Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

ILMU PENDIDIKAN ISLAM


Dosen Pengampu : Syaifullah, MA

DISUSUN OLEH:
LAILATUSSYIFA : 0306202161
ELVIRA : 0306202195
NURUL AISYAH PUTRI : 0306202217

PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA
MEDAN
2021/2022
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Manusia merupakan makhluk yang sangat istimewa. karena manusia dikaruniai akal sebagai
keistimewaannya dibandingkan dengan dengan makhluk-makhluk yang lain. Manusia
merupakan makhluk yang mulia dari semua makhluk yang ada di alam bumi ini. Allah yang
memberikan manusia dengan berbagai keutamaan dengan ciri khas yang membedakan
makhluk satu dengan makhluk yang lainnya. Dalam pandangan Islam menyatakan bahwa
kemampuan dasar dan keunggulan manusia dapat dibandingkan dengan makhluk lainnya
yang disebut dengan fitrah, kata “ Fitrah” yang dalam pengertian etimologi mengandung arti
kejadian.
Pembahasan fitrah merupakan perkara yang penting, agar manusia mengetahui hakikat dan
tujuan eksistensinya. Dengan jalan ini akhirnya dia akan mengetahui Penciptanya, sebab
“orang yang mengetahui dirinya, akan mengenal Tuhannya”. Dalam konteks psikologi Islam,
fitrah merupakan identitas esensial yang ada pada jiwa manusia. Identitas adalah kondisi atau
fakta spesifik dari sesuatu. Kondisi dan fakta itu memelihara dan menjaga sesuatu itu agar
tidak menyimpang dan lari dari awal mula kejadiannya. Sedangkan esensi adalah sesuatu
yang ada, atau berada, kekal. Segala sesuatu mempunyai identitas esensial. Identitas esenisal
pada jiwa manusia adalah fitrah. Dengan fitrah manusia menjadi dirinya sebagai manusia
sejak awal kejadiannya sampai akhir hayatnya.
Dalam pemikiran pendidikan Islam, fitrah penciptaan manusia merupakan diskursus yang
banyak dibahas oleh para ahli, mengingat salah satu aspek pendidikan Islam adalah upaya
menumbuhkembangkan potensi manusia yang dibawa sejak lahir. Potensi inilah yang dalam
konteks pendidikan Islam disebut dengan fitrah.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari fitrah?
2. Bagaimana Fitrah dalam Tinjauan Al-Qur’an dan As-Sunnah?
3. Bagaimana Fitrah Menurut Para Ahli?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian dari fitrah
2. Untuk mengetahui Fitrah dalam Tinjauan Al-Qur’an dan As-Sunnah
3. Untuk mengetahui Fitrah Menurut Para Ahli
PEMBAHASAN

