Anda di halaman 1dari 13

Peserta Didik Dalam Tinjauan Pendidikan Islam

Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah

Ilmu Pendidikan Islam

Dosen Pengampu:

Roni Harsoyo, M.Pd.

Disusun Oleh: Kelompok 3

Kelas PAI. M

1. Nur Anisah Rizqi Hamidah (201190437)


2. Ridwan Wahyudi (201190447)
3. Riko Herdiansah (201190449)

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

INSTITUT AGAMA ISLAM

NEGERI PONOROGO
2019/2020
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Konsep Fitrah Dalam lslam Dan lmplikasinya Terhadap Pendidikan Islam
mempunyai peranan yang sangat strategis dalam meningkatkan sumber daya manusia,
yang mana dalam ajaran Islam menempatkan manusia sebagai kesatuan yang utuh antara
sisi duniawi maupun ukhrowi. Manusia telah diamanahi sebagai khalifah oleh Allah SWT
di muka bumi dengan tugas mensejahterakan dan memakmurkan kehidupan manusia itu
sendiri. Dalam melaksanakan tugasnya tersebut manusia dilengkapi dengan kewenangan
untuk mengambil inisiatif dalam mengubah kehidupannya menjadi lebih baik. Al-Qur’an
menegaskan tentang sendi-sendi kemuliaan serta kedudukan ilmu pengetahuan secara
kreatif, Sehingga manusia mampu mengaktualisasikan perwujudan potensi dalam dirinya.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Proses Kejadian Manusia Perspektif Al-Qur’an Dan Nilai Pendidikan
Yang Terkandung Di Dalamnya?
2. Bagaimana Konsep Fitrah Dalam Islam?
3. Bagaimana Perspektif Islam Tentang Aliran Nativisme, Empirisme, Dan
Konvergensi?
4. Bagaimana Adab Dan Etika Peserta Didik Dalam Mencari Ilmu?
C. Tujuan
1. Untuk Mengetahui Proses Kejadian Manusia Perspektif Al-Qur’an Dan Nilai
Pendidikan Yang Terkandung Di Dalamnya.
2. Untuk Mengetahui Konsep Fitrah Dalam Islam.
3. Untuk Mengetahui Perspektif Islam Tentang Aliran Nativisme, Empirisme, Dan
Konvergensi.
4. Untuk Mengetahui Adab Dan Etika Peserta Didik Dalam Mencari Ilmu.
PEMBAHASAN

A. Proses Kejadian Manusia Perspektif Al-Qur’an Dan Nilai Pendidikan Yang


Terkandung Di Dalamnya
1. Pengertian Manusia
Sebagian ilmuan berpendapat bahwa manusia adalah makhluk sosial karena ia
melihat dari aspek sosialnya. Sebagian lagi berkomentar bahwa manusia adalah binatang
cerdas yang menyusui atau makhluk yang bertanggung jawab dan lain sebagainya.1
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, manusia diartikan sebagai makhluk yang berakal.
Selaku umat Islam yang menjadikan Al-Qur’an dan hadis sebagai sumber ajaran perlu
mengkaji dan meneliti apa dan bagaimana manusia dalam gambaran keduanya dengan
pendekatan istilah yang digunakan untuk manusia.2
Menurut M. Dawam Raharjo istilah manusia yang diungkapkan dalam Al-Qur’an
seperti basyar, insan, unas, ins, ‘imru’ atau yang mengandung pengertian perempuan
seperti imra’ah, nisa’ atau niswah atau dalam ciri personalitas, seperti al-atqa, al-abrar,
atau ulu al-albab, juga sebagai bagian kelompok sosial seperti al-asyqa, zu alqurba, al-
du‘afa atau al-mustad‘afin yang semuanya mengandung petunjuk sebagai manusia dalam
hakekatnya dan manusia dalam bentuk kongkrit.3 Meskipun demikian untuk memahami
secara mendasar dan pada umumnya ada tiga kata yang sering digunakan Al-Qur’an
untuk merujuk kepada arti manusia, yaitu insan dengan segala modelnya, yaitu ins, al-
nas, unas atau insan, dan kata basyar serta kata bani Adam atau zurriyat Adam.4
Dengan demikian, makna manusia dalam istilah Al-Basyar, Al-Insan, Al-Ins, Al-
Nas dan Bani Adam mencerminkan karakteristik dan kesempurnaan penciptaan Allah
terhadap makhluk manusia, bukan saja sebagai makhluk biologis dan psikologis
melainkan juga sebagai makhluk religius, makhluk sosial dan makhluk bermoral serta
makhluk kultural yang kesemuanya mencerminkan kelebihan dan kemuliaan manusia
daripada makhluk-makhluk Tuhan lainnya.

