Abstrak
B. Pembahasan
1. Pengertian Pendidikan Islam
Pendidikan dan manusia merupakan suatu kesatuan yang tidak
dapat dipisahkan karena pendidikan hanya untuk manusia dan manusia
menjadi manusia karena adanya pendidikan. Untuk itu akan dikaji
pengertian pendidikan itu dari dua aspek yaitu aspek etimologis dan aspek
terminologis.
Menurut mu'jam (Kamus) kebahasaan sebagaimana
dikutip Ramayulis, kata tarbiyah memiliki tiga akar kebahasaan,2 yaitu:
a. Memiliki arti tambah (zad) dan berkembang (nama). Pengertian'ini
didasarkan atas Q.S. al-Rum ayat 39.
b. Memiliki arti tumbuh (nasya’) dan menjadi besar (tara ra'a).
2
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2002), hlm. 2.
c. Memiliki arti memperbaiki (ashalaha), menguasai urusan, memelihara,
merawat, menunaikan, memperindah, memberi makan, mengasuh, tuan,
memiliki, mengatur dan menjaga kelestarian dan eksistensinya.3
Pada masa sekarang istilah yang populer dipakai orang adalah
tarbiyah, karena menurut Athiyah Abrasyi tarbiyah adalah term yang
mencakup keseluruhan kegiatan pendidikan. la adalah upaya yang
mempersiapkan individu untuk kehidupan yang lebih sempurna etika,
sistimatis dalam berpikir, memiliki ketajaman intuisi, giat dalam berkreasi,
memiliki toleransi pada yang lain, berkompetensi dalam mengungkap
bahasa lisan dan tulis, serta memiliki beberapa keterampilan.4
Sedangkan istilah yang lain merupakan bagian dari kegiatan
tarbiyah. Dengan demikian maka istilah pendidikan Islam disebut Tarbiyah
Islamiyah Kata pendidikan juga ditemukan dalam bahasa Arab, yang biasa
digunakan kata-kata; tarbiyah, ta'alim, ta'dib. Menurut Abdur Rahman An
Nahlawi,5 kata tarbiyah ditemukan dalam tiga akar kata yaitu:
a. Raba – yarbu, yang artinya bertambah dan berkembang. Ini di
dasarkan kepada surat Ar Rum: 39.
b. Rabiya - yarba,' artinya tumbuh dan berkembang.
c. Rabba - yarubbu, berarti memperbaiki, mengurusi kepentingan,
mengatur, menjaga, dan memperhatikan. Imam Baidowi; ar-Rabitu
bermakna tarbiyah,yang makna lengkapnya adalah menyampaikan.
sesuatu hingga mencapai kesempurnaan. Menurut Ar Raqib Al
Ashfahani, ar Rab, berarti tarbiyah yang makna lengkapnya adalah
3
Karim al-Bastani et.all, al-Munjid fi Lughat wa’Alam,(Bairut: Dar al-Masyriq, 1975),
hlm 243-244
4
Muhammad Athiyah al-Abrasyi, Ruh al-Tarbiyat wa-al Ta’lim, (Saudi Arabiya: Dar
al-Ihya’, tth), hlm. 7, 14.
5
Abdurrahman an-Nahlawi, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah, dan Masyarakat,
(Jakarta: Gema Insani Press,1995), hlm. 20.
menumbuhkan perilaku demi perilaku serta bertahap hingga mencapai
batasan kesempurnaan.
2. Tujuan Pendidikan Islam
Berbicara tentang tujuan pendidikan Islam berarti berbicara tentang
nilai-nilai ideal yang bercorak Islami. Hal ini mengandung makna bahwa
tujuan pendidikan Islam tidak lain adalah tujuan yang merealisasi idealitas
Islam. Sedang idealitas Islam itu sendiri pada hakikatnya adalah
mengandung nilai perilaku manusia yang didasari atau dijiwai oleh iman
dan taqwa kepada Allah sebagai sumber kekuasaan mutlak yang harus
ditaati. Dalam perumusan tujuan pendidikan Islam harus berorientasi pada
hakikat pendidikan yang meliputi beberapa aspeknya misalnya tentang6:
a. Tujuan dan tugas hidup manusia, manusia diciptakan dengan
membawa tujuan dan tugas hidup tertentu, tujuan manusia
diciptakan hanya untuk Allah, tugasnya berupa ibadah dan tugas
sebagai wakil Allah dimuka bumi.