A. Pengertian Fitrah
Kata “fitrah” berasal dari kata kerja (fi’il) fathara yang berarti “menjadikan”. Secara
etimologis fitrah berarti : kejadian, sifat semula jadi, potensi dasar, kesucian. Didalam kamus
munjid ditemukan bahwa fitrah mempunyai arti yaitu sifat yang menyifati segala yang ada
pada saat selesai di ciptakan.
Fitrah manusia atau asal kejadiannya sebagaimana diciptakan Allah SWT, menurut ajaran
Islam adalah bebas dari noda dan dosa seperti bayi yang lahir dari perut ibunya. Fitrah
dengan arti asal kejadian dihubungkan dengan pernyataan seluruh manusia ketika berada di
alam arwah yang mengakui ketuhanan Allah SWT, seperti digambarkan dalam surat al-
A’raf:172-173.
Dalam unsur ini Allah memberikan seperangkat kemampuan dasar yang memiliki
kecenderungan berkarya yang disebut potensialitas. Menurut pandangan Islam, kemampuan
dasar tersebut dinamakan fitrah. Dalam pengertian lain dijelaskan secara rinci:
1. Fitrah adalah ciptaan Allah, yaitu bahwa manusia telah diberi potensi yang baik oleh
Allah.4
2. Fitrah berarti ciptaan, sifat tertentu yang mana setiap yang maujud disifati dengannya
pada awal masa penciptaannya, sifat pembawaan manusia (yang ada sejak lahir).
3. Dalam pandangan Islam, kemampuan dasar/pembawaan disebut dengan fitrah yaitu
dalam pengertian etimologi berarti kejadian, karena kata fitrah berasal dari kata
fathoro yang berarti menjadikan.
4. Menurut Syahminan Zain (1986: 5), bahwa fitrah adalah potensi laten atau kekuatan
yang terpendam yang ada dalam diri manusia, yang dibawanya sejak lahir.
Pengertian secara etimologi tersebut masih bersifat umum, untuk mengkhususkan arti fitrah,
berikut ini firman Allah SWT dalam QS. Ar-Rum ayat 30:
‫اس َل‬ َ ‫ّلل ۚ َٰذَلِكَ ٱلدِين ٱلقَ ِيم َو َٰلَك‬
ِ َ‫ِن أَكثَ َر ٱلن‬ ِ ‫علَي َها ۚ َل ت َبدِي َل ِلخَل‬
َِ ‫قٱ‬ َ َ‫ّلل ٱلَتِى ف‬
َ َ‫ط َر ٱلن‬
َ ‫اس‬ ِ ‫فَأَقِم َوج َهكَ لِلد‬
ِ َ ‫ِين َحنِيفًا ۚ فِط َرتَ ٱ‬
َ‫يَعلَمون‬
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah
Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrahnya itu, tidak ada perubahan pada fitrah
Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.”
Selain dalam firman Allah, kewajiban orang tua mendidik anaknya juga terdapat dalam hadis
yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah Ra.yang artinya:
Menceritakan kepada kita ḥājib, diceritakan oleh Muhammad bin ḥarbin, dari az-Zubaidiyyi,
dari az-Zuhriyyi, menceritakan kepadaku sa’ d bin al-Musayyib, dari Ab Hurairah,
sesungguhnya dia berkata: Rasulullah Saw bersabda: “Tidak ada anak terlahir kecuali dalam
keadaan fitrah, maka bapaknyalah yang menjadikannya Yahudi dan Nasrani atau Majusi
sebagaimana binatang ternak yang melahirkan binatang ternak dengan sempurna. Apakah
kalian melihat ada cacat padanya?”(H.R Muslim).
Makna fitrah sangat beragam dikarenakan sudut pandang pemaknaannya berbeda-beda.
Secara etimologi kata fitrah berasal dari bahasa Arab fathara (‫) فطر‬dari masdar fathrun yang
berarti belah atau pecah. Dalam Alquran sendiri dapat ditemukan penggunakan kata fitrah
dengan makna al-insyiqaq atau al-syaqq yang berarti pula pecah atau belah. Arti ini diambil
dari lima ayat yang menyebutkan kata fitrah yang objeknya ditujukan pada langit saja. Dalam
ayat yang lain juga terdapat penggunaan kata fitrah, namun mempunyai makna alkhalqah
atau al-Ibda’, artinya penciptaan. Arti ini terdapat dalam 14 ayat yang menyebutkan kata
fitrah, enam ayat diantaranya berkaitan penciptaan manusia, sedangkan sisanya berkaitan
dengan penciptaan langit dan bumi.
Makna fitrah secara bahasa/harfiyah ini disinonimkan/disepadankan dengan kata "khalaqa".
Kata khalaqa banyak digunakan oleh banyak orang untuk menyatakan penciptaan sesuatu,
seperti khalaqallahus samawati wal ard (Allah telah menciptakan langit dan bumi). Contoh
lain dari penggunaan kata khalaqa terdapat pada surat al-'alaq ayat 2, khalaqal insana min
'alaq (Dialah Allah yang telah menciptakan manusia dari segumpal darah). Kedua contoh ayat
tersebut menunjukkan bahwa ketika Allah menciptakan makhlukNya tidak diawali oleh
adanya bahan dasar ciptaan. Olehkarena itu semua ayat yang menggunakan kata khalaqa
menisbatkan pelakunya kepada Allah, karena hanya Dialah yang mampu menciptakan segala
sesuatu yang tidak memiliki bahan dasar awalnya. Sementara manusia mampu membuat
sesuatu karena bahan dasarnya sudah tersedia di alam raya ini.
Abu a’la al-Maududi mengatakan bahwa manusia dilahirkan di bumi ini oleh ibunya sebagai
muslim (berserah diri) yang berbeda-beda ketaatannya kepada Tuhan, tetapi dilain pihak
manusia bebas untuk menjadi muslim atau non muslim. Sehingga ada hubungannya dalam
aspek terminologi fitrah selain memiliki potensi manusia beragama tauhid, manusia secara
fitrah juga bebas untuk mengikuti atau tidaknya ia pada aturanaturan lingkungan dalam
mengaktualisasikan potensi tauhid (ketaatan pada Tuhan) tergantung seberapa tinggi tingkat
pengaruh lingkungan positif serta negatif yang mempengaruh diri manusia secara fitrah-nya.
Bila diinterpretasikan lebih lanjut, istilah fitrah sebagaimana tersebut dalam al-Qur’an dan
Hadits, maka dapat diambil kesimpulan bahwa:
1. Fitrah yang disebutkan dalam ayat tersebut mengandung implikasi pendidikan. Oleh
karena itu, kata fitrah mengandung makna “kejadian” yang di dalamnya berisi potensi
dasar beragama yang benar dan lurus yaitu Islam. Potensi dasar ini tidak dapat diubah
oleh siapapun. Karena fitrah merupakan ciptaan Allah yang tidak akan mengalami
perubahan baik isi maupun bentuknya dalam tiap pribadi manusia.
2. Fitrah berarti agama, kejadian. Maksudnya adalah agama Islam bersesuaian dengan
kejadian manusia. Karena manusia diciptakan untuk melaksanakan agama
(beribadah). Hal ini dikuatkan oleh firman Allah dalam surat adz-Dzariyat: 566.
3. Fitrah Allah berarti ciptaan Allah. Manusia diciptakan Allah dengan mempunyai
naluri beragama, yaitu agama tauhid. Maka hal itu tidak wajar jika manusia tidak
beragama tauhid. Mereka tidak beragama tauhid itu hanya lantaran pengaruh