1
M. Quraish Shihab, Dia Ada Dimana-mana (Cet. IV; Jakarta: Lentera Hati, 2006), hal. 111.
2
Abdul Ghaffar, MANUSIA DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’AN, Tafsere Volume 4 Nomor 2, 2016, hal. 231.
3
Dawam Raharjo, Pandangan al-Qur’an Tentang Manusia Dalam Pendidikan Dan Perspektif al-Qur’an
(Yogyakarta : LPPI, 1999), hal. 18.
4
Rif’at Syauqi Nawawi, Konsep Manusia Menurut al-Qur’an dalam Metodologi Psikologi Islami,
(Yogyakarta Pustaka Pelajar, 2000), hal. 5.
B. Konsep Fitrah Dalam Islam
Kata fitrah berasal dari kata fatara, yafturu, fatran. Secara bahasa, kata fitrah
mempunyai arti ciptaan atau sifat pembawaan (yang ada sejak lahir), fitrah, agama dan
sunnah. Makna fitrah secara bahasa ini di padankan dengan kata khalaqa. Kata khalaqa
banyak digunakan oleh Allah untuk menyatakan penciptaan sesuatu, seperti
khalaqallahus samawati wal ard (Allah telah menciptakan langit dan bumi). Oleh karena
itu semua ayat yang menggunakan kata khalaqa menisbatkan fa’il nya kepada Allah,
karena hanya Dialah yang mampu menciptakan segala sesuatu. Sementara manusia
mampu membuat sesuatu karena segala sesuatunya sudah tersedia di alam raya ini.5
Penjelasan makna fitrah sebagaimana tersebut di atas lebih menafsirkan fitrah dari
aspek aqidah yang bersentuhan dengan keyakinan dan pengakuan manusia akan
keberadaan Allah, sehingga makna fitrah lebih terkait dengan urusan jiwa manusia. Satu
hal yang mesti harus disadari adalah bahwa manusia itu terdiri dari dua unsur. Pertama,
unsur jasmani yang selalu bisa ditangkap oleh indera manusia dan kedua, unsur jiwa
yang keberadaannya tidak dapat ditangkap oleh indera. Masing-masing dari kedua unsure
tersebut memiliki pembawaan asli yang dibawa sejak lahir, yang dalam perjalanan hidup
tidak bisa dipandang remeh.
Dalam kesempatan lain Muhaimin dkk memberikan pengertian fitrah sebagai alat-
alat potensial dan potensi-potensi dasat yang harus diaktuaHsasikan dan atau
ditumbuhkembangkan dalam kehidupan nyata di dunia. Untuk menguatkan pendapatnya
tersebut Muhaimin dkk mengutip pendapat Abdul Fatah Jalal yang memerinci alat-alat
potensial manusia ke dalam beberapa hal. Menurut AbduI Fatah Jalal manusia
dianugerahi 5 macam alat potensial yang dapat digunakan untuk meraih Hmu
pengetahuan. Kelima alat tersebut adalah:
1. Al-Lams (alat peraba dan alat pencium), sebagaimana firman Allah dalam
Q.S. Al-An'am ayat 7 dan Q.S. Yusuf ayat 94.
2. Al-Sam'u (alat pendengaran). Penyebutan alat ini dihubungkan dengan
pengelihatan dan qalbu, yang menunjukkan adanya Sali ng melengkapi antara
berbagai alat untuk mencapai iknu pengetahuan, sebagaimana firman Allah

