Anda di halaman 1dari 15

HAKIKAT MANUSIA, ILMU, DAN ALAM SEMESTA DALAM

PENDIDIKAN ISLAM

Abdurrahman Ali R Abid Naufal A Adinda Nurviana

201210004 201210005 201210006

IAIN Ponorogo IAIN Ponorogo IAIN Ponorogo

Abstract:

Human nature in Islamic Religious Education is a creature created by Allah SWT,


who has a position and duty as caliph on earth and has various potentials to grow
and develop towards perfection. In carrying out his duties as caliph on earth and
developing his potential to develop towards perfection, humans are required to
study knowledge originating from revelation (Al-Qur'an), Hadith, Ijihad as
primary sources. And one of the objects of knowledge is the universe, which can
provide instructions that Allah SWT has given to humans to carry out their duties
on earth.

Keywords: Humans, Science, Islamic Education, Universe

Abstrak:

Hakekat manusia dalam Pendidikan Agama Islam adalah makhluk yang


diciptakan oleh Allah SWT, yang memiliki kedudukan dan tugas sebagai khalifah
di muka bumi dan memiliki berbagai potensi untuk tumbuh berkembang menuju
kepada kesempurnaan. Dalam mengemban tugas sebagai khalifah di bumi dan
mengembang potensi untuk berkembang menuju kesempurnaan, manusia
diwajibkan untuk menuntut ilmu yang bersumber dari wahyu (Al-Qur’an), Hadist,
Ijihad. Dan salah satu objek dari ilmu adalah alam semesta, yang dapat
memberikan petunjuk yang telah diberikan Allah kepada manusia untuk
mengemban tugas nya dimuka bumi.

Kata Kunci: Manusia, Ilmu, Pendidikan Islam, Alam Semesta


PENDAHULUAN

Manusia dalam jagad raya ini adalah makhluk yang unik, keunikannya
sangat menarik dimata manusia sendiri, yaitu yang mendasari perbedaan manusia
dengan makhluk-makhluk Allah lainnya adalah manusia diberikan kemulian
karena memiliki akal, sedangkan mahluk Allah yang lain tidak diberikan, disitulah
kemuliaan manusia dibandingkan dengan makhluk lainnya. Dengan anugerah
akal yang diberikan manusia juga diberikan tugas untuk menjadi khalifah di muka
bumi.

Untuk menjalankan tugas manusia dibumi, manusia membutuhkan ilmu


sebagai petunjuk yang dapat mengarahkan manusia mencapai tujuan
diciptakannya manusia, menjalankan tugasnya di dunia, serta mengembangkan
berbagai potensi yang dimiliki manusia untuk menuju kesempurnaan.

Sedangkan ilmu memiliki berbagai objek yang dikaji, diantaranya adalah


alam semesta. dengan mengkaji alam semesta dan fenomenanya merupakan salah
satu cara mempelajari tanda-tanda Allah di dalam alam semesta, mampu
menyingkap hubungan seluruh bagian alam semesta dan kesatuan yang
tersembunyi dibalik dunia yang penuh keragaman ini. Sehingga manusia memiliki
petunjuk untuk menjalankan tugasnya di dunia, mengembangkan berbagai potensi
untuk menuju kesempurnaan dan mencapai tujuan diciptakannya manusia dimuka
bumi.

PEMBAHASAN

HAKIKAT MANUSIA DALAM PENDIDIKAN ISLAM

Filsafat senantiasa mempersoalkan siapakah manusia itu. Jika pada tahap


awal filsafat mempersoalkan masalah manusia, demikian pula halnya dengan
pendidikan Islam. Ia tidak akan memiliki paradigma yang sempurna tanpa
menentukan sikap konseptual filosofis tentang hakikat manusia sebab
bagaimanapun juga manusia adalah bagian dari alam ini. Perlunya penentuan
sikap dan tanggapan tentang manusia dalam filsafat pendidikan Islam ini pada
hakikatnya didasarkan pada asumsi bahwa manusia adalah subjek, yang sekaligus
juga adalah objek pendidikan Islam.

