Anda di halaman 1dari 25

Pendidikan Islam dalam Pandangan Tasawuf

(Telaah kritis tentang Peran Tasawuf dalam Pendidikan Islam)

By: Muhammad Gus Nur Wahid,M.Pd.I

(Mahasiswa Doctoral, PAI-BSI Uin Maliki Malang).

Abstrak

Secara naluriah, manusia selalu berusaha menyandarkan hasrat


kehidupannya kepada sesuatu yang dianggap memiliki kekuatan absolut.
Hal ini bisa terlihat dalam rentangan sejarah kehidupan mamnusia, baik
pada zaman klasik sampai kepada kondisi kekinian. Pada zaman klasik,
manusia banyak menyandarkan keyakinannya kepada benda-benda yang
dinggap sakti, keramat dan lain sebagainya. Ilmu Tasawuf. Kondisi jiwa
manusia yang memandang bahwa kehidupan dunia hanyalah media dalam
meraih kehidupan yang hakiki, kemudian memanfaatkan fasilitas
keduniaan itu dengan efektif dan efesien dalam meraih kebahagiaan hidup
baik dunia maupun kahirat. Pendidikan sufistik dimaksud disini adalah
integrasi antara iman, ilmu dan realisasi amal. Sebagaimana dijelaskan
diatas bahwa ilmu yang utama adalah ilmu yang dilahirkan dari dorongan
iman, iman yang dimaksud disini adalah iman yang memiliki kepekaan dan
sekaligus kekuatan untuk memahami dan berbuat.

Kata Kunci: Pendidikan Islam, Tasawuf, dan Peranannya.

A. Latar Belakang Masalah

Secara naluriah, manusia selalu berusaha menyandarkan hasrat


kehidupannya kepada sesuatu yang dianggap memiliki kekuatan absolut.
Hal ini bisa terlihat dalam rentangan sejarah kehidupan mamnusia, baik
pada zaman klasik sampai kepada kondisi kekinian. Pada zaman klasik,
manusia banyak menyandarkan keyakinannya kepada benda-benda yang
dinggap sakti, keramat dan lain sebagainya. 1 Pada zaman modern,
1
Abdul Mujib CS, Nuansa-nuansa Psikologi Islam; (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2002)
Edisi 1 Cet.2 h. 1-3
dikarenakan rasionalitas manusia sudah mengalami kemajuan, kepercayaan
seperti ini sudah tidak begitu kental berada ditengah-tengah masyarakat.
Kondisi ini memberikan gambaran bahwa tanpa adanya ajaran agama
langit yang berkembang dalam suatu komunitas masyarakat, mereka akan
berusaha membentuk sebuah keyakinan berdasarkan kemampuan,
pengalaman dan ilmu yang mereka miliki.

Dalam Islam, potensi kebertuhanan manusia ini difasilitasi dan


dibimbing agar menjadi suatu keyakinan yang benar dan lurus. Bimbingan
terhadap manusia ini langsung berasal dari Allah sebagai zat yang Maha
Tinggi, maha Kuasa, Maha Mengetahui. Namun  bimbingan itu bukan
dalam bentuk Allah yang membimbing manusia, tetapi melalui risalah yang
dibawa oleh para Nabi dan Rasul Allah Swt.

Para Nabi dan rasul dalam mengemban amanah dakwah mengajarkan


bahwa tujuan hidup manusia adalah mengabdi dan menyembah Allah ,
sebagaimana firman Allah dalam surat adz-Dzariyaat : 56  :

Artinya : Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan


supaya mereka menyembah-Ku. (QS 51 : 56)

Tujuan ini hidup manusia sebagaimana yang dijelaskan dalam surat


diatas, mendorong manusia untuk mengkaji berbagai tingkah laku dan
respon manusia itu sendiri dalam menjalankan agama yang telah diajarkan,
kemudian memanage dirinya agar mampu menjadi hamba Allah yang
istiqamah dalam ajaran Islam. Respon tersebut akan melahirkan suasana
kejiwaan tertentu pula bagi seorang ummat Islam. Latar belakang inilah
yang akan melahirkan bahasan tentang psikologi Islam.
Dalam rangka meningkatkan kualitas kedekatan seorang hamba
kepada sang khâliq, sehingga ia menyadari dan merasakan kehadiran-Nya
dalam kehidupan, seorang hamba akan merasakan sebuah nuansa baru
dalam memandang kehidupan. Dalam rentangan sejarah Islam, begitu
banyak orang-orang yang menaruh pehatian tinggi terhadap kajian-kajian
mengenai teori dan peraktik dalam mendekatkan diri sedekat-dekatnya
kepada Allah. Orang-orang tersebut di dalam Islam dikenal sebagai para
sufi, dan pada gilirannya melahirkan disiplin ilmu baru dalam Islam yaitu
Ilmu Tasawuf. Kondisi jiwa manusia yang memandang bahwa kehidupan
dunia hanyalah media dalam meraih kehidupan yang hakiki, kemudian
memanfaatkan fasilitas keduniaan itu dengan efektif dan efesien dalam
meraih kebahagiaan hidup baik dunia maupun kahirat.

B. Pembahasan
1. Pengertian Pendidikan Islam
Pendidikan dan manusia merupakan suatu kesatuan yang tidak
dapat dipisahkan karena pendidikan hanya untuk manusia dan manusia
menjadi manusia karena adanya pendidikan. Untuk itu akan dikaji
pengertian pendidikan itu dari dua aspek yaitu aspek etimologis dan aspek
terminologis.
Menurut mu'jam (Kamus) kebahasaan sebagaimana
dikutip  Ramayulis, kata tarbiyah memiliki tiga akar kebahasaan,2 yaitu:
a. Memiliki arti tambah (zad) dan berkembang (nama). Pengertian'ini
didasarkan atas Q.S. al-Rum ayat 39.
b. Memiliki arti tumbuh (nasya’) dan menjadi besar (tara ra'a).