b. Memperhatikan sifat-sifat dasar manusia, ia tercipta sebagai kholifah
dimuka untuk beribadah, yang dibekali dengan banyak fitrah yang
berkecenderungan pada kebenaran dari tuhan sebatas kemampuan
dan kapasitas ukuran yang ada.
c. Mengkondisikan dan menyesuaikan apa yang berkembang dalam
7
Fatiyah Hasan Sulaiman, Konsep Pendidikan Al Ghozali, Alih bahasa Andi Hakim
dan M Imam Aziz, (Jakarta:CV.Guna Aksara, 1990), cet.II, hlm.31
Quran surat At Tiin ayat 4 yang darinya dapat disimpulkan bahwa manusia
dengan sebaik-baik bentuk (struktuk fisik, mental dan spiritual).
Karenanya tujuan pendidikan Islam adalah untuk menciptakan
manusia yang beriman serta beramal sholeh. Diuraikan sebagai berikut.
a. Iman: adalah sesuatu yang hadir dalam kesadaran manusia dan menjadi
motivasi untuk segala perilaku manusia.
b. Amal: perbuatan, perilaku, pekerjaan, pengkhidmatan, serta segala yang
menunjukkan aktifitas manusia.
c. Sholeh: baik, relevan, bermanfaat, meningkatkan mutu, berguna,
pragmatis dan praktis.
3. Pendidikan Islam dalam Prespektif Tasawuf
Istilah “pendekatan” secara morfologis berasal dari
kata “dekat.Istilah tersebut secara leksikal berarti jarak, hampir, akrab.
Secara etimologi berarti proses, perbuatan atau cara mendekati.8Dalam
perspektif terminologi, istilah pendekatan berarti paradigma yang terdapat
dalam suatu disiplin ilmu tertentu yang selanjutnya dipergunakan untuk
memahami suatu masalah tertentu.9
Ada juga pendapat yang mengatakan bahwa kata shufi berasal dari
bahasa Yunani shopos yang berarti hikmah.10 Dari beberapa pendapat yang
ada, pendapat yang mengatakan kata sufi diambil dari kata suf yang berarti
wool adalah pendapat yang lebih diterima. Karena dengan berpakaian
sederhana itu, mereka merasa terhindar dari sifat riya’ dan lebih
menunjukkan kezuhudan.
8
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Cet. III;
Jakarta: Balai Pustaka, 1994), hlm. 625
9
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam (Cet. III; Jakarta: PT. Raja Grafindio Persada,
1999), hlm. 88.
10
Supiana dan M. Karman, Materi Pendidikan Agama Islam (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2009), Cet. IV, hlm. 218.
Dari banyaknya definisi tasawuf secara terminologis sesuai dengan
subjektifitas masing-masing sufi, maka Ibrahim Basyuni
mengklasifikasikan tasawuf menjadi 3 macam yang menunjukkan elemen-
elemen,11 yakni:
a. Al-bidayah sebagai pengalaman ahli sufi tahap pemula, yang
mengandung arti bahwa seseorang secara fitrahnya sadar dan mengakui
bahwa semua yang ada ini tidak dapat menguasai dirinya sendiri karena
dibalik yang ada terdapat realitas mutlak, dan elemen ini dapat disebut
sebagai tahap kesadaran tasawuf.
b. Al-mujahadah sebagai pengamalan praktis ahli sufi yang merupakan
tahap perjuangan keras, karena jarak antar manusia dengan realitas
mutlak yang mengatasi semua yang ada bukan jarak fisik yang berupa
rintangan dan hambatan, maka dari itu diperlukan kesungguhan dan
perjuangan yang keras untuk mencapai dan menempuh jarak tersebut
dengan cara menciptakan kondisi tertentu untuk dapat mendekatkan diri
dengan realitas mutlak.
c. Al- Madzaqat sebagai pengalaman dari segi perasaan, jadi ketika
seseorang telah lulus melewati hambatan dan rintangan untuk
mendekatkan diri dengan realitas mutlak, maka ia akan dapat
berkomunikasi dan berada sedekat mungkin dihadirat-Nya serta akan
merasakan kelezatan spiritual yang didambakan.