Untuk menjawab permasalahan di atas, terlebih dahulu kiranya


dikemukakan prinsip-prinsip yang menjadi dasar filosofis bagi pandangan
pendidikan Islam. Al-Syaibany dalam hal ini menyebutkan delapan prinsip 1,
yaitu:

1. Manusia adalah makhluk paling mulia di alam ini. Allah telah


membekalinya keistimewaan-keistimewaan yang menyebabkan ia
berhak mengungguli makhluk lain.2
2. Kemuliaan manusia atas makhluk lain adalah karena manusia diangkat
Sebagai khalifah (wakil) Allah yang bertugas memakmurkan bumi atas
dasar Ketakwaan.3
3. Manusia adalah makhluk berpikir yang menggunakan bahasa sebagai
media.4
4. Manusia adalah makhluk tiga dimensi seperti segi tiga sama kaki, yang
terdiri dari tubuh, akal, dan ruh.
5. Pertumbuhan dan perkembangan manusia dipengaruhi oleh faktor
keturunan dan lingkungan.
6. Manusia mempunyai motivasi dan kebutuhan.
7. Manusia sebagai individu berbeda dengan manusia lainnya karena
pengaruh faktor keturunan dan lingkungan.

1
Omar Mohammad Al-Toury Al-Syaibuny, Falsafah Pendidikan Islam, verj. Hasan
Langgulung (Cet 1. Jakarta: Bulan Bintang, 1979), hlm. 103-161.

2
Lihat QS Al-Isra’: 70 dan At Tin: 4
3
Lihat QS Al-Baqarah (2): 30 dan Al-Nür (24): 55 tentang kekhalifahan manusia. QS
Hüd (11): 6 tentang memakmurkan bumi dan QS Al-Hujurat (49): 13 tentang kemuliaan
berdasarkan ketakwaan.
4
Al-Attas menyebutnya dengan istilah "binatang rasional". Maksudnya adalah bahwa
manusia memiliki suatu fakultas batin yang berfungsi untuk merumuskan makna-malina.
Perumusan ini melibatkan penilaian, pembedaan, dan penjelasan sehingga membentak rasionalitas
manusia, Baca Syed Muhammad Al-Naquil Al-Attas, Konsep Pendidikan dalam Islam. Suatu
Rangka Pikir Pembinaan Filafat Pendidikan Islam, terj. Haidar Bagir (Cet. IV. Bandung: Mizan,
1992), hlm. 37. 174
8. Manusia mempunyai sifat luwes dan selalu berubah melalui proses
pendidikan.

Dengan berpegang kepada delapan prinsip ini, kiranya mudah bagi filsafat
pendidikan Islam untuk menentukan konsep tentang hakikat manusia. Konsepsi
ini tentunya mencakup pembahasan tentang proses penciptaan manusia, tujuan
hidup, kedudukan, dan tugas manusia. Semua pembahasan ini berkaitan dengan
pemikiran ontologis tentang manusia. Oleh karena itu, ia senantiasa tidak dapat
dilepaskan dari pandangan dunia Islam.

Proses Penciptaan Manusia

Manusia diciptakan Tuhan melalui sebuah proses alami yang berlangsung


dalam beberapa tahap. Musa Asy'arie menyebutkan empat tahap proses
penciptaan manusia, yaitu tahap jasad, tahap hayat, tahap ruh, dan tahap nafs.
Berikut penjelasan keempat tahapan ini.

1. Tahap Jasad
Al-Quran menjelaskan bahwa permulaan penciptaan manusia adalah dari
tanah (turab), yaitu tanah berdebu. Al-Quran terkadang menyebut tanah ini
dengan istilah tin" dan terkadang juga dengan istilah shalshål. Namun
yang jelas, yang dimaksud dengan tanah ini adalah sari patinya atau
sulalah, Penciptaan dari tanah ini tidak berarti bahwa manusia dicetak dari
bahan tanah, seperti orang membuat patung dari tanah. Penciptaan ini
bermakna simbolik, yaitu sari pati yang membentuk tumbuhan atau
binatang yang kemudian menjadi bahan makanan bagi manusia.
2. Tahap Hayat
Awal mula kehidupan manusia menurut Al-Quran adalah air, sebagaimana
kehidupan tumbuhan dan binatang. Maksud air kehidupan di sini adalah
air yang hina atau sperma. Sperma ini kemudian membuahi sel telur yang
ada dalam rahim seorang ibu. Sperma inilah yang merupakan awal mula
hayat (kehidupan) seorang manusia.
3. Tahap Ruh
Maksud dari ruh di sini adalah sesuatu yang diembuskan Tuhan dalam diri
manusia dan kemudian menjadi bagian dari diri manusia. Pada saat yang
sama, Tuhan juga menjadikan bagi manusia pendengaran, penglihatan, dan
hati. Adanya proses peniupan ruh yang ditiupkan Tuhan dalam diri
manusia dan kemudian diiringi dengan pemberian pendengaran,
penglihatan, dan hati merupakan bukti bahwa yang menjadi pimpinan
dalam diri manusia adalah ruh. Ruhlah kiranya yang dapat membimbing
pendengaran, penglihatan, dan hati untuk memahami kebenaran.

