PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1
Muhammad Faiz Al Afify, “Konsep Fitrah dalam Psikologi Islam”, Jurnal Tsaqofah Volume 14,
Number 2, November 2018, hlm. 296.
B. Rumusan masalah
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Fitrah
Manusia diciptakan Allah dalam struktur yang paling baik diantara makhluk
Allah yang lain. Struktur manusia terdiri dari unsur jasmaniah (fisiologis) dan rohaniah
(psikologis).3 Dalam unsur ini Allah memberikan seperangkat kemampuan dasar yang
memiliki kecenderungan berkarya yang disebut potensialitas. Menurut pandangan
Islam, kemampuan dasar tersebut dinamakan fitrah. Dalam pengertian lain dijelaskan
secara rinci:
1. Fitrah adalah ciptaan Allah, yaitu bahwa manusia telah diberi potensi
yang baik oleh Allah.4
2. Fitrah berarti ciptaan, sifat tertentu yang mana setiap yang maujud
disifati dengannya pada awal masa penciptaannya, sifat pembawaan manusia
(yang ada sejak lahir).5
3. Dalam pandangan Islam, kemampuan dasar/pembawaan disebut dengan
fitrah yaitu dalam pengertian etimologi berarti kejadian, karena kata fitrah
berasal dari kata fathoro yang berarti menjadikan.6
4. Menurut Syahminan Zain (1986: 5), bahwa fitrah adalah potensi laten
atau kekuatan yang terpendam yang ada dalam diri manusia, yang dibawanya
sejak lahir.
Pengertian secara etimologi tersebut masih bersifat umum, untuk mengkhususkan arti
fitrah, berikut ini firman Allah SWT dalam QS. Ar-Rum ayat 30:
2
Mohammad Muchlis Solichin, “fitrah; konsep dan pengembangannya dalam pendidikan islam”,
Tadrîs. 238 Volume 2. Nomor 2. 2007, hlm. 236.
3
M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam: Tinjauan Teoretis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan
Interdisipliner, (Jakarta: Bumi Aksara, 2009), hlm. 42.
4
Hasan Langgulung, Pendidikan dan Peradaban Islam, (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1985), hlm. 215.
5
Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam, (Bandung: Remaja Rosdakrya, 2004), hlm. 16.
6
M. Sudiyono, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), hlm. 137.
Selain dalam firman Allah, kewajiban orang tua mendidik anaknya juga terdapat
dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah Ra.:
Menceritakan kepada kita ḥājib, diceritakan oleh Muhammad bin ḥarbin, dari az-
Zubaidiyyi, dari az-Zuhriyyi, menceritakan kepadaku sa’ d bin al-Musayyib, dari Ab
Hurairah, sesungguhnya dia berkata: Rasulullah Saw bersabda: “Tidak ada anak terlahir
kecuali dalam keadaan fitrah, maka bapaknyalah yang menjadikannya Yahudi dan
Nasrani atau Majusi sebagaimana binatang ternak yang melahirkan binatang ternak
dengan sempurna. Apakah kalian melihat ada cacat padanya?” (H.R Muslim).
Makna fitrah sangat beragam dikarenakan sudut pandang pemaknaannya
berbeda-beda. Secara etimologi kata fitrah berasal dari bahasa Arab fathara ( )فطرdari
masdar fathrun yang berarti belah atau pecah. Dalam Alquran sendiri dapat ditemukan
penggunakan kata fitrah dengan makna al-insyiqaq atau al-syaqq yang berarti pula
pecah atau belah. Arti ini diambil dari lima ayat yang menyebutkan kata fitrah yang
objeknya ditujukan pada langit saja. Dalam ayat yang lain juga terdapat penggunaan
kata fitrah, namun mempunyai makna alkhalqah atau al-Ibda’, artinya penciptaan. Arti
ini terdapat dalam 14 ayat yang menyebutkan kata fitrah, enam ayat diantaranya
berkaitan penciptaan manusia, sedangkan sisanya berkaitan dengan penciptaan langit
dan bumi.
Kata fitrah berasal dari kata fathara, yang berarti menjadikan. Kata ini
disebutkan sebanyak 20 kali dalam 19 al-Qur’an. Makna fitrah dalam al-Qur’an dapat
dikelompokkan dalam empat makna yaitu; (1) proses penciptaan langit dan bumi, (2)
proses penciptaan manusia, (3) pengaturan alam dengan seluruh isinya yang serasi dan
seimbang, dan
7
Samsul Nizar, Pengantar Dasar-Dasar Pemikiran Pendidikan Islam (Jakarta:
Media Pratama, 2001), hlm. 73
8
QS. al-A’râf : 172
9
Al-Attas menafsirkan ayat ini dengan menyebutkan bahwa manusia mempunyai keberuntungan
wujud kepada penciptanya, yang bermula dari peristiwa yang digambarkan pada pada ayat di atas
yakni sebagai masa “waktu sebelum perpisahan” (time of the pre-separation), yaitu masa ketika
manusia belum diberi jasad dan masih berada dalam Kesadaran Tuhan. Ayat ini juga yang digunakan
oleh al-Attas untuk menjelaskan kesadaran beragama manusia. Di samping itu, ayat ini menerangkan
dua pokok permasalahan lain yaitu “bahasa” dan persaudaraan manusia. Lihat, Wan Mohd Nor Wan
Daud, Filsafat danPraktek Pendidikan Islam Syed M. Naquib al Attas, ter. Hamid Fahmi dkk
(Bandung: Mizan, 2003), hlm.95.