Karena tasawuf sudah menjadi sebuah disiplin ilmu, maka Harun
Nasution mendefinisikan tasawuf sebagai ilmu yang mempelajari cara dan
jalan bagaimana orang Islam dapat sedekat mungkin dengan Allah SWT
agar dapat memperoleh hubungan langsung dengan-Nya, artinya
11
Supiana dan M. Karman, Materi Pendidikan,. Hlm. 218.
bagaimana diri seseorang dapat betul-betul berada di kehadirat-Nya.12
Dengan demikian, intisari dari sufisme adalah kesadaran akan adanya
komunikasi dan dialog antara ruh manusia dengan realitas mutlak (Allah)
yang dapat diperoleh dengan melalui beberapa usaha tertentu.
Terkait dengan tujuan dari tasawuf adalah sebagai bentuk
pengabdian seseorang terhadap Tuhannya dalam melaksanakan salah satu
tugasnya yaitu sebagai seorang ‘Abd (hamba), disamping ia juga sebagai
seorang khalifah (pemimpin). Karena seperti yang disampaikan oleh
Muhammad Abdul Haq Ansari bahwa tidak ada tingkatan yang lebih
tinggi dibanding tingkatan kehambaan (a’bdiyyat) dan tidak ada kebenaran
yang lebih tinggi diluar Syariah.13
Manusia adalah makhluk yang berpikir dan merasa. Bertasawuf
artinya menghidupkan hubungan rasa antara manusia dengan Tuhan. Bagi
orang yang sudah sampai pada stasion ridha atau mahabbah, apalagi
ma’rifat, maka ia tak akan terganggu oleh perubahan zaman hidupnya,
karena pusat perhatiannya tidak lagi kepada yang berubah, tetapi kepada
yang tetap tak berubah yaitu Allah SWT. Kesadaran rasa berhubungan
dengan Tuhan dapat memupuk fitrah keberagamaan yang hanif dan
mempertajam bashirah sehingga seseorang selalu tergelitik untuk
memperdekatkan dirinya (taqarrub) kepada Allah.14 Salah satu ajaran yang
dapat mendekatkan diri manusia kepada Tuhan, adalah tasawuf. Sebagai
salah satu disiplin keagamaan, tasawuf merupakan bidang yang oleh
12
Harun Nasution, Filsafat dan Mistisme dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1973),
hlm. 56.
Muhammad Abdul Haq Ansari, Antara Sufisme Dan Syari’ah (Jakarta: CV.
13
15
Hasyim muhammad, Dialog Antara Tasawuf dan Psikologi, Telaah Atas Pemikiran
Psikologi Humanistik Abraham Maslow, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2002, hlm. 1
16
Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1995,
hlm. 56.
17
Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jilid II, UI Press, Jakarta,
2002, hlm.68.
18
HM. Amin Syukur dan H. Masyharuddin, Intelektualisme Tasawuf, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 2002, hlm. 14.
19
HM. Amin Syukur dan H. Masyharuddin, Intelektualisme Tasawuf. hlm. 14--15.
Apabila dalam pengertian kedua (dari sisi al-Mujahadah), tasawuf
mempunyai pengertian berjuang, menundukkan hawa nafsu/keinginan,
maka pengertian tasawuf pada sisi al-Madzaqat, tasawuf diartikan dan
dititik beratkan pada rasa serta kesatuan dengan yang mutlak, sebagaimana
dikatakan oleh Ruwaim bahwa tasawuf itu ialah melepaskan jiwa terhadap
kehendak Allah SWT.