lingkungan. Tegasnya manusia menurut fitrah, beragama tauhid.
4. Fitrah berarti ciptaan, kodrat jiwa, budi nurani. Maksudnya bahwa rasa keagamaan,
rasa pengabdian kepada Tuhan Yang Maha Esa itu adalah serasi dengan budi nurani
manusia. Adapun manusia yang ber-Tuhan-kan kepada yang lain adalah menyalahi
kodrat kejiwaannya sendiri.
5. Fitrah berarti potensi dasar manusia. Maksudnya potensi dasar manusia ini sebagai
alat untuk mengabdi dan ma’rifatullah. Para filosof yang beraliran empirisme
memandang aktivitas fitrah sebagai tolok ukur pemaknaannya.
Menurut Abd al-Rahman al-Bani yang dikutip anNahlawi menyatakan tugas pendidikan
Islam adalah menjaga dan memelihara fitrah peserta didik, kemudian mengembangkan dan
mempersiapkan semua potensi yang dimiliki, dengan mengarahkan fitrah dan potensi yang
ada dan menuju kebaikan dan kesempurnaan, serta merealisasikan suatu program tersebut
secara lebih bertahap, (Nahlawi, 1996). Pengembangan fitrah manusia dapat dilakukan
dengan berbagai kegiatan belajar, yaitu melalui sebuah institusi. Pengembangan fitrah
manusia dapat dilakukan dengan kegiatan belajar. Yaitu melalui berbagai institusi. Belajar
yang dimaksud dengan tidak terfokus yaitu melalui pendidikan di sekolah saja, tetapi juga
dapat dilakukan di luar sekolah, baik dalam keluarga, masyarakat, maupun lewat isnstitusi
social keagamaan yang ada.
B. Fitrah dalam Tinjauan Al-Qur’an dan As-Sunnah
Ayat-ayat al Qur’an yang menyebutkan kata fitrah terdapat dalam 17 surah. Diantara yang
seringkali dibahas dalam mencari pengertian fitrah adalah QS. Ar- Rum: “ Maka hadapkanlah
wajahmu dengan lurus kepada agama Allah, (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah
menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. Itulah agama
yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. (QS. Ar-Rum:30). Sehubungan
dengan kata fitrah tersebut dalam ayat ini ada sebuah hadits sohih yang diriwayatkan oleh
Bukhori dan Muslim dari Abu Hurairah: “tidak ada satu anakpun yang dilahirkan kecuali
dalam keadaan fitrah, maka kedua orang tuanyalah yang menyebabkannya menjadi Yahudi,
Nasrani atau Majusi. (HR. Bukhori dan Muslim dari Abu Hurairah).
Ada suatu kata-kata bijak yang berbunyi, "Barang siapa yang mengenal dirinya, sungguh dia
telah mengenal Tuhannya.” Terlepas dari perdebatan apakah ungkapan itu hadits Nabi
Muhammad SAW atau bukan, suatu pesan dapat diambil darinya. Manusia dibekali akal dan
hati. Dengan dua instrumen itu, manusia dapat menjalani kehidupan di muka bumi tidak
sebagaimana hewan, tumbuhan, atau benda mati. Selalu ada keinginan untuk menemukan
hakikat diri.
Lantas, bagaimana Islam mengajarkan tentang pembawaan manusia? Seperti dijabarkan Prof
Yunahar Ilyas dalam bukunya, Tipologi Manusia Menurut Al-Qur’an (2007, Labda Press),
para ilmuwan Muslim telah memberikan pendapatnya masing-masing, dengan bersandar pada
Alquran dan Sunnah Nabi SAW.
Misalnya, Ibnu Katsir, yang membahas surah al-A'raf ayat ke-172. Terjemahannya sebagai
berikut. "Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari
sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman):
"Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami
menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak
mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini
(keesaan Tuhan)."
Menurut pakar ilmu tafsir Alquran itu, ayat tersebut menjelaskan, setiap anak cucu Nabi
Adam AS telah memberikan kesaksian sebelum mereka dilahirkan ke dunia. Kesaksian itu
pada intinya menegaskan, Allah SWT adalah Rabb, Malik, dan Ilah-nya. Tidak ada satu zat
pun yang berhak disembah selain Allah saja.
Pendapat itu, ungkap Yunahar Ilyas, termaktub dalam kitab Mukhtashar Tafsir Ibn Katsir II.
Berangkat dari penjelasan Ibnu Katsir itu, dapatlah dipahami setiap manusia memiliki fitrah
bertauhid. Allah SWT memerintahkan kepada umat manusia untuk tetap berada dalam fitrah
tersebut.
Caranya dengan manusia itu mengikuti agama Allah yang lurus (Islam).Hal itu sudah
ditunjukkan oleh Sang Pencipta, melalui misalnya surah ar-Rum ayat ke-30. Terjemahannya,
"Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah
yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada peubahan pada fitrah Allah.
(Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui."
Sebagai mahkluk-Nya yang dianugerahi akal, manusia cenderung mencari hakikat dirinya di
atas muka bumi. Dalam Alquran surah ar-Rum ayat ke-30, Allah SWT sudah mengisyaratkan
tentang fitrah kemanusiaan.
Prof Yunahar Ilyas dalam karyanya, Tipologi Manusia Menurut Al-Qur’an (2007, Labda
Press) mengikuti pendapat Ibnu Katsir dalam kitab Mukhtashar Tafsir Ibn Katsir II. Dalam
membahas ayat Alquran tersebut, Ibnu Katsir menegaskan bahwa manusia memiliki fitrah
bertuhan.
Fitrah itu, lanjut Yunahar, hanyalah potensi dasar yang harus terus dipelihara dan
dikembangkan, sejak seorang manusia keluar dari rahim ibunya. Maka dari itu, peran orang
tua menjadi begitu penting.
Dalam suatu hadits riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim, Nabi Muhammad SAW
bersabda, "Setiap manusia dilahirkan ibunya di atas fitrah. Kedua orang tuanya yang
menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi.
Dalam pandangan Islam, orang tua mesti menumbuhkembangkan anak mereka agar tetap
memegang teguh Tauhid. Lebih dari itu, mereka juga semestinya terus berupaya menjadikan
anak-anaknya Muslim yang baik, yang dapat menjadi kebanggaan Rasulullah SAW, di dunia
dan akhirat kelak.
Begitu lahir di dunia, anak-anak adalah tabula rasa. Itu adalah ungkapan dari bahasa Latin
yang berarti 'kertas kosong.' Maknanya, anak-anak menyimpan potensi untuk menjadi pribadi
yang baik dan terus bertauhid di masa depan.
Ada satu kisah yang terkandung dalam hadits riwayat Ibn Jarir, tentang betapa tingginya
perhatian Rasulullah SAW terkait hal itu. Seperti dituturkan Al-Aswad ibn Sari’ dari Bani
Sa’ad, yang mengikuti empat peperangan bersama Nabi SAW.

