Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Manusia merupakan makhluk yang istimewa. Hal ini dikarenakan manusia


dikaruniai akal sebagai keistimewaan dibandingkan makhluk lainnya. Manusia
merupakan makhluk mulia dari segenap makhluk yang ada di alam raya ini. Allah telah
memberikan manusia dengan berbagai keutamaan sebagai ciri khas yang membedakan
dengan makhluk yang lain. Untuk mengetahui komponen yang ada dalam diri manusia,
bisa dilihat pengertian manusia dari tinjauan al-Qur’an.
Keistimewaan manusia juga dikarenakan manusia memiliki potensi yang
dikenal dengan istilah fitrah. Banyak persepsi mengenai makna fitrah, sehingga kadang
melenceng dari konsep fitrah yang sesuai dengan al-Qur’an dan Hadist.
Pandangan Islam secara global menyatakan bahwa fitrah merupakan
kecenderungan alamiah bawaan sejak lahir. Penciptaan terhadap sesuatu ada untuk
pertama kalinya dan struktur alamiah manusia sejak awal kelahirannya telah memiliki
agama bawaan secara alamiah yakni agama tauhid. Islam sebagai agama fitrah tidak
hanya sesuai dengan naluri keberagamaan manusia, bahkan menunjang pertumbuhan
dan perkembangan fitrahnya. Hal ini menjadikan eksistensinya utuh dengan
kepribadiannya yang sempurna.
Titik tolak paradigma Psikologi Barat berasal dari cara pandangnya terhadap
struktur manusia. Psikologi Barat memandang bahwa manusia sebagai makhluk yang
dikendalikan oleh libido sex yang cenderung pesimistis; manusia adalah makhluk
kosong yang dipengaruhi oleh lingkungan; manusia adalah makhluk otonom dengan
keunikannya dan tidak dipengaruhi oleh apapun. Pada sisi lain, Islam menawarkan
sebuah pandangan yang berbeda mengenai manusia, yaitu bahwa manusia adalah
makhluk yang fitrah. Fitrah mempunyai arti murni dan mempunyai potensi untuk
mengenal Tuhan, strukturnya terdiri dari aspek lahiriah (jasad) dan aspek batin (rûh).
Selain itu, Islam juga berpandangan bahwa struktur manusia pada aspek batinnya sesuai
dengan modus dan aksidentalnya, seperti akal yang ada jika berhubungan dengan
intelek, jiwa yang ada ketika berhubungan dengan tubuh manusia, dan hati ketika
berhubungan dengan intuisi.1
Tujuan pendidikan Islam sebagaimana di atas dapat diwujudkan dengan upaya
mengarahkan, membimbing anak didik, mengontrol dan memberikan masukan, tetapi
yang lebih penting dari itu adalah menumbuhkembangkan potensi-potensi alamiah
yang diterima anak sejak ia dilahirkan. Potensi-potensi itulah yang dikenal dalam
pendidikan Islam sebagai fitrah. Fitrah dengan berbagai definisinya dikembangakan

1
Muhammad Faiz Al Afify, “Konsep Fitrah dalam Psikologi Islam”, Jurnal Tsaqofah Volume 14,
Number 2, November 2018, hlm. 296.

1|ILMU PENDIDIKAN ISLAM


melalui proses pembelajaran dalam pendidikan Islam dengan menekankan
keseimbangan antara fitrah lahiriyah dan fitrah bâthiniyah.2 Dalam tulisan ini akan
dibahas mengenai fitrah manusia terkait dengan konsep pendidikan Islam.

B. Rumusan masalah

1. Apa yang dimaksud dengan fitrah?


2. Apa saja komponen-komponen psikologis dalam fitrah?
3. Bagaimana implikasi fitrah manusia terhadap pendidikan?

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Fitrah
Manusia diciptakan Allah dalam struktur yang paling baik diantara makhluk
Allah yang lain. Struktur manusia terdiri dari unsur jasmaniah (fisiologis) dan rohaniah
(psikologis).3 Dalam unsur ini Allah memberikan seperangkat kemampuan dasar yang
memiliki kecenderungan berkarya yang disebut potensialitas. Menurut pandangan
Islam, kemampuan dasar tersebut dinamakan fitrah. Dalam pengertian lain dijelaskan
secara rinci:
1. Fitrah adalah ciptaan Allah, yaitu bahwa manusia telah diberi potensi
yang baik oleh Allah.4
2. Fitrah berarti ciptaan, sifat tertentu yang mana setiap yang maujud
disifati dengannya pada awal masa penciptaannya, sifat pembawaan manusia
(yang ada sejak lahir).5
3. Dalam pandangan Islam, kemampuan dasar/pembawaan disebut dengan
fitrah yaitu dalam pengertian etimologi berarti kejadian, karena kata fitrah
berasal dari kata fathoro yang berarti menjadikan.6
4. Menurut Syahminan Zain (1986: 5), bahwa fitrah adalah potensi laten
atau kekuatan yang terpendam yang ada dalam diri manusia, yang dibawanya
sejak lahir.
Pengertian secara etimologi tersebut masih bersifat umum, untuk mengkhususkan arti
fitrah, berikut ini firman Allah SWT dalam QS. Ar-Rum ayat 30:

2
Mohammad Muchlis Solichin, “fitrah; konsep dan pengembangannya dalam pendidikan islam”,
Tadrîs. 238 Volume 2. Nomor 2. 2007, hlm. 236.
3
M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam: Tinjauan Teoretis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan
Interdisipliner, (Jakarta: Bumi Aksara, 2009), hlm. 42.
4
Hasan Langgulung, Pendidikan dan Peradaban Islam, (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1985), hlm. 215.
5
Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam, (Bandung: Remaja Rosdakrya, 2004), hlm. 16.
6
M. Sudiyono, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), hlm. 137.