Sedang al-Hallaj menyatakan bahwa tasawuf itu kesatuan dzat.20
Dengan demikian dapat diungkapkan secara sederhana, bahwa tasawuf itu
ialah suatu sistem latihan dengan kesungguhan (riyadlah mujahadah) untuk
membersihkan, mempertinggi dan memperdalam kerohanian dalam rangka
mendekatkan diri kepada Allah, sehingga dengan itu segala konsentrasi
seseorang hanya tertuju kepada-Nya. Oleh karena itu, maka al-Suhrawardi
mengatakan bahwa semua tindakan (al-akhwal) yang mulia adalah
tasawuf.21 Dengan pengertian seperti itu, HM. Amin Syukur merumuskan
bahwa tasawuf adalah bagian ajaran Islam, karena ia membina akhlak
manusia (sebagaimana Islam juga diturunkan dalam rangka membina
akhlak umat manusia) di atas bumi ini, agar tercapai kebahagiaan dan
kesempurnaan hidup lahir dan batin, dunia dan akherat.
Oleh karena itu, siapapun boleh menyandang predikat mutasawwif
sepanjang berbudi pekerti tinggi, sangup menderita lapar dan dahaga, bila
memperoleh rizki tidak lekat di dalam hatinya, dan begitu seterusnya, yang
pada pokoknya sifat-sifat mulia, dan terhindar dari sifat-sifat tercela. Hal
inilah yang dikehendaki dalam tasawuf yang sebenarnya.22
1. Pengaruh Tasawuf dalam Pendidikan Islam.
20
HM. Amin Syukur dan H. Masyharuddin, Intelektualisme Tasawuf. Hlm. 14-15.
21
HM. Amin Syukur dan H. Masyharuddin, Intelektualisme Tasawuf, hlm. 14-15.
22
HM. Amin Syukur dan H. Masyharuddin, Intelektualisme Tasawuf . Hlm. 16-17.
Para ahli tasawuf membagi dengan secara ahlaki, amali, falsafi.
Ketiga macam ini bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah
SWT dengan cara membersihkan diri dari sifat-sifat yang tercela dan
menghiasi diri dari sifat yang terpuji. Dengan demikian tasawuf harus
dicapai dengan akhlak yang terpuji terlebih dahulu, seperti
menekenkan akan kejujuran, rendah hati, tidak sombong, ramah, bersih
hati, berani dan semacamnya, nilai-nilai ini yang seharusnya dimiliki
oleh seorang muslim. Sejalan dengan hal itu tujuan pendidikan dalam
pandangan Islam banyak berhubungan dengan kualitas manusia yang
berahlak. Ahmad D marimba misalnya mengatakan bahwa tujuan
pendidikan adalah identik dengan tujuan hidup seorang muslim, yaitu
menjadi hamba Allah yang mengandung implikasinya menjalankan
perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Dari penjelasan tersebut
bisa disimpulkan tujuan pendidikan Islam dan tasawuf sangat erat
kaitanya yang sama-sama menjadi seseorang yang berahlak.
2. Peran Teori Sufistik dalam Pendidikan
Tingkat pemahaman sesorang tentang Tuhan, juga menentukan
tingkat kecerdasan secara spritual terhadap Tuhan. Dalam diri manusia
itu sendiri ada berbagai kecerdasan yang menyangkut hal-hal seperti
keilmuan, spritualitas, kejiwaan, ekonomi sosial. Tingkat kecerdasan
ini, juga tidak selalu dilambangkan Kualitas pemahaman kita atas
sesuatu hal, menentukan tingkat kecerdasan kita pada hal tersebut
dengan kejeniusan otak atau kemampuan menganalisa sesuatu, karena
ia melibatkan kedalaman hati (deep insight), pemahaman, dan
kearifan.
Tujuan dari penciptaan manusia oleh Allah swt. adalah
sebagai ‘abd(hamba) dan sekaligus khalifah (pemimpin) di muka
bumi, yang di dalamnya terdapat berbagai persoalan hidup yang harus
dihadapi. Akan tetapi berbagai permasalah kehidupan akan dapat
dengan mudah diatasi apabila ada kedekatan seseorang dengan-Nya.