2
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2002), hlm. 2.
c. Memiliki arti memperbaiki (ashalaha), menguasai urusan, memelihara,
merawat, menunaikan, memperindah, memberi makan, mengasuh, tuan,
memiliki, mengatur dan menjaga kelestarian dan eksistensinya.3
Pada masa sekarang istilah yang populer dipakai orang adalah
tarbiyah, karena menurut Athiyah Abrasyi tarbiyah adalah term yang
mencakup keseluruhan kegiatan pendidikan. la adalah upaya yang
mempersiapkan individu untuk kehidupan yang lebih sempurna etika,
sistimatis dalam berpikir, memiliki ketajaman intuisi, giat dalam berkreasi,
memiliki toleransi pada yang lain, berkompetensi dalam mengungkap
bahasa lisan dan tulis, serta memiliki beberapa keterampilan.4
Sedangkan istilah yang lain merupakan bagian dari kegiatan
tarbiyah. Dengan demikian maka istilah pendidikan Islam disebut Tarbiyah
Islamiyah Kata pendidikan juga ditemukan dalam bahasa Arab, yang biasa
digunakan kata-kata; tarbiyah, ta'alim, ta'dib. Menurut Abdur Rahman An
Nahlawi,5 kata tarbiyah ditemukan dalam tiga akar kata yaitu:
a. Raba – yarbu, yang artinya bertambah dan berkembang. Ini di
dasarkan kepada surat Ar Rum: 39.
b. Rabiya - yarba,' artinya tumbuh dan berkembang.
c. Rabba - yarubbu, berarti memperbaiki, mengurusi kepentingan,
mengatur, menjaga, dan memperhatikan. Imam Baidowi; ar-Rabitu
bermakna tarbiyah,yang makna lengkapnya adalah menyampaikan.
sesuatu hingga mencapai kesempurnaan. Menurut Ar Raqib Al
Ashfahani, ar Rab, berarti tarbiyah yang makna lengkapnya adalah

3
Karim al-Bastani et.all, al-Munjid fi Lughat wa’Alam,(Bairut: Dar al-Masyriq, 1975),
hlm 243-244
4
Muhammad Athiyah al-Abrasyi, Ruh al-Tarbiyat wa-al Ta’lim, (Saudi Arabiya: Dar
al-Ihya’, tth), hlm. 7, 14.
5
Abdurrahman an-Nahlawi, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah, dan Masyarakat,
(Jakarta: Gema Insani Press,1995), hlm. 20.
menumbuhkan perilaku demi perilaku serta bertahap hingga mencapai
batasan kesempurnaan.
2. Tujuan Pendidikan Islam
Berbicara tentang tujuan pendidikan Islam berarti berbicara tentang
nilai-nilai ideal yang bercorak Islami. Hal ini mengandung makna bahwa
tujuan pendidikan Islam tidak lain adalah tujuan yang merealisasi idealitas
Islam. Sedang idealitas Islam itu sendiri pada hakikatnya adalah
mengandung nilai perilaku manusia yang didasari atau dijiwai oleh iman
dan taqwa kepada Allah sebagai sumber kekuasaan mutlak yang harus
ditaati. Dalam perumusan tujuan pendidikan Islam harus berorientasi pada
hakikat pendidikan yang meliputi beberapa aspeknya misalnya tentang6:
a. Tujuan dan tugas hidup manusia, manusia diciptakan dengan
membawa tujuan dan tugas hidup tertentu, tujuan manusia
diciptakan hanya untuk Allah, tugasnya berupa ibadah dan tugas
sebagai wakil Allah dimuka bumi.
b. Memperhatikan sifat-sifat dasar manusia, ia tercipta sebagai kholifah
dimuka untuk beribadah, yang dibekali dengan banyak fitrah yang
berkecenderungan pada kebenaran dari tuhan sebatas kemampuan
dan kapasitas ukuran yang ada.
c. Mengkondisikan dan menyesuaikan apa yang berkembang dalam
 

dinamika kehidupan masyarakat, sebagai upaya untuk memenuhi


tuntutan dan kebutuhan masyarakat tersebut.
d. Dimensi-dimensi kehidupan idealitas Islam, dimensi nilai-nilai
 

Islam yang menekankan keseimbangan dan keselarasan hidup


duniawi dan ukhrowi. Hampir semua cendikiawan muslim sepakat
bahwa tujuan pendidikan Islam adalah pembentukan pribadi muslin
6
Muhaimin dan Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam Kajian Filosofis dan
KerangkaDasar Operasionalisasinya, (Bandung:PT.Tri Genda Karya, 1993).
yang sempurna sebagai kholifah dimuka bumi yang beriman dan
beramal sholeh serta bahagia di dunia dan di akhirat.
Ibnu Khaldun merumuskan tujuan pendidikan adalah pertama,
Memberikan kesempatan kepada pikiran untuk aktif dan bekerja, karena
aktivitas ini sangat penting bagi terbuka pikiran dan kematangan individu,
kemudian kematangan ini akan mendapatkan faedah bagi masyarakat.
Kedua, untuk memperoleh berbagai ilmu pengetahuan, sebagai alat untuk
membantunya, hidup dengan baik di dalam masyarakat maju dan
berbudaya. Ketiga, Memperoleh lapangan pekerjaan, yang digunakan untuk
memperoleh rizki. Ada beberapa faktor yang dijadikan alasan untuk
merumuskan tujuan pendidikan yaitu:
a. Pengaruh filsafat sosiologi, yang tidak bisa memisahkan antar
masyarakat, ilmu pengetahuan dan kebutuhan masyarakat.
b. Perencanaan ilmu pengetahuan sangat menentukan bagi perkembangan
masyarakat berbudaya.
c. Pendidikan sebagai aktivitas akal insani, merupakan salah satu industri
yang berkembang di dalam masyarakat, karena sangat urgent dalam
kehidupan setiap individu.
Rumusan tujuan pendidikan dan faktor-faktor yang dijadikan
sebagai dasar pertimbangan oleh Ibnu Khaldun dalam menentukan tujuan
pendidikan, nampaknya masih ada kesesuaian dengan pendidikan pada
masa kini. Menurut Al Ghazali, tujuan pendidikan Islam adalah
mendekatkan diri pada Allah dan kesempurnaan insani yang tujuannya
adalah kebahagiaan di dunai dan di akhirat. 7 Hasan Langgulung, dalam
memberikan arah tujuan pendidikan Islam, menyunting sebuah ayat Al

