Anda di halaman 1dari 11

TUGAS TERSTRUKTUR DOSEN PENGAMPU

Psikologi Kepribadian Dra. Hj. NoorAinah, M. Pd

TEORI KEPRIBADIAN MENURUT ISLAM (KONSEP FITRAH)

OLEH
FATIMAH :NIM 200101050238
RIZKA AZHARA :NIM 200101050141

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI


ANTASARI FAKULTAS TARBIYAH DAN
KEGURUAN
PROGRAM STUDI MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM
BANJARMASIN
TAHUN 2022M /1444H

1
A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang

Kepribadian adalah sesuatu yang pasti terdapat dalam diri setiap manusia, baik
manusia itu beragama maupun tidak. Tidak ada kepribadian yang sama antara dua
orang individu, sekalipun saudara kembar. Secara umum kepribadian terdapat
dalam diri setiap individu yang normal. Sedangkan orang yang tidak normal
kepribadiannya tidak tertentu dan tidak dapat diamati secara pasti, walaupun pada
dasarnya setiap kepribadian itu dapat diamati melalui gejala-gejala yang tampak.
Termasuk juga kepribadian dikalangan orang islam. Namun Orang islam
belum tentu berkepribadian muslim, terbukti dengan banyaknya orang –orang
yang mengaku islam namun kepribadian mereka malah seperti orang-orang
non Islam.
Kata pribadi diartikan sebagai keadaan manusia orang perorangan, atau
keseluruhan sifat-sifat yang merupakan watak perorangan. Dan kepribadian
adalah sifat hakiki yang tercermin pada sikap seseorang atau suatu bangsa
yang membedakan dirinya dari orang atau bangsa lain.

2. Rumusan Masalah
a. Jelaskan Konsep Fitrah dalam Islam?
b. Jekaskan Dinamika Kepribadian dalam Perspektif Islam?
c. Jelaskan Bentuk-Bentuk Kepribadian Menurut Islam?
d. Jelaskan Faktor-Faktor Membentuk Kepribadian?
3. Tujuan Penulisan
a. Mengetahui Konsep Fitrah dalam Islam

b. Mengetahui Dinamika Kepribadian dalam Perspektif Islam


c. Mengetahui Bentuk-Bentuk Kepribadian Menurut Islam
d. Mengetahui Faktor-Faktor Membentuk Kepribadian

2
B. PEMBAHASAN

1. Konsep Fitrah dalam Islam


Secara etimologi, fitrah diambil dari bahasa Arab dari kata fathara
yang menunjukkan arti bentuk, situasi atau kondisi, dan keadaan.
Sinonimnya adalah al-shaqq (pecah belah), al-khilqah (penciptaan
sesuatu yang belum ada sebelumnya), al-ibdâ`/al-ibtidâ` (permulaan),
al-îjâd (pengadaan sesuatu yang baru), al-khilqah min al fâthir al-
Khâliq (penciptaan dari sang Pencipta) 1 , atau bahan baku yang
disediakan untuk menerima agama. 2 Artinya, dapat dikatakan bahwa
semua varian kata fathara mengandung arti penciptaan awal manusia
pada bentuk aslinya semenjak ia ada dalam rahim ibunya. Kata fitrah
juga dipakaikan kepada anak yang baru dilahirkan karena belum
terkontaminasi dengan sesuatu sehingga anak tersebut sering disebut
dalam keadaan fitrah (suci). Dengan fitrah manusia menjadi dirinya
sendiri sebagai manusia sejak awal kejadiannya sampai akhir hayatnya.

Para mufasir mengartikan fitrah berbeda-beda. Ada yang


mengartikannya dengan kata penciptaan, atau ada pula yang
mengartikannya sebagai dîn, dîn Islâm, atau agama yang hanif. 3 Selain
itu, dalam Tafsîr al-Tah}rîr wa al-Tanwîr, Ibnu Asyur mengartikan
fitrah dengan sistem yang Allah adakan pada setiap makhluk 4 atau
dalam bahasa al-Attas disebut pola kealamiahan; 5 sebagai pembeda
dengan ciptaan Allah lainnya. Sehingga dengan fitrah, manusia
mengenal Tuhan, mengetahui syariat, dan beriman kepadanya. 6 Berbeda
dengan yang lainnya, al-Thabari dan Hamka 7 mengartikan fitrah dengan
murni atau ikhlas; yaitu ikhlas dalam menjalankan kehidupan atau
sebuah rasa asli murni dalam jiwa yang belum dimasuki pengaruh dari
yang lainnya, atau kesucian jiwa dan ruhani dalam bahasa al-Faruqi.8
Maka secara umum, selain diartikan dengan penciptaan secara makna