5
Mujahid, Konsep Fitrah dalam Islam dan Implikasinya Terhadap Pendidikan Isalm, (Jurnal Pendidikan
Agama Islam Vol. 2 No. 1 Tahun 2005), hal. 25
dalam Q.S. Al Al-Isra' ayat 36, AI-Mu'minun ayat 78, Al-Sajdah ayat 9, dan
sebagainya.
3. Al-Absar (penglihatan). Banyak ayat aI-Qur'an yang menyeru manusia untuk
melihat dan merenungkan apa yang dilihatnya, sehingga dapat mencapai
hakekatnya. Sebagaimana firman Allah dalam Q.S. Al-A'raf ayat 185, Yunus
ayat 101, al-Sajdah ayat 27 dan sebagainya.
4. Al-‘Aql (akal atau daya berfikir). Al-Qur'an memberikan perhatian khusus
terhadap penggunaan akal dalam berfikir, sebagaimana firman Allah dalam
Q.S. Ali Imran ayat 191. Dalam AI-Qur'an dijelaskan bahwa penggunaan akal
memungkinkan diri manusia untuk terus ingat (dzikr) dan merenungkan
ciptaan-Nya, sebagaimana firman-Nya dalam Q.S. Al-Ra'd ayat 19. Dan
penggunaan akal memungkinkan manusia mengetahui tanda-tanda keagungan
Allah serta mengambil pelajaran dari padanya.
5. Al-Qalb (kalbu). Hal ini termasuk alat ma’rifah yang digunakan manusia
untuk mencapai ilmu, sebagaimana firman Allah Q.S. Al-Hajj ayat 46, Q.M.
Muhammad ayat 24 dan lain sebagainya. Kalbu ini mempunyai kedudukan
khusus dalam ma’rifah ilaiyah, dengan kalbu manusia dapat meraih berbagai
ilmu serta ma’rifah yang diserap dari sumber ilahi.
C. Perspektif Islam Terhadap Aliran Nativisme, Empirisme, Dan Konvergensi
1. Aliran Nativisme
Menurut Ngalim Purwanto, aliran nativisme dengan tokohnya Arthur
Scopenhaure(1788-1860) berpendapat bahwa manusia telah ditentukan oleh faktor-faktor
pembawaan yang dibawa sejak lahir yang selanjutnya menetukan hasil
perkembangannya. Menurut aliran ini pendidikan tidak dapat mengubah sifat-sifat
pembawaan, dengan demikian, pendidikan yang diberikan kepada peserta didik tidak ada
artinya atau tidak diperlukan. Aliran ini selanjutnya dikenal sevagai aliran psimisme
pedagogis.6
Menurut aliran nativisme ini bahwa yang menentukan pendidikan seseorang
adalah faktor pembawaan yang bersifat kodrati dan dibawa sejak lahir. Pembawaan ini
tak dapat diubah oleh pengaruh lingkungan sekitar. Dengan demikian, pendidikan adalah

