektif islam

Dua macam fitrah yang dimiliki manusia sejak lahir

- fitrah ilahiyah

Yang tercakup adalah fitrah tauhid Di dalam Al-Quran (QS. Al-Ruum 30)
diungkapkan:
Artinya:
Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah; (tetaplah
atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak
ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi
kebanyakan manusia tidak mengetahui.

Merujuk kepada fitrah yang di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa


manusia sejak asal kejadiaannya membawa potensi beragama yang lurus,
dan dipahami oleh para ulama sebagai tauhid.

- Fitrah jasadiyah
Yang terkait dalam alat-alat potensi manusia

Ahmad Tafsir menjelaskan bahwa Fitrah (potensi) yang dijelaskan oleh Al-
Quran antara lain;

Manusia sebagai makhluk sosial, artinya manusia itu membawa sifat


ingin bermasyarakat. (QS. Al-Hujurt 13)
Manusia sebagai makhluk yang ingin beragama (QS Al-Midah 3; Al-
Arf 172), karena itu pendidikan agama dan lingkungan beragama
perlu disediakan bagi manusia.
Manusia itu mencintai wanita dan anak-anak, harta benda yang
banyak, emas dan perak, kuda-kuda pilihan (kendaraan sekarang),
ternak dan sawah lading (QS. Ali Imrn: 14)

Dalam perspektif Al-Quran, manusia merupakan salah satu subjek yang


dibicarakan, terutama yang menyangkut asal-usul dengan konsep
penciptaannya, kedudukan manusia dan tujuan hidupnyaHal ini
memperlihatkan bahwa manusia merupakan satu kesatuan yang utuh,
antara aspek material (fisik/jasmani), immaterial (psikis/ruhani) yang
dipandu oleh Ruh Ilahiah dan akal. Aspek-aspek tersebut saling
berhubungan.

Kesatuan wujud manusia antara fisik, psikis dan akal serta didukung oleh
potensi-potensi yang ada membuktikan bahwa manusia sebagai ahsan al-
taqwim. Dalam hubungannya dengan Pendidikan Islam, menempatkan
manusia pada posisi yang strategis, yaitu:

a. Manusia sebagai makhluk yang mulia


b. Manusia sebagai Khalifah Allah di muka bumi
c. Manusia sebagai makhluk paedagogik

Manusia adalah makhluk paedagogik, karena memiliki potensi dapat


dididik dan mendidik sehingga mampu menjadi khalifah di bumi. Manusia
dilengkapi dengan fitrah Allah, berupa bentuk atau wadah yang dapat diisi
dengan berbagai kecakapan dan keterampilan yang dapat berkembang,
sesuai dengan kedudukannya sebagai makhluk yang mulia. Pikiran,
perasaan dan kemampuannya berbuat merupakan komponen dari fitrah itu.

Fitrah sebagai alat potensi

1. al-lamsdan al-Syams (alat peraba dan alat pencium/pembau), sebagaimana


firman Allah dalam Q.S. al-Anam ayat 7 dan Q.S. Yusuf ayat 94.
2. Al-Syamu (alat pendengaran). Penyebutan alat ini dihubungkan dengan
penglihatan dan qalbu, yang menunjukkan adanya saling melengkapi
antara berbagai alat untuk mencapai ilmu pengetahuan, sebagaimana
firman Allah dalam Q.S. al-isra ayat 36, al-Muminun ayat 78, al-Sajdah
ayah 9, al-Mulk ayat 23 dan sebagainya.
3. Al-Absar (penglihatan ). Banyak ayat al-Quran yang menyeru manusia
untuk melihat dan merenungkan apa yang dilihatnya, sehingga dapat
mencapai hakekatnya. Sebagaimana firman Allah dalam Q.S. al-Araf ayat
185, Yunus ayat 101, al-Sajdah ayat 27 dan sebagainya.
4. Al-Aql (akal atau daya berfikir). Al-Quran memberikan perhatian khusus
terhadap penggunaan akal dalam berfikir, sebagaimana firman Allah dalam
Q.S. Ali Imran ayat 191. Dalam al-Quran dijelaskan bahwa penggunaan
akal memungkinkan diri manusia untuk terus ingat dan
memikirkan/merenungkan ciptaan-Nya, sebagaimana firman-Nya dalam
Q.S. al-Rad ayat 19. Dan penggunaan akal memungkinkan manusia
mengetahui tanda-tanda (kebesaran/keagungan) Allah serat mengambil
pelajaran dari padanya. Dalam berbagai ayat, kata al-nuha sebagai makna
al-uqul sebagaimana firman-Nya dalam Q.S. Thaha ayat 53-54 dan
sebagainya.
5. Al-qalb (kalbu). Hal ini termasuk marifah yang digunakan manusia untuk
dapat mencapai ilmu, sebagaimanan firman Allah Q.S. al-Hajj ayat 46,
Q.S. Muhammad ayat v24 dan sebagainya. Kalbu ini mempunyai
kedudukan khusus dalam marifah illahiyah, dengan kalbu manusia dapat
meraih bergai ilmu serta marifah yang diserap dari sumber ilahi. Dan
wahyu itu sendiri diturunkan ke dalam kalbu Nabi Muhammad SAW
sebagaimana firman Allah-Nya Q.S. al-Syuara ayat 192-194.

Setiap manusia dilengkapi dengan potensi akal, bakat, fantasi maupun gagasan.
Potensi ini dapat mengantarkan manusia memiliki peluang untuk bisa menguasai
serta mengembangkan ilmu dan teknologi dan sekaligus menempatkannya
sebagai makhluk berbuday.

Kemampuan kemampuan dasar dan kecenderungan-kecenderungan yang murni


sebagai individu. Kemampuan-kemampuan dan kecenderungan tersebut lahir
dalam bentuk yang sederhana dan terbatas kemudian saling memengaruhi dengan
lingkungan sehingga dapat tumbuh dan berkembang menjadi lebih baik atau
sebaliknya.

Potensi dasar yang dimiliki manusia tersebut masih merupakan barang yang
terpendam dalam dirinya. Bila potensi tersebut dibiarkan terus menerus maka ia
akan menjadi statis dan tidak berkembang walaupun dia telah memasuki usia
yang panjang. Sentuhan-sentuhan dari pihak lain tetap merupakan sebuah
keharusan bagi nya agar potensi tersebut berubah menjadi dinamis dan dapat
berkembang sesuai dengan kehendak penciptanya.

Anda mungkin juga menyukai