1
Muhammad Ali al-Tahanawi, Kasyf al-Ishthlâh}ât al-Funûn, (Beirut: Dâr al-Khilâfah al-‘Ilmiyyah, 1997), 1713.
2
Ali bin Muhammad Sayyid al-Jurjani, Mu’jam al-Ta’rîfât, (Cairo: Dâr al-Fadhîlah, 2004), 141; Ibnu Manzhur, Qâmûs
Lisân al-‘Arab, (Cairo: Dâr al-H}adîts, 2002), 167.
3
Abu al-Hajjaj Mujahid al-Makhzumi, Tafsîr Mujâhid, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1989), 407; Abu Zakariya Yahya bin Ziyad
al-Farra, Ma’ânî al-Qur’ân, (Cairo: Dâr al-Mishriyyah, 2004), 327; Ibrahim bin Sari, Ma’ânî al-Qur’ân wa I’râbuhu, (Beirut: ‘Alam
al-Kutub, 1988), 184; ‘Abdussalam ‘Abd al-Syafi Muhammad, al-Muh}arrar al-Wajîz, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2000),
421; Muhammad Ali al-Shabuni, Mukhtashar Tafsîr Ibn Katsîr, (Beirut: Dâr al-Qur’ân al-Karîm, 1981), 53.
4
Muhammad Thahir bin ‘Asyur, Tafsîr Tah}rîr wa Tanwîr, (T.K: T.P, T.Th), Vol 20, 90.

5
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam: An Exposition of the Fundamental
Elements of the Worldview of Islam, (Kuala Lumpur: ISTAC, 1995), 143.
6
Ibnu Athiyyah al-Andalusi, al-Muh}arrar al-Wajîz fî Tafsîr al-Kitâb al-‘Azîz, ed. By ‘Abd al-Salam ‘Abd al-Syafi’i
Muhammad, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2001), 453.
7
Menurut Hamka, fitrah adalah rasa asli, murni, dalam jiwa manusia yang belum kemasukan pengaruh dari yang lain, yaitu
mengakui adanya kekuasaan tertinggi dalam alam ini, yaitu Allah. Lihat, Hamka, Tafsir al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1988),
Vol. 21, 78.
8
Lihat Isma’il Raji al-Faruqi, al-Tawhid: Its Implications for Thought and Life, (Virginia: International Istitute of Islamic
Thought, 1992), 67-69. Selain itu al-Faruqi juga mengatakan bahwa fitrah adalah: “the content of science is the pattern God has
implanted in creation.” Lihat, Isma’il Raji al-Faruqi, Islamic and Other Faiths, (Leicester: The Islamic Foundation, 1998), 136.

3
bahasanya, dalam tafsir, fitrah diartikan sebagai suatu kealamian atau
kesucian yang diberikan Allah pada manusia sejak awal penciptaan.

Maududi mengatakan bahwa manusia dilahirkan di bumi ini oleh


ibunya sebagai muslim (berserah diri) yang berbeda-beda ketaatannya
kepada Tuhan, tetapi di lain pihak manusia bebas untuk menjadi muslim
atau non muslim. 9 Sehingga ada hubungannya dalam aspek terminologi
fitrah selain memiliki potensi manusia beragama tauhid, manusia secara
fitrah juga bebas untuk mengikuti atau tidaknya ia pada aturan-aturan
lingkungan dalam mengaktualisasikan potensi tauhid (ketaatan pada
Tuhan) itu, tergantung seberapa tinggi tingkat pengaruh lingkungan
positif serta negatif yang mempengaruh diri manusia secara fitrah-nya.

Mengenai fitrah kalangan fuqoha telah menetapkan hak fitrah


manusia, sebagaimana dirumuskan oleh mereka, yakni meliputi lima
hal: (1) din (agama), (2) jiwa, (3) akal, (4) harga diri, dan (5) cinta.

