BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Fitrah
Secara etimologi, fitrah berasal dari kata “al-fathr” yang berarti “belahan”, dan dari
makna lahir makna-makna lain adalah “penciptaan” atau “kejadian”. Ibnu Abbas memahaminya
dengan arti, “saya yang membuatnya pertama kali.” Dari pemahaman itu sehingga Ibnu Abbas
menggunakan kata fitrah untuk penciptaan atau kejadian sejak awal. Sehingga Fitrah manusia
adalah kejadiannya sejak awal atau bawaan sejak lahir.[1]
Dalam al-Qur’an kata ini antara lain berbicara dalam konteks penciptaan manusia baik dari
sisi pengakuan bahwa penciptanya Allah, maupun dari segi uraian tentang fitrah manusia. Hal itu
dapat dilihat dalam Surat Ar-Rum ayat 30:
Artinya :
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah; (pilihlah) fitrah Allah yang
telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah)
agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (Q.S. Ar-Rum: 30)
Kata “Fitrah Allah” dalam ayat di atas, maksudnya ciptaan Allah. Manusia diciptakan
Allah mempunyai naluri beragama yaitu agama tauhid. Kalau ada manusia tidak beragama
tauhid, maka hal itu tidaklah wajar. Mereka tidak beragama tauhid itu hanyalah lantaran
pengaruh lingkungan.Selain itu, kata “fitrah” dalam ayat diatas mengandung banyak interpretasi,
yaitu;
1) Fitrah yang berarti suci (thuhr), yaitu kesucian jasmani dan rohani.
2) Fitrah yang berarti Islam (dienul Islam), maksudnya adalah agama Islam.
3) Fitrah yang berarti mengakui ke-Esa-an Allah (at-tauhid), yaitu kecenderungan manusia untuk
meng-Esa-kan Tuhan dan berusaha terus untuk mencari ketauhidan tersebut.
4) Fitrah yang berarti murni (al-Ikhlas), yaitu keikhlasan dalam menjalankan sesuatu yang menjadi
salah satu sifat manusia.
5) Fitrah, yang berarti kondisi penciptaan manusia yang mempunyai kecenderungan untuk menerima
kebenaran.
6) Fitrah yang berarti potensi dasar manusia sebagai alat untuk mengabdi dan ma’rifatullah.
7) Fitrah yang berarti ketetapan atau kejadian asal manusia mengenai kebahagiaan dan kesesatannya.
8) Fitrah yang berarti tabiat alami yang dimiliki manusia (human nature).[2]
Sedangkan menurut kesimpulan Muhammad bin Asyur tentang makna fitrah dalam surat
Ar-Rum tersebut, adalah; Fitrah adalah bentuk dan sistem yang diwujudkan Allah pada setiap
makhluk. Fitrah yang berkaitan dengan manusia adalah apa yang diciptakan Allah pada manusia
yang berkaitan dengan jasmani dan akalnya (serta ruhnya).
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, kata “fitrah” diartikan sebagai “sifat asal;
bakat; pembawaan; serta perasaan keagamaan”.[3] Di samping itu, kata “fitrah” dapat diartikan
juga dengan “naluri”, yaitu “dorongan hati atau nafsu pembawaan yang menggerakkan untuk
berbuat sesuatu”. Jadi, fitrah adalah sifat, watak, bakat dan perasaan kegamaan yang dibawa
manusia sejak lahir. Sedangkan naluri adalah kecenderungan hati atau nafsu yang dibawa sejak
lahir yang menggerakkan manusia untuk berbuat sesuatu, yang baik maupun yang buruk.
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa fitrah menurut Islam sebagaimana dalam al-
Qur’an Surat Ar-Ruum ayat 30 di atas, bahwasanya manusia dilahirkan membawa naluri
keimanan kepada Allah dan kesiapan menerima Islam dalam penciptaannya. Selain fitrah
yang dibawa manusia sejak lahir adalah serangkaian naluri dan kecenderungan yang tampak
secara aktual, dan naluri yang dibawa oleh manusia dalam bentuk kecenderungan yang mungkin
akan berubah dari potensi menuju kemampuan yang aktual pada waktu tertentu.