2|ILMU PENDIDIKAN ISLAM


Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah
Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrahnya itu, tidak ada perubahan pada
fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.

Selain dalam firman Allah, kewajiban orang tua mendidik anaknya juga terdapat
dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah Ra.:

Menceritakan kepada kita ḥājib, diceritakan oleh Muhammad bin ḥarbin, dari az-
Zubaidiyyi, dari az-Zuhriyyi, menceritakan kepadaku sa’ d bin al-Musayyib, dari Ab
Hurairah, sesungguhnya dia berkata: Rasulullah Saw bersabda: “Tidak ada anak terlahir
kecuali dalam keadaan fitrah, maka bapaknyalah yang menjadikannya Yahudi dan
Nasrani atau Majusi sebagaimana binatang ternak yang melahirkan binatang ternak
dengan sempurna. Apakah kalian melihat ada cacat padanya?” (H.R Muslim).
Makna fitrah sangat beragam dikarenakan sudut pandang pemaknaannya
berbeda-beda. Secara etimologi kata fitrah berasal dari bahasa Arab fathara (‫ )فطر‬dari
masdar fathrun yang berarti belah atau pecah. Dalam Alquran sendiri dapat ditemukan
penggunakan kata fitrah dengan makna al-insyiqaq atau al-syaqq yang berarti pula
pecah atau belah. Arti ini diambil dari lima ayat yang menyebutkan kata fitrah yang
objeknya ditujukan pada langit saja. Dalam ayat yang lain juga terdapat penggunaan
kata fitrah, namun mempunyai makna alkhalqah atau al-Ibda’, artinya penciptaan. Arti
ini terdapat dalam 14 ayat yang menyebutkan kata fitrah, enam ayat diantaranya
berkaitan penciptaan manusia, sedangkan sisanya berkaitan dengan penciptaan langit
dan bumi.
Kata fitrah berasal dari kata fathara, yang berarti menjadikan. Kata ini
disebutkan sebanyak 20 kali dalam 19 al-Qur’an. Makna fitrah dalam al-Qur’an dapat
dikelompokkan dalam empat makna yaitu; (1) proses penciptaan langit dan bumi, (2)
proses penciptaan manusia, (3) pengaturan alam dengan seluruh isinya yang serasi dan
seimbang, dan

3|ILMU PENDIDIKAN ISLAM


(4) pemaknaan agama Allah sebagai pedoman bagi manusia dalam menjalankan
tugasnya.7
Dalam konteks penciptaan manusia, fitrah banyak dimaknai sebagai sebuah
kecenderungan yang dimiliki oleh manusia untuk percaya (iman) kepada adanya Allah.
Pendapat ini merujuk kepada ayat alQur’an yang artinya: “Dan ingatlah ketika
Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari tulang sulbi mereka dan
Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): ‘Bukanlah Aku
ini Tuhanmu?”. Mereka menjawab : “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi
saksi”.8
Ayat di atas menggambarkan betapa manusia telah diambil kesaksiannya oleh
Allah terhadap keberadaan-Nya dan manusia mengakui adanya Allah. Kesaksian inilah
yang merupakan kecenderungan manusia sejak lahir untuk beriman kepada Allah. 9
Namun demikian, pemaknaan fitrah sebagaimana di atas dalam kaitannya dengan
pendidikan Islam belum menyentuh seluruh aspek psikologis manusia, karena hanya
menyentuh aspek kepercayaan saja dan manusia cenderung--dengan pengakuannya itu-
-fatalis dan passif, yaitu manusia dengan otomatis membawa imannya dan dituntut
untuk dapat menyembah dan melaksanakan perintah Tuhannya.
Untuk itu, para ahli mencari pemaknaan lain terhadap fitrah guna mencari
cakupannya yang lebih luas dan menyeluruh dalam semua aspek kejiwaan manusia.
Hasan Langgulung memaknai fitrah dengan menghubungkannya terhadap penciptaan
primordial manusia, yaitu ketika manusia pertama (Adam) diciptakan oleh Allah SWT.
Pada saat babak akhir penciptaannya, Allah meniupkan ruh-Nya kepada Adam dan
menyuruh kepada para malaikat untuk hormat kepadanya.10
Pada saat peniupan ruh Allah kepada Adam itulah, Adam memiliki sifat-sifat
yang dimiliki Allah. Perbedaannya adalah jika Adam memiliki sifat melihat,
mendengar, mengetahui, hidup, maka Allah memiliki sifat Maha Melihat, Maha
Mendengar, Maha Mengetahui, Maha Hidup dan seterusnya. Atau dengan kata lain,
Allah memiliki sifat-sifat dengan segala kesempurnaan-Nya dan manusia memiliki
sifat-sifat itu dengan segala keterbatasannya. Dengan keterbatasan itulah manusia
membutuhkan pertolongan kepada Tuhannya dalam upaya memenuhi kebutuhannya.
Dengan keadaan ini, maka manusia menyadari akan keterbatasannya dan mengakui ke-
Maha Kuasa-an dan ke-Maha Sempurna-an Allah.11