Eksistensinya menjadi dan mengetahui dengan sendirinya. Ia


layaknya kesadaran manusia tanpa perlu diusahakan dan dicari, dan
menuntun manusia untuk hidup dan menjalani kehidupan “bagaimana
seharusnya”, bukan hanya sekadar membiarkan manusia hidup “apa
adanya”.

Jika dilihat dari substansinya, fitrah manusia dapat diklasifikasikan


sebagai dua cara untuk mengenal Tuhan, yaitu: 1) fitrah sebagai naluri,
sifat, dan pembawaan asli manusia untuk mengenal Tuhan dan 2) fitrah
sebagai wahyu dari Tuhan yang diturunkan melalui para nabi-Nya. Jadi,
potensi fitrah manusia dan agama merupakan dua sisi mata koin yang
tidak bisa dipisahkan. 10 Karena fitrah sudah dimasukkan dalam jiwa
manusia dan kalimat tauhid dalam arti pengakuan akan Allah SWT
sebagai Pencipta, maka kedatangan para nabi tidak lebih dari sekadar
pengingat (mudzakkir) manusia kepada fitrahnya dan membimbing
mereka untuk menyelami dan memahami dirinya sendiri. 11

2. Dinamika Kepribadian dalam Perspektif Islam


Abdul Mujib berpendapat bahwa struktur manusia terbagi dari
aspek fisik (jasmaniah) dan metafisik (rohaniah). Hubungan antara
keduanya melahirkan aspek fisik sekaligus aspek metafisik manusia,
yang disebut dengan aspek psikofisik (nafsâni). Dari fitrah nafsani ini
lah terdapat tiga aspek atau daya:

1. Kalbu atau Hati (Fitrah Ilahiyah)

Sebagai aspek supra kesadaran manusia yang berfungsi


sebagai daya emosi (rasa).

9
Dawam Raharjo, 1999, Pandangan Pendidikan Dan Perspektif al-Qur’an(LPPI: Yogyakarta, 1999), h. 35
10
Jalaluddin Ramayulis, Pengantar Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: Kalam Mulia, 1998), 73.
11
Wahidin, Sains dan Agama, 132.

4
Kepribadian sesungguhnya merupakan produk dari
interaksi di antara ketiga komponen tersebut (Kalbu, ‘aql, dan
nafsu), hanya saja ada salah satu yang lebih mendominasi dari
komponen yang lain. Dalam interaksi itu kalbu memiliki posisi
dominan dalam mengendalikan suatu kepribadian. Prinsip
kerjanya cenderung pada fitrah asalmanusia, yaitu rindu akan
kehadiran Tuhan dan kesucian jiwa. Aktualitas kalbu sangat
ditentukan oleh sistem kendalinya. Sistem kendali yang
dimaksud adalah dhamir yang dibimbing oleh fitrah al-
munazzalah (Al-Qur’an dan Sunnah). Apabila sistem kendali
ini tidak berfungsi sebagaimana mestinya, maka kepribadian
manusia sesuai dengan amanat yang telah diberikan oleh Allah
di alam perjanjian. Namun, apabila sistem kendali berfungsi
maka kepribadian manusia akan dikendalikan oleh komponen
lain yang lebih rendah kedudukannya.

2. Akal (Fitrah Insaniyah)

Sebagai aspek kesadaran manusia yang berfungsi sebagai


daya kognisi (cipta).

Akal (‘aql) prinsip kerjanya adalah mengejar hal-hal yang


realistik dan rasionalistik. Oleh sebab itu, maka tugas utama
akal adalah mengikat dan menahan hawa nafsu. Apabila tugas
utama ini terlaksana maka akal mampu untuk
mengaktualisasikan sifat bawaan tertingginya, namun jika tidak
maka akal dimanfaatkan oleh nafsu. 12

3. Nafsu (Fitrah Hayawaniyah)

Sebagai aspek pra atau bawah kesadaran manusia yang


berfungsi sebagai daya konasi (karsa). Artinya, Ketika manusia
tidak melibatkan salah satu dari ketiga aspek tersebut, ia
menjadi tidak sempurna dan tidak menjadi manusia
seutuhnya. 13