7
Fatiyah Hasan Sulaiman, Konsep Pendidikan Al Ghozali, Alih bahasa Andi Hakim
dan M Imam Aziz, (Jakarta:CV.Guna Aksara, 1990), cet.II, hlm.31
Quran surat At Tiin ayat 4 yang darinya dapat disimpulkan bahwa manusia
dengan sebaik-baik bentuk (struktuk fisik, mental dan spiritual).
Karenanya tujuan pendidikan Islam adalah untuk menciptakan
manusia yang beriman serta beramal sholeh. Diuraikan sebagai berikut.
a. Iman: adalah sesuatu yang hadir dalam kesadaran manusia dan menjadi
motivasi untuk segala perilaku manusia.
b. Amal: perbuatan, perilaku, pekerjaan, pengkhidmatan, serta segala yang
menunjukkan aktifitas manusia.
c. Sholeh: baik, relevan, bermanfaat, meningkatkan mutu, berguna,
pragmatis dan praktis.
3. Pendidikan Islam dalam Prespektif Tasawuf
Istilah “pendekatan” secara morfologis berasal dari
kata “dekat.Istilah tersebut secara leksikal berarti jarak, hampir, akrab.
Secara etimologi berarti proses, perbuatan atau cara mendekati.8Dalam
perspektif terminologi, istilah pendekatan berarti paradigma yang terdapat
dalam suatu disiplin ilmu tertentu yang selanjutnya dipergunakan untuk
memahami suatu masalah tertentu.9
Ada juga pendapat yang mengatakan bahwa kata shufi berasal dari
bahasa Yunani shopos yang berarti hikmah.10 Dari beberapa pendapat yang
ada, pendapat yang mengatakan kata sufi diambil dari kata suf  yang berarti
wool adalah pendapat yang lebih diterima. Karena dengan berpakaian
sederhana itu, mereka merasa terhindar dari sifat riya’ dan lebih
menunjukkan kezuhudan.

8
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Cet. III;
Jakarta: Balai Pustaka, 1994), hlm. 625
9
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam (Cet. III; Jakarta: PT. Raja Grafindio Persada,
1999), hlm. 88.
10
Supiana dan M. Karman, Materi Pendidikan Agama Islam (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2009), Cet. IV, hlm. 218.
  Dari banyaknya definisi tasawuf secara terminologis sesuai dengan
subjektifitas masing-masing sufi, maka Ibrahim Basyuni
mengklasifikasikan tasawuf menjadi 3 macam yang menunjukkan elemen-
elemen,11 yakni:
a. Al-bidayah sebagai pengalaman ahli sufi tahap pemula, yang
mengandung arti bahwa seseorang secara fitrahnya sadar dan mengakui
bahwa semua yang ada ini tidak dapat menguasai dirinya sendiri karena
dibalik yang ada terdapat realitas mutlak, dan elemen ini dapat disebut
sebagai tahap kesadaran tasawuf.
b. Al-mujahadah sebagai pengamalan praktis ahli sufi yang merupakan
tahap perjuangan keras, karena jarak antar manusia dengan realitas
mutlak yang mengatasi semua yang ada bukan jarak fisik yang berupa
rintangan dan hambatan, maka dari itu diperlukan kesungguhan dan
perjuangan yang keras untuk mencapai dan menempuh jarak tersebut
dengan cara menciptakan kondisi tertentu untuk dapat mendekatkan diri
dengan realitas mutlak.
c. Al- Madzaqat sebagai pengalaman dari segi perasaan, jadi ketika
seseorang telah lulus melewati hambatan dan rintangan untuk
mendekatkan diri dengan realitas mutlak, maka ia akan dapat
berkomunikasi dan berada sedekat mungkin dihadirat-Nya serta akan
merasakan kelezatan spiritual yang didambakan.
Karena tasawuf sudah menjadi sebuah disiplin ilmu, maka Harun
Nasution mendefinisikan tasawuf sebagai ilmu yang mempelajari cara dan
jalan bagaimana orang Islam dapat sedekat mungkin dengan Allah SWT
agar dapat memperoleh hubungan langsung dengan-Nya, artinya

11
Supiana dan M. Karman, Materi Pendidikan,. Hlm. 218.
bagaimana diri seseorang dapat betul-betul berada di kehadirat-Nya.12
Dengan demikian, intisari dari sufisme adalah kesadaran akan adanya
komunikasi dan dialog antara ruh manusia dengan realitas mutlak (Allah)
yang dapat diperoleh dengan melalui beberapa usaha tertentu. 
Terkait dengan tujuan dari tasawuf adalah sebagai bentuk
pengabdian seseorang terhadap Tuhannya dalam melaksanakan salah satu
tugasnya yaitu sebagai seorang ‘Abd (hamba), disamping ia juga sebagai
seorang khalifah (pemimpin). Karena seperti yang disampaikan oleh
Muhammad Abdul Haq Ansari  bahwa tidak ada tingkatan yang lebih
tinggi dibanding tingkatan kehambaan (a’bdiyyat) dan tidak ada kebenaran
yang lebih tinggi diluar Syariah.13
Manusia adalah makhluk yang berpikir dan merasa. Bertasawuf
artinya menghidupkan hubungan rasa antara manusia dengan Tuhan. Bagi
orang yang sudah sampai pada stasion ridha atau mahabbah, apalagi
ma’rifat, maka ia tak akan terganggu oleh perubahan zaman hidupnya,
karena pusat perhatiannya tidak lagi kepada yang berubah, tetapi kepada
yang tetap tak berubah yaitu Allah SWT. Kesadaran rasa berhubungan
dengan Tuhan dapat memupuk fitrah keberagamaan yang hanif dan
mempertajam bashirah sehingga seseorang selalu tergelitik untuk
memperdekatkan dirinya (taqarrub) kepada Allah.14 Salah satu ajaran yang
dapat mendekatkan diri manusia kepada Tuhan, adalah tasawuf. Sebagai
salah satu disiplin keagamaan, tasawuf merupakan bidang yang oleh

12
Harun Nasution, Filsafat dan Mistisme dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1973),
hlm. 56.
Muhammad Abdul Haq Ansari, Antara Sufisme Dan Syari’ah (Jakarta: CV.
13

Rajawali, 1990), hlm. 207.