4. Tahap Nafs
Kata “nafs” dalam Al-Quran mempunyai empat pengertian, yaitu nafsu,
napas, jiwa, dan diri (keakuan). Dari keempat pengertian ini, Al-Quran
lebih sering menggunakan kata “nafs” untuk pengertian diri (keakuan).
Diri atau keakuan adalah kesatuan dinamik dari jasad, hayat, dan ruh.
Dinamikanya terletak pada aksi atau kegiatannya. Kesatuannya bersifat
spiritual yang tercermin dalam aktivitas kehidupan manusia.

Tujuan Hidup Manusia

Untuk apa manusia hidup? Ini adalah pertanyaan yang mempersoalkan


tujuan hidup manusia. Al-Quran menjelaskan bahwa tidaklah semata-mata Allah
menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Nya.5 Ibadah
(pengabdian) dalam hal ini tidak dimaksudkan dalam pengertiannya yang sempit,
tetapi dalam pengertiannya yang luas. 6 Yaitu, nama bagi segala sesuatu yang
dicintai dan diridhai Allah, baik berupa perkataan maupun perbuatan. Pendeknya,
tujuan hidup manusia adalah ibadah kepada Allah dalam segala tingkah lakunya.7
Tujuan hidup ini pada gilirannya akan bersinggungan dengan tujuan pendidikan
Islam, sebab pendidikan pada dasarnya bertujuan memelihara kehidupan manusia.
Tujuan pendidikan Islam, tidak boleh tidak, harus terkait dengan tujuan hidup

5
QS Al-Dzariyat: 56
6
Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan: Suatu Analisa Prikologi dan Pendidikan
(Cet. III: Jakarta: Pustaka al-Husna, 1995), him. 4.
7
QS. AlAn’am: 162
manusia. Manusia seperti apa yang hendak dibentuk dan diinginkan oleh
pendidikan Islam, jawabannya tergantung kepada tujuan hidup yang hendak
ditempuh oleh seorang Muslim. Dengan demikian, tujuan hidup Muslim
sebenarnya merupakan tujuan akhir pendidikan Islam.

Kedudukan Manusia

Kedudukan manusia menurut Al-Quran adalah khalifah Allah di bumi.8


190 Kata “khalifah” di dalam Al-Quran disebutkan sebanyak sepuluh kali. Banyak
pengertian yang dimaksudkan Al-Quran dengan kata ini, di antaranya: mereka
yang datang kemudian, sesudah kamu, yang diperselisihkan, silih berganti,
berselisih, dan pengganti.9 Namun demikian, pengertian khalifah dalam hal
kedudukan manusia adalah pengganti. Jadi, khalifah Allah berarti pengganti
Allah.10 Pengertian ini menurut Dawam Rahardjo mempunyai tiga makna.
Pertama, khalifah Allah itu adalah Adam. Oleh karena Adam adalah simbol bagi
seluruh manusia, dapat dikatakan bahwa manusia adalah khalifah. Kedua, khalifah
Allah itu adalah suatu generasi penerus atau pengganti, yaitu bahwa kedudukan
khalifah diemban secara kolektif oleh suatu generasi. Ketiga, khalifah Allah itu
adalah kepala negara atau kepala pemerintahan. Dari ketiga makna ini, maka
kiranya lebih mendukung untuk dapat diterapkan dalam hal posisi Manusia
sebagai khalifah Allah. Manusia selaku khalifah Allah di bumi, menurut Hasan
Langgulung,”Mempunyai beberapa karakteristik, sebagai berikut:

a. Manusia semenjak awal penciptaannya adalah baik secara fitrah. Ia tidak


Mewarisi dosa karena Adam meninggalkan surga.
b. Interaksi antara badan dan ruh menghasilkan khalifah. Karakteristik
iniYang membedakan manusia dengan makhluk lain.