Nafsu prinsip kerjanya hanya mengejar kenikmatan


duniawi dan ingin menggambarkan nafsu-nafsu impulsifnya.
Apabila sitem kendali kalbu dan akal melemah, maka nafsu
mampu mengaktualkan sifat bawaannya, tetapi apabila sistem
kendali kalbu dan akal tetap berfungsi, maka daya nafsu
melemah. Nafsu sendiri memiliki daya tarik yang sangat kuat
dibanding dengan kedua sistem fitrah nafsani yang lainnya.
Kekuatan tersebut disebabkan oleh bantuan dan bisikan setan
serta tipuan-tipuan impulsif lainnya. Sifat nafsu adalah
mengarah pada amarah yang buruk. Namun apabila ia diberi
rahmat oleh Allah, ia menjadi daya yang positif, yaitu kemauan
(iradah) dan kemampuan (qudrah) yang tinggi derajatnya.

12
Hartati, N., dkk. Islam dan Psikologi. 2004. hlm. 164.
13
Abdul Mujib, Fitrah dan Kepribadian Islam…, 133.

5
Ketiga komponen fitrah nafsani ini berintegrasi untuk mewujudkan
suatu tingkah laku. Sedangkan dari sudut tingkatannya, maka
kepribadian itu merupakan integrasi dari aspek-aspek supra kesadaran
(fitrah ketuhanan), kesadaran (fitrah kemanusiaan) dan pra atau bawah
kesadaran (fitrah kebinatangan). Sedangkan dari sudut fungsinya,
kepribadian merupakan integrasi dari daya-daya emosi, kognisi dan
konasi, yag terwujud dalam tingkah laku luar seperti berjalan, berbicara
maupun tingkah laku dalam seperti pikiran dan perasaan.

Dalam Islam, proses pemberian potensi-potensi yang membentuk


kepribadian, terjadi melalui struktur fitrah ruhani. Karena itu, fitrah
ruhani disebut juga fitrah al-munazzalah. Ketika struktur fitrah ruhani
menyatu dengan fisik yang ditandai dengan kehidupan janin di dalam
rahim sang ibu, maka ia berubah wujud menjadi fitrah nafsani. Jadi
tugas perkembangan fitrah nafsani adalah mengaktualisasikan semua
potensi yang sesuai dengan potensi-potensi ruhaniah yang berasal dari
Allah, bukan dari warisan orang tua.

Fitrah nafsani mengikuti adanya faktor bawaan atau warisan,


namun faktor itu masih bersifat potensial dan bukan actual. Aktualisasi
potensi itu bukan tergantung pada penyerahan takdir belaka melainkan
tergantung pada usaha manusia sendiri. Tanpa adanya usaha manusia,
semua potensi bawaan itu tidak akan terwujud dengan baik.

3. Bentuk-Bentuk Kepribadian Menurut Islam


a. Kepribadian Ammarah (nafsal-ammarah)

Kepribadian ammarah adalah kepribadian yang cenderung pada


tabiat jasad dan mengejar prinsip-prinsip kenikmatan (pleasure
principle). Kepribadian ammarah mendominasi peran kalbu untuk
melakukan perbuatan-perbuatan yang rendah sesuai dengan naluri
primitifnya, sehingga merupakan tempat dan sumber kejelekan dan
tingkah laku yang tercela.

Kepribadian ammarah adalah kepribadian yang dipengaruhi


oleh dorongan-dorongan bawah sadar manusia. Barang siapa yang
berkepribadian ini, maka sesungguhnya tidak lagi memiliki identitas
manusia, sebab sifat-sifat humanitasnya telah hilang. Manusia yang
berkepribadian ammarah tidak saja dapat merusak dirinya sendiri,
tetapi juga merusak diri orang lain.

Keberadaannya ditentukan oleh dua daya, yaitu:

1. Syahwat yang selalu menginginkan birahi, kesukaan diri,


ingin tau dan campur tangan urusan orang lain, dan
sebagainya.