14
Achmad Mubarok, Psikologi Qur’ani, Pustaka Firdaus, Jakarta, 2001, hlm. 124.
sementara kalangan dianggap sebagai disiplin yang ada pada wilayah yang
berbeda dengan ilmu pengetahuan pada umumnya15.
Tasawuf atau sufisme sebagaimana halnya dengan mistisisme di
luar agama Islam, mempunyai tujuan memperoleh hubungan langsung dan
disadari dengan Tuhan, sehingga disadari benar bahwa seseorang berada
dikhadirat Tuhan.16 Intisari dari mistisisme, termasuk di dalamnya tasawuf,
adalah kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog antara roh manusia
dengan Tuhan, dengan mengasingkan diri dan berkontemplasi.17
Secara terminologis, tasawuf diartikan secara variatif oleh para
sarjana. Ibrahim Basuni sebagaimana dikutip oleh H.M. Amin Syukur,
mengklasifikasikan definisi tasawuf menjadi tiga varian, yakni definisi
yang menitik beratkan pada al-Bidayah, al-Mujahadah, dan al-Madzaqat.18
Definisi tasawuf dari sudut al-Bidayah, antara lain dikemukakan
oleh Sahalal-Tustury mendefinisikan tasawuf dengan: Seorang sufi ialah
orang yang hatinya jernih dari kotoran, penuh pemikiran, terputus
hubungan dengan manusia, dan memandang sama antara emas dan kerikil.
Dari sisi al-Mujahadah, Abu Muhammad al-Jaziri mengartikan tasawuf
dengan : “masuk kedalam akhlak yang mulia dan keluar dari semua akhlak
yang hina”.19Untuk mencapai tujuan tasawuf seseorang harus
melaksanakan berbagai kegiatan (al-Mujahadah dan al Riyadlah), tidak
dibenarkan memisahkan amaliah kerohanian dengan syari’at agama Islam.

15
Hasyim muhammad, Dialog Antara Tasawuf dan Psikologi, Telaah Atas Pemikiran
Psikologi Humanistik Abraham Maslow, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2002, hlm. 1
16
Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1995,
hlm. 56.
17
Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jilid II, UI Press, Jakarta,
2002, hlm.68.
18
HM. Amin Syukur dan H. Masyharuddin, Intelektualisme Tasawuf, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 2002, hlm. 14.
19
HM. Amin Syukur dan H. Masyharuddin, Intelektualisme Tasawuf. hlm. 14--15.
Apabila dalam pengertian kedua (dari sisi al-Mujahadah), tasawuf
mempunyai pengertian berjuang, menundukkan hawa nafsu/keinginan,
maka pengertian tasawuf pada sisi al-Madzaqat, tasawuf diartikan dan
dititik beratkan pada rasa serta kesatuan dengan yang mutlak, sebagaimana
dikatakan oleh Ruwaim bahwa tasawuf itu ialah melepaskan jiwa terhadap
kehendak Allah SWT.
Sedang al-Hallaj menyatakan bahwa tasawuf itu kesatuan dzat.20
Dengan demikian dapat diungkapkan secara sederhana, bahwa tasawuf itu
ialah suatu sistem latihan dengan kesungguhan (riyadlah mujahadah) untuk
membersihkan, mempertinggi dan memperdalam kerohanian dalam rangka
mendekatkan diri kepada Allah, sehingga dengan itu segala konsentrasi
seseorang hanya tertuju kepada-Nya. Oleh karena itu, maka al-Suhrawardi
mengatakan bahwa semua tindakan (al-akhwal) yang mulia adalah
tasawuf.21 Dengan pengertian seperti itu, HM. Amin Syukur merumuskan
bahwa tasawuf adalah bagian ajaran Islam, karena ia membina akhlak
manusia (sebagaimana Islam juga diturunkan dalam rangka membina
akhlak umat manusia) di atas bumi ini, agar tercapai kebahagiaan dan
kesempurnaan hidup lahir dan batin, dunia dan akherat.
Oleh karena itu, siapapun boleh menyandang predikat mutasawwif
sepanjang berbudi pekerti tinggi, sangup menderita lapar dan dahaga, bila
memperoleh rizki tidak lekat di dalam hatinya, dan begitu seterusnya, yang
pada pokoknya sifat-sifat mulia, dan terhindar dari sifat-sifat tercela. Hal
inilah yang dikehendaki dalam tasawuf yang sebenarnya.22
1. Pengaruh Tasawuf dalam Pendidikan Islam.