10
QS. al Hijr: 29.
11
Nizar, Pengantar Dasar-Dasar, hlm. 74.
12
Muhaimin et.al., Paradigma Pendidikan Islam, Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di
Sekolah (Bandung : PT Remaja Rosda Karya, 2004), hlm. 18-19.
13
Juhaja S. Praja, “Epistemologi Ibn Taimiyah”, Jurnal Ulumul Qur’an , (Vol. II, No. 7, 1990/1411 H).
14
Nurcholish Majid, Islam Kemoderenan dan Keindonesiaan (Bandung: Mizan, 1991), hlm. 8.
Adapun Islam itu adalah agama yang mendorong manusia untuk mencari pembuktian
melalui penelitian, berpikir, dan merenungkan ke arah iman yang benar.
3. Naluri dan kewahyuan bagaikan dua sisi dari uang logam; keduanya saling terpadu
dalam perkembangan manusia. Menurut Prof., Dr. Hasan Langgulung, fitrah dapat
dilihat dari dua segi, yaitu; segi naluri sifat pembawaan manusia atau sifat-sifat Tuhan
yang menjadi potensi manusia sejak lahir, dan segi wahyu Tuhan yang diturunkan
kepada nabinabi-Nya. Jadi potensi manusia dan agama wahyu merupakan satu hal yang
nampak dalam dua sisi, ibarat mata uang logam yang mempunyai dua sisi yang sama.
Kemampuan menerima sifat-sifat Tuhan dan mengembangkan sifat-sifat tersebut
merupakan potensi dasar manusia yang dibawa sejak lahir.
4. Kemampuan dasar untuk beragama secara umum, tidak hanya terbatas dalam agama
Islam. Dengan kemampuan ini manusia dapat dididik menjadi beragama Yahudi,
Nasrani, ataupun Majusi, namun tidak dapat dididik menjadi atheis (anti Tuhan).
Pendapat ini diikuti oleh banyak ulama Islam yang berfaham ahli Mu’tazilah, antara
lain: Ibnu Sina dan Ibnu Khaldun.
Aspek-aspek psikologis dalam fitrah adalah merupakan komponen dasar yang
bersifat dinamis, responsif terhadap pengaruh lingkungan sekitar, termasuk pengaruh
pendidikan. Aspek-aspek tersebut antara lain:
a. Bakat, suatu kemampuan pembawaan yang potensial mengacu kepada
perkembangan akademis dan keahlian dalam bidang kehidupan. Bakat ini berpangkal
pada kemampuan kognisi (daya cipta), konasi (kehendak), dan emosi (rasa) yang
disebut dalam psikologi filosofis dengan tiga kekuatan rohaniah manusia.
b. Insting atau gharizah adalah suatu kemampuan berbuat atau bertingkah laku
tanpa melalui proses belajar. Kemampuan insting ini merupakan pembawaan sejak
lahir. Dalam psikologi pendidikan kemampuan ini termasuk kapabilitas yaitu
kemampuan berbuat sesuatu tanpa belajar.
10 | I L M U P E N D I D I K A N I S L A M
mengikat manusia dengan Allah SWT. Apa saja yang dipelajari anak didik seharusnya
tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip tauhid ini. Kepercayaan manusia akan
adanya Allah melalui fitrahnya tidak dapat disamakan dengan teori yang memandang
bahwa monoteisme sebagai suatu tingkat kepercayaan agama yang tertinggi. At-tauhid
merupakan inti dari semua ajaran agama yang dianugrahkan Allah kepada manusia,
munculnya kepercayaan tentang banyaknyga Tuhan yang mendominasi manusiahanya
ketika at-tauhid telah dilupakan. Konsep attauhid bukan hanya sekedar bahwa Allah itu
Esa, tetapi juga masalah kekuasaan (otoritas). Konsep at-tauhid inilah yang
menekankan keagungan Allah yang harus dipatuhi dan diperhatikan dalam kurikulum
pendidikan Islam.