7
Samsul Nizar, Pengantar Dasar-Dasar Pemikiran Pendidikan Islam (Jakarta:
Media Pratama, 2001), hlm. 73
8
QS. al-A’râf : 172
9
Al-Attas menafsirkan ayat ini dengan menyebutkan bahwa manusia mempunyai keberuntungan
wujud kepada penciptanya, yang bermula dari peristiwa yang digambarkan pada pada ayat di atas
yakni sebagai masa “waktu sebelum perpisahan” (time of the pre-separation), yaitu masa ketika
manusia belum diberi jasad dan masih berada dalam Kesadaran Tuhan. Ayat ini juga yang digunakan
oleh al-Attas untuk menjelaskan kesadaran beragama manusia. Di samping itu, ayat ini menerangkan
dua pokok permasalahan lain yaitu “bahasa” dan persaudaraan manusia. Lihat, Wan Mohd Nor Wan
Daud, Filsafat danPraktek Pendidikan Islam Syed M. Naquib al Attas, ter. Hamid Fahmi dkk
(Bandung: Mizan, 2003), hlm.95.
10
QS. al Hijr: 29.
11
Nizar, Pengantar Dasar-Dasar, hlm. 74.

4|ILMU PENDIDIKAN ISLAM


Sifat-sifat ketuhanan yang ditiupkan kepada manusia itulah yang harus ditumbuh
kembangkan dalam kehidupan sehari-hari baik dalam kehidupan perorangan maupun
dalam hubungannya dengan masyarakat, karena kemuliaan seseorang ditentukan oleh
sejauh mana seseorang mampu mengembangkan potensi-potensi yang berasal dari
sifat-sifat ketuhanan itu.
Selanjutnya, Muhaimin12 menyebutkan setidaknya ada beberapa macam fitrah manusia,
yaitu:
1. Fitrah beragama; fitrah ini merupakan potensi bawaan yang memberikan kemampuan
kepada manusia untuk tunduk, taat melaksanakan perintah Tuhan sebagai pencipta,
penguasa dan pemelihara alam semesta.
2. Fitrah berakal budi; fitrah ini adalah potensi yang dimiliki manusia untuk selalu
berpikir sambil mengingat Allah untuk memahami persoalan kekuasaan dan keagungan
Allah yang terlihat dari keserasian, keseimbangan dan kehebatan di alam semesta.
3. Fitrah bermoral dan berakhlaq; fitrah ini adalah potensi yang dimiliki oleh manusia
untuk melaksanakan dengan penuh komitmen nilai-nilai moral dan akhlak dalam
kehidupan sehari-hari.
4. Fitrah kebersihan dan kesucian; fitrah ini memberikan potensi kepada manusia untuk
mencintai kebersihan dan kesucian.
5. Fitrah kebenaran; fitrah ini merupakan kecendrungan manusia untuk selalu mencari
kebenaran.
6. Fitrah kemerdekaaan; fitrah ini memberikan kecenderungan kepada manusia untuk
mempunyai kebebasan dan kemerdekaan, tidak terbelenggu dan diberbudak oleh orang lain
kecuali berdasarkan kemauan sendiri
7. Fitrah keadilan; fitrah ini mendorong manusia untuk mencari keadilan di muka bumi
ini.
8. Fitrah persamaan dan persatuan; fitrah ini merupakan potensi manusia untuk
mempersamakan hak dan perlakuan dan menentang diskriminasi berdasarkan ras, suku,
bahasa, warna kulit serta berusaha menjalin persatuan dan kesatuan antara sesamanya..
9. Fitrah sosial; fitrah ini mendorong manusia untuk melakukan hubungan dengan
manusia sekitarnya, dalam bentuk saling bekerja sama, bergotong royong dan saling
membantu.
10. Fitrah individu; fitrah ini mendorong manusia untuk melakukan tindakan dengan penuh
tanggung jawab, menyelesaikan persoalannya dangan kemandirian, menjaga harga diri dan
kehormatannya dan mempertahankan keselamatan diri dan keluarganya.
11. Fitrah seksual; fitrah ini memberikan dorongan kepada manusia untuk berhubungan
dengan lain jenis, membentuk keluarga dan menghasilkan keturunan. Kepada
keturunannya itulah, manusia menurunkan dan mewariskan nilai-nilai yang diyakininya
benar.
12. Fitrah ekonomi; fitrah ini mendorong manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya
melalui aktivitas ekonomi.

12
Muhaimin et.al., Paradigma Pendidikan Islam, Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di
Sekolah (Bandung : PT Remaja Rosda Karya, 2004), hlm. 18-19.

