Anda di halaman 1dari 15

FITRAH DAN POTENSI MANUSIA DALAM SISTEM PENDIDIKAN ISLAM

A. Pengertian Fitrah

Fitrah berasal dari kata fathara yang sepadan dengan kata khalaqa dan ansyaa yang artinya
mencipta. Biasanya kata fathara, khalaqa dan ansyaa digunakan dalam Al-Quran untuk
menunjukkan pengertian mencipta sesuatu yang sebelumnya belum ada dan masih merupakan
pola dasar (blue print) yang perlu penyempurnaan.

B. Fitrah manusia

Konsep fitrah manusia yang mengandung pengertian pola dasar kejadian manusia dapat
dijelaskan dengan meninjau:

1. Hakekat wujud manusia,


2. Tujuan penciptaannya,
3. Sumber Daya Insani (SDM),
4. Citra manusia dalam islam.

Dari hakekat wujudnya sebagai makhluk individu dan sosial dapat disimpulkan bahwa menurut
pandangan islam keberadaan pribadi seseorang adalah:

1. Pribadi yang aktivistik karena tanpa aktivitas dalam masyarakat berarti adanya sama
dengan tidak ada (wujuduhu ka adamihi), artinya hanya dengan aktivitas, manusia baru
diketahui bagaimana pribadinya.
2. Pribadi yang bertanggung jawab secara luas, baik terhadap dirinya, terhadap
lingkungannya, maupun terhadap tuhan.
3. Dengan kesimpulan di atas mengeinplisitkan adanya pandangan rekonstruksionisme
(rekonstruksi sosial) dalam pendidikan islam melalui individualisasi dan sosialisasi.[1]

1. Tujuan Penciptaan

1. Tujuan utama penciptaan manusia ialah agar manusia beribadah kepada Allah. (Q.S. Az-
Zahriyah: 56).
2. Manusia dicipta untuk diperankan sebagai wakil Tuhan di muka bumi. (Q.S. Al-Baqarah:
30, Yunus 14, Al-Anam: 165).
3. Manusia dicipta untuk membentuk masyarakat manusia yang saling kenal-mengenal,
hormat menghormati dan tolong-menolong antara satu dengan yang lain (Q.S. Al-
Hujurat: 13), tujuan penciptaan yang ketiga ini menegaskan perlunya tanggung jawab
bersama dalam menciptakan tatanan kehidupan dunia yang damai.

2. Sumber Daya Manusia

Esensi SDM yang membedakan dengan potensi-potensi yang diberikan kepada makhluk lainnya
dan memang sangat tinggi nilainya ialah kebebasan dan hidayah Allah, yang sesungguhnya
inheren dalam fitrah manusia.[2]

3. Citra manusia dalam Islam.

Berdasarkan uraian tentang fitrah manusia ditinjau dari hakekat wujudnya, tujuan penciptaannya
dan sumber daya insaninya, tergambar secara jelas bagaimana citra manusia menurut pandangan
islam:

1. Islam berwawasan optimistik tentang manusia dan sama menolak sama sekali anggapan
pesimistik dari sementara filosof eksistensialis yang menganggap manusia sebagai
makhluk yang terdampar dan terlantar dalam hidup dan harus bertanggung jawab sendiri
sepenuhnya atas eksistensinya.
2. Perjuangan hidup manusia bukan sekedar trial and error belaka tetapi sudah mempunyai
arah dan tujuan hidup yang jelas dan yang telah digariskan oleh Tuhan Yang Maha
Bijaksana. Untuk mencapainya manuia telah diberi pedoman serta kemampuan, yakni
akal dan agama.
3. Manusia makhluk yang paling mampu bertanggung jawab karena dikaruniai seperangkat
alat untuk dapat bertanggung jawab yaitu kebebasan berpikir berkehendak, dan berbuat.

C. Implikasi Fitrah Manusia Dalam Pendidikan

1. Pemberian stimulus dan pendidikan demokratis

Manusia ditinjau dari segi fisik-biologis mungkin boleh dikatakan sudah selesai, Physically and
biologically is finished, tetapi dari segi rohani, spiritual dan moral memang belum selesai,
morally is unfinished.

Manusia tidak dapat dipandang sebagai makhluk yang reaktif, melainkan responsif, sehingga ia
menjadi makhluk yang responsible (bertanggung jawab). Oleh karena itu pendidikan yang
sebenarnya adalah pendidikan yang memberikan stimulus dan dilaksanakan secara demokratis.

2. Kebijakan pendidikan perlu pertimbangan empiris.


Dengan bantuan kajian psikologik, implikasi fitrah manusia dalam pendidikan islam dapat
disimpulkan bahwa jasa pendidikan dapat diharapkan sejauh menyangkut development dan
becoming sesuai dengan citra manusia menurut pandangan islam.

3. Konsep fitrah dan aliran konvergensi

Dari satu sisi, aliran konvergensi dekat dengan konsep fitrah walaupun tidak sama karena
perbedaan paradigmanya.[3]

Adapun kedekatannya:

Pertama: Islam menegaskan bahwa manusia mempunyai bakat-bakat bawaan atau keturunan,
meskipun semua itu merupakan potensi yang mengandung berbagai kemungkinan,

Kedua: Karena masih merupakan potensi maka fitrah itu belum berarti bagi kehidupan manusia
sebelum dikembangkan, didayagunakan dan diaktualisasikan.