Di samping fitrah, manusia juga mempunyai beberapa kebutuhan jasmaniah
seperti makan, minum, seks dan sebagainya. Pemenuhan kebutuhan jasmaniah tidak
dapat dikonsumsikan sebagaimana hewan, tetapi lebih dari itu, pemenuhan tersebut
harus dikonsumsikan harmonis untuk mengaktualisasikan fitrah manusia. Konsep
demikian itu tidak berarti bahwa kebutuhan jasmaniah perlu diakhiri, seperti tidak
kawin; puasa terus menerus, dan sebagainya,. Pernyataan tersebut diisyaratkan oleh
Allah dalam surat Ar-Rum : 30 ِ
“Tidak ada perubahan dalam ciptaan Allah tersebut.” (QS. Ar-Rum: 30)
Firman Allah di atas menunjukkan bahwa kebutuhan jasmaniah anak didik tidak
boleh dibuang atau dibunuh, melainkan diarahkan pada hal-hal yang positif. Seorang
pendidik tidak boleh mengubah kebutuhan dasar jasmaniah anak didik, sebagaimana
firman Allah SWT. dalam surah An-Nisa ayat 119 :
…dan akan aku suruh mereka (merobah ciptaan Allah), sehingga mereka mau
merubahnya. Barang siapa yang menjadikan syetan sebagai pelindung selain Allah,
maka sesungguhnya ia menderita kerugian yang nyata. (Depag, 1979: 141)
Berkaitan dengan hal tersebut Ali Syari’ati mengungkapkan lima faktor yang
secara kontinu dan simultan membangun personalitas anak didik, yaitu :
• Factor ibu yang memberi struktur dan dimensi kerohanian yang
penuh dengan kasih sayang dan kelembutan.
• Factor ayah yang memberikan dimensi kekuatan akan harga diri.
• Factor sekolah yang membantu terbentuknya sifat.
• Factor masyarakat dan lingkungan yang memberikan sarana
empiris bagi anak.
• Factor kebudayaan umum masyarakat yang memberi
pengetahuan dan pengalaman tentang corak kehidupan manusia.
(Syari`ati, 1982: 64)
Kelima faktor di atas merupakan stimulasi yang dapat mengembangkan fitrah
anak didik dalam berbagai dimensinya. Karena fitrah manusia memiliki sifat yang suci
dan bersih, orang tua/pendidik dituntut untuk tetap menjaganya dengan cara
membiasakan hidup anak didiknya pada kebiasaan yang baik, serta melarang mereka
membiasakan diri untuk berbuat buruk.
11 | I L M U P E N D I D I K A N I S L A M
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari penjelasan-penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam
rangka mengembangkan seluruh potensi yang ada dalam diri manusia, baik itu potensi
jasmani maupun rohani, pendidikan memainkan peranan penting yang tidak dapat
dipungkiri. Dengan proses pendidikan, manusia mampu membentuk kepribadiannya,
mentransfer kebudayaan dari suatu komunitas ke komunitas yang lain, mengetahui baik
dan buruk dan lain sebagainya.
Pendidikan Islam merupakan proses penanaman nilai Ilahiah yang
diformulasikan secara sistematis dan adaptik, yang disesuaikan dengan kemampuan dan
perkembangan potensi peserta didik. Jadi pola pendidikan yang ditawarkan harus
disesuaikan dengan kebutuhan fisik dan psikis peserta didik sebagai subjek pendidikan.
Jika tidak, proses pendidikan yang ditawarkan akan mengalami stagnasi dan hambatan.
Untuk itu, pendidikan yang dilaksanakan harus mampu menyentuh kesemua aspek
manusia secara utuh, yaitu aspek jasmaniah dan rohaniahnya.
12 | I L M U P E N D I D I K A N I S L A M
DAFTAR PUSTAKA
Al Qur’an Al Karim
Muhammad Faiz Al Afify, “Konsep Fitrah dalam Psikologi Islam”, Jurnal Tsaqofah
Volume 14, Number 2, November 2018
Mohammad Muchlis Solichin, “fitrah; konsep dan pengembangannya dalam
pendidikan islam”, Tadrîs. 238 Volume 2. Nomor 2. 2007
M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam: Tinjauan Teoretis dan Praktis Berdasarkan
Pendekatan Interdisipliner, (Jakarta: Bumi Aksara, 2009)
Hasan Langgulung, Pendidikan dan Peradaban Islam, (Jakarta: Pustaka al-Husna,
1985)
Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam, (Bandung: Remaja Rosdakrya, 2004),
M. Sudiyono, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Rineka Cipta, 2009)
Samsul Nizar, Pengantar Dasar-Dasar Pemikiran Pendidikan Islam (Jakarta:
Media Pratama, 2001)
Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat danPraktek Pendidikan Islam Syed M. Naquib al
Attas, ter. Hamid Fahmi dkk (Bandung: Mizan, 2003)
Juhaja S. Praja, “Epistemologi Ibn Taimiyah”, Jurnal Ulumul Qur’an , (Vol. II, No.
7, 1990/1411 H).
Nurcholish Majid, Islam Kemoderenan dan Keindonesiaan (Bandung: Mizan, 1991)
13 | I L M U P E N D I D I K A N I S L A M