8
QS Al-Baqarah (2): 30 dan Al-Nar (24): 55
9
M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedi Al-Quran (Cet I; Jakarta: Paramadina, 1996), him
353
10
Berkenaan pertanyaan siapa mengganti slapa, Langgulung mengemukakan tiga
pendapat. Pertama, manusia sebagai makhluk menggantikan makhluk lain, yaitu jin. Kedua,
manusia menggantikan manusia lain. Ketiga, manusia adalah pengganti Allah di bumi, sehingga
manusia bertindak sesuai perintah Allah. Baca Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan Swain
Analia Pikologi dan Pendidikan (Cer. III: Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1995), him. 75.
c. Manusia selaku khalifah memiliki kebebasan berkehendak (free will),
suatu kebebasan yang menyebabkan manusia dapat memilih tingkah
Sendiri.
d. Manusia dibekali akal yang dengan akal itu manusia mampu membuat
pilihan antara yang benar dan yang salah.

Tugas Manusia

Setelah diketahui bahwa tujuan hidup manusia adalah ibadah dan


kedudukannya adalah sebagai khalifah, pertanyaan selanjutnya adalah apa yang
harus dikerjakan manusia. Pertanyaan ini menyangkut tugas manusia di bumi ini.
Tugas manusia dalam pandangan Islam adalah memakmurkan bumi dengan jalan
memanifestasikan potensi Tuhan dalam dirinya. Dengan kata lain, manusia
sesungguhnya diperintahkan untuk mengembangkan sifat-sifat Tuhan menurut
perintah dan petunjuk-Nya. Sifat-sifat Tuhan ini dalam bahasa agama biasa
disebut al-asma al-busna, yang berjumlah 99. Sebagai contoh, Tuhan adalah Maha
Pengasih (al-Rahman), manusia diperintahkan untuk bersifat asih terhadap dirinya
dan makhluk lain. Satu hal yang perlu dikemukakan di sini adalah sifat-sifat
Tuhan itu hanya dapat dimanifestasikan oleh manusia dalam bentuk dan cara yang
terbatas. Hal ini, selain karena watak keterbatasan manusia, juga dimaksudkan
agar manusia tidak mengaku dirinya sebagai Tuhan. Seyogianya manusia
menganggap proses perwujudan sifat-sifat Tuhan ini sebagai suatu amanah, agar
manusia mempunyai tanggung jawab yang besar dalam melaksanakan tugas ini.

HAKIKAT ILMU DALAM PENDIDIKAN ISLAM

Ilmu secara umum adalah apa yang kamu tahu, tapi sesungguhnya ini
bukanlah definisi, melainkan suatu tautology sekedar berkata bahwa ilmu adalah
ilmu, dan sama sekali tidak menyatakan apapun. Dengan demikian, beberapa
Ulama Filosofi mendefinisikan ilmu sebagai berikut:

1. Imam Al-Raghib Al-Aṣfahānī seorang pakar filologi mendefinisikan ilmu


dengan persepsi suatu hal dalam hakikatnya. Dalam definisi ini, Yang
mana sekedar menilik sifat (misalnya bentuk, ukuran, dan sifat-sifat
lainnya) suatu hal tidak merupakan dari ilmu. Maka dari itu suatu
pandangan filosofis mengatakan tiap zat terdiri atas essence dan accidents.
Essence adalah sesuatu yang darinya akan tetap satu dan sama sebelum,
semasa, setelah perubahan, dengan begitu di sebut sebagai hakikat. Maka,
ilmu adalah segala hal yang menyangkut hakikat yang tidak berubah.
2. Menurut Imam Al-Ghazali mengartikan ilmu, sebagai tahu sesuatu. Berarti
mengenali sesuatu itu sebagai adanya, atau bisa disebut juga
dengan:Definisinya di sini, untuk menyatakan tiga hal yang harus di
uraikan.
a) Menyatakan bahwa ilmu adalah pengenalan, imam Al-ghazali tampak
menekankan fakta bahwa ilmu merupakan masalah per-orangan.
b) Tidak seperti istilah 'Idrāk yang tidak hanya menyertakan suatu
gerakan nalar atau perubahan dari satu keadaan kepada keadaan yang
lainnya, tapi juga menyertakan bahwa ilmu datang sebagaimana
adanya.
c) Mengiaskan kepada fakta bahwa ilmu selalu merupakan semacam
penemuan diri.