Namun demikian, dalam Islam, faktor keturunan tidaklah merupakan suatu yang kaku sehingga
tidak bisa dipengaruhi. Ia bahkan dapat dilenturkan dalam batas tertentu. Alat untuk melentur
dan mengubahnya ialah lingkungan dengan segala anasirnya. Karenanya, lingkungan sekitar
ialah aspek pendidikan yang penting. Ini berarti bahwa fitrah tidak berarti kosong atau bersih
seperti teori tabula rasa tetapi merupakan pola dasar yang dilengkapi dengan berbagai sumber
daya manusia yang potensial

Kajian tentang manusia telah banyak dilakukan para ahli yang selanjutnya dikaitkan dengan
berbagai kegiatan, seperti politik, ekonomi, social, budaya, pendidikan, agama dan lain
sebagainya. Hal tersebut dilakukan karena manusia selain sebagai subjek (pelaku), juga sebagai
objek (sasaran) dari berbagai kegiatan tersebut. Termasuk dalam kajian Ilmu Pendidikan Islam.
Pemahaman terhadap manusia menjadi penting agar proses pendidikan tersebut dapat beerjalan
dengan efektif dan efisien.[4]

Pengetahuan tentang asal kejadian manusia adalah amat penting dalam merumuskan tujuan
pendidikan bagi manusia. Asal kejadian ini justru harus dijadikan pangkal tolak dalam
menetapkan pandangan hidup bagi orang Islam. Pandangan tentang kemakhlukan manusia cukup
menggambarkan hakikat manusia. Manusia adalah makhluk (ciptaan) Allah adalah salah satu
hakikat wujud manusia.

Quraish Syihab dalam bukunya Wawasan Al-Quran mengungkapkan pendapat Alexis Carrel
tentang kesukaran yang dihadapi untuk mengetahui hakikat manusia bahwa
Sebenarnya manusia telah mencurahkan perhatian dan usaha yang sangat besar untuk
mengetahui dirinya, kendatipun kita memiliki perbendaharaan yang cukup banyak dari hasil
penelitian para ilmuwan, filosof, sastrawan dan para ahli bidang keruhanian sepanjang masa ini.
Tapi kita (manusia) hanya mampu mengetahui beberapa segi tertentu dari diri kita. Kita tidak
mengetahui manusia secara utuh. Yang kita ketahui hanyalah bahwa manusia terdiri dari bagian-
bagian tertentu, dan ini pun pada hakikatnya dibagi lagi menurut tata cara kita sendiri.
Pada hakikatnya, kebanyakan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh mereka yang
mempelajari manusia kepada diri mereka hingga kini masih tetap tanpa jawaban.

Satu-satunya jalan untuk mengenal dengan baik siapa manusia, adalah merujuk kepada wahyu
Illahi (Al-Quran) dan As-Sunnah (Hadits Rosulullah SAW), agar kita dapat menemukan
jawabannya. Bagaimanakah perspektif Al-Quran dan As-Sunnah tentang hakikat dan fitrah
manusia? Makalah ini berusaha mengungkapkan Hakikat dan Fitrah manusia dalam perspektif
Al-Quran dan As-Sunnah.

1. Hakikat Manusia dalam Perspektif Al-Quran

Hakikat manusia dalam perspektif Al-Quran? Di dalam Al-Quran, manusia merupakan salah
satu subjek yang dibicarakan, terutama yang menyangkut asal-usul dengan konsep
penciptaannya, kedudukan manusia dan tujuan hidupnya. Hal tersebut merupakan sesuatu yang
wajar karena al-Quran memang diyakini oleh kaum muslimin sebagai firman Allah SWT yang
ditujukan kepada dan untuk manusia.[5]

Ada tiga kata yang digunakan Al-Quran untuk menunjuk kepada manusia, 4 yaitu:
a. Menggunakan kata yang terdiri dari huruf alif, nun dan sin semacam insan, ins, nas atau unas.
b. Menggunakan kata basyar.

c. Menggunakan kata Bani adam dan Dzuriyat Adam.

Sementara Ramayulis dalam bukunya Ilmu Pendidikan Islam mengatakan bahwa istilah manusia
dalam Al-Quran dikenal tiga kata, yakni kata al-insn, al-basyr dan al-ns.5
3 Quraish Shihab. Wawasan Al-Quran, Tafsir MaudhuI atas Pelbagai Persoalan Umat.