6
Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoristis dan Praktis, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1995) hal.59
sebuah proses menumbuhkan faktor pembawaan yang ada sejak lahir yang selanjutnya
membentuk kepribadian. Potensi-potensi hereditas itulah pribadi seseorang, dan bukan
hasil pengaruh lingkungan yang masuk kedalam dirinya. Tanpa adanya potensi –potensi
hereditas yang baik, seseorang tak mungkin mencapai taraf yang dikehendaki, meskipun
didikan dari luar itu bersifat maksimal. Seseorang anak yang potensi hereditasnya rendah
akan tetap rendah meskipun sudah dewasa. Pendidikan (dalam arti pengaruh dari
lingkungan) tidak dapat mengubah manusia, karena potensi tersebut bersifat kodrati.
Dengan demikian pendidikan menurut aliran nativisme, sepenuhnya ditentukan
oleh faktor pembawaan dari dalam. Berbagai pengaruh dari luar, termasuk lingkungan
dan pendidikan yang pompakan dari luar sama sekali tidak dianggap sebagai faktor yang
menentukan pendidikan seseorang.
Jika ditinjau dari sudut ajaran Islam tampak bahwa sebagian dari pandangan
tersebut ada yang sejalan dengan ajaran islam. Islam benar mengakui ada faktor
pembawaan, sifat dan kecenderungan anak didik yang selanjutnya dapat dijelaskan dalam
konsep fitrah sebagaiman tersebut. Namun Islam menganggap aliran nativisme ini terlalu
ekstrem, karena sama sekali tidak mengakui faktor lingkungan dan usaha yang dilakukan
melalui kegiatan pendidikan. Kehadiran para Nabi dan Rasul yang diutus untuk
membimbing dan meluruskan manusia dari kesesatan misalnya, tidak diakui sebagai
sebuah kepentingan yang sangat mempengaruhi manusia.7
2. Aliran Empirisme
Aliran empirisme merupakan kebalikan aliran nativisme, dengan tokoh utama
John Locke(1632-1704). Nama asli aliran ini adalah The School of British
Empiriscism(aliran empirisme inggris). Akan tetapi aliran ini lebih berpengaruh pada
pemikiran Amerika Serikat, sehingga melahirkan sebuah aliran filsafat bernama
Environmentalisme(aliran lingkungan) dan psikologi bernama Environmental
Psichology(psikologi lingkungan) yang relatif masih baru.8
Aliran ini berpendapat bahwa dalam perkembangan peserta didik hingga menjadi
manusia yang dewasa sanga ditentukan oleh faktor lingkungan atau pendidikan serta
pngalaman yang diterimanya sejak kecil. John Locke berkesimpulan bahwa setiap
7
H. Abuddin Nata, Perspektif Islam Tentang Strategi Pembelajaran, (Jakarta: Kencana Prenadamedia
Group,2009). Hlm.120
8
Remiswal & Arham Junaidi Firman, Konsep Fitrah Dalam Pendidikan Islam,(Yogyakarta:Deandra
Kreatif, 2018) hlm. 187
individu yang dilahirkan ibarat kertas putih, dan lingkungan serta faktor yang lain itulah
ibarat yang menulis atau mengisi kertas putih tersebut. Teori ini kemudian dikenal
dengan teori Tabularasa atau teori empirisme, bagi john lock, bahwa faktor pengalaman
yang berasal dari lingkungan itu relatif dapat diatur dan dikuasai manusia. Dengan
demikian, teori ini bersifat optimis, dengan tiap-tiap perkembangan pribadi.9
Selanjutnya menurut aliran empirisme bahwa manusia dapat dididik menjadi apa
saja (kearah yang baik atau buruk) menurut kehendak lingkungan atau pendidiknya.
Pendidikan dapat memegang peranan penting dalam perkembangan anak, sedangkan
bakat pembawaannya bisa tertutupi dengan serapat-rapatnya oleh pendidikan tersebut.
Dalam pendidikan, kaum empirisme ini dikenal dengan nama optimisme pedagogis
sebagai lawan dari aliran psimisme pedagogis sebagaimana dianut oleh aliran nativisme.
Dalam pandangan Islam, alian ini ada benarnya dan ada pula tidak benarnya.
Benarnya adalah, karena aliran ini sejalan dengan pandangan islam yang mengatakan
bahwa lingkungan atau pendidikan sangat mempengaruhi pertumbuhan dan
perkembangan anak didik, namun tidak dapat di ekstrimkan demikian. Pemdidikan atau
lingkungan tidak sepenuhnya dapat mempengaruhi anak didik. Kelahiran Nabi
Muhammad SAW misalnya, beliau berada dalam lingkungan yang kurang kondusif, yaitu
lingkungan para penyembah berhala, semangat kesukuan yang tinggi, suka berperang,
terbiasa dengan budaya judi, mabuk-mabukan dan berbagai hal lainnya. Namun Nabi
Muhammad bisa menjadi nabi, seorang yang sempurna.
Dengan demikian Nabi Muhammad SAW tidak sepenuhnya dipengaruhi oleh
faktor lingkungan, melainkan oleh faktor lainnya, yaitu watak, tabi’at, sifat dan
pembawaan yang beliau bawa sejak lahir untuk menjadi seorang nabi yang mulia. Faktor
lingkungan/pendidikan dan pembawaan dalam perspektif islam sama-sama memiliki
andil dalam membentuk sifat dan karakter manusia.10
3. Aliran Konvergensi
Menurut aliran konvergensi dengan tokohnya William Stern (1871-1939) bahwa
anak dilahirkan dengan pembawaan baik dan buruk. Menurutya, bahwa pendidikan
bergantung kepada pembawaan anak dan lingkungannya. Pembawaan dan lingkungan itu