Oleh karena itu, dalam pandangan imam al- gazhali, kita tidak dapat
mengklaim memiliki ilmu sesuatu kecuali jika kita tahu sesuatu itu apa adanya.
Karena sesungguhnya, sesuatu itu tampak tidak sebagaimana hakikatnya. Maka
dari pengertian yang sudah diuraikan di atas, dapat disimpulkan bahwa ilmu
adalah sejumlah makna, keyakinan, informasi, fakta, pemahaman, dan gambaran
di bidang yang berbeda. Sebagaimana yang sudah terletak dalam diri manusia dari
penghasilan yang sudah di coba berkali-kali untuk memahami apa yang terjadi di
sekitarnya.11

Tujuan dan Sumber Ilmu dalam Islam

Dalam Islam, tujuan utama dari ilmu adalah untuk mengenal Allah swt.
Dan meraih kebahagiaan (sa’ādah), sebab ilmu mengkaji tentang “ayat-ayat”

11
Dr. Adian Husaini, Filsafat Ilmu Perespektif Barat dan Islam (Jakarta: Gema Insani,
2013), hal 72
(tanda-tanda) – baik ayat kauni atau qauli, Maka dari itu, untuk menjalankan
misinya sebagai ciptaan Allah swt. Manusia diwajibkan memiliki ilmu untuk
menopang kehidupanynya di dunia, sebagai sarana untuk ibadah. Ibadah kepada-
Nya merupakan tujuan pokok kehidupan manusia yang mana seluruh aktivitas
keilmuan apapun jenisnya di arahkan untuk aktivitas tersebut.

Sumber ilmu yang primer dalam Islam adalah wahyu yang di terima oleh
nabi yang berasal dari Allah swt. Sebagai sumber dari segala sesuatu. Pengertian
wahyu secara etimologi adalah apa yang di sampaikan Allah swt. kepada para
malaikat-Nya berupa suatu perintah untuk dikerjakan. Sedangkan arti wahyu
secara terminologi adalah “kalam Allah swt yang diturunkan kepada seorang nabi
Selanjutnya, penjelasan mengenai sumber ilmu dalam Islam yaitu bersumber dari
Al-qurān dan Sunnah dapat juga mengafirmasi sumber ilmu lainnya, yaitu akal,
hati, serta indra-indra yang terdapat dalam diri manusia.12

HAKIKAT ALAM SEMESTA DALAM PENDIDIKAN ISLAM

Penciptaan Alam Semesta

Kata alam berasal dari bahasa Arab 'a-l-m, satu akar kata dengan 'ilm
(pengetahuan) dan alamat (pertanda). Disebut demikian karena jagad raya ini
adalah pertanda adanya Sang Maha Pencipta, yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Bahwa
alam semesta adalah sebuah pertanda yang menunjukkan kepada sesuatu yang
berada di atasnya dan tanpa sesuatu itu alam semesta beserta sebab-sebab
alamiahnya tidak pernah ada. 13

Sedangkan secara terminologi berarti segala sesuatu yang berwujud selain


Allah, yang dengan ini Allah dapat dikenali, baik dari segi nama maupun
sifatNya. Segala sesuatu selain Allah, itulah alam secara sederhana menurut para

12
Abd Al-‘āl, Ḥasan Ibrāhīm, Muqaddimah fi falsafah al-tarbiyah al-`islāmiyah (Riyad:
Dār ‘Alam Al-kutub, 1985), hal 118
13
Taufiq, Muhammad, Perspektif Filsafat Pendidikan Islam, ( Mataram:
Hermeneia, 2007)
teologi islam. Adapun secara filosofis, alam adalah kumpulan jauhar (substansi)
yang tersusun dari materi (maddah) dan bentuk (surah) yang ada di langit dan
bumi.14 Alam dalam pengertian ini merupakan alam semesta atau jagat raya.

Menurut Abu al- ‘Ainain alam dibedakan dalam dua jenis yaitu alam al-
syahadah (alam fisik) yang dapat dikenali dan dijangkau melalui panca indera
seperti manusia, hewan, dan tumbuhan, langit, dan alam al-ghaib (alam nonfisik)
yang dapat dikenali dan dipahami dengan keterbukaan ruhani/hati atau melalui
wahyu Illahi seperti alam malaikat, jin, dan ruh. 15 Bahwa alam ini tercipta tidak
dengan sendirinya, tetapi adalah diciptakan, dalam proses sesuai dengan sunnah
Sang Pencipta, dapat dipahami hanya oleh manusia-manusia yang menggunakan
akal budinya.