Walaupun ketiga kata di atas menunjukkan arti pada manusia, tetapi secara khusus memiliki
pengertian yang berbeda:

1) Al-Insn

Al-Insn terbentuk dari kata yang berarti lupa. Kata al-insn dinyatakan dalam al-Quran
sebanyak 73 kali yang disebut dalam 43 surat. Penggunaan kata al-insn pada umumnya
digunakan pada keistimewaan manusia penyandang predikat khalifah di muka bumi, sekaligus
dihubungkan dengan proses penciptaannya. Keistimewaan tersebut karena manusia merupakan
makhluk psikis disamping makhluk pisik yang memiliki potensi dasar, yaitu fitrah akal dan
kalbu. Potensi ini menempatkan manusia sebagai makhluk Allah SWT yang mulia dan tertinggi
dibandingkan makhluk-Nya yang lain.[6]

Nilai psikis manusia sebagai al-insn yang dipadu wahyu Ilahiyah akan membantu manusia
dalam membentuk dirinya sesuai dengan nilai-nilai insaniah yang terwujud dalam perpaduan
iman dan amalnya. Sebagaimana firman Allah SWT,

Artinya:Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh; Maka bagi mereka
pahala yang tiada putus-putusnya.(QS. At-Thiin: 6)[7]
Dengan pengembangan nilai-nilai tersebut, akhirnya manusia mampu mengemban amanah Allah
SWT di muka bumi. Quraish Syihab dalam bukunya Wawasan Al-Quran mengatakan bahwa
kata insan terambil dari akar kata uns yang berarti jinak, harmonis dan tampak. Menurutnya
pendapat ini jika ditinjau dari sudut pandang Al-Quran lebih tepat dari yang berpendapat bahwa
ia terambil dari kata nasiya (lupa), atau nasa-yanusu yang berarti (berguncang). Kata insan,
digunakan Al-Quran untuk menunjuk kepada manusia dengan seluruh totalitasnya, jiwa dan
raga. Manusia yang berbeda antara seseorang dengan yang lain, akibat perbedaan fisik, mental
dan kecerdasan.[8]

Kata al-insn juga menunjukkan pada proses kejadian manusia, baik proses penciptaan Adam
maupun proses manusia pasca Adam di alam rahim yang berlangsung secara utuh dan berproses.
Firman Allah:

Artinya: (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada Malaikat: Sesungguhnya aku akan
menciptakan manusia dari tanah.

Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya roh (ciptaan)Ku;
Maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadaNya. (QS. Shaad: 71-72)

Artinya:
12. dan Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah.
13. kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh
(rahim) (QS. Al-Mukminn: 12-13)

2) Al-Basyar

Al-Basyar terambil dari akar kata yang pada mulanya berarti penampakan sesuatu dengan baik
dan indah. Dari akar kata yang sama lahir kata basyarah yang berarti kulit. Manusia dinamai
basyar karena kulitnya tampak jelas, dan berbeda dengan kulit binatang yang lain.[9]

Kata Al-Basyar dinyatakan dalam al-Quran sebanyak 36 kali yang tersebut dalam 26 surat.[10]

Kata-kata tersebut diungkap dalam bentuk tunggal dan sekali dalam bentuk mutsanna (dual)
untuk menunjukkan manusia dari sudut lahiriahnya serta persamaannya dengan manusia
seluruhnya.[11]

Pemaknaan manusia dengan Al-Basyar memberikan pengertian bahwa manusia adalah makhluk
biologis serta memiliki sifat-sifat yang ada di dalamnya, seperti makan, minum, perlu hiburan,
seks dan lain sebagainya. Karena kata Al-Basyar ditunjukkan kepada seluruh manusia tanpa
terkecuali, ini berarti nabi dan rasul pun memiliki dimensi Al-Basyar seperti yang diungkapkan
firman Allah SWT dalam Al-Quran Surat Al-Kahfi ayat 110:

Artinya:
Katakanlah: Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku
(QS. Al-Kahfi 110)
Dengan demikian penggunaan kata al-basyar pada manusia menunjukkan persamaan dengan
makhluk Allah SWT lainnya pada aspek material atau dimensi jasmaniahnya.
3) Al-ns

Kata al-ns menunjukkan pada hakikat manusia sebagai makhluk social dan ditunjukkan kepada
seluruh manusia secara umum tanpa melihat statusnya apakah beriman atau kafir.[12]

Penggunaan kata al-ns lebih bersifat umum dalam mendefinisikan hakikat manusia dibanding
dengan kata al-insn.[13]

Kata al-ns juga dipakai dalam Al-Quran untuk menunjukkan bahwa karakteristik manusia
senantiasa berada dalam keadaan labil. Meskipun telah dianugerahkan Allah SWT dengan
berbagai potensi yang bisa digunakan manusia untuk mengenal Tuhannya, namun hanya
sebagian manusia saja yang mau mempergunakannya, sementara sebagian yang lain tidak, justru
mempergunakan potensi tersebut untuk menentang ke-Mahakuasa-an Tuhan. Dari sini terlihat
bahwa manusia mempunya dimensi ganda, yaitu sebagai makhluk yang mulia dam yang tercela.
Dari uraian di atas, bahwa pendefinisian manusia yang diungkap dalam Al-Quran dengan
istilah.