9
Mohammad Noor Syam, Filsafat Pendidikan Dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila, (Surabaya:
Usaha Nasional, 1986) hlm. 41
10
Abuddin Nata, Ibid, hlm.122
seakan seperti dua garis yang menuju suatu titik pertemuan. Karena itu, teori William
Stren disebut dengan teori konvergensi yang artinya memuat dua hal yang menuju suatu
titik. Sehubungan dengan itu, teori konvergensi berpendapat bahwa pendidikan mungkin
diberikan, yang membatasi hasil pendidikan adalah pembawaan dan lingkungan itu
sendiri. Lalu Pendidikan diartikan sebagai pertolongan yang diberikan kepada lingkungan
anak didik untuk mengembangkan pembawaan yang baik dan mencegah berkembangnya
pembawaan yang buruk.
Selanjutnya aliran ini berpendapat bahwa proses perkembangan manusia tidak
hanya ditentukan oleh faktor pembawaan sebagaimana yang dianut oleh paham
nativisme, dan faktor lingkungan sebagaimana yang dianut oleh aliran empirisme,
melainkan juga oleh aktivitas manusia itu sendiri. Menurut aliran ini, bahwa jalan
perkembangan manusia sedikit banyaknya ditentukan oleh pembawaan yang turun
temurun, yakni oleh aktivitas dan pemilihan atau penentuan manusia sendiri yang
dilakukan dengan dengan bebas dibawah pengaruh faktor-faktor lingkungan tertentu, dan
berkembang menjadi sifat-sifat.
Dilihat dari pandangan Islam, paham aliran ini sejalan dengan pandangan islam.
Dalam Hadits Rasulullah SAW misalnya, dinyatakan bahwa setiap manusia yang
dilahirkan memiliki fitrah, yakni asal kejadian yang diberikan oleh Allah SWT. kepada
manusia berupa asal kejadian untuk meyakini adanyua Tuhan (fitrah beragama),
menyukai keindahan, berpihak pada kebenaran, memiliki bakat-bakat tertentu serta
berbagai kecenderungan dan insting lainya. Semua hal yang termasuk fitrah ini bukan
hasil belajar, melainkan telah ada pada diri setiap manusia. Hal ini sejalan dengan
pandangan aliran nativisme. Namun dalam hadits Nabi lebih lanjut dikatakan bahwa,
kedua orang tuanyalah yang menjadikan anak tersebut Yahudi, Nasrani, atau Majusi.
Kedua orang tua dalam hadits tersebut dapat dikatakan sebagai lingkungan yang
didalamnya terdapat kedua orang tua, serta anggota keluarga yang lainnya. Lingkungan
ini yang utama dan pertama kali mempengaruhi jiwa si anak.11
Namun jika dikaji secara seksama, bahwa ketiga aliran tersebut pada hakikatnya
sama-sama sekuler, karena tidak melibatkan peran Tuhan didalamnya. Pada aliran
nativisme misalnya dinyatakan nahwa pendidikan sepenuhanya bergantung pada

11
Ibid, hlm.124-125
pembawaan dan bakat yang ada dalam diri manusia. Selanjutnya pada aliran empirisme
dinyatakan bahwa pendidikan sepenuhnya bergantung pada lingkungan tanpa melibatkan
Tuhan. Dan pada aliran konvergensi dinyatakan bahwa pendidikan amat tergantung pada
pembawaan dan lingkungan, tanpa melibatkan peran serta Tuhan. Dalam pandangan
Islam bahwa proses dan hasil pendidikan yang maksimal dan optimal akan berjalan
apabila terjadi perpaduan yang harmonis antara bakat, lingkungan, dan petunjuk Tuhan.
Dari ketiga hal tersebut petunjuk Tuhan,lah yang dominan. Lingkungan yang baik belum
menjamin lahirnya orang yang baik tanpa kehendak tuhan, demikian pula bakat yang baik
belum pula menjamin lahirnya orang yang baik tanpa kehendak tuhan.
D. Adab Dan Etika Peserta Didik Dalam Mencari Ilmu
1. Adab Peserta Didik
Adab berasal dari bahasa Arab yaitu aduba, ya’dabu, adaban, yang mempunyai
arti bersopan santun, beradab. Kata adab sebagai asal kata dari ta’dib untuk istilah
pendidikan Islam adalah bahwa kata adab telah mencakup amal dalam pendidikan,
sedangkan proses pendidikan Islam itu sendiri adalah untuk menjamin bahwasannya ilmu
dipergunakan secara baik di dalam masyarakat.
Pernyataan Ibn Abd al-Barr terhadap hadist Jabir (H. R IbnMajah no. 254, Ibn
Hiban dalam Shahihah no. 77 dan yang lainnya) menunjukkan tujuan dari menuntut ilmu
dan pendidikan adab adalah untuk memperoleh kebaikan. Hal ini sesuai
denganpernyataan Husaini bahwa menekankan proses ta’dib. Ia pun menyatakan, “Islam
memandang kedudukan ilmu sangatlah penting, sebagai jalan mengenal Allah Swt dan
beribadah kepada-Nya. Ilmu juga satu-satunya jalan meraih adab.
Ibn Abd al-Barr senantiasa melandaskan pendidikan adab dengan sumber-sumber
utama hukum Islam dan berdasarkan ilmu riwayat-riwayat dari generasi salaf (atsar).
Landasan ini yang menopang konsep beliau agar tetap menjaga orasinilitas melalui
adanya atsar yang datang dari para ulama Menurut KH. Zainal Abidin Munaawiwwir
harus memperhatikan adab peserta terhadap pendidik, diantranya:12