5|ILMU PENDIDIKAN ISLAM


13. Fitrah politik; fitrah ini memberikan dorongan kepada manusia untuk memiliki dan
menyusun kekuasaan dan melindungi kehidupan dan kesejahteraan bersama.
14. Fitrah seni; adalah kecenderungan manusia untuk mencintai seni dan
mengembangkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Beberapa macam fitrah sebagaimana dijelaskan di atas didasarkan pada sifat dasar
manusia dalam kehidupan pribadinya dan kehidupan sosialnya. Namun demikian
Muhaimin belum menjelaskan konsep fitrah berdasarkan perspektif psikologis manusia
sejak dilahirkan sampai ia mencapai kesempurnaan hidup. Dalam perspektif psikologis,
fitrah manusia sebagai potensi dasar, menurut Ibnu Taimiyah, dibagi dalam tiga macam
daya. Ketiga daya tersebut--sebagaimana dikutip oleh Juhaja S.Praja—adalah :
1. Daya intelektual (quwwah al-‘aql), yaitu potensi dasar yang memberikan kemampuan
kepada manusia untuk membedakan sesuatu itu baik atau buruk. Dengan daya
intelektualnya manusia dapat mengetahui dan mempercayai ke-Esa-an Allah.
2. Daya ofensif (quwwah al-syahwah) yaitu potesi dasar yang dimiliki manusia untuk
mampu menerima obyek-obyek yang menguntungkan dan bermanfaat bagi kehidupannya,
baik jasmaniah maupun rohaniah secara serasi dan seimbang.
3. Daya defensif (quwwah al-ghadlb) yaitu potensi dasar manusia untuk mampu
menghindarkan diri dari obyek-obyek dan keadaan yang membahayakan dan merugikan
dirinya.13
Dalam perspektif keberadaan fitrah, maka fitrah dibagi menjadi dua sebagaimana
disebutkan oleh Nurcholish Madjid, yaitu: 1) Fitrah al-Ghârizah, yaitu fitrah yang
diterima manusia sejak ia dilahirkan. Bentuk fitrah ini dapat berbentuk nafsu, akal dan
hati nurani. 2) Fitrah al-Munazzalah, yaitu fitrah (potensi) luar manusia yang
merupakan petunjuk Tuhan yang ditujukan untuk membimbing dan mengarahkan
manusia dalam menjalankan kehidupannya sehari-hari.14
Makna fitrah secara bahasa/harfiyah ini disinonimkan/disepadankan dengan
kata "khalaqa". Kata khalaqa banyak digunakan oleh banyak orang untuk menyatakan
penciptaan sesuatu, seperti kbalaqallahus samawati wal ard (Allah telah menciptakan
langit dan bumi). Contoh lain dari penggunaan kata khalaqa terdapat pada surat al-'alaq
ayat 2, khalaqal insana min 'alaq (Dialah Allah yang telah menciptakan manusia dari
segumpal darah). Kedua contoh ayat tersebut menunjukkan bahwa ketika Allah
menciptakan makhlukNya tidak diawali oleh adanya bahan dasar ciptaan. Oleh karena
itu semua ayat yang menggunakan kata khalaqa menisbatkan pelakunya kepada Allah,
karena hanya Dialah yang mampu menciptakan segala sesuatu yang tidak memiliki
bahan dasar awalnya. Sementara manusia mampu membuat sesuatu karena bahan
dasarnya sudah tersedia di alam raya ini.
Abu a’la al-Maududi mengatakan bahwa manusia dilahirkan di bumi ini oleh
ibunya sebagai muslim (berserah diri) yang berbeda-beda ketaatannya kepada Tuhan,
tetapi dilain pihak manusia bebas untuk menjadi muslim atau non muslim. Sehingga
ada hubungannya dalam aspek terminologi fitrah selain memiliki potensi manusia
beragama tauhid, manusia secara fitrah juga bebas untuk mengikuti atau tidaknya ia
pada aturanaturan lingkungan dalam mengaktualisasikan potensi tauhid (ketaatan pada

13
Juhaja S. Praja, “Epistemologi Ibn Taimiyah”, Jurnal Ulumul Qur’an , (Vol. II, No. 7, 1990/1411 H).
14
Nurcholish Majid, Islam Kemoderenan dan Keindonesiaan (Bandung: Mizan, 1991), hlm. 8.