Al-Insn, Al-Basyar dan al-ns menggambarkan tentang keunikan dan kesempurnaan manusia
sebagai makhluk ciptaan Allah SWT. Hal ini memperlihatkan bahwa manusia merupakan satu
kesatuan yang utuh, antara aspek material (fisik/jasmani), dan immaterial (psikis/ruhani) yang
dipandu oleh ruh Ilahiah. Kedua aspek tersebut saling berhubungan.
Dengan kelengkapan dua aspek material dan immaterial di atas, manusia dapat melaksanakan
tugas-tugasnya. Disini manusia memerlukan bimbingan,binaan dan pendidikan yang seimbang,
harmonis dan integral, agar kedua aspek tersebut dapat berfungsi dengan baik dan produktif.

Produksi dan Reproduksi Manusia

Manusia adalah makhluk Allah. Ia bukan terjadi dengan sendirinya, tetapi dijadikan oleh Allah
SWT. Sebagaimana firman Allah dalam Al Quran Surat Ar-Rum ayat 40, yang berbunyi:

Artinya:
Allah-lah yang menciptakan kamu, kemudian memberimu rezki, kemudian mematikanmu,
kemudian menghidupkanmu (kembali) (QS. Ar-Rum: 40)

Manusia adalah satu-satunya makhluk yang unsur penciptaannya terdapat ruh Illahi sedang
manusia tidak diberi pengetahuan tentang ruh kecuali sedikit.

Artinya:

Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: Roh itu Termasuk urusan Tuhan-ku,
dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit. (QS. Al-Israa : 85)
Proses penciptaan manusia seperti yang dimuat pada Al-Quran Surat Ash-Shaad ayat 71-72 dan
Al-Mukminn ayat 12-13 di atas, penggunaan kata al-insn mengandung dua dimensi, Pertama;
dimensi tubuh/materiil (dengan berbagai unsurnya). Kedua; dimensi spiritual (ditiupkan-Nya
ruh-Nya kepada manusia).[14]

1. Hakikat Manusia Dan Kedudukannya Di Alam Semesta

Pemahaman tentang manusia merupakan bagian dari kajian filsafat. Tak mengherankan jika
banyak sekali kajian atau pemikiran yang telah dicurahkan untuk membahas tentang manusia .
walaupun demikian, persoalan tentang manusia ajan menjadi misteri yang tek terselesaikan. Hal
ini menurut Husein Aqil al-Munawwar dalam Jalaluddin (2003: 11) karena keterbatasan
pengetahuan para ilmuan untuk menjangkau segala aspek yang terdapat dalam diri manusia.
Lebih lanjut Jalaluddin (2003: 11) mengatakan bahwa manusia sebagai makhluk Allah yang
istimewa agaknya memang memiliki latar belakang kehidupan yang penuh rahasia.

Dengan demikian, memang yang menjadi keterbatasan untuk mengetahui segala aspek yang
terdapat pada diri manusia itu adalah selain keterbatan para ilmuan untuk mengkajinya, juga
dilatarbelakangi oleh faktor keistimewaan manusia itu sendiri.

Walaupun demikian, sebagai hamba yang lemah, usaha untuk mempelajarinya tidaklah berhenti
begitu saja. Banyak sumber yang mendukung untuk mempelajari manusia. Di antara sumber
yang paling tinggi adalah Kitab Suci Al-Quran. Yang mana di dalamnya banyak terdapat
petunjuk-petunjuk tentang penciptaan manusia. Konsep-konsep tentang manusia banyak dibahas,
mulai dari proses penciptaan sampai kepada fungsinya sebagai makhluk ciptaan Allah.

Dalam makalah ini kami berupaya untuk menguraikan secara sederhana tentang hakikat manusia
dan kedudukannya di alam semesta. Yang sudah tentu hal ini merupakan kajian untuk mempejari
penciptaan manusia.

1. Hakikat Manusia

Berbicara tentang manusia berarti kita berbicara tentang dan pada diri kita sendiri makhluk yang
paling unik di bumi ini. Banyak di antara ciptaan Allah yang telah disampaikan lewat wahyu
yaitu kitab suci. Manusia merupakan makhluk yang paling istimewa dibandingkan dengan
makhluk yang lain. Menurut Ismail Rajfi manusia adalah makhluk kosmis yang sangat penting,
karena dilengkapi dengan semua pembawaan dan syarat-syarat yang diperlukan (Jalaluddin,
2003: 12).[15]

Manusia mempunyai kelebihan yang luar biasa. Kelebihan itu adalah dikaruniainya akal. Dengan
dikarunia akal, manusia dapat mengembangkan bakat dan potensi yang dimilikinya serta mampu
mengatur dan mengelola alam semesta ciptaan Allah adalah sebagai amanah.

Selain itu manusia juga dilengakapi unsur lain yaitu qolbu (hati). Dengan qolbunya manusia
dapat menjadikan dirinya sebagai makhluk bermoral, merasakan keindahan, kenikmatan beriman
dan kehadiran Ilahi secara spiritual (Jalaluddin, 2003: 14).[16]
Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa manusia adalah makhluk yang paling mulia
dibandingkan dengan makhluk yang lain, dengan memiliki potensi akal, qolbu dan potensi-
potensi lain untuk digunakan sebagai modal mengembangkan kehidupan.