20
HM. Amin Syukur dan H. Masyharuddin, Intelektualisme Tasawuf. Hlm. 14-15.
21
HM. Amin Syukur dan H. Masyharuddin, Intelektualisme Tasawuf, hlm. 14-15.
22
HM. Amin Syukur dan H. Masyharuddin, Intelektualisme Tasawuf . Hlm. 16-17.
Para ahli tasawuf membagi dengan secara ahlaki, amali, falsafi.
Ketiga macam ini bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah
SWT dengan cara membersihkan diri dari sifat-sifat yang tercela dan
menghiasi diri dari sifat yang terpuji. Dengan demikian tasawuf harus
dicapai dengan akhlak yang terpuji  terlebih dahulu, seperti
menekenkan akan kejujuran, rendah hati, tidak sombong, ramah, bersih
hati, berani dan semacamnya, nilai-nilai ini yang seharusnya dimiliki
oleh seorang muslim. Sejalan dengan hal itu  tujuan pendidikan dalam
pandangan Islam banyak berhubungan dengan kualitas manusia yang
berahlak. Ahmad D marimba misalnya mengatakan bahwa tujuan
pendidikan adalah identik dengan tujuan hidup seorang muslim, yaitu
menjadi hamba Allah yang mengandung implikasinya menjalankan
perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Dari penjelasan tersebut
bisa disimpulkan tujuan pendidikan Islam dan tasawuf sangat erat
kaitanya yang sama-sama menjadi seseorang yang berahlak.
2. Peran Teori Sufistik dalam Pendidikan
 Tingkat pemahaman sesorang tentang Tuhan, juga menentukan
tingkat kecerdasan secara spritual terhadap Tuhan. Dalam diri manusia
itu sendiri ada berbagai kecerdasan yang menyangkut hal-hal seperti
keilmuan, spritualitas, kejiwaan, ekonomi sosial. Tingkat kecerdasan
ini, juga tidak selalu dilambangkan Kualitas pemahaman kita atas
sesuatu hal, menentukan tingkat kecerdasan kita pada hal tersebut
dengan kejeniusan otak atau kemampuan menganalisa sesuatu, karena
ia melibatkan kedalaman hati (deep insight), pemahaman, dan
kearifan.
Tujuan dari penciptaan manusia oleh Allah swt. adalah
sebagai ‘abd(hamba) dan sekaligus khalifah (pemimpin) di muka
bumi, yang di dalamnya terdapat berbagai persoalan hidup yang harus
dihadapi. Akan tetapi berbagai permasalah kehidupan akan dapat
dengan mudah diatasi apabila ada kedekatan seseorang dengan-Nya.
Dalam hal ini, pengembangan kepribadian dapat dilakukan dalam
proses pencapaian qalbun salim, karena Allah swt. hanya dapat dekat
dengan hati yang jernih. Dalam proses pencapaian qalbun salim inilah,
diperlukan pendidikan yang responsif terhadap pengembangan hati
nurani.23 Maka pendekatan sufistiklah yang mampu memerankan
sebagai pendidikan yang memperhatikan terhadap aspek ruhani.
Dalam buku “Pendidikan Islam dari Paradigma Klasik hingga
Kontemporer” yang mengambil dari buku “psikologi sufi”
menyebutkan bahwa perspektif para sufi mengatakan hakikat realitas
adalah spiritual karena segala sesuatu berasal dari sang pencipta.
Dalam hal ini, ada hubungan paralel yang dapat dijelaskan lebih
spesifik antara realitas makrokosmos dan mikrokosmos, yaitu; dalam
dunia makrokosmos terdapat tingkatan-tingkatan realitas (alam materi,
alam nasut, alam malakut, alam jabarut, dan alam lahut).
Sedangkan dalam dunia mikrokosmos (diir manusia) juga
terdapat lapisan-lapisan (lapisan fisikal, nafs, qalb, ruh, kesadaran
batin, dan kesadaran batin terdalam). Beberapa lapisan tersebut harus
dilalui oleh jiwa manusia untuk mencapai kesempurnaan (kedekatan
dengan Allah swt.).
Sedangkan dalam ilmu pengetahuan modern memandang
hakikat realitas adalah material. Teori modern mengatakan bahwa
dunia yang dapat dikaji adalah dunia yang secara valid hanyalah
realitas objektif (alam materi/ lapis fisikal atau yang memiliki sifat
23
Tim Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maliki, Pendidikan Islam dari Paradigma Klasik
hingga Kontemporer (Malang: UIN-Malang Press: Malang, 2009), hlm. 26.
kebendaan). Dalam hal ini, dapat dikatakan dengan sudut pandang
yang sangat dangkal, karena pada hakikatnya bahwa realitas itu
memiliki multi aspek, baik aspek indrawi maupun supra
indrawi.24 Dengan demikian, perlu adanya keseimbangan antara aspek
material yang sangat rasional dengan aspek spiritual yang irasional,
dengan tujuan akhir maju dalam ilmu pengetahuan modern dengan
tetap membawa tanggung jawab sebagai hamba Allah swt.
3. Paradigma Pendidikan Sufistik dalam Pendidikan Islam
Pada hakikatnya, tujuan pendidikan Islam adalah membina
umat manusia agar dapat menjadi manusia yang sempurna (insan
kamil). Hal ini dimaksudkan agar manusia dapat terhindar dari bebagai
macam belenggu kehidupan manusia, dan mencapai kebahagiaan
dalam kehidupan akhirat. Akan tetapi tujuan ideal tersebut masih jauh
dari harapan, dengan disebabkan adanya beberapa hal yang salah satu
diantaranya adalah pendidikan Islam yang masih mengedepankan pola
hidup yang lebih dekat hubungannya dengan Tuhan dan
mengesampingkan adanya sisi kehidupan dunia, sehingga seseorang
akan menjadi makhluk yang gagap dengan teknologi.25Gambaran
seseorang dalam hal ini dapat dikatakan bahwa terlahir orang-orang
yang dapat merasakan dengan hatinya, akan tetapi dia tidak cermat
dalam memanfaatkan rasionya. Maka dalam hal ini sangatlah
diperlukan suatu langkah pendidikan yang memperhatikan potensi rasa
dan rasio.
Selain itu, di lain sisi yang berhubungan dengan zaman modern
juga terdapat ilmu pengetahuan yang kering dari cita rasa, yang dapat

24
Tim Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maliki, hlm. 26.
25
Dakir dan Sardimi, Pendidikan Islam dan ESQ (Komparasi-Integrasi Upaya Menuju
Stadium Insan Kamil (Semarang: RaSAIL Media Group, 2011), hlm. 233-234.
dilihat dari banyak terjadinya dekadensi kehidupan, emosi, dan moral.
Hal ini menjadikan lenyapnya kekayaan ruhaniyah yang dapat
digunakan sebagai alat untuk memperkokoh derajat mulia manusia di
bumi ini.26 Maka dalam dunia pendidikan dan khususnya pendidikan
Islam sangat diperlukan sebuah pemikiran ke arah integrasi antara ilmu
pengetahuan dengan agama yaitu agama yang didekati dengan
pandangan sufistik, yang dimaksudkan sebagai langkah menjadikan
peserta didik seorang yang pandai dan penuh tanggung jawab terhadap
Allah swt.
Dalam hal ini, muncul pandangan untuk dilakukannya
rekonstruksi paradigma pendidikan ke arah sufistik-alternatif, yaitu
sebagai berikut:
a. Landasan Filosofi, kehidupan manusia pada hakikatnya adalah
menuju dan mendekatkan diri kepada Allah swt., dan Dia hanya
dapat didekati dengan pribadi yang berhati jernih. Hati yang jernih
dapat dicapai melalui riyadlah, yang pada akhirnya seseorang
dapat mencapai kesempurnaan sebagai manusia.
b. Proses Pendidikan, berdasar pada landasan filosofis di atas, proses
pendidikan diharapkan mampu membuka pintu kesadaran manusia
untuk semakin mendekatkan diri kepada Allah swt., dan dalam
proses pendidikan tidak hanya memperdulikan terhadap
pengembangan pada dimensi fisik, tetapi juga memperhatikan
dimensi non fisik. Sehingga ada keseimbangan antara rasa dan
rasio, serta ada pemahaman konsep-konsep maqamat secara
tepat.27
4. Pola Pendekatan Sufistik dalam Pendidikan Agama Islam
26
Tim Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maliki, hlm. 28.
27
Tim Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maliki, hlm. 28-29.
Upaya penanaman nilai-nilai keagamaan berbasis kesadaran
ketuhanan (pendidikan sufistik) bisa ditempuh melalui tiga cara: 28(1)
Penanaman nilai secara bertahap, dari inderawi sampai ke rasional,
dari parsial sampai universal. (2)  Penerapan jiwa khusyu’, taqwa, dan
ibadah. Cara ini disadari sulit untuk dilaksanakan, tetapi bila anak
sudah diberi peringatan, ia akan berubah karakternya. (3) Penyadaran
akan pengawasan Allah SWT terhadap setiap tingkah laku dan situasi
melalui latihan dan keyakinan.
Adapun metode pendidikan sufistik menurut Munir Mulkhan
adalah:
a. Kegiatan pembelajaran dimulai dengan usaha agar peserta didik
mendefinisikan siapa dirinya, apa yang akan dipilih, dan menyadari
resiko yang akan dihadapi dengan pilihannya itu. Berikutnya,
peserta didik menyusun sendiri konsep tentang kebenaran dan
kebaikan menurut pandangannya sehingga bisa menjadi miliknya
sendiri. Dari sini diharapkan bisa berkembang kepekaan sosial
dalam kesediaan berbagi rasa dengan orang lain. Selanjutnya akan
tumbuh kecerdasan yang utuh dan bulat sebagai dasar baginya
dalam melatih intuisi dan imaginasi ketuhanannya, serta melatih
kemampuan kecerdasan rasionalnya.29
b. Metode pembelajaran berorientasi penciptaan situasi belajar
ketuhanan. Dari sini diharapkan peserta didik bisa menjalani proses
kreatifnya sendiri dalam ber-Tuhan dan ber-Islam. Dari sini peserta
didik bisa menemukan sendiri dan menyadari kehadiran Tuhan