Alam semesta dalam tinjauan filsafat Islam diciptakan melalui kehendak


bebas Tuhan. Alam semesta diciptakan secara sengaja dan terencana bukan secara
kebetulan. Alam semesta tidak bersifat abadi, tetapi tercipta dalam waktu dengan
sebuah titik awal. Alam diciptakan dari tiada, para fisikawan pun akhirnya
mengakui bahwa semula alam tiada tetapi sekitar l5 milyar tahun yang lalu
tercipta dari ketiadaan. Bila kita ingin bandingkan dengan al-Qur'an maka akan
terasa sejaIan dengan isyarat surat al-Anbiya'. Mengenai pemisahan yang
sekaligus dapat dipahami sebagai perluasan/ekspansi alam semesta, yang
menaburkan materi paling tidak sebanyak 100 milyar galaksi yang masing-masing
berisi rata-rata 100milyar bintang, al-Qur'an surat al-Dzariyat(5l): 47 pada
dasarnya telah lama mengisyaratkannya. Betapa besar kekuatan yang terlibat
daIam proses pembangunan alam dengan sekian banyak materi. 16

Cerita tentang penciptaan alam ini cukup luas di dalam al-Qur'an antara lain
ayat 7 dari surat Hud yang mengisyaratkan alam ini diciptakan dalam 6 hari.

14
Suharto, Toto, Filsafat Pendidikan Islam, (Jogjakarta:ar-Ruzz Media,2011),
hlm.92.
15
Suharto, Toto, Filsafat Pendidikan Islam, (Jogjakarta:ar-Ruzz Media,2011),
hlm.93.
16
Taufiq,Muhammad, Perspektif Filsafat Pendidikan Islam, ( Mataram: Hermeneia,2007)
Namun demikian menurut Abu al-'Ainain, bagaimana penyempurnaan penciptaan
dan kapan dimulai penciptaan itu bukan merupakan urusan aqidah, tetapi urusan
akal pikir manusia, sepanjang tidak bertentangan dengan al Qur'an. 17

Sifat Alam Semesta

a) Alam semesta bersifat haq, Alam ini merupakan kenyataan yang


sebenarnya, bukan sesuatu yang maya yang hampa. Karenanya dapat
dimanfaatkan oleh manusia sebagai fasilitas dan perangkat untuk
memenuhi kebutuhannya sebagai ciptaan yang terbaik.
b) Alam semesta bersifat hudust (baru), karena hanyalah Allah yang bersifat
kekal dan abadi, alam hanyalah sebagian dari ciptaanya yang luar biasa
sebagai pertanda adanya kekuatan yang lebih dasyat yaitu Allah SWT
sebagai penciptanya.
c) Alam semesta bersifat sementara, bahwa alam ini merupakan salah satu
makhluk Allah yang memiliki titik awal dan akhir. Allah memberi
kesempatan kepada manusia untuk menjalankan fungsinya sebagaai
khalifah di bumi sebagai ladang akhiratnya kelak.

Tujuan Penciptaan Alam Semesta

Menurut Nurchalis Majid sebelum membahas mengenai tujuan penciptaan


alam semesta yang harus dipahami terlebih dahulu adalah eksisitensinya yang
“haq” yakni benar dan nyata. Dengan mengutip ayat al Qur'an dia menyatakan
bahwa alam semesta ini diciptakan oleh Allah "dengan haq" (bi al haq), tidak
diciptakan Tuhan secara main-main (la'ab), dan tidak pula secara palsu (al-
bathil). Karena bereksistensi benar dan nyata, maka ia bisa memberikan
kemungkinan kabahagiaan serta kesengsaraan yang sama bagi manusia. Karena
itu manusia dibenarkan untuk berharap memperoleh kebahagiaan dalam hidup
sementara di dunia ini, selain kebahagiaan di akhirat kelak yang lebih besar, kekal
dan abadi.