6|ILMU PENDIDIKAN ISLAM


Tuhan) tergantung seberapa tinggi tingkat pengaruh lingkungan positif serta negatif
yang mempengaruh diri manusia secara fitrah-nya.
Bila diinterpretasikan lebih lanjut, istilah fitrah sebagaimana tersebut dalam al-
Qur’an dan Hadits, maka dapat diambil kesimpulan bahwa:
1. Fitrah yang disebutkan dalam ayat tersebut mengandung implikasi pendidikan. Oleh
karena itu, kata fitrah mengandung makna “kejadian” yang di dalamnya berisi potensi
dasar beragama yang benar dan lurus yaitu Islam. Potensi dasar ini tidak dapat diubah
oleh siapapun. Karena fitrah merupakan ciptaan Allah yang tidak akan mengalami
perubahan baik isi maupun bentuknya dalam tiap pribadi manusia.
2. Fitrah berarti agama, kejadian. Maksudnya adalah agama Islam bersesuaian dengan
kejadian manusia. Karena manusia diciptakan untuk melaksanakan agama (beribadah).
Hal ini dikuatkan oleh firman
Allah dalam surat adz-Dzariyat: 566.
3. Fitrah Allah berarti ciptaan Allah. Manusia diciptakan Allah dengan mempunyai
naluri beragama, yaitu agama tauhid. Maka hal itu tidak wajar jika manusia tidak
beragama tauhid. Mereka tidak beragama tauhid itu hanya lantaran pengaruh
lingkungan. Tegasnya manusia menurut fitrah, beragama tauhid.
4. Fitrah berarti ciptaan, kodrat jiwa, budi nurani. Maksudnya bahwa rasa keagamaan,
rasa pengabdian kepada Tuhan Yang Maha Esa itu adalah serasi dengan budi nurani
manusia. Adapun manusia yang ber-Tuhan-kan kepada yang lain adalah menyalahi
kodrat kejiwaannya sendiri.
5. Fitrah berarti potensi dasar manusia. Maksudnya potensi dasar manusia ini sebagai
alat untuk mengabdi dan ma’rifatullah. Para filosof yang beraliran empirisme
memandang aktivitas fitrah sebagai tolok ukur pemaknaannya.
Menurut Abd al-Rahman al-Bani yang dikutip anNahlawi menyatakan tugas
pendidikan Islam adalah menjaga dan memelihara fitrah peserta didik, kemudian
mengembangkan dan mempersiapkan semua potensi yang dimiliki, dengan
mengarahkan fitrah dan potensi yang ada dan menuju kebaikan dan kesempurnaan,
serta merealisasikan suatu program tersebut secara lebih bertahap, (Nahlawi, 1996).
Pengembangan fitrah manusia dapat dilakukan dengan berbagai kegiatan belajar, yaitu
melalui sebuah institusi. Pengembangan fitrah manusia dapat dilakukan dengan
kegiatan belajar. Yaitu melalui berbagai institusi. Belajar yang dimaksud dengan tidak
terfokus yaitu melalui pendidikan di sekolah saja, tetapi juga dapat dilakukan di luar
sekolah, baik dalam keluarga, masyarakat, maupun lewat isnstitusi sosial keagamaan
yang ada.

B. Komponen-komponen Psikologis dalam Fitrah


Dari berbagai pandangan para ulama dan ilmuwan Islam yang telah
memberikan makna terhadap istilah “fitrah” yang diangkat dari firman Allah dan sabda
Nabi., maka dapat diambil kesimpulan bahwa fitrah adalah suatu kemampuan dasar
berkembangnya manusia yang dianugrahkan Allah kepadanya. Di dalamnya
terkandung berbagai komponen psikologis yang saling berkaitan dan saling
menyempurnakan bagi hidup manusia.
Komponen-komponen potensial fitrah tersebut adalah:

7|ILMU PENDIDIKAN ISLAM


1. Kemampuan dasar untuk beragama (ad-dinul qayyimah), dimana faktor iman
merupakan intinya beragama manusia. Muhammad Abduh, Ibnu Qayyim, Abu A’la al-
Maududi, Sayyid Qutb berpendapat sama bahwa fitrah mengandung kemampuan asli
untuk beragama Islam, karena Islam adalah agama fitrah atau identik dengan fitrah. Ali
Fikri lebih menekankan pada peranan hereditas (keturunan) dari bapak-ibu yang
menentukan keberagaman anaknya. Faktor keturunan psikologis (hereditas kejiwaan)
orang tua anak merupakan salah satu aspek dari kemampuan dasar manusia.
2. Mawahib (bakat) dan qabiliyat (tendensi atau kecenderungan) yang mengacu pada
keimanan kepada Allah. Dengan demikian maka “fitrah” mengandung komponen
psikologis yang berupa keimanan tersebut. Karena iman bagi seorang mukmin
merupakan daya penggerak utama dalam dirinya yang memberikan semangat untuk
selalu mencari kebenaran hakiki dari Allah. Pendapat tersebut dikemukakan oleh Prof.,
Dr. Mohammad Fadhil al-Djamali, Guru besar ilmu pendidikan Universitas Tunis
dengan alasan

Adapun Islam itu adalah agama yang mendorong manusia untuk mencari pembuktian
melalui penelitian, berpikir, dan merenungkan ke arah iman yang benar.
3. Naluri dan kewahyuan bagaikan dua sisi dari uang logam; keduanya saling terpadu
dalam perkembangan manusia. Menurut Prof., Dr. Hasan Langgulung, fitrah dapat
dilihat dari dua segi, yaitu; segi naluri sifat pembawaan manusia atau sifat-sifat Tuhan
yang menjadi potensi manusia sejak lahir, dan segi wahyu Tuhan yang diturunkan
kepada nabinabi-Nya. Jadi potensi manusia dan agama wahyu merupakan satu hal yang
nampak dalam dua sisi, ibarat mata uang logam yang mempunyai dua sisi yang sama.
Kemampuan menerima sifat-sifat Tuhan dan mengembangkan sifat-sifat tersebut
merupakan potensi dasar manusia yang dibawa sejak lahir.
4. Kemampuan dasar untuk beragama secara umum, tidak hanya terbatas dalam agama
Islam. Dengan kemampuan ini manusia dapat dididik menjadi beragama Yahudi,
Nasrani, ataupun Majusi, namun tidak dapat dididik menjadi atheis (anti Tuhan).
Pendapat ini diikuti oleh banyak ulama Islam yang berfaham ahli Mu’tazilah, antara
lain: Ibnu Sina dan Ibnu Khaldun.
Aspek-aspek psikologis dalam fitrah adalah merupakan komponen dasar yang
bersifat dinamis, responsif terhadap pengaruh lingkungan sekitar, termasuk pengaruh
pendidikan. Aspek-aspek tersebut antara lain:
a. Bakat, suatu kemampuan pembawaan yang potensial mengacu kepada
perkembangan akademis dan keahlian dalam bidang kehidupan. Bakat ini berpangkal
pada kemampuan kognisi (daya cipta), konasi (kehendak), dan emosi (rasa) yang
disebut dalam psikologi filosofis dengan tiga kekuatan rohaniah manusia.
b. Insting atau gharizah adalah suatu kemampuan berbuat atau bertingkah laku
tanpa melalui proses belajar. Kemampuan insting ini merupakan pembawaan sejak
lahir. Dalam psikologi pendidikan kemampuan ini termasuk kapabilitas yaitu
kemampuan berbuat sesuatu tanpa belajar.