Dalam suatu peperangan, segelintir bagian dari pasukan Islam kedapatan membunuh anak-
anak. Tindakan itu mereka lakukan setelah membunuh pasukan musuh.
Tatkala berita itu sampai kepada Rasulullah SAW, beliau SAW sangat marah. “Kenapa
mereka membunuh anak-anak?” tanya Nabi SAW dengan nada keras.
Salah seorang dari mereka menjawab, “Ya Rasulullah, bukankah mereka itu anak-anak kaum
musyrikin?”
"Yang terbaik di antara kalian pun juga anak-anak kaum musyrikin. Ketahuilah bahwa
tidaklah seorang pun dilahirkan kecuali dilahirkan dalam keadaan fitrah. Dia akan tetap
dalam fitrahnya itu sampai lisannya sendiri mengubahnya. Maka kedua orang tuanya-lah
yang meyahudikan dan menasranikannya," jelas Rasulullah SAW, sama sekali tidak
membenarkan perbuatan mereka itu.
C. Fitrah Menurut Para Ahli
Al-Qurtubi mengatakan bahwa fitrah bermakna kesucian jiwa dan rohani. Fitrah di sini
adalah firman Allah SWT yang ditetapkan kepada manusia, yaitu bahwa manusia sejak lahir
dalam keadaan suci dalam artian tidak memiliki dosa.
Sementara Ibnu Katsir mengartikan fitrah dengan mengakui ke-Esaan Allah SWT atau
tauhid. Bahwasannya manusia sejak lahir membawa tauhid, atau paling tidak ia
berkecenderungan untuk meng-Esakan Tuhannya dan berusaha terus mencari untuk mencapai
ketauhidan tersebut.
Al-Maraghi mengatakan bahwa fitrah mengandung arti kecenderungan untuk menerima
kebenaran. Sebab secara fitri manusia cenderung dan berusaha mencari serta menerima
kebenaran walaupun hanya bersemayam dalam hati kecilnya (sanubari). Adakalanya manusia
telah menemukan kebenaran namun karena faktor eksogen yang mempengaruhinya, maka
manusia berpaling dari kebenaran yang diperoleh. Dari pengertian tersebut, sesungguhnya
setiap manusia yang terlahir kedunia ini baik laki-laki ataupun permpuan, muslim ataupun
non muslim, orang yang hanif ataupun arang yang jahat, orang yang taat menjalankan
perintah Allah SWT ataupun orang yang senantiasa bermaksiat terhadap Allah SWT, telah
ada pada diri mereka kecenderungan untuk menerima kebenaran. Maka siapapun manusia
yang telah melakukan suatu kemaksiatan sesungguhnya hati kecilnya (sanubari) merasa
bahwa telah melakukan suatu kesalahan, karena faktor eksogenlah yang mempengaruhinya
berpaling terhadap kebenaran.
Mahmud Yunus mengartikan fitrah dengan agama dan kejadian. Artinya bahwa agama Islam
ini bersesuaian dengan kejadian manusia, sedangkan kejadian itu tidak berubah. Kalau
sekiranya dibiarkan manusia itu berfikir dengan pikirannya, niscaya pada akhirnya ia akan
sampai kepada agama Islam. Manusia sudah dilengkapi dengan kemampuan mengenal dan
memahami kebenaran dan kebaikan yang terpancar dari ciptaan-Nya. Kemampuan lebih yang
dimiliki manusia itu adalah kemampuan akalnya. Untuk itulah manusia sering disebut sebagai
animal rationale yaitu binatang yang dapat berpikir. Melalui akalnya, manusia berusaha
memahami realitas hidupnya, memahami dirinya serta segala sesuatu yang ada di sekitarnya.
Ibnu Taimiyah sebagaimana dikutip oleh Muhaimin dan Abul Mujib membagi fitrah menjadi
2 bagian:
1. Fitrah al-Munazzalah, yaitu fitrah luar yang masuk pada diri manusia. Fitrah ini
berupa petunjuk al-Qur’an dan al-Sunah yang digunakan sebagai kendali dan
pembimbing bagi fitrah.
2. Fitrah al-Garizah, yaitu fitrah inheren dalam diri manusia yang memberi daya akal
yang berguna untuk mengembangkan potensi dasar manusia.
Muhammad Quraish Shihab mengatakan bahwa fitrah terambil dari kata fatara yang berarti
mencipta. Maksudnya adalah mencipta sesuatu pertama kali/tanpa ada contoh sebelumnya.
Fitrah juga dapat dipahami dalam arti asal kejadian atau bawaan sejak lahir.1 Perspektif
pendidikan Islam terhadap manusia dan fitrahnya dapat dibagi menjadi 3 yaitu: 1. Pendidikan
Islam merupakan jalan yang tepat dalam rangka mengembangkan fitrah manusia, karena
Islam sesungguhnya sesuai dengan fitrah manusia, karena fitrah manusia mempunyai
kecenderungan untuk berbuat baik dan berbuat buruk. Fitrah tersebut harus di didik agar
sejalan dengan ketetetapan Allah SWT. 2. Pendidikan Islam sebagai pengembangan potensi
karena manusia lahir di dunia membawa sejumlah potensi atau kemampuan. Agar potensi
manusia dapat berkembang, maka perlu adanya pendidikan. Pendidikan merupakan suatu
proses untuk menumbuhkan dan mengembangkan potensi – potensi tersebut, dalam arti
berusaha untuk menampakkan (mengaktualisasikannya). Manusia berkewajiban
mengembangkan segenap potensi tersebut, sehingga dapat berfungsi sesuai dengan ketetapan
Allah SWT. 3. Pendidikan Islam sebagai pengembangan ketaqwaan kepada Allah SWT
karena manusia diciptakan Allah SWT untuk mengemban misi sebagai abid dan khalifah.
Manusia sebagai khalifah Allah SWT bertugas membangun dan mengolah bumi serta segala
sesuatu yang ada di dalam dengan sebaik-baiknya.1