2. Daya ghadah yang selalu menginginkan tamak, serakah,


mencekal, berkelahi, ingin menguasai orang, keras kepala,
sombong, angkuh, dan sebagainya. Jadi orientasi
kepribadian ammarah adalah mengikuti sifat binatang.
6
Kepribadian ammarah dapat beranjak ke kepribadian yang baik
apabila telah diberi rahmat oleh Allah SWT. Hal tersebut diperlukan
latihan atau riyadhahkhusus untuk menekan daya nafsu dari hawa,
seperti dengan berpuasa, shalat, berdoa dan sebagainya.

b. Kepribadian Lawwamah (nafsal-lawwamah)


Kepribadian lawwamah adalah kepribadian yang telah
memperolah cahaya kalbu, lalu ia bangkit untuk memperbaiki
kebimbangan antara dua hal. Dalam upaya yaitu kadang-kadang
tumbuh perbuatan yang buruk yang disebutkan oleh watak gelapnya,
namun kemudian ia diingatkan oleh nurilahi, sehingga ia mencela
perbuatannya dan selanjutnya ia bertaubat dan beristighfar. 14 Hal itu
dapat dipahami bahwa kepribadian lawwamah berada dalam
kebimbangan antara kepribadian ammarah dan kepribadian
muthmainnah.

Kepribadian lawwamah merupakan kepribadian yang


didominasi oleh akal. Sebagai komponen yang memiliki sifat
insaniah, akal mengikuti prinsip kerja rasionalistik dan realistik yang
membawa manusia pada tingkat kesadaran. Apabila sistem
kendalinya berfungsi, maka akal mampu mencapai puncaknya
seperti berpaham rasionalisme. Rasionalisme banyak dikembangkan
oleh kaum humanis yang mengorientasikan pola pikirnya pada
kekuatan “serba” manusia, sehingga sifatnya antroposentris. 15

Akal apabila telah diberi percik annur kalbu maka fungsinya


menjadi baik. Ia dapat dijadika sebagai salah satu medis untuk
menuju Tuhan. Al-Ghazali sendiri meskipun sangat mengutamakan
pendekatan cita rasa (zawq), namun iamasih menggunakan
kemampuan akal. Sedangkan menurut Ibnu Sina, akal mampu
mencapai pemahaman yang abstrak dan akal juga mampu menerima
limpahan pengetahuan dari Tuhan. Oleh karena kedudukan yang
tidak stabil ini, maka Ibnu Qayyim Al-Jauziyah membagi
kepribadian lawwamah menjadi dua bagian, yaitu:

1. Kepribadian lawwamahmalumah, yaitu kepribadian


lawwamah yang bodoh dan zalim.

2. Kepribadian lawwamah ghayrmalumah, yaitu kepribadian


yang mencela atas perbuatannya yang buruk dan berusaha
untuk memperbaikinya. 16

c. Kepribadian Muthmainnah (nafsal-muthmainnah)

Kepribadian muthmainnah adalah kepribadian yang telah diberi


kesempurnaan nur kalbu, sehingga dapat meninggalkan sifat-sifat
yang baik. Kepribadian ini selalu berorientasi pada komponen kalbu
untuk mendapatkan kesucian dan menghilangkan segala kotoran,
sehingga dirinya menjadi tenang.

14
Hikmawati, F. Bimbingan dan Konseling perspektif Islam. Jakarta: PT.Raja Gravindo Persada. 2015. hlm.42.
15
Hartati, Netty, dkk. Islam dan Psikologi.. hlm.168.
16
Hikmawati, F. Bimbingan dan Konseling perspektif Islam. 2015. hlm.43
7
Kepribadian muthmainnahbersumber dari qalbu manusia, sebab
hanya qalbu yang mampu merasakan thuma’ninah (QS. Al-Ra’d,
[13]: 28). Sebagai komponen yang bernatur ilahiah qalbu selalu
cenderung pada ketenangan dalam beribadah, mencintai, bertaubat,
bertawakkal, dan mencari ridha Allah Swt. Orientasi kepribadian ini
adalah teosentris (QS Al-Nazi’at [79]: 40-41).17