Dalam hal ini, pengembangan kepribadian dapat dilakukan dalam
proses pencapaian qalbun salim, karena Allah swt. hanya dapat dekat
dengan hati yang jernih. Dalam proses pencapaian qalbun salim inilah,
diperlukan pendidikan yang responsif terhadap pengembangan hati
nurani.23 Maka pendekatan sufistiklah yang mampu memerankan
sebagai pendidikan yang memperhatikan terhadap aspek ruhani.
Dalam buku “Pendidikan Islam dari Paradigma Klasik hingga
Kontemporer” yang mengambil dari buku “psikologi sufi”
menyebutkan bahwa perspektif para sufi mengatakan hakikat realitas
adalah spiritual karena segala sesuatu berasal dari sang pencipta.
Dalam hal ini, ada hubungan paralel yang dapat dijelaskan lebih
spesifik antara realitas makrokosmos dan mikrokosmos, yaitu; dalam
dunia makrokosmos terdapat tingkatan-tingkatan realitas (alam materi,
alam nasut, alam malakut, alam jabarut, dan alam lahut).
Sedangkan dalam dunia mikrokosmos (diir manusia) juga
terdapat lapisan-lapisan (lapisan fisikal, nafs, qalb, ruh, kesadaran
batin, dan kesadaran batin terdalam). Beberapa lapisan tersebut harus
dilalui oleh jiwa manusia untuk mencapai kesempurnaan (kedekatan
dengan Allah swt.).
Sedangkan dalam ilmu pengetahuan modern memandang
hakikat realitas adalah material. Teori modern mengatakan bahwa
dunia yang dapat dikaji adalah dunia yang secara valid hanyalah
realitas objektif (alam materi/ lapis fisikal atau yang memiliki sifat
23
Tim Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maliki, Pendidikan Islam dari Paradigma Klasik
hingga Kontemporer (Malang: UIN-Malang Press: Malang, 2009), hlm. 26.
kebendaan). Dalam hal ini, dapat dikatakan dengan sudut pandang
yang sangat dangkal, karena pada hakikatnya bahwa realitas itu
memiliki multi aspek, baik aspek indrawi maupun supra
indrawi.24 Dengan demikian, perlu adanya keseimbangan antara aspek
material yang sangat rasional dengan aspek spiritual yang irasional,
dengan tujuan akhir maju dalam ilmu pengetahuan modern dengan
tetap membawa tanggung jawab sebagai hamba Allah swt.
3. Paradigma Pendidikan Sufistik dalam Pendidikan Islam
Pada hakikatnya, tujuan pendidikan Islam adalah membina
umat manusia agar dapat menjadi manusia yang sempurna (insan
kamil). Hal ini dimaksudkan agar manusia dapat terhindar dari bebagai
macam belenggu kehidupan manusia, dan mencapai kebahagiaan
dalam kehidupan akhirat. Akan tetapi tujuan ideal tersebut masih jauh
dari harapan, dengan disebabkan adanya beberapa hal yang salah satu
diantaranya adalah pendidikan Islam yang masih mengedepankan pola
hidup yang lebih dekat hubungannya dengan Tuhan dan
mengesampingkan adanya sisi kehidupan dunia, sehingga seseorang
akan menjadi makhluk yang gagap dengan teknologi.25Gambaran
seseorang dalam hal ini dapat dikatakan bahwa terlahir orang-orang
yang dapat merasakan dengan hatinya, akan tetapi dia tidak cermat
dalam memanfaatkan rasionya. Maka dalam hal ini sangatlah
diperlukan suatu langkah pendidikan yang memperhatikan potensi rasa
dan rasio.
Selain itu, di lain sisi yang berhubungan dengan zaman modern
juga terdapat ilmu pengetahuan yang kering dari cita rasa, yang dapat
24
Tim Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maliki, hlm. 26.
25
Dakir dan Sardimi, Pendidikan Islam dan ESQ (Komparasi-Integrasi Upaya Menuju
Stadium Insan Kamil (Semarang: RaSAIL Media Group, 2011), hlm. 233-234.
dilihat dari banyak terjadinya dekadensi kehidupan, emosi, dan moral.