D. Implikasi Fitrah Manusia terhadap Pendidikan


Alat-alat potensial dan berbagai potensi dasar atau fitrah manusia harus
ditumbuhkembangkan secara optimal dan terpadu melalui proses pendidikan sepanjang
hayatnya. Manusia diberikan kebebasan untuk berikhtiar mengembangkan alat-alat potensial
dan potensi-potensi dasar atau fitrah manusia tersebut. Namun demikian, dalam pertumbuhan
dan perkembangannya tidak dapat lepas dari adanya batas-batas tertentu, yaitu adanya
hukum-hukum yang pasti dan tetap menguasai alam, hukum yang menguasai benda-benda
maupun masyarakat manusia sendiri, yang tidak tunduk dan tidak pula bergantung pada
kemauan manusia. Hukum-hukum inilah yang disebut dengan taqdir (keharusan universal).
Di samping itu, pertumbuhan dan perkembangan alat-alat potensial dan fitrah manusia juga
dipengaruhi oleh faktor hereditas, lingkungan alam, lingkungan sosial, dan sejarah. Dalam
ilmu-ilmu pendidikan ada 5 macam faktor yang menentukan keberhasilan pelaksanaan
pendidikan, yaitu tujuan pendidikan, pendidik, peserta didik, alat pendidikan, dan lingkungan.
Oleh karena itu, minat, bakat, kemampuan (skill), sikap manusia yang diwujudkan dalam

1
Saryono, Desember 2016. “Konsep Fitrah dalam Perspektif Islam” Volume 14, Nomor 2,
http://jurnal.radenfatah.ac.id/index.php/medinate/article/download/1179/998/
2 Rahmadanni pohan, ”Hakekat Manusia dan Fitrahnya dalam Perspektif Pendidikan Islam” diakses pada
tanggal 23 april 2021 dari https://artikula.id/dhany/hakekat-manusia-dan-fitrahnya-dalam-perspektif-
pendidikan-islam/
kegiatan ikhtiarnya dan hasil yang dicapai dari kegiatan ikhtiarnya tersebut bermacam-
macam.
Fitrah bermakna potensi yang baik, tetapi potensi tersebut tidak berguna jika tidak digunakan
dalam bentuk kemahiran-kemahiran tertentu. Laksana emas atau minyak yang terpendam
dalam perut bumi tidak ada gunanya kalau tidak digali atau diolah untuk kebutuhan manusia.
Menurut ahli pendidikan, mengolah potensipotensi (fitrah) yang tersembunyi tersebut
merupakan tugas utama pendidikan, yaitu merubah (transform) potensi-potensi itu menjadi
kemahiran-kemahiran yang dapat dinikmati oleh manusia. Misalnya, kemajuan intelektual
(intellectual ability) tidak ada gunanya kalua hanya tersimpan di kepala ahli-ahli ilmu,
kemajuan intelektual tersebut baru akan berguna jika diubah menjadi penemuan-penemuan
ilmiah dalam bidang yang bersangkutan.