12
Ade bangun sugiarto,skripsi: “adab peserta didik terhadap pendidik perspektifkh. Zainal abiding
munawwir dan relevansinya dengan Pendidikan islam”(Lampung:universitas islam negeri Raden intan,2019), hal.
53-56
a. Meminta izin ketika ingin belajar. Meminta izin ketika ingin belajar dari peserta
didik dalam menghormati seorang pendidik yaitu meminta izin saat akan masuk
pondok, madarsah dan lain-lain.
b. Meminta izin ketika tidak masuk atau keluar dari sekolah. Adab yang kedua yaitu
meminta izin ketika ingin keluar dari majlis ilmu, sekolah, ma’had dan meminta
do’a kepada pendidik untuk kebagusan ilmu dan agama.
c. Sunnah berdiri ketika ada seorang pendidik yang datang.“Berdirilah kalian
untukmenghormati seorang pendidik yaitu dengan mencium tangan, merangkul.
d. Seorang pendidik mengambil upah kepada peserta didik. Ada 3 jenis guru yaitu
mengajar karena ibadah, tidak mengharapkan upah, menerima upah jika diberi
dan tidak meminta jika tidak diberi, mengajar tanpa syarat atau menerima upah
(seperti, pendidik dan dosen)
e. Menolong pendidik dalam sesuatu hal yang benar. Supaya menolong seorang
peserta didik terhadap pendidikan didalampraktek dan mengatur urusan
pembelajaran.
f. Pasrah dalam urusan pendidikan dengan pendidik.Dan beberapa pengalaman
pendidik dalam mendidik dan menuntut ilmu, itu menjadikan pendidik lebih tua
yang mengetahui keadaan mana yang lebih baik untuk peserta didiknya.
2. Etika peserta didik dalam mencari ilmu
Menurut al-Ghazali, peserta didik memiliki beberapa kewajiban yaitu:
a. Mengutamakan penyucian diri dari akhlak tercela dan sifat buruk, sebab ilmu itu bentuk
peribadatan hati, shalat dan pendekatan batin kepada Allah.
b. Peserta didik menjaga diri dari kesibukan-kesibukan duniawi dan seyogianya berkelana
jauh dari tempat tinggalnya.
c. Tidak membusungkan dada terhadap orang alim (guru), melainkan bersedia patuh dalam
segala urusan dan bersedia mendengarkan melihatnya.
d. Bagi penuntut ilmu pemula hendaknya menghindarkan diri dari mengkaji variasin
pemikiran dan tokoh, baik menyangkut ilmu-ilmu duniawi maupun ilmu-ilmu ukhrawi.
e. Penuntut ilmu tidak mengabaikan suatu disiplin ilmu apa pun yang terpuji melainkan
bersedia mempelajarinya hingga tahu akan orientasi dari disiplin ilmu yang dimaksud.
f. Penuntut ilmu dalam usaha mendalami suatu disiplin ilmu tidak dilakukan sekaligus,
akan tetapi perlu bertahap dan memprioritaskan yang terpenting.
g. Penuntut ilmu tidak melangkah mendalami tahap ilmu berikutnya hingga ia benar-
benarmenguasai tahap ilmu sebelumnya.
h. Penuntut ilmu hendaknya mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan dapat
memperoleh ilmu yang paling mulia.
i. Tujuan belajar penuntut ilmu adalah pembersih batin dan menghiasi dengan keutamaan
serta pendekatan diri kepada Allah Swt serta meningkatkan spiritualnya.
j. Penuntut ilmu mengetahui relasi ilmu-ilmu yang dikajinya dengan orientasi yang dituju,
sehingga dapat memilah dan memilih ilmu mana yang harus diutamakan.13