Hakikat wujud manusia menurut Ahmad Tafsir (2005: 34) adalah makhluk yang
perkembangannya dipengaruhi oleh pembawaan dan lingkungan. Lebih lanjut beliau mengatakan
bahwa manusia mempunyai banyak kecenderungan, ini disebabkan oleh banyaknya potensi yang
dimiliki. Dalam hal ini beliau membagi kecenderungan itu dalam dua garis besar yaitu cenderung
menjadi orang baik dan cenderung menjadi orang jahat (2003: 35).

Secara rinci, M. Nasir Budiman (Kemas Badaruddin, 2007) mengklasifikasikan manusia ini
menjadi empat klasifikasi, yaitu:

1. Hakikat manusia secara umum.

a. Manusia sebagai makhluk Allah SWT mempunyai kebutuhan untuk bertaqwa

kepadaNya.

b. Manusia membutuhkan lingkungan hidup, berkelompok untuk mengembangkan

dirinya.

c. Manusia mempunyai potensi yang dapat dikembangkan dan membutuhkan material

sertas spiritual yang harus dipenuhi.

d. Manusia itu pada dasarnya dapat dan harus dididik serta dapat mendidik diri sendiri.

2. Hakikat manusia sebagai subjek didik

a. Subjek didik bertanggung jawab atas pendidikannya sendiri sesuai dengan wawasan

pendidikan seumur hidup.

b. Subjek didik memiliki potensi baik fisik maupun psikologis yang berbeda sehingga

masing-masing subjek didik merupakan insane yang unik.

c. Subjek didik memerlukan pembinaan individual serta perlakuan yang manusiawi.

d. Subjek didik pada dasarnya merupakan insane yang aktif menghadapi lingkungan

hidupnya.

3. Hakikat manusia sebagai pendidik


a. Pendidik adalah agen perubahan

b. Pendidik berperan sebagai pemimpin dan pendukung nilai-nilai masyarakat dan

agama.

c. Pendidik sebagai fasilitator yang memungkinkan terciptanya kodisi belajar subjek

didik yang efektif dan efisien.

d. Pendidik bertanggung jawab terhadap keberhasilan tujuan pendidikan.

e. Pendidik dan tenaga kependidikan dituntut untuk menjadi contoh dalam pengelolaan

proses belajar mengajar bagi calon guru yang menjadi subjek didiknya.

f. Pendidik bertanggung jawab secara professional untuk terus-menerus meningkatkan

kemampuannya.

g. Pendidik menjunjung tinggi kode etik profesionalnya.[17]

4. Hakikat manusia sebagai anggota masyarakat.

a. Kehidupan masyarakat berlandaskan sistem nilai-nilai keagamaan, social dan buday

yang dianut oleh warga masyarakat. Sebagian daripada nilai-nilai tersebut bersifat

lestari dan sebagian lain terus berubah sesuai dengan perkembangan ilmu

pengetahuan

dan teknologi.

b. Masyarakat merupakan sumber nilai-nilai yang memberikan arah normatif kepada

pendidikan.

c. Kehidupan masyarakat ditingkatkan kualitasnya oleh insan-insan yang berhasil

mengembangkan dirinya melalui pendidikan.

1. Konsep Fitrah Dan Relevansinya Dengan Pendidikan Islam

Pendidikan merupakan upaya manusia dewasa membimbing yang belum kepada kedewasaan
(Kartini Kartono, 1997:11). Ahmad D.Marimba, merumuskan pendidikan adalah bimbingan atau
pimpinan secara sadar oleh si pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani si terdidik
menuju terbentuknya keperibadian yang utama.[18]

Demikian dua pengertian pendidikan dari sekian banyak pengertian yang diketahui. dalam
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor : 2 Tahun 1989, pendidikan dirumuskan
sebagai usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan
atau latihan bagi perannya di masa yang akang datang. Sedangkan, pendidikan dalam
pengertian yang luas adalah meliputi perbuatan atau semua usaha generasi tua untuk
mengalihkan (melimpahkan) pengetahuannya, pengalamannya, kecakapan serta keterampilannya
kepada generasi muda, sebagai usaha untuk menyiapkan mereka agar dapat memenuhi fungsi
hidupnya, baik jasmaniah maupun rohaniah.[19]

Para ahli Filsafat Pendidikan, menyatakan bahwa dalam merumuskan pengertian pendidikan
sebenarnya sangat tergantung kepada pandangan terhadap manusia; hakikat, sifat-sifat atau
karakteristik dan tujuan hidup manusia itu sendiri. Perumusan pendidikan bergantung kepada
pandangan hidupnya, apakah manusia dilihat sebagai kesatuan badan dan jasmani; badan, jiwa
dan roh, atau jasmani dan rohani? Apakah manusia pada hakekatnya dianggap memiliki
kemampuan bawaan (innate) yang menentukan perkembangannya dalam lingkungannya, atau
lingkungannyalah yang menentukan (domain) dalam perkembangan manusia? Bagimanakah
kedudukan individu dalam masyarakat? Apakah tujuan hidup manusia? Apakah manusia
dianggap hanya hidup sekali di dunia ini, ataukah hidup lagi di hari kemudian (akhirat)?
Demikian beberapa pertanyaan filosofis yang diajukan.

Pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas, memerlukan jawaban yang menentukan pandangan


terhadap hakekat dan tujuan pendidikan, dan dari sini juga sebagai pangkal perbedaan rumusan
pendidikan atau timbulnya aliran-aliran pendidikan seperti : pendidikan Islam, Kristen, Liberal,
progresif atau pragmatis, komunis, demokratis, dan lain-lain.

Dengan demikian, terdapat keaneka ragaman pendangan tentang pendidikan. Tetapi, dalam
keanekaragaman pandangan tentang pendidikan terdapat titik-titik persamaan tentang pengertian
pendidikan, yaitu pendidikan dilihat sebagai suatu proses; karena dengan proses itu seseorang
(dewasa) secara sengaja mengarahkan pertumbuhan atau perkembangan seseorang (yang belum
dewasa). Proses adalah kegiatan mengarahkan perkembangan seseorang sesuai dengan nilai-nilai
yang merupakan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas. Maka, dengan pengertian
atau definisi itu, kegiatan atau proses pendidikan hanya berlaku pada manusia tidak pada
hewan.[20]

Dari uraian di atas, timbul pertanyaan apakah Pendidikan Islam itu? Pendidikan Islam adalah
suatu pendidikan yang melatih perasaan murid-murid dengan cara begitu rupa sehingga dalam
sikap hidup, tindakan, keputusan, dan pendekatan mereka terhadap segala jenis pengetahuan,
mereka dipengaruhi sekali oleh nilai spritual dan sangat sadar akan nilai etis Islam atau menurut
Abdurrahman an-Nahlawi, pendidikan Islam mengantarkan manusia pada perilaku dan
perbuatan manusia yang berpedoman pada syariat Allah.

Dari pandangan ini, dapat dikatakan bahwa pendidikan Islam bukan sekedar transfer of
knowledge ataupun transfer of training, .tetapi lebih merupakan suatu sistem yang ditata di
atas pondasi keimanan dan kesalehan, yaitu suatu sistem yang terkait secara langsung
dengan Tuhan

Dengan demikian, dapat dikatakan pendidikan Islam suatu kegiatan yang mengarahkan dengan
sengaja perkembangan seseorang sesuai atau sejalan dengan nilai-nilai Islam. Maka sosok
pendidikan Islam dapat digambarkan sebagai suatu sistem yang membawa manusia kearah
kebahagian dunia dan akhirat melalui ilmu dan ibadah. Karena pendidikan Islam membawa
manusia untuk kebahagian dunia dan akhirat, maka yang harus diperhatikan adalah nilai-nilai
Islam tentang manusia; hakekat dan sifat-sifatnya, misi dan tujuan hidupnya di dunia ini dan
akhirat nanti, hak dan kewajibannya sebagai individu dan anggota masyarakat. Semua ini dapat
kita jumpai dalam al-Quran dan Hadits

Jadi, dapat dikatakan bahwa konsepsi pendidikan model Islam, tidak hanya melihat pendidikan
itu sebagai upaya mencerdaskan semata (pendidikan intelek, kecerdasan), melainkan sejalan
dengan konsep Islam tentang manusia dan hakekat eksistensinya.
Maka, pendidikan Islam sebagai suatu pranata sosial, juga sangat terkait dengan pandangan
Islam tentang hakekat keberadaan (eksistensi) manusia. Oleh karena itu, pendidikan Islam juga
berupaya untuk menumbuhkan pemahaman dan kesadaran bahwa manusia itu sama di depan
Allah dan perbedaanya adalah terletak pada kadar ketaqwaan masing-masing manusia, sebagai
bentuk perbedaan secara kualitatif

Pendidikan berupaya untuk menumbuhkan pemahaman dan kesadaran pada manusia, maka
sangat urgen sekali untuk memperhatikan konsep atau pandangan Islam tentang manusia sebagai
makhluk yang diproses kearah kebahagian dunia dan akhirat, maka pandangan Islam tentang
manusia antara lain: Pertama, konsep Islam tentang manusia, khsusunya anak, sebagai subyek
didik, yaitu sesuai dengan Hadits Rasulullah, bahwa anak manusia dilahirkan dalam fitrah atau
dengan potensi tertentu.[21]

Dalam al-Quran, dikatakan tegakkan dirimu pada agama dengan tulus dan mantap, agama yang
cocok dengan fitrah manusia yang digariskan oleh Allah. Tak ada perubahan pada ketetapan-
Nya. (ar-Rum : 30). Dengan demikian, manusia pada mulanya dilahirkan dengan membawa
potensi yang perlu dikembangkan dalam dan oleh lingkungannya. Pandangan ini, berbeda
dengan teori tabularasa yang menganggap anak menerima secara pasif pengaruh
lingkungannya, sedangkan konsep fitrah mengandung potensi bawaan aktif (innate patentials,
innate tendencies) yang telah di berikan kepada setiap manusia oleh Allah[22].