Kepribadian muthmainnah merupakan kepribadian atas dasar


atau suprakesadaran manusia, dengan orientasi kepribadian ini
adalah teosentris. Dikatakan demikian sebab kepribadian ini merasa
tenang dalam menerima keyakinan fitrah. Keyakinan fitrah adalah
keyakinan yang dihujamkan pada roh manusia di alam arwah dan
kemudian dilegitimasi oleh wahyu Ilahi. Penerimaan ini tidak
bimbang apalagi ragu-ragu seperti yang dialami kepribadian
lawwamah, tetapi penuh keyakinan. Oleh sebab itu, kepribadian
muthmainnah terbiasa menggunakan daya cita rasa (zawq) dan mata
batin dalam menerima sesuatu, sehingga Kepribadian muthmainnah
merasa yakin dan tenang. Al-Ghazali menyatakan bahwa daya kalbu
yang mendominasi kepribadian muthmainnah mampu mencapai
pengetahuan ma’rifat melalui daya cita rasa (zaqw) dan rasa
terbukanya tabir misteri yang menghalangi penglihatan batin
manusia.18

Dengan kekuatan dan kesucian daya kalbu, maka manusia


mampu memperoleh pengetahuan wahyu dan ilham dari Tuhan.
Wahyu diberikan pada para nabi, sedang ilham diberikan pada
manusia suci biasa. Kebenaran pengetahuan ini bersifat
suprarasional, sehingga bisa jadi ia tidak mampu diterima oleh akal.
Pengetuahuan yang dapat ditangkap oleh akal seharusnya dapat pula
ditangkap oleh qalbu, sebab qalbu sebagian dayanya ada yang
digunakan untuk berakal. Namun sebaliknya, pengetahuan yang
diterima oleh qalbu belum tentu dapat diterima oleh akal.

4. Faktor-Faktor Membentuk Kepribadian

Studi tentang faktor-faktor yang menentukan kepribadian dibahas


secara mendetail oleh tiga aliran. Tiga aliran itu adalah Emprisme,
Nativisme dan Konvergensi. Masing-masing aliran ini memiliki asumsi
psikologis tersendiri dalam melihat hakikat manusia.

a. Aliran Empirisme

Aliran Empirisme disebut juga aliran Environmentalisme, yaitu


suatu aliran yang menitikberatkan pandangannya pada peranan
lingkungan sebagai penyebab timbulnya tingkah laku. Aliran ini
semula dipelopori oleh filosof berkebangsaan Inggris, yaitu John
Locke (1632-1704).19 Asumsi psikologis yang mendasari aliran ini
adalah bahwa manusia lahir dalam keadaan netral, tidak memiliki
pembawaan apa pun. Ia bagaikan kertas putih (tabula rasa) yang

17
Hartati, Netty, dkk. Islam dan Psikologi. hlm.169-170
18
Hartati, Netty, dkk. Islam dan Psikologi. 2004. ...hlm.170
19
J.P. Chaplin....hlm.166
8
dapat ditulisis apa saja yang dikehendaki. Perwujudan kepribadian
ditentuka oleh luar diri yang disebut dengan lingkungan. 20 Aliran
Empirisme dikenal sebagai aliran yang optimistik dan positivistik.
Hal itu disebabkan oleh anggapannya bahwa suatu kepribadian
menjadi lebih baik apabila dirangsang oleh usaha-usaha nyata.
Usaha konkret yang disumbangkan oleh aliran ini adalah
menciptakan teori-teori belajar untuk mengubah tingkah laku
manusia menuju kepribadian yang ideal. Melalui teori belajar,
semua kepribadian individu dapat dimodifikasi dan dibentuk sesuai
dengan yang diinginkan.

b. Aliran Nativisme

Aliran Nativisme adalah suatu aliran yang menitikberatkan


pandangannya pada peranan sifat bawaan dan keturunan sebagai
penentu tingkah laku seseorang. Persepsi tentang ruang dan waktu
tergantung pada faktor-faktor alamiah atau pembawaan dari lahir.
Kapasitas intelektual itu diwarnai sejak lahir. 21 Aliran ini
dipelopori oleh Arthur Scopenhauer (1788-1860) seorang psikolog
berkebangsaan Jerman. Aliran ini didukung oleh Frans Joseph Gall
(1785-1828). Aliran Nativisme memandang hereditas (heredity)
sebagai penentu kepribadian. Hereditas adalah totalitas sifat-sifat
karakteristik yang dibawa atau dipindahkan dari orang tua ke anak
keturunannya. Perpindahan genetik ini merupakan fungsi dari
kromosom dan gen. Kromosom adalah bagian sel yang mengandung
sifat keturunan. Gen adalah sejenis partikel hipotetik yang terletak
sepanjang kromosom-kromosom yang diduga menjadi lementer dari
sifat keturunan. James Drever menyebut hereditas sebagai anugerah
alam yang mempunyai hukum-hukum tersendiri. 21