8|ILMU PENDIDIKAN ISLAM


c. Nafsu dan dorongan-dorongan. Dalam tasawuf dikenal nafsu-nafsu
lawwamah yang mendorong ke arah perbuatan mencela dan merendahkan orang lain.
Nafsu amarah yang mendorong manusia ke arah perbuatan merusak, membunuh atau
memusuhi orang lain. Nafsu birahi (eros) yang mendorong ke arah perbuatan seksual
untuk memuaskan tuntutan akan pemuasan hidup berkelamin. Nafsu mutmainnah yang
mendorong ke arah ketaatan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Menurut al-Ghazali, nafsu
manusia terdiri dari nafsu malakiah yang cenderung ke arah perbuatan mulia sebagai
halnya para malaikat, dan nafsu bahimah yang mendorong ke arah perbuatan rendah
sebagaimana binatang.
d. Karakter adalah kemampuan psikologis yang terbawa sejak lahir. Karakter
ini berkaitan dengan tingkah laku moral dan sosial serta etis seseorang. Karakter
terbentuk oleh kekuatan dari dalam diri manusia, bukan terbentuk dari pengaruh luar.
e. Hereditas atau keturunan adalah faktor kemampuan dasar yang mengandung
ciri-ciri psikologis dan fisiologis yang diturunkan oleh orang tua, baik dalam garis yang
terdekat maupun yang telah jauh.
f. Intuisi adalah kemampuan psikologis manusia untuk menerima ilham Tuhan.
Intuisi menggerakkan hati nurani manusia yang membimbingnya ke arah perbuatan
dalam situasi khusus di luar kesadaran akal pikiran, namun mengandung makna yang
bersifat konstruktif bagi kehidupannya. Intuisi biasanya diberikan Tuhan kepada orang
yang bersih jiwanya.

C. Implikasi Fitrah Manusia terhadap Pendidikan


Dalam perspektif Pendidikan Islam terlihat bahwa karena sifat dasar manusia
merupakan makhluk yang serba terbatas dan memerlukan upaya yang membuat
kehadirannya di muka bumi ini lebih sempurna, maka perlu ada upaya. Upaya itu adalah
lewat pendidikan. Oleh karena itu sifat khas pendidikan Islam adalah berupaya
mengembangkan sifat dan potensi yang dimiliki peserta didiknya secara efektif dan
dinamis. Potensi itu meliputi kemampuan mengamati, menganalisa dan
mengklasifikasi, berpendapat, serta kecakapan-kecakapan lainnya secara sistematis,
baik yang berhubungan langsung dengan manusia itu sendiri, alam, sosial, maupun pada
Tuhannya. (Faure dkk, 1980: 213)
Untuk itu, pendidikan Islam harus mampu mengintegrasikan seluruh potensi
yang dimiliki peserta didiknya pada pola pendidikan yang ditawarkan, baik potensi
yang ada pada aspek jasmani maupun rohani: intelektual, emosional, serta moral etis
religius dalam diri peserta didiknya untuk mewujudkan sosok insan paripurna yang
mampu melakukan dialektika aktif pada semua potensi yang dimilikinya.
Agar mampu teraktualisasikannya potensi yang dimiliki manusia sesuai
dengan nilai-nilai Ilahiah, maka pada dasarnya pendidikan berfungsi sebagai media
menstimuli bagi perkembangan dan pertumbuhan potensi manusia seoptimal mungkin
ke arah penyempurnaan dirinya, baik sebagai abd maupun sebagai khalifah fi al-ardh.
Adapun model atau bentuk yang ditawarkan oleh sistem pendidikan, bukan menjadi
persoalan. Terserah kepada kebijaksanaan dan kepentingan manusia itu sendiri, asal
saja pelaksanaan pendidikan tersebut tidak bertentangan, akan tetapi memiliki
keserasian dengan potensi yang dimiliki oleh peserta didik dan fitrah religiusnya untuk
senantiasa mengarah pada fitrah Allah yang hanif. Dengan upaya ini akan menciptakan
situasi dan model pendidikan Islam yang demokratis-fleksibel.