“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam Keadaan tidak mengetahui
sesuatupun.” (QS An-Nahl :78).
Penganut pandangan netral berpendapat bahwa anak terlahir dalam keadaan suci, suatu
keadaan kosong sebagaimana adanya. Tanpa kesadaran akan iman atau kufur. Mereka lahir
dalam keadaan utuh atau sempurna, tetapi kosong dari suatu esensi yang baik atau yang jahat.
Menurut pandangan ini, manusia dilahirkan dalam keadaan bodoh dan tidak berdosa. Dia akan
memeperoleh pengetahuan tentang yang benar dan yang salah, tentang kebaikan dan kebenaran
serta keburukan dan kejahatan, dari lingkungan eksternal.
Menurut pandangan ini, iman (kebaikan) atau kufur (keburukan) hanya mewujud ketika
anak tersebut mencapai kedewasaan (taklif). Setelah mencapai taklif, seseorang menjadi
bertanggung jawab atas perbuatannya.[6]
3. Pandangan Positif
Menurut Ibnu Taimiyah semua anak terlahir dalam keadaan fitrah, yaitu dalam kebajikan
bawaan, dan lingkungan sosial itulah yang menyebabkan individu menyimpang dari keadaan ini.
Sifat dasar manusia memiliki lebih dari sekedar pengetahuan tentang Allah yang ada secara
inheren di dalamnya, tetapi juga suatu cinta kepadanya dan keinginan untuk melaksanakan
ajaran agama secara tulus sebagai seorang hanif sejati.
Ibnu Taimiyah memberikan tanggapan atas pandangan Ibnu ‘Abd Al-Barr dan
menegaskan bahwa fitrah bukan semata-mata sebagai potensi pasif yang harus dibangun dari
luar, tetapi merupakan sumber yang mampu memebangkitkan dirinya sendiri yang ada dalam
individu tersebut. Orang yang hanif bukanlah seseorang yang bereaksi terhadap sumber-sumber
bimbingan, tetapi seseorang yang secara alamiyah telah terbimbing dan berupaya memantapkan
dalam praktik secara sadar.
Tentang keterkaitan antara fitrah dan dien islam, Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa
terdapat suatu kesesuaian alamiyah antara sifat dasar manusia dan dien islam. Agama islam
menyediakan kondisi ideal untuk memepertahankan dan mengembangkan sifat-sifat bawaan
manusia. Sifat dasar manusia memiliki lebih dari sekedar pengetahuan tentang Allah yang ada
secara inheren di dalamnya, tetapi juga suatu cinta kepadanya dan keinginan untuk
melaksanakan agama secara tulus sebagai seorang hanif sejati.
Selanjutnya, apakah fitrah dapat rusak, ada perbedaan pendapat diantara penganut
pandangan positif. Pertama. Fitrah bisa rusak, Ali Ash-Shabuni dan Al-Faruqi berpendapat
demikian, Ali Ash-Shabuni mengungkapkan bahwa fitrah dapat rusak disebabkan masyarakat
memperlihatkan kesalahan, penderitaan, dan kekufuran kepada anak. Manusia itulah yang
merusak dan mengubah apa yang tercipta dalam keadaan indah dan baik. Al-Faruqi berpendapat
bahwa fitrah bisa rusak, karena adanya dorongan-dorongan yang jahat atau hawa nafsu. Kedua,
fitrah tidak bisa rusak. Muhammad Asad mengungkapkan bahwa Allah tidak akan membiarkan
suatu perubahan untuk merusak apa yang telah dia ciptakan. Mufti Muhammad Syafi’i juga
berpendapat demikian. Memurutnya, keadaan intrinsik fitrah tetap sebagai suatu keadaan yang
tidak berubah, sementara keadaan-keadaan ekstrinsik yang bermacam-macam dari keimanan dan
perilaku bisa berubah dan bersifat dinamis.