F. Komponen-komponen Psikologis dalam Fitrah


Dari berbagai pandangan para ulama dan ilmuwan Islam yang telah memberikan makna
terhadap istilah “fitrah” yang diangkat dari firman Allah dan sabda Nabi., maka dapat diambil
kesimpulan bahwa fitrah adalah suatu kemampuan dasar berkembangnya manusia yang
dianugrahkan Allah kepadanya. Di dalamnya terkandung berbagai komponen psikologis yang
saling berkaitan dan saling menyempurnakan bagi hidup manusia.
Komponen-komponen potensial fitrah tersebut adalah:
1. Kemampuan dasar untuk beragama (ad-dinul qayyimah), dimana faktor iman
merupakan intinya beragama manusia. Muhammad Abduh, Ibnu Qayyim, Abu A’la
al-Maududi, Sayyid Qutb berpendapat sama bahwa fitrah mengandung kemampuan
asli untuk beragama Islam, karena Islam adalah agama fitrah atau identik dengan
fitrah. Ali Fikri lebih menekankan pada peranan hereditas (keturunan) dari bapak-ibu
yang menentukan keberagaman anaknya. Faktor keturunan psikologis (hereditas
kejiwaan) orang tua anak merupakan salah satu aspek dari kemampuan dasar manusia.
2. Mawahib (bakat) dan qabiliyat (tendensi ataukecenderungan) yang mengacu pada
keimanan kepada Allah. Dengan demikian maka “fitrah” mengandung komponen
psikologis yang berupa keimanan tersebut. Karena iman bagi seorang mukmin
merupakan daya penggerak utama dalam dirinya yang memberikan semangat untuk
selalu mencari kebenaran hakiki dari Allah. Pendapat tersebut dikemukakan oleh
Prof., Dr. Mohammad Fadhil al-Djamali, Guru besar ilmu Pendidikan Universitas
Tunis dengan alasan :
“Adapun Islam itu adalah agama yang mendorong manusia untuk mencari
pembuktian melalui penelitian, berpikir, dan merenungkan ke arah iman yang benar.”
3. Naluri dan kewahyuan bagaikan dua sisi dari uang logam; keduanya saling terpadu
dalam perkembangan manusia. Menurut Prof., Dr. Hasan Langgulung, fitrah dapat
dilihat dari dua segi, yaitu; segi naluri sifat pembawaan manusia atau sifat-sifat Tuhan
yang menjadi potensi manusia sejak lahir, dan segi wahyu Tuhan yang diturunkan
kepada nabinabi-Nya. Jadi potensi manusia dan agama wahyu merupakan satu hal
yang nampak dalam dua sisi, ibarat mata uang logam yang mempunyai dua sisi yang
sama. Kemampuan menerima sifat-sifat Tuhan dan mengembangkan sifat-sifat
tersebut merupakan potensi dasar manusia yang dibawa sejak lahir.
4. Kemampuan dasar untuk beragama secara umum, tidak hanya terbatas dalam agama
Islam. Dengan kemampuan ini manusia dapat dididik menjadi beragama Yahudi,
Nasrani, ataupun Majusi, namun tidak dapat dididik menjadi atheis (anti Tuhan).
Pendapat ini diikuti oleh banyak ulama Islam yang berfaham ahli Mu’tazilah, antara
lain: Ibnu Sina dan Ibnu Khaldun.
Aspek-aspek psikologis dalam fitrah adalah merupakan komponen dasar yang bersifat
dinamis, responsif terhadap pengaruh lingkungan sekitar, termasuk pengaruh pendidikan.
Aspek-aspek tersebut antara lain:
a) Bakat, suatu kemampuan pembawaan yang potensial mengacu kepada perkembangan
akademis dan keahlian dalam bidang kehidupan. Bakat ini berpangkal pada
kemampuan kognisi (daya cipta), konasi (kehendak), dan emosi (rasa) yang disebut
dalam psikologi filosofis dengan tiga kekuatan rohaniah manusia.
b) Insting atau gharizah adalah suatu kemampuan berbuat atau bertingkah laku tanpa
melalui proses belajar. Kemampuan insting ini merupakan pembawaan sejak lahir.
Dalam psikologi Pendidikan kemampuan ini termasuk kapabilitas yaitu kemampuan
berbuat sesuatu tanpa belajar.
c) Nafsu dan dorongan-dorongan. Dalam tasawuf dikenal nafsu-nafsu lawwamah yang
mendorong kearah perbuatan mencela dan merendahkan orang lain. Nafsu amarah
yang mendorong manusia ke arah perbuatan merusak, membunuh atau memusuhi
orang lain. Nafsu birahi (eros) yang mendorong ke arah perbuatan seksual untuk
memuaskan tuntutan akan pemuasan hidup berkelamin. Nafsu mutmainnah yang
mendorong ke arah ketaatan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Menurut al-Ghazali,
nafsu manusia terdiri dari nafsu malakiah yang cenderung ke arah perbuatan mulia
sebagai halnya para malaikat, dan nafsu bahimah yang mendorong ke arah perbuatan
rendah sebagaimana binatang.
d) Karakter adalah kemampuan psikologis yang terbawa sejak lahir. Karakter ini
berkaitan dengan tingkah laku moral dan sosial serta etis seseorang. Karakter
terbentuk oleh kekuatan dari dalam diri manusia, bukan terbentuk dari pengaruh luar.
e) Hereditas atau keturunan adalah faktor kemampuan dasar yang mengandung ciri-ciri
psikologis dan fisiologis yang diturunkan oleh orang tua, baik dalam garis yang
terdekat maupun yang telah jauh.
f) Intuisi adalah kemampuan psikologis manusia untuk menerima ilham Tuhan. Intuisi
menggerakkan hati nurani manusia yang membimbingnya ke arah perbuatan dalam
situasi khusus di luar kesadaran akal pikiran, namun mengandung makna yang
bersifat konstruktif bagi kehidupannya. Intuisi biasanya diberikan Tuhan kepada
orang yang bersih jiwanya.