9|ILMU PENDIDIKAN ISLAM


Fitrah manusia yang dimaksud dapat dilihat dari dua dimensi manusia secara
integral, yaitu fitrah jasmaniah dan fitrah rohaniah. Keduanya memiliki natur dan
kebutuhan yang berbeda antara satu dengan yang lain, karena hakekat esensial
keduanya berbeda, akan tetapi keduanya saling melengkapi antara satu dengan yang
lainnya. Jika salah satu di antara keduanya terabaikan, maka akan berdampak negatif
bagi pengembangan totalitas fitrah manusia, untuk itu proses pendidikan Islam harus
mampu menyentuh keduanya secara padu dan harmonis, yaitu dengan jalan
mengembangkan dan memenuhi kebutuhan kedua dimensi tersebut terhadap peserta
didik.
Untuk tujuan tersebut, maka pendidikan Islam bukan hanya sekedar proses
pentransferan ilmu pengetahuan atau kebudayaan dari satu generasi kepada generasi
berikutnya, akan tetapi jauh dari itu, pendidikan Islam merupakan suatu bentuk proses
pengaktualan sejumlah potensi yang dimiliki peserta didiknya, meliputi pengembangan
jasmani, rasionalitas, intelektualitas, emosi dan akhlak yang berfungsi menyiapkan
individu muslim yang memiliki kepribadian paripurna bagi kemashlahatan seluruh
umat (Langgulung, 1995: 13).
Dengan demikian, berarti pendidikan Islam merupakan proses penanaman nilai
Ilahiah yang diformulasikan secara sistematis dan adaptik, yang disesuaikan dengan
kemampuan dan perkembangan potensi peserta didik. Artinya, pola pendidikan yang
ditawarkan harus disesuaikan dengan kebutuhan fisik dan psikis peserta didik sebagai
subjek pendidikan. Jika tidak, proses pendidikan yang ditawarkan akan mengalami
stagnasi dan hambatan. Untuk itu, pendidikan yang dilaksanakan harus mampu
menyentuh kesemua aspek manusia secara utuh, yaitu aspek jasmaniah dan
rohaniahnya.
Apabila kita melihat program pendidikan sebagai usaha untuk menumbuhkan
daya kreativitas anak, melestarikan nilai-nilai ilahi dan insani, serta membekali anak
didik dengan kemampuan yang produktif. (Muhadjir, 1987: 176). Dapat kita katakan
bahwa fitrah merupakan potensi dasar anak didik yang dapat menghantarkan pada
tumbuhnya daya kreativitas dan produktivitas serta komitmen terhadap nilai-nilai ilahi
dan insani. Hal tersebut dapat dilakukan melalui pembekalan berbagai kemampuan dari
lingkungan sekolah dan luar sekolah yang terpola dalam program pendidikan.
Seorang pendidik tidak dituntut untuk mencetak anak didiknya menjadi orang
ini dan itu, tetapi cukup dengan menumbuhkan dan mengembangkan potensi dasarnya
serta kecenderungan-kecenderungannya terhadap sesuatu yang diminati sesuai dengan
kemampuan dan bakat yang dimiliki anak. (Mujib, 1993: 28). Apabila anak mempunyai
sifat dasar yang dipandang sebagai pembawaan jahat, upaya pendidikan diarahkan dan
difokuskan untuk menghilangkan serta menggantikan atau setidaktidaknya mengurangi
elemen-elemen kejahatan tersebut. Bagi teori Lorenz yang membangun pembawaan
agresi manusia sejak lahir, perhatian pendidikan diarahkan untuk mencapai objek-objek
pengganti dan prosedur-prosedur sublimasi yang akan membantu menghilangkan
sifatsifat agresi ini. Jelasnya seorang pendidik tidak perlu sibuk-sibuk menghilangkan
dan menggantikan kejahatan yang telah dibawa anak didik sejak lahir, melainkan
berikhtiar sebaik-baiknya untuk menjauhkan timbulnya pelajaran yang dapat
menyebabkan kebiasaan-kebiasaan yang tidak baik. Konsep fitrah ini tidak terkecuali
bagi pendidik muslim untuk berikhtiar menanamkan tingkah laku yang sebaik-baiknya,
karena fitrah itu tidak dapat berkembang dengan sendirinya.
Konsep fitrah memiliki tuntutan agar pendidikan Islam diarahkan untuk
bertumpu pada at-tauhid. Hal ini dimaksudkan untuk memperkuat hubungan yang

10 | I L M U P E N D I D I K A N I S L A M
mengikat manusia dengan Allah SWT. Apa saja yang dipelajari anak didik seharusnya
tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip tauhid ini. Kepercayaan manusia akan
adanya Allah melalui fitrahnya tidak dapat disamakan dengan teori yang memandang
bahwa monoteisme sebagai suatu tingkat kepercayaan agama yang tertinggi. At-tauhid
merupakan inti dari semua ajaran agama yang dianugrahkan Allah kepada manusia,
munculnya kepercayaan tentang banyaknyga Tuhan yang mendominasi manusiahanya
ketika at-tauhid telah dilupakan. Konsep attauhid bukan hanya sekedar bahwa Allah itu
Esa, tetapi juga masalah kekuasaan (otoritas). Konsep at-tauhid inilah yang
menekankan keagungan Allah yang harus dipatuhi dan diperhatikan dalam kurikulum
pendidikan Islam.
Di samping fitrah, manusia juga mempunyai beberapa kebutuhan jasmaniah
seperti makan, minum, seks dan sebagainya. Pemenuhan kebutuhan jasmaniah tidak
dapat dikonsumsikan sebagaimana hewan, tetapi lebih dari itu, pemenuhan tersebut
harus dikonsumsikan harmonis untuk mengaktualisasikan fitrah manusia. Konsep
demikian itu tidak berarti bahwa kebutuhan jasmaniah perlu diakhiri, seperti tidak
kawin; puasa terus menerus, dan sebagainya,. Pernyataan tersebut diisyaratkan oleh
Allah dalam surat Ar-Rum : 30 ِ
“Tidak ada perubahan dalam ciptaan Allah tersebut.” (QS. Ar-Rum: 30)