4. Pandangan Dualis
Pandangan ini berbeda dengan pandangan fatalis, netral dan positif. Menurut mereka
penciptaan manusia membawa suatu sifat dasar yang bersifat ganda. Menurut Quthb, dua unsur
pembentuk esensial dari struktur manusia secara menyeluruh yaitu ruh dan tanah, mengakibatkan
kebaikan dan kejahatan sebagai suatu kecenderungan yang setara pada manusia, yaitu
kecenderungan untuk mengikuti tuhan dan kecenderungan untuk tersesat. Selanjutnya Quthb
berpendapat bahwa kebaikan yang ada pada diri manusia dilengkapi dengan pengaruh-pengaruh
eksternal seperti kenabian dan wahyu Tuhan sementara kejahatan yang ada pada diri manusia
dilengkapi faktor eksternal seperti godaan dan kesesatan.
Shari’ati berpandangan bahwa tanah simbol terendah dari kehinaan digabungkan dengan
ruh (dari) Allah. Dengan demiikan manusia adalah makhluk berdimensi ganda dengan sifat
dasar ganda, suatu susunan dari dua kekuatan, bukan saja berbeda, tetapi juga berlawanan.
C. Perbandingan Pandangan Psikologi Islam, Filsafat dan Psikologi Modern
Adapun perbandingan pandangan psikologi islam dengan filsafat dan psikologi modern tentang
fitrah manusia adalah sebagai berikut:
1. Doktrin Kristen
Berbeda dengan pandangan Psikologi Islam, menurut doktrin Kristen manusia terlahir dalam
kedaan dosa dan dalam suatu keadaan yang tidak suci.
2. Pandangan Psikoanalisis
Pandangan ini mengungkapkan bahwa manusia lahir dalam keadaan cenderung untuk memenuhi
dorongan hidup (eros) dan dorongan mati (thanatos). Darongan hidup mewujud dalam bentuk
libido-seksualita, dan dorongan mati dalam bentuk bunuh diri dan agresi.
Secara etimologi, fitrah berasal dari kata “al-fathr” yang berarti “belahan”, dan dari makna
lahir makna-makna lain adalah “penciptaan” atau “kejadian”. Sehingga Fitrah manusia adalah
kejadiannya sejak awal atau bawaan sejak lahir.
Seringkali terdapat perbedaan antara Psikologi Barat dan Islami mengenai pandangannya
terhadap fitrah manusia, akan tetapi dari beberapa hal dapat diperoleh titik temu diantara
keduanya. Pandangan fatalis mempercayai bahwa apa yang terjadi pada manusia sudah
sepenuhnya ditetapkan oleh Alloh, manusia tidak memiliki pilihan kecuali memenuhi ketetapan
Alloh. Ketetapan Alloh sudah melekat secara inheren dalam diri manusia.
Dalam keadaan manusia secara alamiah buruk, maka pandangan fatalis sesuai dengan teori
psikoanalisa yang mempercayai sifat asal manusia yang buruk. Bila manusia ditetapkan baik
secara alamiah, maka pandangan ini sesuai dengan pandangan psikologi humanistik.
Pandangan netral mempercayai bahwa apa yang terjadi pada manusia bergantung pada
faktor-faktor eksternal. Pandangan fitrah yang bersifat netral mengungkapkan pandangan bahwa
pada dasarnya manusia dilahirkan kosong, bodoh, dan tidak beriman, sangat mirip dengan teori
psikologi behaviorisme (tabularasa).
Sementara pandangan positif mempercayai bahwa manusia diciptakan dalam keadaan
positif, cenderung kepada kebaikan, namun faktor eksternal dapat mengubah hal positif itu.
Pandangan ini adalah pandangan khas psikologi Islami
DAFTAR PUSTAKA