G. Fitrah Seorang Muslim


Fitrah dalam diri manusia secara religus dimaknai sebagai umat Muslim yang beriman Islam.
Tegasnya dalam Alquran, Allah SWT meminta umat-Nya untuk meyakini syariat yang
diajarkan dalam agama Islam dan mampu mengamalkannya.
Dalam Alquran, kata fitrah telah terdapat dalam 19 ayat. Namun secara jelasnya, kata fitrah
ada dalam Surat Ar Rûm ayat 30. Allah berfirman dalam ayat tersebut, yang artinya:
"Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah), (tetaplah atas) fitrah Allah
yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan dalam ciptaan
Allah, (itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui." (QS. Ar-
Rum: 30)
Imam Bukhari berpendapat bahwa fitrah manusia adalah Islam. Sebagaimana dalam sabda
Rasulullah SAW yang berbunyi, "Tidak ada seorang pun yang dilahirkan, kecuali ia terlahir
dalam keadaan fitrah. Maka orangtuanyalah yang membuatnya jadi seorang Yahudi,
Nashrani, atau Majusi" (HR. Bukhari).
Menurut pandangan Islam setiap manusia yang lahir di muka bumi ini dalam keadaan fitrah
yakni asal kejadian yang suci dan murni. Manusia terlahir dalam keadaan bersih tanpa
mempunyai dosa, walaupun orangtua yang melahirkannya mungkin telah berbuat dosa.
Dalam Islam tidak dikenal adanya dosa warisan, sehingga orangtua yang telah berdosa
kemudian membagikan dosanya kepada anak keturunannya sebagai ahli waris. Atau
seseorang merasa telah mendapatkan warisan dosa yang banyak dari orangtuanya sehingga
menjadikan dirinya berputus asa dari rahmat Allah.
Kata fitrah menurut bahasa berarti penciptaan atau kejadian, sehingga fitrah manusia adalah
kejadian sejak awal atau bawaan sejak lahir. Kata fitrah ini terdapat dalam Al Qur’an surat Ar
Rum ayat 30: “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah (pilihlah)
fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu tidak ada perubahan pada
fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”. Kata
‘fitrah Allah’ pada ayat ini maksudnya adalah ciptaan Allah. Melalui ayat ini dapat dipahami
pula bahwa manusia dilahirkan dengan naluri keimanan kepada Allah dan siap menerima
Islam dalam penciptaannya.
Manusia menurut fitrahnya telah beragama, mengakui dan bersaksi bahwa Allah adalah
tuhannya. Maka kalau ada orang yang tidak beragama tauhid, sesungguhnya itu tidak wajar.
Biasanya hal ini disebabkan oleh adanya pengaruh lingkungan sekitarnya. Sebagaimana
sabda Rasulullah saw: “Setiap anak terlahir dalam keadaan fitrah. Orangtuanya yang akan
membuat dia yahudi, nasrani, dan majusi” (H.R. Muslim).
Manusia dengan tabiat penciptaannya yang merupakan pencampuran antara tanah dari bumi
dan peniupan ruh, maka manusia dibekali potensi-potensi yang sama untuk berbuat baik dan
buruk. Seseorang mampu membedakan antara yang baik dan yang buruk, sebagaimana ia
juga mampu mengarahkan jiwanya kepada kebaikan atau keburukan. Kemampuan ini dalam
Al Qur’an diungkapkan dengan kata ilham, sebagaimana firman Allah dalam Q.S. Asy-Syam:
7-8: “Demi jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilham kepada jiwa
itu (jalan) kefasikan dan ketaqwaannya”. Sedangkan pada Q.S. Al Balad: 10, kemampuan ini
diungkapkan dengan petunjuk. Maka ilham atau petunjukkan itu sudah tersimpan di dalam
diri manusia dalam bentuk potensi-potensi.
Manusia adalah makhluk yang istimewa dan unik karena memiliki potensi untuk berbuat baik
dan buruk. Selain itu Allah swt juga telah memberi kemampuan akal yang berada dalam hati
manusia untuk membedakan antara yang baik dan yang buruk. Oleh karenanya baik atau
buruknya amal seseorang tergantung pada hatinya, sebagaimana sabda Rasulullah saw:
“Ingatlah bahwa di dalam jasad itu ada segumpal daging. Jika ia baik, maka baik pula seluruh
jasad. Jika ia rusak, maka rusak pula seluruh jasad. Ketahuilah bahwa ia adalah hati ” (HR.
Bukhori-Muslim).
Dari hadits di atas menunjukkan bahwa akal atau kemampuan memahami bersumber pada
hati bukan otak (kepala). Hal ini juga selaras dengan penjelasan dari Al Qur’an, bahwa Allah
swt berfirman, “Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah
hati yang di dalam dada.” (QS. Al-Hajj: 46).
Hati memegang peranan penting dalam menggerakkan seseorang untuk berbuat baik (amal
sholeh), ataupun berbuat jelek/jahat (dosa). Menurut Al-Imam Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah
hati manusia dibagi menjadi 3 jenis, yaitu: hati yang sehat (qolbun salim), hati yang sakit
(qolbun maridh) dan hati yang mati (qolbun mayyit). Bagi orang yang memiliki hati yang
sehat sungguh sangat beruntung karena ia akan banyak melakukan amal kebaikan yang
mendatangkan pahala. Sebaliknya sangat merugilah orang yang hatinya sakit atau hatinya
mati karena ia akan terdorong untuk melakukan perbuatan-perbuatan jelek dan tercela yang
mendatangkan dosa.
Pepatah Arab mengatakan, manusia itu tempat lupa dan salah. Pepatah ini bukan berarti
manusia dibiarkan untuk berbuat salah dan dosa. Allah swt sangat mencintai hambanya maka
diutuslah para Nabi dan Rasul sebagai juru pengingat serta diturunkanlah kitab suci Al
Qur’an sebagai petunjuk hidup manusia. Oleh karenanya agar manusia terhindar dari berbuat
salah dan dosa haruslah berpegang teguh kepada Al Qur’an dan sunnah Rasul (Al Hadits).
Untuk menjaga fitrah manusia agar senantiasa terbebas dari dosa, Allah swt telah
menjanjikan akan menghapus dosa yang telah dilakukan hambanya. Sebagaimana berita
gembira yang disampaikan Rasulullah, "Barangsiapa berpuasa Ramadhan dengan keimanan
dan mengharapkan ridho Allah, maka diampuni dosa-dosanya yang terdahulu. (HR. Bukhari).
Mudah-mudahan ibadah puasa ramadhan yang kita lakukan ini diterima oleh Allah swt,
sehingga menjadikan terhapusnya dosa-dosa yang pernah kita lakukan dan mengantarkan kita
kembali kedalam fitrah kesucian, amien. 2