28
Abdullah Nasih Ulwan, Tarbiyah al-Aulad fi al-Islam, (Beirut: dar al-Salam, 1981),
cet II. Hlm. 163-172.
29
John P. Miller, oleh Abdul Munir Mukhan, Cerdas di Kelas Sekolah Kepribadian:
Rangkuman Model Pengembangan Kepribadian dalam Pendidikan Berbasis Kelas,
(Yogyakarta: Kreasi Wacana), hlm. 25.
dalam kelas atau kehidupan sehari-hari. Kesadaran personal seperti
itu adalah kunci utama proses pembelajaran bagi penumbuhan daya
kreatif yang bebas dan mandiri dari setiap peserta didik.
Harapannya,  peserta didik terus berusaha menyempurnakan
pengetahuan tentang ajaran Tuhan dan pemenuhannya sehingga
menjadi kaffah baik selama proses pembelajaran dalam kelas atau
diluar lingkungan sekolah dan dalam kehidupan sosial usai
sekolahnya nanti.30
c. Melibatkan peserta didik di setiap proses berpengetahuan melalui
studi alam dan kemanusiaan. Tujuan utamanya adalah agar peseta
didik menemukan dan mengenal sendiri Tuhan.31
d. Praktikum ritual dan pelatihan akhlak terprogram. Sesuai ajaran
agama meliputi iman, akhlak, dan ibadah, lebih strategis jika
pendidikan agama difokuskan pada pengayaan pengalaman
ketuhanan (iman), ritual (ibadah), dan akhlak, bukan hanya ilmu.
Pengayaan pengalaman ritual bisa ditempuh melalui Pengayaan
pengalaman ketuhanan melalui studi sejarah tentang kisah-kisah
sukses dan gagal dari kehidupan sehari-hari atau sejarah bangsa-
bangsa didunia. Selain itu juga melalui studi fisika, biologi, kimia
yang difokuskan pada kehebatan Tuhan menciptakan alam dan
seluruh makhluk hidup daritingkatan paling rendah hingga energi
dan manusia
Pendidikan sufistik yang berbasis kesadaran ilahiah juga
sebagai landasan semua dimensi perilaku peserta didik dalam