Hal ini menjadikan lenyapnya kekayaan ruhaniyah yang dapat
digunakan sebagai alat untuk memperkokoh derajat mulia manusia di
bumi ini.26 Maka dalam dunia pendidikan dan khususnya pendidikan
Islam sangat diperlukan sebuah pemikiran ke arah integrasi antara ilmu
pengetahuan dengan agama yaitu agama yang didekati dengan
pandangan sufistik, yang dimaksudkan sebagai langkah menjadikan
peserta didik seorang yang pandai dan penuh tanggung jawab terhadap
Allah swt.
Dalam hal ini, muncul pandangan untuk dilakukannya
rekonstruksi paradigma pendidikan ke arah sufistik-alternatif, yaitu
sebagai berikut:
a. Landasan Filosofi, kehidupan manusia pada hakikatnya adalah
menuju dan mendekatkan diri kepada Allah swt., dan Dia hanya
dapat didekati dengan pribadi yang berhati jernih. Hati yang jernih
dapat dicapai melalui riyadlah, yang pada akhirnya seseorang
dapat mencapai kesempurnaan sebagai manusia.
b. Proses Pendidikan, berdasar pada landasan filosofis di atas, proses
pendidikan diharapkan mampu membuka pintu kesadaran manusia
untuk semakin mendekatkan diri kepada Allah swt., dan dalam
proses pendidikan tidak hanya memperdulikan terhadap
pengembangan pada dimensi fisik, tetapi juga memperhatikan
dimensi non fisik. Sehingga ada keseimbangan antara rasa dan
rasio, serta ada pemahaman konsep-konsep maqamat secara
tepat.27
4. Pola Pendekatan Sufistik dalam Pendidikan Agama Islam
26
Tim Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maliki, hlm. 28.
27
Tim Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maliki, hlm. 28-29.
Upaya penanaman nilai-nilai keagamaan berbasis kesadaran
ketuhanan (pendidikan sufistik) bisa ditempuh melalui tiga cara: 28(1)
Penanaman nilai secara bertahap, dari inderawi sampai ke rasional,
dari parsial sampai universal. (2) Penerapan jiwa khusyu’, taqwa, dan
ibadah. Cara ini disadari sulit untuk dilaksanakan, tetapi bila anak
sudah diberi peringatan, ia akan berubah karakternya. (3) Penyadaran
akan pengawasan Allah SWT terhadap setiap tingkah laku dan situasi
melalui latihan dan keyakinan.
Adapun metode pendidikan sufistik menurut Munir Mulkhan
adalah:
a. Kegiatan pembelajaran dimulai dengan usaha agar peserta didik
mendefinisikan siapa dirinya, apa yang akan dipilih, dan menyadari
resiko yang akan dihadapi dengan pilihannya itu. Berikutnya,
peserta didik menyusun sendiri konsep tentang kebenaran dan
kebaikan menurut pandangannya sehingga bisa menjadi miliknya
sendiri. Dari sini diharapkan bisa berkembang kepekaan sosial
dalam kesediaan berbagi rasa dengan orang lain. Selanjutnya akan
tumbuh kecerdasan yang utuh dan bulat sebagai dasar baginya
dalam melatih intuisi dan imaginasi ketuhanannya, serta melatih
kemampuan kecerdasan rasionalnya.29
b. Metode pembelajaran berorientasi penciptaan situasi belajar
ketuhanan. Dari sini diharapkan peserta didik bisa menjalani proses
kreatifnya sendiri dalam ber-Tuhan dan ber-Islam. Dari sini peserta
didik bisa menemukan sendiri dan menyadari kehadiran Tuhan
28
Abdullah Nasih Ulwan, Tarbiyah al-Aulad fi al-Islam, (Beirut: dar al-Salam, 1981),
cet II. Hlm. 163-172.