c. Aliran Konvergensi

Aliran Konvergensi adalah aliran yang menggabungkan dua


aliran di atas. Konvergensi adalah interaksi antara faktor hereditas
dan faktor lingkungan dalam proses pemunculan tingkah laku.
Menurut aliran ini, hereditas tidak akan berkembang secara wajar
apabila tidak diberi rangsangan dari faktor lingkungan. Sebaliknya,
rangsangan lingkungan tidak akan membina kepribadian yang ideal
tanpa didasari oleh faktor hereditas. Penetuan kepribadian seseorang
ditentukan kerja yang integral antara internal (potensi bawaan)
maupun faktor eksternal (lingkungan pendidikan). Kepribadian
manusia ditentukan oleh faktor dasar danajar. Kedua faktor ini
mempengaruhi perkembangan kehidupan manusia. Aliran ini
dipelopori oleh William Stern (1871-1938) dan Adler.

Konsep Psikologi Islam yang diasumsikan dari struktur nafsani


tidak lantas menerima ketiga aliran tersebut. Di samping terdapat
kelemahan-kelemahan, ketiga aliran tersebut hanya
mengorientasikan teorinya pada pola pikir antroposentris. Artinya,
perkembangan kepribadian manusia seakan-akan hanya dipengaruhi

20
Sumadi Suryabrata. Psikologi Pendidikan. hlm.18
21
James Drever, Kamus Psikologi. 1986. hlm.229
9
oleh faktor manusiawi. Manusia dalam pandangan psikologi islam
telah memiliki seperangkat potensi, disposisi, dan karakter unik.
Potensi itu paling tidak mencakup keimanan, ketauhidan, keislaman,
keselamatan, keikhlasan, kesucian, kecenderungan menerima
kebenaran dan kebaikan, dan sifat baik lainnya.

Perkembangan kehidupan manusia bukanlah diprogram secara


deterministik, seperti robot atau mesin. Manusia secara fitri
memiliki kebebasan dan kemerdekaan dalam mengaktulisasikan
potensinya. Dalam Alquran banyak ditemukan ayat-ayat yang
menunjukkan kemerdekaan dan kebebasan manusia dalam
berkepribadian.

10
DAFTAR PUSTAKA

Hartati, N., Nihayah, Z., Shaleh, A. R., dan Mujib, A. Islam dan Psikologi.
Jakarta: PT.Raja Gravindo Persada. 2004.
Hikmawati, F. Bimbingan dan Konseling perspektif Islam. Jakarta: PT.Raja
Gravindo Persada. 2015.
Hurlock, E. B.Psikologi Perkembangan. Jakarta: Penerbit Erlangga.2002.
Hurlock, E. B. Psikologi Anak. Jakarta: Penerbit Erlangga.
J.P. Chaplin. Kamus Lengkap Psikologi, Terjemahan Kartini Kartono. Jakarta:
Rajawali. 1989.
Suryabrata, S. Psikologi Kepribadian. Jakarta: Rajawali.1990.
Suryabrata, S. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Rajawali. 2012.
Drever, James. Kamus Psikologi, Terjemahan Nancy Simanjuntak. Jakarta: Bina
Aksara. 1986.
Kesuma, Guntur Cahaya. 2013. Konsep Fitrah Manusia Perspektif
Pendidikan Islam ijtimaiyya, vol. 6, no. 2.
Al Afify. Muhammad Faiz 2018. Konsep Fitrah dalam Psikologi Islam. Volume
14, Number 2.
Muhimmatul Hasanah. 2015. Dinamika Kepribadian Menurut Psikologi Islami.
Jurnal Ummul Qura Vol VI, No 2
Helmy, Muhammad Irfan. 2018. Kepribadian Dalam Perspektif Sigmund Freud
dan Al-Qur’an : Studi Komparatif. Nun, Vol. 4, No. 2.

11

Anda mungkin juga menyukai