30
Abdul Munir Mulkhan, Satu Tuhan Seribu Tafsir, (Yogyakarta: Kanisius, 2007),
hlm. 79
31
Abdul Munir Mulkhan, Satu Tuhan, hlm. 79.
hubungan sosial. Untuk merealisasikan tataran sosial tersebut terdapat
beberapa cara:
a. Penanaman dasar-dasar kejiwaan yang mulia berupa; (a) Ketakwaan
pada Allah SWT sebagai hasil hakiki dan alami dari emosi iman
yang menjadi benteng guna menangkal kehendak perbuatan
jahat. (b) Persaudaraan (ukhuwwah) yang bisa melahirkan sikap
positif untuk saling menolong dan tidak mementingkan diri sendiri.
(c) Kasih sayang terhadap sesama manusia yang merupakan
kepekaan untuk bisa merasa senasib sepenanggungan terhadap
problem orang lain. (d) Toleran, berani membela, dan menyatakan
kebenaran serta tidak egois yang berpengaruh penting bagi
integritas dan solidaritas serta kebaikan manusia.
b. Pemeliharaan hak orang lain dengan dasar kejiwaan yang mulia.
Dasar-dasar kejiwaan itu merupakan ruh dari fenomena dalam
berinteraksi dengan orang lain yang bersumber dari spirit kejiwaan
itu. Hak orang lain meliputi: (a) Hak orang tua untuk ditaati segala
perintahnya yang baik yang menjadi pangkal tolak segala hak
kemasyarakatan. (b) Hak kerabat untuk selalu mendapat jalinan
persaudaraan dengan jalan silaturahmi yang dapat mendorong anak
untuk cinta kepada kerabat. (c)Hak tetangga mendapatkan rasa
aman dan ketentraman supaya dalam diri anak bisa
tumbuh  semangat memperhatikan orang lain sehingga menjadi
insane sosial yang tidak mengisolasi diri.  (d) Hak guru untuk
memperoleh penghormatan akan kemuliaannya yang merupakan
kewajiban seorang murid.(e) Hak teman sebagai mitra dalam
pergaulan dan berinteraksi yang darinya dapat dikenali watak
seseorang. (f) Hak orang dewasa mendapatkan perlakuan yang
sopan yang termasuk indikator keikhlasan dan loyalitas terhadap
agama.
c. Disiplin etika sosial supaya anak dapat menangkap esensi
problematika dalam pergaulan dimasyarakat dengan kebaikan dan
cinta kasih dan budi luhur. Karena itu, disiplin etika sosial menjadi
dasar pendidikan yang sebenarnya. Keberhasilannya pun berkaitan
erat dengan penanaman dasar kejiwaan. Islam meletakkan system
pendidikan itu untuk membentuk akhlak anak, mempersiapkan
tingkah laku dan sikap sosialnya yang disebut etika sosial. Dengan
bekal itu, diharapkan seorang anak dalam pergaulannya bisa
bersikap dan berperilaku secara bijak seperti orang dewasa. Disiplin
etika itu meliputi: etika makan dan minum, memberi salam,
meminta izin masuk rumah, duduk dalam pertemuan, berbicara,
bergurau, memberikan ucapan selamat, menjenguk orang sakit,
melawat kematian, bersin, dan menguap. Semua diatur secara
terinci guna merealisasikan akhlak yang diajarkan Islam untuk
dilaksanakan semua orang dalam segala jenis, tingkatan dan
statusnya. Meski ajaran etika ini diberikan Nabi Muhammad pada
zaman dahulu, nilai-nilai moralnya tetap relevan untuk
dilaksanakan pada masa kini dan datang. Disiplin etika
menunjukkan bahwa Islam merupakan agama sosial  yang datang
untuk memperbaiki masyarakat manusia.
d. Kontrol dan kritik sosial itu menjadi sarana dalam mewujudkan
prinsip amar ma’ruf nahi munkar. Prinsip ini oleh Qardlawi
dipandang sebagai pendidikan politik yang menjadi inti dari
pendidikan sosial.32 Tujuannya untuk memberikan kesadaran sosial
32
Yusuf Qardlawi, Pendidikan Islam dan Madrasah Hasan al-Banna, terj. Bustami
Abdul Gani (Jakarta: Bulan Bintang, 1980), hlm. 80.
kepada anak. Karena itu, control dan kritik ini menjadi dasar pokok
ajaran Islam guna mengawasi dan memerangi kejahatan, dekadensi
moral, kezaliman dan memelihara nilai, idealisme dan moralitas
Islam. Oleh karena itu, kontrol dan kritik ini harus memperhatikan
prinsip bahwa:
1) Kontrol pendapat umum merupakan tugas sosial yang tak kenal
kompromi sehingga semua orang harus melaksanakan kegiatan
ini. Dengan tugas sosial ini diharapkan akidah dan moralitas
umat bisa tetap eksis sehingga menjadi kenyataan dan selalu
terhindar dari perilaku zalim.
2) Pelaksanaannya harus bertahap, sesuai kesepakatan ulama,
kebal terhadap cercaan dan berwawasan luas. Untuk itu
pendidik harus mengetahui perilaku, akhlak, dan emosi anak
guna membentuk pribadi muslim menuju martabat yang tinggi.
3) Selalu mengenang ulama termasuk faktor yang memantapkan
peribadi muslim dalam menumbuhkan keberanian dan wibawa
dalam mengontrol pendapat umum dan mewujudkan sikap
tegas dalam melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar.
Kemenangan sejarah masa lalu itu bisa menjadi dorongan
untuk berani maju dalam menumpas pembangkang yang
dengan sengaja tidak memelihara kehormatan Islam dan tidak
menghargai moral yang luhur.33
Dengan demikian, pendidikan nilai sosial itu diarahkan  untuk
membentuk kepribadian sehingga terbentuk masyarakat yang damai dan
tenteram. Masyarakat seperti itu menjadi tujuan pendidikan Islam. Mereka

33
Yusuf Qardlawi, Pendidikan Islam dan Madrasah Hasan al-Banna, terj. Bustami
Abdul Gani (Jakarta: Bulan Bintang, 1980), hlm. 359-509.
adalah manusia yang sesuai dengan eksistensi sebagai manusia beradab yang
akhirnya membetuk masyarakat ideal.