17
Taufiq,Muhammad, Perspektif Filsafat Pendidikan Islam, ( Mataram: Hermeneia,2007)
Karena kehidupan dapat digunakan untuk berharap dan mencari
kebahagiaan di dunia dan akhirat, maka tentunya dan seharusnya manusia tidak
menyia-nyiakannya. Bahwa semua yang diciptakan oleh Allah adalah untuk
kemanfaatan dan kemaslahatan bagi manusia itu sendiri. Kita dapat mengetahui
perbedaan terpenting antara Allah dan ciptaannya adalah bahwa Allah itu tak
terhingga dan mutlak sedangkan ciptaannya adalah terhingga. Jika Allah
menciptakan sesuatu, maka Allah akan memberikan kekuatan atau hukum tingkah
laku, yang oleh al-Qur’an disebut petunjuk, perintah, atau ukuran. Dengan hukum
ini segala ciptaan Allah dapat selaras dengan ciptaan-ciptaan lainya yang ada di
alam semesta ini. Jika suatu ciptaan Allah melanggar hukumnya dan melampaui
ukuranya, alam semesta menjadi kacau. Inilah maksud dari al-Qur’an bahwa alam
semesta yang sempurna ini selain sebagai bukti bagi adanya Allah, juga
merupakan bukti sebagai keesaan-Nya.18

Al-Qur’an surat Fushshilat (41): 53 mengungkapkan : “...akan kami


tunjukkan tanda—anda Kami di jagat raya, dan didalam diri (manusia) sendiri...”
ayat ini jelas menyatakan bahwa alam semesta merupakan tanda-tanda Tuhan.
Alam sebagai sebuah tanda tentunya akan memberi petunjuk kepada yang di
tandai, yaitu Tuhan. Dari sini banyak filsuf mengatakan bahwa alam merupakan
pantulan atau cerminan sifat-sifat Tuhan.

Alam semesta diciptakan adalah bukan untuk dirusak, dicemari, dan


dihancurkan, akan tetapi untuk difungsikan semaksimal mungkin dalam
kehidupan sehari-hari. Dan alam diciptakan juga buka untuk disembah, dihormati,
dan dimintai pertolongan, melainkan untuk dikelola, dibudi dayakan, dan
dimanfaatkan dalam kehidupan.

Dari kedudukan alam semesta menurut al-Ghulsyani merupakan motivasi


para ilmuwan muslim untuk mempelajarinya. Hal ini karena mereka beranggapan
bahwa mengkaji alam semesta dan fenomenanya merupakan salah satu cara
mempelajari tanda-tanda Allah di dalam alam semesta, dapat membuat mereka

18
Suharto, Toto, Filsafat Pendidikan Islam, (Jogjakarta:ar-Ruzz Media, 2011), hlm 93.
mampu menyingkap hubungan seluruh bagian alam semesta dan kesatuan yang
tersembunyi dibalik dunia yang penuh keragaman ini.

Implikasinya terhadap Pendidikan Islam

Setelah dikemukakan tentang hakikat alam dan kedudukanya secara


filosofis. Pada bagian ini akan dipaparkan pendapat al-Syaibany mengenai
pandangan filsafat pendidikan Islam tentang implikasi alam semesta dalam
pendidikan.19

1. Pendidikan Islam sebagai proses pembentukan pengalaman dan perubahan


tingkah laku akan berhasil jika ada interaksi antara peserta didik dengan
lingkungan alam sekitar, tempat mereka hidup.
2. Pendidikan Islam harus mampu memperhatikan alam semesta yang terdiri
dari alam fisik dan non-fisik secara seimbang, karena kehidupan manusia
yang sempurna tidak akan terwujud hanya oleh salah satunya.
3. Proses pendidikan harus mampu menyampaikan bahwa alam semesta itu
mengalami perubahan dan perkembangan sebagai hukum Tuhan.
4. Pendidikan Islam harus dapat menunjukan keajaiban alam semesta sebagai
bukti bahwa manusia tidak berdaya dihadapan Tuhan.
5. Filsafat pendidikan Islam meskipun percaya bahwa di dalam alam semesta
terjadi hubungan sebab-akibat, tetapi tedapat pengecualian yang dalam
aqidah Islam disebutkan bahwa Tuhan adalah sebab hakiki yang tidak
memiliki sebab.
6. Pendidikan Islam harus mampu mengarahkan bagaimana pengelolaan akan
kegunaan dan manfaat alam sehingga manusia mengalami kemajuan.
7. Alam dan seluruh isinya bersifat baru hal ini sebagai pegangan bahwa
hanya Allah lah yang bersifat kekal dan abadi, sehingga pendidikan Islam
harus memberikan pemahaman bahwa alam dan seluruh isinya bersifat
baru.