29
John P. Miller, oleh Abdul Munir Mukhan, Cerdas di Kelas Sekolah Kepribadian:
Rangkuman Model Pengembangan Kepribadian dalam Pendidikan Berbasis Kelas,
(Yogyakarta: Kreasi Wacana), hlm. 25.
dalam kelas atau kehidupan sehari-hari. Kesadaran personal seperti
itu adalah kunci utama proses pembelajaran bagi penumbuhan daya
kreatif yang bebas dan mandiri dari setiap peserta didik.
Harapannya, peserta didik terus berusaha menyempurnakan
pengetahuan tentang ajaran Tuhan dan pemenuhannya sehingga
menjadi kaffah baik selama proses pembelajaran dalam kelas atau
diluar lingkungan sekolah dan dalam kehidupan sosial usai
sekolahnya nanti.30
c. Melibatkan peserta didik di setiap proses berpengetahuan melalui
studi alam dan kemanusiaan. Tujuan utamanya adalah agar peseta
didik menemukan dan mengenal sendiri Tuhan.31
d. Praktikum ritual dan pelatihan akhlak terprogram. Sesuai ajaran
agama meliputi iman, akhlak, dan ibadah, lebih strategis jika
pendidikan agama difokuskan pada pengayaan pengalaman
ketuhanan (iman), ritual (ibadah), dan akhlak, bukan hanya ilmu.
Pengayaan pengalaman ritual bisa ditempuh melalui Pengayaan
pengalaman ketuhanan melalui studi sejarah tentang kisah-kisah
sukses dan gagal dari kehidupan sehari-hari atau sejarah bangsa-
bangsa didunia. Selain itu juga melalui studi fisika, biologi, kimia
yang difokuskan pada kehebatan Tuhan menciptakan alam dan
seluruh makhluk hidup daritingkatan paling rendah hingga energi
dan manusia
Pendidikan sufistik yang berbasis kesadaran ilahiah juga
sebagai landasan semua dimensi perilaku peserta didik dalam
30
Abdul Munir Mulkhan, Satu Tuhan Seribu Tafsir, (Yogyakarta: Kanisius, 2007),
hlm. 79
31
Abdul Munir Mulkhan, Satu Tuhan, hlm. 79.
hubungan sosial. Untuk merealisasikan tataran sosial tersebut terdapat
beberapa cara:
a. Penanaman dasar-dasar kejiwaan yang mulia berupa; (a) Ketakwaan
pada Allah SWT sebagai hasil hakiki dan alami dari emosi iman
yang menjadi benteng guna menangkal kehendak perbuatan
jahat. (b) Persaudaraan (ukhuwwah) yang bisa melahirkan sikap
positif untuk saling menolong dan tidak mementingkan diri sendiri.
(c) Kasih sayang terhadap sesama manusia yang merupakan
kepekaan untuk bisa merasa senasib sepenanggungan terhadap
problem orang lain. (d) Toleran, berani membela, dan menyatakan
kebenaran serta tidak egois yang berpengaruh penting bagi
integritas dan solidaritas serta kebaikan manusia.
b. Pemeliharaan hak orang lain dengan dasar kejiwaan yang mulia.
Dasar-dasar kejiwaan itu merupakan ruh dari fenomena dalam
berinteraksi dengan orang lain yang bersumber dari spirit kejiwaan
itu. Hak orang lain meliputi: (a) Hak orang tua untuk ditaati segala
perintahnya yang baik yang menjadi pangkal tolak segala hak
kemasyarakatan. (b) Hak kerabat untuk selalu mendapat jalinan
persaudaraan dengan jalan silaturahmi yang dapat mendorong anak
untuk cinta kepada kerabat. (c)Hak tetangga mendapatkan rasa
aman dan ketentraman supaya dalam diri anak bisa
tumbuh semangat memperhatikan orang lain sehingga menjadi
insane sosial yang tidak mengisolasi diri. (d) Hak guru untuk
memperoleh penghormatan akan kemuliaannya yang merupakan
kewajiban seorang murid.(e) Hak teman sebagai mitra dalam
pergaulan dan berinteraksi yang darinya dapat dikenali watak
seseorang. (f) Hak orang dewasa mendapatkan perlakuan yang
sopan yang termasuk indikator keikhlasan dan loyalitas terhadap
agama.