Nasih Ulwan berpendapat, Cara atau metode dalam menyampaikan


nilai-nilai pendidikan Islam bisa diklasifikasi menjadi lima macam.34
1. Keteladanan
Metode ini sangat efektif dalam mempersiapkan dan membentuk
moral, spiritual, dan sosial, sebab guru menjadi contoh ideal bagi anak.
Semua tingkah laku, sikap dan ucapan akan melekat pada diri dan
perasaan anak. Ini menjadi faktor penentu keberhasilannya. Dengan
keteladanan ini akan menjadi imitasi dan di ikuti dengan identifikasi
nilai-nilai kebaikan untuk dipilih dan dilakukan. Metode ini memiliki
nilai persuasif sehingga tanpa disadari akan bisa terjadi perembesan dan
penularan nilai-nilai kebaikan. Metode keteladanan ini bisa
dilaksanakan melalui pelajaran agama dan pendidikan moral atau yang
lain. Sehingga perlu peningkatan kualitas atau performance yang
memiliki nilai Islam.
2. Kebiasaan
Manusia meiliki potensi baik dan buruk. Bila lingkungannya baik
dia akan menjadi baik, begitu pula sebaliknya. Karena itu, dalam
pendidikan perlu ada praktik nyata dalam dilakukan oleh anak sehingga
menjadi kebiasaan yang pola sikap dan perilaku sehari-hari. Asy-
Syaibani memandang metode pembiasaan ini mencakup juga tujuan
pendidikan nilai itu sendiri,35sebab kebiasaan anak yang berupa
bentukan sikap diri itu juga menjadi salah satu tujaun pendidikan itu
34
Abdullah Nasih Ulwan, Tarbiyah al-Aulad fi al-Islam, (Beirut: dar al-Salam, 1981),
cet II. Hlm. 542.
35
Omar Muhammad al-Toumy al-Syaibany, Filsafat Pendidikan Islam, terj. Hasan
Laguulung (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), hlm. 585
sendiri. Meskipun demikian, pembiasaan itu bisa dilaksanakan jika anak
segan terhadap orang lain yang dihormati dan ditaati perintahnya.
3. Nasihat
Keperluan metode ini adalah karena dalam kenyataan tidak semua
orang bisa menangkap nilai-nilai kebaikan dan keburukan yang telah
menjadi kebiasaan dan keteladanan. Karena itu, dalam upaya
menanamkan nilai itu diperlukan pengarahan atau nasihat yang
berfungsi untuk menunjukkan kebaikan dan keburukan. Dalam metode
ini bisa memungkinkan terjadinya dialog sebagai usaha mengerti sistem
nilai yang dinasihatkan. Nasihat berperan dalam menunjukkan nilai
kebaikan untuk selanjutnya diikuti dan dilaksanakan serta menunjukkan
nilai kejahatan untuk dijauhi. Karena persoalan nilai merupakan realitas
kompleks dan bukan hasil kreativitas yang tertutup dan berdikari,
pemberian nasihat itu sama halnya menjadi proses sosialisasi.
4. Pengawasan
Metode ini dilaksanakan dengan cara mendampingi anak dalam
membentuk nilai psikis dan sosial. Pengawasan ini berperan mengetahui
perkembangan atau kebiasaan anak supaya diketahui penyimpangan
yang harus diluruskan. Bila metode pengawasan ini tidak dilaksanakan,
berarti di dunia pendidikan telah memberi peluang kepada anak untuk
berbuat semaunya tanpa mempertimbangkan nilai baik dan buruknya.
Peranan pengawasan ini sangat dominan dalam membentuk kepribadian
mulia pada diri anak yang menjadi tujuan dari pendidikan sendiri.
5. Hukuman
Dasar penggunaan metode ini adalah adanya potensi
membangkang dalam diri manusia untuk melakukan kejahatan.
Pembangkangan terhadap kejahatan ini berlanjut terus-menerus meski
telah diberi nasihat. Karena itu, perlu hukuman atau sanksi sesuai
dengan kadar kejahatan yang diperbuatnya. Dengan sanksi itu anak
diharapkan bisa tumbuh kesadaran untuk meninggalkan kejahatan yang
diperbuatnya. Dengan sanksi itu anak diharapkan bisa tumbuh kesadaran
untuk meninggalkan kejahatan dan kembali ke jalan yang benar sesuai
dengan nilai-nilai ajaran Islam. Ibnu Maskawih menyatakan bahwa
hukuman itu perlu dilaksanakan supaya anak terbiasa menjalankan
hidup beragama.
Pengulangan dan pelaksanaan pendidikan nilai akan menjadi
penghayatan, dengan syarat : 1) Nilai harus memiliki teladan yang
menjadi tempat melekatnya nilai itu, 2) Teladan itu harus berupa
manusia biasa yang dengan kekurangannya bisa menjadi model, dan 3)
Semua guru menjadi pengajar nilai sebab semua memiliki pengaruh
terhadap terwujudnya nilai itu.
4. Kesimpulan
Pendidikan sufistik dimaksud disini adalah integrasi antara iman,
ilmu dan realisasi amal. Sebagaimana dijelaskan diatas bahwa ilmu yang
utama adalah ilmu yang dilahirkan dari dorongan iman, iman yang
dimaksud disini adalah iman yang memiliki kepekaan dan sekaligus
kekuatan untuk memahami dan berbuat. Selain itu, ilmu yang utama adalah
ilmu yang membuahkan amal sebagai karya nyata kehidupan yang
diabdikan untuk kemaslahatan manusia dalam bentuk amal saleh dan
penghambaan diri kepada Tuhan. Sementara amal itu sendiri merupakan
proses aktualisasi diri manusia dalam membangun budaya Islami,
memajukan peradaban, memcahkan problem kehidupan, dan meneguhkan
eksistensi harkat kemanusiaan sebagai hamba dan khalifah-Nya.
5. Daftar Pustaka
Abdul Mujib CS, Nuansa-nuansa Psikologi Islam; Jakarta : Raja Grafindo
Persada, 2002.
Abdul Munir Mulkhan, Satu Tuhan Seribu Tafsir, Yogyakarta: Kanisius,
2007.
Abdullah Nasih Ulwan, Tarbiyah al-Aulad fi al-Islam, Beirut: dar al-Salam,
1981.
Abdurrahman an-Nahlawi, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah, dan
Masyarakat, Jakarta: Gema Insani Press,1995.
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindio
Persada, 1999.
Achmad Mubarok, Psikologi Qur’ani, Pustaka Firdaus, Jakarta, 2001,
Dakir dan Sardimi, Pendidikan Islam dan ESQ (Komparasi-Integrasi
Upaya Menuju Stadium Insan Kamil Semarang: RaSAIL Media Group,
2011.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Cet. III; Jakarta: Balai Pustaka, 1994.
Fatiyah Hasan Sulaiman, Konsep Pendidikan Al Ghozali, Alih bahasa Andi
Hakim dan M Imam Aziz, Jakarta:CV.Guna Aksara, 1990.
Harun Nasution, Filsafat dan Mistisme dalam Islam Jakarta: Bulan
Bintang, 1973.
Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jilid II, UI Press,
Jakarta, 2002,
Hasyim muhammad, Dialog Antara Tasawuf dan Psikologi, Telaah Atas
Pemikiran Psikologi Humanistik Abraham Maslow, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 2002,
HM. Amin Syukur dan H. Masyharuddin, Intelektualisme Tasawuf,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2002,
John P. Miller, oleh Abdul Munir Mukhan, Cerdas di Kelas Sekolah
Kepribadian: Rangkuman Model Pengembangan Kepribadian dalam
Pendidikan Berbasis Kelas, Yogyakarta: Kreasi Wacana
Karim al-Bastani et.all, al-Munjid fi Lughat wa’Alam,(Bairut: Dar al-
Masyriq, 1975), hlm 243-244
Muhaimin dan Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam Kajian Filosofis
dan KerangkaDasar Operasionalisasinya, Bandung:PT.Tri Genda Karya,
1993.
Muhammad Abdul Haq Ansari, Antara Sufisme Dan Syari’ah, Jakarta: CV.
Rajawali, 1990.
Muhammad Athiyah al-Abrasyi, Ruh al-Tarbiyat wa-al Ta’lim, Saudi
Arabiya: Dar al-Ihya’, tth.
Omar Muhammad al-Toumy al-Syaibany, Filsafat Pendidikan Islam, terj.
Hasan Laguulung , Jakarta: Bulan Bintang, 1979.
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia, 2002.
Supiana dan M. Karman, Materi Pendidikan Agama Islam Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2009.
Tim Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maliki, Pendidikan Islam dari
Paradigma Klasik hingga Kontemporer (Malang: UIN-Malang Press:
Malang, 2009.
Yusuf Qardlawi, Pendidikan Islam dan Madrasah Hasan al-Banna, terj.
Bustami Abdul Gani Jakarta: Bulan Bintang, 1980.

Anda mungkin juga menyukai