Firman Allah di atas menunjukkan bahwa kebutuhan jasmaniah anak didik tidak
boleh dibuang atau dibunuh, melainkan diarahkan pada hal-hal yang positif. Seorang
pendidik tidak boleh mengubah kebutuhan dasar jasmaniah anak didik, sebagaimana
firman Allah SWT. dalam surah An-Nisa ayat 119 :
…dan akan aku suruh mereka (merobah ciptaan Allah), sehingga mereka mau
merubahnya. Barang siapa yang menjadikan syetan sebagai pelindung selain Allah,
maka sesungguhnya ia menderita kerugian yang nyata. (Depag, 1979: 141)
Berkaitan dengan hal tersebut Ali Syari’ati mengungkapkan lima faktor yang
secara kontinu dan simultan membangun personalitas anak didik, yaitu :
• Factor ibu yang memberi struktur dan dimensi kerohanian yang
penuh dengan kasih sayang dan kelembutan.
• Factor ayah yang memberikan dimensi kekuatan akan harga diri.
• Factor sekolah yang membantu terbentuknya sifat.
• Factor masyarakat dan lingkungan yang memberikan sarana
empiris bagi anak.
• Factor kebudayaan umum masyarakat yang memberi
pengetahuan dan pengalaman tentang corak kehidupan manusia.
(Syari`ati, 1982: 64)
Kelima faktor di atas merupakan stimulasi yang dapat mengembangkan fitrah
anak didik dalam berbagai dimensinya. Karena fitrah manusia memiliki sifat yang suci
dan bersih, orang tua/pendidik dituntut untuk tetap menjaganya dengan cara
membiasakan hidup anak didiknya pada kebiasaan yang baik, serta melarang mereka
membiasakan diri untuk berbuat buruk.

11 | I L M U P E N D I D I K A N I S L A M
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari penjelasan-penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam
rangka mengembangkan seluruh potensi yang ada dalam diri manusia, baik itu potensi
jasmani maupun rohani, pendidikan memainkan peranan penting yang tidak dapat
dipungkiri. Dengan proses pendidikan, manusia mampu membentuk kepribadiannya,
mentransfer kebudayaan dari suatu komunitas ke komunitas yang lain, mengetahui baik
dan buruk dan lain sebagainya.
Pendidikan Islam merupakan proses penanaman nilai Ilahiah yang
diformulasikan secara sistematis dan adaptik, yang disesuaikan dengan kemampuan dan
perkembangan potensi peserta didik. Jadi pola pendidikan yang ditawarkan harus
disesuaikan dengan kebutuhan fisik dan psikis peserta didik sebagai subjek pendidikan.
Jika tidak, proses pendidikan yang ditawarkan akan mengalami stagnasi dan hambatan.
Untuk itu, pendidikan yang dilaksanakan harus mampu menyentuh kesemua aspek
manusia secara utuh, yaitu aspek jasmaniah dan rohaniahnya.

12 | I L M U P E N D I D I K A N I S L A M
DAFTAR PUSTAKA
Al Qur’an Al Karim
Muhammad Faiz Al Afify, “Konsep Fitrah dalam Psikologi Islam”, Jurnal Tsaqofah
Volume 14, Number 2, November 2018
Mohammad Muchlis Solichin, “fitrah; konsep dan pengembangannya dalam
pendidikan islam”, Tadrîs. 238 Volume 2. Nomor 2. 2007
M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam: Tinjauan Teoretis dan Praktis Berdasarkan
Pendekatan Interdisipliner, (Jakarta: Bumi Aksara, 2009)
Hasan Langgulung, Pendidikan dan Peradaban Islam, (Jakarta: Pustaka al-Husna,
1985)
Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam, (Bandung: Remaja Rosdakrya, 2004),
M. Sudiyono, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Rineka Cipta, 2009)
Samsul Nizar, Pengantar Dasar-Dasar Pemikiran Pendidikan Islam (Jakarta:
Media Pratama, 2001)
Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat danPraktek Pendidikan Islam Syed M. Naquib al
Attas, ter. Hamid Fahmi dkk (Bandung: Mizan, 2003)
Juhaja S. Praja, “Epistemologi Ibn Taimiyah”, Jurnal Ulumul Qur’an , (Vol. II, No.
7, 1990/1411 H).
Nurcholish Majid, Islam Kemoderenan dan Keindonesiaan (Bandung: Mizan, 1991)

13 | I L M U P E N D I D I K A N I S L A M

Anda mungkin juga menyukai