c. Disiplin etika sosial supaya anak dapat menangkap esensi
problematika dalam pergaulan dimasyarakat dengan kebaikan dan
cinta kasih dan budi luhur. Karena itu, disiplin etika sosial menjadi
dasar pendidikan yang sebenarnya. Keberhasilannya pun berkaitan
erat dengan penanaman dasar kejiwaan. Islam meletakkan system
pendidikan itu untuk membentuk akhlak anak, mempersiapkan
tingkah laku dan sikap sosialnya yang disebut etika sosial. Dengan
bekal itu, diharapkan seorang anak dalam pergaulannya bisa
bersikap dan berperilaku secara bijak seperti orang dewasa. Disiplin
etika itu meliputi: etika makan dan minum, memberi salam,
meminta izin masuk rumah, duduk dalam pertemuan, berbicara,
bergurau, memberikan ucapan selamat, menjenguk orang sakit,
melawat kematian, bersin, dan menguap. Semua diatur secara
terinci guna merealisasikan akhlak yang diajarkan Islam untuk
dilaksanakan semua orang dalam segala jenis, tingkatan dan
statusnya. Meski ajaran etika ini diberikan Nabi Muhammad pada
zaman dahulu, nilai-nilai moralnya tetap relevan untuk
dilaksanakan pada masa kini dan datang. Disiplin etika
menunjukkan bahwa Islam merupakan agama sosial yang datang
untuk memperbaiki masyarakat manusia.
d. Kontrol dan kritik sosial itu menjadi sarana dalam mewujudkan
prinsip amar ma’ruf nahi munkar. Prinsip ini oleh Qardlawi
dipandang sebagai pendidikan politik yang menjadi inti dari
pendidikan sosial.32 Tujuannya untuk memberikan kesadaran sosial
32
Yusuf Qardlawi, Pendidikan Islam dan Madrasah Hasan al-Banna, terj. Bustami
Abdul Gani (Jakarta: Bulan Bintang, 1980), hlm. 80.
kepada anak. Karena itu, control dan kritik ini menjadi dasar pokok
ajaran Islam guna mengawasi dan memerangi kejahatan, dekadensi
moral, kezaliman dan memelihara nilai, idealisme dan moralitas
Islam. Oleh karena itu, kontrol dan kritik ini harus memperhatikan
prinsip bahwa:
1) Kontrol pendapat umum merupakan tugas sosial yang tak kenal
kompromi sehingga semua orang harus melaksanakan kegiatan
ini. Dengan tugas sosial ini diharapkan akidah dan moralitas
umat bisa tetap eksis sehingga menjadi kenyataan dan selalu
terhindar dari perilaku zalim.
2) Pelaksanaannya harus bertahap, sesuai kesepakatan ulama,
kebal terhadap cercaan dan berwawasan luas. Untuk itu
pendidik harus mengetahui perilaku, akhlak, dan emosi anak
guna membentuk pribadi muslim menuju martabat yang tinggi.
3) Selalu mengenang ulama termasuk faktor yang memantapkan
peribadi muslim dalam menumbuhkan keberanian dan wibawa
dalam mengontrol pendapat umum dan mewujudkan sikap
tegas dalam melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar.
Kemenangan sejarah masa lalu itu bisa menjadi dorongan
untuk berani maju dalam menumpas pembangkang yang
dengan sengaja tidak memelihara kehormatan Islam dan tidak
menghargai moral yang luhur.33
Dengan demikian, pendidikan nilai sosial itu diarahkan untuk
membentuk kepribadian sehingga terbentuk masyarakat yang damai dan
tenteram. Masyarakat seperti itu menjadi tujuan pendidikan Islam. Mereka
33
Yusuf Qardlawi, Pendidikan Islam dan Madrasah Hasan al-Banna, terj. Bustami
Abdul Gani (Jakarta: Bulan Bintang, 1980), hlm. 359-509.
adalah manusia yang sesuai dengan eksistensi sebagai manusia beradab yang
akhirnya membetuk masyarakat ideal.