2
https://www.publikasiilmiah.unwahas.ac.id/index.php/PROGRESS/article/viewFile/2611/2585
PENUTUP

KESIMPULAN
Secara etimologis fitrah berarti : kejadian, sifat semula jadi, potensi dasar, kesucian Ayat-ayat
al Qur’an yang menyebutkan kata fitrah terdapat dalam 17 surah. Diantara yang seringkali
dibahas dalam mencari pengertian fitrah adalah QS. Ar- Rum:
Ibnu Taimiyah sebagaimana dikutip oleh Muhaimin dan Abul Mujib membagi fitrah menjadi
2 bagian:
1. Fitrah al-Munazzalah, yaitu fitrah luar yang masuk pada diri manusia. Fitrah ini
berupa petunjuk al-Qur’an dan al-Sunah yang digunakan sebagai kendali dan
pembimbing bagi fitrah.
2. Fitrah al-Garizah, yaitu fitrah inheren dalam diri manusia yang memberi daya akal
yang berguna untuk mengembangkan potensi dasar manusia.
Perspektif pendidikan Islam terhadap manusia dan fitrahnya dapat dibagi menjadi 3 yaitu:
1. Pendidikan Islam merupakan jalan yang tepat dalam rangka mengembangkan fitrah
manusia,
2. Pendidikan Islam sebagai pengembangan potensi karena manusia lahir di dunia
membawa sejumlah potensi atau kemampuan.
3. Pendidikan Islam sebagai pengembangan ketaqwaan kepada Allah SWT
DAFTAR PUSTAKA
Saryono, Desember 2016. “Konsep Fitrah dalam Perspektif Islam” Volume 14, Nomor 2,
http://jurnal.radenfatah.ac.id/index.php/medinate/article/download/1179/998/
Pohan Rahmadanni, ”Hakekat Manusia dan Fitrahnya dalam Perspektif Pendidikan Islam”
https://artikula.id/dhany/hakekat-manusia-dan-fitrahnya-dalam-perspektif-pendidikan-islam/
https://www.publikasiilmiah.unwahas.ac.id/index.php/PROGRESS/article/viewFile/2611/258
5

Anda mungkin juga menyukai