19
Omar Mohammad al-Toumy al-Syaibany, Falsafah Pendidikan Islam, hlm. 57-99.
Dengan prinsip tersebut, menurut al-Syaibany filsafat pendidikan Islam
dapat menentukan pemikiran implementasinya diantara filsafat-filsafat pendidikan
lainya. Filsafat pendidikan Islam sebagai ilmu harus mampu menentukan sikapnya
terhadap permasalahan seputar alam. Sikap ini akan melahirkan prinsip yang
dapat dijadikan landasan filosofis bagi penentuan tujuan pendidikan, kurikulum,
metode, dan komponen lainya. Filsafat pendidikan Islam hendaknya dapat
membina dan membangun pemikiran filsafatnya sesuai pandangan dan ajaran
yang diambil dari sumber Islam.

KESIMPULAN

Dari pembahasan tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa Manusia,


Ilmu, dan Alam semesta merupakan suatu tanda atas keberadaan Dzat yang Maha
agung yang wajib diimani, yaitu Allah. Dalam proses penciptaannya, manusia
berlangsung dalam 4 tahap, antara lain tahap jasad, tahap hayat, tahap ruh, dan
tahan nafs. Kemudian dijelaskan tujuan hidup manusia yaitu untuk beribadah
kepada sang Khaliq. Adapun didalam Al-Qur'an dijelaskan bahwa kedudukan
manusia adalah khalifah di muka bumi. Setelah tahu tujuan dan kedudukan, maka
manusia memiliki tugas dalam pandangan Islam adalah memakmurkan bumi
dengan jalan memanifestasikan potensi Tuhan dalam dirinya. Kesimpulan
pembahasan selanjutnya yaitu hakikat ilmu dalam pendidikan Islam. Ilmu sendiri
berarti sejumlah makna, keyakinan, informasi, fakta, pemahaman, dan gambaran
di bidang yang berbeda. Tujuan Ilmu adalah untuk mengenal Allah dan meraih
kebahagiaan baik di dunia maupun akhirat kelak. Sumber ilmu adalah wahyu yang
diterima oleh Nabi Muhammad yang berasal dari Allah swt. Terakhir mengenai
hakikat alam semesta dalam pendidikan Islam, alam semesta adalah sebuah
pertanda yang menunjukkan kepada sesuatu yang berada di atasnya dan tanpa
sesuatu itu alam semesta beserta sebab-sebab alamiahnya tidak pernah ada. Alam
semesta bersifat haq (benar), hudust (baru), dan sementara. Tujuan diciptakannya
adalah untuk kemanfaatan dan kemaslahatan bagi manusia sendiri. Implikasinya
terhadap pendidikan adalah bahwa alam semesta merupakan penentu keberhasilan
pendidikan, adanya interaksi antara peserta didik dengan lingkungan alam sekitar
tempat mereka hidup merupakan prinsip filsafat pendidikan Islam yang perlu
diperhatikan, alam semesta merupakan tempat dan wahana yang memungkinkan
proses pendidikan berhasil.

DAFTAR PUSTAKA

Abd Al-‘āl,dkk, Muqaddimah fi falsafah al-tarbiyah al-`islāmiyah, Riyad: Dār


‘Alam Al-kutub, 1985.
Al-Attas, Syed Muhammad Al-Naquil, Konsep Pendidikan dalam Islam. Suatu
Rangka Pikir Pembinaan Filafat Pendidikan Islam, terj. Haidar Bagir, Cet.
IV. Bandung: Mizan, 1992.
al-Syaibany, Omar Mohammad al-Toumy, Falsafah Pendidikan Islam, Jakarta :
Bulan Bintang , 1979
Husaini, Adian, Filsafat Ilmu Perespektif Barat dan Islam, Jakarta: Gema Insani,
2013.
Langgulung, Hasan, Manusia dan Pendidikan Swain Analia Pikologi dan
Pendidikan, Cer. III: Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1995.
Rahardjo, M. Dawam, Ensiklopedi Al-Quran, Cet I; Jakarta: Paramadina, 1996.
Suharto, Toto, Filsafat Pendidikan Islam, Jogjakarta:ar-Ruzz Media, 2011.
Taufiq, Muhammad, Perspektif Filsafat Pendidikan Islam, Mataram: Hermeneia,
2007.

Anda mungkin juga menyukai