Bahkan dalam al-Quran, sebenarnya sebelum manusia dilahirkan telah mengadakan transaksi
atau perjanjian dengan Allah yaitu mengakui keesaan Tuhan, firman Allah surat al-Araf : 172,
Ingatlah, ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan Adam dari sulbi mereka dan menyuruh agar
mereka bersaksi atas diri sendiri; Bukankah Aku Tuhanmu? firman Allah. Mereka menjawab;
ya kami bersaksi yang demikian agar kamu tidak berkata pada hari kiamat kelak, kami tidak
mengetahui hal ini (Zaini Dahlan, 1998:304). Apabila kita memperhatikan ayat ini, memberi
gambaran bahwa setiap anak yang lahir telah membawa potensi keimanan terhadap Allah atau
disebut dengan tauhid. Sedangakan potensi bawaan yang lain misalnya potensi fisik dan
intelegensi atau kecerdasan akal dengan segala kemungkinan dan keterbatasannya. Selain itu,
dalam al-Quran banyak dijumpai ayat-ayat yang menggambarkan sifat-sifat hakiki manusia
yang mempunyai implikasi baik terhadap tujuan maupun cara pengarahan perkembangannya.
Misalnya saja: tentang tanggung jawab, bahwa manusia diciptakan tidak sia-sia, tetapi juga
potensi untuk bertanggung jawab atas perbuatannya dan sesuai dengan tingkat kemampuan daya
pikul seseorang menurut kodrat atau fitrah-nya (pada al-Muminun:115 dan al-Baqrah:286).
Selain itu juga manusia pada hakekat dan menurut kejadiannya bersedia dan sanggup memikul
amanah (pada al-Ahzab : 72). Di samping itu, hal yang juga penting implikasinya bagi
pendidikan adalah tanggung jawab yang ada pada manusia bersifat pribadi, artinya tidaklah
seseorang dapat memikul beban orang lain, beban itu dipikul sendiri tanpa melibatkan orang lain
(pada Faathir:18).

Sifat lain yang ada pada manusia adalah manusia diberi oleh Allah kemampuan al-bayan (fasih
perkataan kesadaran nurani) yaitu daya untuk menyampaikan pikiran dan perasaannya melalui
kemampuan berkomunikasi dengan bahasa yang baik (pada ar-Rahman:3-4). Pada hadits
Rasulullah, barang siapa ingin mencapai kebahagian dunia harus ditempuh dengan ilmu dan
barang siapa yang mencari kebahagian akhirat juga harus dengan ilmu, dan barang untuk
mencari keduanya juga harus dengan ilmu. Dari pandangan ini, dapat dikatakan bahwa tugas
dan fungsi pendidikan adalah mengarhkan dengan sengaja segala potensi yang ada pada
seseorang seoptimal mungkin sehingga ia berkembang menjadi seorang muslim yang baik.
Kedua, peranan pendidikan atau pengarah perkembanagan. Potensi manusia yang dibawah sejak
dari lahir itu bukan hanya bisa dikembangkan dalam lingkungan tetapi juga hanya bisa
berkembang secara terarah bila dengan bantuan orang lain atau pendidik. Dengan demikian,
tugas pendidik mengarahkan segala potensi subyek didik seoptimal mungkin agar ia dapat
memikul amanah dan tanggung jawabnya baik sebagai individu maupun sebagai anggota
masyarakat, sesuai dengan profil manusia Muslim yang baik. Ketiga, profil manusia Muslim.
Profil dasar seorang Muslim yang baik adalah ketaqwaan kepada Allah.

Dengan demikian, perkembangan anak haruslah secara sengaja diarahkan kepada pembentukan
ketaqwaan. Keempat, metodologi pendidikan. Metodologi diartikan sebagai prinsip-prinsip yang
mendasari kegiatan mengarahkan perkembangan seseorang, khususnya pada proses belajar-
mengajar. Maka, pandangan bahwa seseorang dilahirkan dengan potensi bawaan tertentu dan
dengan itu ia mampu berkembang secara aktif dalam lingkungannya, mempunyai implikasi
bahwa proses belajar-mengajar harus didasarkan pada prinsip belajar siswa aktif (student active
learning).[23]

Jadi, dari pandangan di atas, pendidikan menurut Islam didasarkan pada asumsi bahwa manusia
dilahirkan dalam keadaan fitrah yaitu dengan membawa potensibawaan seperti potensi
keimanan, potensi untuk memikul amanah dan tanggung jawab, potensi kecerdasan, potensi
fisik. Karena dengan potensi ini, manusia mampu berkembang secara aktif dan interaktif dengan
lingkungannya dan dengan bantuan orang lain atau pendidik secara sengaja agar menjadi
manusia muslim yang mampu menjadi khalifah dan mengabdi kepada Allah.