E. Kesimpulan
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, manusia diartikan sebagai makhluk yang
berakal. Selaku umat Islam yang menjadikan Al-Qur’an dan hadis sebagai sumber ajaran
perlu mengkaji dan meneliti apa dan bagaimana manusia dalam gambaran keduanya
dengan pendekatan istilah yang digunakan untuk manusia.
Menurut AbduI Fatah Jalal manusia dianugerahi 5 macam alat potensial yang
dapat digunakan untuk meraih Hmu pengetahuan. Kelima alat tersebut adalah Al-Lams
(alat peraba dan alat pencium), Al-Sam'u (alat pendengaran), Al-Absar (penglihatan),
Al-‘Aql (akal atau daya berfikir), dan Al-Qalb (kalbu).
Ketiga aliran nativisme, empirisme, dan konvergensi pada hakikatnya sama-sama
sekuler, karena tidak melibatkan peran Tuhan didalamnya. Pada aliran nativisme
misalnya dinyatakan nahwa pendidikan sepenuhanya bergantung pada pembawaan dan
bakat yang ada dalam diri manusia. Pada aliran empirisme dinyatakan bahwa pendidikan
sepenuhnya bergantung pada lingkungan tanpa melibatkan Tuhan. Kemudian pada aliran
konvergensi dinyatakan bahwa pendidikan amat tergantung pada pembawaan dan
lingkungan, tanpa melibatkan peran serta Tuhan.
Pernyataan Ibn Abd al-Barr menunjukkan tujuan dari menuntut ilmu dan
pendidikan adab adalah untuk memperoleh kebaikan. Hal ini sesuai denganpernyataan
Husaini bahwa menekankan proses ta’dib. Ia pun menyatakan, “Islam memandang

13
Ibid. 48-49
kedudukan ilmu sangatlah penting, sebagai jalan mengenal Allah Swt dan beribadah
kepada-Nya. Ilmu juga satu-satunya jalan meraih adab. Ibn Abd al-Barr senantiasa
melandaskan pendidikan adab dengan sumber-sumber utama hukum Islam dan
berdasarkan ilmu riwayat-riwayat dari generasi salaf .
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Ghaffar. 2016. MANUSIA DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’AN, Tafsere Vol. 4


No. 2.
Dawam Raharjo. 1999. Pandangan al-Qur’an Tentang Manusia Dalam Pendidikan Dan
Perspektif al-Qur’an. Yogyakarta: LPPI.
H. Abuddin Nata. 2009. Perspektif Islam Tentang Strategi Pembelajaran. Jakarta:
Kencana Prenadamedia Group.
M. Quraish Shihab. 2006. Dia Ada Dimana-mana. Cet. IV; Jakarta: Lentera Hati.
Mohammad Noor Syam. 1986. Filsafat Pendidikan Dan Dasar Filsafat Pendidikan
Pancasila. Surabaya: Usaha Nasional.
Mujahid. 2005. Konsep Fitrah dalam Islam dan Implikasinya Terhadap Pendidikan
Islam. Jurnal Pendidikan Agama Islam Vol. 2 No. 1.
Ngalim Purwanto. 1995. Ilmu Pendidikan Teoristis dan Praktis. Bandung: Remaja
Rosdakarya
Remiswal & Arham Junaidi Firman. 2018. Konsep Fitrah Dalam Pendidikan Islam.
Yogyakarta: Deandra Kreatif.
Rif’at Syauqi Nawawi. 2000. Konsep Manusia Menurut al-Qur’an dalam Metodologi
Psikologi Islami. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sugiarto, Ade Bangun. 2019. skripsi: “adab peserta didik terhadap pendidik perspektif
kh. Zainal abiding munawwir dan relevansinya dengan Pendidikan islam”. Lampung:
Universitas Islam Negeri Raden Intan.

Anda mungkin juga menyukai