KESIMPULAN

Allah menciptakan alam semesta ini bukan untukNya, tetapi untuk seluruh makhluk yang diberi
hidup dan kehidupan. Sebagai pencipta dan sekaligus pemilik, Allah mempunyai kewenangan
dan kekuasaan absolut untuk melestarikan dan menghancurkannya tanpa diminta
pertanggungjawaban oleh siapapun. Namun begitu, Allah telah mengamanatkan alam seisinya
dengan makhlukNya yang patut diberi amanat itu, taitu MANUSIA. Dan oleh karenanya
manusia adalah makhluk Allah yang dibekali dua potensi yang sangat mendasar, yaitu kekuatan
fisi dan kekuatan rasio, disamping emosi dan intuisi. Ini berarti, bahwa alam seisinya ini adalah
amanat Allah yang kelak akan minta pertanggungjawaban dari seluruh manusia yang selama
hidupnya di dunia ini pasti terlibat dalam amanat itu.

Manusia diberi hidup oleh Allah tidak secara outomatis dan langsung, akan tetapi melalui proses
panjang yang melibatkan berbagai faktor dan aspek. Ini tidak berarti Allah tidak mampu atau
tidak kuasa menciptakannya sealigus. Akan tetapi justru karena ada proses itulah maka tercipta
dan muncul apa yang disebut kehidupan baik bagi manusia itu sendiri maupun bagi mahluk
lain yang juga diberi hidup oleh Allah, yakni flora dan fauna.

Kehidupan yang demikian adalah proses hubungan interaktif secara harmonis dan seimbang
yang saling menunjang antara manusia, alam dan segala isinya utamanaya flora dan fauna, dalam
suatu tata nilai maupun tatanan yang disebut ekosistem. Tata nilai dan tatanan itulah yang
disebut pula moral dan etika kehidupan alam yang sering dipengaruhi oleh paradigma dinamis
yang berkembang dalam komunitas masyarakat disamping pengaruh ajaran agama yang menjadi
sumber inspirasi moral dan etika itu.

REFERENSI

Ahmad D. Marimba, 1974, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, al-Maarif, Bandung.

Zuhairini, dkk, 1995, Filsafat Pendidikan Islam, Bumi Aksara, Jakarta.

Abuddin Nata. 1997. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.

Ahmad Tafsir. 2005. Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.

Ramayulis. 2010. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta : Kalam Mulia. Cet. VIII

Quraish Shihab. 1996. Wawasan Al-Quran. Bandung: Mizan.

Jalaluddin. 2003. Teologi Pendidikan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada

Anwar Jasin, 1985, Kerangka Dasar Pembaharuan Pendidikan Islam: Tinjauan


Filosofis, Jakarta.Conference Book, London, 1978.

Abdurrahman an-Bahlawi, Ushulut Tarbiyah Islamiyah wa Asalibiha fi Baiti wal Madrasati wal
Mujtama, Dar al-Fikr al-Muasyir, Beiru-Libanon, Cet. II, 1983., Terj., Shihabuddin,
Pendidikan Islam di Rumah Sekolah dan Masyarakat, Gema Insani Press,1995,
[1] Ahmad D. Marimba, 1974, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, al-Maarif, Bandung,
Cet.III, hal. 20

[2] Zuhairini, dkk, 1995, Filsafat Pendidikan Islam, Bumi Aksara, Jakarta, Cet. II, hal. 2

[3] Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam. (Jakarta : Kalam Mulia, 2010, cet. VIII). h. 3

[4] Abuddin Nata. Perspektif Islam tentang Strategi Pembelajaran. Jakarta : Prenada Media
Group.2009. h. 27

[5] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya,cet.
VII 2007), h. 34

[6] Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam. (Jakarta : Kalam Mulia, 2010, cet. VIII). h. 3

[7] Ibid h.53

[8] Quraish Shihab. Wawasan Al-Quran, op. cit. h. 280

[9] Ibid, h. 279

[10] Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, op.cit, h.4

[11] Quraish Shihab, Wawasan Al-quran, op. cit, h. 279

[12] Nurcholis Majid, Islam Kemodern dan Keindonesiaan, (Bandung : Mizan, 1991) h. 63

[13] Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, op.cit h.6

[14] Quraish Shihab, Wawasan Al-quran, op. cit, h.280

[15] Jalaluddin. 2003. Teologi Pendidikan, h 12

[16] Opcit, h 14

[17]Jalaluddin. 2003,Teologi Pendidikan, op. cit. h. 14

[18] Ahmad D. Marimba, 1974, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, al-Maarif, Bandung,
Cet.III, hal. 20
[19] Zuhairini, dkk, 1995, Filsafat Pendidikan Islam, Bumi Aksara, Jakarta, Cet. II, hal. 2

[20] Anwar Jasin, 1985, Kerangka Dasar Pembaharuan Pendidikan Islam : Tinjauan Filosofis,
Jakarta.Conference Book, London, 1978,. Hal. 2

[21] Abdurrahman an-Bahlawi, Ushulut Tarbiyah Islamiyah wa Asalibiha fi Baiti wal Madrasati
wal Mujtama, Dar al-Fikr al-Muasyir, Beiru-Libanon, Cet. II, 1983., Terj., Shihabuddin,
Pendidikan Islam di Rumah Sekolah dan Masyarakat, Gema Insani Press, 1995, hal. 26

[22] Loc cit, Anwar Jasin, hal. 3

[23] Loc cit, Anwar Jasin, hal. 4-5

Anda mungkin juga menyukai